MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT DI DESA...

55
MANAJEMEN KO DI DES K PRO ONSERVASI PURA KEREBAN SA ADAT SADING, SEMPIDI KABUPATEN BADUNG Ni Made Mitha Mahastuti NIP.1985070620140922001 OGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2017 N LANGIT

Transcript of MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT DI DESA...

  • MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT

    DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI

    KABUPATEN BADUNG

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

    PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017

    MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT

    DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI

    KABUPATEN BADUNG

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

    PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017

    MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT

    DI DESA ADAT SADING, SEMPIDI

    KABUPATEN BADUNG

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

    PROGRAM STUDI ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK

    UNIVERSITAS UDAYANATAHUN 2017

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

    (Tuhan Yang Maha Esa) karena berkatnyalah, tulisan ini dapat diselesaikan.

    Tulisan ini disusun sebagai bagian dari tugas-tugas selaku dosen, yang harus

    mencari sesuatu agar dapat menunjang kegiatan, dan untuk menambah wawasan

    materi perkuliahan khususnya, dan bermanfaat sebagai pengetahuan yang

    menyangkut arsitektur pada umumnya.

    Untuk mengerjakan tulisan ini, banyak foto, kliping dan sebagainya,

    maupun diskusi, wawancara dan lainnya. Tak kalah juga pentingnya adalah

    dorongan semangat, bimbingan, masukan-masukan pemikiran dan sebagainya,

    yang semuanya memberi kontribusi positif bagi penulis.

    Ucapan terima kasih disampaikan untuk semua pihak yang telah berperan

    seperti tersebut di atas, terutama Ibu Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka

    Saraswati, MT (Ketua Program Studi Arsitektur FT UNUD ) yang menugaskan

    membuat tulisan ini. Selain dari pada itu penulis juga menyampaikan terima kasih

    kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu memperkaya materi, baik

    melalui literatur, maupun wawancara.

    Harapan penulis, semoga materi sederhana ini dapat mencapai tujuannya

    yaitu memperkaya materi perkuliahan khususnya, dan pengetahuan arsitektur pada

    umumnya.

    Denpasar, Juli 2017

    Penulis

    Ni Made Mitha Mahastuti

    NIP.1985070620140922001

  • ABSTRAK

    Pura adalah tempat ibadah atau tempat pemujaan bagi Umat Hindu di Bali, salah satufungsinya adalah tempat untuk memuja Dewa Air atau jika ada sumber air yangdisucikan, maka tak jarang akan dibuatkan sebuah Pura sebagai sarana pelengkappemujaan. Banyak dijumpai di Bali, sumber mata air murni bernilai sakral berupa Purasenantiasa berdampingan dengan keberadaan taman air atau tempat umat melakukanpanglukatan/penyucian diri dengan tirtha. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Pura TirtaEmpul sebagai contoh, Pura Goa Gajah, atau Pura Gunung Kawi. Pemeliharaan danpelestarian dilakukan dengan sistem penerapan teori sakral dan profan yang seringmenimbulkan kondisi kontras antara kesakralan bangunan atau tempat suci denganbangunan yang bersifat profan.

    Beberapa realita di lapangan terkait pelestarian Pura di Bali menunjukkan beberapapelecehan terhadap nilai kesakralan produk budaya ciptaan leluhur orang Bali sendiri.Apabila dibiarkan, secara perlahan upaya pelestarian wujud budaya sakral Bali akanmengalami komodifikasi oleh masyarakat Bali sendiri sesuai kebutuhan pariwisata yangbersifat sekular dan bermotif ekonomi (Widya, 2009). Pariwisata memang layakdikembangkan namun tidak dengan pengelolaan yang tidak tepat dan mengabaikan aspeksosial budaya masyarakat Bali sendiri. Apabila terus dibiarkan, tidak menutupkemungkinan bahwa setiap Pura di Bali akan menjadi obyek wisata dengankomersialisasi berlebihan dan justru menenggelamkan nilai kesakralannya. Untuk itulahdiperlukan sebuah manajemen konservasi bagi Pura-pura di Bali bila merangkap sebagaiobyek wisata yang menawarkan nilai kesakralannya di kancah motif ekonomi pariwisata.

    Dalam keterkaitannya dengan Pura sebagai tempat pemujaan yang terkait dengan air,salah satu Pura yang memiliki keunikan dan berpotensi untuk dikembangkan sebagaisalah satu obyek wisata budaya adalah Pura Kereban Langit, Sading. Keberadaan PuraKereban Langit di Desa Adat Sading Sempidi, Badung ini belum diketahui oleh banyakorang. Pura ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata oleh pemerintah karenakeunikannya sebagai Pura di dalam gua yang mengucurkan air dari balik dinding gua,namun pengelolaannya kini dirasa belum maksimal dan oleh karena itulah perludilakukan langkah-langkah yang tepat untuk melakukan manajemen konservasi padaPura ini.

    Kata kunci: Pura, pariwisata, manajemen, konservasi

  • DAFTAR ISI

    Kata Pengantar…………………………………………………………………….

    Daftar Isi………………………………………………………………………….

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..1

    1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………………………..3

    1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………...........3

    1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………3

    1.5 Metode Penelitian…………………………………………………………….4

    BAB II KAJIAN TEORI

    2.1 Teori Manajemen………………………………………………………….….7

    2.2.Teori Konservasi……………………………………………………………...9

    2.3 Konsep Pura…………………………………………………………………20

    2.4 Peraturan Pemerintah………………………………………………………..21

    BAB III TINJAUAN PURA KEREBAN LANGIT

    3.1 Lokasi Pura…………………………………………………………………..24

    3.2 Sejarah Singkat Pura………………………………………………………....25

    3.3 Layout dan Struktur Pura…………………………………………………….27

    3.4 Pelaba Pura…………………………………………………………………...30

    3.5 Upacara, Pengemong dan Penyiwi……………………………………….......30

    3.6 Bantuan Pura……………………………………………………………...….30

    3.7 Kondisi Fisik Pura……………………………………………………………30

    BAB IV MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT

    4.1 Analisis Kerusakan pada Pura Kereban Langit………………………………38

    4.2 Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit………………………………..39

    iii

  • BAB V SIMPULAN dan SARAN

    5.1 Simpulan…………………………………………………………………..…48

    5.2 Saran…………………………………………………………………………48

    Daftar Pustaka……………………………………………....................................

  • DAFTAR PUSTAKA

    Budihardjo, Eko. 1987. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    _____ (ed). 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: PenerbitDjambatan.

    _____ 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Penerbit Andi.

    Danes, Popo. 2004. “Metode dan Teknologi Pelestarian Warisan Budaya”.Kumpulan Materi Program Inovatif TOT (Training of Trainer) KonservasiWarisan Budaya Bali Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian WarisanBudaya Bali (Bali Heritage Trust). Denpasar: Bali Heritage Trust, DinasKebudayaan Propinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan KebudayaanUniversitas Udayana. .

    Garnham, Harry Launce. 1985. Maintaining the Spirit of Place, A Process for ThePreservation of Town Character. Mesa-Arizona, PDA PublishersCorporation.

    Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

    Geriya, Wayan. 2002, 2004. “Konsep Dasar, Dimensi Filosofi dan StrategiKonservasi”. Kumpulan Materi Program Inovatif TOT (Training of Trainer)Konservasi Warisan Budaya Bali Dalam Pemberdayaan LembagaPelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust). Denpasar: BaliHeritage Trust, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dan Pusat PenelitianPariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.

    Harastoeti, DH. 1999. “Revitalisasi Bangunan dan Lingkungan Bersejarah diIndonesia”. Dalam Jurnal Arsitektur 'Tatanan' Volume 1 Nomor 1 Juli 1999(ISSN: 0215-7845). Bandung: Jurusan Arsitektur Fakultas TeknikUniversitas Katolik Parahyangan: 19-26.

    Koentjaningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, PenerbitPT. Gramedia.

    Koentjaningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Penerbit Aksara Baru.

    Maryono, Irawan, dkk. 1985. Pencerminan Nilai dalam Arsitektur di Indonesia(Laporan Seminar Tata Lingkungan Mahasiswa Arsitektur FT UI BimbinganDipl.Ing. Suwondo B. Sutedjo. Jakarta: Penerbit Djambatan.

    Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 1999. Paparan Program PelestarianWarisan Budaya Propinsi Bali. Denpasar, Dinas Kebudayaan PropinsiDaerah Tingkat I Bali.

  • Pemerintah Republik Indonesia. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan PemerintahRepublik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992.

    Rahardjo, Slamet. 1983. “Pendekatan Budaya Terhadap Integrasi Nasional”, artikelbuku Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia, editor Nurdien HK. Bandung:Penerbit Alumni.

    Salain, Putu Rumawan. 2001. Dinamika Arsitektur Dalam Wacana Konservasi.Makalah Training dan Kepedulian Konservasi. Denpasar, Bali Kuna.

    ______, 2002. “Metode, Teknologi Pelestarian Living Culture dan Dead Monument:Suatu Upaya Pelestarian Warisan Budaya Bali”. Kumpulan Materi ProgramInovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali DalamPemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali HeritageTrust). Denpasar: Bali Heritage Trust, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali danPusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.

    Soesilo, A. Rudyanto. 1997. “Arsitektur dan Mode dalam Arsitektur Pembangunandan Konservasi”, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi (Budihardjoeditor). Jakarta: Penerbit Djambatan: 78-81.

    Sidharta dan Eko Budihardjo. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan KunoBersejarah di Surakarta. Yogyakarta, Gajah Mada University Press.

    Widya, Paramadhyaksa I Nyoman. 2009. “Nilai-nilai Sakral Budaya Bali : AntaraDilestarikan, Dipamerkan dan Dilecehkan”. Makalah dalam ProceedingsSeminar Nasional Pariwisata dan Pembangunan Keruangan di KabupatenBadung. Denpasar : Program Studi Magister Arsitektur Unud.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Menelusuri keberadaan peninggalan sejarah berupa sumber mata air di Bali

    pada umumnya, pikiran akan langsung tertuju pada keberadaan Pura yang secara

    signifikan menjadi tempat pemujaan dewa air sebagai pembawa berkah dalam

    keyakinan Agama Hindu di Bali. Seperti yang diketahui, tempat-tempat bersejarah di

    Bali atau yang berusia lampau berupa peninggalan kerajaan atau jejak leluhur, akan

    berstatus Pura sebagai bentuk penghargaan Umat Hindu terhadap keberadaannya

    sekaligus menjaga makna peninggalan tersebut agar berkelanjutan dan sakral. Maka

    dari itu, keberadaan Pura di Bali tak terhitung jumlahnya oleh jari hingga diberi

    julukan Pulau Seribu Pura.

