MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT DI DESA...
Transcript of MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT DI DESA...
-
MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT
DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI
KABUPATEN BADUNG
Ni Made Mitha Mahastuti
NIP.1985070620140922001
PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017
MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT
DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI
KABUPATEN BADUNG
Ni Made Mitha Mahastuti
NIP.1985070620140922001
PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017
MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT
DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI
KABUPATEN BADUNG
Ni Made Mitha Mahastuti
NIP.1985070620140922001
PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa) karena berkatnyalah, tulisan ini dapat diselesaikan.
Tulisan ini disusun sebagai bagian dari tugas-tugas selaku dosen, yang harus
mencari sesuatu agar dapat menunjang kegiatan, dan untuk menambah wawasan
materi perkuliahan khususnya, dan bermanfaat sebagai pengetahuan yang
menyangkut arsitektur pada umumnya.
Untuk mengerjakan tulisan ini, banyak foto, kliping dan sebagainya,
maupun diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah
dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan pemikiran dan sebagainya,
yang semuanya memberi kontribusi positif bagi penulis.
Ucapan terima kasih disampaikan untuk semua pihak yang telah berperan
seperti tersebut di atas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka
Saraswati, MT (Ketua Program Studi Arsitektur FT UNUD ) yang menugaskan
membuat tulisan ini. Selain dari pada itu penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu memperkaya materi, baik
melalui literatur, maupun wawancara.
Harapan penulis, semoga materi sederhana ini dapat mencapai tujuannya
yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada
umumnya.
Denpasar, Juli 2017
Penulis
Ni Made Mitha Mahastuti
NIP.1985070620140922001
-
ABSTRAK
Pura adalah tempat ibadah atau tempat pemujaan bagi Umat Hindu di Bali, salah satufungsinya adalah tempat untuk memuja Dewa Air atau jika ada sumber air yangdisucikan, maka tak jarang akan dibuatkan sebuah Pura sebagai sarana pelengkappemujaan. Banyak dijumpai di Bali, sumber mata air murni bernilai sakral berupa Purasenantiasa berdampingan dengan keberadaan taman air atau tempat umat melakukanpanglukatan/penyucian diri dengan tirtha. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Pura TirtaEmpul sebagai contoh, Pura Goa Gajah, atau Pura Gunung Kawi. Pemeliharaan danpelestarian dilakukan dengan sistem penerapan teori sakral dan profan yang seringmenimbulkan kondisi kontras antara kesakralan bangunan atau tempat suci denganbangunan yang bersifat profan.
Beberapa realita di lapangan terkait pelestarian Pura di Bali menunjukkan beberapapelecehan terhadap nilai kesakralan produk budaya ciptaan leluhur orang Bali sendiri.Apabila dibiarkan, secara perlahan upaya pelestarian wujud budaya sakral Bali akanmengalami komodifikasi oleh masyarakat Bali sendiri sesuai kebutuhan pariwisata yangbersifat sekular dan bermotif ekonomi (Widya, 2009). Pariwisata memang layakdikembangkan namun tidak dengan pengelolaan yang tidak tepat dan mengabaikan aspeksosial budaya masyarakat Bali sendiri. Apabila terus dibiarkan, tidak menutupkemungkinan bahwa setiap Pura di Bali akan menjadi obyek wisata dengankomersialisasi berlebihan dan justru menenggelamkan nilai kesakralannya. Untuk itulahdiperlukan sebuah manajemen konservasi bagi Pura-pura di Bali bila merangkap sebagaiobyek wisata yang menawarkan nilai kesakralannya di kancah motif ekonomi pariwisata.
Dalam keterkaitannya dengan Pura sebagai tempat pemujaan yang terkait dengan air,salah satu Pura yang memiliki keunikan dan berpotensi untuk dikembangkan sebagaisalah satu obyek wisata budaya adalah Pura Kereban Langit, Sading. Keberadaan PuraKereban Langit di Desa Adat Sading Sempidi, Badung ini belum diketahui oleh banyakorang. Pura ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata oleh pemerintah karenakeunikannya sebagai Pura di dalam gua yang mengucurkan air dari balik dinding gua,namun pengelolaannya kini dirasa belum maksimal dan oleh karena itulah perludilakukan langkah-langkah yang tepat untuk melakukan manajemen konservasi padaPura ini.
Kata kunci: Pura, pariwisata, manajemen, konservasi
-
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………….
Daftar Isi………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..1
1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………………………..3
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………...........3
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………3
1.5 Metode Penelitian…………………………………………………………….4
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Teori Manajemen………………………………………………………….….7
2.2.Teori Konservasi……………………………………………………………...9
2.3 Konsep Pura…………………………………………………………………20
2.4 Peraturan Pemerintah………………………………………………………..21
BAB III TINJAUAN PURA KEREBAN LANGIT
3.1 Lokasi Pura…………………………………………………………………..24
3.2 Sejarah Singkat Pura………………………………………………………....25
3.3 Layout dan Struktur Pura…………………………………………………….27
3.4 Pelaba Pura…………………………………………………………………...30
3.5 Upacara, Pengemong dan Penyiwi……………………………………….......30
3.6 Bantuan Pura……………………………………………………………...….30
3.7 Kondisi Fisik Pura……………………………………………………………30
BAB IV MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT
4.1 Analisis Kerusakan pada Pura Kereban Langit………………………………38
4.2 Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit………………………………..39
iii
-
BAB V SIMPULAN dan SARAN
5.1 Simpulan…………………………………………………………………..…48
5.2 Saran…………………………………………………………………………48
Daftar Pustaka……………………………………………....................................
-
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. 1987. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_____ (ed). 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: PenerbitDjambatan.
_____ 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Danes, Popo. 2004. “Metode dan Teknologi Pelestarian Warisan Budaya”.Kumpulan Materi Program Inovatif TOT (Training of Trainer) KonservasiWarisan Budaya Bali Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian WarisanBudaya Bali (Bali Heritage Trust). Denpasar: Bali Heritage Trust, DinasKebudayaan Propinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan KebudayaanUniversitas Udayana. .
Garnham, Harry Launce. 1985. Maintaining the Spirit of Place, A Process for ThePreservation of Town Character. Mesa-Arizona, PDA PublishersCorporation.
Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Geriya, Wayan. 2002, 2004. “Konsep Dasar, Dimensi Filosofi dan StrategiKonservasi”. Kumpulan Materi Program Inovatif TOT (Training of Trainer)Konservasi Warisan Budaya Bali Dalam Pemberdayaan LembagaPelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust). Denpasar: BaliHeritage Trust, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dan Pusat PenelitianPariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.
Harastoeti, DH. 1999. “Revitalisasi Bangunan dan Lingkungan Bersejarah diIndonesia”. Dalam Jurnal Arsitektur 'Tatanan' Volume 1 Nomor 1 Juli 1999(ISSN: 0215-7845). Bandung: Jurusan Arsitektur Fakultas TeknikUniversitas Katolik Parahyangan: 19-26.
Koentjaningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, PenerbitPT. Gramedia.
Koentjaningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Penerbit Aksara Baru.
Maryono, Irawan, dkk. 1985. Pencerminan Nilai dalam Arsitektur di Indonesia(Laporan Seminar Tata Lingkungan Mahasiswa Arsitektur FT UI BimbinganDipl.Ing. Suwondo B. Sutedjo. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 1999. Paparan Program PelestarianWarisan Budaya Propinsi Bali. Denpasar, Dinas Kebudayaan PropinsiDaerah Tingkat I Bali.
-
Pemerintah Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan PemerintahRepublik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992.
Rahardjo, Slamet. 1983. “Pendekatan Budaya Terhadap Integrasi Nasional”, artikelbuku Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia, editor Nurdien HK. Bandung:Penerbit Alumni.
Salain, Putu Rumawan. 2001. Dinamika Arsitektur Dalam Wacana Konservasi.Makalah Training dan Kepedulian Konservasi. Denpasar, Bali Kuna.
______, 2002. “Metode, Teknologi Pelestarian Living Culture dan Dead Monument:Suatu Upaya Pelestarian Warisan Budaya Bali”. Kumpulan Materi ProgramInovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali DalamPemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali HeritageTrust). Denpasar: Bali Heritage Trust, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali danPusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.
Soesilo, A. Rudyanto. 1997. “Arsitektur dan Mode dalam Arsitektur Pembangunandan Konservasi”, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi (Budihardjoeditor). Jakarta: Penerbit Djambatan: 78-81.
Sidharta dan Eko Budihardjo. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan KunoBersejarah di Surakarta. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Widya, Paramadhyaksa I Nyoman. 2009. “Nilai-nilai Sakral Budaya Bali : AntaraDilestarikan, Dipamerkan dan Dilecehkan”. Makalah dalam ProceedingsSeminar Nasional Pariwisata dan Pembangunan Keruangan di KabupatenBadung. Denpasar : Program Studi Magister Arsitektur Unud.
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menelusuri keberadaan peninggalan sejarah berupa sumber mata air di Bali
pada umumnya, pikiran akan langsung tertuju pada keberadaan Pura yang secara
signifikan menjadi tempat pemujaan dewa air sebagai pembawa berkah dalam
keyakinan Agama Hindu di Bali. Seperti yang diketahui, tempat-tempat bersejarah di
Bali atau yang berusia lampau berupa peninggalan kerajaan atau jejak leluhur, akan
berstatus Pura sebagai bentuk penghargaan Umat Hindu terhadap keberadaannya
sekaligus menjaga makna peninggalan tersebut agar berkelanjutan dan sakral. Maka
dari itu, keberadaan Pura di Bali tak terhitung jumlahnya oleh jari hingga diberi
julukan Pulau Seribu Pura.
Pura secara makro digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan dewa-dewa sebagai manifestasi dari Tuhan dalam berbagai
peranannya. Tempat ibadah atau pemujaan adalah bangunan-bangunan suci yang
dibangun di tempat suci atau tempat-tempat yang disucikan (Gelebet, 1982). Dalam
berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya, tempat ibadah disebut Pura dengan
tingkatan-tingkatan seperti utama, madya, dan sederhana. Dalam perkembangannya
kini, Pura terbangun sebagai tempat pemujaan/tempat ibadah umat beragama Hindu
yang tidak lepas dari imbas kemajuan teknologi dan perubahan jaman.
