managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

60
REFERAT MANAGEMENT GESTATIONAL DIABETES MELLITUS DAN THYROTOXICOSIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul Disusun oleh : Windi Pertiwi (20070310128) Dokter Pembimbing : dr. Bambang Basuki, Sp.OG

description

managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Transcript of managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Page 1: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

REFERAT

MANAGEMENT GESTATIONAL DIABETES

MELLITUS DAN THYROTOXICOSIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di

Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Windi Pertiwi (20070310128)

Dokter Pembimbing :

dr. Bambang Basuki, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2012

Page 2: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

HALAMAN PENGESAHAN

MANAGEMENT GESTATIONAL DIABETES MELLITUS

DAN THYROTOXICOSIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat

Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter

Di bagian Ilmu Bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

Windi Pertiwi

20070310128

Telah dipresentasikan pada : 06 januari 2012

Disahkan oleh

Dokter Pembimbing

(dr.H. Bambang Basuki, Sp.OG)

Page 3: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana

glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan

hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Diabetes

Melitus dengan kehamilan (Diabetes Mellitus Gestational – DMG) adalah kehamilan

normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance. Pada golongan ini,

kondisi diabetes dialami sementara selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes

atau intoleransi glukosa pertama kali didapati selama masa kehamilan, biasanya pada

trimester kedua atau ketiga.

Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi

perinatal, dan ibu memiliki risiko untuk dapat menderita penyakit diabetes melitus

yang lebih besar dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Diabetes

Mellitus Gestasional ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia,

ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM

mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan

makrosomia. Frekuensi DMG kira-kira 3–5% dan para ibu tersebut meningkat

risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.

Sementara itu, kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua

yang ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik

terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid

maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan

hormon tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. Wanita hamil dengan eutoroid

memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip dengan disfungsi tiroid

sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Wanita hamil dengan eutiroid dapat

Page 4: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

menunjukan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung, takikardia

ringan, dan tekanan nadi yang melebar.

Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan

hipotiroidisme pada wanita hamil. Penyakit graves terjadi sekitar lebih dari 85% dari

semua kasus hipertiroid, dimana tiroiditis hashimoto adalah yang paling sering untuk

kasus hipotiroidisme.

Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki

dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil.

Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak

terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan

kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan

karena kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang

menyerupai keadaan hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui

adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah penting, karena kehamilan itu

sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan keadaan

hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan

memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya

maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu

dan janin.

Page 5: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus Gestational

I. Definisi

Menurut Brunner and Suddarth, 2001, Diabetes Mellitus merupakan

sekelompok kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada

Diabetes Mellitus, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat

menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin.

Diabetes mellitus gestational adalah suatu gangguan toleransi

karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat hamil tanpa

membedakan apakah perlu mendapat insulin atau tidak. Dan diabetes mellitus

pregestational adalah dimana Diabetes mellitus sudah ada sebelum  hamil  dan

berlanjut sesudah kehamilan.

II. Insidensi

Diabetes mellitus gestational terjadi pada 7% dari semua kehamilan,

atau lebih dari 200.000 kasus per tahun. Di Amerika terdapat peningkatan kasus

dari 14,5 kasus per 1000 kehamilan pada 1991 sampai dengan 47,9 kasus per

1000 kehamilan pada 2003. . Penelitian Prof. John M.F Adam di Ujung

Pandang dalam dua periode yang berbeda, memperoleh insidens Diabetes

Mellitus Gestational yang jauh lebih tinggi pada mereka dengan resiko tinggi

(4,35%) dan 1,67% dari seluruh populasi wanita hamil. Sedangkan, pada

penelitian kedua Beliau ditemukan 3% pada kelompok resiko tinggi dan 1,2%

dari seluruh wanita hamil. Rumah Sakit DR. Kariadi Semarang oleh

Page 6: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Praptohardjo U dan Suparto P, tahun 1975, meneliti diabetes meliitus dalam

kehamilan didapatkan angka kejadian berkisar 2-3%.

III. Klasifikasi

Klasifikasi Pyke untuk diabetes mellitus gestasional adalah:

1. Diabetes gestasional, dimana diabetes mellitus terjadi hanya pada waktu hamil

2. Diabetes pregestasional, dimana diabetes mellitus sudah ada sebelum  hamil 

dan berlanjut sesudah kehamilan

3. Diabetes pregestasional yang disertai dengan komplikasi misalnya angiopati,

retinopati dan nefropati.

Klasifikasi lain dari diabetes mellitus pada kehamilan adalah sebagai

berikut :

1. DM yang memang sudah diketahui sebelumnya dan kemudian menjadi

hamil (DM hamil = DM pregestasional). Sebagian besar termasuk golongan

IDDM (Insulin Dependent DM)

2. DM yang baru saja ditemukan pada saat kehamilan (DM Gestasional =

DMG). Umumnya termasuk golongan NIDDM (Non Insulin Dependent DM).

Dan diabetes mellitus gestasional sendiri dibagi dua sub kelompok, yaitu

sebagai berikut :

1. Sebenarnya sudah mengidap DM sebelumnya, tetapi baru diketahui pada saat

hamil.

2. Sebelumnya belum mengidap DM dan baru mengidap DM pada masa

kehamilan (Pregnancy-Induced Diabetes Mellitus). Merupakan DMG

sesungguhnya, sesuai dengan definisi lama WHO 1980(1,5,6,7).

Page 7: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Ke dua sub kelompok ini baru dapat dibedakan setelah dilakukan tes toleransi

glukosa oral (TTGO) ulangan pasca persalinan. Untuk sub kelompok DMH, hasil

TTGO pasca persalinan masih tetap abnormal, sedangkan untuk DMG hasil akan

kembali normal.

