Makalahh Ham
-
Upload
andreas-surya -
Category
Documents
-
view
83 -
download
1
description
Transcript of Makalahh Ham
LAPORAN KASUS
MODUL HUKUM AGAMA DAN MORAL
“Seorang Pasien Yang Menolak Pengobatan”
KELOMPOK 6
030.07. 198 Olga Ayu Pratami
030.08. 218 Rifqa Wildaini
030.09. 016 Andreas Ronald Barata s
030.09. 017 Andreas Surya
030.09.018 Andri Changat
030.09.019 Angelia Elisabeth Mambu
030.09.021 Angelina Goenawan
030.09.082 Fanny Isyana Fardhani
030.09.084 Febrian Tan Jaya
030.09.085 Febriani Muldiati
030.09.086 Fenni Cokro
030.09.087 Fhiserra Kusuma Primadha
030.09.134 Lailil Indah Seftiana
030.09.135 Laksmi Putri Ayukinati
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pelaksanaannya, dunia kedokteran berpegang teguh kepada empat
kaidah dasar moral (moral principles) yaitu: otonomi berarti setiap tindakan medis
haruslah memperoleh persetujuan dari pasien, beneficence berarti setiap tindakan
medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, non-maleficence berarti setiap tindakan
medis harus tidak boleh memperburuk keadaan pasien, dan justice berarti bahwa sikap
atau tindakan medis harus bersifat adil.
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti
etika kedokteran saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai
perawatan kesehatan mereka telah diabadikan dalam aturan hukum dan etika di
seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari World Medical Association
menyatakan:
“Otonomi pasien adalah salah satu hak pasien yang mendasar oleh karena
berkaitan dengan hak asasi dalam memperoleh perlindungan atas integritas tubuhnya.
Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan
yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi
dari keputusan yang diambil.“
Pasien dewasa yang sehat mentalnya memiliki hak untuk memberi izin atau tidak
memberi izin terhadap prosedur diagnosa maupun terapi. Pasien mempunyai hak
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusannya.
Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tes atau pengobatan, hasil apa
yang akan diperoleh, dan apa dampaknya jika menunda keputusan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Skenario 1
Ny. S 35 tahun datang berobat ke sebuah klinik bedah dengan keluhan utama tidak
dapat buang air kecil. Setiap kali ingin BAK perlu ditolong dengan memakai kateter. Setelah
dilakukan pemeriksaan lengkap termasuk dengan kolonoskopi, ditemukan adanya tumor pada
daerah kolon yang mendesak vesika urinaria sehingga mengakibatkan kesulitan BAK. Dokter
menganjurkan untuk dilakukan tindakan pembedahan pengangkatan tumor mengingat
tumornya belum seberapa besar. Ny. S dan keluarga setuju dengan saran dokter dan
menandatangani informed consent.
Saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak terjadi perlengketan dan
ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium sebelah kiri. Dihadapkan pada kenyataan
yang ada pada saat itu dan kondisi pasien yang tampak melemah, dokter segera memutuskan
untuk melakukan reseksi kolon dan mengangkat ovariumnya tanpa konsultasi dulu dengan
dokter obgyn.
Setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter segera memberikan
kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan penyinaran itu, Ny. S
merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena sangat mual dan nyeri yang
kadang hampir tidak tertahankan.
Ny. S akhirnya mengambil keputusan untuk menolak terapi apapun dan memilih
tinggal dirumah bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan
hidupnya tidak lama lagi.
Skenario II
Sikap Ny. S yang menolak semua terapi dari dokter berdampak pada kondisi fisiknya
yang semakin kurus. Atas saran teman-temannya dan juga desakan keluarga, Ny. S lalu
mencoba berobat ke pengobatan alternative. Ramuan “jamu” dari pengobatan alternative
ternyata tidak memberikan perbaikan pada kondisi kesehatannya. Kondisi Ny. S semakin
parah dan sekarang malah sering merasakan sakit yang luar biasa yang hampir tidak
tertahankan. Melihat keadaan Ny. S, suaminya lalu minta bantuan dokter didekat rumahnya
2
untuk mengatasi rasa sakitnya. Dokter lalu memberikan suntikan morfin. Akibat suntikan itu,
Ny. S tertidur dan kelihatannya rasa sakitnya bisa diredakan. Namun setelah efek morfin itu
hilang, Ny. S tampak kembali kesakitan sehingga dokter terpaksa harus memberikan suntikan
morfin beberapa kali dengan dosis yang semakin bertambah. Pada akhirnya nyawa Ny. S
tidak dapat dipertahankan, ia akhirnya meninggal.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Status Pasien
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : -
Status : Menikah
Pekerjaan : -
Tanda Vital
Kesadaran : -
Tekanan darah : -
Nadi : -
Pernapasan : -
Suhu : -
Keluhan Utama : Tidak dapat buang air kecil
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat Penyakit Keluarga: -
3
3.2. Daftar Masalah
Daftar masalah Dasar Penjelasan
Ny. S Menderita tumor di kolon yang
menyebabkan sulit buang air
kecil kemudian saat dilakukan
operasi, ditemukan tumor primer
di ovarium kiri.