Banyak dijumpai di Bali, sumber mata air murni bernilai sakral berupa Pura
senantiasa berdampingan dengan keberadaan taman air atau tempat umat melakukan
panglukatan/penyucian diri dengan tirtha. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Pura
Tirta Empul sebagai contoh, Pura Goa Gajah, atau Pura Gunung Kawi. Keberlanjutan
makna ruang dan waktu dari Pura tersebut merupakan salah satu kontribusi aktivitas
konservasi terhadap sebuah obyek Pura di Bali oleh masyarakat beragama Hindu
secara tidak langsung. Pemeliharaan dan pelestarian dilakukan dengan sistem
penerapan teori sakral dan profan yang sering menimbulkan kondisi kontras antara
kesakralan bangunan atau tempat suci dengan bangunan yang bersifat profan.
-
2
Seperti yang diungkapkan oleh Widya (2009) dalam prosiding Seminar
Nasional Pariwisata dan Pembangunan Keruangan di Kabupaten Badung, bahwa
beberapa realita di lapangan terkait pelestarian Pura di Bali menunjukkan beberapa
pelecehan terhadap nilai kesakralan produk budaya ciptaan leluhur orang Bali sendiri.
Terlihat pada aktivitas paralayang para wisatawan yang berjarak begitu dekat dengan
posisi Pura atau Pura yang dimanfaatkan sebagai obyek latar bagi bangunan hotel
baru. Dalam penelusuran ritual upacara, para wisatawan seringkali diijinkan masuk
dengan jarak yang dekat untuk memotret sebagian aktivitas sakral di Pura sebagai
konsekuensi dampak pariwisata yang terkesan melecehkan kesucian Pura dan prosesi
ritual masyarakat yang berlangsung di dalamnya.
Apabila dibiarkan, secara perlahan upaya pelestarian wujud budaya sakral Bali
akan mengalami komodifikasi, dipamerkan, dan dikomersialisasikan oleh masyarakat
Bali sendiri sesuai kebutuhan pariwisata yang bersifat sekular dan bermotif ekonomi
(Widya, 2009). Pariwisata memang layak dikembangkan namun tidak dengan
pengelolaan yang tidak tepat atau hanya mementingkan aspek ekonomi dan
mengabaikan aspek sosial budaya masyarakat Bali sendiri. Apabila terus dibiarkan,
tidak menutup kemungkinan bahwa setiap Pura di Bali akan menjadi obyek wisata
dengan komersialisasi berlebihan dan justru menenggelamkan nilai kesakralannya.
Untuk itulah diperlukan sebuah manajemen konservasi bagi Pura-pura di Bali
bila merangkap sebagai obyek wisata yang menawarkan nilai kesakralannya di kancah
motif ekonomi pariwisata. Pengelolaan pariwisata yang kurang bijaksana dapat
menimbulkan efek negatif yang besar serta menyimpan problema dalam skala luas
bagi masyarakat penikmatnya sendiri. Untuk merumuskan konsep tersebut, tulisan ini
disusun sebagai upaya perumusan konsep manajemen konservasi sebuah pura sebagai
sumber air. Studi kasus dilakukan pada obyek wisata Pura Kereban Langit di Sempidi.
Kondisi keberadaan Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading Sempidi, Badung ini
belum diketahui oleh banyak orang. Pura ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata
oleh pemerintah karena keunikannya sebagai Pura di dalam gua yang mengucurkan
air dari balik dinding gua (wawancara, 2009). Karakteristik tapak pura yang berada di
bibir tebing membuat letaknya sedikit tersembunyi.
-
3
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka masalah yang dapat
diidentifikasi antara lain :
I.2.1 Bagaimanakah kondisi Pura Kereban Langit saat ini serta seluk-beluk
keberadaannya?
I.2.2 Bagaimanakah manajemen konservasi yang tepat bagi Pura dalam rangka
mempertahankan signifikansi budaya yang dimiliki dari kerusakan/
kepunahan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dengan judul “Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit
di Desa Adat Sading, Sempidi” ini, di antaranya :
I.3.1 Untuk mengetahui dan merumuskan langkah manajemen konservasi yang
tepat bagi Pura Kereban Langit dalam rangka mempertahankan signifikansi
nilai yang dimilikinya sebagai warisan budaya.
I.3.2 Untuk merumuskan konsep yang tepat dalam mengkonservasi pura
khususnya sebagai sumber mata air sebagai upaya mempertahankan
kelestarian alam dan budaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan pada penelitian ini antara lain :
I.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan melalui penulisan ini dapat memberikan sumbangan informasi
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal usaha pelestarian/konservasi
warisan budaya khususnya arsitektur bangunan dan lansekap.
1.4.1. Manfaat Praktis
a. Penulis lain
Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat membantu penulisan-
penulisan pada penelitian lain yang akan diadakan dalam konteks yang
-
4
sama, baik yang bertujuan memperdalam maupun mengambil aspek
berbeda dalam penulisan ini.
b. Masyarakat
Melalui penulisan ini diharapkan masyarakat memiliki persamaan persepsi
mengenai pelestarian warisan budaya, termasuk arsitektur pada Pura dan
sumber air di dalamnya.
c. Pemerintah
Hasil penulisan ini diharapkan mampu digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan pemerintah terkait dengan
pelestarian sebuah arsitektur warisan dan bersejarah pada Pura.
1.5 Metode Penelitian
Dalam upaya mencapai tujuan penelitian dan menjawab masalah yang telah
diidentifikasi pada awal penelitian, maka metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian untuk mengetahui suatu masalah
sosial atau kemanusiaan, berdasarkan atas usaha untuk membangun suatu gambaran
yang kompleks dan menyeluruh, dibentuk dengan kata-kata atau deskripsi, dengan
memuat pandangan-pandangan rinci dari pemberi informasi. Pelaksanaannya
dilakukan dalam setting yang alamiah. Menurut Moleong (2000), penelitian kualitatif
adalah menemukan teori dan data, walaupun tetap harus dilakukan dari kajian teori
yang telah ada.
Beberapa aspek yang terkait dalam rancangan penelitian dibagi menjadi poin-
poin yang memuat antara lain lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrument
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyajian hasil
analisis data. Penjelasan secara singkat dapat dilihat sebagai berikut:
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling yaitu lokasi
ditunjuk secara langsung tanpa melalui proses pemilihan acak, sesuai dengan
tujuan penelitian yaitu di Pura Kereban Langit, Sempidi.
-
5
b. Jenis dan Sumber data
Jenis data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data kualitatif yang tidak
terukur dan tidak bernilai numeral (bukan berupa angka) yaitu mengenai
seluk-beluk keberadaan Pura Kereban Langit baik berupa informasi sejarah,
lokasi pura, gambar/foto pura dan kepustakaan. Data kuantitatif yang
diperlukan berupa angka tahun pendirian Pura, jumlah palinggih Pura, dimensi
Pura dan sebagainya. Sedangkan sumber data terbagi menjadi dua yaitu data
primer yang didapat dari sumber informasi utama (informan) dan data
sekunder yang bersumber dari pengambilan foto, pengumpulan laporan
penelitian, dokumen dan lain-lain.
c. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrument berupa check list sebagai tabel
penentuan gambar yang didokumentasi di lapangan serta layout pura,
pedoman wawancara kepada pemangku/pangempon pura mengenai seluk-
beluk pura dan kamera digital & seperangkat komputer sebagai alat
dokumentasi pura dan alat menyusun laporan penelitian.
d. Teknik Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi langsung ke
lapangan yaitu Pura Kereban Langit dengan merekam secara visual kerusakan
Pura serta kondisi Pura secara spesifik di Desa Sading, Sempidi, melakukan
wawancara terhadap pemangku/pangempon Pura dan studi kepustakaan
mengenai manajemen konservasi dan Pura.
e. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul akan dianalisis dengan langkah identifikasi data yaitu
memilah data yang telah dikumpulkan, diedit dan dikelompokkan sesuai
dengan permasalahan yang hendak diketahui jawabannya seperti sejarah Pura,
lokasi Pura, layout Pura dan sebagainya. Langkah selanjutnya adalah
klasifikasi data yaitu hasil wawancara dan check list di lapangan akan
ditabelkan membentuk transkrip, kemudian dideskripsikan dengan teks naratif
secara formal dan gambar/foto atau bagan secara informal dengan upaya
teratur dan teliti. Data akan dikelompokkan sesuai masalah dan tujuan
penelitian. Langkah terakhir adalah interpretasi data yaitu menetapkan
jawaban masalah penelitian dengan konteks tujuan penelitian sebagai upaya
-
6
menemukan manajemen konservasi yang tepat bagi pura Kereban Langit,
Sempidi.
f. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk laporan tertulis berupa teks
narasi yang dilengkapi dengan gambar/foto pada setiap analisis yang
dihasilkan. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam memahami hasil
penulisan penelitian.
-
7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Teori Manajemen
Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang
memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi
yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya,
mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang
lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen
sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara
efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan
sesuai dengan jadwal.
Melangkah pada kegunaan manajemen, beberapa fungsi manajemen bagi
suatu proses dapat dilihat sebagai elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan
melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam
melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali
diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal
abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang,
mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini,
kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu (Wikipedia.com) :
1. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan
sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan
perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu.
Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan
dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan
untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting
dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak
dapat berjalan.
-
8
2. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan
besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian
mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut.
Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus
dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut
dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan
mana keputusan harus diambil.
3. Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua
anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan
manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi actuating artinya adalah
menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh
kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara
efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).
4. Pengevaluasian (evaluating) adalah proses pengawasan dan pengendalian
performa perusahaan untuk memastikan bahwa jalannya perusahaan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Seorang manajer dituntut untuk menemukan
masalah yang ada dalam operasional perusahaan, kemudian memecahkannya
sebelum masalah itu menjadi semakin besar.
Sedangkan sebuah manajemen yang tepat, memiliki beberapa sarana
manajemen guna mencapai tujuan yang diinginkan dari sebuah proses. Untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools
merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut
dikenal dengan 6M, yaitu man, money, materials, machines, method, dan markets.
1. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam
manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang
membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan.
Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah
makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang
yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.
2. Money atau Uang merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang
merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat
-
9
diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang
merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu
harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa
uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang
dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu
organisasi.
3. Material terdiri atas bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam
dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam
bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu
sarana. Sebab materi dan manusia tidaki dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan
tercapai hasil yang dikehendaki.
4. Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan
keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.
5. Method adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan
manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan
kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan
kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang
dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang
melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka
hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam
manajemen tetap manusianya sendiri.
6. Market atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan
(memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah barang tentu sangat penting
sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka proses produksi barang akan
berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan
pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan faktor menentukan dalam
perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan harga barang harus
sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan) konsumen.
2.2 Teori Konservasi
Pendekatan dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk melestarikan dan
mengembangkan arsitektur tradisional (arsitektur warisan) menurut Eko Budihardjo
(1987), secara garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu: a)
-
10
Preservasi; b) Konservasi atau revitalisasi. Dalam prakteknya, sering timbul kesalahan
pengertian antara ketiga konsep pelestarian (preservasi, konservasi dan revitalisasi)
tersebut di atas. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga konsep itu sama-sama
menunjukkan tujuan ke arah obyek yang sama, hanya saja tujuan dan penekanannya
yang sedikit berbeda. Untuk memperjelas pemahaman kepada ketiga konsep ini, ada
baiknya terlebih dahulu dilakukan semacam pedekatan pengertian terhadap ketiga
konsep yang dimaksud di atas.
2.2.1 Pengertian Preservasi
Preservasi adalah tindakan atau proses penerapan ukuran untuk
mempertahankan bentuk asli, integritas (kualitas yang dimiliki sebuah bangunan
dan tapaknya yang memberikan makna dan nilai), serta material bangunan atau
sebuah struktur; mencakup juga bentuk-bentuk asli dari tanaman-tanaman yang
ada di dalam tapaknya. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pekerjaan stabilisasi
jika diperlukan, tanpa melupakan pemeliharaan yang terus menerus pada material
bangunan bersejarah (Harastoeti, 1999).
Dengan kata lain, preservasi (pelestarian) juga mengandung arti
mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis
seperti keadaan asli semula. Langkah pelestarian dapat diambil dalam penanganan
bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah seperti benteng Vastenbrug dan
lingkungan keraton di Surakarta. Karena sifatnya yang statis, upaya pelestarian
semata-mata tidak akan dapat tanggap terhadap perubahan dan tuntutan
perkembangan sosial-ekonomi-kultural dari masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan pendekatan konservasi yang bersifat lebih dinamis, tidak hanya
mencakup bangunannya saja, akan tetapi juga lingkungan (conservation areas)
dan bahkan kota bersejarahnya (historic towns).
2.2.2 Konservasi
Konservasi adalah sebuah proses yang bertujuan untuk memperpanjang
umur warisan budaya bersejarah, dengan cara memelihara dan melindungi
keotentikan dan maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat digunakan
pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, apakah dengan menghidupkan
kembali fungsi lama atau dengan mengubah fungsi lama dengan fungsi baru yang
dibutuhkan (Harastoeti, 1999).
-
11
Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan
pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan
dalam Piagam Burra tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989). Di dalam
Piagam Burra yang lengkapnya bernama Icomos Charter for the Conservation
of Places of Cultural Significance (The BurraCharter), termuat definisi:
Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its
cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance
include preservation, restoration, reconstruction and adaption and will be
commonly a combination of more than one of these. (Konservasi berarti semua
proses untuk memelihara suatu tempat sedemikian untuk menjaga makna
kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya
meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan juga bisa berupa
kombinasi dari beberapa hal tersebut).
Konservasi sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan sejenisnya
bertujuan untuk menjaga atau menciptakan suatu keadaan dimana obyek yang
dikonservasi dapat tampil dengan makna kulturalnya. Dengan demikian maka
warisan karya adiluhung itu dapat memberikan manfaat yang dapat dipetik dari
berbagai aspek.Manfaat yang paling nyata adalah sebagai catatan sejarah masa
lalu, dimana para leluhur telah berhasil mewariskan sesuatu yang bernilai tinggi.
Sedangkan manfaat praktisnya bagi masyarakat adalah sebagai obyek untuk
dikunjungi (kegiatan rekreasi). Sebagai obyek rekreasi yang keberadaan
fisiknya terus terpelihara akan memberikan efek berlipat bagi manfaat-manfaat
berikutnya.
Seringkali terdengar atau termuat tulisan tentang konservasi dalam
berbagai media, dimana obyeknya kadang-kadang alam (konservasi dalam
bentuk hutan lindung, taman hutan raya, kebun raya dan sejenisnya) dan juga
perlindungan terhadap hewan langka yang dikombinasikan dengan hutan seperti
Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Ujung Kulon (Banten) dan
sebagainya.
Pada umumnya, dalam suatu lingkungan kota, obyek dan lingkup
konservasi digolongkan ke beberapa luasan (Kevin Lynch dalam Sidharta,
1989) yaitu : satuan areal, satuan pandangan/visual/landscape dan satuan fisik.
-
12
a) Satuan Areal.
Yang dimaksud dengan satuan areal/wilayah adalah suatu wilayah di
kota, berupa sub kota, atau bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan
sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada
suatu kota yang mempunyai ciri-ciri atau nilai yang khas.
b) Satuan Pandangan/Visual/Landscape.
Yang dimaksud dengan satuan pandangan/visual/landscape adalah suatu
satuan berupa aspek visual, yang dapat memberi bayangan mental atau
image yang khas tentang suatu lingkungan kota. Image ini mempunyai
arti dan peran yang penting bagi suatu kota. Ada lima hal atau unsur
pokok penting di sini, yaitu:
1. Jalur (Path)
2. Tepian (Edges)
3. Kawasan (District)
4. Pemusatan (Node)
5. Tengeran (Landmark)
Dengan melihat kelima unsur tersebut di atas, dapat diartikan bahwa
pada golongan ini termasuk juga jaringan fungsional rute bersejarah atau
jalur angkutan tradisional.
c. Satuan Fisik.
Yang dimaksud dengan satuan fisik adalah satuan yang berwujud
bangunan, kelompok atau deretan bangunan-bangunan, rangkaian
bangunan yang membentuk ruang umum atau dinding jalan, apabila
dikehendaki lebih jauh hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur-unsur
bangunan, baik unsur fungsional, struktur atau estetis ornamental.
Sedangkan secara umum, bentuk konservasi meliputi kota dan desa,
distrik, lingkungan perumahan, garis cakrawala wajah jalan dan
bangunan.
2.2.3 Revitalisasi
Revitalisasi dalam kegiatan konservasi mempunyai arti menghidupkan
kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau lingkungan bersejarah yang
sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya, dengan cara memasukkan fungsi baru ke
-
13
dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau lingkungan tersebut menjadi
hidup kembali (Harastoeti, 1999). Hal ini senada dengan pandangan Miarsono
(1997) bahwa, revitalisasi adalah mengubah suatu tempat agar dapat digunakan
untuk fungsi yang lebih sesuai, dimana tidak menuntut perubahan drastis atau
hanya sedikit dampak.
Dengan demikian, melalui sebuah pendekatan konservasi, berbagai
kegiatan dapat dilakukan, mulai dari inventarisasi bangunan bersejarah (baik yang
bersifat tradisional, maupun modern sejak jaman kolonial), upaya pemugaran
(restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan
nafas kehidupan baru.Restorasi adalah upaya pemugaran sebagai usaha
mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula tanpa melakukan tambahan-
tambahan, dan memasang komponen-komponen semula tanpa menggunakan
bahan-bahan yang baru. Restorasi juga sering diidentikkan dengan rehabilitasi.
Sedangkan rekonstruksi adalah usaha mengembalikan suatu tempat kepada
keadaan yang semirip mungkin dengan keadaan semula, baik dengan
menggunakan bahan yang lama, maupun dengan menghadirkan bahan-bahan yang
baru. Dalam beberapa kasus revitalisasi juga disetarakan dengan adaptasi yaitu
merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai, dengan
menghindari perubahan drastis dan menimbulkan dampak seminimal mungkin
(Danes, 2004).
Dalam konsep konservasi (pelestarian) terkandung berbagai sub konsep,
yaitu: (1) proteksi, (2) preservasi, (3) rekonsruksi, (4) restorasi, (5) reparasi dan (6)
adaptasi. Masing-masing sub konsep memiliki fokus dan makna tersendiri, namun
secara prinsipiil ada makna dasar yang merupakan koridor setiap usaha konservasi,
yakni: adanya prinsip keutuhan dan kelestarian; adanya prinsip stabilitas dalam
dinamika; adanya prinsip keterbukaan terhadap wawasan, teknologi dan nilai-nilai
universal dari perspektif kesejarahan, ilmu pengetahuan dan seni (Geriya, 2004:2).
Semua subkonsep dan prinsip itu, bermuara sebagai proses revitalisasi dari
warisan budaya tersebut.
Bagi Harastoeti (1999), upaya yang dilakukan dalam revitalisasi
mempunyai tujuan untuk memberikan kehidupan kembali kepada
bangunan/lingkungan dengan cara mengubah fungsi lama menjadi fungsi baru
atau dengan menyuntikkan kegiatan tertentu ke dalamnya yang berfungsi sebagai
obat. Misalnya dengan cara, seperti contoh di bawah :
-
14
a) Perubahan fungsi
- Mengubah fungsi rumah tinggal lama menjadi sebuah penginapan 'tempo
dulu', lengkap dengan suasana eksterior maupun interior serta pelayanan yang
sesuai dengan jaman didirikannya bangunan tersebut.
- Mengubah fungsi bekas penjara menjadi hotel.
- Mengubah fungsi gereja menjadi teater.
b) Memasukkan nilai tradisional ke dalam kegiatan modern
- Mempertahankan nilai ketradisionalan bangunan, namun difungsikan sesuai
dengan dengan kebutuhan jaman sekarang, misalnya bentuk-bentuk pendopo
sebagai elemen pada suatu tatanan yang modern.