Klasifikasi baru yang akhir-akhir ini banyak dipakai adalah Javanovic (1986),

yaitu sebagai berikut :

1. Regulasi baik ( good diabetic Control)

Glukosa darah puasa 55-65 mg/dL, rata-rata 84 mg/dL, 1 jam sesudah

makan <140 mg/dL. HbA1c normal dalam  30 minggu untuk diabetes

gestasional dan dalam 12 minggu untuk diabetes pregestasional.

2. Regulasi tak baik ( Less than optimal Diabetic Control)

Pasien tidak kontrol selama hamil,kadar glukosa berada diatas normal

dan tidak terkontrol baik selama 26 minggu unruk diabetes gestasional dan 12

minggu untuk diabetes pregestational.

IV. Patofisiologi diabetes mellitus gestasional

Dalam kehamilan normal, metabolisme ibu melakukan penyesuaian untuk

menyediakan nutrisi yang adekuat untuk ibu dan bagian fetoplasenta yang sedang

brekembang. Pada masa awal kehamilan, kadar glukosa dipengaruhi oleh peningkatan

estrogen yang berlanjut pada hiperplasia sel pankreas dan meningkatnya sekresi

insulin.

Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta ke janin sehingga

kadarnya dalam janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu. Insulin ibu tidak

dapat masuk ke janin, sehingga kadar pada ibu yang mempengaruhi kadar pada janin.

Page 8: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Pada kehamilan normal, kadar glukosa plasma ibu menjadi lebih rendah

secara bermakna, karena:

1) Ambilan glukosa sirkulasi plasenta meningkat

2) Produksi glukosa dari hati menurun

3) Produksi alanin (salah satu prekursor glukoneogenesis menurun)

4) Efektifitas ekskresi ginjal meningkat

5) Efek hormon-hormon gestasional (human plasental lactogen, hormon-hormon

plasenta lainnya, hormon-hormon ovarium, hormon pankreas dan adrenal, growth

factor, dan sebagainya)

Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sampai 3 kali lipat dari

keadaan normal. Hal ini disebut tekanan diabetojenik dalam kehamilan yang secara

fisiologik telah terjadi resistensi insulin. Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan

produksi insulin yang mengakibatkan hiperglikemia atau diabetes kehamilan.

Resistensi insulin disebabkan oleh adanya hormone estrogen, progesterone, kortisol,

prolaktin, dan plasentallaktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin

pada sel sehingga mempengaruhi afinitas insulin.

Ada dua fase metabolisme karbohidrat selama kehamilan yaitu yang bersifat

anabolik dan katabolik. Proses anabolik terjadi pada kehamilan 0-20 minggu karena

peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang mengakibatkan hyperplasia sel-

sel beta pancreas. Hipepalsia sel-sel beta pankreas ini akan menyebabkan

meningkatnya produksi insulin sehingga produksi glukosa oleh hepar menurun,

penggunaan glukosa oleh jaringan perifer meningkat, penyimpanan glukosa jaringan

dalam bentuk glikogen meningkat dan turunnya kadar glukosa dalam plasma.

Page 9: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Pada kehamilan 20-40 mg terjadi perubahan metabolisme yang bersifat

katabolik. Peningkatan hormon plasenta laktogen (HPL) dapat meningkatkan lipolisis

trigliserida sehingga makin banyak terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas

ini akan mengakibatkan resistensi jaringan terhadap insulin. Jadi HPL mempengaruhi

organ target dan menurunkan sensitivitas organ tersebut terhadap aktivitas insulin.

Metabolisme glukosa pada kehamilan normal ditandai dengan kadar glukosa

darah puasa yang lebih rendah dan peningkatan kadar glukosa darah postprandial.

Perubahan ini terjadi pada 10 minggu pertama kehamilan. Pada trisemester ketiga

jumlah karbohidrat menjadi stabil.

Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut,akan terjadi suatu

keadaan di mana jumlah dan fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan

kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber

energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap

tinggi).

Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin

juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. Hal inilah menyebabkan

kemungkinan terjadi berbagai komplikasi. Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia

sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik yaitu hipoglikemia,

hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya.

Faktor lain yang berperan dalam resistensi insulin adalah peningkatan

hormon kortisol selama kehamilan. Hormon kortisol meningkat 3 kali selama

kehamilan dibandingkan keadaan normal sehingga menyebabkan kadar glukosa darah

ibu meningkat dan kadar glukosa janin juga meningkat.

V. Penyaringan dan diagnosis

Page 10: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Konsesus pengelolaan diabetes melitus TIPE 2 di Indonesia tahun 2002 oleh

PERKENI menganjurkan semua ibu hamil pada pertemuan pertama dengan petugas

kesehatan dilakukan penapisan DMG. Bila hasilnya negatif pemeriksaan diulang pada

minggu ke 24-26 gestasi.

Terdapat beberapa macam cara penyaringan yaitu penyaringan satu tahap dan

dua tahap. Penyaringan dua tahap sekarang dikenal dengan cara O’Sullivan Mahan.

Penyaringan satu tahap adalah cara WHO. Sampai saat ini yang paling banyak

dipakai adalah cara O’Sullivan Mahan dan cara WHO. (2)

1. Cara O’ Sullivan-Mahan (1)

Cara ini terdiri dari 2 tahap yaitu TTG ( tes tantangan glukosa) dan TTGO

( tes toleransi glukosa oral )

a. Tes Tantangan Glukosa

Pada semua wanita hamil yang datang untuk untuk penyaringan baik dalam

keadaan puasa atau tidak diberikan beban glukosa 50 gram glukosa yang dilarutkan

dalam air 200 ml dan segera diminum. Satu jam kemudian diambil contoh darah

plasma vena untuk diperiksa kadar glukosa darahnya.

