managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis
-
Upload
windi-pertiwi -
Category
Documents
-
view
71 -
download
1
description
Transcript of managemen gestasional diabetes dan tirotoxicosis
REFERAT
MANAGEMENT GESTATIONAL DIABETES
MELLITUS DAN THYROTOXICOSIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh :
Windi Pertiwi (20070310128)
Dokter Pembimbing :
dr. Bambang Basuki, Sp.OG
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2012
HALAMAN PENGESAHAN
MANAGEMENT GESTATIONAL DIABETES MELLITUS
DAN THYROTOXICOSIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
Di bagian Ilmu Bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh:
Windi Pertiwi
20070310128
Telah dipresentasikan pada : 06 januari 2012
Disahkan oleh
Dokter Pembimbing
(dr.H. Bambang Basuki, Sp.OG)
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan
hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Diabetes
Melitus dengan kehamilan (Diabetes Mellitus Gestational – DMG) adalah kehamilan
normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance. Pada golongan ini,
kondisi diabetes dialami sementara selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes
atau intoleransi glukosa pertama kali didapati selama masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua atau ketiga.
Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
perinatal, dan ibu memiliki risiko untuk dapat menderita penyakit diabetes melitus
yang lebih besar dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Diabetes
Mellitus Gestasional ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia,
ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM
mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan
makrosomia. Frekuensi DMG kira-kira 3–5% dan para ibu tersebut meningkat
risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.
Sementara itu, kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua
yang ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik
terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid
maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan
hormon tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. Wanita hamil dengan eutoroid
memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip dengan disfungsi tiroid
sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Wanita hamil dengan eutiroid dapat
menunjukan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung, takikardia
ringan, dan tekanan nadi yang melebar.
Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan
hipotiroidisme pada wanita hamil. Penyakit graves terjadi sekitar lebih dari 85% dari
semua kasus hipertiroid, dimana tiroiditis hashimoto adalah yang paling sering untuk
kasus hipotiroidisme.
Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki
dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang ditemukan pada wanita hamil.
Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,namun bila tidak
terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan
kematian janin. Diagnosis hipertiroidisme dalam kehamilan sulit ditegakkan
karena kehamilan itu sendiri menyebabkan perubahan-perubahan fisiologik yang
menyerupai keadaan hipertiroidisme. Namun deteksi dini untuk mengetahui
adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah penting, karena kehamilan itu
sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai dengan keadaan
hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan
memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya
maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu
dan janin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus Gestational
I. Definisi
Menurut Brunner and Suddarth, 2001, Diabetes Mellitus merupakan
sekelompok kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada
Diabetes Mellitus, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat
menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin.
Diabetes mellitus gestational adalah suatu gangguan toleransi
karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat hamil tanpa
membedakan apakah perlu mendapat insulin atau tidak. Dan diabetes mellitus
pregestational adalah dimana Diabetes mellitus sudah ada sebelum hamil dan
berlanjut sesudah kehamilan.
II. Insidensi
Diabetes mellitus gestational terjadi pada 7% dari semua kehamilan,
atau lebih dari 200.000 kasus per tahun. Di Amerika terdapat peningkatan kasus
dari 14,5 kasus per 1000 kehamilan pada 1991 sampai dengan 47,9 kasus per
1000 kehamilan pada 2003. . Penelitian Prof. John M.F Adam di Ujung
Pandang dalam dua periode yang berbeda, memperoleh insidens Diabetes
Mellitus Gestational yang jauh lebih tinggi pada mereka dengan resiko tinggi
(4,35%) dan 1,67% dari seluruh populasi wanita hamil. Sedangkan, pada
penelitian kedua Beliau ditemukan 3% pada kelompok resiko tinggi dan 1,2%
dari seluruh wanita hamil. Rumah Sakit DR. Kariadi Semarang oleh
Praptohardjo U dan Suparto P, tahun 1975, meneliti diabetes meliitus dalam
kehamilan didapatkan angka kejadian berkisar 2-3%.
III. Klasifikasi
Klasifikasi Pyke untuk diabetes mellitus gestasional adalah:
1. Diabetes gestasional, dimana diabetes mellitus terjadi hanya pada waktu hamil
2. Diabetes pregestasional, dimana diabetes mellitus sudah ada sebelum hamil
dan berlanjut sesudah kehamilan
3. Diabetes pregestasional yang disertai dengan komplikasi misalnya angiopati,
retinopati dan nefropati.
Klasifikasi lain dari diabetes mellitus pada kehamilan adalah sebagai
berikut :
1. DM yang memang sudah diketahui sebelumnya dan kemudian menjadi
hamil (DM hamil = DM pregestasional). Sebagian besar termasuk golongan
IDDM (Insulin Dependent DM)
2. DM yang baru saja ditemukan pada saat kehamilan (DM Gestasional =
DMG). Umumnya termasuk golongan NIDDM (Non Insulin Dependent DM).
Dan diabetes mellitus gestasional sendiri dibagi dua sub kelompok, yaitu
sebagai berikut :
1. Sebenarnya sudah mengidap DM sebelumnya, tetapi baru diketahui pada saat
hamil.
2. Sebelumnya belum mengidap DM dan baru mengidap DM pada masa
kehamilan (Pregnancy-Induced Diabetes Mellitus). Merupakan DMG
sesungguhnya, sesuai dengan definisi lama WHO 1980(1,5,6,7).
Ke dua sub kelompok ini baru dapat dibedakan setelah dilakukan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) ulangan pasca persalinan. Untuk sub kelompok DMH, hasil
TTGO pasca persalinan masih tetap abnormal, sedangkan untuk DMG hasil akan
kembali normal.
Klasifikasi baru yang akhir-akhir ini banyak dipakai adalah Javanovic (1986),
yaitu sebagai berikut :
1. Regulasi baik ( good diabetic Control)
Glukosa darah puasa 55-65 mg/dL, rata-rata 84 mg/dL, 1 jam sesudah
makan <140 mg/dL. HbA1c normal dalam 30 minggu untuk diabetes
gestasional dan dalam 12 minggu untuk diabetes pregestasional.
2. Regulasi tak baik ( Less than optimal Diabetic Control)
Pasien tidak kontrol selama hamil,kadar glukosa berada diatas normal
dan tidak terkontrol baik selama 26 minggu unruk diabetes gestasional dan 12
minggu untuk diabetes pregestational.
IV. Patofisiologi diabetes mellitus gestasional
Dalam kehamilan normal, metabolisme ibu melakukan penyesuaian untuk
menyediakan nutrisi yang adekuat untuk ibu dan bagian fetoplasenta yang sedang
brekembang. Pada masa awal kehamilan, kadar glukosa dipengaruhi oleh peningkatan
estrogen yang berlanjut pada hiperplasia sel pankreas dan meningkatnya sekresi
insulin.
Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta ke janin sehingga
kadarnya dalam janin hampir menyerupai kadar dalam darah ibu. Insulin ibu tidak
dapat masuk ke janin, sehingga kadar pada ibu yang mempengaruhi kadar pada janin.
Pada kehamilan normal, kadar glukosa plasma ibu menjadi lebih rendah
secara bermakna, karena:
1) Ambilan glukosa sirkulasi plasenta meningkat
2) Produksi glukosa dari hati menurun
3) Produksi alanin (salah satu prekursor glukoneogenesis menurun)
4) Efektifitas ekskresi ginjal meningkat
5) Efek hormon-hormon gestasional (human plasental lactogen, hormon-hormon
plasenta lainnya, hormon-hormon ovarium, hormon pankreas dan adrenal, growth
factor, dan sebagainya)
Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sampai 3 kali lipat dari
keadaan normal. Hal ini disebut tekanan diabetojenik dalam kehamilan yang secara
fisiologik telah terjadi resistensi insulin. Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan
produksi insulin yang mengakibatkan hiperglikemia atau diabetes kehamilan.
Resistensi insulin disebabkan oleh adanya hormone estrogen, progesterone, kortisol,
prolaktin, dan plasentallaktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin
pada sel sehingga mempengaruhi afinitas insulin.
Ada dua fase metabolisme karbohidrat selama kehamilan yaitu yang bersifat
anabolik dan katabolik. Proses anabolik terjadi pada kehamilan 0-20 minggu karena
peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang mengakibatkan hyperplasia sel-
sel beta pancreas. Hipepalsia sel-sel beta pankreas ini akan menyebabkan
meningkatnya produksi insulin sehingga produksi glukosa oleh hepar menurun,
penggunaan glukosa oleh jaringan perifer meningkat, penyimpanan glukosa jaringan
dalam bentuk glikogen meningkat dan turunnya kadar glukosa dalam plasma.
Pada kehamilan 20-40 mg terjadi perubahan metabolisme yang bersifat
katabolik. Peningkatan hormon plasenta laktogen (HPL) dapat meningkatkan lipolisis
trigliserida sehingga makin banyak terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas
ini akan mengakibatkan resistensi jaringan terhadap insulin. Jadi HPL mempengaruhi
organ target dan menurunkan sensitivitas organ tersebut terhadap aktivitas insulin.
Metabolisme glukosa pada kehamilan normal ditandai dengan kadar glukosa
darah puasa yang lebih rendah dan peningkatan kadar glukosa darah postprandial.
Perubahan ini terjadi pada 10 minggu pertama kehamilan. Pada trisemester ketiga
jumlah karbohidrat menjadi stabil.
Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut,akan terjadi suatu
keadaan di mana jumlah dan fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan
kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber
energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap
tinggi).
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin
juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. Hal inilah menyebabkan
kemungkinan terjadi berbagai komplikasi. Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia
sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik yaitu hipoglikemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya.
Faktor lain yang berperan dalam resistensi insulin adalah peningkatan
hormon kortisol selama kehamilan. Hormon kortisol meningkat 3 kali selama
kehamilan dibandingkan keadaan normal sehingga menyebabkan kadar glukosa darah
ibu meningkat dan kadar glukosa janin juga meningkat.
V. Penyaringan dan diagnosis
Konsesus pengelolaan diabetes melitus TIPE 2 di Indonesia tahun 2002 oleh
PERKENI menganjurkan semua ibu hamil pada pertemuan pertama dengan petugas
kesehatan dilakukan penapisan DMG. Bila hasilnya negatif pemeriksaan diulang pada
minggu ke 24-26 gestasi.
Terdapat beberapa macam cara penyaringan yaitu penyaringan satu tahap dan
dua tahap. Penyaringan dua tahap sekarang dikenal dengan cara O’Sullivan Mahan.
Penyaringan satu tahap adalah cara WHO. Sampai saat ini yang paling banyak
dipakai adalah cara O’Sullivan Mahan dan cara WHO. (2)
1. Cara O’ Sullivan-Mahan (1)
Cara ini terdiri dari 2 tahap yaitu TTG ( tes tantangan glukosa) dan TTGO
( tes toleransi glukosa oral )
a. Tes Tantangan Glukosa
Pada semua wanita hamil yang datang untuk untuk penyaringan baik dalam
keadaan puasa atau tidak diberikan beban glukosa 50 gram glukosa yang dilarutkan
dalam air 200 ml dan segera diminum. Satu jam kemudian diambil contoh darah
plasma vena untuk diperiksa kadar glukosa darahnya.
Apabila kadar glukosa plasma vena:
- Kurang dari 140 mg% maka tes dinyatakan negatif
- Sama atau lebih dari 140 mg% maka tes dinyatakan positif
- Bila ditemukan sama atau lebih dari 200 mg% maka tidak perlu lagi
melakukan TTGO
b. Tes Toleransi Glukosa Oral
Persiapan untuk melakukan tes toleransi glukosa sama dengan persiapan pada
TTGO pada umumnya. Pasien harus makan cukup karbohidrat beberapa hari
sebelumnya. Semalam sebelumnya harus berpuasa selam 8-12 jam. Tes dilakukan
pada pagi hari dalam keadaan puasa . Dalam keadaan puasa diambil contoh darah
kemudian diberikan minum glukosa 100 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air.
Pengambilan contoh darah berikutnya diambil pada satu, dua dan tiga jam setelah
pemberian. Contoh darah yang diperiksa adalah plasma vena. Kadar normal adalah
puasa < 105 mg%, satu jam < 190 mg% dua jam <165 mg% dan tiga jam < 145 mg
%. Disebut diabetes melitus gestasional apabila ditemukan dua angka abnormal. (2)
2. Cara WHO
Penyaringan WHO sama seperti wanita bukan hamil. Setelah persiapan yang
sama dengan diatas dalam keadaan berpuasa pada pagi hari diambil contoh darah,
kemudian diberikan beban glukosa 75 gram. Contoh darah berikutnya diperiksa 2 jam
setelah beban glukosa. Kriteria diagnosis sama seperti bukan wanita hamil yaitu
puasa ≥ 140 mg% atau dan 2 jam ≥ 200 mg%. Mereka yang mempunyai darah puasa
antara 100-140 mg% dan dua jam antara 140-200 mg% disebut toleransi glukosa
terganggu. Khusus untuk wanita hamil yang tergolong toleransi terganggu harus
dikelola sebagai diabetes melitus.
