Panduan manajemen nyeri

45
1 RSUD Kota Depok BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian yang berbeda-beda dalam kehidupannya, Perilaku dan kepribadian didasarkan dari berbagai macam faktor penyebab, salah satunya faktor lingkungan, yang berusaha beradaptasi untuk bertahan dalam kehidupannya. Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar dalam beradaptasi menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan cara selalui berespon bila terjadi tubuh terkena hal yang negatif dengan berusaha menyeimbangkannya kembali sehingga dapat bertahan atas serangan negatif, misal mata kena debu maka akan berusaha dengan mengeluarkan air mata. Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu tinggal, seperti kita ketahui bahwa di Indonesia sangat beragam budaya dengan berbagai macam corak dan gaya, mulai dari logat bahasa yang digunakan, cara berpakaian, tradisi prilaku keyakinan dalam beragama, maupun merespon atas kejadian dalam kehidupan sehari-harinya seperti halnya dalam menangani rasa nyeri akibat terjadi perlukaan dalam tubuh dengan direspon oleh manusia dengan berbagai macam adaptasi, mulai dari suara meraung-raung, adajuga cukup dengan keluar air mata dan kadang dengan gelisah yang sangat. Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui atas berbagai perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan terhadap nyeri yang dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara obyektif, maka untuk itu RSUD Kota Depok menyusun panduan dalam penanganan nyeri. B. TUJUAN Panduan Manajemen Nyeri ini disusun dengan tujuan adanya standarisasi dalam asesmen dan manajemen nyeri di RSUD Kota Depok sehingga kualitas pelayanan kesehatan khususnya penanganan nyeri di RSUD Kota Depok semakin baik.

Transcript of Panduan manajemen nyeri

Page 1: Panduan manajemen nyeri

1 RSUD Kota Depok

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian

yang berbeda-beda dalam kehidupannya, Perilaku dan kepribadian didasarkan dari

berbagai macam faktor penyebab, salah satunya faktor lingkungan, yang berusaha

beradaptasi untuk bertahan dalam kehidupannya.

Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar dalam

beradaptasi menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan cara selalui

berespon bila terjadi tubuh terkena hal yang negatif dengan berusaha

menyeimbangkannya kembali sehingga dapat bertahan atas serangan negatif,

misal mata kena debu maka akan berusaha dengan mengeluarkan air mata.

Keseimbangan juga terjadi dalam budaya daerah dimana manusia itu

tinggal, seperti kita ketahui bahwa di Indonesia sangat beragam budaya dengan

berbagai macam corak dan gaya, mulai dari logat bahasa yang digunakan, cara

berpakaian, tradisi prilaku keyakinan dalam beragama, maupun merespon atas

kejadian dalam kehidupan sehari-harinya seperti halnya dalam menangani rasa

nyeri akibat terjadi perlukaan dalam tubuh dengan direspon oleh manusia dengan

berbagai macam adaptasi, mulai dari suara meraung-raung, adajuga cukup dengan

keluar air mata dan kadang dengan gelisah yang sangat.

Atas dasar tersebut maka sebagai pemberi terapi medis harus mengetahui

atas berbagai perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam

penanganan terhadap nyeri yang dirasakan oleh setiap orang dapat melakukan

pengkajian dan tindakan pemberian terapi secara obyektif, maka untuk itu RSUD

Kota Depok menyusun panduan dalam penanganan nyeri.

B. TUJUAN

Panduan Manajemen Nyeri ini disusun dengan tujuan adanya standarisasi

dalam asesmen dan manajemen nyeri di RSUD Kota Depok sehingga kualitas

pelayanan kesehatan khususnya penanganan nyeri di RSUD Kota Depok semakin

baik.

Page 2: Panduan manajemen nyeri

2 RSUD Kota Depok

C. DEFINISI

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya

kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik

dan emosional yang merasakan seolah–olah terjadi kerusakan jaringan

(interational association for the study of pain).

2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,

memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.

3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri

kronik yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan

sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.

Page 3: Panduan manajemen nyeri

3 RSUD Kota Depok

BAB II

RUANG LINGKUP

Ruang Lingkup pelayanan nyeri meliputi pelayanan bagi pasien-pasien di

Unit Gawat Darurat, Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap, dan Unit Kamar Operasi

RSUD Kota Depok.

Page 4: Panduan manajemen nyeri

4 RSUD Kota Depok

BAB II

TATALAKSANA

A. ASESMEN NYERI

1. Anamnesis

a. Riwayat Penyakit Sekarang

1) Onset nyeri akut atau kronik, traumatik atau non- traumatik.

2) Karakter dan derajat keparahan nyeri, nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa

terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.

3) Pola penjaaran / penyebaran nyeri

4) Durasi dan lokasi nyeri

5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,

mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik

6) Faktor yang memperhambat dan memperingan

7) Kronisitas

8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon

terapi

9) Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka

10) Penggunaan alat bantu

11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup

dasar (activity of daily living)

12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti

adanya faktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang

berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.

b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psiko- sosial

a) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika

b) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien

c) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yanga berpotensi menimbulkan

eksaserbasi nyeri

d) Pembatasan / restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang

berpotensi menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan

kooperasi pasien dengan program penanganan/ manajemen nyeri ke

depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan

psikoterapi / psikofarmaka

Page 5: Panduan manajemen nyeri

5 RSUD Kota Depok

e) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi

pasien/keluarga.

d. Riwayat pekerjaan

Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti

mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar merupakan

pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.

e. Obat-obat dan alergi

1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri

(suatu studi menunjuakan bahwa 14% populasi di Indonesia

mengkonsumsi suplemen /herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)

2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, efektifitas, dan

efek samping.

3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan

denga efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat keluarga

Evaluasi riwayat medis terutama penyakit genetik.

g. Asesmen sistem organ yang komprehensif

1) Evaluasi gejala kardiovaskular psikiatri pulmoner, gastrointestial,

neurolgi, reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal.

2) Gejala kontitusional penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat

malam, dan sebagainya.

2. Asesmen Nyeri

a. Asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale

1) Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun yang

dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang

dirasakannya.

2) Instruksi pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan

dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.

