Manajemen Nyeri

download Manajemen Nyeri

of 27

Transcript of Manajemen Nyeri

Manajemen Nyeri (disertai Tips Mengatasi Nyeri) Posted on 24 November 2010 by andaners

Keluhan nyeri merupakan keluahan yang paling umum kita temukan/dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian dari tim kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, yang karena seringnya keluhan itu kita temukan kadang kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien. Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu pemahaman tentang nyeri dan penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama perawat yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi dengan pasien. DEFINISI Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan , dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya. Pada tahun 1999, the Veterans Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri. Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai konsep yang abstrak yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari bahaya. McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri ketika dia mengatakan tentang nyeri apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada .

TIPE NYERI Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil dari injuri akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan Nyeri kronik keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang progresif. RESPON TERHADAP NYERI Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku. Untuk nyeri akut repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal), peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat dingin, respon perilakunya adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi, ketakutan dan disstress. Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal, denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering, dan respon perilakunya berupa imobilisasi atau ketidak aktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat khususnya menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya.. HAMBATAN DALAM MEMBERIKAN MANAJEMEN NYERI YANG TEPAT Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri yaitu : 1. Ketakutan akan timbulnya adiksi Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik. Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan. Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri dengan menggunakan analgetik apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan mengenai hal itu, sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas. 2. Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang paling umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi percepatan dalam pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang profesional. Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat

setelah intervensi, mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 10 Numeric Pain Distress Scale , diantara kelima metode tersebut diatas 0 10 Numeric Pain Distress Scale yang paling sering digunakan, dimana pasien diminta untuk merating rasa nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti tidak da nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri, sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf sedang PENANGANAN NYERI 1. Manajemen nyeri non farmakologik. Pendekatan non farmakologik biasanya menggunakan terapi perilaku (hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi,akupuntur, terapi kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik. Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu dengan yang lainnya mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam penanganannya pun kita seringkali menemukan keunikan tersebut, baik itu yang memang dapat kita terima dengan kajian logika maupun yang sama sekali tidak bisa kita nalar walaupun kita telah berusaha memaksakan untuk menalarkannya. Sebuah kasus ; pernah suatu ketika saya dinas di ruang perawatan penyakit kanker pada sistem reproduksi/DDS, dimana pasien dengan ca serviks stadium IIIa merasa nyeri pada kuadran kiri bawah abdomennya, dan dia merasa nyerinya berkurang hanya dengan menggenggam erat-erat sebuah kerikil warna kelabu !!. Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa kadang-kadang, nyeri itu dapat diselesaikan tanpa dengan medikasi sama sekali, berikut ini adalah faktorfaktor yang mungkin dapat menerangkan mengapa nyeri tidak mendapatkan medikasi sama sekali: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan staf medis Petugas kesehatan (dokter, perawat, dsb) seringkali cenderung berpikiran bahwa pasien seharusnya dapat menahan terlebih dahulu nyerinya selama yang mereka bisa, sebelum meminta obat atau penangannya, hal ini mungkin dapat dibenarkan ketika kita telah mengetahui dengan pasti bahwa nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi secara komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau bahkan nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan tanpa penanganan? Apakah ketakutan untuk terjadinya adiksi apabila mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah ? b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien Pasien adalah manusia yang mempunyai kemampuan adaptif, yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Ketika pasien masuk ke dunia rumah sakit sebenarnya ia telah siap untuk menerima aturan dan konsekuensi di dunia tersebut, sehingga kadang-kadang, karena takut dianggap tidak menyenangkan oleh petugas atau biar dapat menyenangkan dimata petugas maka ia akan menahan informasi yang menyatakan bahwa ia sekarang sedang mengalami nyeri, atau karena kondisi fisiknya yang menyebabkan ia tidak mampu untuk mengatakan bahwa ia nyeri, pada kondisi CKB misalnya. Pada beberapa kasus seringkali nyeri ini juga merupakan suatu cara agar ia mendapatkan perhatian yang lebih dari petugas kesehatan, apalagi apabila ia merasa sudah melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang

pasien, pada kondisi ini mungkin ada perbedaan yang mencolok antara pasien kelas III dengan pasien yang di rawat di VVIP pada kondisi jeis nyeri yang sama. c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sistem Sebagian pasien di rumah sakit adalah pasien dengan asuransi, yang telah mempunyai standart tertentu di dalam paket pelayanan mereka, terkadang pasien membutuhkan obat yang tidak termasuk dalam paket yang telah ditentukan, sehingga ia harus mengeluarkan dana ekstra untuk itu, ceritanya menjadi lain ketika ia tidak mempunyai dana ekstra yang dibutuhkan. 2. Manajemen nyeri dengan pendekatan farmakologik Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani rasa nyeri : a. Analgetika golongan non narkotika b. Analgetika golongan narkotika c. Adjuvan 3. Prosedur invasif Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid melalui intraspinal, cra ini dapat memberikan efek analgesik yang kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy) teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis. Kesimpulan Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itu kita tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan non farmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi/ penanganan nyeri pasien. Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda terhadap nyeri, sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu yang satu dengan yang lainnya. Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri yang dirasakan oleh pasien. Implikasi keperawatan 1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu. 2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap. 3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien. 4. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan dikuasai oleh perawat.