3. Kesepakatan PERKENI
Untuk kemudahan dipakai cara penyaringan satu tahap sesuai yang
dianjurkan WHO, dengan modifikasi glukosa darah yang diperiksa hanya glukosa
darah 2 jam setelah beban glukosa 75 g. Kriteria diagnosis sesuai WHO.
Jika nilai > 200 mg/dl dinyatakan diabetes mellitus.
Nilai 140 - 200 mg/dl disebut toleransi glukosa terganggu (TGT),
nilai < 140 mg/dl dinyatakan normal. Sesuai anjuran WHO, pada temuan TGT
(gula darah 2 jam pp 140 - 200 mg/dl) ditangani juga sebagai kasus DMG.
IV. Penatalaksanaan diabetes mellitus gestasional
a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu antara ahli
obstetri, ahli penyakit dalam, ahli ahli gizi dan dokter spesialis anak. Tujuan
pengobatan adalah untuk menurunkan angka kesakitan ibu , kesakitan dan kematian
perinatal. Keadaan ini hanya dapat tercapai apabila keadaan normoglikemi dicapai
dapat dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan. Oleh karena itu penting
sekali penatalaksanaan medis untuk mencapai normoglikemia.
Sasaran normoglikemia pada DMG adalah glukosa plasma vena puasa < 105
mg% dan 2 jam sesudah makan < 120 mg%. Untuk mencapai sasaran tersebut dapat
dilakukan dengan a) pengaturan diet sesuai dengan kebutuhan, b) memantau glukosa
darah sendiri di rumah c) pemberian insulin bila belum tercapai normoglikemia
dengan diet.
a. Pengaturan Diet Sesuai Kebutuhan
Pada umumnya untuk DMG dianjurkan 35 kal/kgBB ideal yang harus
dikomsumsi selama 24 jam, kecuali pada penderita gemuk dipertimbangkan kalori
yang sedikit rendah. Pasien yang gemuk dapat diberikan 25-30 kal/kgBB ideal. Cara
yang dianjurkan untuk menghitung berat badan ideal adalah cara broca yaitu BB ideal
= (TB-100)-10% BB.
Komposisi makan yang dianjurkan adalah sama dengan komposisi makanan
yang dianjurkan untuk pasien DM pada umumnya. Demikian juga pembagian porsi
makanan, wanita hamil biasanya ditambah 300 kalori terutama pada trisemester ke 3
karena kebutuhan kalori yang meningkat. Untuk menjamin kebutuhan janin yang baik
harus diingat bahwa kebutuhan protein ibu hamil dianjurkan 1-1,5 g/kg BB.
Dalam triwulan pertama diet tidak banyak berbeda dengan keadaan diluar
kehamilan. Diet yang dianjurkan adalah 40% karbohidrat, protein 2 g/kg berat badan,
lemak 45-60 g. Dalam triwulan ke 2 metabolisme hidrat arang dalam tubuh ibu
berubah, ibu memerlukan lebih banyak bahan makanan terutama kalori dan protein.
Penderita yang diluar kehamilan dan dalam kehamilan triwulan pertama tidak
memerlukan insulin mungkin sekali perlu diobati dengan insulin pada triwulan ke 2
dan ke 3. Karena itu gula darah harus diperiksa ulang, diet atau terapi insulin harus
disesuaikan dengan perubahan itu. Demikian juga pada masa laktasi dan nifas.
Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan dari:
Kalori basal 25 kal/kgBB ideal
Kalori kegiatan jasmani 10-30%
Kalori untuk kehamilan 300 kalori
Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB.
Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa
darah kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM
umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh
kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai.
Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk :
Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl
Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120mg/dl
Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6%
Mencegah episode hipoglikemia
Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik
Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal.
c. Memantau glukosa sendiri di rumah
Diklinik yang maju semua pasien diajarkan untuk memantau glukosa darah
sendiri di rumah. Disamping mempermudah mencapai normoglikemia bagi mereka
yang mendapat insulin dapat mencegah hipoglikemia berat.
d. Pemberian Insulin
Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai
normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl dan
2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai.
Insulin yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin),
karena insulin yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat
menyebabkan terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat
menembus sawar darah plasenta (plasental blood barrier) sehingga dapat
mempengaruhi janin.
Pada umumnya pemberian insulin dimulai dari dosis kecil dan bertambah
secara bertahap sesuai dengan usia kehamilan yang semakin meningkat. Berbagai
macam preparat insulin yang bekerja cepat yang dapat diperoleh dipasaran adalah
Humulin R (40 IU, 100 IU) dan Actrapid Human 40, 100.
Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin, perlu diberikan
insulin dengan dosis sesuai dengan keperluan. Perubahan perubahan dalam kehamilan
disatu pihak memudahkan terjadi hiperglikemi dan asidosis akan tetapi dipihak lain
dapat menimbulkan reaksi hipoglikemik. Karena itu dosis insulin perlu disesuaikan
dengan berpodoman pada hasil pemeriksaan gula darah.
Pada DMG dengan hiperglikemia hanya pada pagi hari, cukup diberikan
insulin kerja menengah malam sebelum tidur. Pada pasien dengan hiperglikemia saat
puasa maupun sesudah makan diberikan insulin kombinasi kerja menengah dan kerja
cepat pagi dan sore hari. Insulin yang dipakai sebaiknya human insulin dengan dosis
0.5-1.5 U/kgBB, 2/3 diberikan pagi hari dan 1/3 sore hari. Hanya pada keadaan
tertentu, belum terkendali dengan pemberian 2 kali, perlu diberikan 4 kali sehari yaitu
tiga kali insulin kerja cepat dan insulin kerja menengah pada malam hari sebelum
tidur. Pemantauan glukosa darah harus dilakukan.
Cara pemberian insulin
Kadar glukosa darah Pemberian Insulin (jam)
07.00 13.00 19.00 22.00
GDP , 2 jam PP normal - - - M
GDP dan 2 Jam PP C-M
atau
C
-
C
C-M
C
-
M
C=insulin kerja cepat
M= insulin kerja menengah
Dosis rejimen pemantauan dan administrasi disesuaikan berdasarkan respon
individu terhadap intervensi nutrisi, olahraga dan teknik administrasi insulin. Bagi
seorang wanita yang pertama menghadirkan selama kehamilan untuk perawatan,
apakah dia memiliki tipe 1, tipe 2 atau gestational diabetes, dosis insulin berdasarkan
usia kehamilan dan berat badan saat ini menyediakan titik awal (dosis harian total)
untuk penyesuaian lebih lanjut berdasarkan aktivitas, makan rencana dan faktor
lainnya. Stres, sepsis, steroid, obesitas dan memajukan kehamilan meningkatkan
kebutuhan insulin. Beberapa suntikan harian memberikan kontrol yang paling
optimal selama kehamilan. (Jovanovic 2000).