    Pura secara makro digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang

    Maha Esa dan dewa-dewa sebagai manifestasi dari Tuhan dalam berbagai

    peranannya. Tempat ibadah atau pemujaan adalah bangunan-bangunan suci yang

    dibangun di tempat suci atau tempat-tempat yang disucikan (Gelebet, 1982). Dalam

    berbagai bentuk dan fungsi pemujaannya, tempat ibadah disebut Pura dengan

    tingkatan-tingkatan seperti utama, madya, dan sederhana. Dalam perkembangannya

    kini, Pura terbangun sebagai tempat pemujaan/tempat ibadah umat beragama Hindu

    yang tidak lepas dari imbas kemajuan teknologi dan perubahan jaman.

    Banyak dijumpai di Bali, sumber mata air murni bernilai sakral berupa Pura

    senantiasa berdampingan dengan keberadaan taman air atau tempat umat melakukan

    panglukatan/penyucian diri dengan tirtha. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Pura

    Tirta Empul sebagai contoh, Pura Goa Gajah, atau Pura Gunung Kawi. Keberlanjutan

    makna ruang dan waktu dari Pura tersebut merupakan salah satu kontribusi aktivitas

    konservasi terhadap sebuah obyek Pura di Bali oleh masyarakat beragama Hindu

    secara tidak langsung. Pemeliharaan dan pelestarian dilakukan dengan sistem

    penerapan teori sakral dan profan yang sering menimbulkan kondisi kontras antara

    kesakralan bangunan atau tempat suci dengan bangunan yang bersifat profan.

  • 2

    Seperti yang diungkapkan oleh Widya (2009) dalam prosiding Seminar

    Nasional Pariwisata dan Pembangunan Keruangan di Kabupaten Badung, bahwa

    beberapa realita di lapangan terkait pelestarian Pura di Bali menunjukkan beberapa

    pelecehan terhadap nilai kesakralan produk budaya ciptaan leluhur orang Bali sendiri.

    Terlihat pada aktivitas paralayang para wisatawan yang berjarak begitu dekat dengan

    posisi Pura atau Pura yang dimanfaatkan sebagai obyek latar bagi bangunan hotel

    baru. Dalam penelusuran ritual upacara, para wisatawan seringkali diijinkan masuk

    dengan jarak yang dekat untuk memotret sebagian aktivitas sakral di Pura sebagai

    konsekuensi dampak pariwisata yang terkesan melecehkan kesucian Pura dan prosesi

    ritual masyarakat yang berlangsung di dalamnya.

    Apabila dibiarkan, secara perlahan upaya pelestarian wujud budaya sakral Bali

    akan mengalami komodifikasi, dipamerkan, dan dikomersialisasikan oleh masyarakat

    Bali sendiri sesuai kebutuhan pariwisata yang bersifat sekular dan bermotif ekonomi

    (Widya, 2009). Pariwisata memang layak dikembangkan namun tidak dengan

    pengelolaan yang tidak tepat atau hanya mementingkan aspek ekonomi dan

    mengabaikan aspek sosial budaya masyarakat Bali sendiri. Apabila terus dibiarkan,

    tidak menutup kemungkinan bahwa setiap Pura di Bali akan menjadi obyek wisata

    dengan komersialisasi berlebihan dan justru menenggelamkan nilai kesakralannya.

    Untuk itulah diperlukan sebuah manajemen konservasi bagi Pura-pura di Bali

    bila merangkap sebagai obyek wisata yang menawarkan nilai kesakralannya di kancah

    motif ekonomi pariwisata. Pengelolaan pariwisata yang kurang bijaksana dapat

    menimbulkan efek negatif yang besar serta menyimpan problema dalam skala luas

    bagi masyarakat penikmatnya sendiri. Untuk merumuskan konsep tersebut, tulisan ini

    disusun sebagai upaya perumusan konsep manajemen konservasi sebuah pura sebagai

    sumber air. Studi kasus dilakukan pada obyek wisata Pura Kereban Langit di Sempidi.

    Kondisi keberadaan Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading Sempidi, Badung ini

    belum diketahui oleh banyak orang. Pura ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata

    oleh pemerintah karena keunikannya sebagai Pura di dalam gua yang mengucurkan

    air dari balik dinding gua (wawancara, 2009). Karakteristik tapak pura yang berada di

    bibir tebing membuat letaknya sedikit tersembunyi.

  • 3

    1.2 Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka masalah yang dapat

    diidentifikasi antara lain :

    I.2.1 Bagaimanakah kondisi Pura Kereban Langit saat ini serta seluk-beluk

    keberadaannya?

    I.2.2 Bagaimanakah manajemen konservasi yang tepat bagi Pura dalam rangka

    mempertahankan signifikansi budaya yang dimiliki dari kerusakan/

    kepunahan?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian dengan judul “Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit

    di Desa Adat Sading, Sempidi” ini, di antaranya :

    I.3.1 Untuk mengetahui dan merumuskan langkah manajemen konservasi yang

    tepat bagi Pura Kereban Langit dalam rangka mempertahankan signifikansi

    nilai yang dimilikinya sebagai warisan budaya.

    I.3.2 Untuk merumuskan konsep yang tepat dalam mengkonservasi pura

    khususnya sebagai sumber mata air sebagai upaya mempertahankan

    kelestarian alam dan budaya.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Beberapa manfaat yang diharapkan pada penelitian ini antara lain :

    I.4.1 Manfaat Teoritis

    Diharapkan melalui penulisan ini dapat memberikan sumbangan informasi

    bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal usaha pelestarian/konservasi

    warisan budaya khususnya arsitektur bangunan dan lansekap.

    1.4.1. Manfaat Praktis

    a. Penulis lain

    Dengan adanya penulisan ini diharapkan dapat membantu penulisan-

    penulisan pada penelitian lain yang akan diadakan dalam konteks yang

  • 4

    sama, baik yang bertujuan memperdalam maupun mengambil aspek

    berbeda dalam penulisan ini.

    b. Masyarakat

    Melalui penulisan ini diharapkan masyarakat memiliki persamaan persepsi

    mengenai pelestarian warisan budaya, termasuk arsitektur pada Pura dan

    sumber air di dalamnya.

    c. Pemerintah

    Hasil penulisan ini diharapkan mampu digunakan sebagai bahan

    pertimbangan dalam membuat kebijakan pemerintah terkait dengan

    pelestarian sebuah arsitektur warisan dan bersejarah pada Pura.

    1.5 Metode Penelitian

    Dalam upaya mencapai tujuan penelitian dan menjawab masalah yang telah

    diidentifikasi pada awal penelitian, maka metode yang digunakan pada penelitian ini

    adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif.

    Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian untuk mengetahui suatu masalah

    sosial atau kemanusiaan, berdasarkan atas usaha untuk membangun suatu gambaran

    yang kompleks dan menyeluruh, dibentuk dengan kata-kata atau deskripsi, dengan

    memuat pandangan-pandangan rinci dari pemberi informasi. Pelaksanaannya

    dilakukan dalam setting yang alamiah. Menurut Moleong (2000), penelitian kualitatif

    adalah menemukan teori dan data, walaupun tetap harus dilakukan dari kajian teori

    yang telah ada.

    Beberapa aspek yang terkait dalam rancangan penelitian dibagi menjadi poin-

    poin yang memuat antara lain lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrument

    penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik penyajian hasil

    analisis data. Penjelasan secara singkat dapat dilihat sebagai berikut:

    a. Lokasi Penelitian

    Lokasi penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling yaitu lokasi

    ditunjuk secara langsung tanpa melalui proses pemilihan acak, sesuai dengan

    tujuan penelitian yaitu di Pura Kereban Langit, Sempidi.

  • 5

    b. Jenis dan Sumber data

    Jenis data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data kualitatif yang tidak

    terukur dan tidak bernilai numeral (bukan berupa angka) yaitu mengenai

    seluk-beluk keberadaan Pura Kereban Langit baik berupa informasi sejarah,

    lokasi pura, gambar/foto pura dan kepustakaan. Data kuantitatif yang

    diperlukan berupa angka tahun pendirian Pura, jumlah palinggih Pura, dimensi

    Pura dan sebagainya. Sedangkan sumber data terbagi menjadi dua yaitu data

    primer yang didapat dari sumber informasi utama (informan) dan data

    sekunder yang bersumber dari pengambilan foto, pengumpulan laporan

    penelitian, dokumen dan lain-lain.

    c. Instrumen Penelitian

    Penelitian ini menggunakan instrument berupa check list sebagai tabel

    penentuan gambar yang didokumentasi di lapangan serta layout pura,

    pedoman wawancara kepada pemangku/pangempon pura mengenai seluk-

    beluk pura dan kamera digital & seperangkat komputer sebagai alat

    dokumentasi pura dan alat menyusun laporan penelitian.

    d. Teknik Pengumpulan Data

    Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi langsung ke

    lapangan yaitu Pura Kereban Langit dengan merekam secara visual kerusakan

    Pura serta kondisi Pura secara spesifik di Desa Sading, Sempidi, melakukan

    wawancara terhadap pemangku/pangempon Pura dan studi kepustakaan

    mengenai manajemen konservasi dan Pura.

    e. Teknik Analisis Data

    Data yang terkumpul akan dianalisis dengan langkah identifikasi data yaitu

    memilah data yang telah dikumpulkan, diedit dan dikelompokkan sesuai

    dengan permasalahan yang hendak diketahui jawabannya seperti sejarah Pura,

    lokasi Pura, layout Pura dan sebagainya. Langkah selanjutnya adalah

    klasifikasi data yaitu hasil wawancara dan check list di lapangan akan

    ditabelkan membentuk transkrip, kemudian dideskripsikan dengan teks naratif

    secara formal dan gambar/foto atau bagan secara informal dengan upaya

    teratur dan teliti. Data akan dikelompokkan sesuai masalah dan tujuan

    penelitian. Langkah terakhir adalah interpretasi data yaitu menetapkan

    jawaban masalah penelitian dengan konteks tujuan penelitian sebagai upaya

  • 6

    menemukan manajemen konservasi yang tepat bagi pura Kereban Langit,

    Sempidi.

    f. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

    Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk laporan tertulis berupa teks

    narasi yang dilengkapi dengan gambar/foto pada setiap analisis yang

    dihasilkan. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam memahami hasil

    penulisan penelitian.

  • 7

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1 Teori Manajemen

    Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang

    memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi

    yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya,

    mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.

    Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang

    lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen

    sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan

    pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.

    Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara

    efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan

    sesuai dengan jadwal.

    Melangkah pada kegunaan manajemen, beberapa fungsi manajemen bagi

    suatu proses dapat dilihat sebagai elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan

    melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam

    melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali

    diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal

    abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang,

    mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini,

    kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu (Wikipedia.com) :

    1. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan

    sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan

    perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu.

    Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan

    dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan

    untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting

    dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak

    dapat berjalan.

  • 8

    2. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan

    besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian

    mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang

    yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut.

    Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus

    dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut

    dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan

    mana keputusan harus diambil.

    3. Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua

    anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan

    manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi actuating artinya adalah

    menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh

    kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara

    efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).