- Hotel-hotel yang memiliki fasilitas modern dengan gaya arsitektur tradisional.
- Membuat reflikasi bangunan tradisional, seperti yang dapat dilihat di Taman
Mini Indonesia Indah.
c) Menyisipkan fungsi baru
Menyisipkan fungsi baru yang sedang trend pada masa kini di lingkungan
perdagangan yang sudah mati, misalnya membangun 'mall' di tengah-tengah
daerah perdagangan yang sepi, yang bisa mengundang pengunjung ke daerah itu,
sekaligus juga akan menghidupkan kembali kegitan ekonomi di situ.
Pendapat di atas sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pendapat Budihardjo
(1997) mengenai berbagai alternatif tindakan dan cara pragmatis yang dapat
digunakan dalam upaya konservasi bangunan dan lingkungan bersejarah, untuk
menangkal terkikisnya identitas metropolis, sebagai berikut:
a. Memberikan fungsi baru pada bangunan kuno. Misalnya, benteng kuno
dipugar dengan merekonstruksi kanal serta jembatannya yang dapat
diangkat, dan didalamnya dibangun fasilitas baru seperti pertokoan,
bioskop, gedung kesenian dan lain-lain. Dengan demikian sebagian
keuntungan dari kegiatan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk biaya
pelestarian bangunan kuno.
b. Latar depan dan belakang bangunan kuno dipertahankan sebagai latar
depan bangunan modern, sedangkan bangunan yang modern itu harus
direncanakan dengan penuh kepekaan agar menyatu, kental dengan citra
-
15
khas yang sudah ada sebagaimana latar belakangnya (bangunan kuno
tersebut).
c. Bangunan pengisi (infill development) yang merupakan bangunan baru
yang menempati ruang kosong atau pengganti bangunan kuno yang
sudah rusak berat, dirancang sebagai pengisi yang juga menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan bangunan disekitarnya.
d. Facade dalam situasi dan kondisi tertentu yang serba terbatas, yang
dipertahankan adalah sekadar facade bagian depannya saja, sedangkan
sisa bangunan yang lain dirombak sesuai tuntutan kebutuhan.
e. Konservasi berswadaya diterapkan untuk pelestarian arsitektur tradisional
yang masih berfungsi dengan baik dan ditempati oleh penghuni atau
pemiliknya, seperti misalnya rumah adat, rumah pangeran, museum.
Masih banyak lagi alternatif lain yang tercakup dalam kegiatan
konservasi yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi,
namun yang terpenting adalah institusi dan aparat serta peraturan
pelaksanaannya harus terpadu. Untuk itu, perlu lebih digalakkan penyusunan
Peraturan Bangunan Setempat yang mengacu pada kaidah-kaidah, patokan dan
prinsip perancangan tradisional, agar setiap daerah di Indonesia mampu
mengejawantahkan jati dirinya masing-masing yang khas, unik, dan
berkepribadian.
2.2.4 Manfaat Konservasi Warisan Budaya
Kegiatan konservasi/revitalisasi mempunyai dua sisi keuntungan, yaitu sebagai
suatu strategi untuk perlindungan bangunan kuno dan memacu pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi (economic growth and development). Ada tiga keuntungan yang
dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan, yaitu keuntungan budaya, ekononis dan
sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah
sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi
dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan
mengurangi biaya penggantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul
karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada
masyarakat (Miarsono, 1997).
-
16
Dalam buku Conservation and Planning (Hutchinson, 1974), Alan Dobby
mengutarakan bahwa konsep konservasi yang pada awalnya ditekankan pada preservasi,
pelestarian atau pengawetan monumen kuno (Ancient Munumen Act, Inggris), telah
berkembang meluas menjadi konservasi lingkungan dan bahkan kota bersejarah. Bila
kita baca Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance yang
lebih dikenal dengan Piagam Burra Tahun 1981, secara eksplisit diperoleh batasan
pengertian konservasi yang mencakup seluruh proses kegiatan mulai dari preservasi,
restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi sampai revitalisasi. Sungguh sangat luas dan
beragam, tidak lagi sekadar melestarikan dalam arti mengembalikan pada keadaan dan
bentuk aslinya saja (Budihardjo, 1997).
Lebih lanjut Budihardjo mengungkapkan, pengalaman di beberapa kota besar,
baik di dalam maupun luar negeri, menunjukkan kecenderungan bahwa banyak pusat
kota lama yang tertimpa nasib sengsara sebagai kawasan kota 'mati'. Beberapa
penyebabnya yang dapat ditemukenali adalah akibat dari semakin memadatnya arus
lalulintas, khusus pada kerusakan bangunan kuno karena termakan oleh waktu dan
terbatasnya biaya pemeliharaan, serta pola tata guna lahan tunggal (single use zoning),
sehingga kawasan tersebut hanya hidup pada jam-jam tertentu saja.
Untuk mencegah semakin merosotnya guna dan citra kawasan pusat kota lama
yang bernilai sejarah, diperlukan upaya-upaya yang inovatif untuk memberikan nafas
dan darah baru yang segar. Istilah gagahnya revitalisasi, yang mengandung arti
menghidupkan kembali suasana lingkungan kuno agar tidak semakin pudar. Upaya lain
untuk menghidupkan pusat kota lama adalah dengan memberikan fungsi baru untuk
bangunan lama yang sudah tidak lagi digunakan seperti fungsi asli semula. Bahkan
bilamana perlu, bangunan-bangunan yang sudah membahayakan dan tidak layak huni,
dapat dibongkar untuk diganti dengan bangunan baru yang mampu mewadahi tuntutan
fungsi saat ini. Tentu saja perencanaan bangunan baru yang sifatnya mengisi (infill
development) itu harus secara peka memperhatikan keserasiannya dengan bangunan
kuno di sekitarnya. Tipologi bangunan yang ada dengan segenap ragam, gaya, dan
ornamennya, harus ditangkap keunikannya untuk diejawantahkan kembali dalam bentuk
dan penampilan yang sekaligus menunjukkan modernitas dan kaitannya dengan mata
rantai sejarah masa silam (Budihardjo, 1997).
Jadi menurut Budihardjo, dalam konsep konservasi yang mutakhir, masih
dimungkinkan hadirnya bangunan modern untuk mewadahi tuntutan fungsi dan kegiatan
baru yang selalu berkembang. Konservasi dan pembangunan, tidak lagi merupakan
-
17
kutub-kutub dikotomis, melainkan bagaikan dua sisi dari keping uang yang sama.
Dirangkul keduanya, tidak untuk dipilih salah satunya saja.
Masalah klasik dalam upaya konservasi arsitektur kuno menurut Soesilo (1997)
adalah dana. Di negara maju dan makmur sekalipun, masalah ini selalu menghantui,
tetapi tidak selalu menjadi kendala karena selalu ada cara yang bisa ditempuh, asalkan
semua memiliki kesadaran dan menaruh kepedulian. Pihak-pihak pertama yang perlu
diketuk dalam misi penyelamatan arsitektur warisan ini, di antaranya adalah:
a) Kepada Pemda diharapkan benar-benar berikhtiar guna melindunginya jangan
sampai ada istilah kecolongan. Bila seorang pejabat kecolongan dan pejabat
berikutnya juga demikian, akhirnya kecolongan itu akan membudaya. Dengan
demikian, tidak ada toleransi terhadap istilah kecolongan, karena itu sudah
menjadi tanggung jawab jabatan.
b) Kepada kalangan perguruan tinggi yang biasanya paling getol gembar-gembor
untuk konservasi harus ada upaya yang lebih konkret seperti mendidik
mahasiswanya untuk tidak phobia terhadap permasalahan konservasi. Tugas
perancangan arsitektur yang diberikan tidak melulu pada lahan kosong di negeri
antah berantah, tetapi juga pada kawasan kota lama dengan pendekatan
revitalisasi dan konservasi.
c) Selain itu perlu ada kampanye pembentukan opini masyarakat terutama di
kalangan pengusaha dan investor (yang sering dituduh sebagai biang vandalisme)
tentang alternatif konservasi arsitektur yang hasilnya bisa lebih profitable dari
pada yang asal menggusur saja. Untuk kalangan ini, upaya konservasi dapat lebih
digalakkan dengan dikemas dan dijadikan trend yang bergengsi, tidak kalah
gengsinya dengan mengoleksi lukisan Affandi, Basuki Abdullah, dan Adam Lay.
d) Dalam upaya kampanye ini peran media masa sangat besar dan peran sertanya
tentu saja sangat diharapkan. Kalau setiap saat kita membaca dan mendengar
tentang pelestarian, hal ini akhirnya menjadi sangat akrab dan membudaya.
Akhirnya kecintaan terhadap arsitektur warisan tak perlu dihantui oleh trauma.
2.2.5 Motivasi dalam Melakukan Konservasi
Melakukan kegiatan konservasi memerlukan dukungan motivasi yang kuat,
supaya arah yang akan dituju dalam konservasi dapat dicapai dengan tepat sasaran.
Motivasi juga diperlukan, mengingat bahwa kegiatan konservasi akan menghadapi
tantangan atau kendala yang kompleks. Dengan motivasi yang jelas dan kuat,
-
18
diharapkan setiap tantangan dapat diatasi. Pada umumnya, ada beberapa motivasi
yang melandasi kegiatan konservasi, yaitu:
a) Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.
Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya atau
sejarah, karena budaya dan atau sejarah mengandung bahan-bahan pelajaran
yang sangat berharga. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi
spirit dari segi non fisik juga mengandung nilai yang sangat mulia. Dari segi
fisik akan dapat dipelajari nilai-nilai arsitektur yang meliputi fungsi, struktur
dan estetika melalui perwujudan bentuknya. Dari segi non fisik dapat
dipelajari banyak hal, mulai dari semangat membangun, peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi sampai dengan nilai filosofis dari obyek tersebut.
b) Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bentuk-bentuk arsitektur
kota dan lingkungan. Suatu lingkungan dengan bentuk-bentuk yang monoton
akan terlihat membosankan, karena kurang dinamis. Oleh karena itu, maka
pelestarian terhadap obyek-obyek yang spesifik akan memberikan variasi
visual yang dinamis.
c) Motivasi ekonomis, yang bermakna ganda. Di satu sisi pelestarian akan
menyebabkab nilai obyek itu akan meningkat karena terpelihara. Di sisi lain,
obyek yang dikonservasi akan memiliki nilai komersial yang menjadi sumber
pendapatan bagi banyak pihak.
d) Motivasi simbolis, dimana bangunan-bangunan merupakan gambaran fisik
tentang identitas suatu lingkungan. Bangunan fisik yang fungsinya tidak lagi
seperti semula (pada saat dibangun) tetapi kini masih terpelihara akan menjadi
simbol bahwa di lokasi tersebut pernah tercatat sebagai tempat yang sangat
penting.