TIPS MENGATASI NYERI. Nyeri adalah perasaan spesifik seseorang yang diinformasikan oleh mekanisme pertahanan organisasi tubuh terhadap suatu lesi (kerusakan jaringan). Nyeri merupakan reflek perlindungan (proteksi) yang disebabkan oleh adanya gejala/potensi kerusakan jaringan tubuh akibat suatu rangsangan. Reflek perlindungan itu muncul agar jaringan tidak bertambah rusak atau terhindar dari kerusakan, Jadi rasa nyeri dapat timbul jika ada rangsangan, dan ada yang menerima rangsangan. Kemudian reaksi yang muncul dari tubuh adalah rasa nyeri yang diungkapkan dengan bermacam istilah: ngilu, pedih, pegal, linu, tertusuk-tusuk, cekot-cekot dan sebagainya. Pokoknya, semua ungkapan yang tidak enak bagi tubuh adalah nyeri. Mengapa nyeri disebut sebagai reflek perlindungan? Coba kita bayangkan seandainya tubuh tidak memiliki rasa nyeri. Barangkali mudah sekali terjadi kerusakan pada jaringan tubuh. Misalnya, jika kaki terkena paku, pergelangan kaki keseleo, jari terkena api rokok, lidah minum air panas, atau pantat terjepit kursi, kita tentu tidak merasakan apa-apa dan tidak ada reaksi tubuh. Untunglah kita diberi rasa nyeri, sehingga ketika kita mengalami kejadian seperti di atas kita akan merasa nyeri, kemudian bereaksi untuk menghindar, sehingga jaringan tidak bertambah rusak. Jika rasa nyeri terasa pada salah satu jaringan otot urat, itu berarti pertanda ada kerusakan atau kelainan pada jaringan tersebut. Misalnya nyeri/ngilu pada otot belakang bagian tengah kaki kanan, yaitu musculus biset pemoris (otot paha besar). Untuk perawatan/pemulihannya, perlu pijat massage guna memotong saluran penyebab nyeri. Pertama, lakukan pijat massage pada pinggul kanan. Langkah ini bertujuan memberi rangsangan menyeluruh pada saraf, urat dan otot pinggul, serta melancarkan peredaran darah agar seluruh jaringan menjadi lentur. Kedua, lakukan pijat massage pada bagian paha belakang. Langkah ini bertujuan menghentikan atau menghilangkan rasa nyeri. Itulah kegunaan rasa nyeri. Jelasnya rasa yang tidak mengenakkan itu merupakan isyarat bahwa jaringan tubuh minta diperhatikan atau minta penanganan khusus. Pada prinsipnya, rasa nyeri bisa diobati dengan tiga cara. Pertama menghilangkan penyebabnya. Kedua, meningkatkan daya tahan tubuh, dan ketiga memotong transmisi nyeri. Menghilangkan Penyebab Nyeri Nyeri akibat infeksi atau bakteri dapat dihilangkan dengan mengobati atau

melenyapkan faktor penyebabnya, yakni dengan pemberian obat guna membunuh kuman/bakteri. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh. Nyeri juga dapat ditekan dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi. Misalnya, memberikan vitamin, terapi media, terapi massage (pijat) dan lain-lain. Memotong Jalur Transmisi Nyeri Pada dasarnya segala bentuk pengobatan terhadap nyeri adalah dengan melakukan blokade syaraf sensorik. Ini dapat dilakukan dengan pemberian obatobatan yang sifatnya menekan fungsi nociceptor (saraf nyeri). Sedangkan untuk menekan peningkatan aliran pembuluh darah pada saraf fasomotor (saraf penggerak), dapat dilakukan dengan pelepasan adrenalin neurogenik (kepala kelenjar yang memberi perintah) yang mengakibatkan getaran (fasokontraksi) dan dapat dibantu dengan depresi emosi (penurunan kadar emosi). Menurunkan Rasa Nyeri dengan Massage Contohnya, nyeri akibat sakit gigi (odontalgin) yakni nyeri gigi atau geraham. Lakukan pemijatan pada urat otot bahu dan leher. Lenturkan dan hancurkan kristal-kristal pada jaringan tubuh agar larut dalam peredaran darah. Rahang atas dan bawah rawat dengan pijat. Rangsang urat dan saraf rahang atas serta bawah sampai lentur dan rileks sehingga saraf dapat berfungsi baik. Ada tiga kelenjar yang diterapi yakni kelenjar pituilarian (memproduksi lendir dan air ludah), kelenjar tyroid (kelenjar gondok) dan kelenjar adrenalin (generator syaraf sensorik). Karena itu, rawatlah tubuh agar tidak terjadi infeksi dan tahan terhadap gangguan penyakit.

http://andaners.wordpress.com/2010/11/24/manajemen-nyeri-disertai-tipsmengatasi-nyeri/