    4. Pengevaluasian (evaluating) adalah proses pengawasan dan pengendalian

    performa perusahaan untuk memastikan bahwa jalannya perusahaan sesuai dengan

    rencana yang telah ditetapkan. Seorang manajer dituntut untuk menemukan

    masalah yang ada dalam operasional perusahaan, kemudian memecahkannya

    sebelum masalah itu menjadi semakin besar.

    Sedangkan sebuah manajemen yang tepat, memiliki beberapa sarana

    manajemen guna mencapai tujuan yang diinginkan dari sebuah proses. Untuk

    mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana (tools). Tools

    merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut

    dikenal dengan 6M, yaitu man, money, materials, machines, method, dan markets.

    1. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam

    manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia yang

    membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan.

    Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah

    makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya orang-orang

    yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.

    2. Money atau Uang merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang

    merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan dapat

  • 9

    diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh karena itu uang

    merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan karena segala sesuatu

    harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa

    uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat yang

    dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu

    organisasi.

    3. Material terdiri atas bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam

    dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang ahli dalam

    bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu

    sarana. Sebab materi dan manusia tidaki dapat dipisahkan, tanpa materi tidak akan

    tercapai hasil yang dikehendaki.

    4. Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan

    keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.

    5. Method adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya pekerjaan

    manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara pelaksanaan

    kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan

    kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta uang

    dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang

    melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai pengalaman maka

    hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan utama dalam

    manajemen tetap manusianya sendiri.

    6. Market atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan

    (memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah barang tentu sangat penting

    sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka proses produksi barang akan

    berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab itu, penguasaan

    pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan faktor menentukan dalam

    perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas dan harga barang harus

    sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan) konsumen.

    2.2 Teori Konservasi

    Pendekatan dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk melestarikan dan

    mengembangkan arsitektur tradisional (arsitektur warisan) menurut Eko Budihardjo

    (1987), secara garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu: a)

  • 10

    Preservasi; b) Konservasi atau revitalisasi. Dalam prakteknya, sering timbul kesalahan

    pengertian antara ketiga konsep pelestarian (preservasi, konservasi dan revitalisasi)

    tersebut di atas. Hal ini disebabkan oleh karena ketiga konsep itu sama-sama

    menunjukkan tujuan ke arah obyek yang sama, hanya saja tujuan dan penekanannya

    yang sedikit berbeda. Untuk memperjelas pemahaman kepada ketiga konsep ini, ada

    baiknya terlebih dahulu dilakukan semacam pedekatan pengertian terhadap ketiga

    konsep yang dimaksud di atas.

    2.2.1 Pengertian Preservasi

    Preservasi adalah tindakan atau proses penerapan ukuran untuk

    mempertahankan bentuk asli, integritas (kualitas yang dimiliki sebuah bangunan

    dan tapaknya yang memberikan makna dan nilai), serta material bangunan atau

    sebuah struktur; mencakup juga bentuk-bentuk asli dari tanaman-tanaman yang

    ada di dalam tapaknya. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pekerjaan stabilisasi

    jika diperlukan, tanpa melupakan pemeliharaan yang terus menerus pada material

    bangunan bersejarah (Harastoeti, 1999).

    Dengan kata lain, preservasi (pelestarian) juga mengandung arti

    mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis

    seperti keadaan asli semula. Langkah pelestarian dapat diambil dalam penanganan

    bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah seperti benteng Vastenbrug dan

    lingkungan keraton di Surakarta. Karena sifatnya yang statis, upaya pelestarian

    semata-mata tidak akan dapat tanggap terhadap perubahan dan tuntutan

    perkembangan sosial-ekonomi-kultural dari masyarakat. Oleh karena itu

    diperlukan pendekatan konservasi yang bersifat lebih dinamis, tidak hanya

    mencakup bangunannya saja, akan tetapi juga lingkungan (conservation areas)

    dan bahkan kota bersejarahnya (historic towns).

    2.2.2 Konservasi

    Konservasi adalah sebuah proses yang bertujuan untuk memperpanjang

    umur warisan budaya bersejarah, dengan cara memelihara dan melindungi

    keotentikan dan maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat digunakan

    pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, apakah dengan menghidupkan

    kembali fungsi lama atau dengan mengubah fungsi lama dengan fungsi baru yang

    dibutuhkan (Harastoeti, 1999).

  • 11

    Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan

    pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan

    dalam Piagam Burra tahun 1981 (Sidharta dan Budihardjo, 1989). Di dalam

    Piagam Burra yang lengkapnya bernama Icomos Charter for the Conservation

    of Places of Cultural Significance (The BurraCharter), termuat definisi:

    Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its

    cultural significance. It includes maintenance and may according circumstance

    include preservation, restoration, reconstruction and adaption and will be

    commonly a combination of more than one of these. (Konservasi berarti semua

    proses untuk memelihara suatu tempat sedemikian untuk menjaga makna

    kulturalnya. Di dalamnya termasuk memelihara sesuai dengan keadaannya

    meliputi preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi dan juga bisa berupa

    kombinasi dari beberapa hal tersebut).

    Konservasi sebagai upaya pelestarian, perlindungan dan sejenisnya

    bertujuan untuk menjaga atau menciptakan suatu keadaan dimana obyek yang

    dikonservasi dapat tampil dengan makna kulturalnya. Dengan demikian maka

    warisan karya adiluhung itu dapat memberikan manfaat yang dapat dipetik dari

    berbagai aspek.Manfaat yang paling nyata adalah sebagai catatan sejarah masa

    lalu, dimana para leluhur telah berhasil mewariskan sesuatu yang bernilai tinggi.

    Sedangkan manfaat praktisnya bagi masyarakat adalah sebagai obyek untuk

    dikunjungi (kegiatan rekreasi). Sebagai obyek rekreasi yang keberadaan

    fisiknya terus terpelihara akan memberikan efek berlipat bagi manfaat-manfaat

    berikutnya.

    Seringkali terdengar atau termuat tulisan tentang konservasi dalam

    berbagai media, dimana obyeknya kadang-kadang alam (konservasi dalam

    bentuk hutan lindung, taman hutan raya, kebun raya dan sejenisnya) dan juga

    perlindungan terhadap hewan langka yang dikombinasikan dengan hutan seperti

    Taman Nasional Bali Barat, Taman Nasional Ujung Kulon (Banten) dan

    sebagainya.

    Pada umumnya, dalam suatu lingkungan kota, obyek dan lingkup

    konservasi digolongkan ke beberapa luasan (Kevin Lynch dalam Sidharta,

    1989) yaitu : satuan areal, satuan pandangan/visual/landscape dan satuan fisik.

  • 12

    a) Satuan Areal.

    Yang dimaksud dengan satuan areal/wilayah adalah suatu wilayah di

    kota, berupa sub kota, atau bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan

    sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan seperti ini bisa terjadi pada

    suatu kota yang mempunyai ciri-ciri atau nilai yang khas.

    b) Satuan Pandangan/Visual/Landscape.

    Yang dimaksud dengan satuan pandangan/visual/landscape adalah suatu

    satuan berupa aspek visual, yang dapat memberi bayangan mental atau

    image yang khas tentang suatu lingkungan kota. Image ini mempunyai

    arti dan peran yang penting bagi suatu kota. Ada lima hal atau unsur

    pokok penting di sini, yaitu:

    1. Jalur (Path)

    2. Tepian (Edges)

    3. Kawasan (District)

    4. Pemusatan (Node)

    5. Tengeran (Landmark)

    Dengan melihat kelima unsur tersebut di atas, dapat diartikan bahwa

    pada golongan ini termasuk juga jaringan fungsional rute bersejarah atau

    jalur angkutan tradisional.

    c. Satuan Fisik.

    Yang dimaksud dengan satuan fisik adalah satuan yang berwujud

    bangunan, kelompok atau deretan bangunan-bangunan, rangkaian

    bangunan yang membentuk ruang umum atau dinding jalan, apabila

    dikehendaki lebih jauh hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur-unsur

    bangunan, baik unsur fungsional, struktur atau estetis ornamental.

    Sedangkan secara umum, bentuk konservasi meliputi kota dan desa,

    distrik, lingkungan perumahan, garis cakrawala wajah jalan dan

    bangunan.

    2.2.3 Revitalisasi

    Revitalisasi dalam kegiatan konservasi mempunyai arti menghidupkan

    kembali kegiatan sosial dan ekonomi bangunan atau lingkungan bersejarah yang

    sudah kehilangan vitalitas fungsi aslinya, dengan cara memasukkan fungsi baru ke

  • 13

    dalamnya sebagai daya tarik, agar bangunan atau lingkungan tersebut menjadi

    hidup kembali (Harastoeti, 1999). Hal ini senada dengan pandangan Miarsono

    (1997) bahwa, revitalisasi adalah mengubah suatu tempat agar dapat digunakan

    untuk fungsi yang lebih sesuai, dimana tidak menuntut perubahan drastis atau

    hanya sedikit dampak.

    Dengan demikian, melalui sebuah pendekatan konservasi, berbagai

    kegiatan dapat dilakukan, mulai dari inventarisasi bangunan bersejarah (baik yang

    bersifat tradisional, maupun modern sejak jaman kolonial), upaya pemugaran

    (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan

    nafas kehidupan baru.Restorasi adalah upaya pemugaran sebagai usaha

    mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula tanpa melakukan tambahan-

    tambahan, dan memasang komponen-komponen semula tanpa menggunakan

    bahan-bahan yang baru. Restorasi juga sering diidentikkan dengan rehabilitasi.

    Sedangkan rekonstruksi adalah usaha mengembalikan suatu tempat kepada

    keadaan yang semirip mungkin dengan keadaan semula, baik dengan

    menggunakan bahan yang lama, maupun dengan menghadirkan bahan-bahan yang

    baru. Dalam beberapa kasus revitalisasi juga disetarakan dengan adaptasi yaitu

    merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai, dengan

    menghindari perubahan drastis dan menimbulkan dampak seminimal mungkin

    (Danes, 2004).

    Dalam konsep konservasi (pelestarian) terkandung berbagai sub konsep,

    yaitu: (1) proteksi, (2) preservasi, (3) rekonsruksi, (4) restorasi, (5) reparasi dan (6)

    adaptasi. Masing-masing sub konsep memiliki fokus dan makna tersendiri, namun

    secara prinsipiil ada makna dasar yang merupakan koridor setiap usaha konservasi,

    yakni: adanya prinsip keutuhan dan kelestarian; adanya prinsip stabilitas dalam

    dinamika; adanya prinsip keterbukaan terhadap wawasan, teknologi dan nilai-nilai

    universal dari perspektif kesejarahan, ilmu pengetahuan dan seni (Geriya, 2004:2).

    Semua subkonsep dan prinsip itu, bermuara sebagai proses revitalisasi dari

    warisan budaya tersebut.