Dari semua kemungkinan motivasi tersebut memang semuanya saling terkait
atau tidak terpisah-pisah, yang satu mendukung yang lainnya tergantung dari jenis
obyeknya. Masalah yang biasanya dihadapi adalah bagaimana membangkitkan
motivasi pihak-pihak untuk dapat bekerja sama dalam upaya pelestarian.
2.2.6 Kriteria Konservasi
Ada beberapa kriteria umum yang biasanya dipergunakan untuk menentukan
kegiatan konservasi. Namun demikian masih tetap diperlukan adanya kesepakatan
-
19
dari pihak-pihak yang berkaitan seperti pemilik obyek, para ahli dan pemerintah. Di
bawah ini adalah beberapa kriteria yang dimaksud :
a) Estetika
Daya tarik yang mudah dipersepsi oleh orang banyak. Karena itu bangunan-
bangunan atau obyek yang memiliki nilai sejarah, atau bangunan dengan gaya
pada suatu masa dan sekaligus nilai estetika yang tinggi sangat sepantasnya
dilestarikan. Tolok ukur nilai estetika dilakukan dengan memperhatikan
bentuk, struktur, tata ruang dan ornamen.
b) Kejamakan
Suatu bangunan atau bagian dari kota yang mewakili suatu kelas atau jenis
khusus yang cukup berperan. Tolok ukurnya adalah seberapa jauh atau
seberapa besar arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang
spesifik.
c) Kelangkaan
Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang
masih ada. Jadi termasuk karya yang sangat langka atau bahkan satu-satunya
di dunia, tidak dimiliki oleh daerah lain.
d) Peranan Sejarah.
Bangunan-bangunan dan lingkungan yang merupakan lokasi-lokasi bagi
peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan
simbolis antara peristiwa terdahulu dan sekarang.
e) Memperkuat kawasan di dekatnya.
Bangunan-bangunan dan bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan
mempengaruhi kawasan di dekatnya, atau kehadirannya sangat bermakna
untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.
f) Keistimewaan.
Bangunan-bangunan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya
yang terpanjang, tertinggi, tertua, terbesar, yang pertama dan sebagainya.
2.2.7 Prinsip-prinsip Konservasi
Beberapa prinsip konservasi yang perlu diperhatikan adalah :
-
20
a) Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari suatu
tempat dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik bangunannya,
supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang dimilikinya.
b) Maksud dari konservasi adalah untuk menangkap kembali makna kultural dari
suatu tempat dan harus bisa menjamin keamanan dan pemeliharaannya di
masa mendatang.
c) Konservasi suatu tempat harus dipertimbangkan segenap aspek yang berkaitan
dengan makna kulturalnya, tanpa menekankan pada salah satu aspek saja dan
mengorbankan aspek lainnya,
d) Suatu bangunan atau suatu hasil karya bersejarah harus tetap berada pada
lokasi historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan atau
hasil karya, tidak diperkenankan, kecuali bila hal tersebut merupakan satu-
satunya cara guna menjamin kelestariannya.
e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti bentuk,
skala, warna, tekstur dan bahan pembangunan. Setiap perubahan baru yang
akan berakibat negatif terhadap latar visual tersebut harus dicegah.
f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan
atas pemahaman terhadap makna kultral dan kondisi fisik bangunannya.
2.3 Konsep Pura
Untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-Dewa sebagai manifestasi
dari Tuhan dalam berbagai peranannya dibangun tempat-tempat pemujaan. Tempat
ibadah atau tempat pemujaan adalah bangunan-bangunan suci yang dibangun di
tempat suci atau tempat-tempat yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi
pemujaannya, tempat ibadah disebut Pura dengan tingkatan-tingkatan utama, madya,
dan sederhana.
Pura dalam berbagai bentuk dan pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan
yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga zone
(Gelebet, 1982).
1. Zone pertama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan
persembahyangan.
-
21
2. Zone tengah disebut jaba tengah tempat persiapan dan dan pengiring
upacara.
3. Zone depan disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke
dalam Pura. Dalam bentuknya yang sederhana, hanya terdapat jeroan
dengan jabaan. Sedangkan Pura yang besar ada pula yang dibagi
menjadi beberapa zone.
Pekarangan Pura dibatasi oleh tembok (tembok penyengker) pekarangan. Pintu
masuk di depan atau di jaba memakai candi bentar. Sedangkan pintu masuk ke jeroan
memakai kori agung yang terdapat dalam berbagai macam bentuk variasi dan
kreasinya sesuai dengan keindahan dan identitas arsitektur daerahnya.
Bangunan Pura umumnya menghadap ke barat, memasuki Pura menuju ke
arah timur. Demikian pula pemujaan dan persembahyangannya dilakukan menghadap
ke arah ke arah timur, ke arah matahari terbit. Komposisi massa-massa bangunan Pura
berjajar utara – selatan atau kaja – kelod di sisi timur, menghadap ke barat dan
sebagian di sisi kaja menghadap kelod. Bale pawedan dan bale piyasan di sisi barat
menghadap ke timur halaman Pura di tengah.
Pura sebagai tempat pemujaan melaksanakan ibadah agama terdapat dari
keluarga terkecil sampai lingkungan wilayah terbesar. Sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya, Pura
memiliki beberapa macam tipe. Pura untuk pemujaan keluarga , Pura untuk pemujaan
desa, Pura untuk pemujaan profesi dan Pura untuk pemujaan umat dari seluruh
wilayah (Gelebet, 1982). Beberapa macam Pura tersebut akan terbangun dengan
tatanan tertentu dalam suatu komposisi sesuai dengan fungsinya.
2.4 Peraturan Pemerintah
Di Indonesia landasan hukum untuk meiakukan pelesatarian adalah Staateblad
238/1931 tentang batasan dan peraturan mergenai bangunan-bangunan yang perlu
memperoleh perlindungan. Undang-undang ini dikenai dengan Monumenten
Ordinantie Stbl 138/1931. Undang-undang ini difokuskan pada masalah-maslah
arkeologi yang mengatur pelestarian benda purbakala seperti : dokumen tertulis,
lukisan, patung, perabot, bangunan, candi, keraton dan makam. Disebutkan bahwa
-
22
banguan yang belah berusia 50 tahun juga merupakan cakupan undang-undang
tersebut.
Perundangan tersebut diperbaharui dengan dikeluarkannya Monumenten
Ordonantie Stb1 21/1934. Pada tahun 1990 pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang No. 5/1990 tentang konservasi sumber-sumber alam
dan ekosistem.Kemudian pada tahun 1992 pemerintah mengundangkan UU no.
5/1992 tentang konservasi sumber daya budaya. Menurut undang-undang ini, obyek-
obyek buatan manusia baik kolektif maupun individu yang berusia sekurang-
kurangnya 50 tahun yang mereperesentasikan gaya pada masanya dan memiliki nilai
sejarah, pengetahuan dan budaya tertentu merupakan sumber daya budaya. Tujuan
dari konservasi ini adalah untuk memperkaya budaya Indonesia.
Dari ketentuan dan peraturan tersebut maka dalam pengolahan perlindungan
dan pemeliharaan situs beserta bcb-nya secara teknis dilakukan berdasar Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 pasal 23 ayat (1)
“perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara
penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran ; ayat (2) “Untuk kepentingan
perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya
sesuai dengan kebutuhan ; ayat (3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistim pemintakatan yang terdiri dari
mintakat inti, penyangga, dan pengembangan”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, pasal 2 menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan
pembangunan wajib melaksanakan Amdal apabila diantaranya: proses dan
kegiatannya yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumberdaya alam dan atau perlindungan cagar budaya.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menetapkan didalam Bab
VII ketentuan yang lain, Pasal 44, bahwa:
1. Setiap rencana pengembangan yang dapat mengakibatkan:
a. Tercemar, pindah, rusak, berubah, musnah atau hilangnya nilai sejarah
benda cagar budaya.
-
23
b. Tercemar dan berubahnya situs beserta lingkungannya; wajib dilaporkan
terlebih dahulu kepada Menteri.
2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis
dan dilengkapi dengan hasil studi analisis mengenai dampak lingkungannya.
-
24
BAB III
TINJAUAN PURA KEREBAN LANGIT
3.1 Lokasi Pura
Pura Kereban Langit terletak di wilayah Banjar Pekandelan, Desa Adat
Sading, Kelurahan Sempidi di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Dari Kota
Denpasar sampai di depan pasar Sempidi akan menempuh jarak 7 km dan
selanjutnya dari pasar Sempidi menuju ke arah timur membelok ke arah utara
sekitar 3 km, maka akan sampai di Desa Adat Sading. Di desa Sading membelok
lagi ke arah barat kira-kira 700 meter, tibalah di halaman depan Pura Kereban
Langit. Dibutuhkan waktu kurang lebih 25 menit dengan kecepatan rata-rata 50
km/jam.
Pura Kereban Langit berada di pinggir jurang dan di depan Pura adalah sungai
besar membentang dari arah utara ke selatan. Pura Kereban Langit berada di
Gambar 3.1 Peta Lokasi Pura KerebanLangit
Sumber : Googleearth.com
-
25
sebuah gua besar, namun di tengah-tengah langit-langit gua besar itu, terdapat
lubang sehingga sinar matahari dapat tembus masuk ke dalam gua. Di dalam gua
yang luas itu terdapat lagi gua yang berjenjang naik dan menurun dengan
kedalaman kira-kira 6 meter dan pada dasar gua yang berjenjang itu hanya dapat
dimasuki oleh seorang saja akibat ukurannya yang sempit.