Hasil
pemeriksaan
dokter
Sangat mempengaruhi persepsi
pasien mengenai penyakitnya.
Pasien merasa sakit parah dan
penyakitnya tidak dapat
disembuhkan
Tindakan reseksi kolon dan
pengangkatan ovarium tanpa
konsultasi
Tindakan dokter
bedah
Menurut sisi medis dan moral,
tindakan yang dilakukan dokter ini
bertujuan baik demi kebaikan
pasien. Namun, sebaiknya dokter
memberikan penjelasan akan
tindakannya ini kepada keluarga
pasien setelah operasi selesai. Ada
pula kemungkinan bahwa keluarga
pasien dapat menjadikan hal ini
sebagai perkara.
Komunikasi yang kurang baik Riwayat
pemeriksaan oleh
dokter
Komunikasi merupakan elemen
penting dalam setiap hubungan
dokter-pasien. Komunikasi yang
salah dan buruk dapat berdampak
buruk bagi kedua belah pihak.
Pada kasus ini dokter seharusnya
sigap dan empati terhadap
penderitaan pasien dan berusaha
mengurangi penderitaannya.
Komunikasi buruk dapat
berdampak pada penolakan terapi
dan sederet masalah lainnya.
Penyuntikan morfin Hasil
pemeriksaan
dokter di dekat
Menurut kelompok kami, indikasi
dan pemberian mungkin sudah
tepat, namun dibutuhkan edukasi
4
rumah dan pengawasan yang ketat akan
efek samping pemberian morfin.
Perlu juga ditelusuri mengenai
cascade anti nyeri dalam
menangani kasus kanker stadium
akhir.
Terapi alternatif yang sia-sia Hasil anamnesis Pasien berusaha mendapatkan
pengobatan dengan jamu namun
tidak mendapat hasil dan
kondisinya semakin memburuk.
Dokter sebaiknya mengedukasi
mengenai terapi alternative dengan
benar agar pasien tidak
membahayakan dirinya sendiri.
Paliatif care Hasil
pemeriksaan
Dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup
pasien. Dilaksanakan melalui ilmu
interdisiplin. Sebaiknya juga
melibatkan rohaniwan sesuai
dengan kepercayaan pasien.
Dipandang dari segi bioetik juga
baik sebab mengutamakan prinsip
beneficience.
3.3. Perspektif hukum
A. Perluasan Operasi
Pada pasal 7 PerMenKes No.585/MenKes/Per/IX/1989 disebutkan bahwa:
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi ang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
5
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus
memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.1
→ Pada kasus ini, diketahui bahwa saat pembedahan dilakukan, dokter menemukan banyak
perlengketan dan ternyata karsinoma primernya ada pada ovarium kiri. Pada keadaan ini,
perluasan operasi dapat dilakukan karena dihadapkan pada kenyataan yang ada saat itu dan
kondisi pasien yang tampak melemah. Namun yang sangat disayangkan, bagaimana bisa
terjadi hal seperti ini, seharusnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti USG
sebelum dilakukan operasi agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Dalam hal ini, seperti yang
tercantum pada ayat ke (3), dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau
keluarganya mengenai perluasan operasi yang telah dilakukan.
B. Penolakan Tindakan Medis Oleh Pasien
Pada Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa hak
pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang “bebas”, hak menerima atau
menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak mati secara
bermartabat, dan hak atas dukungan moral atau spiritual.2
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 menyebutkan beberapa hak pasien,
yakni hak atas informasi, hak atas second opinion, hak atas kerahasiaan, dan hak atas
persetujuan tindakan medis.
Menurut UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 4-8 disebutkan setiap orang
berhak atas kesehatan; akses atas sumber daya; pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan
terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan; lingkungan yang sehat;
info dan edukasi kesehatan yg seimbang dan bertanggung jawab; dan informasi tentang data
kesehatan dirinya. Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:
1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar,
penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, izin ybs, kepentingan ybs,
kepentingan masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan
nyawa atau cegah cacat).
Selain itu, dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (Perlindungan Pasien) Pasal 56
disebutkan:
6
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3
→ Pada kasus diketahui bahwa setelah operasi, kondisi pasien tampak membaik dan dokter
segera memberikan kemoterapi serta penyinaran. Akibat efek samping kemoterapi dan
penyinaran itu, Ny. S merasakan penderitaan yang luar biasa, tidak bisa makan karena mual
dan nyeri yang kadang-kadang hampir tidak tertahankan. Ny. S akhirnya mengambil
keputusan untuk menolak terapi apa pun dan memilih tinggal di rumah bersama
keluarganya. Ia menyadari bahwa penyakitnya tidak bisa diobati dan hidupnya tidak akan
lama lagi. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah tersebut di atas, seorang dokter wajib
memberikan penjelasan mengenai segala tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien,
namun Ny. S berhak untuk memilih atau menghentikan pengobatan baginya. Dalam hal ini,
dokter tidak bisa memaksakan keputusan pasien, namun dokter dapat memberikan penjelasan
ulang tentang apa yang akan terjadi apabila pasien menolak pengobatan, serta memberikan
second opinion pada pasien. Jika memungkinkan, dapat pula disarankan pada pasien dan
keluarganya untuk mendapatkan pelayanan perawatan paliatif.