    Bagi Harastoeti (1999), upaya yang dilakukan dalam revitalisasi

    mempunyai tujuan untuk memberikan kehidupan kembali kepada

    bangunan/lingkungan dengan cara mengubah fungsi lama menjadi fungsi baru

    atau dengan menyuntikkan kegiatan tertentu ke dalamnya yang berfungsi sebagai

    obat. Misalnya dengan cara, seperti contoh di bawah :

  • 14

    a) Perubahan fungsi

    - Mengubah fungsi rumah tinggal lama menjadi sebuah penginapan 'tempo

    dulu', lengkap dengan suasana eksterior maupun interior serta pelayanan yang

    sesuai dengan jaman didirikannya bangunan tersebut.

    - Mengubah fungsi bekas penjara menjadi hotel.

    - Mengubah fungsi gereja menjadi teater.

    b) Memasukkan nilai tradisional ke dalam kegiatan modern

    - Mempertahankan nilai ketradisionalan bangunan, namun difungsikan sesuai

    dengan dengan kebutuhan jaman sekarang, misalnya bentuk-bentuk pendopo

    sebagai elemen pada suatu tatanan yang modern.

    - Hotel-hotel yang memiliki fasilitas modern dengan gaya arsitektur tradisional.

    - Membuat reflikasi bangunan tradisional, seperti yang dapat dilihat di Taman

    Mini Indonesia Indah.

    c) Menyisipkan fungsi baru

    Menyisipkan fungsi baru yang sedang trend pada masa kini di lingkungan

    perdagangan yang sudah mati, misalnya membangun 'mall' di tengah-tengah

    daerah perdagangan yang sepi, yang bisa mengundang pengunjung ke daerah itu,

    sekaligus juga akan menghidupkan kembali kegitan ekonomi di situ.

    Pendapat di atas sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pendapat Budihardjo

    (1997) mengenai berbagai alternatif tindakan dan cara pragmatis yang dapat

    digunakan dalam upaya konservasi bangunan dan lingkungan bersejarah, untuk

    menangkal terkikisnya identitas metropolis, sebagai berikut:

    a. Memberikan fungsi baru pada bangunan kuno. Misalnya, benteng kuno

    dipugar dengan merekonstruksi kanal serta jembatannya yang dapat

    diangkat, dan didalamnya dibangun fasilitas baru seperti pertokoan,

    bioskop, gedung kesenian dan lain-lain. Dengan demikian sebagian

    keuntungan dari kegiatan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk biaya

    pelestarian bangunan kuno.

    b. Latar depan dan belakang bangunan kuno dipertahankan sebagai latar

    depan bangunan modern, sedangkan bangunan yang modern itu harus

    direncanakan dengan penuh kepekaan agar menyatu, kental dengan citra

  • 15

    khas yang sudah ada sebagaimana latar belakangnya (bangunan kuno

    tersebut).

    c. Bangunan pengisi (infill development) yang merupakan bangunan baru

    yang menempati ruang kosong atau pengganti bangunan kuno yang

    sudah rusak berat, dirancang sebagai pengisi yang juga menyesuaikan diri

    dengan lingkungan dan bangunan disekitarnya.

    d. Facade dalam situasi dan kondisi tertentu yang serba terbatas, yang

    dipertahankan adalah sekadar facade bagian depannya saja, sedangkan

    sisa bangunan yang lain dirombak sesuai tuntutan kebutuhan.

    e. Konservasi berswadaya diterapkan untuk pelestarian arsitektur tradisional

    yang masih berfungsi dengan baik dan ditempati oleh penghuni atau

    pemiliknya, seperti misalnya rumah adat, rumah pangeran, museum.

    Masih banyak lagi alternatif lain yang tercakup dalam kegiatan

    konservasi yang meliputi preservasi, restorasi, rehabilitasi dan revitalisasi,

    namun yang terpenting adalah institusi dan aparat serta peraturan

    pelaksanaannya harus terpadu. Untuk itu, perlu lebih digalakkan penyusunan

    Peraturan Bangunan Setempat yang mengacu pada kaidah-kaidah, patokan dan

    prinsip perancangan tradisional, agar setiap daerah di Indonesia mampu

    mengejawantahkan jati dirinya masing-masing yang khas, unik, dan

    berkepribadian.

    2.2.4 Manfaat Konservasi Warisan Budaya

    Kegiatan konservasi/revitalisasi mempunyai dua sisi keuntungan, yaitu sebagai

    suatu strategi untuk perlindungan bangunan kuno dan memacu pertumbuhan dan

    perkembangan ekonomi (economic growth and development). Ada tiga keuntungan yang

    dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan, yaitu keuntungan budaya, ekononis dan

    sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah

    sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi

    dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan

    mengurangi biaya penggantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul

    karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada

    masyarakat (Miarsono, 1997).

  • 16

    Dalam buku Conservation and Planning (Hutchinson, 1974), Alan Dobby

    mengutarakan bahwa konsep konservasi yang pada awalnya ditekankan pada preservasi,

    pelestarian atau pengawetan monumen kuno (Ancient Munumen Act, Inggris), telah

    berkembang meluas menjadi konservasi lingkungan dan bahkan kota bersejarah. Bila

    kita baca Icomos Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance yang

    lebih dikenal dengan Piagam Burra Tahun 1981, secara eksplisit diperoleh batasan

    pengertian konservasi yang mencakup seluruh proses kegiatan mulai dari preservasi,

    restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi sampai revitalisasi. Sungguh sangat luas dan

    beragam, tidak lagi sekadar melestarikan dalam arti mengembalikan pada keadaan dan

    bentuk aslinya saja (Budihardjo, 1997).

    Lebih lanjut Budihardjo mengungkapkan, pengalaman di beberapa kota besar,

    baik di dalam maupun luar negeri, menunjukkan kecenderungan bahwa banyak pusat

    kota lama yang tertimpa nasib sengsara sebagai kawasan kota 'mati'. Beberapa

    penyebabnya yang dapat ditemukenali adalah akibat dari semakin memadatnya arus

    lalulintas, khusus pada kerusakan bangunan kuno karena termakan oleh waktu dan

    terbatasnya biaya pemeliharaan, serta pola tata guna lahan tunggal (single use zoning),

    sehingga kawasan tersebut hanya hidup pada jam-jam tertentu saja.

    Untuk mencegah semakin merosotnya guna dan citra kawasan pusat kota lama

    yang bernilai sejarah, diperlukan upaya-upaya yang inovatif untuk memberikan nafas

    dan darah baru yang segar. Istilah gagahnya revitalisasi, yang mengandung arti

    menghidupkan kembali suasana lingkungan kuno agar tidak semakin pudar. Upaya lain

    untuk menghidupkan pusat kota lama adalah dengan memberikan fungsi baru untuk

    bangunan lama yang sudah tidak lagi digunakan seperti fungsi asli semula. Bahkan

    bilamana perlu, bangunan-bangunan yang sudah membahayakan dan tidak layak huni,

    dapat dibongkar untuk diganti dengan bangunan baru yang mampu mewadahi tuntutan

    fungsi saat ini. Tentu saja perencanaan bangunan baru yang sifatnya mengisi (infill

    development) itu harus secara peka memperhatikan keserasiannya dengan bangunan

    kuno di sekitarnya. Tipologi bangunan yang ada dengan segenap ragam, gaya, dan

    ornamennya, harus ditangkap keunikannya untuk diejawantahkan kembali dalam bentuk

    dan penampilan yang sekaligus menunjukkan modernitas dan kaitannya dengan mata

    rantai sejarah masa silam (Budihardjo, 1997).

    Jadi menurut Budihardjo, dalam konsep konservasi yang mutakhir, masih

    dimungkinkan hadirnya bangunan modern untuk mewadahi tuntutan fungsi dan kegiatan

    baru yang selalu berkembang. Konservasi dan pembangunan, tidak lagi merupakan

  • 17

    kutub-kutub dikotomis, melainkan bagaikan dua sisi dari keping uang yang sama.

    Dirangkul keduanya, tidak untuk dipilih salah satunya saja.

    Masalah klasik dalam upaya konservasi arsitektur kuno menurut Soesilo (1997)

    adalah dana. Di negara maju dan makmur sekalipun, masalah ini selalu menghantui,

    tetapi tidak selalu menjadi kendala karena selalu ada cara yang bisa ditempuh, asalkan

    semua memiliki kesadaran dan menaruh kepedulian. Pihak-pihak pertama yang perlu

    diketuk dalam misi penyelamatan arsitektur warisan ini, di antaranya adalah:

    a) Kepada Pemda diharapkan benar-benar berikhtiar guna melindunginya jangan

    sampai ada istilah kecolongan. Bila seorang pejabat kecolongan dan pejabat

    berikutnya juga demikian, akhirnya kecolongan itu akan membudaya. Dengan

    demikian, tidak ada toleransi terhadap istilah kecolongan, karena itu sudah

    menjadi tanggung jawab jabatan.

    b) Kepada kalangan perguruan tinggi yang biasanya paling getol gembar-gembor

    untuk konservasi harus ada upaya yang lebih konkret seperti mendidik

    mahasiswanya untuk tidak phobia terhadap permasalahan konservasi. Tugas

    perancangan arsitektur yang diberikan tidak melulu pada lahan kosong di negeri

    antah berantah, tetapi juga pada kawasan kota lama dengan pendekatan

    revitalisasi dan konservasi.

    c) Selain itu perlu ada kampanye pembentukan opini masyarakat terutama di

    kalangan pengusaha dan investor (yang sering dituduh sebagai biang vandalisme)

    tentang alternatif konservasi arsitektur yang hasilnya bisa lebih profitable dari

    pada yang asal menggusur saja. Untuk kalangan ini, upaya konservasi dapat lebih

    digalakkan dengan dikemas dan dijadikan trend yang bergengsi, tidak kalah

    gengsinya dengan mengoleksi lukisan Affandi, Basuki Abdullah, dan Adam Lay.

    d) Dalam upaya kampanye ini peran media masa sangat besar dan peran sertanya

    tentu saja sangat diharapkan. Kalau setiap saat kita membaca dan mendengar

    tentang pelestarian, hal ini akhirnya menjadi sangat akrab dan membudaya.

    Akhirnya kecintaan terhadap arsitektur warisan tak perlu dihantui oleh trauma.

    2.2.5 Motivasi dalam Melakukan Konservasi

    Melakukan kegiatan konservasi memerlukan dukungan motivasi yang kuat,

    supaya arah yang akan dituju dalam konservasi dapat dicapai dengan tepat sasaran.

    Motivasi juga diperlukan, mengingat bahwa kegiatan konservasi akan menghadapi

    tantangan atau kendala yang kompleks. Dengan motivasi yang jelas dan kuat,

  • 18

    diharapkan setiap tantangan dapat diatasi. Pada umumnya, ada beberapa motivasi

    yang melandasi kegiatan konservasi, yaitu:

    a) Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.

    Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya atau

    sejarah, karena budaya dan atau sejarah mengandung bahan-bahan pelajaran

    yang sangat berharga. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi

    spirit dari segi non fisik juga mengandung nilai yang sangat mulia. Dari segi

    fisik akan dapat dipelajari nilai-nilai arsitektur yang meliputi fungsi, struktur

    dan estetika melalui perwujudan bentuknya. Dari segi non fisik dapat

    dipelajari banyak hal, mulai dari semangat membangun, peristiwa-peristiwa

    penting yang terjadi sampai dengan nilai filosofis dari obyek tersebut.

    b) Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bentuk-bentuk arsitektur

    kota dan lingkungan. Suatu lingkungan dengan bentuk-bentuk yang monoton

    akan terlihat membosankan, karena kurang dinamis. Oleh karena itu, maka

    pelestarian terhadap obyek-obyek yang spesifik akan memberikan variasi

    visual yang dinamis.

    c) Motivasi ekonomis, yang bermakna ganda. Di satu sisi pelestarian akan

    menyebabkab nilai obyek itu akan meningkat karena terpelihara. Di sisi lain,

    obyek yang dikonservasi akan memiliki nilai komersial yang menjadi sumber

    pendapatan bagi banyak pihak.

    d) Motivasi simbolis, dimana bangunan-bangunan merupakan gambaran fisik

    tentang identitas suatu lingkungan. Bangunan fisik yang fungsinya tidak lagi

    seperti semula (pada saat dibangun) tetapi kini masih terpelihara akan menjadi

    simbol bahwa di lokasi tersebut pernah tercatat sebagai tempat yang sangat

    penting.

    Dari semua kemungkinan motivasi tersebut memang semuanya saling terkait

    atau tidak terpisah-pisah, yang satu mendukung yang lainnya tergantung dari jenis

    obyeknya. Masalah yang biasanya dihadapi adalah bagaimana membangkitkan

    motivasi pihak-pihak untuk dapat bekerja sama dalam upaya pelestarian.

    2.2.6 Kriteria Konservasi

    Ada beberapa kriteria umum yang biasanya dipergunakan untuk menentukan

    kegiatan konservasi. Namun demikian masih tetap diperlukan adanya kesepakatan

  • 19

    dari pihak-pihak yang berkaitan seperti pemilik obyek, para ahli dan pemerintah. Di

    bawah ini adalah beberapa kriteria yang dimaksud :

    a) Estetika

    Daya tarik yang mudah dipersepsi oleh orang banyak. Karena itu bangunan-

    bangunan atau obyek yang memiliki nilai sejarah, atau bangunan dengan gaya

    pada suatu masa dan sekaligus nilai estetika yang tinggi sangat sepantasnya

    dilestarikan. Tolok ukur nilai estetika dilakukan dengan memperhatikan

    bentuk, struktur, tata ruang dan ornamen.

    b) Kejamakan

    Suatu bangunan atau bagian dari kota yang mewakili suatu kelas atau jenis

    khusus yang cukup berperan. Tolok ukurnya adalah seberapa jauh atau

    seberapa besar arsitektur tersebut mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang

    spesifik.

    c) Kelangkaan

    Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang

    masih ada. Jadi termasuk karya yang sangat langka atau bahkan satu-satunya

    di dunia, tidak dimiliki oleh daerah lain.

    d) Peranan Sejarah.

    Bangunan-bangunan dan lingkungan yang merupakan lokasi-lokasi bagi

    peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan

    simbolis antara peristiwa terdahulu dan sekarang.

    e) Memperkuat kawasan di dekatnya.

    Bangunan-bangunan dan bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan

    mempengaruhi kawasan di dekatnya, atau kehadirannya sangat bermakna

    untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.

    f) Keistimewaan.

    Bangunan-bangunan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya

    yang terpanjang, tertinggi, tertua, terbesar, yang pertama dan sebagainya.

    2.2.7 Prinsip-prinsip Konservasi

    Beberapa prinsip konservasi yang perlu diperhatikan adalah :

  • 20

    a) Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari suatu

    tempat dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik bangunannya,

    supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang dimilikinya.

    b) Maksud dari konservasi adalah untuk menangkap kembali makna kultural dari

    suatu tempat dan harus bisa menjamin keamanan dan pemeliharaannya di

    masa mendatang.

    c) Konservasi suatu tempat harus dipertimbangkan segenap aspek yang berkaitan

    dengan makna kulturalnya, tanpa menekankan pada salah satu aspek saja dan

    mengorbankan aspek lainnya,

    d) Suatu bangunan atau suatu hasil karya bersejarah harus tetap berada pada

    lokasi historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan atau

    hasil karya, tidak diperkenankan, kecuali bila hal tersebut merupakan satu-

    satunya cara guna menjamin kelestariannya.

    e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti bentuk,

    skala, warna, tekstur dan bahan pembangunan. Setiap perubahan baru yang

    akan berakibat negatif terhadap latar visual tersebut harus dicegah.

    f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan

    atas pemahaman terhadap makna kultral dan kondisi fisik bangunannya.

    2.3 Konsep Pura

    Untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-Dewa sebagai manifestasi

    dari Tuhan dalam berbagai peranannya dibangun tempat-tempat pemujaan. Tempat

    ibadah atau tempat pemujaan adalah bangunan-bangunan suci yang dibangun di

    tempat suci atau tempat-tempat yang disucikan. Dalam berbagai bentuk dan fungsi

    pemujaannya, tempat ibadah disebut Pura dengan tingkatan-tingkatan utama, madya,

    dan sederhana.

    Pura dalam berbagai bentuk dan pemujaannya terdiri dari beberapa bangunan

    yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga zone

    (Gelebet, 1982).

    1. Zone pertama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan

    persembahyangan.

  • 21

    2. Zone tengah disebut jaba tengah tempat persiapan dan dan pengiring

    upacara.

    3. Zone depan disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke

    dalam Pura. Dalam bentuknya yang sederhana, hanya terdapat jeroan

    dengan jabaan. Sedangkan Pura yang besar ada pula yang dibagi

    menjadi beberapa zone.

    Pekarangan Pura dibatasi oleh tembok (tembok penyengker) pekarangan. Pintu

    masuk di depan atau di jaba memakai candi bentar. Sedangkan pintu masuk ke jeroan

    memakai kori agung yang terdapat dalam berbagai macam bentuk variasi dan

    kreasinya sesuai dengan keindahan dan identitas arsitektur daerahnya.

    Bangunan Pura umumnya menghadap ke barat, memasuki Pura menuju ke

    arah timur. Demikian pula pemujaan dan persembahyangannya dilakukan menghadap

    ke arah ke arah timur, ke arah matahari terbit. Komposisi massa-massa bangunan Pura

    berjajar utara – selatan atau kaja – kelod di sisi timur, menghadap ke barat dan

    sebagian di sisi kaja menghadap kelod. Bale pawedan dan bale piyasan di sisi barat

    menghadap ke timur halaman Pura di tengah.

    Pura sebagai tempat pemujaan melaksanakan ibadah agama terdapat dari

    keluarga terkecil sampai lingkungan wilayah terbesar. Sesuai dengan fungsinya

    sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya, Pura

    memiliki beberapa macam tipe. Pura untuk pemujaan keluarga , Pura untuk pemujaan

    desa, Pura untuk pemujaan profesi dan Pura untuk pemujaan umat dari seluruh

    wilayah (Gelebet, 1982). Beberapa macam Pura tersebut akan terbangun dengan

    tatanan tertentu dalam suatu komposisi sesuai dengan fungsinya.

    2.4 Peraturan Pemerintah

    Di Indonesia landasan hukum untuk meiakukan pelesatarian adalah Staateblad

    238/1931 tentang batasan dan peraturan mergenai bangunan-bangunan yang perlu

    memperoleh perlindungan. Undang-undang ini dikenai dengan Monumenten

    Ordinantie Stbl 138/1931. Undang-undang ini difokuskan pada masalah-maslah

    arkeologi yang mengatur pelestarian benda purbakala seperti : dokumen tertulis,

    lukisan, patung, perabot, bangunan, candi, keraton dan makam. Disebutkan bahwa

  • 22

    banguan yang belah berusia 50 tahun juga merupakan cakupan undang-undang

    tersebut.

    Perundangan tersebut diperbaharui dengan dikeluarkannya Monumenten

    Ordonantie Stb1 21/1934. Pada tahun 1990 pemerintah Republik Indonesia

    mengeluarkan Undang-Undang No. 5/1990 tentang konservasi sumber-sumber alam

    dan ekosistem.Kemudian pada tahun 1992 pemerintah mengundangkan UU no.

    5/1992 tentang konservasi sumber daya budaya. Menurut undang-undang ini, obyek-

    obyek buatan manusia baik kolektif maupun individu yang berusia sekurang-

    kurangnya 50 tahun yang mereperesentasikan gaya pada masanya dan memiliki nilai

    sejarah, pengetahuan dan budaya tertentu merupakan sumber daya budaya. Tujuan

    dari konservasi ini adalah untuk memperkaya budaya Indonesia.

    Dari ketentuan dan peraturan tersebut maka dalam pengolahan perlindungan

    dan pemeliharaan situs beserta bcb-nya secara teknis dilakukan berdasar Peraturan

    Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 pasal 23 ayat (1)

    “perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara

    penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran ; ayat (2) “Untuk kepentingan

    perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya

    sesuai dengan kebutuhan ; ayat (3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistim pemintakatan yang terdiri dari

    mintakat inti, penyangga, dan pengembangan”.

    Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis

    Mengenai Dampak Lingkungan, pasal 2 menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan

    pembangunan wajib melaksanakan Amdal apabila diantaranya: proses dan

    kegiatannya yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi

    sumberdaya alam dan atau perlindungan cagar budaya.

    Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-

    Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menetapkan didalam Bab

    VII ketentuan yang lain, Pasal 44, bahwa:

    1. Setiap rencana pengembangan yang dapat mengakibatkan:

    a. Tercemar, pindah, rusak, berubah, musnah atau hilangnya nilai sejarah

    benda cagar budaya.

  • 23

    b. Tercemar dan berubahnya situs beserta lingkungannya; wajib dilaporkan

    terlebih dahulu kepada Menteri.

    2. Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis

    dan dilengkapi dengan hasil studi analisis mengenai dampak lingkungannya.

  • 24

    BAB III

    TINJAUAN PURA KEREBAN LANGIT

    3.1 Lokasi Pura

    Pura Kereban Langit terletak di wilayah Banjar Pekandelan, Desa Adat

    Sading, Kelurahan Sempidi di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Dari Kota

    Denpasar sampai di depan pasar Sempidi akan menempuh jarak 7 km dan

    selanjutnya dari pasar Sempidi menuju ke arah timur membelok ke arah utara

    sekitar 3 km, maka akan sampai di Desa Adat Sading. Di desa Sading membelok

    lagi ke arah barat kira-kira 700 meter, tibalah di halaman depan Pura Kereban

    Langit. Dibutuhkan waktu kurang lebih 25 menit dengan kecepatan rata-rata 50

    km/jam.