MANAJEMEN NYERI AKUT DAN NYERI REFRAKTER Posted by joe pada 29/08/2009

dr. Joko Murdiyanto, Sp. An PENDAHULUAN Woolf (1989) secara kualitatif membagi nyeri menjadi dua jenis yakni nyeri fisiologis dan nyeri patologis. Perbedaan utama antara kedua jenis nyeri adalah bahwa nyeri fisiologis adalah sensor normal yang berfungsi sebagai alat proteksi tubuh, sedangkan nyeri patologis merupakan sensor abnormal yang menderitakan seseorang. Nyeri patologis merupakan sensasi yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan atau akibat adanya kerusakan saraf. Jika proses inflamasi mengalami proses penyembuhan normal sehingga menghilang sesuai dengan penyembuhan disebut sebagai adaptive pain yang lazim dikenal sebagai nyeri akut. Di pihak lain, kerusakan saraf justru berkembang menjadi intractable pain setelah penyembuhan usai, disebut sebagai maladaptive pain, dan lazim dikenal sebagai neuropathic pain. lanjut KONSEP UTAMA Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya (misal: nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik), etiologinya (misal: nyeri postoperatif dan nyeri kanker), ataupun area yang dipengaruhinya (misal: nyeri kepala dan nyeri punggung bawah). Nyeri nosiseptif diakibatkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang menghantarkan stimulus noxious. Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cidera atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang dihasilkan oleh stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit, atau abnormalitas struktur otot maupun visera. Nyeri ini hampir selalu bersifat nosiseptif. Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya. Modulasi nyeri terjadi secara periferal pada nosiseptor, pada korda spinalis, atau struktur supra spinal. Modulasi ini dapat diinhibisi ataupun difasilitasi.

Nyeri akut moderate sampai berat, tergantung lokasinya, dapat mempengaruh fungsi organ di sekitarnya dan memiliki peran pada morbiditas maupun mortalitas perioperatif. Blokade neural dengan anestesi lokal dapat digunakan untuk membatasi mekanisme nyeri, namun yang lebih penting, blokade ini memainkan peran penting dalam manajemen pasien dengan nyeri akut maupun kronis. Secara umum, peran antidepresan yang utama adalah mengatasi keluhan pasien dengan nyeri neuropatik seperti postherpetik neuralgia dan neuropati diabetika. Agen ini memperlihatkan efek analgesik pada dosis yang lebih rendah daripada dosis efek antidepresannya. Antikonvulsan biasanya digunakan pada pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia trigeminal dan neuropati diabetika. Stimulasi corda spinalis paling efektif untuk nyeri neuropatik. Mekanisme yang diajukan adalah aktivasi descending modulating system dan inhibisi symphatetic outflow. Indikasi stimulasi corda spinalis yang dapat diterima meliputi sympathetically mediated pain, lesi korda spinalis dengan nyeri segmental terlokalisasi, phantom limb pain, iskemia ekstremitas bawah karena penyakt vaskular perifer, serta adhesive arachnoiditis. Penggunaan gabungan anestetika lokal dan opioid adalah teknik yang sangat bagus untuk menangani nyeri postoperatif setelah suatu prosedur yang melibatkan abdomen, pelvis, thorax maupun ortopedik. Efek samping yang serius dari penggunaan opioid epidural atau intratekal adalah dose-dependent dan depresi respirasi. Kebanyakan kasus depresi respirasi terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi opioid parenteral atau sedatif. Pasien yang berusia tua atau mereka yang mengalami sleep apnea tampaknya lebih rentan terhadap efek samping tersebut, sehingga memerlukan pengurangan dosis. Dependensi fisik terjadi pada semua pasien yang menggunakan opioid dosis besar dalam waktu yang lama. Fenomena withdrawl dapat dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid. Multiple trigger dapat menginduksi terjadinya sympathetically maintained pain, yang seringkali mengalami overlooked atau misdiagnosis. Pasien sering berespon secara dramatis terhadap blok simpatis. Tingkat penyembuhan sangat tinggi (lebih dari 90%) jika terapi dimulai dalam 1 bulan sejak ditemukannya gejala. DEFINISI dan KLASIFIKASI NYERI Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).

Menurut IASP (The International Association for Study of Pain), nyeri adalah pengalaman dan emosi sensori yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial rusak. Definisi ini menggambarkan adanya suatu gabungan antara komponen objektif, aspek psikologis nyeri serta faktor subjektif dan emosi. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antara orang yang satu dengan orang yang lain dan pada orang yang sama dalam waktu yang berbeda. Terminologi nosisepsi yang diambil dari kata noci yang berarti cidera, digunakan untuk mendeskripsikan respon neural terhadap stimulus traumatik maupun noxious. Semua nosisepsi menghasilkan nyeri, namun tidak semua nyeri merupakan hasil nosisepsi. Banyak pasien merasakan nyeri tanpa suatu stimulus noxious. Karenanya, secara klinis kita membagi nyeri ke dalam dua kategori yaitu (1) nyeri akut, biasanya karena nosisepsi dan (2) nyeri kronis, mungkin karena nosisepsi, namun dengan faktor psikologis dan behavioral sebagai faktor utama. A. Nyeri akut Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot dan visera. Sifatnya hampir selalu nosisepsi. Nyeri nosiseptif dihadirkan untuk mendeteksi, melokalisasi dan membatasi kerusakan jaringan. Empat proses fisiologis yang terlibat adalah transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. -Transduksi Perubahan potensial nosiseptor menjadi arus elektro-biokimia / impuls sepanjang akson. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. -Transmisi Proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati cornu dorsalis korda spinalis menuju korteks serebri. -Modulasi Proses pengendalian interna oleh sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi impuls nyeri. -Persepsi Hasil rekonstruksi SSP tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil kerja sistem saraf sensoris, informasi kognitif dan pengalaman emosional. Tipe nyeri ini biasanya dihubungkan dengan stress neuro-endokrin (berkeringat, berdebar-debar) yang proporsional dengan intensitasnya. Nyeri ini dapat berupa nyeri postoperatif, nyeri obstetri, nyeri pada penyakit medis akut (AMI, pankreatitis, batu ginjal), dll. Kebanyakan nyeri akut dapat sembuh sendiri (self limited) atau menyembuh dengan pengobatan selama beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri gagal menyembuh baik karena abnormalitas proses penyembuhan maupun pengobatan yang tidak adekuat, nyeri dapat berkembang menjadi kronis. Dua tipe nyeri akut nyeri somatik dan nyeri viseral dibedakan berdasarkan asal nyeri dan gambaran klinisnya.