Di dalam gua itu terdapat aliran air yang sangat jernih sebagai sumber amertha
yang disebut tirtha selaka. Sumber air tersebut keluar dari dinding batu di dalam
gua yang juga merembes ke bagian gua yang lain. Dari situasi lokasi inilah
rupanya nama “Kereban Langit” diberikan terhadap Pura ini yang dapat diartikan
sebagai “Pura beratapkan langit”.
3.2 Sejarah Singkat Pura
Sampai saat ini, sejarah Pura Kereban Langit belum diketemukan secara pasti
dan menurut Prasasti Sading tahun Isaka 923 pada waktu pemerintahan Sri Udayana
Gambar 3.2 Kondisi di dalam Pura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi
Gambar 3.3 Dinding pada Gua diPura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi
-
26
disebutkan bahwa Pura ini telah ada di Sading. Hanya saja nama Desa Sading saat itu
disebut Bantiran yang berarti “ramai” dan nama Bantiran berubah nama menjadi
Sading.
Mitologi Bali menyebutkan bahwa sebelum Sri Masula dan Sri Masuli lahir,
ayahandanya sempat memohon kehadapan Bhatara di gunung Tolangkir (gunung
Agung) agar permaisurinya dapat segera melahirkan. Atas petunjuk dari Bhatara di
gunung Tolangkir kepada Dalem, permaisurinya agar segera dicarikan “tirtha
selaka”. Oleh karena itu, diutuslah seorang brahmana (Ida Pedanda) bersama
iringannya menelusuri pulau Bali untuk mendapatkan tirtha selaka itu.
Pada saat brahmana itu berada di sekitar Desa Sading, serta mendekati Pura
Kereban Langit. Di dalam pura itu sedang bersembunyi seorang penjahat yang
dikejar-kejar masyarakat. Bertemulah Ida Pedanda dengan penjahat itu dalam gua dan
si penjahat merasa takut karena brahmana itu disangka akan membunuh dirinya. Ida
Pedanda menjelaskan tujuan kedatangannya ialah untuk mencari tirtha selaka atas
perintah Dalem, namun beliau pun belum mengetahui dimana tirtha selaka itu berada.
Atas petunjuk si penjahat itulah dipermaklumkan ke hadapan Ida Pedanda bahwa di
dalam gua itu terdapat tirtha yang disebut tirtha selaka. Disanalah Ida Pedanda
mengambil tirtha untuk dihaturkan kepada permaisuri Dalem dan setelah itu lahirlah
Sri Masula dan Sri Masuli (kembar).
Lambat laun karena perkembangan sejarah, sejak terbentuknya kerajaan
Mengwirajya tahun 1634 di bawah pimpinan I Gusti Agung Putu yang mebhiseka
Raja Cokorda Sakti Blambangan. Maka wilayah Desa Sading menjadi di bawah
kekuasaannya. Kemudian lama kelamaan, karena terjadi pengembangan kelaurga Puri
Mengwi dan di antaranya ada yang membangun Puri Sading maka pengawasan Pura
Kereban Langit diserahkan oleh pihak Mengwirajya kepada puri Sading bersama
masyarakatnya. Saat ini yang bertindak sebagai pengemong Pura adalah pemangku I
Nyoman Suweden, Banjar Karang Suwung, I Gede Puger, Banjar Pekandelan atau
pelimpahan pihak Puri Mengwi dan Puri Sading. Sedangkan sebagai penyiwi adalah
merupakan pemucuk yang terdiri atas 110 pawon dari Desa Sading, Sempidi, Lukluk,
Sanganan, Penebel-Tabanan, Demulih-Bangli, dan Kerandan-Badung.
-
27
3.3 Layout dan Struktur Pura
Di dalam gua terdapat sebuah padma yang merupakan palinggih Ratu Gede
Lingsir, palinggih Ratu Ayu Mas Subandar, Palinggih Ratu Made dan palinggih Ratu
Ayu di sebelah kanan. Di sebelah kanan kanan padma, diatas gua tempat tirtha selaka
terpahat relief Bima dan di depan padma terdapat beberapa buah patung penjaga dan
patung terakota. Sedangkan di luar gua terdapat dua buah Palinggih Padma. Lalu di
luar tembok pura terdapat sebuah Palinggih Ratu Bolong juga dilengkapi dengan tiga
buah bangunan untuk kepentingan adat dan agama. Di sebelah selatan Pura dibangun
sebuah tempat permandian umum dengan 5 buah pancoran permandian yang airnya
bersumber dari aliran air di gua.
Sedangkan akses utama jalan menuju ke lokasi pura berupa jalan beraspal
selebar kurang lebih 1,5 meter sepanjang 400 meter dari jalan utama, dengan
hamparan sawah/perumahan di kanan kiri jalan serta sungai sebagai batas akhir di
sebelah barat Pura. Area pura terdiri atas area parkir dan palinggih taman sari (di
dataran atas Pura), tangga dari beton menuju ke bawah (tempat Pura berada), area
jaba Pura dengan keberadaan bale kul-kul dan bale sakenem, area madya Pura dan
Gambar 3.3 Letak ObyekKonservasi dalam Gua di PuraKereban LangitSumber : Hasil Observasi,
-
28
area utama Pura yaitu di dalam gua. Fasilitas umum yang terdapat di pura ini antara
lain keberadaan toilet serta pemandian umum yang terdiri atas 5 mata pancoran.
Gambar 3.4Akses Menuju Lokasi Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
-
29
Gambar 3.5Lay Out Pura Kereban Langit secara Makro
Sumber : Hasil Observasi
-
30
3.4 Pelaba Pura
Pura Kereban Langit memiliki laba Pura yang terdiri atas 39 are, 14 are tanah
sawah serta tanah telajakan pura tanpa pipil. Laba Pura dan hasilnya dikelola oleh
pemangku Pura. Kerusakan Pura, disamping dibebankan kepada hasil laba pura juga
dibantu berupa dana punia oleh para pengemong dan penyiwi serta masyarakat.
3.5 Upacara, Pengemong & Penyiwi
Odalan di Pura Kereban Langit Desa Sading jatuh pada hari Buda Wage Ukir
yang selama ini upacara piodalannya dihaturkan oleh pemangku saja atas biaya
sendiri. Pura yang berstatus Dang Kahyangan ini melalui tingkat upacara di setiap
piodalannya setingkat dengan upacara sederhana yaitu berupa sesayut pengambean.
Pemilihan pemangku ialah berdasarkan garis keturunan.
3.6 Bantuan Pura
Pura Kereban Langit pernah menerima bantuan dari :
1. Sasana Budaya tahun 1976 sebesar Rp. 2.250.000, -
2. Departemen Agama tahun 1979 sebesar Rp. 1.000.000,-
3. Dinas Purbakala dan Pemda Badung tahun 2000 berupa pembangunan
bale Kul-kul, pemasangan paving, pengadaan fasilitas toilet dan
senderan sungai.
3.7 Kondisi Fisik Pura
Kondisi fisik bangunan pura saat ini, sesuai dengan hasil pengamatan di
lapangan, menunjukkan keadaan yang layak dan terlindung namun tidak juga seratus
persen terlepas dari kerentanan terhadap kerusakan. Beberapa kondisi bangunan yang
rusak antara lain :
1. Kondisi bale adat sakenem dan sakutus yang difungsikan sebagai tempat
melakukan kegiatan adat/agama di Pura, baik yang terdapat di jaba Pura maupun
di dalam Pura, terbilang sudah usang dari segi bahan kayu yang digunakan
sebagai struktur atapnya akibat cuaca. Kayu sudah terlihat lapuk, berlumut
sehingga bila tidak dilakukan perawatan, kemungkinan besar akan rusak. Lantai
bale berupa semen yang belum diberi keramik sehingga terlihat kusam dan kotor.
-
31
Penutup atap berupa genteng berada dalam kondisi yang lebih baik dan telah
tersentuh teknologi modern dengan menggunakan campuran semen.
2. Keberadaan fasilitas umum berupa toilet menunjukkan kondisi yang kotor dan
tidak layak pakai dan tidak sedap dipandang mata. Bila tidak dilakukan
pembersihan secara berkala akan menimbulkan kerusakan.
Gambar 3.6Pelapukan kayu pada Bale Sakenem di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
Gambar 3.7Lantai bale yang belum difinishing di Pura Kereban Langit, hanya
menggunakan semenSumber : Hasil Observasi
Gambar 3.8Kondisi Fasilitas WC di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
-
32
3. Kondisi fisik bagian Pura yang terletak di dalam gua pada kondisi lembab
cenderung basah. Gua merupakan gua yang berada di bawah tebing yang
disinyalir oleh masyarakat menyimpan sumber mata air. Gua terbuat dari batuan
andesit dengan penutup lantai batu alam yang berada dalam kondisi baik.
Kerentanan di Pura terdapat pada bagian palinggih padma, patung-patung
peninggalan serta relief pada palinggih. Kondisi udara di dalam gua yang lembab
dapat merusak permukaan obyek dengan tumbuhnya lumut, menyebabkan
pengikisan dan dapat memperpendek umur benda. Patut dilakukan tindakan
perlindungan dan pencegahan kerusakan melihat nilai pura yang begitu otentik.
Pelinggih padma berhiaskan keramik cina putih pada permukaannya dan patung
terakota yang mewakili kekhasan bentuk pada masanya merupakan benda yang
langka berupa artefak sekaligus mampu mendukung nilai sejarah pura yang tidak
banyak orang mengetahuinya. Sedangkan kondisi pelapukan terjadi pada badan
pemesuan pura yang dibangun sekitar tahun 1950-an. Bahan paras pada bagian
bawah pemesuan terlihat lapuk, berlumut dan terbongkah-bongkah di beberapa
permukaan. Bahan kayu pada kori juga telah lapuk dan berlubang membuat
tampilan kori sangat tidak terawat. Sumber air pada Pura terletak di dinding gua
bagian timur yang mengucurkan air terus menerus dengan volume yang tidak
begitu deras. Sedangkan aliran air dalam gua terlihat menggenangi sisi kanan dan
kiri gua tanpa penyaluran. Rembesan air juga mengucur dari bagian samping
lubang gua yang merupakan akses cahaya matahari masuk. Kondisi ini
memperparah kondisi fisik pura terutama mengenai palinggih ataupun patung
peninggalan yang ada di dalamnya.