Untuk memulai terapi insulin ditandai dengan hiperglikemia sepanjang hari,
mulai insulin menggunakan dosis pemecahan insulin bertindak cepat-akting dan
menengah.
1.Hitung jumlah total dosis harian yang diperlukan oleh pasien.
2. Sekitar 2 / 3 dari dosis total diberikan pada pagi hari (33% cepat-akting, 66%
intermediate acting) dan 1 / 3 pada malam hari dengan setengah cepat-acting insulin
sebelum makan malam dan setengah insulin intermediate sebelum tidur.
Contoh: Seorang wanita 74 kg pada kehamilan 30 minggu.
1. Hitung total dosis 24-jam: 0,9 x 72 = ~ 66 unit insulin total per hari.
2. Berikan 2 / 3 dosis total (~ 45) di pagi dan 1 / 3 (~ 21) dalam PM sebagai
berikut:
Pemantauan glukosa darah juga dapat melalui pemeriksaan HBA1C berkala
tiap 6-8 minggu dengan kadar HBA1C yang diharapkan sebesar 6%. Obat anti
diabetik oral tidak dapat digunakan karena dapat melewati sawar plasenta, disamping
bersifat teratogenik. (10)
b. PENGELOLAAN OBSTETRIK
1. Pengelolaan Prakonsepsi.
Kelainan kongenital menyebabkan meningkatnya angka kematian dan
kesakitan bayi. Kelainan kongenial ini sering terjadai sebelum minggu ke tujuh.
Untuk mencegah kelainan kongenital pada ibu yang diabetes, dianjurkan untuk
melakukan perawatan medis yang optimal dan pendidikan pasien sebelum
konsepsi. Semua ahli setuju bahwa kendali glikemik yang ketat merupakan hal
penting dalam pengobatan untuk menekan angka kelainan kongenital,kesakitan
dan kematian perinatal.
Penderita harus memeriksakan kadar glukosa darahnya. Pengobatan
dengan obat oral diganti dengan insulin serta diberikan nasehat tentang diet dan
cara pemberian insulin. Idealnya pemeriksaan dilakukan oleh ahli obstetri, ahli diet
dan ahli diabetes.
2. Pengelolaan antenatal
Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan
janin, terutama tekanan darah, pembesaran uterus dan denyut jantung janin dan
kadar gula darah.
Secara umum wanita dengan diabetes yang tidak membutuhkan insulin
jarang memerlukan kelahiran yang cepat atau intervensi lain. Pemeriksaan
kehamilan untuk 20 minggu pertama dilakukan tiap bulan, kemudian tiap 2
minggu sampai kehamilan 30 minggu.
Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester
pertama dan selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu sampai akhir kehamilan.
Kenaikan berat badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu yaitu ibu BB
kurang 14-20 kg, ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BBlebih/obesitas 7.5-12.5
kg.
Untuk memonitor kadar glukosa darah dan tanda-tanda preeklamsia
dianjurkan pemeriksaan tiap minggu setelah 30 minggu. Pemeriksaan ibu dan
janin dilakukan dengan pemeriksaan tinggi fundus uteri, mendengarkan denyut
jantung janin secara khusus memakai USG dan CTG. Untuk pemeriksaan fetal
well being dilakukan pemeriksaan nonstres test (NST), Jika NST tidak reaktif
dilakukan contraction stress test (CST) atau profil biofisik janin.
Penilaian USG dapat mengevaluasi pertumbuhan janin, taksiran berat
janin, kelainan kongenital, dan hidramnion. Penilaian fetoprotein berguna untuk
mendeteksi adanya neural tube defek. Nilai normal fetoprotein pada ibu yang
diabetes lebih rendah daripada ibu yang tidak diabetes.
Pemeriksaan USG diulang tiap 4-6 minggu untuk menilai pertumbuhan
janin, makrosomia, dan resiko distosia bahu sehingga dapat dipilih pasien yang
harus dilahirkan secara SC. Pemeriksaan lingkaran perut janin dengan
menggunakan USG juga dapat memprediksi adanya makrosomia. Pembesaran
lingkaran perut janin karena adanya penumpukan penyimpanan glikogen pada hati
dan subcutan.
Follow up yang harus difokuskan adalah USG pada akhir trisemester
pertama untuk menilai usia kehamilan, kelainan kongenital. Pada trisemester
kedua kontrrol gula darah lebih, proteinuria, dan retinopati. Pada trisemester tiga
preeklamsia dan fetal monitoring.
3. Waktu Persalinan
Pada wanita dengan diabetes terkotrol dengan baik dan penilaian selama
antepartum normal, persalinan dapat ditunda sampai parunya matang. Dalam
praktek, induksi persalinan elektif sering dilakukan pada kehamilan 38-40 minggu
jika diabetes yang terkontrol dengan baik dan tidak ada penyakit vaskuler. Pasien
dengan gangguan vaskuler seperti hipertensi yang memburuk, gangguan
pertumbuhan janin dilahirkan lebih cepat. Sebelum persalinan elektif dilakukan
pemeriksaan amniosintesis untuk menilai kematangan paru dilakukan. Sindroma
gagal nafas jarang terjadi pada rasio lesitinspingomielin (L/S) lebih dari atau sama
dengan dua.
Persalinan lebih dari 40 minggu masih kontroversi karena meningkatnya
resiko kematian janin intra uterin, dan trauma lahir karena makrosomia. Distosia
bahu lebih sering terjadi pada ibu yang menderita diabetes diabandingkan dengan
ibu yang tidak menderita diabetes. Makrosomia pada bayi yang ibunya diabetes
berbeda dengan bayi yang besar karena pengaruh umur kehamilan. Penumpukan
lemak lebih banyak di bahu dan di badan pada bayi yang lahir dari ibu yang DM.
Jika tes anterpartum menunjukkan janin dalam keadaan bahaya maka
persalinan harus diindikasikan. Indikasi ibu persalinan yang cepat adalah
preeklamsia, fungsi renal yang memburuk, proliferatif retinopati.
4. Cara persalinan
Cara persalinan pada pasien diabetes masih kontroversi. Persalinan dengan
seksio sesaria dilakukan jika dengan monitor denyut jantung didapatkan fetal
distres. Elektif seksio sesaria dilakukan pada kasus dengan servik yang tidak
matang dengan pemberian prostaglandin atau dicurigai makrosomia.