Apabila kadar glukosa plasma vena:

- Kurang dari 140 mg% maka tes dinyatakan negatif

- Sama atau lebih dari 140 mg% maka tes dinyatakan positif

- Bila ditemukan sama atau lebih dari 200 mg% maka tidak perlu lagi

melakukan TTGO

b. Tes Toleransi Glukosa Oral

Persiapan untuk melakukan tes toleransi glukosa sama dengan persiapan pada

TTGO pada umumnya. Pasien harus makan cukup karbohidrat beberapa hari

sebelumnya. Semalam sebelumnya harus berpuasa selam 8-12 jam. Tes dilakukan

Page 11: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

pada pagi hari dalam keadaan puasa . Dalam keadaan puasa diambil contoh darah

kemudian diberikan minum glukosa 100 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air.

Pengambilan contoh darah berikutnya diambil pada satu, dua dan tiga jam setelah

pemberian. Contoh darah yang diperiksa adalah plasma vena. Kadar normal adalah

puasa < 105 mg%, satu jam < 190 mg% dua jam <165 mg% dan tiga jam < 145 mg

%. Disebut diabetes melitus gestasional apabila ditemukan dua angka abnormal. (2)

2. Cara WHO

Penyaringan WHO sama seperti wanita bukan hamil. Setelah persiapan yang

sama dengan diatas dalam keadaan berpuasa pada pagi hari diambil contoh darah,

kemudian diberikan beban glukosa 75 gram. Contoh darah berikutnya diperiksa 2 jam

setelah beban glukosa. Kriteria diagnosis sama seperti bukan wanita hamil yaitu

puasa ≥ 140 mg% atau dan 2 jam ≥ 200 mg%. Mereka yang mempunyai darah puasa

antara 100-140 mg% dan dua jam antara 140-200 mg% disebut toleransi glukosa

terganggu. Khusus untuk wanita hamil yang tergolong toleransi terganggu harus

dikelola sebagai diabetes melitus.

3. Kesepakatan PERKENI

Untuk kemudahan dipakai cara penyaringan satu tahap sesuai yang

dianjurkan WHO, dengan modifikasi glukosa darah yang diperiksa hanya glukosa

darah 2 jam setelah beban glukosa 75 g. Kriteria diagnosis sesuai WHO.

Jika nilai > 200 mg/dl dinyatakan diabetes mellitus.

Nilai 140 - 200 mg/dl disebut toleransi glukosa terganggu (TGT),

nilai < 140 mg/dl dinyatakan normal. Sesuai anjuran WHO, pada temuan TGT

(gula darah 2 jam pp 140 - 200 mg/dl) ditangani juga sebagai kasus DMG.

IV. Penatalaksanaan diabetes mellitus gestasional

a. Penatalaksanaan medis

Page 12: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu antara ahli

obstetri, ahli penyakit dalam, ahli ahli gizi dan dokter spesialis anak. Tujuan

pengobatan adalah untuk menurunkan angka kesakitan ibu , kesakitan dan kematian

perinatal. Keadaan ini hanya dapat tercapai apabila keadaan normoglikemi dicapai

dapat dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan. Oleh karena itu penting

sekali penatalaksanaan medis untuk mencapai normoglikemia.

Sasaran normoglikemia pada DMG adalah glukosa plasma vena puasa < 105

mg% dan 2 jam sesudah makan < 120 mg%. Untuk mencapai sasaran tersebut dapat

dilakukan dengan a) pengaturan diet sesuai dengan kebutuhan, b) memantau glukosa

darah sendiri di rumah c) pemberian insulin bila belum tercapai normoglikemia

dengan diet.

a. Pengaturan Diet Sesuai Kebutuhan

Pada umumnya untuk DMG dianjurkan 35 kal/kgBB ideal yang harus

dikomsumsi selama 24 jam, kecuali pada penderita gemuk dipertimbangkan kalori

yang sedikit rendah. Pasien yang gemuk dapat diberikan 25-30 kal/kgBB ideal. Cara

yang dianjurkan untuk menghitung berat badan ideal adalah cara broca yaitu BB ideal

= (TB-100)-10% BB.

Komposisi makan yang dianjurkan adalah sama dengan komposisi makanan

yang dianjurkan untuk pasien DM pada umumnya. Demikian juga pembagian porsi

makanan, wanita hamil biasanya ditambah 300 kalori terutama pada trisemester ke 3

karena kebutuhan kalori yang meningkat. Untuk menjamin kebutuhan janin yang baik

harus diingat bahwa kebutuhan protein ibu hamil dianjurkan 1-1,5 g/kg BB.

Dalam triwulan pertama diet tidak banyak berbeda dengan keadaan diluar

kehamilan. Diet yang dianjurkan adalah 40% karbohidrat, protein 2 g/kg berat badan,

lemak 45-60 g. Dalam triwulan ke 2 metabolisme hidrat arang dalam tubuh ibu

berubah, ibu memerlukan lebih banyak bahan makanan terutama kalori dan protein.

Page 13: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Penderita yang diluar kehamilan dan dalam kehamilan triwulan pertama tidak

memerlukan insulin mungkin sekali perlu diobati dengan insulin pada triwulan ke 2

dan ke 3. Karena itu gula darah harus diperiksa ulang, diet atau terapi insulin harus

disesuaikan dengan perubahan itu. Demikian juga pada masa laktasi dan nifas.

Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan dari:

Kalori basal 25 kal/kgBB ideal

Kalori kegiatan jasmani 10-30%

Kalori untuk kehamilan 300 kalori

Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB.

Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa

darah kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM

umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh

kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai.

Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk :

Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl

Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120mg/dl

Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6%

Mencegah episode hipoglikemia

Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik

Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal.

c. Memantau glukosa sendiri di rumah

Diklinik yang maju semua pasien diajarkan untuk memantau glukosa darah

sendiri di rumah. Disamping mempermudah mencapai normoglikemia bagi mereka

yang mendapat insulin dapat mencegah hipoglikemia berat.

d. Pemberian Insulin

Page 14: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai

normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl dan

2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai.

Insulin yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin),

karena insulin yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat

menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat

menembus sawar darah plasenta (plasental blood barrier) sehingga dapat

mempengaruhi janin.