B. Nyeri kronis Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya. ANATOMI dan FISIOLOGI NOSISEPSI Pain pathway Ada tiga neuron yang terlibat dalam jalur nyeri 1. First order neuron; menghantarkan nyeri dari perifer ke medula spinalis 2. Second order neuron; menghantarkan nyeri dari medula spinals ke thalamus 3. Third order neuron; menghantarkan nyeri dari thalamus ke korteks Fisiologi Nosisepsi 1. Nosiseptor - Merupakan serabut saraf bebas (free nerve ending / serabut C), bersifat aferen (sensoris) - Reseptornya untuk rangsangan suhu, mekanik dan kimia; terutama rangsang pada jaringan yang rusak. - Tipenya: Mekanonosiseptor; pada sentuhan dan tusukan Silent nosiseptor; pada reaksi inflamasi Polimodal mekano-heat-nosiseptor; pada tekanan kuat, peningkatan suhu (>42C dan 2 Lamotrigine 24 25-400 2-20 Phenytoin 22 200-600 10-20 Topiramate 20-30 25-200 Unknown Valproic acid 6-16 750-1250 50-100 Kortikosteroid Glukokortikoid digunakan secara luas dalam manajemen nyeri karena efek antiinflamasi dan analgesik yang dimiliki. Agen ini dapat diberikan secara topikal, oral, atau parenteral (intravena, subkutan, intra bursa, intraartikular, dan epidural). Kelebihan glukokortikoid dapat menimbulkan hipertensi, hiperglikemi, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, ulkus peptik, osteoporosis, nekrosis aseptik caput femoral, myopati proximal, katarak, dan (jarang) psikosis. Kortikosteroid Rute pemberian Aktivitas glukokortikoid Aktivitas mineralokortikoid Dosis equivalen (mg) Waktu paruh (jam) Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 8-12 Prednisone O 4 0,8 5 12-36 Prednisolone O, I 4 0,8 5 12-36 Methyl-prednisolone O, I, T 5 0,5 4 12-36 Triamcinolone O, I, T 5 0 4 12-36 Betamethasone O, I, T 25 0 0,75 36-72 Dexamethasone O, I, T 25 0 0,75 36-72 O : oral, I : injectable, T : topical

Systemic Local Anaesthetics Anestetika lokal dapat digunakan secara sistemik pada pasien dengan nyeri neuropatik. Agen ini menghasilkan efek sedasi dan analgesi sentral. Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infus selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (i% solution) diinfuskan dengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus.

PATOFISIOLOGI DAN BLOKADE NYERIAbstrak Usaha untuk mengontrol atau mereduksi level nyeri, selalu menjadi salah satu aspek penting dari terapi medis. Pengetahuan mengenai patofisiologi terjadinya nyeri serta blokade terhadap nyeri merupakan dasar dari terapi. Dari definisi yang dibuat oleh IASP (International Association for the Study of Pain), nyeri memiliki komponen kognitif, emosional dan tingkah laku, selain komponen sensori. Paling sering, diklasifikasikan berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik). Sebagai dasar dari mekanisme terjadinya nyeri melalui jaras nyeri, terjadi empat proses dasar yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Melibatkan saraf sensoris untuk nyeri, nosiseptor, di perifer, medulla spinalis, dan struktural yang lebih tinggi di otak melalui serangkaian proses yang kompleks untuk menghasilkan sebuah persepsi berupa sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Proses yang kompleks ini melibatkan banyak mediator kimia dan reseptor. Blokade nyeri yang merupakan dasar dari terapi nyeri, dapat terjadi di semua tingkat, baik perifer, spinal dan supraspinal. Melibatkan banyak proses yang dapat dicapai dengan adanya intervensi farmakologis atau non-farmakologis. Kata kunci: nyeri, patofisiologi, blokade, nosiseptor, nosiseptif, neuropatik, transduksi, transmisi, modulasi, persepsi. I. Pendahuluan Pemahaman mengenai sensasi nyeri serta usaha untuk mengontrol atau mereduksi level nyeri, selalu menjadi salah satu aspek penting dari terapi medis. Dalam praktek, nyeri adalah masalah medis yang sering ditemui. Bahkan tidak jarang menjadi keluhan utama yang membuat pasien datang menemui dokter. Dari data yang ada, 9 dari 10 orang di Amerika secara reguler mengalami nyeri. Setiap tahunnya, 25 juta orang di Amerika mengalami nyeri akut karena trauma ataupun pembedahan dan 50 juta orang mengalami nyeri kronik. Nyeri kronik adalah penyebab tersering dari disabilitas dalam jangka waktu yang lama, dan hampir sepertiga dari orang di Amerika mengalami nyeri kronik yang berat pada masa hidupnya.1 Masalah lain adalah kenyataan bahwa sering kali penanganan terhadap nyeri tidak memadai. Penanganan yang tidak adekuat terhadap nyeri dapat menimbulkan kerugian secara fisik, psikologis dan finansial.1 Pemahaman akan mekanisme nyeri yang baik