0 = tidak nyeri

1 – 3 = nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi

dengan baik)

4 – 6 = nyeri sedang (secara obyektif pasien menyeringai, dapat

menunjukan lokasi nyeri, atau mendeskripsikan, dapat mengikuti

perintah dengan baik)

Page 6: Panduan manajemen nyeri

6 RSUD Kota Depok

7 – 9 = nyeri berat (secara objektif pesien terkadang tidak mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan dan menunjukan lokasi

nyeri, tidak dapat mendiskripsikan dan tidak dapat diatasi dengan alih

posisi nafas. distraksi )

10 = nyeri yang sangat (pasien sudah tidak dapat mendiskripsikan

lokasi nyeri, tidak dapat berkomunikasi, memukul)

b. Asesmen Nyeri menggunakan Wong Baker FACES pain scale

1) Indikasi : pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen

2) Instruksi : pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang

paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi

nyeri

0 tidak merasa nyeri

1 sedikit rasa nyeri

2 nyeri ringan

3 nyeri sedang

4 nyeri berat

5 nyeri sangat berat

Gambar 3.1 Wong Baker Faces Pain Rating Scale

c. Asesmen Nyeri menggunakan COMFORT scale

1) Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang kamar operasi atau

ruang rawat inap yang tidak dapat menggunakan Numeric rating scale

atau wong-baker FACES scale.

2) Instruksi : terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki 1-5 dengan

skor total antara 9 – 45.

Kewaspadaan

Ketengan

Distress pernapasan

Page 7: Panduan manajemen nyeri

7 RSUD Kota Depok

Menangis

Pergerakan

Tonus otot

Tegangan wajah

Tekanan darah basal

Denyut jantung basal

Tabel 3.1 COMFORT Scale

Kategori Skor Tanggal Waktu

Kewapadaan 1- Tidur pulas / nyenyak

2- Tidur kurang nyenyak

3- Gelisah

4- Sadar sepenuhnya dan waspada

5- Hiper alert

Ketenangan 1- Tenang

2- Agak cemas

3- Cemas

4- Sangat cemas

5- Panik

Distress

pernapasan

1- tidak ada respirasi spontan dan tidak

ada batuk

2- respirasi spontan dengan sedikit /

tidak ada respon terhadap ventilasi

3- kadang-kadang batuk atau terdapat

tahanan terhadap ventilasi

4- seringa batuk, terdapat tahanan /

perlawanan terhadap ventilator

5- melawan secara aktif terhadap

ventilator, batuk terus-menerus /

tersedak

Menangis 1- bernapas dengan tenang, tidak

menangis

2- terisak-isak

3- meraung

4- menangis

5- berteriak

Pergerakan 1- tidak ada pergerkan

2- kadang-kadang bergerak perlahan

3- sering bergerak perlahan

4- pergerakan aktif / gelisah

5- pergerakan aktif termasuk badan

dan kepala

Page 8: Panduan manajemen nyeri

8 RSUD Kota Depok

Tonus otot 1- otot relaks sepenuhnya tidak ada

tonus otot

2- penurunan tonus otot

3- tonus otot normal

4- peningkatan tonus otot dan rileks jari

tangan dan kaki

5- kekakuan otot ekstrim dan rileks jari

tangan dan kaki

Tegangan

wajah

1- otot wajah relaks sepenuhnya

2- tonus otot wajah yang nyata

3- tegangan beberapa otot wajah

terlihat nyata

4- tegangan hampir di seluruh otot

wajah

5- Seluruh otot wajah tegang meringis

Tekanan

darah basal

1- Tekanan darah di bawah batas

normal

2- Tekanan darah berada di batas

normal secara konsisten

3- Pengingkatan tekanan sesekali ≥

15% di atas batas normal (>3 kali

dalam observasi selama 2 menit)

4- Seringnya peningkatan tekanan

darah ≥ 15% di atas batas normal

(>3 kali dalam observasi selama 2

menit)

5- Peningkatan tekanan darah terus-

menerus ≥ 15%

Denyut

jantung basal

1- Denyut jantung di bawah batas

normal

2- Denyut jantung berada di batas

normal secara konsisten

3- Peningkatan denyut jantung sesekali

≥ 15% di atas batas normal (1-3 kali

dalam observasi selama 2 menit)

4- Seringnya penigkatan denyut

jantung ≥ 15% di atas batas normal

(> 3 kali dalam observasi selama 2

menit)

5- Peningkatan denyut jantung terus-

menerus ≥ 15%

Skor Total

Page 9: Panduan manajemen nyeri

9 RSUD Kota Depok

d. Pada pasien pengaruh obat anastesi, asesmen dan penanganan nyeri

dilakukan dengan cara pasien menunjukan respon berbagai ekspresi tubuh

atau verbal akan rasa nyeri

e. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa

jam dan menunjukan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:

1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan

pemeriksaan fisik pada pasien

2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri 1 jam setelah tatalaksana

nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang

menjalani prosedur kedokteran yang menyakitkan, sebelum tranfer

pasien dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.

3) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen

ulang setiap 8 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obatan intravena.

4) Pada nyeri akut/kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit -1jam

setelah pemberian obat nyeri

f. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai

menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis

atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri

neuropatik).

3. Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan umum

1) Tanda vital tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh

2) Ukuran berat badan dan tinggi badan pasien

3) Periksa apakah terdapat luka di kulit seperti jaringan paru akibat

operasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik

4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment) atrofi

otot, fasikulasi, disklororasi, dan edema.

b. Status mental

1) Nilai orientasi pasien

2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek dan segera.

3) Nilai kemampuan kognitif

4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi tidak ada

harapan, atau cemas.

Page 10: Panduan manajemen nyeri

10 RSUD Kota Depok

c. Pemeriksaan sendi

1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan

2) Nilai dan cacat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya

keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.

3) Nilai dan cacat pergerakan pasif dari sendi yang terlibat abnormal /

dikeluhkan oleh pasien ( saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya

limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.

4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri

5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen

d. Pemeriksaan motorik

Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan kriteria dibawah ini.