Pada umumnya pemberian insulin dimulai dari dosis kecil dan bertambah

secara bertahap sesuai dengan usia kehamilan yang semakin meningkat. Berbagai

macam preparat insulin yang bekerja cepat yang dapat diperoleh dipasaran adalah

Humulin R (40 IU, 100 IU) dan Actrapid Human 40, 100.

Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin, perlu diberikan

insulin dengan dosis sesuai dengan keperluan. Perubahan perubahan dalam kehamilan

disatu pihak memudahkan terjadi hiperglikemi dan asidosis akan tetapi dipihak lain

dapat menimbulkan reaksi hipoglikemik. Karena itu dosis insulin perlu disesuaikan

dengan berpodoman pada hasil pemeriksaan gula darah.

Pada DMG dengan hiperglikemia hanya pada pagi hari, cukup diberikan

insulin kerja menengah malam sebelum tidur. Pada pasien dengan hiperglikemia saat

puasa maupun sesudah makan diberikan insulin kombinasi kerja menengah dan kerja

cepat pagi dan sore hari. Insulin yang dipakai sebaiknya human insulin dengan dosis

0.5-1.5 U/kgBB, 2/3 diberikan pagi hari dan 1/3 sore hari. Hanya pada keadaan

tertentu, belum terkendali dengan pemberian 2 kali, perlu diberikan 4 kali sehari yaitu

tiga kali insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah pada malam hari sebelum

tidur. Pemantauan glukosa darah harus dilakukan.

Cara pemberian insulin

Page 15: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Kadar glukosa darah Pemberian Insulin (jam)

07.00 13.00 19.00 22.00

GDP , 2 jam PP normal - - - M

GDP dan 2 Jam PP C-M

atau

C

-

C

C-M

C

-

M

C=insulin kerja cepat

M= insulin kerja menengah

Dosis rejimen pemantauan dan administrasi disesuaikan berdasarkan respon

individu terhadap intervensi nutrisi, olahraga dan teknik administrasi insulin. Bagi

seorang wanita yang pertama menghadirkan selama kehamilan untuk perawatan,

apakah dia memiliki tipe 1, tipe 2 atau gestational diabetes, dosis insulin berdasarkan

usia kehamilan dan berat badan saat ini menyediakan titik awal (dosis harian total)

untuk penyesuaian lebih lanjut berdasarkan aktivitas, makan rencana dan faktor

lainnya. Stres, sepsis, steroid, obesitas dan memajukan kehamilan meningkatkan

kebutuhan insulin. Beberapa suntikan harian memberikan kontrol yang paling

optimal selama kehamilan. (Jovanovic 2000).

Page 16: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Untuk memulai terapi insulin ditandai dengan hiperglikemia sepanjang hari,

mulai insulin menggunakan dosis pemecahan insulin bertindak cepat-akting dan

menengah.

1.Hitung jumlah total dosis harian yang diperlukan oleh pasien.

2. Sekitar 2 / 3 dari dosis total diberikan pada pagi hari (33% cepat-akting, 66%

intermediate acting) dan 1 / 3 pada malam hari dengan setengah cepat-acting insulin

sebelum makan malam dan setengah insulin intermediate sebelum tidur.

Contoh: Seorang wanita 74 kg pada kehamilan 30 minggu.

1. Hitung total dosis 24-jam: 0,9 x 72 = ~ 66 unit insulin total per hari.

2. Berikan 2 / 3 dosis total (~ 45) di pagi dan 1 / 3 (~ 21) dalam PM sebagai

berikut:

Pemantauan glukosa darah juga dapat melalui pemeriksaan HBA1C berkala

tiap 6-8 minggu dengan kadar HBA1C yang diharapkan sebesar 6%. Obat anti

diabetik oral tidak dapat digunakan karena dapat melewati sawar plasenta, disamping

bersifat teratogenik. (10)

b. PENGELOLAAN OBSTETRIK

1. Pengelolaan Prakonsepsi.

Kelainan kongenital menyebabkan meningkatnya angka kematian dan

kesakitan bayi. Kelainan kongenial ini sering terjadai sebelum minggu ke tujuh.

Untuk mencegah kelainan kongenital pada ibu yang diabetes, dianjurkan untuk

melakukan perawatan medis yang optimal dan pendidikan pasien sebelum

konsepsi. Semua ahli setuju bahwa kendali glikemik yang ketat merupakan hal

Page 17: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

penting dalam pengobatan untuk menekan angka kelainan kongenital,kesakitan

dan kematian perinatal.

Penderita harus memeriksakan kadar glukosa darahnya. Pengobatan

dengan obat oral diganti dengan insulin serta diberikan nasehat tentang diet dan

cara pemberian insulin. Idealnya pemeriksaan dilakukan oleh ahli obstetri, ahli diet

dan ahli diabetes.

2. Pengelolaan antenatal

Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan

janin, terutama tekanan darah, pembesaran uterus dan denyut jantung janin dan

kadar gula darah.

Secara umum wanita dengan diabetes yang tidak membutuhkan insulin

jarang memerlukan kelahiran yang cepat atau intervensi lain. Pemeriksaan

kehamilan untuk 20 minggu pertama dilakukan tiap bulan, kemudian tiap 2

minggu sampai kehamilan 30 minggu.

Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester

pertama dan selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu sampai akhir kehamilan.

Kenaikan berat badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu yaitu ibu BB

kurang 14-20 kg, ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BBlebih/obesitas 7.5-12.5

kg.

Untuk memonitor kadar glukosa darah dan tanda-tanda preeklamsia

dianjurkan pemeriksaan tiap minggu setelah 30 minggu. Pemeriksaan ibu dan

janin dilakukan dengan pemeriksaan tinggi fundus uteri, mendengarkan denyut

jantung janin secara khusus memakai USG dan CTG. Untuk pemeriksaan fetal

well being dilakukan pemeriksaan nonstres test (NST), Jika NST tidak reaktif

dilakukan contraction stress test (CST) atau profil biofisik janin.