C. Paliatif Care
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization; WHO) memberikan definisi perawatan
paliatif sebagai berikut (2005):
Paliative Care is an integrated system of care that: improves the quality of life, by providing
pain and symptom relief, spiritual and psychosocial support from diagnosis to the end of life
and bereavement.
(Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang meningkatkan kualitas hidup,
dengan meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan
7
psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hidup, dan dukungan terhadap
keluarga yang merasa kehilangan).
perawatan paliatif merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang relatif baru di Indonesia.
Kebijakan perawatan paliatif ini baru dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, dengan diterbitkannya SK Menkes RI nomor
604/MENKES/SK/IX/1989. Sedangkan pelayanan perawatan paliatif untuk masyarakat baru
dimulai pada tanggal 19 Februari 1992.
→ pada pasien ini, dimana telah mengalami kanker stadium lanjut karena diketahui telah
terjadi penyebaran dari kanker primernya dan menolak untuk mendapatkan pengobatan,
sebenarnya mungkin dapat disarankan untuk mengikuti paliatif care sebagai second opinion
untuk meningkatkan kualitas hidup serta meringankan penderitaannya. Selain itu, dapat pula
memberikan dukungan pada keluarga melalui pelayanan ini.
3.4. perspektif bioetika
1. Dokter bedah mengangkat tumor ovarium tanpa konsultasi ahli Obstetri dan
Ginekologi
Penjelasan dari sudut pandang bioetika:
Secara bioetika seorang dokter bedah yang melakukan perluasan operasi tanpa
mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada yang lebih berkompeten dapat dibenarkan
apabila tujuannya adalah untuk menegakkan asa beneficence dan nonmaleficence. Dalam
sudut pandang beneficence, dokter akan melakukan segala sesuatu demi kebaikan pasien
sehingga yang telah dilakukan dokter adalah baik menurut etika karena pada saat itu
gangguan kausatif ( tumor primer ) Ny. S adalah pada ovarium kirinya sehingga demi
kesembuhan Ny. S seharusnya ovarium kiri harus diangkat
Menurut aspek nonmaleficence (do no harm), maka tindakan pengangkatan ovarium
kiriyangdilakukan dokter bedah tersebut adalah baik karena apabila dokter bedah harus
menutup kembali luka operasi demi kepentingan untuk mengkonsultasikan dan
memeriksakan Ny. S terlebih dahulu kepada ahli Obstetri dan Ginekologi, maka ini akan
merugikan pasien dari segi waktu, luka operasi, dan biaya karena operasi harus dilakukan
dua kali.
Pandangang etika menyatakan tindakan dokter bedah tersebut buruk apabila setelah
perluasan operasi yang dilakukan, dokter bedah tidak memenuhi aspek otonomi pasien dan
8
justice bagi pasien. Sehingga untuk memenuhi aspek tersebut, maka komunikasi post
operasi menjadi sesuatu yang penting dan jangan sampai diabaikan.
2. Penolakan kemoterapi dan radioterapi
Tindakan Ny. S melakukan penolakan kemoterapi dan radioterapi dipandang buruk
dalam sudut pandang etika. Hal ini dikarenakan etika berpandangan bahwa apabila Ny. S
menolak melakukan terapi yang seharusnya dapat berhasil karena tumor primer yang ada
telah diangkat tetapi malah menolaknya, maka hal ini akan berdampak pada pembiaran
diri untuk meninggal perlahan seperti yang terjadi pada eutanasia pasif atau bunuh diri.
Solusi yang terbaik adalah memberikan edukasi dan komunikasi, serta pendekatan
yang lebih komprehensif dan holistik dari aspek biopsikososial dan kulturan yang
dilakukan oleh dokter, keluarga, dan pemuka agama untuk memperbaiki persepsi pasien
sehingga pasien memiliki motivasi tinggi untuk mejalankan pengobatan dan sembuh.
3. Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi
Persepsi pasien akan penyakit yang tidak bisa diterapi lagi sesungguhnya merupaka
hak otonomi pasien, menurut sudut pandang bioetika. Namun, hal ini dipandang buruk
secara etika karena berdasarkan etika teleologi yang berpegang teguh pada hasil yang
didapatkan akibat perbuatan pasien tersebut, maka akan berakibat pada penyerahan diri
kepada kematian yang seharusnya bisa ditunda apabila pasien mau menjalankan terapi
sebagaimana mestinya sesuai prosedur yang ada.
4. Pengobatan alternatif yang menjadi pengobatan sia-sia
Secara deontologi, maka pengobatan alternatif adalah baik adanya karena tujuannya
adalah untuk menolong orang yang sakit, tetapi hal ini dipandang buruk oleh etika karena
dalam pandangan teleologi, hasil yang didapatkan oleh Ny. S melalui pengobatan
alternatif tidak ada dan cenderung memperburuk keadaan Ny. S karena penyakit Ny. S
yang tidak terobati oleh terapi alternatif tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pengobatan sia-sia yang merugikan Ny. S sehingga aspek beneficence dan
nonmaleficence tidak terpenuhi.