Tabel 3.2 Derajat Kekuatan Motorik

Derajat Definisi

5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat

4 Mampu melawan tahanan ringan

3 Mampu bergerak melawan gravitasi

2 Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu

melawan gravitasi

1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi/palpasi), tidak menghasilkan

pergerakan

0 Tidak terapat kontraksi otot

e. Pemerikasaan sensorik

Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum, pin prick),

gerakan, dan suhu.

f. Pemeriksaan neurologis lainnya

1) Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah

atau servikal dan sakit kepala

2) Pemeriksaan refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk

mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot

3) Nilai adanya refleks Babinskin dan Hoflimen (hasil positif menunjukan lesi

upper motor neuron).

4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan

melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-

Page 11: Panduan manajemen nyeri

11 RSUD Kota Depok

tibia), tes disdiadokokinesia, tes keseimbangan (Romberg dan Romberg

modifikasi).

Tabel 3.3 Pemeriksaan Refleks

Refleks Segmen spinal

Biseps C5

Brakioradialis C6

Triseps C7

Tendon patella I4

Hamstring medial I5

Achilles S1

g. Pemeriksaan khusus

1) Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi

tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan

5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.

2) Kelima tanda ini adalah :

Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik

Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik

Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)

Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes pemeriksaan nyeri.

Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindahan-pindah) saat

gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang (distraksi)

4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

a. Membantu mencari penyebab nyeri akut/ kronik pasien

b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena

c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan berhubungan dengan

rehabilitasi, injeksi, pembedahan atau obat.

d. Membantu menegakkan diagnosis

e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respon

terhadap terapi.

f. Indikasi kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli- neuropati, radikulopati.

5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif

a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri); getaran

b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri); tusukan jarum, tekanan

Page 12: Panduan manajemen nyeri

12 RSUD Kota Depok

c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)

d. Pemeriksaan sensasi persepsi

6. Pemeriksaan radiologi

a. Indikasi

1) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang

2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,

penyakit inflamatorik dan penyakit vascular.

3) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau

ereksi.

4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang

5) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu

b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik

nyeri.

1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,

ketidaksegarisan vertebra, spondilosis-spondilasis, neoplasma )

2) MRI gold standart

3) CT-scan

4) Radionuklida dalam mendeteksi perubahan metabolisme tulang

7. Asesmen psikologi

a. Nilai mood pasien, adakah ketakutan, despresi

b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan

c. Nilai adanya dukungan sisoal, interaksi sosial.

B. FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK

1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%

a. Berisi lidokain 5% (700 mg)

b. Mekanisme kerja memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.

c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya

efek anestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping

sistemik

d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misal : herpetik, neuropati,

diabetik, neuralgia pasca- pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri

miofasial.

e. Efek samping iritasi kulit ringan pada tempat menempelkan lidokain

Page 13: Panduan manajemen nyeri

13 RSUD Kota Depok

f. Dosis dan cara penggunaan: dapat menekan hingga 3 patches di lokasi

yang paling nyeri (kulit harus bersih tidak boleh ada luka terbuka dan

dipakai selama < 12 jam dalam periode 24 jam.

2. Eutectic Mixture of Local Anesthesia

a. Mengandung lidokain 2,5% dan prokain HCl 2,5%

b. Indikasi : anestesi mukosa topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak

pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor dan sebagai

pre-medikasi untuk anestesi umum

c. Mekanisme kerja: efek anastesi (baal) dengan memblok total kanal natrium

saraf sensorik

d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anestesi

lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan

menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas

e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.

f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit

dan tutuplah dengan kassa oklusif.

3. Parasetamol

a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan antipiretik. Dapat

dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesik yang lebih

besar.

b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa

dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.

4. Obat Anti- Inflamasi Non-Steroid (OAINS)

a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang,

anti-piretik

b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema,

dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid

c. Efek samping: gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi venal,

penigkatan enzim hari.

d. Ketorolak:

1) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif

untuk nyeri sedang-berat

2) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan

dengan opiod untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek

Page 14: Panduan manajemen nyeri

14 RSUD Kota Depok

samping opioid (despresi pernapasan, sedasi, statis gastrointestinal).

Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.

5. Efek analgesik pada antidepresan

a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin

sehingga meninggalkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan

aktivitas neuron inhibisi nosiseptif.

b. Indikasi: nyeri neuropatik ( neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik cedera

saraf perifer, nyeri sentral)

c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine, despiramin, efek

perifer. Dosis 50 – 300 mg, sekali sehari

6. Anti – konvulsan

a. Carbamazepine efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping somnolen,

gangguan berjalan, pusing. Dosis : 400-1800 mg / hari (2-3 kali perhari).

Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis

efektif.

b. Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri

neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100-

4800 mg/hari (3-4 kali sehari).

7. Antagonis kanalnatrium

a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi

b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1- 3 mg

/ kgBB/jam titrasi.

c. Prokain : 4-6,5 mg/kgBB/hari.

8. Anatagonis kanal kalsiuml

a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai

analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping : pusing, mual, nistagmus,

ketidakseimbangan berjalan, kontipasi. Efek samping ini bergantung dosis

dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.

b. Nimodipin, Verapamil: megobat migraine dan sakit kepala kronik.

Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan

eskalasi dosis morfin.

9. Tramadol

a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek

samping yang lebih sedikit/ ringan. Bersifat sinergistik dengan medikasi

OAINS.

Page 15: Panduan manajemen nyeri

15 RSUD Kota Depok

b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri) kanker,

osteoarthritis, nyeri punggung bawah neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia

pasca- herpetik, nyeri pasca- operasi.

c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.

d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan per oral

e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg

dalam 24 jam.

f. Titrasi terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi terutama

digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk

terdadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.

Tabel 3.4 Jadwal Titrasi Tramadol

Protokol

Titrasi

Dosis

Inisial Jadwal Titrasi

Direkomendasikan

untuk

Titrasi

10 hari

4 x 50 mg

selama 3

hari

2 x 50mg selama 3 hari

Naikkan menjadi 3 x 50mg

selama 3 hari

Lanjutkan dengan 4 x 50mg

Dapat dinaikan sampai

mencapai efek analgesik yang

diinginkan

Lanjut usia

Risiko jatuh

Sensivitas

medikasi

Titrasi

16 hari

4 x 25mg

selama 3

hari

2 x 25mg selama 3 hari

Naikkan menjadi 3 x 25mg

selama 3 hari

Naikkan menjadi 4 x 25mg

selama 3 hari

Naikkan menjadi 2 x 50mg

dan 2 x 25mg selama 3 hari

Naikkan menjadi 4 x 50mg

Dapat dinaikkan sampia

tercapai efek analgesik yang

diinginkan

Lanjut usia

Risiko jatuh

Sensivitas

medikasi

Page 16: Panduan manajemen nyeri

16 RSUD Kota Depok

10. Opioid

a. Merupakan analgesik pasien (tergantung dosis) dan efeknya dapat

ditiadakan oleh nalokson.

b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufetnanil, meperidin.

c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.

d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk

penatalaksanaan nyeri akut.

e. Efek samping

1) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:

Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat

pemberian secara infus.

Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,

antiasmatik tertentu)

Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia,

uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan

intrakmustial.

Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten

2) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan

menggunakan skor sedasi, yaitu:

0 = sadar penuh

1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah

dibangunkan

2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,

mudah dibangunkan

3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan

S = tidur normal

3) Sistem Saraf pusat:

Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot

Pemakaian MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan

koma

4) Toksisitas metabolit

Petidin (norpetidin) menimbulkan tremo, twitching, mioklonus,

multifokal, kejang

Page 17: Panduan manajemen nyeri

17 RSUD Kota Depok

Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk

penatalaksanaan nyeri pasca-bedah

Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal

terutama pada pasien usia > 70 tahun

5) Efek kardiovaskular:

Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian : status volume

intravascular, serta level aktivitas simpatetik

Morfin menimbulkan vasodilatasi

Petidin menimbulkan tadikardi

6) Mual, muntah terapi untuk mual dan muntahdan pantau tekanan

darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca- bedah,

atasi kecemasan pasien, obat antiemetik.

f. Pemberian oral :

1) Status efektifnya dengan pemberian parental pada dosis yang sesuai

2) Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.

g. Injeksi intravascular

1) Merupakan rute parenatal standar yang sering digunakan.

2) Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya

tidak dapat diandalkan.

3) Hindari pemberian via intravaskular sebisa mungkin.

h. Injeksi subkutan

i. Injeksi intravena:

1) Pilihan parentaral utama setelah pembedahan major

2) Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus – menerus

(melalui infus)

3) Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak

sesuai dosis

j. Injeksi mikro injeksi

1) Lokasi mikroinjeksi tebaik : mesencephalic periaqueductal

2) Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.

3) Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada

pasien kanker.

k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):

1) Secara selektif keluanya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis

spinal.

Page 18: Panduan manajemen nyeri

18 RSUD Kota Depok

2) Sangat efektif sebagai analgesik.

3) Harus dipantau dengan ketat

l. Injeksi Perifer

1) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek

anastesi lokal(pada konsentrasi tinggi).

2) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi

C. MANAJEMEN NYERI AKUT

1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu :

2. Lakukan asesmen nyeri : mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang.

3. Tentukan mekanisme nyeri:

a. Nyeri somatik:

1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan

zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui

nosiseptor kulit.

2) Karakter onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam,

menusuk atau seperti ditikam.

3) Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.

b. Nyeri visceral:

1) Nosiseptor visceral lebih sedikit dibandingkan somatic sehingga jika

terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi,

bersifat difus tumpul, seperti ditekan benda berat.

2) Penyebab: iskemi/ nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasm otot

polos, distensi orgam berongga/ lumen.

3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual. Muntah,

hipotensi, bradikardia, berkeringat.

c. Nyeri neuropatik:

1) Berasal dari cedera jaringan saraf

2) Sifat nyeri : rasa terbakar nyeri menjalar, kesemutan, (nyeri saat

disentuh), hiperalgesia.

3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal pada bagian cedera

(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)

4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple selerosis,

herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/ radioterapi.

4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya

Page 19: Panduan manajemen nyeri

19 RSUD Kota Depok

a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO

1) OAINS efekif untuk nyeri ringan – sedang, opioid efektif untuk

nyeri sedang-berat.

2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1

dan 2 ) dengan pemberian intermiten (pro renata ) opioid yang

disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang –

berat, dapat ditingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan

analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1 )

4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering

digunakan adalah morfin, kodein

5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat

diberikan opioid ringan.

6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan

dosis secara bertahap

Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid

Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytie,

kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol

Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin,

Topical: lidokain patch, EMLA

Subkutan : opioid, anestesi lokal

Gambar 3.2 WHO Analgesic Ladder

Page 20: Panduan manajemen nyeri

20 RSUD Kota Depok

Apakah pasien nyeri sedang/berat ? Observasi rutin Tidak

Apakah diresepkan opioid IV ?

Ya

Siapkan NaCl

Ya

Minta untuk diresepkan

Tidak

Skor sedasi 0 atau 1 ?

Ya

Kecepatan pernapasan > 8

kali/menit ?

Ya

Tekanan darah sistolik ≥ 100

mmHg ?

Ya

Usia pasien < 70 tahun ?

Ya

Jika skor nyeri 7-10 berikan 3mlJika skor nyeri 4 -6 berikan 2ml

Ya

Nyeri

Tunggu selama 5

menit

Gunakan spuit 10 ml

Ambil 10mg morfin sulfat dan ....

Dgn NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml)

Berikan label pada spuit

Atau

Gunakan spuit 10 ml

Ambil 100mg petidin dan campur dengan

NaCl 0,9% hingga 10ml (10mlg/ml)

Berikan label pada spuit

Tidak Minta saran ke dokter senior

Tunda dosis hingga skor sedasi < 2 &

Kecepatan pernapasan > 8 kali/menit

Pertimbangkan nalokson IV (100mg)

Minta saran

Jika skor nyeri 7-10 berikan 2 ml

Jika sor nyeri 4-6 berikan 1 ml

Gambar 3.3 Algoritma Pemberian Opioid Intermitten

Algoritma di atas berlaku dengan syarat:

Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat intruksi

Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin diruang rawat

inap biasa

Efek samping dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit

sehingga semua pasien harus diobservasi ketat selama fase ini

Manajemen efek samping:

Opioid

- Mual dan muntah : antiemetik

Page 21: Panduan manajemen nyeri

21 RSUD Kota Depok

- Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif

yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi

gas-kembung-kram perut.