Gambar 3.9Kondisi beberapa patung dan salah satu sudut gua
Sumber : Hasil Observasi
-
33
Gambar 3.9Kondisi gua dan palinggih di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
-
34
Gambar 3.10Kondisi patung dan pelapukan di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
Gambar 3.11Kondisi pelapukan pada kori dan dinding gua di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
-
35
Selain dari beberapa kerentanan yang dimiliki oleh pura sebagai obyek wisata,
beberapa kondisi potensi kawasan Pura antara lain :
a. Akses halaman Pura meskipun berdimensi tidak begitu luas, telah di paving dan
memudahkan kendaraan roda empat/roda dua bersirkulasi. Begitu pula dengan
area jaba pura hingga area madya pura yang telah dipaving, berada dalam kondisi
yang masih baik. Pura Taman Sari yang berada pada posisi di samping area parkir
sebagai tempat pesinggahan (malila cita) bethara di pura Kereban Langit juga
berada dalam kondisi baik. Pura ini didirikan sebagai solusi bagi pamedek yang
tangkil namun tidak bisa turun ke bawah.
Gambar 3.12Kondisi pelapukan pada kori dan dinding gua di Pura Kereban Langit serta Posisi pura
Kereban Langit yang terletak di bawah tebingSumber : Hasil Observasi
-
36
b. Kondisi tangga yang telah diperkeras lengkap dengan reiling menjamin keamanan
dan kenyamanan pamedek/pengunjung. Begitu pula dengan upaya penyediaan
fasilitas umum berupa WC dan bale sakenem.
c. Partisipasi pemerintah dalam melindungi kawasan Pura telah diwujudkan dengan
pembuatan senderan sungai guna melindungi area depan Pura dari pengikisan.
d. Dukungan masyarakat yang dalam hal ini oleh Desa Adat Sading dalam
melindungi kawasan Pura juga ditunjukkan dengan pelarangan pembangunan di
sekitar area laba Pura sebagai wujud penjagaan jarak kesucian Pura di wilayah
desa. Begitu pula dengan penetapan kawasan Pura sebagai obyek wisata oleh
pemerintah, merupakan salah satu upaya konservasi bagi keberadaan obyek.
Gambar 3.13Kondisi area parkir dan Pura Taman Sari di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
Gambar 3.14Kondisi senderan pada panyengker purayang berada kurang lebih 10 meter darisungai di pura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi
-
37
Gambar 3.15Upaya konservasi oleh desa adat dan pemerintah di Pura Kereban Langit
Sumber : Hasil Observasi
-
38
BAB IV
MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT
4. 1 Analisis Kerusakan di Pura Kereban Langit
Berdasarkan pada hasil observasi lapangan di Pura Kereban Langit Desa
Sading, maka didapat beberapa derajat kerusakan yang terlihat pada kondisi fisik kori
agung Pura, kondisi patung (arca) dan pelinggih pada Pura serta situasi batu gua yang
cenderung lembab dan berlumut. Kerusakan ini didefinisikan sebagai :
a. Proses Kerusakan Chemis
Faktor penyebab utama proses terjadinya kerusakan secara chemis adalah air,
baik pengaruh adanya kapilaritasi air tanah (sumber air dari dalam gua) maupun air
hujan. Disamping itu udara terpolusi juga merupakan salah satu faktor pemicu yang
tidak dapat diabaikan. Selain itu unsur lemak juga mempunyai peranan yang sangat
penting di dalam pelapukan suatu benda. Gejala pelapukan yang secara mikroskopis
terlihat pada arca dewi sri dan Ameng-ameng, arca Rama dan Wenara, beberapa buah
arca bercorak megalitik dan tiga buah palinggih ,ini disebabkan karena adanya
pengaruh kapilarisasi air tanah dan air hujan, berhubung benda tersebut berada di
dalam gua yang lembab.
b. Proses Kerusakan Biotis
Terjadinya pelapukan secara biotis disebabkan oleh adanya pertumbuhan jazad
renik. Pertumbuhan jazad renik tersebut tidak hanya mengganggu secara estetis tetapi
juga mampu menimbulkan proses pembusukan noda dari sekresi zat-zat organik yang
dihasilkan. Jenis kerusakan ini pada bagian arca yang berada di dalam gua yang
jumlahnya hampi mencapai beberapa buah, begitu pula dengan kerusakan pada kori
agung Pura serta kayu pada bale sakenem di Pura. Adapun jenis jazad yang depat
diamati adalah jenis moss, algae, dan lichen.
Melihat derajat kerusakan yang terjadi, maka kondisi tersebut dikategorikan
sebagai kerusakan alamiah akibat alam yang tidak mungkin dapat dihindari, sebab
pada prinsipnya semua benda akan mengalami proses penuaan dan akan mengalami
proses degradasi yang mengakibatkan menurunnya kualitas bahan dasar yang
-
39
digunakan. Berlandaskan pada UU No.5 Tahun 1992 mengenai cagar budaya, maka
obyek-obyek buatan manusia baik kolektif maupun individu yang berusia sekurang-
kurangnya 50 tahun yang mereperesentasikan gaya pada masanya dan memiliki nilai
sejarah, pengetahuan dan budaya tertentu merupakan sumber daya budaya yaitu pura
Kereban Langit sebagai peninggalan masa pemerintahan Raja Sri Udayana pada Isaka
923.
4.2 Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit
Menurut kriteria konservasi, pura Kereban Langit memiliki beberapa makna
kultural antara lain :
a. Estetika
Estetika atau keindahan adalah daya tarik yang mudah dipersepsi oleh
orang banyak. Palinggih pada Pura Kereban langit memiliki nilai
sejarah, atau bentuk ekspresi dengan gaya pada suatu masa dengan
penambahan keramik cina pada permukaannya dan sekaligus nilai
estetika yang tinggi sehingga sepantasnya dilestarikan. Tolok ukur
nilai estetika dilakukan dengan memperhatikan bentuk, struktur, tata
ruang dan ornamen. Bentuk arca yang khas juga memiliki nilai estetika
sejalan dengan perwujudannya sebagai dewi kemakmuran dan
kesuburan.
b. Kejamakan
Pura Kereban Langit mampu menjadi bagian dari kota/desa adat yang
mewakili suatu kelas atau jenis khusus yang cukup berperan. Tolok
ukurnya adalah keberadaan arsitekturnya yang mewakili suatu ragam
atau jenis khusus yang spesifik.
c. Kelangkaan
Keberadaan pura di dalam gua merupakan satu dari jenisnya. Jadi
termasuk karya yang sangat langka atau bahkan satu-satunya di dunia,
tidak dimiliki oleh daerah lain. Pengalaman rasa bersembahyang di
dalam gua yang beratapkan langit merupakan potensi yang langka dan
menggiurkan untuk menambah pengalaman berwisata.
d. Memperkuat kawasan di dekatnya.
Keberadaan pura Kereban Langit dan bagian kota/desa adat yang
karena investasi di dalamnya, akan mempengaruhi kawasan di
-
40
dekatnya, atau kehadirannya sangat bermakna untuk meningkatkan
kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Area inti dan pengembangan
harus terjaga kesucian dan kealamiannya guna melindungi kawasan
obyek konservasi dari kerusakan, malihat pura Kereban Langit
merupakan salah satu sumber air di Desa Adat Sading.
Berdasarkan kepada prinsip-prinsip konservasi, maka konservasi terhadap
Pura Kereban Langit yang terletak di Desa Adat Sading Kabupaten Badung ini
dilandaskan pada beberapa prinsip, di antaranya :
a. Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari
Pura Kereban Langit dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik
bangunannya, supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang
dimilikinya.
b. Maksud dari konservasi adalah untuk menangkap kembali makna
kultural, sejarah dan sakral dari Pura dan harus bisa menjamin
keamanan dan pemeliharaannya di masa mendatang sebagai tempat
persembahyangan Umat Hindu dan obyek wisata.
c. Konservasi pada Pura harus dipertimbangkan segenap aspek yang
berkaitan dengan makna kulturalnya, tanpa menekankan pada salah
satu aspek saja dan mengorbankan aspek lainnya, seperti pembuatan
fasilitas untuk Pura tanpa upaya perawatan dan pengawasan.
d. Bangunan Pura yang bersejarah harus tetap berada pada lokasi
historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan
atau hasil karya, tidak diperkenankan, kecuali bila hal tersebut
merupakan satu-satunya cara guna menjamin kelestariannya. Dengan
demikian Pura, gua, dan sumber airnya dapat lestari pada tempatnya
dan menyokong kehidupan lain di sekitarnya.
e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti
bentuk, skala, warna, tekstur dan bahan pembangunan. Setiap
perubahan baru yang akan berakibat negatif terhadap latar visual
tersebut harus dicegah. Maka aktivitas konservasi akan didasarkan
pada kondisi asli obyek dengan perekaman data sejarah dan
kerusakannya saat ini demi perencanaan konservasinya kemudian.
-
41
Kebijaksanaan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan
atas pemahaman terhadap makna kultral dan kondisi fisik bangunannya. Dengan
berdasarkan kerusakan yang dialamai oleh beberapa obyek pada Pura Kereban Langit,
maka manajemen konservasi yang baik diterapkan adalah sebagai berikut :
Kerusakan chemis dan boitis pada arca Dewi Sri, Ameng-ameng, Dewa
Wisnu, Arca Rama dan Wenara serta palinggih Ratu Gede Lingsir berupa Padma,
Ratu Ayu Mas Subandar, pelinggih Ratu Ayu dan Ratu Made akan ditangani dengan
beberapa penanganan. Secara umum kerusakan maupun pelapukan pada benda cagar
budaya yang terdapat di Pura Kereban Langit Desa Sading, dilihat persentasenya
cukup rendah (kecil). Maka selanjutnya dapat ditentukan formulasi penanganan
konservasinya yaitu berupa pembersihan mekanis kering, basah (chemis), perbaikan,
dan konsolidasi.