Page 18: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Penilaian USG dapat mengevaluasi pertumbuhan janin, taksiran berat

janin, kelainan kongenital, dan hidramnion. Penilaian fetoprotein berguna untuk

mendeteksi adanya neural tube defek. Nilai normal fetoprotein pada ibu yang

diabetes lebih rendah daripada ibu yang tidak diabetes.

Pemeriksaan USG diulang tiap 4-6 minggu untuk menilai pertumbuhan

janin, makrosomia, dan resiko distosia bahu sehingga dapat dipilih pasien yang

harus dilahirkan secara SC. Pemeriksaan lingkaran perut janin dengan

menggunakan USG juga dapat memprediksi adanya makrosomia. Pembesaran

lingkaran perut janin karena adanya penumpukan penyimpanan glikogen pada hati

dan subcutan.

Follow up yang harus difokuskan adalah USG pada akhir trisemester

pertama untuk menilai usia kehamilan, kelainan kongenital. Pada trisemester

kedua kontrrol gula darah lebih, proteinuria, dan retinopati. Pada trisemester tiga

preeklamsia dan fetal monitoring.

3. Waktu Persalinan

Pada wanita dengan diabetes terkotrol dengan baik dan penilaian selama

antepartum normal, persalinan dapat ditunda sampai parunya matang. Dalam

praktek, induksi persalinan elektif sering dilakukan pada kehamilan 38-40 minggu

jika diabetes yang terkontrol dengan baik dan tidak ada penyakit vaskuler. Pasien

dengan gangguan vaskuler seperti hipertensi yang memburuk, gangguan

pertumbuhan janin dilahirkan lebih cepat. Sebelum persalinan elektif dilakukan

pemeriksaan amniosintesis untuk menilai kematangan paru dilakukan. Sindroma

gagal nafas jarang terjadi pada rasio lesitinspingomielin (L/S) lebih dari atau sama

dengan dua.

Persalinan lebih dari 40 minggu masih kontroversi karena meningkatnya

resiko kematian janin intra uterin, dan trauma lahir karena makrosomia. Distosia

Page 19: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

bahu lebih sering terjadi pada ibu yang menderita diabetes diabandingkan dengan

ibu yang tidak menderita diabetes. Makrosomia pada bayi yang ibunya diabetes

berbeda dengan bayi yang besar karena pengaruh umur kehamilan. Penumpukan

lemak lebih banyak di bahu dan di badan pada bayi yang lahir dari ibu yang DM.

Jika tes anterpartum menunjukkan janin dalam keadaan bahaya maka

persalinan harus diindikasikan. Indikasi ibu persalinan yang cepat adalah

preeklamsia, fungsi renal yang memburuk, proliferatif retinopati.

4. Cara persalinan

Cara persalinan pada pasien diabetes masih kontroversi. Persalinan dengan

seksio sesaria dilakukan jika dengan monitor denyut jantung didapatkan fetal

distres. Elektif seksio sesaria dilakukan pada kasus dengan servik yang tidak

matang dengan pemberian prostaglandin atau dicurigai makrosomia.

Kira-kira 45% pasien di amerika dilakukan seksio sesaria. Seksio sesaria

dilakukan biasanya karena fetal distress yang didapat pada pemeriksaan denyut

jantung antepartum. Persalinan spontan pervaginam menjadi pilihan pertama pada

pasien diabetes dalam penatalaksanaan modern. Persalinan pervaginam

diindikasikan bila letak janin yang normal, cervik yang matang, ukuran bayi yang

tidak besar, dan tidak ada fetal distres.

Persalinan harus dilakukan oleh bidan atau staf medis yang berpengalaman

dalam menangani persalinan dengan diabetes. Partogoraf harus digunakan untuk

memberi peringatan yang cepat jika membutuhkan tindakan seperti seksio sesaria.

Indikasi seksio sesaria adalah sebagai berikiut :

Primigravida tua

Multigravida dengan riwayat obstetri jelek

Diabetes ayng tidak terkontrol

Page 20: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Ada komplikasi obstetri seperti preeklamsia, polihidramnion,

malpresentation.

Macrosomia

5. Pengelolaan Intra Partum

Tujuan pengelolaan intrapartum adalah untuk mempertahankan keadaan

normoglikemi dan mencegah neonatal hipoglikemia. Pasien diabetes yang dapat

dikontrol dengan diet tidak membutuhkan insulin selama persalinan tapi kadar

glukosa darah tetap diperiksa selama dan sesudah persalinan. Pasien diabetes yang

tergantung insulin kadar glukose darah kapiler harus diperiksa tiap jam selam fase

aktif. Target glukosa darah kapiler adalah 80-110 mg/dl.

Prosedur untuk mengontrol diabetes selama persalinan yaitu dengan cara

mendrip 10 unit insulin dalam 1 liter glukosa 5%. Sebagai petunjuk kecepatan

tetesan adalah 1 unit per jam untuk kadar glukosa darah 70-130 mg/dl, 2 unit per

jam untuk kadar glukosa darah 130-160 mg/dl, 3 unit per jam untuk kadar glukosa

darah 160-200 mg/dl. Kadar glukosa darah diupertahankan antara 80-100 mg/dl.

Insulin dapat juga diberikan secara interval.

6. Pengelolaan Postpartum

Wanita dengan DMG jarang membutuhkan insulin postpartum. Resisten

insulin membaik dengan cepat sehingga insulin menjadi cukup. Setelah

melahirkan, pasien yang membutuhkan terapi insulin selama kehamilan harus

diperiksa kadar gula darah puasa dan 2 jam postprandial.