- gatal : ertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat

juga menggunakan antihistamin.

- Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan

benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus

- Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur

0,4 mg nalakson dengan NaCl 0,95% sehingga total volume

mencapi 10 ml). Berikan kecepatan pernapasan meningkat.

Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka

panjang.

OAINS:

- Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)

- Pendarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk

mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi

platelet.

b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di

tempat nyeri.

c. Non-farmakologi:

1) Olah raga

2) Imobilisasi

3) Pijat

4) Relaksasi

5) Stimulasi saraf transkutan elektrik

5. Follow-up (asesmen ulang)

a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.

b. Panduan umum:

1) Pemberian parenteral: 30 menit

2) Pemberian oral: 60 menit

3) Intervensi non- farmakologi: 30-60 menit.

6. Pencegahan

a. Edukasi pasien:

1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta

tatalaksanya.

Page 22: Panduan manajemen nyeri

22 RSUD Kota Depok

2) Diskusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.

3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika memiliki

pertanyan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.

4) Pasien dan kelurga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri

(termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal

kontrol).

b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.

7. Medikasi saat pasien pulang

a. Pasien dipulangkan segera setalah nyeri dapat teratasi dan dapat

beraktivitas seperti biasa / normal.

b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada pasien.

Manajemen Asesmen Nyeri Akut

Pasien Mengeluh Nyeri

Anamnesa dan pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri

Apakah etiologi nyeri bersifat

reversible?

Prioritas utama : identifikasi

dan atasi etiologi nyeri

Ya

Apakah nyeri berlangsung > 6 minggu?

Tidak Lihat manajemen nyeri

kronik

Pertimbangkan untuk

merujuk ke spesialis yang

sesua

Tentukan mekanisme nyeri (pasien

dapat mengalami > 1 jenis nyeri)

Tidak

Nyeri viseral

Nyeri bersifat difus, seperti ditekan

benda bera, nyeri tumpul

Nyeri neuropati

Nyeri bersifat bersifat, rasa

terbakar, kesemutan, tidak

spesifik

Nyeri somastic

Nyeri bersifat umum,

menusuk, ( )

Gambar 3.4 Algoritma Asesmen Nyeri Akut

Page 23: Panduan manajemen nyeri

23 RSUD Kota Depok

Algoritma Manajemen Nyeri Akut7

Nyeri Somatic

Parasetamol

Cold pack

Kortokosteroid

Anestesi lokal (topical/infiltrasi)

OAINS

Opioid

Stimulasi taktil

Nyeri viseral

Kortikosteroid

Anestesi lokal

intraspinal

OAINS

Opioid

Nyeri neuropatik

Antikonvulsan

Kortikasteroid

Blok neuron

OAINS

Opioid

Antidepresan trisiklik

(antriptilin)

Pencegahan

Edukasi pasien

Terapi farmakologi

Konsultasi (jika perlu)

Prosedur pembedahan

Non-farmakologi

Alagesik adekuat?

Efek samping

pengobatan?

Manajemen efek

samping

Ya

Follow-up/

nilai ulang

Tidak

Mekanisme

nyeri

sesuai?

Tidak

Apakah

nyeri > 6

minggu?

Pilih alternatif

terapi yang

lainnya

Ya

Tidak

Lihat

manajemen

nyeri kronik

Pertimbangkan

untuk merujuk

ke spesialis

yang sesuai

Ya

Kembali ke kontak

“tentukan

mekanisme nyerri” Tidak

Gambar 3.5 Algoritma Manajemen Nyeri Akut

D. MANAJEMEN NYERI KRONIK

1. Nyeri kronik: nyeri yang persisten/ berlangsung > 6 minggu

2. Lakukan asesmen nyeri:

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen

nyeri sebelumnya )

b. Pemeriksaan penunjang: radiologi

c. Asesmen fungsional:

1) Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan disabilitas

2) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien

3) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan

3. Tentukan mekanisme nyeri:

Page 24: Panduan manajemen nyeri

24 RSUD Kota Depok

a. Manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya.

b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.

c. Terbagi menjadi 4 jenis:

1) Nyeri neuropatik:

Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik

Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-

herpetik.

Karkteristik: nyeri parsisten, rasa terbakar, terfapat penjalaran nyeri

sesuai dengan persyarafannya, baal, kesemutan, alodinia.

Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada

musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3

bulan

2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial

Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul dan

ekstremitas bawah.

Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/ lebih jenis otot, berakibat

kelemahan, keterbatasan gerak.

Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive

Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi,

identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur,

gerakan repetitve, faktor pekerjaan)

3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):

Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca operasi

Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri.

Terdapat riwayay cedera / luka

Tatalaksana: menejemen proses inflamasi dengan antibiotic /

antirematik, OAINS, kortikosteroid

4) Nyeri mekanis / kompresi:

Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.

Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/spain

ligament / otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan faktur

kompresi, faktur.

Merupakan nyeri nosiseptif

Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.

Page 25: Panduan manajemen nyeri

25 RSUD Kota Depok

4. Asesmen lainnya:

a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri

(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat

penganiayaan secara seksual/fisik, verbal, gangguan tidur)

b. Masalah pekerjaan dan disabilitas

c. Faktor yang mempengaruhi;

1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk

2) Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik

d. Hambatan terhadap tatalaksana:

1) Hambatan komunikasi / bahasa

2) Faktor finansial

3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan

4) Kepatuhan pasien yang buruk

5) Kurangnya dukungan keluarga dan teman

5. Manajemen Nyeri Kronik berdasarkan Level

a. LEVEL I

Prinsip level I:

1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan,

perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres).

2) Pasien harus berpatisipasi dalam program latihan untuk

meningkatkan fungsi

3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif

dengan restorasi untuk membantu mengurangi nyeri dan

meningkatkan fungsi.