5. Terapi palliative dengan morphin
Pada dasarnya tujuan dokter memberikan terapi palliative dengan morphin adalah
untuk mengurangi rasa sakit Ny. S karena dokter bermaksud untuk melakukan yang
terbaik demi pasien, seperti yang tercermin dalam praktik beneficence menurut bioetika.
Hal ini menjadi baik menurut etika. Namun, akan menjadi buruk menurut etika apabila
9
dokter dalam pemberian morphin pada Ny. S tidak memberikan edukasi yang adekuat
kepada keluarga Ny. S mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian
morphin tersebut, pemberian morphin tidak sesuai indikasi, tidak melakukan pemantauan
berkala terhadap Ny. S setelah pemberian morphin. Hal demikian berarti dokter
melanggar prinsip otonomi pasien, beneficence, nonmaleficence dan justice.
3.5 Perspektif Kedokteran
Perspektif kedokteran dapat dimasukkan dalam pandangan kedokteran terhadap
tindakan dokter bedah dalam perluasan operasi, edukasi yang diberikan dalam kemoterapi dan
radioterapi, terapi alternative, pemberian analgetik pada pengobatan paliatif
a. Tindakan perluasan operasi
seharusnya dokter bedah menyadari kompetensinya pada saat akan
melakukan perluasan operasi pada tumor primer ovarium kiri. Tumor primer
ditemukan saat operasi dilakukan sehingga pengangkatan ovarium kiri tidak
tercantum dalam informed consent yang telah dilakukan pada preoperative
sehingga diperlukan pendapat dari dokter obstetric dan ginekologi sebelum
dilakukan pengangkatan. Konsultasi seharusnya dilakukan sehingga
menghindarkan dokter bedah tersebut dari tindakan yang tidak sesuai dengan
SOP yang legal
b. KIE dalam kemoterapi dan radioterapi
Pola hubungan dokter pasien sangat memegang peranan dalam keadaan
tersebut. Collegial model menjadi pola hubungan dokter pasien yang paling
dapat diterima. Seharusnya diperlukan adanya praktisi interdisisplin yang
terdiri dari ahli bedah, ahli onkoloh, psikiater, dan dokter keluarga yang
dengan komunikasi persuasive dan penuh pengertian sehingga dapat
memberikan perspektif yang baik bagi persepsi pasien
c. Terapi alternative
Untuk kasus penyakit yang berat dan membahayakan nyawa seharusnya tidak
dilakukan terapi alternative. Terapi yang dilakukan seharusnyaterapi
komplementer. Dokter seharusnya menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai terapi konvensional dan komplementer yang harus atau dapat
dipilih oleh pasien berdasarkan EBM atau RCT yang telah teruji
efektivitasnya
10
d. Pemberian analgetik pada terapi alternative
Seharusnya dokter tidak langsung memberikan morphin karena morphin
merupakan golongan narkotika yang merupakan pilihan terakhir penghilang
rasa nyeri apabila obat analgetik seperti OAINS, steroid, dan opiat tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinyauntuk menghilangkan rasa nyeri pada
penyakit Ny.S
3.6. Pandangan Agama
a. Islam
Dalam pandangan Islam, penyakit merupakan cobaan yang diberikan Allah SWT
kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Ketika seseorang sakit disana
terkandung pahala, ampunan dan akan mengingatkan orang sakit kepada Allah SWT.
Aisyah pernah meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda : 'Tidak ada musibah
yang menimpa diri seorang muslim, kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya, sampai-
sampai sakitnya karena tertusuk duri sekalipun" (H.R. Buchari).
Allah SWT menciptakan cobaan antara lain untuk mengingatkan manusia terhadap
rahmat-rahmat yang telah diberikan-Nya. Allah SWT memberikan penyakit agar setiap
insan dapat menyadari bahwa selama ini dia telah diberi rahmat sehat yang begitu banyak.
Namun kesehatan yang dimilikinya itu sering kali di abaikan, bahkan mungkin disia-
siakan. Padahal ia mempunyai harga yang sangat bernilai tiada tolak ukur dan
bandingannya.
Disamping itu, sakit juga digunakan oleh Allah SWT untuk memperingatkan manusia
atas segala dosa-dosa dan perbuatan jahatnya selama hidup di dunia. Kalau dahulu
seorang insan yang banyak berbuat kesalahan tidak berfikir tentang dosa dan pahala,
maka disaat sakit biasanya manusia teringat akan dosa-dosanya sehingga ia berusaha
untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT.
Konsep-konsep pengobatan dalam islam
1. Keyakinan
11
Ketika seseorang sakit, ia harus sangat meyakini bahwa sakit yang dialaminya
tersebut berasal dari Allah SWT, dan Allah juga yang akan menyembuhkannya.