dapat meningkatkan kualitas penanganan terhadap nyeri. Nyeri telah lama menjadi subjek yang sulit dimengerti. Namun pemahaman tentang nyeri saat ini telah mengalami revolusi. Awalnya pengertian nyeri hanya menitik beratkan pada sensasi yang disebabkan oleh adanya cedera atau penyakit. Saat ini telah berkembang dengan penjelasan mengenai proses yang lebih kompleks dan mengikutsertakan dimensi emosi dan kognitif selain sensorik. Sebagai dasar dari mekanisme nyeri adalah adanya jaras penghantar nyeri, yang bekerja menerima impuls dari perifer, serta menghantarkannya ke susunan saraf pusat sehingga dapat diterjemahkan sebagai sebuah persepsi yang sensasi yang tidak menyenangkan atau mengancam. Proses ini menyangkut empat kejadian yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi, yang melibatkan berbagai macam struktural baik saraf sensoris perifer, medula spinalis serta struktur yang lebih tinggi di batang otak dan korteks. Proses yang kompleks ini melibatkan berbagai mediator kimia dan reseptornya. Demikian pula dengan proses blokade nyeri yang berkaitan dengan usaha mengontrol atau mereduksi nyeri. Blokade ini dapat terjadi pada setiap tingkatan proses dari mekanisme terjadinya nyeri, baik di perifer, tingkat spinal ataupun supraspinal. Blokade nyeri ini dapat merupakan hasil dari intervensi secara farmakologis ataupun nonfarmakologis. Sebagai dokter anestesiologi, nyeri adalah hal yang dihadapi dalam praktek sehari-hari, terutama nyeri akut akibat pembedahan. Karena itu pemahaman yang baik mengenai patofisiologi dan juga blokade nyeri menjadi suatu keharusan sebagai bekal penanganan nyeri. II. Definisi Nyeri Pengertian nyeri telah coba dijelaskan sejak lama. Aristoteles yang mendeskripsikan bahwa ada lima indra yang dimiliki manusia, yaitu pengelihatan, penciuman, pendengaran, rasa dan sentuhan, mendeskripsikan nyeri sebagai passion of the soul.2 Beberapa ahli setelahnya banyak pula yang mendeskripsikan nyeri sebagai sebuah emosi. Pengertian ini memicu berkembangnya teori psikis dari nyeri. Lain halnya dengan Rene Descartes, ia mencoba menjelaskan nyeri sebagai sebuah proses fisiologis, suatu respon terhadap rangsangan. Ia menyatakan bahwa proses nyeri seperti kejadian dimana orang membunyikan lonceng gereja, aktifitas menarik tali disatu sisi akan menimbulkan lonceng berdentang di sisi lain.2 Konsep ini membawa teori spesifik mengenai jaras nyeri. Banyak pula orang yang setuju dengan penjelasan nyeri sebagai proses fisiologis. Bahkan penjelasan mengenai terjadinya nyeri selama bertahun-tahun hanya berkisar pada proses pada jaras ini. Pada tahun 1968, Mc Caffery mendefinisikan nyeri sebagai whatever the experiencing person says it is, existing whenever s/he says it does.1 Definisi ini mengutamakan nyeri sebagai pengalaman subjektif tanpa adanya ukuran yang objektif, dimana pendapat pasien adalah indikator utama dari ada atau tidaknya nyeri serta intensitasnya. IASP (International Association for the Study of Pain) memberikan definisi Nyeri sebagai unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential damage, or discribe in terms of such damage. And pain is always subjectif. Each indifidual learns the application of the word through experience related injury in early life.1,2,3 Definisi ini menggambarkan nyeri sebagai pengalaman yang kompleks menyangkut multidimensional. Definisi diatas mengandung dua poin penting, yaitu bahwa secara normal nyeri dianggap

sebagai indikator sedang atau telah terjadinya cedera fisik. Namun tidak berarti bahwa pasti terjadi cedera fisik dan intensitas yang dirasakan dapat jauh lebih besar dari cedera yang dialami. Yang kedua bahwa komponen kognitif, emosional dan tingkah laku dari nyeri dipengaruhi oleh proses belajar dari pengalaman yang lalu tentang nyeri baik yang dialami ataupun yang orang lain alami. III. Klasifikasi Nyeri Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik). III.1. Nosiseptik vs Neuropatik Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang).1,3 Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada organ viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain). Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal, secara umum ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli dan nyerinya mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang terjadi dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai sensasi tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).1 Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat.1,3,4 Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi menjadi peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation pain, sympathetically maintained pain, dan central pain. Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi bila terjadi perubahan patofisiologis yang menetap setelah penyebab utama nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun proses sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun cedera saraf dapat membuat perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri neuropatik memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten. Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.1,4