4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang

rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stres,

latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya

5) Beritahu kepada pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyeri

6) Ajaklah untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri

7) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan

untuk kontrol dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien

8) Bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada

pasien

9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap

10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri

Page 26: Panduan manajemen nyeri

26 RSUD Kota Depok

11) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)

Manajemen level I:

Menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik

termasuk farmakologi, intervensi, non-farmakologi, dan terapi pelengkap

/ tambahan. Terapi berdasarkan jenis nyeri:

1) Nyeri neuropatik

Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:

- Kontrol gula darah pada pasien DM

- Pembedahan, kemoterapi, radoterapi untuk pasien tumor

dengan kompresi saraf

- Kontrol infeksi (antibiotik)

Terapi simptomatik:

- Antidepresan trisiklik (amitriptilin)

- Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin

- Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi )

- OAINS, kortikosteroid, opioid

- Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intraketal,

infus epidural / intratekal

- Terapi berbasis- stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal, pijat

- Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan

mobilisasi, metode ergonomis

- Prosedur ablasi: kormiotomi, ablasi saraf dengan

radiofrekuensi

- Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi

tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), tetapi perilaku

kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman

karena nyeri kronis)

2) Nyeri otot

Lakukan skrining tehadap patologi medis yang serius, faktor

psikososial yang dapat menghambat pemulihan

Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan

dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.

Rehabilitasi fisik:

Page 27: Panduan manajemen nyeri

27 RSUD Kota Depok

- Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular,

fleksibilitas, keseimbangan

- Mekanik

- Pijat, terapi akuatik

Manajemen perilaku:

- Stress / depresi

- Teknik relaksasi

- Perilaku kognitif

- Ketergantungan obat

- Manajemen amarah

Terapi obat:

- Analgesik dan sedasi

- Antidepressant

- Opioid jarang dibutuhkan

3) Nyeri inflamasi

Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya

Obat anti – inflamasi utama OAINS kortikosteroid

4) Nyeri mekanis kompresi

Penyebab yang seiring tumor / kista yang menimbulkan kompresi

pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi dan faktur.

Penanganan efektif dekompresi dengan pembedahan atau

stabilisasi, bidai, alat bantu.

Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk

mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.

Manajemen level 1 lainnya:

1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan – sedang atau nyeri

non-neurotik

2) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi

opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.

3) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus

intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural

4) Terapi pelengakap / tambahan : akupuntur, herbal

Page 28: Panduan manajemen nyeri

28 RSUD Kota Depok

Tabel 3.5 Skor DIRE (diagnosis, intractibility, risk, efficacy)*

Faktor Penjelasan

Diagnosis 1= kondisi kronik ringan dengan temuan obyektif minimal

atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya

migraine, nyeri punggung tidak spesifik.

2= kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau

kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif

medium. Misalnya nyeri punggung dengan perubahan

degeneratif medium, nyeri neurotopik.

3= kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif

nyata. Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropatik

lanjut, .... spinal berat.

Intracability

(keterlibatan)

1= pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara

minimal dalam manajemen nyeri.

2= beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak

sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat

hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)

3= pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi

respon terapi tidak adekuat.

Risiko (R) R= jumlah skor P+K+R+D

Psikologi 1= disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa

yang mempengaruhi terapi. Misalnya gangguan kepribadian,

gangguan efek berat.

2= gangguan jiwa / kepribadian medium / sedang. Misalnya

depresi, gangguan, cemas.

3= komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau

gangguan yang signifikan.

Kesehatan 1= penggunaan obat akhir-akhir ini. alkohol berlebihan,

penyalahgunaan obat.

2= medikasi untuk mengatasi stess, atau riwayat remisi

psikofarmaka

3= tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.

Rehabilitas 1= banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja /

jadwal control.

2= terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi

secara keseluruhan dapat diandalkan

3= sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control dan

terapi)

Dukungan

sosial

1= hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman

dekat, peran dalam kehidupan normal

2= kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan

dalam sosial

3= keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam

kerja/sekolah ada isolasi sosial

Page 29: Panduan manajemen nyeri

29 RSUD Kota Depok

Efikasi 1= fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski

dengan penggunaan dosis obat sedang- tinggi

2= fungsi meningkat tetapi kurang efisiensi (tidak

menggunakan opioid sedang-tinggi)

3= perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup

tercapai ...yang stabil.

Skor total = D + I + R + E

Keterangan:

Skor 7 + 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

Skor 14 + 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang

b. LEVEL II

Manajemen level 2

1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan

rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau

infus intratekal)

2) Indikasi pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen

level 1.

3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan

dengan manajemen level 1.

Page 30: Panduan manajemen nyeri

30 RSUD Kota Depok

Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:

Algoritma Asesmen Nyeri Kronik9

Pasien mengeluh nyeri

Asesmen nyeri

Anemnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fungsi

Tentukan mekanisme nyeri

Pasien dapat mengalami

jenis nyeri dan faktor

yang mempengaruhi yang

beragam

Nyeri neuropatik

Perifer (sindrom nyeri

regional kompleks,

neuropati HIV,

gangguan metabolik)

Sentral (Parkinson,

multiple selerosis,

mielopati, nyeri pasca-

Nyeri otot

Nyeri miofasial Nyeri inflamasi

Artropati inflamasi

(rematoid artritis)

Infeksi

Nyeri pasca-operasi

Cedera jaringan

Nyeri

mekanis/

kompresi

Nyeri punggung

bawah

Nyeri leher

Nyeri

musculoskeletal

(bahu, siku)

Apakah nyeri kronik?

Apakah etiologinya dapat

dikoreksi / diatasi?

Ya

Asesmen lainnya

Masalah pekerjaan dan disabilitas

Asesmen psikologi dan spiritual

Faktor yang mempengaruhi dan

hambatan

Tidak

Pantau dan observasi

Atasi etiologi nyeri sesuai

indikasi

Algoritma Manajemen Nyeri Kronik

Gambar 3.6 Algoritma Asesmen Nyeri Kronik

Page 31: Panduan manajemen nyeri

31 RSUD Kota Depok

Prinsip level 1

Buatlah rencana dan tetapkan tujuan

Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional

Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional

Manajemen level 1:

Nyeri neuropatik

Manajemen level 1:

Nyeri otot

Manajemen level 1:

Nyeri inflamasi

Manajemen level 1:

Nyeri mekanisme/ kompresi

Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9

Manajemen level 1 lainnya

Farmakologi (skor DIRE)

Intervensi

Pelrngkap/tambahan

Layanan primer untuk mengukur

pencapaian tujuan dan meninjau

ulang rencana perawatan

Tujuan terpenuhi?

Fungsi

Kenyamanan

Hambatan

Telah melakukan

manajemen level 1

dengan adekuat?