Seperti dalam firman Allah :
“Dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku” (Asy-Syu’araa [36]:80)
Di samping itu ada juga hadist yang berbunyi “Lii Kulli Daa In Dawaun” yang
artinya “Setia penyakit ada obatnya”. Seseorang yang menderita suatu penyakit
haruslah mempunyai keyakinan yang sangat kuat bahwa semua penyakit pasti ada
obatnya.
2. Menggunakan obat yang halal dan dan Thoyyib
“sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan setiap
penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah kalian, tapi jangan dengan yang haram”
(Riwayat Abu Dawud).
Konsep kedua dalam pengobatan islam adalah adalah menggunakan obat yang halal
dan thoyyib.
3. Tidak membawa mudharat dan mencacatkan tubuh
Dalam pengobatan islam, kita dianjurkan untuk tidak melakukan pengobatan yang
kiranya pengobatan tersebut membawa kemudharatan yang justru menimbulkan
masalah baru bagi seseorang.
4. Tidak berbau takhayul, bid’ah, dan kurafat
Ketiga hal diatas wajib dihindari karena dapat mengakibatkan pelakunya jatuh dalam
jurang kekafiran.
5. Mencari yang lebih baik
Seseorang dianjurkan untuk terus berikhtiar sampai penyakit itu sembuh atas izin
Allah.
6. Ikhlas, sabar, dan bertawakal
Konsep –konsep yang telah disebutkan diatas hendaknya dapat diterapkan oleh pasien
sendiri yang tertimpa penyakit, maupun oleh dokter sendiri dalam menghadapi dan
menyikapi penyakit pasiennya.
Pandangan islam tentang perawatan paliatif
Dalam islam, ada salah satu layanan Hu Care atau “Husnul Khatimah Care” yang
merupakan pengembangan perawatan paliatif yang sudah dikenal sebagai sistem perawatan
terpadu. Tujuannya meningkatkan kualitas hidup dengan cara meringankan nyeri dan
penderitaan lainnya.
12
Memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir
hayat. Termasuk dukungan pada keluarga yang kehilangan. Program ini sekaligus menjawab
kebutuhan pasien dan keluarganya dalam mempersiapkan akhir hidup yang baik dengan
mengintegrasikan nilai-nilai Islam. Terutama dalam hal memahami konsep sehat-sakit,
ikhtiar-tawakal, keyakinan-amalan yang bermanifestasi pada sikap dan perilaku pasien. Unsur
utama meraih husnul khatimah dalam pelayanan Hu Care adalah pasien dapat menerima
takdir sakitnya.
Pengobatan alternatif menurut pandangan islam
Islam memperbolehkan pengobatan alternatif asalkan itu tidak menggunakan bahan
yang haram ataupun seseuatu yang menuju kearah musyrik. Memanfaat suatu benda
untuk penyembuhan dengan mempercayai benda tersebut dapat membawa kesembuhan
pada dirinya termasuk sesuatu yang musyrik, (contoh:jimat)
o “Barang siapa yang menggantungkan jimat, berarti ia telah melakukan perbuatan
syirik.” (HR. Ahmad dan Hakim). Artinya, menggantungkan jimat dan hatinya
bergantung kepadanya berarti berbuat syirik.
o Ungkapan abadi dari Abu Qurath 4500 tahun yang lalu : “jadikanlah makananmu
sebagai obatmu dan obatilah setiap penderitaan dengan nabati yang tumbuh di bumi,
karena nabati itulah yang paling pantas untuk menyembuhkan.
b. Hindu
Penyakit itu datang dari dalam maupun dari luar diri sendiri. Menurut ajaran Hindu,
Bhuwana Agung atau Alam Raya maupun Bhuwana Alit atau Alam Kecil (Badan
Manusia) terdiri dari lima unsure utama yaiyu aksa (leher), wayu (udara), teja (api), apah
(air), pertiwi (tanah). Kalau kelima unsur ini tidak seimbang baik dari dalam maupun dari
luar maka akan menyebabkan penyakit.
“Bahwa yang menyebabkan seseorang sakit adalah tidak adanya harmoni pada diri
perseorangan dalam hubungannya dengan lingkungan luarnya dan obat adalah alat untuk
mengembalikan harmoni ini”.
13
c. Katholik
Sakit
Manusia yang sakit merupakan konsekuensi logis manusia sebagai mahkluk yang
memiliki tubuh. Tubuh manusia sebagai mahkluk hidup bersifat sangat rapuh. Oleh karena
itu manusia tidak tidak bisa tidak menderita sakit. Seperti kematian demikianpun rasa sakit
bersifat merelativir. Dan yang menyebabkan sakit adalah manusia itu sendiri, karena kelalaian
manusia menjaga tubuh
Pandangan tersebut dilandasi oleh pemahaman orang katolik tentang eksistensi Allah
atau Tuhan sebagai Mahabaik. Mahabaik berarti tidak bisa dibandingkan kebaikan-Nya
dengan kebaikan manusia. Allah Mahabaik artinya Allah tidak baik seperti manusia yang
baik. Pandangan yang demikian merupakan analogi entis, yaitu argument tentang derajat
kesempurnaan berdasarkan tingkat yang berbeda.