Kira-kira 45% pasien di amerika dilakukan seksio sesaria. Seksio sesaria
dilakukan biasanya karena fetal distress yang didapat pada pemeriksaan denyut
jantung antepartum. Persalinan spontan pervaginam menjadi pilihan pertama pada
pasien diabetes dalam penatalaksanaan modern. Persalinan pervaginam
diindikasikan bila letak janin yang normal, cervik yang matang, ukuran bayi yang
tidak besar, dan tidak ada fetal distres.
Persalinan harus dilakukan oleh bidan atau staf medis yang berpengalaman
dalam menangani persalinan dengan diabetes. Partogoraf harus digunakan untuk
memberi peringatan yang cepat jika membutuhkan tindakan seperti seksio sesaria.
Indikasi seksio sesaria adalah sebagai berikiut :
Primigravida tua
Multigravida dengan riwayat obstetri jelek
Diabetes ayng tidak terkontrol
Ada komplikasi obstetri seperti preeklamsia, polihidramnion,
malpresentation.
Macrosomia
5. Pengelolaan Intra Partum
Tujuan pengelolaan intrapartum adalah untuk mempertahankan keadaan
normoglikemi dan mencegah neonatal hipoglikemia. Pasien diabetes yang dapat
dikontrol dengan diet tidak membutuhkan insulin selama persalinan tapi kadar
glukosa darah tetap diperiksa selama dan sesudah persalinan. Pasien diabetes yang
tergantung insulin kadar glukose darah kapiler harus diperiksa tiap jam selam fase
aktif. Target glukosa darah kapiler adalah 80-110 mg/dl.
Prosedur untuk mengontrol diabetes selama persalinan yaitu dengan cara
mendrip 10 unit insulin dalam 1 liter glukosa 5%. Sebagai petunjuk kecepatan
tetesan adalah 1 unit per jam untuk kadar glukosa darah 70-130 mg/dl, 2 unit per
jam untuk kadar glukosa darah 130-160 mg/dl, 3 unit per jam untuk kadar glukosa
darah 160-200 mg/dl. Kadar glukosa darah diupertahankan antara 80-100 mg/dl.
Insulin dapat juga diberikan secara interval.
6. Pengelolaan Postpartum
Wanita dengan DMG jarang membutuhkan insulin postpartum. Resisten
insulin membaik dengan cepat sehingga insulin menjadi cukup. Setelah
melahirkan, pasien yang membutuhkan terapi insulin selama kehamilan harus
diperiksa kadar gula darah puasa dan 2 jam postprandial.
Pasien dengan diabetes selama kehamilan mempunyai resiko tinggi untuk
untuk terjadi DM type 2 dimasa yang akan datang. Mereka harus memeriksakan
kadar glukosa darah puasa 6 minggu setelah melahirkan atau test tolerasi glukosa
2 jam setelah pemberian glukosa 75 gram. Nilai normal untuk tes toleransi glukosa
adalah kurang dari 140 mg/dl. Juga harus dilakukan konsultasi dengan ahli gizi
serta diskusi tentang penggunaan kontrasepsi.
Pemberian ASI memperbaiki Kontrol glukosa darah oleh karena itu harus
dianjuran untuk memberi ASI pada bayinya. Disamping mempertahankan activitas
fisik dan pengontrolan berat badan yang seimbang.
VI. Komplikasi DMG
a. Komplikasi pada ibu
Preeklamsia
Preeklamsia terjadi dua kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan
pasien yang tidak diabetes. Komplikasi hipertensi meningkatkan persalinan pretem
pada pasien diabetes sehingga akan meningkatkan angka kematian perinatal. Faktor
resiko preeklamsia adalah adanya komplikasi vaskuler, proteinuria, dan hipertensi
kronik.
Nefropati diabetik
Nefropati diabetik ditandai oleh adanya proteinuria dan hipertensi pada
trisemester pertama atau kedua. Gejala ini sering ringan pada awal kehamilan tapi
pada kehamilan 20-24 minggu mengalami peningkatan proteinuria, tekanan darah,
dan serum kreatinin. Hipertensi dan edema sering terjadi, sehingga pada trisemester
ke 3 sulit membedakan gejala nefropati diabetik dengan superimposed preeklamsia.
Retinopati diabetik
Retinopati diabetik terjadi kira-kira 40% pada diabetes yang tergantung
insulin. Kehamilan akan meningkatkan progresifitas retinopati diabetik. Pada 20%
pasien mengalami neovaskularisasi pada permukaan retina. Persalinan spontan akan
meningkatkan tekanan intraokuler sehingga dikontraindikasikan pada pasien yang
mengalami proliferatif retinopati diabetik.
Ketoasidosis
Ketoasidosis terjadi kira-kira 1 persen dari pasien hamil dengan diabetes. Tapi
ini merupakan komplikasi yang serius yang membutuhkan pengobatan segera.
Diabetik ketoasidosis terjadi oleh karena kurangnya insulin sehingga menurunkan
komsumsi glukosa oleh sel dan terjadinya glukoneogenesis yang menyebabkan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Kebutuhan energi dimetabolisir dari non
karbohidrat sehingga terjadi asidosis metabolik.
Infeksi
Kira-kira 80% pasien depeden insulin paling sedikit mengalami satu kali
episode infeksi dibandingkan 25% pada pasien nondiabetes. Infeksi yang sering
terjadi adalah candida vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, infeksi pelvis pada masa
nifas dan infeksi saluran nafas.
b. Komplikasi pada bayi
Kematian Janin
Kematian janin ini sering terjadi pada pasien dengan adanya penyakit
vaskuler, kontrol gula darah yang tidak baik, hidramnion, dan preeklamsia. Wanita
dengan komplikasi vaskuler mungkin menyebakan IUGR. Dulu kematian janin ini
dicegah dengan melahirkan bayi pada saat preterm tapi hal ini menyebabkan banyak
janin yang fungsi parunya belum matur dan meningkatkan angka kematian janin
akibat penyakit membran hialin.
Penyebab pasti kematian janin pada ibu yang menderita diabetes ini belum
diketahui. Ketoasidosis dan preeklamsia merupakan dua faktor yang meningkatkan
kematian intra uterin mungkin disebabkan oleh penurunan aliran darah ke plasenta.
Kelainan Kongenital
Banyak penelitian mengatakan kelainan kongenital meningkat dua sampai
enam kali pada pada bayi yang ibunya menderita IDDM. Kelainan kongenital ini
terjadi sebelum minggu ke tujuh kehamilan saat pembentukan organ. Kelainan
kongenital yang dapat terjadi seperti kelainan sistem saraf, anencephal, spina bifida,
kelainan jantung, ventrikel septal defek.