Tidak

Manajemen level 2

Rujuk ke tim interdisiplin,

atau

Rujuk ke klinik khusus

manajemen nyeri

Ya

Rencana perawatan selanjutnya oleh

pasien

Tidak

Asesmen hasil

Gambar 3.7 Algoritma Manajemen Nyeri Kronik

E. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK

1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik,

trauma, sakit perut dan faktor psikologi.

2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda terhadap

kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.

Page 32: Panduan manajemen nyeri

32 RSUD Kota Depok

3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.

4. Pemberian analgesik:

a. “By the ladder” pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level

nyeri anak (ringan, sedang, berat)

1) Awalnya, berikan analgesik ringan – sedang (level 1)

2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naikkan ke

leve 2 (pemberian analgesik yang lebih poten)

3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol

4) Analgesik adjuvant

Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri

tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu

Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapt diberikan analgesik

adjuvant sebagai level 1

Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi

nyeri neuropatik.

Kategori:

- Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adremergic

alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.

- Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant ,

antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal.

- Anagesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksasi otot,

benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.

b. ‘By the clok’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.

Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan

masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika

perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat

diprediksi.

c. ‘By the child’: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan

kondisi masing-masing individu.

1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur

2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.

1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive

dan efektif, biasanya per oral.

Page 33: Panduan manajemen nyeri

33 RSUD Kota Depok

2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal

bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.

3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian

parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.

4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral

5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri

dan absorsi obat tidak dapat diandalkan

6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan

subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan /

keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu

pada anak. Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian per oral dan opioid

parenteral intermitten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya

muntah hebat (tidak dapat memberika obat per oral)

e. Analgesik dan anetesi regional: epidural atau spinal

1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit

diatasi dengan terapi konservatif.

2) Harus dipantau dengan baik

3) Beriakn edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-

obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan yang akurat mengenai

tanda vital / skor nyeri.

f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat

melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik

1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh

2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai

3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi

4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik dan

perilaku).

5) Lakukan pendekatan multidisiplin

g. Panduan penggunaan opioid pada anak:

1) Pilih rute yang paling sesuia. Untuk pemberian jangka panjang, pilih

jalur oral.

2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja

singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu

prn.

Page 34: Panduan manajemen nyeri

34 RSUD Kota Depok

3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam,

naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah total dosis opioid prn

yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah

dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%

4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya

5) Jika efek analgeseik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas

tingkatkan dosis sebesar 50%

6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang

menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk

menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari

lalu kurangi sebesar 25 % setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan

dosis morfin oral (0,6 mg/ kgBB/hari ), opioid dapat dihentikan.

7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat

terakumulasi dan menimbulkan mioklonus dan hiperrekfleks

Tabel 3.6 Obat Non-Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik

Obat Dosis keterangan

Parasetamol 10-15mg/kgBB oral,

setiap 4-6 jam

Efek antiinflamasi kecil, efek

gastrointestinal dan hematologi minimal

Ibuprofen 5-10mgkgBB oral,

setiap 6-8 jam

Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien

dengan gangguan hepar/renal, riwayat

perdarahan gastrointestinal atau

hipertensi.

Naproksen 10-20mg/kgBB/hari

oral, terbagi dalam 2

dosis

Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien

disfungsi renal. Dosis maksimal 1gr / hari.

diklofenak 1mg/kgBB oral,

setiap 8-12 jam

Efek antiinflamasi. Efek samping sama

dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis

maksimal 50mg/kali.

h. Terapi alternatif / tambahan

1) Konseling

2) Manipulasi chiropractic

3) Herbal

Page 35: Panduan manajemen nyeri

35 RSUD Kota Depok

5. Terapi non-obat

a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaan dan memiliki efek

yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak

b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti

music, cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film dan

sebagainya.

c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat

meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan

nyeri.

d. Terapi relaksasi: depat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,

menggerakan kaki sesuai iram , menarik napas dalam.

Tabel 3.7 Terapi Non-Obat

Kognitif Perilaku Fisik

Informasi

Pilihan dan kontrol

Distraksi dan atensi

Hypnosis

Psikoterapi

Latihan

Terapi relaksasi

Umapan balik positif

Modifikasi gaya hidup

/ perilaku

Pijat

Fisioterafi

Stimulasi ternal

Stimulasi sensorik

Akupuntur

TENS

Page 36: Panduan manajemen nyeri

36 RSUD Kota Depok

Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik10

1. asesmen nyeri pada anak

Nilai katarekteristik nyeri

Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai

Evaluasi kemungkinan adanya ketelibatan mekanisme nosiseptik dan neuropatik

Kajian faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini

Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada

Pikirkan faktor emosinal, kognitif, dan perilaku

3. Pilih terapi yang sesuai

Obat

Analgesik

Analgesik adjuvani

Anestesi

Non-obat

Kognitif

Fisik

Perilaku

4. Implementasi rencana menejemen nyeri

Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri

kepala orang tua (dan anak)

Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi

Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin

Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri

Revisi rencana jika diperlukan

Gambar 3.8 Algoritma Manajemen Nyeri Pada Pediatrik

F. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT

1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia ≥ 65 tahun.

2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya

dibandingkan dewasa muda.

Page 37: Panduan manajemen nyeri

37 RSUD Kota Depok

3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,

neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit

degeneratif.

4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama / penyangga tubuh,

punggung, tungkai bawah dan kaki.

5. Alasan seringgnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:

a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri.

b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat

c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid

6. Asesmen nyeri pada geriartri yang valid, reliable dan dapat diaplikasikan

menggunakan Function Pain Scaleseperti dibawah ini:

Tabel 3.8 Function Pain Scale

Skala Nyeri Keterangan

0 Tidak nyeri

1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terpengaruh )

2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)

3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi dapat menggunakan telepon

menonton TV, atau membaca)

4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon,

menonton TV, atau membaca )

5 Tidak dapat ditolerasi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)

*skor normal / yang diinginkan : 0-2

7. Intervensi

a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri

untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.

b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan: perkutan, akupuntur

c. Blok saraf dan radiasi area tumor

d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif relaksasi umpan

balik positif, hypnosis.

e. Fioterapi dan terapi okupasi

8. Intervesi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien)

a. Non-opiod: OAINS, parasetamol, COX-2 Inhibitor, antidepressant trisiklik,

amitriptilin, ansiolitik.