Allah adalah cinta kasih (1 Yoh 4: 8-16). Bukan Tuhan yang menyebabkan manusia
sakit tetapi karena kelalaian manusia. Oleh karena itu segala sesuatu yang tidak baik tidak
berasal dari allah
Penyakit merupakan percobaan yang paling berat, dan setiap penyakit akan
mengingatkan kita pada suatu kematian [KGK 1500 (Katekismus Gereja Katolik)]. Penyakit
dapat menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri malahan kadang-kadang rasa putus asa dan
pemberontakan terhadap Allah. Tetapi ia juga dapat membuat manusia menjadi lebih matang,
dapat membuka matanya untuk apa yang tidak penting dalam kehidupannya, sehingga ia
berpaling kepada hal-hal yang penting. Sering kali penyakit membuat orang mencari Allah
dan kembali lagi kepada-Nya (KGK 1501).
Penderitaan
Kalau mengalami kejahatan dan penderitaan, iman akan Bapa yang mahakuasa dapat
diuji secara serius. Sewaktu-waktu Allah tampaknya tidak hadir dan tidak mampu mencegah
kemalangan. Namun Allah Bapa menyatakan kekuasaan-Nya atas cara paling rahasia dalam
penghinaan dan kebangkitan Putera-Nya, yang mengalahkan yang jahat. Dengan demikian,
Yesus yang tersalib adalah "kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah
14
lebih besar hikmatnya daripada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada
manusia" (1 Kor 1:2425). Dalam pembangkitan dan pengangkatan Kristus, Bapa
menunjukkan "kekuatan kuasa-Nya" dan menyatakan betapa "hebat kuasa-Nya bagi kita yang
percaya" (Ef 1:19). (KGK 272). Dengan kata lain, penderitaan merupakan sesuatu yang
menguji iman kita kepada Tuhan, sehingga penderitaan harus diterima dan dihadapi dengan
mendekatkan diri kita kepada Tuhan.
Kematian
Agama Katolik memandang kematian badan manusia sebagai awal dari kehidupan
yang sesungguhnya. Kematian badan manusia bukan merupakan akhir dari kehidupan.
Agama Katolik percaya akan kehidupan kekal (Surga) dan kematian kekal (neraka). Selain
surga dan neraka juga ada apa yang disebut dengan tempat penyucian. Tempat penyucian
adalah suatu tempat atau keadaan sementara bagi jiwa orang – orang saleh yang berada dalam
keadaan dosa ringan atau tidak berdosa berat. Jiwa – jiwa tersebut belum boleh memandang
wajah allah atau belum boleh masuk Surga karena masih ada dosa yang perlu disucikan.
Berdasarkan doa orang – orang yang masih hidup dan berdasarkan kerahiman Allah mereka
diperbolehkan masuk Kerajaan Abadi yaitu Surga.
Pengobatan Alternatif dan Pengobatan Paliatif
Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit untuk menjalani
pengobatan alternative dan pengobatan paliatif, selama pengobatan – pengobatan ini dapat
menyembuhkan atau membuat keadaan menjadi lebih baik. Hal ini berdasarkan pada landasan
ajaran agama Katolik, yaitu Hukum Cinta Kasih dan KGK 1506 – 1510, dimana Kristus
mengajak para murid – muridnya dan juga gereja untuk menyembuhkan dan merawat para
orang – orang sakit.
d. Kristen
Penderitaan :
15
Adalah suatu pemurnian Allah yaitu yang membuahkan damai sejahtera melalui sakit
penyakit. [Ayub.5 : 17-18 ; Ibrani.2 : 11 ; 1 Korintus.11 : 32]
Sakit :
Adalah dosa yang berasal dari perilaku hidup tidak sehat yaitu tidak menjaga tubuh sebagai
“Bait Roh Kudus” yang berasal dari Allah sendiri [1 Korintus.6 : 19-20]
e. Buddha
3.7 Solusi
Untuk permasalahan kasus diatas, dimana pasien menolak dilakukannya kemoterapi sebagai
terapi paliatif pasca operasi sebagai dokter seharusnya melakukan edukasi kembali mengenai
kepentingan pelaksanaan kemoterapi tersebut, hubungan yang dibangun antara dokter dan
apsien sebaiknya dilandasi dengan rasa kepercayaan dan pembinaan rapport dengan baik.
namun jika kemoterapi tidak dapat diterima dan dijalankan pasien dokter juga harus
menghormati hak oonomi pasien sebagai landasar tertinggi hal yang perlu di[erhatikan dari
segi bioetika. Selain dilakukannya pembinaan hubungan yang baik antara dokter dan pasien,
keluarga pasien seharusnya memberikan dukungan terbaik dan menenangkan pasien untuk
tetap tabah dan tidak mudah menyerah menghadapi permasalahannya. Bimbingan kerohanian
sangat diperlukan agar psikologis pasien lebih tenang.