Makrosomia
Makrosomia didefinisikan kelahiran yang lebih dari 4000 gram. Kelahiran
lebih dari 4500 gram 10 kali lebih sering dijumpai pada wanita diabetes dibandingkan
wanita hamil tanpa diabetes. Makrosomia terjadi akibat adanya peningkatan
penumpukan lemak, pembesaran masa otot dan organomegali. Besarnya badan dan
bahu akan menyulitkan persalinan pervaginam.
Janin yang menerima pemasokan gula darah yang berlebihan akan
memproduksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia. Pengaruh insulin akan
mengubah glukosa menjadi cadangan lemak dan glikogen. Hal ini yang menyebabkan
makrosomia.
Hipoglikemia
Penurunan yang cepat kadar glukosa plasma setelah melahirkan sering terjadi
pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita diabetes melitus. Hal ini
disebabkan hiperplasia sel pulau langerhan karena pengaruh hiperglikemia ibu yang
lama. Hipoglikemai ini harus cepat dikenal dan diterapi untuk mencegah gejala sisa.
Sindroma gagal nafas
Hiperinsulinemia menyebabkan antagonis terhadap pengaruh kortisol yang
menimbulkan produksi fosfatidil gliserol yang berguna untuk pematangan paru. Hal
ini perlu diperhatikan dimana bayi yang sudah cukup besar tetapi paru belum cukup
matang meskipun sudah 38 minggu.
Hipokalsemia dan hipomagnesium
Neonatal dikatakan hipokalsemia bila nilai dalam serum kurang dari 7 mg/dl.
Hipokalsemia ini terjadi karena kegagalan peningkatan hormon paratiroid setelah
lahir.
B. Tirotoksikosis dalam kehamilan
I. Definisi
Hipertiroidisme merupakan suatu sindrom klinik akibat meningkatnya
sekresi hormon tiroid didalam sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau
kedua-duanya. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave,
struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit
Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun,
sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang
lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya
ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme dalam kehamilan
adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena tumor
trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii.
Sementara itu, tirotoksikosis adalah suatu kondisi klinis timbul karena
disebabkan oleh suatu keadaan tingginya hormon-hormon tiroid dari penyebab
mana saja. Tirotoksiskosis dapat disebakan oleh suatu pemasukan yang berlebihan
dari hormon-hormon tiroid oleh produksi hormon-hormon tiroid yang berlebihan
oleh kelenjar tiroid.
II. Insidensi
Kejadian hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar
antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering
ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan ratio 5:1. Hipertiroidisme jarang
ditemukan pada wanita hamil. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua
kehamilan,namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan
prematur, abortus dan kematian janin.
III. Patofisiologi
Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid terlihat dari peningkatan
uptake radioiodine oleh kelenjar tiroid selama kehamilan. Mulai trimester II
kehamilan, kadar total triioditironin dan tiroksin serum (T3 dan T4)
meningkat dengan tajam. Peningkatan sekresi tiroksin tersebut
dihubungkan dengan meningkatnya degradasi plasenta.
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma.
Keadaan ini akan menimbulkan penurunan konsentrasi plasma iodida
dan memerlukan penambahan kebutuhan iodida dari makanan. Pada
wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini hanya akan menimbulkan
sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan iodida
intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama
kehamilan. Juga terjadi peningkatan kebutuhan iodine untuk keperluan
sintesa iodothyronine janin melalui plasenta. Proses sintesa ini mulai
berfungsi secara progresif setelah trimester pertama.
1. Metabolisme hormon tiroid di plasenta
Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah
yang banyak. Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan
sumber reverse T3 yang ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse
T3 dalam ketuban ini sebanding dengan kadar T4 maternal. Enzim ini
berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan T4 dalam sirkulasi janin.
Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12 minggu),meskipun
jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini menunjukkan
betapa pentingnya hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang
adekuat dari unit fetomaternal.
2. Efek hCG terhadap fungsi tiroid
Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida
yang disusun oleh dua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa
identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya.
Dengan demikian, hormon struktur parsial antara TSH dengan hCG
mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon tirotropik. Selama
kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG menimbulkan
peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga akhir trimester
pertama (puncak sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada
mola hidatidosa dan khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid
secara klinis dan biokimia.
3. Fisiologi Tiroid pada Janin
Sistem hipotalamus-hipofisis janin berkembang dan berfungsi
secara lengkap bebas dari fungsi ibu pada kehamilan 11 minggu, setelah
sistem portal hipofiseal berkembang, akan ditemukan adanya TSH dan TRH
yang dapat diukur. Pada waktu yang bersamaan, tiroid janin mulai menangkap
iodine. Namun sekresi hormon tiroid kemungkinan dimulai pada pertengahan
kehamilan (18-20 minggu). TSH meningkat dengan cepat hingga kadar puncak
pada 24-28 minggu, dan kadar T4 memuncak pada 35-40 minggu. Kadar T3
tetap rendah selama kehamilan, T4 diubah menjadi rT3 oleh deiodinase-5
tipe 3 selama perkembangan janin. Pada saat lahir, terdapat peningkatan
mendadak yang nyata dari TSH, suatu peningkatan T4, suatu
peningkatan T3 dan suatu penurunan rT3. parameter ini secara berangsur-
angsur kembali normal dalam bulan pertama kehidupan.
Tabel 1 menunjukkan faal kelenjar tiroid ibu dan neonatus
TBG T4 T3 rT3
Wanita tidak
hamil
Wanita hamil
aterm
4,3
8,7
7,6
14,3
111
173
40
54
Tabel 2 menunjukkan tes faal tiroid dari darah ibu dan darah tali pusat bayi
pada saat baru lahir
T e s Darah ibu Darah tali pusatT4 serum (ug/100
ml)
fT4 (ng/100
ml)
T3 serum (ng/100
ml)
10 – 16
2,5 – 3,5
150 – 250
36 – 65
22
6 – 13
1,5 – 3,0
40 – 60
80 – 360
25 – 35
Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit
Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi
penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan
perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis
penyakit ini.
Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat
menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis
Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit
Grave).
Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara,
yaitu :
1. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar
kelenjar tiroid) karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga
terjadi imunitas humoral.
2. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri
yang menimbulkan imunitas seluler.
Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid
Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI).
Sekarang telah dikenal beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses
terjadinya penyakit Grave, antara lain :
1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)
2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)
3. Human Thyroid Stimulator (HTS)
4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)
5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)
` Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat
pada membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan
biosintesis hormon tiroid.
Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave
berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang
menunjukkan terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit
Grave. Tao dan kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada
penyakit Grave terjadi peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui
bahwa dalam sistem imun , sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam
proses produksi antibodi oleh sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor
dalam menekan produksi antibodi tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana
yang paling dominan, maka produksi antibodi spesifik oleh sel B
dapat mengalami stimulasi atau supresi. Kecenderungan penyakit
tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui selama beberapa tahun
terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran Human Leucocyte
Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet dan kawan-
kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47% penderita
penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada penyakit
Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir
menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave
berbeda-beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985)
menyatakan bahwa peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik,
emosi, struktur keluarga, kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak
terbukti berpengaruh terhadap terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik
perhatian bahwa penyakit Grave sering menjadi lebih berat pada kehamilan
trimester pertama, sehingga insiden tertinggi hipertiroidisme pada kehamilan
akan ditemukan terutama pada kehamilan trimester pertama. Sampai
sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Pada usia
kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai kecenderungan
untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode postpartum.
Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis tenang
sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.
Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester
ketiga, respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam
keadaan remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun
ibu selama kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun
ibu yang diduga disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin
yang mengeluarkan faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini
melewati sawar plasenta sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah
plasenta terlepas, faktor-faktor supresor ini akan menghilang. Hal ini
dapat menerangkan mengapa terjadi eksaserbasi hipertiroidisme pada
periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi peningkatan kadar TSAb yang
mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum. Peningkatan juga dapat
terjadi setelah abortus. Suatu survei yang dilakukan oleh Amino dan kawan-
kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita Jepang menderita
tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum sering tidak jelas
dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme transien
diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase
hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan
ambilan yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi
mikrosomal kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung
selama 1 – 3 bulan, kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan
kesembuhan, namun cenderung berulang pada kehamilan berikutnya.
Terjadinya tiroiditis postpartum diduga merupakan “rebound phenomenon”
dari proses otoimun yang terjadi setelah melahirkan
IV. Diagnosis
Hipertiroidisme didiagnosis melalui pemeriksaan yang seksama terhadap
gejala-gejala, serta tes darah untuk mengukur TSH, T4, dan tingkat T3. Beberapa
gejala hipertiroidisme adalah yang umum pada kehamilan normal, termasuk
peningkatan denyut jantung, intoleransi panas, dan kelelahan. Gejala lainnya
adalah lebih menunjukkan hipertiroidisme: denyut jantung yang cepat dan tidak
teratur, penurunan berat badan yang jelas atau kegagalan untuk mendapatkan berat
badan kehamilan normal, dan mual dan muntah yang terkait dengan hiperemesis
gravidarum.
V. Penatalaksanaan
Oleh karena yodium radioaktif merupakan kontra indikasi terhadap
wanita hamil, maka pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak
pada pilihan antara penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan
pembedahan. Namun obat- obat anti tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai
pilihan pertama.
Obat-obat anti tiroid
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan
tionamida yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid melalui
blokade proses yodinasi molekul tirosin. Obat-obat anti tiroid juga bersifat
imunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui kerjanya
mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Oleh karena obat ini
tidak mempengaruhi pelepasan hormon tiroid, maka respons klinis baru terjadi
setelah hormon tiroid yang tersimpan dalam koloid habis terpakai. Jadi
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan eutiroid tergantung dari
jumlah koloid yang terdapat didalam kelenjar tiroid. Pada umumnya
perbaikan klinis sudah dapat terlihat pada minggu pertama dan keadaan eutiroid
baru tercapai setelah 4-6 minggu pengobatan. Propylthiouracil (PTU) dan
metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme.
Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol antara lain :
a) PTU dapat menghambat perubahan T4 menjadi T3 disamping
menghambat sintesis hormon tiroid.
b) PTU lebih sedikit melewati plasenta dibandingkan metimazol karena
PTU mempunyai ikatan protein yang kuat dan sukar larut dalam air.
Selain itu terdapat bukti bahwa metimazol dapat menimbulkan aplasia
cutis pada bayi. Oleh karena itu, PTU merupakan obat pilihan pada
pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan. Pada awal kehamilan sebelum
terbentuknya plasenta, dosis PTU dapat diberikan seperti pada keadaan tidak
hamil, dimulai dari dosis 100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan
terkontrol yang ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar
T4 serum, dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila
sudah tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan
setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4 serum
hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan penyakit dan
respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya
diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini
tidak menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Bahkan hasil penelitian
Cheron menunjukkan bahwa dari 11 neonatus hanya 1 yang mengalami
hipotiroidisme setelah pemberian 400 mg PTU perhari pada ibu hamil
hipertiroidisme. Namun keadaan hipertiroidisme maternal ringan masih dapat
ditolerir oleh janin daripada keadaan hipotiroidisme. Oleh karena itu kadar T4
dan T3 serum hendaknya dipertahankan pada batas normal tertinggi. Selama
trimester ketiga dapat terjadi penurunan kadar TSAb secara spontan,
sehingga penurunan dosis PTU tidak menyebabkan eksaserbasi
hipertiroidisme. Bahkan pada kebanyakan pasien dapat terjadi remisi selama
trimester ketiga, sehingga kadang-kadang tidak diperlukan pemberian obat-obat
anti tiroid. Namun Zakarija dan McKenzie menyatakan bahwa walaupun
terjadi penurunan kadar TSAb selama trimester ketiga, hal ini masih dapat
menimbulkan hipertiroidisme pada janin dan neonatus. Oleh karena itu
dianjurkan untuk tetap meneruskan pemberian PTU dosis rendah (100-200 mg
perhari). Dengan dosis ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap
neonatus dari keadaan hipertiroidisme.
Biasanya janin mengalami hipertiroidisme selama kehidupan intra uterin
karena ibu hamil yang hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan atau
mendapat pengobatan anti tiroid yang tidak adekuat. Bila keadaan
hipertiroidisme masih belum dapat dikontrol dengan panduan pengobatan
diatas, dosis PTU dapat dinaikkan sampai 600 mg perhari dan diberikan lebih
sering, misalnya setiap 4 – 6 jam. Alasan mengapa PTU masih dapat
diberikan dengan dosis tinggi ini berdasarkan hasil penelitian Gardner
dan kawan-kawan bahwa kadar PTU didalam serum pada trimester terakhir
masih lebih rendah dibandingkan kadarnya post partum. Namun dosis diatas 600
mg perhari tidak dianjurkan.
Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula
mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan
mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu
metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui. Setelah
pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI dan sudah
dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya 100 ug PTU
yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan dengan dosis ini
tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus. Menurut Lamberg dan
kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan pada masa menyusui asalkan
dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari. Selain itu perlu dilakukan pengawasan
yang ketat terhadap faal tiroid neonatus.