Pasien dengan diabetes selama kehamilan mempunyai resiko tinggi untuk

untuk terjadi DM type 2 dimasa yang akan datang. Mereka harus memeriksakan

kadar glukosa darah puasa 6 minggu setelah melahirkan atau test tolerasi glukosa

2 jam setelah pemberian glukosa 75 gram. Nilai normal untuk tes toleransi glukosa

Page 21: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

adalah kurang dari 140 mg/dl. Juga harus dilakukan konsultasi dengan ahli gizi

serta diskusi tentang penggunaan kontrasepsi.

Pemberian ASI memperbaiki Kontrol glukosa darah oleh karena itu harus

dianjuran untuk memberi ASI pada bayinya. Disamping mempertahankan activitas

fisik dan pengontrolan berat badan yang seimbang.

VI. Komplikasi DMG

a. Komplikasi pada ibu

Preeklamsia

Preeklamsia terjadi dua kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan

pasien yang tidak diabetes. Komplikasi hipertensi meningkatkan persalinan pretem

pada pasien diabetes sehingga akan meningkatkan angka kematian perinatal. Faktor

resiko preeklamsia adalah adanya komplikasi vaskuler, proteinuria, dan hipertensi

kronik.

Nefropati diabetik

Nefropati diabetik ditandai oleh adanya proteinuria dan hipertensi pada

trisemester pertama atau kedua. Gejala ini sering ringan pada awal kehamilan tapi

pada kehamilan 20-24 minggu mengalami peningkatan proteinuria, tekanan darah,

dan serum kreatinin. Hipertensi dan edema sering terjadi, sehingga pada trisemester

ke 3 sulit membedakan gejala nefropati diabetik dengan superimposed preeklamsia.

Retinopati diabetik

Retinopati diabetik terjadi kira-kira 40% pada diabetes yang tergantung

insulin. Kehamilan akan meningkatkan progresifitas retinopati diabetik. Pada 20%

pasien mengalami neovaskularisasi pada permukaan retina. Persalinan spontan akan

meningkatkan tekanan intraokuler sehingga dikontraindikasikan pada pasien yang

mengalami proliferatif retinopati diabetik.

Page 22: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Ketoasidosis

Ketoasidosis terjadi kira-kira 1 persen dari pasien hamil dengan diabetes. Tapi

ini merupakan komplikasi yang serius yang membutuhkan pengobatan segera.

Diabetik ketoasidosis terjadi oleh karena kurangnya insulin sehingga menurunkan

komsumsi glukosa oleh sel dan terjadinya glukoneogenesis yang menyebabkan

meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Kebutuhan energi dimetabolisir dari non

karbohidrat sehingga terjadi asidosis metabolik.

Infeksi

Kira-kira 80% pasien depeden insulin paling sedikit mengalami satu kali

episode infeksi dibandingkan 25% pada pasien nondiabetes. Infeksi yang sering

terjadi adalah candida vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, infeksi pelvis pada masa

nifas dan infeksi saluran nafas.

b. Komplikasi pada bayi

Kematian Janin

Kematian janin ini sering terjadi pada pasien dengan adanya penyakit

vaskuler, kontrol gula darah yang tidak baik, hidramnion, dan preeklamsia. Wanita

dengan komplikasi vaskuler mungkin menyebakan IUGR. Dulu kematian janin ini

dicegah dengan melahirkan bayi pada saat preterm tapi hal ini menyebabkan banyak

janin yang fungsi parunya belum matur dan meningkatkan angka kematian janin

akibat penyakit membran hialin.

Penyebab pasti kematian janin pada ibu yang menderita diabetes ini belum

diketahui. Ketoasidosis dan preeklamsia merupakan dua faktor yang meningkatkan

kematian intra uterin mungkin disebabkan oleh penurunan aliran darah ke plasenta.

Kelainan Kongenital

Page 23: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Banyak penelitian mengatakan kelainan kongenital meningkat dua sampai

enam kali pada pada bayi yang ibunya menderita IDDM. Kelainan kongenital ini

terjadi sebelum minggu ke tujuh kehamilan saat pembentukan organ. Kelainan

kongenital yang dapat terjadi seperti kelainan sistem saraf, anencephal, spina bifida,

kelainan jantung, ventrikel septal defek.

Makrosomia

Makrosomia didefinisikan kelahiran yang lebih dari 4000 gram. Kelahiran

lebih dari 4500 gram 10 kali lebih sering dijumpai pada wanita diabetes dibandingkan

wanita hamil tanpa diabetes. Makrosomia terjadi akibat adanya peningkatan

penumpukan lemak, pembesaran masa otot dan organomegali. Besarnya badan dan

bahu akan menyulitkan persalinan pervaginam.

Janin yang menerima pemasokan gula darah yang berlebihan akan

memproduksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Pengaruh insulin akan

mengubah glukosa menjadi cadangan lemak dan glikogen. Hal ini yang menyebabkan

makrosomia.

Hipoglikemia

Penurunan yang cepat kadar glukosa plasma setelah melahirkan sering terjadi

pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita diabetes melitus. Hal ini

disebabkan hiperplasia sel pulau langerhan karena pengaruh hiperglikemia ibu yang

lama. Hipoglikemai ini harus cepat dikenal dan diterapi untuk mencegah gejala sisa.

Sindroma gagal nafas

Hiperinsulinemia menyebabkan antagonis terhadap pengaruh kortisol yang

menimbulkan produksi fosfatidil gliserol yang berguna untuk pematangan paru. Hal

ini perlu diperhatikan dimana bayi yang sudah cukup besar tetapi paru belum cukup

matang meskipun sudah 38 minggu.

Hipokalsemia dan hipomagnesium

Page 24: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Neonatal dikatakan hipokalsemia bila nilai dalam serum kurang dari 7 mg/dl.

Hipokalsemia ini terjadi karena kegagalan peningkatan hormon paratiroid setelah

lahir.

B. Tirotoksikosis dalam kehamilan

I. Definisi

Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya

sekresi hormon tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau

kedua-duanya. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave,

struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit

Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun,

sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang

lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya

ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme dalam kehamilan

adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor

trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii.