Keputusan keluarga pasien dan teman-temannya untuk memilih pengobatan alternatif, ada
baiknya. Jika keluarga pasien meminta masukan dari dokter, sebaiknya sebagai dokter
menerima keputusan pasien dan menjelaskan bahwa untuk memilih pengobatan alternatif
diperlukan pemahaman mengenai landasan ilmiahnya. Namun juga tidak bertentangan dengan
agama pasien tersebut.
Dikarenakan pasien sudah berada di fase terminal, keluarga juga perlu dipersiapkan untuk
dapat menerima keadaan pasien, harus kuat untuk mengahdapi kemungkinan terburuk, yaitu
kematian yang terjadi apda pasien.
16
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hak Pasien dan Kewajiban Dokter
Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya
terdiri dari dua hak, yaitu:
1. The Rights to health care
2. The Rights to self determination
Secara tegas The World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of
Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas, hak
dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis, hak untuk
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat, hak untuk
dihormati kerahasiaan dirinya, hak untuk mati secara bermartabat dan hak untuk menerima
atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien seperti hak atas informasi, hak atas
second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak
untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh
ganti rugi apabila ia dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.
Di sisi lain pasien juga memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memiliki hak.
Namun yang lebih utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak dia
mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah:
1. Kewajiban profesi sebagaimana terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik
kedokteran, standar prilaku profesi (SOP) dan standar pelayanan medis (SPM)
2. kewajiban yang lahir oleh karena adanya hubungan dokter-pasien
UU no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban
dokter dan pasien di dalam pasal-pasal 50-53. dokter dan dokter gigi memiliki hak
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, hak untuk memberikan layanan medis menurut
standar profesi dan standar prosedur operasional, hak memperoleh informasi yang lengkap
dan jujur dari pasien atau keluarganya dan hak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan
dokter gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak
17
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya, dan menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran/ kedokteran gigi.
Sementara itu, berdasarkan UU Praktik Kedokteran pasien memiliki hak untuk
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 45 ayat (3), meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Adapun pasal
45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya meliputi
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang akan dilakukan, alternatif
tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis
terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di sisi lain pasien berkewajiban memberikan
informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasihat dan
petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (1)
4.2 Informed consent
1. Prisip moral utama dokter
Dalam profesi kedokteran, dikenal 4 prinsip moral utama yang harus dijunjung tinggi
seorang dokter, yaitu5:
a. Prisnsip otonomi
Yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi
pasien (the rights to self determination). Prinsip otonomi pasien dianggap sebagai
dasar dari doktrin informed consent.
b. Prinsip beneficence
Yaitu prinsip moral yang mnegutamakn tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien.
c. Prinsip non maleficence
Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan
pasien.
d. Prinsip justice
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya.
2. Informed consent
18
Informed consent adlah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilaukan terhadap pasien. Informed consent lebih kearah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain.5
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu5:
a. Threshold elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini
diartikan berkapasitas untuk membuat keputusan. Secara hukum seseorang dianggap
kompeten adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental
yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa disini berarti telah mencapai usia 21 tahun
atau telah pernah menikah.
b. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaiotu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemehaman). Hal ini member konsekuensi pada tenaga medis untuk
memberikan informasi sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman
yang adekuat.
Seberapa baik suatu informasi harus diberikan kepada pasien dapat dilihat
dari 3 standar, yaitu:
Standar praktek profesi
Kewajiban memberikan informasi dan criteria ke-adekuat-an informasi
ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dlaam komunitas tenaga medis.
Standar subyektif
Keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara
pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut
dalam membuat keputusan. Standar inisangat sulit dilaksanakan atau hampir mustahil
untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut pasien.
Standar pada reasonable person
Merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya
orang awam. Subelemen pemahaman dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis, dan
imaturitas, banyak ahli mengatakan, apabila elemen ini tidak dilakukan, maka dokter
dianggap lalai melaksanakan tugasnya member informasi yang adekuat.
c. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan,
kebebaasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya penipuan, misrepresentasi ataupun
paksaan.
19
Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dianggap sebagai
penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum.
Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan:
Keadaan darurat medis
Ancaman terhdap kesehatan masyarakat
Pelepasan hak memberikan consent
Clinical privilege
Pasien yang tidak kompeten memberikan consent
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola peroleh informed
consent. Seorang yang dianggap sudah piku n, orang yang dianggap memiliki mental yang
lemah untuk dapat menerima kenyataan dan orang dlam keadaan terminal dianggap tidak
berkompeten menerima informasi yang benar apalagi membuat keputusan medis.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak
menyetujui terapi. Banyak ahli mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolute,
artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini karena dokter akan
mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk
mencegah perbuatan bunuh diri, kewajiban melindungi pihak ketiga, dna integritas etis
profesi dokter.5
3. Proxy consent
Proxy consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan
consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan
orang yang memberikan proxy-consent adalah:
Suami/isteri
Anak
Orang tua
Saudara kandung,dll
Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
4.3 Pengobatan Alternatif
Pandangan Hukum
Pemerintah telah mengeluarkan undang undang PERMENKES RI No 1109/PER/IX/2007
tentang batasa terapi alternatif yaitu.