    Pura Kereban Langit berada di pinggir jurang dan di depan Pura adalah sungai

    besar membentang dari arah utara ke selatan. Pura Kereban Langit berada di

    Gambar 3.1 Peta Lokasi Pura KerebanLangit

    Sumber : Googleearth.com

  • 25

    sebuah gua besar, namun di tengah-tengah langit-langit gua besar itu, terdapat

    lubang sehingga sinar matahari dapat tembus masuk ke dalam gua. Di dalam gua

    yang luas itu terdapat lagi gua yang berjenjang naik dan menurun dengan

    kedalaman kira-kira 6 meter dan pada dasar gua yang berjenjang itu hanya dapat

    dimasuki oleh seorang saja akibat ukurannya yang sempit.

    Di dalam gua itu terdapat aliran air yang sangat jernih sebagai sumber amertha

    yang disebut tirtha selaka. Sumber air tersebut keluar dari dinding batu di dalam

    gua yang juga merembes ke bagian gua yang lain. Dari situasi lokasi inilah

    rupanya nama “Kereban Langit” diberikan terhadap Pura ini yang dapat diartikan

    sebagai “Pura beratapkan langit”.

    3.2 Sejarah Singkat Pura

    Sampai saat ini, sejarah Pura Kereban Langit belum diketemukan secara pasti

    dan menurut Prasasti Sading tahun Isaka 923 pada waktu pemerintahan Sri Udayana

    Gambar 3.2 Kondisi di dalam Pura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi

    Gambar 3.3 Dinding pada Gua diPura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi

  • 26

    disebutkan bahwa Pura ini telah ada di Sading. Hanya saja nama Desa Sading saat itu

    disebut Bantiran yang berarti “ramai” dan nama Bantiran berubah nama menjadi

    Sading.

    Mitologi Bali menyebutkan bahwa sebelum Sri Masula dan Sri Masuli lahir,

    ayahandanya sempat memohon kehadapan Bhatara di gunung Tolangkir (gunung

    Agung) agar permaisurinya dapat segera melahirkan. Atas petunjuk dari Bhatara di

    gunung Tolangkir kepada Dalem, permaisurinya agar segera dicarikan “tirtha

    selaka”. Oleh karena itu, diutuslah seorang brahmana (Ida Pedanda) bersama

    iringannya menelusuri pulau Bali untuk mendapatkan tirtha selaka itu.

    Pada saat brahmana itu berada di sekitar Desa Sading, serta mendekati Pura

    Kereban Langit. Di dalam pura itu sedang bersembunyi seorang penjahat yang

    dikejar-kejar masyarakat. Bertemulah Ida Pedanda dengan penjahat itu dalam gua dan

    si penjahat merasa takut karena brahmana itu disangka akan membunuh dirinya. Ida

    Pedanda menjelaskan tujuan kedatangannya ialah untuk mencari tirtha selaka atas

    perintah Dalem, namun beliau pun belum mengetahui dimana tirtha selaka itu berada.

    Atas petunjuk si penjahat itulah dipermaklumkan ke hadapan Ida Pedanda bahwa di

    dalam gua itu terdapat tirtha yang disebut tirtha selaka. Disanalah Ida Pedanda

    mengambil tirtha untuk dihaturkan kepada permaisuri Dalem dan setelah itu lahirlah

    Sri Masula dan Sri Masuli (kembar).

    Lambat laun karena perkembangan sejarah, sejak terbentuknya kerajaan

    Mengwirajya tahun 1634 di bawah pimpinan I Gusti Agung Putu yang mebhiseka

    Raja Cokorda Sakti Blambangan. Maka wilayah Desa Sading menjadi di bawah

    kekuasaannya. Kemudian lama kelamaan, karena terjadi pengembangan kelaurga Puri

    Mengwi dan di antaranya ada yang membangun Puri Sading maka pengawasan Pura

    Kereban Langit diserahkan oleh pihak Mengwirajya kepada puri Sading bersama

    masyarakatnya. Saat ini yang bertindak sebagai pengemong Pura adalah pemangku I

    Nyoman Suweden, Banjar Karang Suwung, I Gede Puger, Banjar Pekandelan atau

    pelimpahan pihak Puri Mengwi dan Puri Sading. Sedangkan sebagai penyiwi adalah

    merupakan pemucuk yang terdiri atas 110 pawon dari Desa Sading, Sempidi, Lukluk,

    Sanganan, Penebel-Tabanan, Demulih-Bangli, dan Kerandan-Badung.

  • 27

    3.3 Layout dan Struktur Pura

    Di dalam gua terdapat sebuah padma yang merupakan palinggih Ratu Gede

    Lingsir, palinggih Ratu Ayu Mas Subandar, Palinggih Ratu Made dan palinggih Ratu

    Ayu di sebelah kanan. Di sebelah kanan kanan padma, diatas gua tempat tirtha selaka

    terpahat relief Bima dan di depan padma terdapat beberapa buah patung penjaga dan

    patung terakota. Sedangkan di luar gua terdapat dua buah Palinggih Padma. Lalu di

    luar tembok pura terdapat sebuah Palinggih Ratu Bolong juga dilengkapi dengan tiga

    buah bangunan untuk kepentingan adat dan agama. Di sebelah selatan Pura dibangun

    sebuah tempat permandian umum dengan 5 buah pancoran permandian yang airnya

    bersumber dari aliran air di gua.

    Sedangkan akses utama jalan menuju ke lokasi pura berupa jalan beraspal

    selebar kurang lebih 1,5 meter sepanjang 400 meter dari jalan utama, dengan

    hamparan sawah/perumahan di kanan kiri jalan serta sungai sebagai batas akhir di

    sebelah barat Pura. Area pura terdiri atas area parkir dan palinggih taman sari (di

    dataran atas Pura), tangga dari beton menuju ke bawah (tempat Pura berada), area

    jaba Pura dengan keberadaan bale kul-kul dan bale sakenem, area madya Pura dan

    Gambar 3.3 Letak ObyekKonservasi dalam Gua di PuraKereban LangitSumber : Hasil Observasi,

  • 28

    area utama Pura yaitu di dalam gua. Fasilitas umum yang terdapat di pura ini antara

    lain keberadaan toilet serta pemandian umum yang terdiri atas 5 mata pancoran.

    Gambar 3.4Akses Menuju Lokasi Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

  • 29

    Gambar 3.5Lay Out Pura Kereban Langit secara Makro

    Sumber : Hasil Observasi

  • 30

    3.4 Pelaba Pura

    Pura Kereban Langit memiliki laba Pura yang terdiri atas 39 are, 14 are tanah

    sawah serta tanah telajakan pura tanpa pipil. Laba Pura dan hasilnya dikelola oleh

    pemangku Pura. Kerusakan Pura, disamping dibebankan kepada hasil laba pura juga

    dibantu berupa dana punia oleh para pengemong dan penyiwi serta masyarakat.

    3.5 Upacara, Pengemong & Penyiwi

    Odalan di Pura Kereban Langit Desa Sading jatuh pada hari Buda Wage Ukir

    yang selama ini upacara piodalannya dihaturkan oleh pemangku saja atas biaya

    sendiri. Pura yang berstatus Dang Kahyangan ini melalui tingkat upacara di setiap

    piodalannya setingkat dengan upacara sederhana yaitu berupa sesayut pengambean.

    Pemilihan pemangku ialah berdasarkan garis keturunan.

    3.6 Bantuan Pura

    Pura Kereban Langit pernah menerima bantuan dari :

    1. Sasana Budaya tahun 1976 sebesar Rp. 2.250.000, -

    2. Departemen Agama tahun 1979 sebesar Rp. 1.000.000,-

    3. Dinas Purbakala dan Pemda Badung tahun 2000 berupa pembangunan

    bale Kul-kul, pemasangan paving, pengadaan fasilitas toilet dan

    senderan sungai.

    3.7 Kondisi Fisik Pura

    Kondisi fisik bangunan pura saat ini, sesuai dengan hasil pengamatan di

    lapangan, menunjukkan keadaan yang layak dan terlindung namun tidak juga seratus

    persen terlepas dari kerentanan terhadap kerusakan. Beberapa kondisi bangunan yang

    rusak antara lain :

    1. Kondisi bale adat sakenem dan sakutus yang difungsikan sebagai tempat

    melakukan kegiatan adat/agama di Pura, baik yang terdapat di jaba Pura maupun

    di dalam Pura, terbilang sudah usang dari segi bahan kayu yang digunakan

    sebagai struktur atapnya akibat cuaca. Kayu sudah terlihat lapuk, berlumut

    sehingga bila tidak dilakukan perawatan, kemungkinan besar akan rusak. Lantai

    bale berupa semen yang belum diberi keramik sehingga terlihat kusam dan kotor.

  • 31

    Penutup atap berupa genteng berada dalam kondisi yang lebih baik dan telah

    tersentuh teknologi modern dengan menggunakan campuran semen.

    2. Keberadaan fasilitas umum berupa toilet menunjukkan kondisi yang kotor dan

    tidak layak pakai dan tidak sedap dipandang mata. Bila tidak dilakukan

    pembersihan secara berkala akan menimbulkan kerusakan.

    Gambar 3.6Pelapukan kayu pada Bale Sakenem di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

    Gambar 3.7Lantai bale yang belum difinishing di Pura Kereban Langit, hanya

    menggunakan semenSumber : Hasil Observasi

    Gambar 3.8Kondisi Fasilitas WC di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

  • 32

    3. Kondisi fisik bagian Pura yang terletak di dalam gua pada kondisi lembab

    cenderung basah. Gua merupakan gua yang berada di bawah tebing yang

    disinyalir oleh masyarakat menyimpan sumber mata air. Gua terbuat dari batuan

    andesit dengan penutup lantai batu alam yang berada dalam kondisi baik.

    Kerentanan di Pura terdapat pada bagian palinggih padma, patung-patung

    peninggalan serta relief pada palinggih. Kondisi udara di dalam gua yang lembab

    dapat merusak permukaan obyek dengan tumbuhnya lumut, menyebabkan

    pengikisan dan dapat memperpendek umur benda. Patut dilakukan tindakan

    perlindungan dan pencegahan kerusakan melihat nilai pura yang begitu otentik.