Sementara itu, tirotoksikosis adalah suatu kondisi klinis timbul karena

disebabkan oleh suatu keadaan tingginya hormon-hormon tiroid dari penyebab

mana saja. Tirotoksiskosis dapat disebakan oleh suatu pemasukan yang berlebihan

dari hormon-hormon tiroid oleh produksi hormon-hormon tiroid yang berlebihan

oleh kelenjar tiroid.

II. Insidensi

Kejadian hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar

antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering

ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang

Page 25: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua

kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan

prematur, abortus dan kematian janin.

III. Patofisiologi

Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid terlihat dari peningkatan

uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama kehamilan. Mulai trimester II

kehamilan, kadar total triioditironin dan tiroksin serum (T3 dan T4)

meningkat dengan tajam. Peningkatan sekresi tiroksin tersebut

dihubungkan dengan meningkatnya degradasi plasenta.

Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan

filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma.

Keadaan ini akan menimbulkan penurunan konsentrasi plasma iodida

dan memerlukan penambahan kebutuhan iodida dari makanan. Pada

wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan

sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan iodida

intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama

kehamilan. Juga terjadi peningkatan kebutuhan iodine untuk keperluan

sintesa iodothyronine janin melalui plasenta. Proses sintesa ini mulai

berfungsi secara progresif setelah trimester pertama.

1. Metabolisme hormon tiroid di plasenta

Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah

yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan

sumber reverse T3 yang ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse

T3 dalam ketuban ini sebanding dengan kadar T4 maternal. Enzim ini

berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin.

Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu),meskipun

jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan

Page 26: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

betapa pentingnya hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang

adekuat dari unit fetomaternal.

2. Efek hCG terhadap fungsi tiroid

Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida

yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa

identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya.

Dengan demikian, hormon struktur parsial antara TSH dengan hCG

mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon tirotropik. Selama

kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG menimbulkan

peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga akhir trimester

pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada

mola hidatidosa dan khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid

secara klinis dan biokimia.

3. Fisiologi Tiroid pada Janin

Sistem hipotalamus-hipofisis janin berkembang dan berfungsi

secara lengkap bebas dari fungsi ibu pada kehamilan 11 minggu, setelah

sistem portal hipofiseal berkembang, akan ditemukan adanya TSH dan TRH

yang dapat diukur. Pada waktu yang bersamaan, tiroid janin mulai menangkap

Page 27: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

iodine. Namun sekresi hormon tiroid kemungkinan dimulai pada pertengahan

kehamilan (18-20 minggu). TSH meningkat dengan cepat hingga kadar puncak

pada 24-28 minggu, dan kadar T4 memuncak pada 35-40 minggu. Kadar T3

tetap rendah selama kehamilan, T4 diubah menjadi rT3 oleh deiodinase-5

tipe 3 selama perkembangan janin. Pada saat lahir, terdapat peningkatan

mendadak yang nyata dari TSH, suatu peningkatan T4, suatu

peningkatan T3 dan suatu penurunan rT3. parameter ini secara berangsur-

angsur kembali normal dalam bulan pertama kehidupan.

Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus

TBG T4 T3 rT3

Wanita tidak

hamil

Wanita hamil

aterm

4,3

8,7

7,6

14,3

111

173

40

54

Page 28: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi

pada saat baru lahir

T e s Darah ibu Darah tali pusatT4 serum (ug/100

ml)

fT4 (ng/100

ml)

T3 serum (ng/100

ml)

10 – 16

2,5 – 3,5

150 – 250

36 – 65

22

6 – 13

1,5 – 3,0

40 – 60

80 – 360

25 – 35

Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit

Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi

penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan

perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis

penyakit ini.

Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat

menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis

Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit

Grave).

Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara,

yaitu :

1. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar

kelenjar tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga

terjadi imunitas humoral.

Page 29: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

2. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri

yang menimbulkan imunitas seluler.

Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid

Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI).

Sekarang telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses

terjadinya penyakit Grave, antara lain :

1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)

2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)

3. Human Thyroid Stimulator (HTS)

4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)

5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)

` Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat

pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan

biosintesis hormon tiroid.

Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave

berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang

menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit

Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada

penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui

bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam

proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor

dalam menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana

yang paling dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B

dapat mengalami stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit

tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun

terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte

Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-

Page 30: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita

penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit

Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir

menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave

berbeda-beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985)

menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik,

emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak

terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik

perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan

trimester pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan

akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester pertama. Sampai

sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia

kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan

untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum.

Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang

sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.

Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester

ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam

keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun

ibu selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun

ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin

yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini

melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah

plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini

dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada

periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang

mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan juga dapat

terjadi setelah abortus. Suatu survei yang dilakukan oleh Amino dan kawan-

Page 31: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita

tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas

dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah

melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien

diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase

hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan

ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi

mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung

selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan

kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya.

Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan “rebound phenomenon”

dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan

IV. Diagnosis

Hipertiroidisme didiagnosis melalui pemeriksaan yang seksama terhadap

gejala-gejala, serta tes darah untuk mengukur TSH, T4, dan tingkat T3. Beberapa

gejala hipertiroidisme adalah yang umum pada kehamilan normal, termasuk

peningkatan denyut jantung, intoleransi panas, dan kelelahan. Gejala lainnya

adalah lebih menunjukkan hipertiroidisme: denyut jantung yang cepat dan tidak

teratur, penurunan berat badan yang jelas atau kegagalan untuk mendapatkan berat

badan kehamilan normal, dan mual dan muntah yang terkait dengan hiperemesis

gravidarum.

V. Penatalaksanaan

Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap

wanita hamil, maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak

pada pilihan antara penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan

pembedahan. Namun obat- obat anti tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai

Page 32: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

pilihan pertama.