III.2. Akut vs Kronik Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang kompleks berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ visera.1,3 Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif terhadap cedera jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan respon autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri neuropatik. Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses yang terjadi akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan selesai.1,3 Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional seseorang. Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya. Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with cancer) dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah karena komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang sangat beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari segi waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri (invasi tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau radioterapi).1 IV. Mekanisme Dasar Nyeri Mekanisme dasar terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah proses penyampaian informasi adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistim saraf pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang berpotensi atau merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Bagaimana informasi ini di terjemahkan sebagai nyeri melibatkan proses yang kompleks dan masih banyak yang belum dapat dijelaskan. 1,5,6 Deskripsi makasnisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.1,5 Pengertian transduksi adalah proses konversi energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Persepsi merupakan proses apresiasi atau pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat, namun biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses di kornu dorsalis medulla spinalis.1 IV.1. Anatomi Jaras Nyeri Sebuah sel saraf secara umum terdiri dari badan sel (dimana terdapat inti sel), dendrit (berupa cabang kecil), dan akson (berupa proyeksi panjang dari membran dan

sitoplasma, dapat dibungkus dengan myelin atau tidak). Sel saraf yang berperan dalam nosisepsi adalah sel saraf sensorik. Sel saraf ini juga disebut sebagai sel ordo pertama atau sel afferen primer. Sel ini merupakan sel unipolar, dimana akson dan dendrit bersambung, dan badan sel terletak disalah satu sisinya.7 Badan sel dari sel saraf sensorik terletak di ganglia dorsalis, dekat dengan medulla spinalis, dan memiliki satu akson dengan cabang yang pendek menuju medulla spinalis di kornu dorsalis dan cabang yang panjang menuju ke perifer yang berakhir pada jaringan. Ujung serabut perifernya berfungsi menerima rangsangan sensorik dan mengubahnya menjadi impuls saraf. Sedangkan ujung yang berada di kornu dorsalis membentuk hubungan dengan neuron di kornu dorsalis melalui sinaps.6,7 (gambar 1) Gambar 1. Serabut saraf aferen primer6

Namun beberapa serabut saraf afferen primer ini, type C, memasuki spinal melalui jalur ventral, tempat keluarnya serabut motorik.3,7 Hal ini menjelaskan rasa nyeri yang timbul pada perangsangan di ventral dan menetapnya rasa nyeri walau telah terjadi transeksi dari serabut saraf dorsalis (rhyzotomi). Serabut saraf nyeri yang berasal dari daerah kepala dibawa oleh saraf cranial Trigeminus (V), Fasial (VII), Glossofaringeal (IX), dan Vagal (X). Badan sarafnya terletak pada, secara berurutan, ganglia gasserian, ganglia genikulata, ganglia superior dan petrosa, serta ganglion jugular (somatic) dan nodusum (visceral).3 Ujung saraf aferen primer yang berfungsi menerima rangsangan nyeri dikenal sebagai nosiseptor. Nosiseptor ini dapat berupa interoseptor, yang menerima rangsangan di organ dalam, atau eksteroseptor, yang menerima rangsangan dari luar tubuh. Beberapa nosiseptor berbentuk reseptor khusus, sisanya berupa ujung saraf bebas. Badan pacini dan muscle spindle adalah nosiseptor yang menerima rangsangan berupa distorsi mekanik ambang rendah dari jaringan, secara berurutan letaknya ada di kulit dan otot rangka. Ujung saraf bebas berfungsi sebagai nosiseptor terhadap distorsi mekanik ambang tinggi pada jaringan juga rangsangan yang disebabkan oleh suhu dan kimia (disebut juga alogen), seperti asam, peningkatan kadar kalium, asam lemak, dan bermacam peptida (serotonin, bradykinin dan prostaglandin).1,6,7 dan C. Rangsangan noksius di viseral agak sedikit berbeda yaitu distensi dari organ berlumen, spasme otot polos, tarikan pada mesenterium, iskemia, dan kimia endogen yang berkaitan dengan inflamasi.3,8 yang berbentuk badan pacini pada mesenterium, umumnya adalah ujung saraf bebas dari serabut A Nosiseptor yang terletak di viseral, selain serabut saraf tipe A Untuk persarafan viseral memiliki kekhususan, yaitu memiliki dua jalur persarafan baik vagus dan nervus spinalis atau nervus pelvic dan nervus spinalis. Nervus vagus dan pelvic membawa persarafan parasimpatis untuk organ visera. Persarafan oleh vagus saat ini terbukti berperan dalam kemonosisepsi dan aspek afektif dari nyeri. Nervus spinalisnya sering ditemui berjalan bersama dengan nervus simpatik eferen, sehingga melalui ganglia prevertebra (simpatik) sebelum ganglia paravertebra (dorsalis). Serabut sarafnya dapat berprojeksi dengan saraf simpatik, sehingga mempengaruhi fungsi, dapat pula berprojeksi ke atas atau ke bawah di trunkus simpatikus, sebelum akhirnya menuju kornu dorsalis. Di kornu dorsalis sendiri projeksinya sangat difus, dapat naik atau turun beberapa dermatom atau menyebrang ke kontra lateral. Selain berakhir di lamina rexed