20
Terapi alternatif merupakan terapi non-konvensional untuk meningkatkan kesehatan
pasien yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan harus dilandasi pengetahuan
biomedik. Individu yang menjalankan usaha terapi altrernatif seyogyanya memiliki izin dari
pemerintah untuk menjalankan praktik di bidang kesehatan.
Pro dan kontra tentang pengobatan alternatif :
Pro pengobatan alternatif
Pada umumnya biaya untuk terapi alternatif lebih murah, efek samping lebih sedikit,
tindakan tidak invasif, menggunakan bahan bahan alamiah.
Kontra pengobatanalternatif
Tidak ada pembuktian atau evidence based, tidak jelas bahan yang digunakan dalam
pengobatan, tidak melaporkan praktek kepada dinas kesehatan sehingga tidak memiliki surat,
membuka peluang terjadinya penipuan.
Pandangan bioetika tentang pengobatan alternatif
Terapi alternatif berdasarkan sudut pandang bioetika:
Otonomi : Pasien berhak memilih pengobatan yang akan dilakukan
Beneficence : Melakukan yang terbaik untuk proses perbaikan diri pasien dari
penyakit
Nonmaleficence : Selama terapi yang di lakukan tidak memperburuk kesehatan
pasien
Sebagai seorang dokter terhadap pengobatan alternatif
- Menghormati otonomi
Pasien berhak dan bebas memilih dan memutuskan tindakan apa yang akan di
lakukan dalam proses pengobatan dan penyembuhan atas dirinya.
- Melindungi agar pasien tidak dirugikan
- Sebagai dokter berkewajiban untuk menjelaskan tentang penyakit yang di derita
pasien. Dan memberikan masukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk proses
perbaikan pasien dari penyakitnya tersebut. Tanpa menentang prinsip otonomi yang
dimiliki pasien untuk memilih pengobatan dokter.
21
- Memastikan pengobatan alternatif yang akan dijalankan pasien sesuai dengan
evidence based medicine
Perwatan paliatif
Perawatan paliatif adalah stiap bentuk perawatan medias atau perawatan yang
berkonsentrasi pada pengurangan gejala penyakit. Tujuan dari perawatan paliatif mencegah
dan mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa .
Non rumah sakit perawatan paliatif tidak tergantung pada prognosis dan ditawarkan
dalam hubunganya dengan kuratif dan semua bentuk lain yang sesuai perawatan medis .
Perwatan palliatif juga dapat digunakanuntuk mengurangi efek samping dari pengobatan
kuratif, seperti mengurangi rasa mual yang berhubungan dengan kemoterapi.
Perwatan paliatif itu sendiri berguna untuk
Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan keluhan fisik lain
Asuhan keperawatan
Dukungan psikologis
Dukungan sosial
Dukungan kultural dan spiritual
Dukungan persiapan dan selama duka cita
Istilah perawatan paliatif semakin digunakan berkaitan dengan penyakit lain selain
kanker seperti kronis, gangguan paru progresif, penyakit ginjal, gagal jantung kronis,
HIV/AIDS, dan kondisi neurologis progresif.
BAB V
KESIMPULAN
22
Ny. S memiliki hak otonomi yang harus dihormati. Pemaksaan pengobatan bagi
penyakit terminal dari carcinoma ovarium yang diderita Ny. S tidak dibenarkan oleh
agama, hukum, dan buruk menurut sudut pandang bioetika. Namun, pembiaran tanpa
usaha untuk mengobati secara tepat juga menjadi masalah moral tersendiri bagi para
praktisi medis yang seharusnya berpihak pada kehidupan dan mencegah kematian
yang belum saatnya. Pengobatan sia – sia yang dilakukan melalui pengobatan
alternatif juga dipandang buruk oleh sudut pandang etika, walaupun pengobatan
alternatif yang dilakukan sukarela adalah benar menurut hukum, agama, dan etika.
Masalah Ny. S seharusnya diselesaikan melalui pendekatan holistik yang persuasif
dari aspek biopsikososial dan spritual. Seharusnya masalah Ny. S diselesaikan dengan
komunikasi. Komunikasi untuk memperbaiki persepsi pasien memegang peranan
penting sehingga pasien tetap memiliki motivasi dan semangat untuk menjalani
pengobatan demi mengupayakan kesembuhan. Pada akhirnya Ny. S meninggal.
Seharusnya apabila Ny. S dan keluarga Ny. S mau melakukan terapi palliative, maka
keluarga dapat menerima dengan ikhlas kematian Ny. S dan semua akan dalam
keadaan lebih siap.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007. p. 10-2.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang
kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994.
3. The World Medical Association. 2005. World Medical Association
Declaration of Lisbon on The Rights of The Patient. Available at:
http://dl.med.or.jp/dl-med/wma/lisbon2005e.pdf. Accessed on June 29, 2012.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009. Available at:
http://dinkes.demakkab.go.id/v2010/dokumen/uu_no_36_thn_2009-
ttg_kesehatan.pdf. Accessed on June 29, 2012.
24