Obat-obat anti tiroid

Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan

tionamida yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui

blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat

imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya

mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini

tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi

setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi

waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari

jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya

perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid

baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan

metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme.

Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :

a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping

menghambat sintesis hormon tiroid.

b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena

PTU mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.

Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia

cutis pada bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada

pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum

terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak

hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan

terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar

T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila

sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan

Page 33: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum

hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan

respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya

diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini

tidak menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian

Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami

hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada ibu hamil

hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat

ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4

dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi. Selama

trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan,

sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi

hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama

trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat

anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun

terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat

menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu

dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg

perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap

neonatus dari keadaan hipertiroidisme.

Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin

karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau

mendapat pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan

hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan

diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih

sering, misalnya setiap 4 – 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat

diberikan dengan dosis tinggi ini berdasarkan hasil penelitian Gardner

dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada trimester terakhir

Page 34: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas 600

mg perhari tidak dianjurkan.

Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula

mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan

mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu

metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah

pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah

dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU

yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini

tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan

kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan

dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan

yang ketat terhadap faal tiroid neonatus.

Beta bloker

Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol

dapat menyebabkan plasenta yang kecil, hambatan pertumbuhan janin,

gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia postnatal dan hipoglikemia pada

neonatus.

Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama

jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian

cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita

hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis

bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam

dengan yodida biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari.

I o d i u m

Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin

Page 35: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

(efek Wolff- Chaikoff) dan memblokir sekresi hormon tiroid. Namun

pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk karena

menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat

diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.

Tindakan operatif

Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai

akhir trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus

spontan. Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri,

a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat

pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.

b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus,

hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.

c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.

d) Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap

obat-obat anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam

mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan

mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif,

keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-

obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi,

pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya

hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan

untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.

VI. Komplikasi

Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan hamil dapat

memicu beberapa komplikasi. Kompilkasi maternal di antaranya keguguran,

infeksi, preeklampsia, persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid,

Page 36: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus dan neonatus di antaranya prematur,

kecil masa kehamilan,kematian janin dalam rahim dan goiter pada fetu satau

neonatus atau tirotoksiskosis. Pengobatan yang berlebihan juga dapat

menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus.

Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati penyakit

graves sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat

melewati plasenta sehingga masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang

tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves sedang diobati dengan obat anti

tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena obat-obatan tersebut juga

dapat ,elintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan atau

radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh

tiroid, namunpasien masih memiliki antibodi dalam tubuhnya.

Hipertiroid juga dapat menyebabkan terjadinya badai tiroid, yang

merupakan sebuah kegawatdaruratan medis yang dapat timbul akibat

hipermetabolik yang berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari

wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai

tiroid didiagnosis melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia,

takikardia yang tidak berhubungan dengan demam nya, gagal jantung kongestif,

disritmia, muntah, diare dan perubahan mental termasukcemas, bingung, gelisah.

Badai tiroid ini dapat muncul akibat infeksi, penghentian terapi yang tiba-tiba,

pembefahan, dan persalinan.

Page 37: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

III. Hubungan hipertiroid dengan resistensi insulin

Dari jurnal yang berjudul Insulin resistance in hyperthyroidism: the role of

IL6 and TNFa oleh panayota pada tahun 2005 diadapatkan bahwametabolisme

glukosa dan lipid adalah re3sisten untuk insulin, jaringan adiposa subcutaneus

mensekresi IL6 yang akan beraksi sebagai mediator endokrin dari resistensi insulin,

meskipun tidak ada sekresi berlebihan dari TNFa oleh jaringan adiposa subcutan,

pada peningkatan sistemik, TNFa dapat berhubungan dengan perkembangan dari

resistensi insulin pada lipolisis.

Page 38: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

BAB III

KESIMPULAN

Dibetes mellitus gestasional dan hipertiroidisme adalah gangguan

endokrin yang tersering terjadi saat masa kehamilan. Pengelolaan diabetes

mellitus dalam kehamilan membutuhkan pendekatan dan kerja sama tim yang

sebaik-baiknya. Dengan pengelolaan medis, obstetrik dan pediatrik yang baik

maka diharapkan memperoleh hasil akhir semaksimal mungkin, setidak-tidaknya

sama atau mendekati hasil akhir pada kehamilan normal.

Pada hipertiroidisme banyak komplikasi yang dapat terjadi, seperti dapat

terjadi kelahiran mati pada janin dan neonayus, dan pada ibu dapat menginduksi

hipertensi dalam kehamilan, pre eklampsia, gagal jantung dan persalinan preterm.

Untuk itu perlu dilakukan terapi yang tepat. Terapi pilihan pada hipertiroidim

dalam kehamilan adalah menggunakan propiltiourasil yang aman denga tujuan

mengontrol fungsi tiroid hingga stabil pada tingkat eutiroid.

Page 39: managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis

Daftar Pustaka

1. Adam J.M.F. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional.

Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1996;

674-680.

2. Landon BM. Diabetes Mellitus snd Other Endocrine Disease. In: Obstetrics

Normal and Problem Pregnancies. Third Edition. Churchill Livingstone Inc.

1996; 1-037-1059.

3. Suparman E. Diabetes Melitus Dalam Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran

no. 139,2003; 22-26

4. Cuningham FG,et al. Diabetes. In Williams Obstetrics. 21st ed. McGraw Hill

Medical Publishing Devision. New York. 2001. 1359-1377

5. Halen, Mark et all, 2008, hyperthyrioidsm and Pregnancy, BMJ 336 : 663 doi:

10.1136/bmj.39462.709005.AE.availabel via BMJ Group at URL :

http:/bmj.com/content/336/7645/663.full

6. Hartini SJS : Tirotoksikosis pada kehamilan. Dalam Buku Ajar Penyajit

Dalam jilid 1. Editor Syaiforllah Noer dkk, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.