I dan II, serabutnya juga berakhir di lamina X.3,8 Pada dasarnya semua akson, baik yang bermielin atau tidak, diselubungi oleh lapisan myelin.6,7 Beberapa serabut yang tidak bermielin diselubungi oleh satu lapis myelin dari satu sel schwan, sedangkan akson yang bermielin diselubungi oleh beberapa lapisan myelin dari satu sel schwan. Akson yang dilapisi sel mielin ini memiliki jeda atau bagian yang tidak bermielin, dimana lapisan myelin selanjutnya berasal dari sel schwan yang berbeda. Jeda ini disebut nodus ranvier. m dan kecepatan hantaran 1 mps.3 m dan kecepatan hantaran 18 mps. Sedangkan tipe C memiliki ukuran kurang dari 2 , yang secara berurutan menggambarkan derajat mielinisasi dari paling tinggi ke rendah. Serabut tipe B adalah serabut bermielin yang lebih kecil, berukuran 2-4 dan A , A m. serabut ini bermielin, dan memiliki kecepatan hantar 140 meter per detik (mps). Serabut tipe A dibagi lagi menjadi serabut A Akson diklasifikasikan berdasarkan hubungan dari ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran. Serabut tipe A, memiliki serabut paling besar yaitu 4-20 yang biasanya menyampaikan informasi sentuhan terkadang dapat pula berperan sebagai nosiseptor bila disensitisasi.1 Serabut saraf aferen untuk tipe A dapat juga diklasifikasikan menjadi tipe 1 dan tipe 2. Sifat dari dua tipe ini dapat dilihat pada tabel 1. memberikan informasi dengan frekuensi impuls yang lebih, hantaran yang lebih cepat dan informasinya lebih spesifik atau lebih mudah di diskriminasikan, sering juga disebut first pain, sedangkan serabut C sebaliknya atau sering disebut second pain . Serabut A dan C, nosiseptor A menghantarkan informasi tentang stimulus mekanik baik yang ambang rendah atau yang ambang tinggi sering kali memiliki ujung saraf khusus. Sebagian yang lain juga menghantarkan sensasi dari rangsang suhu. Serabut C menghantarkan impuls dari stimulus mekanik ambang tinggi, suhu dan kimia. Ujungnya umumnya tidak berdiferensiasi khusus. Sering disebut C-polimodal nosiseptor. Secara mudahnya sebagai aturan umum untuk membuat perbedaan antara nosiseptor A dan C.1,5,6,7 Serabut A , dan C. yang umumnya mengantarkan impuls nosiseptif adalah serabut saraf A , A Serabut saraf sensorik biasanya adalah serabut saraf tipe A Pada saat akan memasuki kornu dorsalis, serabut saraf secara teratur memiliki tendensi untuk berkumpul dengan golongannya. Serabut yang besar akan masuk dengan posisi di medial sedangkan yang kecil akan ada di lateral.3,6 Beberapa dapat naik atau turun 1-3 segmen medulaspinalis membentuk traktus dorsolateralis (lissauer) sebelum Tabel 1. Perbandingan antara serabut nosiseptor A tipe I dan tipe II.10 Karakteristik Tipe I Tipe II Ambang rangsang panas terhadap stimuli singkat Tinggi Rendah Ambang rangsang panas terhadap stimuli lama Rendah Rendah Respon terhadap panas yang intens Meningkat perlahan Adaptasi Latensi respon terhadap panas yang intens Panjang Pendek Puncak latensi terhadap panas yang intens Lambat Cepat Ambang rangsang terhadap stimuli mekanik Sensitif Kurang sensitif Conduction velosity Serabut A dan A Serabut A Sensitisasi terhadap cedera akibat panas Ya Tidak Lokasi Kulit berambut dan glabrous skin Kulit berambut akhirnya berhubungan dengan neuron di kornu dorsalis (neuron Ordo 2) melalui sinaps. Beberapa berhubungan dengan neuron ordo 2 melalui interneuron. Neuron di kornu dorsalis secara mikroskopik membentuk lapisan-lapisan yang disebut lamina Rexed. Ada empat lamina yang berperan utama dalam nosiseptif yaitu lamina I,