Page 38: Panduan manajemen nyeri

38 RSUD Kota Depok

b. Opioid:

1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek).

2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat / talking agent untuk

mencegah konstipasi (preparat senna, serbital)

3) Berikan opioid jangka pendek

4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik

daripada pemberian intermiten.

5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan

6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat , dapat menaikkan opioid

sebesar 50-100% dari dosis semula.

c. Analgesik adjuvant

1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri

2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepine, gabapentin, tramadol,

mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik

3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital

Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat

ditingkatkan menjadi 300 mg / hari

9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada perdarahan gastrointestinal

meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun

10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh termasuk absorbsi, distribusi,

metabolisme, dan eleminasi

11. Pasien lansia cederung memerlukan pengarahan dosis analgesik. Absorbsi

sering tidak teratur karena adanya pemindahan waktu . sindrom malabsorbsi

12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia

13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.

14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan

15. Efek samping penggunaan opioid paling sering dialami konstipasi

16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien

mengkonsumsi analgesik, antideprassant, dan sedasi secara rutin harian )

17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan

perlahan hingga tercapai dosis yang dinginkan

18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:

a. Penurunan / keterbatasan mobilisasi, pada akhirnya mengarah ke depresi

karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunyan

kemampuan fungsional

Page 39: Panduan manajemen nyeri

39 RSUD Kota Depok

b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn

imunitas tubuh

c. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi

dan gelisah

d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.

Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium

19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:

a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek

samping gastrointestinal lebih besar)

b. Opioid: pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis dan

agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia): metadon,

levorphanol (waktu paruh panjang)

c. Propoxyphene: neurotoksik

d. Antidepresan: tertiary amine tricyclisc (efek samping antikolinergik )

20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan

kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents)

21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan

manajemen pada nyeri akut)

a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid

b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik

adjuvant

c. Nyeri berat: opioid poten

22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dan

hati-hati dalam memberikan obat kombinasi

Page 40: Panduan manajemen nyeri

40 RSUD Kota Depok

BAB IV

DOKUMENTASI

1. SPO Manajemen Nyeri

2. SPO Manajemen Nyeri dengan Kondisi Khusus

3. Formulir Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik

Page 41: Panduan manajemen nyeri

41 RSUD Kota Depok

REFERENSI

1. Joint Commision on accreditation of Healthcare Organization. Pain: current

understansing of asessment, management, and treatments. Nations

Pharmaceutical Council, Inc: 2001.

2. Wallace Ms, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts. Mcgraw-

hill; 2005.

3. National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. Pain

intensity instruments: numeric rating scale; 2003.

4. Wong D, Whaley L. Clinical handbook of pediatric nursing. Edisi ke-2. St. Louis:

C.V. mosby Company: 1986.

5. Ambuel, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assesing distress in pediatric

intensive care environments: the COMFORT scale. J Paed Psych. 1992;17:95-

109.

6. Pain management. [diakses tanggal 23 Februari 2012]. Diunduh

dari:www.hospitalsoup.com

7. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline:

assessment and management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008.

8. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum.

Adult pain management guidelines. NHS; 2006.

9. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI).health care guideline:

assessment and management of choronic pain. Edisi ke-5. ICSI; 2011.

10. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be asked.

Edisi ke-3. Philadelphia: mosby Elsevier;2009.

Page 42: Panduan manajemen nyeri

42 RSUD Kota Depok

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas kemudahan yang

diberikan olehNya kami dapat menyelesaikan panduan ini.

Panduan Manajemen Nyeri RSUD Kota Depok adalah suatu acuan dalam

asesmen dan manajemen nyeri pasien-pasien di RSUD Kota Depok. Panduan

dalam penanganan nyeri yang terdiri dari pengertian, serta asuhan dan terapi yang

harus diberikan.

Semoga Panduan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-baiknya

oleh seluruh unit terkait di RSUD Kota Depok.

Tim Penyusun

i

Page 43: Panduan manajemen nyeri

43 RSUD Kota Depok

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

B. Tujuan ................................................................................................................ 1

C. Definisi .............................................................................................................. 2

BAB II RUANG LINGKUP ............................................................................................ 3

BAB III TATA LAKSANA .............................................................................................. 4

A. Asesmen Nyeri ................................................................................................... 4

B. Farmakologi Obat Analgesik ............................................................................. 12

C. Manajemen Nyeri Akut ...................................................................................... 18

D. Manajemen Nyeri Kronik ................................................................................... 23

E. Manajemen Nyeri pada Pediatrik ...................................................................... 31

F. Manajemen Nyeri pada Kelompok Usia Lanjut ................................................. 36

BAB IV DOKUMENTASI .............................................................................................. 40

ii

Page 44: Panduan manajemen nyeri

44 RSUD Kota Depok

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 COMFORT Scale ......................................................................................... 7

Tabel 3.2 Derajat Kekuatan Motorik ............................................................................ 10

Tabel 3.3 Pemeriksaan Refleks ................................................................................... 11

Tabel 3.4 Jadwal Titrasi Tramadol ............................................................................... 15

Tabel 3.5 Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) ...................................... 28

Tabel 3.6 Obat Non-Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik ............................. 34

Tabel 3.7 Terapi Non-Obat .......................................................................................... 35

Tabel 3.8 Function Pain Scale ..................................................................................... 37

iii

Page 45: Panduan manajemen nyeri

45 RSUD Kota Depok

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ..................................................... 6

Gambar 3.2 WHO Analgesic Ladder ........................................................................... 19

Gambar 3.3 Algoritma Pemberian Opioid Intermitten .................................................. 20

Gambar 3.4 Algoritma Asesmen Nyeri Akut ................................................................ 22

Gambar 3.5 Algoritma Manajemen Nyeri Akut ............................................................. 23

Gambar 3.6 Algoritma Asesmen Nyeri Kronik ............................................................. 30

Gambar 3.7 Algoritma Manajemen Nyeri Kronik ......................................................... 31

Gambar 3.8 Algoritma Manajemen Nyeri Pada Pediatrik ............................................. 36

iv