    Pelinggih padma berhiaskan keramik cina putih pada permukaannya dan patung

    terakota yang mewakili kekhasan bentuk pada masanya merupakan benda yang

    langka berupa artefak sekaligus mampu mendukung nilai sejarah pura yang tidak

    banyak orang mengetahuinya. Sedangkan kondisi pelapukan terjadi pada badan

    pemesuan pura yang dibangun sekitar tahun 1950-an. Bahan paras pada bagian

    bawah pemesuan terlihat lapuk, berlumut dan terbongkah-bongkah di beberapa

    permukaan. Bahan kayu pada kori juga telah lapuk dan berlubang membuat

    tampilan kori sangat tidak terawat. Sumber air pada Pura terletak di dinding gua

    bagian timur yang mengucurkan air terus menerus dengan volume yang tidak

    begitu deras. Sedangkan aliran air dalam gua terlihat menggenangi sisi kanan dan

    kiri gua tanpa penyaluran. Rembesan air juga mengucur dari bagian samping

    lubang gua yang merupakan akses cahaya matahari masuk. Kondisi ini

    memperparah kondisi fisik pura terutama mengenai palinggih ataupun patung

    peninggalan yang ada di dalamnya.

    Gambar 3.9Kondisi beberapa patung dan salah satu sudut gua

    Sumber : Hasil Observasi

  • 33

    Gambar 3.9Kondisi gua dan palinggih di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

  • 34

    Gambar 3.10Kondisi patung dan pelapukan di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

    Gambar 3.11Kondisi pelapukan pada kori dan dinding gua di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

  • 35

    Selain dari beberapa kerentanan yang dimiliki oleh pura sebagai obyek wisata,

    beberapa kondisi potensi kawasan Pura antara lain :

    a. Akses halaman Pura meskipun berdimensi tidak begitu luas, telah di paving dan

    memudahkan kendaraan roda empat/roda dua bersirkulasi. Begitu pula dengan

    area jaba pura hingga area madya pura yang telah dipaving, berada dalam kondisi

    yang masih baik. Pura Taman Sari yang berada pada posisi di samping area parkir

    sebagai tempat pesinggahan (malila cita) bethara di pura Kereban Langit juga

    berada dalam kondisi baik. Pura ini didirikan sebagai solusi bagi pamedek yang

    tangkil namun tidak bisa turun ke bawah.

    Gambar 3.12Kondisi pelapukan pada kori dan dinding gua di Pura Kereban Langit serta Posisi pura

    Kereban Langit yang terletak di bawah tebingSumber : Hasil Observasi

  • 36

    b. Kondisi tangga yang telah diperkeras lengkap dengan reiling menjamin keamanan

    dan kenyamanan pamedek/pengunjung. Begitu pula dengan upaya penyediaan

    fasilitas umum berupa WC dan bale sakenem.

    c. Partisipasi pemerintah dalam melindungi kawasan Pura telah diwujudkan dengan

    pembuatan senderan sungai guna melindungi area depan Pura dari pengikisan.

    d. Dukungan masyarakat yang dalam hal ini oleh Desa Adat Sading dalam

    melindungi kawasan Pura juga ditunjukkan dengan pelarangan pembangunan di

    sekitar area laba Pura sebagai wujud penjagaan jarak kesucian Pura di wilayah

    desa. Begitu pula dengan penetapan kawasan Pura sebagai obyek wisata oleh

    pemerintah, merupakan salah satu upaya konservasi bagi keberadaan obyek.

    Gambar 3.13Kondisi area parkir dan Pura Taman Sari di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

    Gambar 3.14Kondisi senderan pada panyengker purayang berada kurang lebih 10 meter darisungai di pura Kereban LangitSumber : Hasil Observasi

  • 37

    Gambar 3.15Upaya konservasi oleh desa adat dan pemerintah di Pura Kereban Langit

    Sumber : Hasil Observasi

  • 38

    BAB IV

    MANAJEMEN KONSERVASI PURA KEREBAN LANGIT

    4. 1 Analisis Kerusakan di Pura Kereban Langit

    Berdasarkan pada hasil observasi lapangan di Pura Kereban Langit Desa

    Sading, maka didapat beberapa derajat kerusakan yang terlihat pada kondisi fisik kori

    agung Pura, kondisi patung (arca) dan pelinggih pada Pura serta situasi batu gua yang

    cenderung lembab dan berlumut. Kerusakan ini didefinisikan sebagai :

    a. Proses Kerusakan Chemis

    Faktor penyebab utama proses terjadinya kerusakan secara chemis adalah air,

    baik pengaruh adanya kapilaritasi air tanah (sumber air dari dalam gua) maupun air

    hujan. Disamping itu udara terpolusi juga merupakan salah satu faktor pemicu yang

    tidak dapat diabaikan. Selain itu unsur lemak juga mempunyai peranan yang sangat

    penting di dalam pelapukan suatu benda. Gejala pelapukan yang secara mikroskopis

    terlihat pada arca dewi sri dan Ameng-ameng, arca Rama dan Wenara, beberapa buah

    arca bercorak megalitik dan tiga buah palinggih ,ini disebabkan karena adanya

    pengaruh kapilarisasi air tanah dan air hujan, berhubung benda tersebut berada di

    dalam gua yang lembab.

    b. Proses Kerusakan Biotis

    Terjadinya pelapukan secara biotis disebabkan oleh adanya pertumbuhan jazad

    renik. Pertumbuhan jazad renik tersebut tidak hanya mengganggu secara estetis tetapi

    juga mampu menimbulkan proses pembusukan noda dari sekresi zat-zat organik yang

    dihasilkan. Jenis kerusakan ini pada bagian arca yang berada di dalam gua yang

    jumlahnya hampi mencapai beberapa buah, begitu pula dengan kerusakan pada kori

    agung Pura serta kayu pada bale sakenem di Pura. Adapun jenis jazad yang depat

    diamati adalah jenis moss, algae, dan lichen.

    Melihat derajat kerusakan yang terjadi, maka kondisi tersebut dikategorikan

    sebagai kerusakan alamiah akibat alam yang tidak mungkin dapat dihindari, sebab

    pada prinsipnya semua benda akan mengalami proses penuaan dan akan mengalami

    proses degradasi yang mengakibatkan menurunnya kualitas bahan dasar yang

  • 39

    digunakan. Berlandaskan pada UU No.5 Tahun 1992 mengenai cagar budaya, maka

    obyek-obyek buatan manusia baik kolektif maupun individu yang berusia sekurang-

    kurangnya 50 tahun yang mereperesentasikan gaya pada masanya dan memiliki nilai

    sejarah, pengetahuan dan budaya tertentu merupakan sumber daya budaya yaitu pura

    Kereban Langit sebagai peninggalan masa pemerintahan Raja Sri Udayana pada Isaka

    923.

    4.2 Manajemen Konservasi Pura Kereban Langit

    Menurut kriteria konservasi, pura Kereban Langit memiliki beberapa makna

    kultural antara lain :

    a. Estetika

    Estetika atau keindahan adalah daya tarik yang mudah dipersepsi oleh

    orang banyak. Palinggih pada Pura Kereban langit memiliki nilai

    sejarah, atau bentuk ekspresi dengan gaya pada suatu masa dengan

    penambahan keramik cina pada permukaannya dan sekaligus nilai

    estetika yang tinggi sehingga sepantasnya dilestarikan. Tolok ukur

    nilai estetika dilakukan dengan memperhatikan bentuk, struktur, tata

    ruang dan ornamen. Bentuk arca yang khas juga memiliki nilai estetika

    sejalan dengan perwujudannya sebagai dewi kemakmuran dan

    kesuburan.

    b. Kejamakan

    Pura Kereban Langit mampu menjadi bagian dari kota/desa adat yang

    mewakili suatu kelas atau jenis khusus yang cukup berperan. Tolok

    ukurnya adalah keberadaan arsitekturnya yang mewakili suatu ragam

    atau jenis khusus yang spesifik.

    c. Kelangkaan

    Keberadaan pura di dalam gua merupakan satu dari jenisnya. Jadi

    termasuk karya yang sangat langka atau bahkan satu-satunya di dunia,

    tidak dimiliki oleh daerah lain. Pengalaman rasa bersembahyang di

    dalam gua yang beratapkan langit merupakan potensi yang langka dan

    menggiurkan untuk menambah pengalaman berwisata.

    d. Memperkuat kawasan di dekatnya.

    Keberadaan pura Kereban Langit dan bagian kota/desa adat yang

    karena investasi di dalamnya, akan mempengaruhi kawasan di

  • 40

    dekatnya, atau kehadirannya sangat bermakna untuk meningkatkan

    kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Area inti dan pengembangan

    harus terjaga kesucian dan kealamiannya guna melindungi kawasan

    obyek konservasi dari kerusakan, malihat pura Kereban Langit

    merupakan salah satu sumber air di Desa Adat Sading.

    Berdasarkan kepada prinsip-prinsip konservasi, maka konservasi terhadap

    Pura Kereban Langit yang terletak di Desa Adat Sading Kabupaten Badung ini

    dilandaskan pada beberapa prinsip, di antaranya :

    a. Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari

    Pura Kereban Langit dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik

    bangunannya, supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang

    dimilikinya.

    b. Maksud dari konservasi adalah untuk menangkap kembali makna

    kultural, sejarah dan sakral dari Pura dan harus bisa menjamin

    keamanan dan pemeliharaannya di masa mendatang sebagai tempat

    persembahyangan Umat Hindu dan obyek wisata.

    c. Konservasi pada Pura harus dipertimbangkan segenap aspek yang

    berkaitan dengan makna kulturalnya, tanpa menekankan pada salah

    satu aspek saja dan mengorbankan aspek lainnya, seperti pembuatan

    fasilitas untuk Pura tanpa upaya perawatan dan pengawasan.

    d. Bangunan Pura yang bersejarah harus tetap berada pada lokasi

    historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan

    atau hasil karya, tidak diperkenankan, kecuali bila hal tersebut

    merupakan satu-satunya cara guna menjamin kelestariannya. Dengan

    demikian Pura, gua, dan sumber airnya dapat lestari pada tempatnya

    dan menyokong kehidupan lain di sekitarnya.

    e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti

    bentuk, skala, warna, tekstur dan bahan pembangunan. Setiap

    perubahan baru yang akan berakibat negatif terhadap latar visual

    tersebut harus dicegah. Maka aktivitas konservasi akan didasarkan

    pada kondisi asli obyek dengan perekaman data sejarah dan

    kerusakannya saat ini demi perencanaan konservasinya kemudian.

  • 41

    Kebijaksanaan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan

    atas pemahaman terhadap makna kultral dan kondisi fisik bangunannya. Dengan

    berdasarkan kerusakan yang dialamai oleh beberapa obyek pada Pura Kereban Langit,

    maka manajemen konservasi yang baik diterapkan adalah sebagai berikut :

    Kerusakan chemis dan boitis pada arca Dewi Sri, Ameng-ameng, Dewa

    Wisnu, Arca Rama dan Wenara serta palinggih Ratu Gede Lingsir berupa Padma,

    Ratu Ayu Mas Subandar, pelinggih Ratu Ayu dan Ratu Made akan ditangani dengan

    beberapa penanganan. Secara umum kerusakan maupun pelapukan pada benda cagar

    budaya yang terdapat di Pura Kereban Langit Desa Sading, dilihat persentasenya

    cukup rendah (kecil). Maka selanjutnya dapat ditentukan formulasi penanganan

    konservasinya yaitu berupa pembersihan mekanis kering, basah (chemis), perbaikan,

    dan konsolidasi.