II, IV dan V.2,6 Lamina I atau disebut lapisan marginal, mengandung neuron yang besar. Neuron ini spesifik menerima input nosisepsi, dan memiliki informasi lapangan somatic yang diskret. Neuron ini sebagian akan menyeberang dan memproyeksikan ke thalamus melaluai jalur yang disebut traktus spinothalamikus, sebagian yang lain berproyeksi intra dan intersegmen sebagai interneuron yang memperantai refleks. . , atau C, dari yang tidak berbahaya hingga yang paling berbahaya, sehingga dinamakan neuron wide-dynamic-range (WDR). Dengan derajat yang sedikit lamina X menerima input dari serabut saraf nosisepsi tipe A , A Lamina II disebut substansia gelatinosa, menerima input dari serabut A dan C, yaitu stimuli suhu, kimia dan mekanik. Sedangkan lamina IV dan V diebut nucleus propius, neuronnya terbagi dua golongan besar yaitu yang merespon input dari serabut A (stimuli suhu dan mekanik ambang rendah), atau yang merespon input dari stimulus yang bervariasi yang dibawa serabut saraf tipe A Neuron di kornu dorsalis berperan menghantarkan impuls dari kornu dorsalis ke bagisnbagian yang lebih tinggi di SSP. Impuls yang telah melalui proses modulasi di kornu dorsalis akan dihantarkan melalui bundle yang disebut traktus ascenden. Dari kornu dorsalis, beberapa serabut saraf yang memprojeksikan sinyal ke thalamus melalui traktus spinotalamikus. Jaras ini dianggap sebagai jaras utama penghantaran nyeri. Ada pula yang memprojeksikan ke formasio reticularis, mesensefalon, hipothalamus, thelensefalon, dan nucleus servikalis lateral, melalui traktus spinoretikular, spinomesensefalik dan spinohipothalamik, spinothelensefalik serta spinoservikalis. Jarasjaras ini dianggap sebagai jaras alternatif, namun tidak kalah penting. Ada pula beberapa serabut di kolumna dorsalis, yang terutama menghantarkan input sensorik non-nosiseptif, yang responsive terhadap nyeri. 1,2,3 Selain berprojeksi dengan neuron yang akan menghantarkan impuls ke susunan saraf pusat yang diatas, serabut saraf aferen primer juga berprojeksi dengan dengan serabut motorik baik somatik ataupun simpatis, baik secara langsung ataupun melalui interneuron. Hubungan ini memperantarai terjadinya reflek respon segmental, yaitu aktifitas otot, vasokonstriksi, menurunnya tonus atau spasme otot gastrointestinal dan traktus urinarius dan pelepasan katekolamin.3,9 Projeksi dan mekanisme yang terjadi di atas tingkat medulla spinalis sangat kompleks. (gambar 2) Projeksi ke formasio retikularis akan diteruskan lagi menuju thalamus. Projeksi ke thalamus diterima dibeberapa bagian, kompleks ventrobasal menerima input yang secara somatotipikal terorganisasi baik. Nukleus thalamus medial berhubungan dengan input dari viseral, melayani integrasi dari somatosensori dan Gambar 2. Jaras asenden2 ACC=anterior cingulate cortex; PO=posterior Nuclear Complex; AMYG=amygdala; HT=Hypothalamus; M1=primary motor area; MDvc=ventrocaudal medial dorsal nucleus; NS=nociceftif specific; PAG=periaquaductal grey; PB=parabrachial nukleus; PCC=posterior cingulate cortex; PF=prefrontal cortex; PPC=posterior parietal complex; S1,S2=first,second somatosensory cortical areas; SMA=suplementary motor area; VPL=ventro posterior lateral nukleus; WDR=wide dynamic range. aktifitas limbik. Sedangkan nukleus intralaminaria menerima projeksi dari traktus spinothalamikus dan mengirimkannya ke area luas di kortek serebral. Pada tingkat ini terjadi pula hubungan dengan sitem saraf simpatis, yang memperantarai

apa yang disebut respon refleks suprasegmental. Reflek ini akan meningkatkan lebih lanjut aktifitas jantung, metabolisme dan kebutuhan akan oksigen, serta menyebabkan pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, adrenocorticotropic hormone (ACTH), adrenodiuretic hormone (ADH), glokagon dan aldosteron.9 Daerah luas di korteks serebri menerima projeksi dari thalamus. Lobus parietal berperan dalam menentukan lokalisasi dari nyeri. Sedangkan lobus frontalis yang menerima projeksi dari nukleus thalamus medial berperan dalam aspek afektif dari nyeri melalui hubungannya dengan sistim limbik. Melalui hubungan ini dapat terjadi pula aktifitas simpatis, yang akan meningkatkan pula pelepasan katekolamin dan kortisol.9 Beberapa bagian yang dianggap berperan penting dalam proses ini yaitu thalamus, daerah abuabu periakuaduktal, insula serta korteks singulata.2,6 IV.2. Fisiologi Nyeri Rangsangan noksius, baik mekanik, suhu atau kimia, secara langsung akan merangsang nosiseptor melalui bekerjanya saluran natrium atau kation non-selektif.4 Saluran ion ini dapat bekerja dengan adanya perubahan struktur membran setelah adanya stimuli mekanik. Untuk rangsang suhu terdapat reseptor TRPV1-4 (Transien Reseptor Potential Vaniloid 1-4), yang memiliki pembagian batasan rangsangan yaitu suhu ~2734C untuk TRPV 4, 3339C untuk TRPV 3, >42C untuk TRPV1 yang juga dirangsang oleh capsaicin, camphor, dan asam (proton), dan >52C untuk TRPV2.pada nosiseptor yang paling utama adalah TRPV1.4,10,11 Untuk rangsang dingin ditengarai adanya reseptor TRPM8 (Transien Reseptor Potential M 8) untuk suhu