Beta bloker
Gladstone melaporkan bahwa penggunaan propranolol
dapat menyebabkan plasenta yang kecil, hambatan pertumbuhan janin,
gangguan respons terhadap anoksia, bradikardia postnatal dan hipoglikemia pada
neonatus.
Oleh karena itu propranolol tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama
jangka panjang terhadap hipertiroidisme pada wanita hamil. Walaupun demikian
cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian beta bloker pada wanita
hamil cukup aman. Beta bloker dapat mempercepat pengendalian tirotoksikosis
bila dikombinasi dengan yodida. Kombinasi propranolol 40 mg tiap 6 jam
dengan yodida biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam 2 sampai 7 hari.
I o d i u m
Yodida secara cepat menghambat ikatan yodida dalam molekul tiroglobulin
(efek Wolff- Chaikoff) dan memblokir sekresi hormon tiroid. Namun
pengobatan yodida jangka panjang dapat berakibat buruk karena
menyebabkan struma dan hipotiroidisme pada janin. Sebagai pengganti dapat
diberikan larutan Lugol 5 tetes 2 kali sehari, tapi tidak boleh lebih dari 1 minggu.
Tindakan operatif
Tiroidektomi subtotal pada wanita hamil sebaiknya ditunda sampai
akhir trimester pertama karena dikawatirkan akan meningkatkan risiko abortus
spontan. Lagipula tindakan operatif menimbulkan masalah tersendiri,
a) Mempunyai risiko yang tinggi karena dapat terjadi komplikasi fatal akibat
pengaruh obat-obat anestesi baik terhadap ibu maupun janin.
b) Dapat terjadi komplikasi pembedahan berupa paralisis nervus laryngeus,
hipoparatiroidisme dan hipotiroidisme yang sukar diatasi.
c) Tindakan operatif dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
d) Pembedahan hanya dilakukan terhadap mereka yang hipersensitif terhadap
obat-obat anti tiroid atau bila obat-obat tersebut tidak efektif dalam
mengontrol keadaan hipertiroidisme serta apabila terjadi gangguan
mekanik akibat penekanan struma. Sebelum dilakukan tindakan operatif,
keadaan hipertiroisme harus dikendalikan terlebih dahulu dengan obat-
obat anti tiroid untuk menghindari terjadinya krisis tiroid. Setelah operasi,
pasien hendaknya diawasi secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya
hipotiroidisme. Bila ditemukan tanda-tanda hipotiroidisme, dianjurkan
untuk diberikan suplementasi hormon tiroid.
VI. Komplikasi
Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan hamil dapat
memicu beberapa komplikasi. Kompilkasi maternal di antaranya keguguran,
infeksi, preeklampsia, persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid,
dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus dan neonatus di antaranya prematur,
kecil masa kehamilan,kematian janin dalam rahim dan goiter pada fetu satau
neonatus atau tirotoksiskosis. Pengobatan yang berlebihan juga dapat
menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus.
Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati penyakit
graves sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat
melewati plasenta sehingga masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang
tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves sedang diobati dengan obat anti
tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena obat-obatan tersebut juga
dapat ,elintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan atau
radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh
tiroid, namunpasien masih memiliki antibodi dalam tubuhnya.
Hipertiroid juga dapat menyebabkan terjadinya badai tiroid, yang
merupakan sebuah kegawatdaruratan medis yang dapat timbul akibat
hipermetabolik yang berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari
wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai
tiroid didiagnosis melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia,
takikardia yang tidak berhubungan dengan demam nya, gagal jantung kongestif,
disritmia, muntah, diare dan perubahan mental termasukcemas, bingung, gelisah.
Badai tiroid ini dapat muncul akibat infeksi, penghentian terapi yang tiba-tiba,
pembefahan, dan persalinan.
III. Hubungan hipertiroid dengan resistensi insulin
Dari jurnal yang berjudul Insulin resistance in hyperthyroidism: the role of
IL6 and TNFa oleh panayota pada tahun 2005 diadapatkan bahwametabolisme
glukosa dan lipid adalah re3sisten untuk insulin, jaringan adiposa subcutaneus
mensekresi IL6 yang akan beraksi sebagai mediator endokrin dari resistensi insulin,
meskipun tidak ada sekresi berlebihan dari TNFa oleh jaringan adiposa subcutan,
pada peningkatan sistemik, TNFa dapat berhubungan dengan perkembangan dari
resistensi insulin pada lipolisis.
BAB III
KESIMPULAN
Dibetes mellitus gestasional dan hipertiroidisme adalah gangguan
endokrin yang tersering terjadi saat masa kehamilan. Pengelolaan diabetes
mellitus dalam kehamilan membutuhkan pendekatan dan kerja sama tim yang
sebaik-baiknya. Dengan pengelolaan medis, obstetrik dan pediatrik yang baik
maka diharapkan memperoleh hasil akhir semaksimal mungkin, setidak-tidaknya
sama atau mendekati hasil akhir pada kehamilan normal.
Pada hipertiroidisme banyak komplikasi yang dapat terjadi, seperti dapat
terjadi kelahiran mati pada janin dan neonayus, dan pada ibu dapat menginduksi
hipertensi dalam kehamilan, pre eklampsia, gagal jantung dan persalinan preterm.
Untuk itu perlu dilakukan terapi yang tepat. Terapi pilihan pada hipertiroidim
dalam kehamilan adalah menggunakan propiltiourasil yang aman denga tujuan
mengontrol fungsi tiroid hingga stabil pada tingkat eutiroid.
Daftar Pustaka
1. Adam J.M.F. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Gestasional.
Dalam Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1996;
674-680.
2. Landon BM. Diabetes Mellitus snd Other Endocrine Disease. In: Obstetrics
Normal and Problem Pregnancies. Third Edition. Churchill Livingstone Inc.
1996; 1-037-1059.
3. Suparman E. Diabetes Melitus Dalam Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran
no. 139,2003; 22-26
4. Cuningham FG,et al. Diabetes. In Williams Obstetrics. 21st ed. McGraw Hill
Medical Publishing Devision. New York. 2001. 1359-1377
5. Halen, Mark et all, 2008, hyperthyrioidsm and Pregnancy, BMJ 336 : 663 doi:
10.1136/bmj.39462.709005.AE.availabel via BMJ Group at URL :
http:/bmj.com/content/336/7645/663.full
6. Hartini SJS : Tirotoksikosis pada kehamilan. Dalam Buku Ajar Penyajit
Dalam jilid 1. Editor Syaiforllah Noer dkk, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.