    A. Kegiatan Konservasi (berdasarkan Tahap pada Penanganan Konservasi oleh BP3)

    a. Pembersihan Mekanisme Kering

    Kegiatan ini dimaksudkan adalah untuk membersihkan akumulasi debu dan

    kotoran-kotoran serta endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas rumah serangga

    dan kotoran binatang yang menempel pada arca. Dalam pelaksanaan pembersihan

    secara mekanis kering dilakukan dengan ekstra hati-hati dan cermat untuk

    menghindari terjadinya kerusakan yang baru terutama pada bagian-bagian benda yang

    telah rapuh. Adapun peralatan yang dipakai yaitu dengan menggunakan sikat ijuk,

    sikat gigi, kuas dan solex. Aktivitas ini dilakukan oleh tim teknis lapangan.

    b. Pembersihan Secara Chemis

    Pembersihan secara chemis dilakukan yaitu untuk membersihkan noda-noda

    yang sulit dibersihkan di dalam pembersihan mekanis kering, yang telah dilakukan

    secara maksimal, namun masih juga menyisakan kotoran-kotoran maupun jasad-jasad

    renik yang masih hidup secara membandel seperti moss, algae dan lichen. Adapun

    jenis bahan kimia yang dipergunakan yaitu: AC-322. Setelah dilakukan dengan cara

    pengolesan ke permukaan benda, dimana bahan tersebut harus diberi kontak waktu

    selama kurang lebih 24 jam, kemudian baru dilakukan pencucian sampai betul-betul

    bersih sehingga PH = 7.

  • 42

    c. Perbaikan

    Sebelum dilakukan kegiatan perbaikan dilakukan susunan percobaan dengan

    tujuan untuk mencari (mencocokkan) bagian dari fragmen-fragmen arca yang pecah

    maupun yang patah. Setelah itu dilakukan pembersihan pada bagian-bagian yang akan

    disambung, kemudian dilanjutkan dengan penyambungan dengan mempergunakan

    perekat jenis epoxy-resin dengan perbandingan 1:1. Setelah itu dilakukan kamuflase

    dengan tujuan untuk memperkuat bekas-bekas sambungan tadi dan sekaligus untuk

    menutupi rongga-rongga yang renggang. Adapun bahan yang digunakan yaitu semen

    dicampur bubuk padas dengan perbandingan 1:6.

    d. Konsolidasi

    Tindakan ini sangat perlu dilakukan terutama pada bagian benda yang telah

    mengalami pelapukan yang cukup serius, seperti terjadinya pengelupasan dan aus

    pada permukaan benda. Untuk menanggulangi masalah tersebut telah dilakukan

    tindakan konsolidasi dengan tujuan yaitu untuk memperkuat kembali permukaan

    benda tersebut. Adapun jenis bahan yang digunakan adalah Paraloid B-72 dengan

    pelarut Ethyl Axetate dengan konsentrasi 30%. Aplikasi bahan dilakukan dengan cara

    pengolesan.

    B. Manajemen Konservasi

    Untuk mencapai pelaksanaan konservasi pura Kereban Langit, maka ditetapkan

    sebuah perencanaan manajemen bagi obyek dengan memanfaatkan sarana manajemen

    yaitu disingkat dengan 6 M, antara lain :

    a. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dalam

    perencanaan konservasi Pura Kereban Langit Desa Sading ini, sumber daya

    manusia yang digunakan mengambil ahli dari beberapa bidang ilmu yang

    dikelompokkan sesuai perannya dalam konservasi.

    Unit penanganan konservasi yang terdiri dari tigakelompok, antara lain :

    Kelompok fungsional (arsitek, arkeolog, ahli lontar, ahli sejarah dan

    tenaga teknik termasuk tokoh masyarakat atau donatur)

    Kelompok Penyusunan program (bagian data, bagian perumusan

    program dan pengendalian dan bagian evaluasi dan pelaporan) yang

    dapat diisi oleh beberapa orang dari tim ahli yang berpotensi termasuk

  • 43

    dari dinas-dinas pemerintahan terkait, ahli di bidang pelestarian budaya

    dan sebagainya.

    Bagian Unit Konservasi (terdiri dari bagian manajemen, bagian

    programik serta bagian kontrak proyek) yang dapat merupakan

    saringan dari sumber daya manusia LSM, masyarakat sekitar atau

    anggota PHDI.

    b. Method

    Sumber daya manusia yang telah dikelompokkan sesuai perannya dalam

    konservasi akan melaksanakan konservasi dengan beberapa metode konservasi

    pada beberapa tahap kegiatan. Upaya rekonstruksi akan dilakukan pada obyek

    kori agung, beberapa palinggih yang telah rapuh apabila langkah perbaikan dan

    konsolidasi tidak manjur untuk diterapkan. Menurut Danes, rekonstruksi adalah

    adalah usaha mengembalikan suatu tempat kepada keadaan yang semirip

    mungkin dengan keadaan semula, baik dengan menggunakan bahan yang lama,

    maupun dengan menghadirkan bahan-bahan yang baru). Beberapa tahap yang

    direncanakan diantaranya :

    1. Tahap inventarisasi data yaitu pengumpulan data mengenai sejarah

    benda, kondisi benda dan pura saat ini (nama benda, umur benda, asal,

    ukuran, keadaan dan deskripsi benda), dengan inventarisasi derajat

    kerusakannya serta penyebab kerusakan.

    Tahap ini dilakukan oleh tim tenaga ahli (kelompok fungsional) untuk

    kemudian dianalisis oleh kelompok penyusunan program.

    2. Tahap perencanaan konservasi ialah tahap penyusunan strategi

    konservasi sesuai kerusakan obyek, penyusunan kebutuhan dana serta

    pembagian tugas bagi tim ahli pada kelompoknya masing-masing

    dengan terjadwal baik. Seperti teknik pembersihan mekanisme kering,

    pembersihan chemis, perbaikan serta konsolidasi yang akan dilakukan

    oleh tim ahli dengan kebutuhan dana terkait serta jadwal yang sesuai.

    3. Tahap pelaksanaan konservasi. Susunan rencana konservasi yang telah

    terprogram dengan baik akan dilaksanakan sesuai program

    perencanaan oleh kelompok-kelompok tim ahli sesuai dengan

    kemampuannya.

  • 44

    c. Money

    Pendanaan yang dibutuhkan pada konseravsi pura Kereban Langit desa Sading

    ini akan diakumulasikan sesuai rancangan program konservasi oleh kelompok

    penyusunan program pada tahap penyusunan rencana sesuai dengan jumlah

    dana yang dibutuhkan dalam aktivitas konservasi sesuai dengan tahap

    perencanaan konservasi. Dana seluruhnya akan dikelola oleh kelompok unit

    konservasi yang terdiri dari bagian manajemen, bagian programik serta bagian

    kontrak proyek) yang dapat merupakan saringan dari sumber daya manusia

    LSM, Dinas terkait, tokoh masyarakat sekitar atau anggota PHDI.

    Sumber dana akan diusahakan didapat dari subsidi pemerintah, Lembaga

    Mandiri Bali Heritage trust, Swadaya masyarakat, Desa Adat Sading, swasta

    dan tidak menutup kemungkinan datanganya bantuan dari donatur dengan cara

    sukarela atau dimohonkan sumbangan.

    Dana yang telah digunakan akan dilaporkan secara transparan bagi setiap

    sumber dan penggunaannya pada awal pelaksanaan konservasi, pada saat

    pelaksanaan konservasi dan akhir pelaksaan konservasi secara berkala.

    d. Machine. Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan

    keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja. Dalam

    manajemen konservasi pura Kereban Langit ini akan digunakan beberapa alat

    sesuai dengan kegiatan konservasi yang akan dilakukan.

    Pada tahap survey pengumpulan data, alat yang digunakan adalah kamera

    digital untuk merekam secara visual kondisi pura dan masing-masing

    bagiannya. Sedangkan pada tahap pembersihan akan dibutuhkan sikat ijuk,

    sikat gigi, kuas dan solex. Pada tahap rekonstruksi dan konsolidasi tentunya

    alat pertukangan sangat dibutuhkan.

    e. Material

    Bahan yang digunakan pada konservasi ini adalah bahan setengah jadi (raw

    material) dan bahan jadi. Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih

    baik, selain manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat

    menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah satu sarana. Pada tahap

    pembersihan dan perbaikan bahan yang digunakan antara lain; untuk

    penyambungan digunakan perekat jenis epoxy-resin dengan perbandingan 1:1.

    Setelah itu dilakukan kamuflase dengan tujuan untuk memperkuat bekas-bekas

  • 45

    sambungan tadi dan sekaligus untuk menutupi rongga-rongga yang renggang.

    Adapun bahan yang digunakan yaitu semen dicampur bubuk padas dengan

    perbandingan 1:6. Sedangkan sebagai bahan pengawet dapat digunakan

    Paraloid B-72 dengan pelarut Ethyl Axetate dengan konsentrasi 30%. Untuk

    beberapa bagian pada pura yang berbahan kayu, dilakukan rekonstruksi

    dengan bahan baru yang sama untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.

    Dengan demikian, bahan lain yang dibutuhkan untuk konservasi pura berupa

    penutup lantai (keramik) untuk bale sakenem.

    f. Marketing

    Merupakan suatu tempat di mana organisasi menyebarluaskan (memasarkan)

    produknya. Dalam hal ini, marketing pada pura diambil dalam fungsinya

    sebagai obyek wisata. Selain mampu mengharumkan nama daerah, pemasaran

    ini nantinya mampu menghasilkan dana yang dapat digunakan sebagai sumber

    dana pelestarian pura. Pemasaran yang tepat tentunya tidak akan

    mengeksploitasi pura secara berlebihan, namun tetap menjaga kesucian pura

    sebagai tempat persembahyangan bagi umat hindu. Wisata spiritual dapat

    disarankan, dan akan ditetapkan tarif masuk yang sesuai dan aliran dana akan

    diputar kembali dalam rangaka pelestarian pura.

    Sesuai dengan kondisi Pura dengan makna kulturalnya yang spesifik,

    pengembangan Pura Kereban Langit ke depan sebagai obyek wisata sangat

    berprospek. Selain mampu mempertahankan nilai kultural pura bagi umatnya,

    fungsinya sebagai obyek wisata akan menggerakkan ekonomi masyarakat desa dan

    memberikan motivasi baru dalam konteks pelestarian. Seperti beberapa motivasi

    konservasi yang dijelaskan pada bab 2, konservasi Pura Kereban Langit ini, dilandasi

    oleh beberapa motivasi antara lain :

    a. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.

    Motivasi ini didasari oleh keinginan untuk menghargai warisan budaya atau

    sejarah berupa pura, karena budaya dan atau sejarah mengandu