A. Kegiatan Konservasi (berdasarkan Tahap pada Penanganan Konservasi oleh BP3)
a. Pembersihan Mekanisme Kering
Kegiatan ini dimaksudkan adalah untuk membersihkan akumulasi debu dan
kotoran-kotoran serta endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas rumah serangga
dan kotoran binatang yang menempel pada arca. Dalam pelaksanaan pembersihan
secara mekanis kering dilakukan dengan ekstra hati-hati dan cermat untuk
menghindari terjadinya kerusakan yang baru terutama pada bagian-bagian benda yang
telah rapuh. Adapun peralatan yang dipakai yaitu dengan menggunakan sikat ijuk,
sikat gigi, kuas dan solex. Aktivitas ini dilakukan oleh tim teknis lapangan.
b. Pembersihan Secara Chemis
Pembersihan secara chemis dilakukan yaitu untuk membersihkan noda-noda
yang sulit dibersihkan di dalam pembersihan mekanis kering, yang telah dilakukan
secara maksimal, namun masih juga menyisakan kotoran-kotoran maupun jasad-jasad
renik yang masih hidup secara membandel seperti moss, algae dan lichen. Adapun
jenis bahan kimia yang dipergunakan yaitu: AC-322. Setelah dilakukan dengan cara
pengolesan ke permukaan benda, dimana bahan tersebut harus diberi kontak waktu
selama kurang lebih 24 jam, kemudian baru dilakukan pencucian sampai betul-betul
bersih sehingga PH = 7.
-
42
c. Perbaikan
Sebelum dilakukan kegiatan perbaikan dilakukan susunan percobaan dengan
tujuan untuk mencari (mencocokkan) bagian dari fragmen-fragmen arca yang pecah
maupun yang patah. Setelah itu dilakukan pembersihan pada bagian-bagian yang akan
disambung, kemudian dilanjutkan dengan penyambungan dengan mempergunakan
perekat jenis epoxy-resin dengan perbandingan 1:1. Setelah itu dilakukan kamuflase
dengan tujuan untuk memperkuat bekas-bekas sambungan tadi dan sekaligus untuk
menutupi rongga-rongga yang renggang. Adapun bahan yang digunakan yaitu semen
dicampur bubuk padas dengan perbandingan 1:6.
d. Konsolidasi
Tindakan ini sangat perlu dilakukan terutama pada bagian benda yang telah
mengalami pelapukan yang cukup serius, seperti terjadinya pengelupasan dan aus
pada permukaan benda. Untuk menanggulangi masalah tersebut telah dilakukan
tindakan konsolidasi dengan tujuan yaitu untuk memperkuat kembali permukaan
benda tersebut. Adapun jenis bahan yang digunakan adalah Paraloid B-72 dengan
pelarut Ethyl Axetate dengan konsentrasi 30%. Aplikasi bahan dilakukan dengan cara
pengolesan.
B. Manajemen Konservasi
Untuk mencapai pelaksanaan konservasi pura Kereban Langit, maka ditetapkan
sebuah perencanaan manajemen bagi obyek dengan memanfaatkan sarana manajemen
yaitu disingkat dengan 6 M, antara lain :
a. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam
perencanaan konservasi Pura Kereban Langit Desa Sading ini, sumber daya
manusia yang digunakan mengambil ahli dari beberapa bidang ilmu yang
dikelompokkan sesuai perannya dalam konservasi.
Unit penanganan konservasi yang terdiri dari tigakelompok, antara lain :
Kelompok fungsional (arsitek, arkeolog, ahli lontar, ahli sejarah dan
tenaga teknik termasuk tokoh masyarakat atau donatur)
Kelompok Penyusunan program (bagian data, bagian perumusan
program dan pengendalian dan bagian evaluasi dan pelaporan) yang
dapat diisi oleh beberapa orang dari tim ahli yang berpotensi termasuk
-
43
dari dinas-dinas pemerintahan terkait, ahli di bidang pelestarian budaya
dan sebagainya.
Bagian Unit Konservasi (terdiri dari bagian manajemen, bagian
programik serta bagian kontrak proyek) yang dapat merupakan
saringan dari sumber daya manusia LSM, masyarakat sekitar atau
anggota PHDI.
b. Method
Sumber daya manusia yang telah dikelompokkan sesuai perannya dalam
konservasi akan melaksanakan konservasi dengan beberapa metode konservasi
pada beberapa tahap kegiatan. Upaya rekonstruksi akan dilakukan pada obyek
kori agung, beberapa palinggih yang telah rapuh apabila langkah perbaikan dan
konsolidasi tidak manjur untuk diterapkan. Menurut Danes, rekonstruksi adalah
adalah usaha mengembalikan suatu tempat kepada keadaan yang semirip
mungkin dengan keadaan semula, baik dengan menggunakan bahan yang lama,
maupun dengan menghadirkan bahan-bahan yang baru). Beberapa tahap yang
direncanakan diantaranya :
1. Tahap inventarisasi data yaitu pengumpulan data mengenai sejarah
benda, kondisi benda dan pura saat ini (nama benda, umur benda, asal,
ukuran, keadaan dan deskripsi benda), dengan inventarisasi derajat
kerusakannya serta penyebab kerusakan.
Tahap ini dilakukan oleh tim tenaga ahli (kelompok fungsional) untuk
kemudian dianalisis oleh kelompok penyusunan program.
2. Tahap perencanaan konservasi ialah tahap penyusunan strategi
konservasi sesuai kerusakan obyek, penyusunan kebutuhan dana serta
pembagian tugas bagi tim ahli pada kelompoknya masing-masing
dengan terjadwal baik. Seperti teknik pembersihan mekanisme kering,
pembersihan chemis, perbaikan serta konsolidasi yang akan dilakukan
oleh tim ahli dengan kebutuhan dana terkait serta jadwal yang sesuai.
3. Tahap pelaksanaan konservasi. Susunan rencana konservasi yang telah
terprogram dengan baik akan dilaksanakan sesuai program
perencanaan oleh kelompok-kelompok tim ahli sesuai dengan
kemampuannya.
-
44
c. Money
Pendanaan yang dibutuhkan pada konseravsi pura Kereban Langit desa Sading
ini akan diakumulasikan sesuai rancangan program konservasi oleh kelompok
penyusunan program pada tahap penyusunan rencana sesuai dengan jumlah
dana yang dibutuhkan dalam aktivitas konservasi sesuai dengan tahap
perencanaan konservasi. Dana seluruhnya akan dikelola oleh kelompok unit
konservasi yang terdiri dari bagian manajemen, bagian programik serta bagian
kontrak proyek) yang dapat merupakan saringan dari sumber daya manusia
LSM, Dinas terkait, tokoh masyarakat sekitar atau anggota PHDI.
Sumber dana akan diusahakan didapat dari subsidi pemerintah, Lembaga
Mandiri Bali Heritage trust, Swadaya masyarakat, Desa Adat Sading, swasta
dan tidak menutup kemungkinan datanganya bantuan dari donatur dengan cara
sukarela atau dimohonkan sumbangan.
Dana yang telah digunakan akan dilaporkan secara transparan bagi setiap
sumber dan penggunaannya pada awal pelaksanaan konservasi, pada saat
pelaksanaan konservasi dan akhir pelaksaan konservasi secara berkala.
d. Machine. Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan
keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja. Dalam
manajemen konservasi pura Kereban Langit ini akan digunakan beberapa alat
sesuai dengan kegiatan konservasi yang akan dilakukan.
Pada tahap survey pengumpulan data, alat yang digunakan adalah kamera
digital untuk merekam secara visual kondisi pura dan masing-masing
bagiannya. Sedangkan pada tahap pembersihan akan dibutuhkan sikat ijuk,
sikat gigi, kuas dan solex. Pada tahap rekonstruksi dan konsolidasi tentunya
alat pertukangan sangat dibutuhkan.
e. Material
Bahan yang digunakan pada konservasi ini adalah bahan setengah jadi (raw
material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih
baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat
menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Pada tahap
pembersihan dan perbaikan bahan yang digunakan antara lain; untuk
penyambungan digunakan perekat jenis epoxy-resin dengan perbandingan 1:1.
Setelah itu dilakukan kamuflase dengan tujuan untuk memperkuat bekas-bekas
-
45
sambungan tadi dan sekaligus untuk menutupi rongga-rongga yang renggang.
Adapun bahan yang digunakan yaitu semen dicampur bubuk padas dengan
perbandingan 1:6. Sedangkan sebagai bahan pengawet dapat digunakan
Paraloid B-72 dengan pelarut Ethyl Axetate dengan konsentrasi 30%. Untuk
beberapa bagian pada pura yang berbahan kayu, dilakukan rekonstruksi
dengan bahan baru yang sama untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.
Dengan demikian, bahan lain yang dibutuhkan untuk konservasi pura berupa
penutup lantai (keramik) untuk bale sakenem.
f. Marketing
Merupakan suatu tempat di mana organisasi menyebarluaskan (memasarkan)
produknya. Dalam hal ini, marketing pada pura diambil dalam fungsinya
sebagai obyek wisata. Selain mampu mengharumkan nama daerah, pemasaran
ini nantinya mampu menghasilkan dana yang dapat digunakan sebagai sumber
dana pelestarian pura. Pemasaran yang tepat tentunya tidak akan
mengeksploitasi pura secara berlebihan, namun tetap menjaga kesucian pura
sebagai tempat persembahyangan bagi umat hindu. Wisata spiritual dapat
disarankan, dan akan ditetapkan tarif masuk yang sesuai dan aliran dana akan
diputar kembali dalam rangaka pelestarian pura.
Sesuai dengan kondisi Pura dengan makna kulturalnya yang spesifik,
pengembangan Pura Kereban Langit ke depan sebagai obyek wisata sangat
berprospek. Selain mampu mempertahankan nilai kultural pura bagi umatnya,
fungsinya sebagai obyek wisata akan menggerakkan ekonomi masyarakat desa dan
memberikan motivasi baru dalam konteks pelestarian. Seperti beberapa motivasi
konservasi yang dijelaskan pada bab 2, konservasi Pura Kereban Langit ini, dilandasi
oleh beberapa motivasi antara lain :
a. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.
Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya atau
sejarah berupa pura, karena budaya dan atau sejarah mengandu