Hadits Secara Global MakalahH

35
mengenal Hadits Secara Global OLEH KELOMPOK II : 1. ERIENE DHEANDA A 2. DWI GUSTI NOVIANA 3.FAREZHI RAMADHAN DOSEN : YUSRIANA M.Pd.I. FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI 1

description

test

Transcript of Hadits Secara Global MakalahH

Page 1: Hadits Secara Global MakalahH

mengenal Hadits Secara Global

OLEH

KELOMPOK II : 1. ERIENE DHEANDA A2. DWI GUSTI NOVIANA3.FAREZHI RAMADHAN

DOSEN : YUSRIANA M.Pd.I.

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH pALEMBANG

TAHUN ajaran 2014/2015

1

Page 2: Hadits Secara Global MakalahH

DAFTAR ISI

BAB I................................................................................................................................3

Latar Belakang.................................................................................................................3

Rumusan Masalah...........................................................................................................3

Tujuan Penulisan.............................................................................................................3

BAB II...............................................................................................................................4

PEMBAHASAN................................................................................................................4

Pengertian Ilmu hadits.....................................................................................................4

Sejarah Ilmu hadist..........................................................................................................4

Takhrij.............................................................................................................................. 5

Periwayatan hadits...........................................................................................................5

Pokok Bahasan Ilmu Hadits............................................................................................12

Pembagian Ilmu hadits..................................................................................................15

Istilah-Istilah Dasar Dalam Ilmu Hadits..........................................................................15

Klasifikasi Hadits...........................................................................................................17

BAB III.............................................................................................................................24

PENUTUP..................................................................................................................... 25

Kesimpulan.....................................................................................................................25

Saran.............................................................................................................................. 25

2

Page 3: Hadits Secara Global MakalahH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

1.2.       Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian ilmu hadits ?

2.        Apa saja yang menjadi pokok bahasan dalam ilmu hadits ?

3.        Bagaimana pembagian ilmu hadits ?

4.        Istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits ?

5.        Seperti apa klasifikasi hadits itu ?

1.3.       Tujuan Penulisan

1.        Mengetahui apa pengertian ilmu hadits.

2.        Untuk dapat mengetahui apa saja yang menjadi pokok bahasan dalam ilmu hadits.

3.        Agar mengerti pembagian ilmu hadits.

4.        Agar dapat menguasai istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits.

5.        Untuk mengetahui klasifikasi hadits.

3

Page 4: Hadits Secara Global MakalahH

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ilmu hadits

Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Situs wikipedia menyatakan bahwa makna hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan Rasulullah. Dengan demikian ilmu Al-Hadits adalah ilmu-ilmu tentang perkataan atau percakapan Rasulullah.

Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya. sedangkan Al-Hadits di kalangan ulama hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat”. Hal ini sejalan dengan pengertian hadits yang dikemukakan dalam buku Musthalahul hadits yang berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.

2.2. Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :

* Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH – 11 SH ).* Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).* Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi’in dan sahabat-sahabat muda : 41 H – akhir abad 1 H ).* Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).* Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.* Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H  sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).* Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).

Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :

* Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.* Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat

4

Page 5: Hadits Secara Global MakalahH

perlu untuk dituliskan pada waktu itu.* Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.* Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur’an.* Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da’wah yang sangat penting.

Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar bin Abdul Azis, khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa’at generasi tabi’in mencari hadits-hadits itu.

2.3. TAKHRIJ

Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja " ,خّر,جتخّريجا, ج :Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan, takhrij adalah ."يخّر,

"menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah[1]”

Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;

. بيان ثم بسنده أخّرجته التي األصلية مصادره في الحديث موضع على الداللة هو التخّريجالحديث موضع على بالداللة المّراد الحاجة عند مّرتبته

"Menunjukkan letak Hadits dari sumber-sumber aslinya (sumber primer), untuk kemudian diterangkan rangkaian sanadnya, dan dinilai derajat haditsnya jika diperlukan[2].

Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan. Tujuan utama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah maqbul atau mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada perkataan yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in.

2.4. Periwayatan Hadits

Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang

5

Page 6: Hadits Secara Global MakalahH

ssdalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[1]

Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.

Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:

1.      Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).

2.      Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)3.      Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)4.      kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.5.      kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-

tahamul wa ada al- Hadis).Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai

secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.

2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca  hadits  (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.

3. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.

6

Page 7: Hadits Secara Global MakalahH

4. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.

5. Al-Mukatabah  yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.

6. I’lam al-Syaikh  yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.

7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.

8. Al-Wijada  yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga  dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.[2]

 Bentuk Periwayatan Haditsa.    Bil Lafadzi

Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.

Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat.            Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”.Tingkat kepedulian para sahabat dalam

7

Page 8: Hadits Secara Global MakalahH

menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.

Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:

a.    Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa

Rasulullah saw.bersabda:

: ما ووعدك عهدك على وأنا عبدك، وأنا خلقتني أنت، إال إله ال ربي، أنت اللهم االستغفار سيدبك أعوذ أنت، إال الذنوب يغفّر ال فإنه لي، فاغفّر بذنبي لك وأبوء ، علي, بنعمتك, لك أبوء استطعت،

. حين قال وإذا الجنة، أهل من كان أو الجنة، دخل فمات يمسي حين قال إذا صنعت ما شّر منمثله يومه من فمات .يصبح

Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”

b.    Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda 

. عنه الله نهى ما هجّر من والمهاجّر ويده لسانه من المسلمون سلم من المسلمartinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”

8

Page 9: Hadits Secara Global MakalahH

c.    Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah.

: ملوك أين الملك، أنا يقول ثم بيمينه، السماء ويطوي القيامة، يوم األرض الله يقبض       األرض؟

Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”

Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.

Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:

1.      Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.2.      Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.3.      Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.

            Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:

1.      Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.

2.      Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.

3.      Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.

4.      Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.

9

Page 10: Hadits Secara Global MakalahH

5.      Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.

6.      Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.            Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.            Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:

a.      Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.

b.      Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.            Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[3]

b.      Bil Ma’naDalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW.

periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.

Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.

Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.

Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya  meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul  ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan

10

Page 11: Hadits Secara Global MakalahH

sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.

Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.

Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.

Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi yaitu: “Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna,  karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.

11

Page 12: Hadits Secara Global MakalahH

Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.

Pokok Bahasan Ilmu Hadits

1.        Hadits, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi

a.         Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.

b.         Khabar semakna dengan hadits, sehingga memiliki definisi yang sama dengan hadits. Pendapat lain menyatakan bahwa khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan juga kepada selain beliau. Dengan demikian, definisi khabar lebih umum dan memiliki cakupan yang lebih luas daripada hadits.

c.         Atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang shahabat atau tabi’in. terkadang atsar juga didefinisikan dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Namun penyebutannya harus diberi taqyid (catatan) bahwa hal itu berasal dari beliau seperti ucapan.

d.        Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi SAW. dari Allah SWT. Hadits qudsi disebut juga dengan hadits Rabbani/Ilahi.

Contohnya adalah: Nabi bersabda bahwa Allah berfirman;

“Aku menurut persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku beersamanya ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di kumpulan orang banyak, Aku mengingatnya di kumpulan orang banyak yang lebih baik dari mereka.”

Kedudukan Hadits Qudsi adalah antara Al-Qur’an dan Hadits Nabawi (Perbedaan ketiganya dapat diketahui dari penisbatan lafadz dan makna). Lafadz dan makna Al-Qur’an Al-Karim dinisbatkan kepada Allah SWT. Sedangkan hadits nabawi, lafadz dan maknanya dinisbatkan kepada Nabi.

12

Page 13: Hadits Secara Global MakalahH

Adapun hadits qudsi, hanya maknanya saja yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, bukan lafadznya.

Oleh karena itulah, membaca hadits qudsi tidak terhitung sebagai ibadah, tidak dapat digunakan sebagai bacaan dalam shalat, tiada tantangan dari Allah kepada orang kafir untuk menandinginya dan tidak dinukil secara mutawatir sebagaimana Al-Qur’an. Sehingga Hadits qudsi ada yang berderajat shahih, dha’if, bahkan maudlu’ (palsu).

2.        Isnad, Sanad, Matan, Musnad, Musnid, Muhaddits, Hafiz, Hujjah dan Hakim

a.         Isnad.

Isnad secara etimologi berarti menyadarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah, isnad berarti :

Hadis kepada yang mengatakannya (sumbernya), yaitu menjelaskan jalan matan dengan meriwayatkan Hadis secara musnad”.

Disamping itu, isnad dapat juga diartikan dengan “menceritakan jalannya matan”.

b.         Sanad dan Matan Hadits

Ø  Pengertian Sanad dan Matan Hadits

Sanad dari segi bahasa artinya sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad berarti silsilah atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.

Contoh :

Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya.”

Dalam hadits tersebut dinamakan sanad adalah:

“Dikabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda.”

Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan yaitu; Perkataan yang

13

Page 14: Hadits Secara Global MakalahH

disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.

Apa yang disebut matan hadits yang telah kami sebutkan di awal adalah: “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya.”

Ø  Kedudukan Sanad dan Matan Hadits

Para ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak di syaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya.

c.         Musnad

Menurut bahasa Musnad adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja asnada, berarti sesuatu yang disandarkan kepada yang lain.

Secara terminologi, musnad mengandung tiga pengertian:

Ø  “Hadis  yang bersambung sanad-nya dari perawinya (dalam contoh sanad di atas adalah Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya yang biasanya adalah Sahabat, dan dalam contoh diatas adalah Anas r.a”.

Ø  “Kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh shahabat, seperti Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad”.

Ø  “Sebagai mashdar (Mashdar mimi) mempunyai arti sama dengan sanad”.

d.        Musnid

Kata musnid adalah isim fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam istilah Ilmu Hadis yaitu:

“Musnid adalah setiap perawi hadis yang meriwayatkan Hadis dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut, tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja”

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, hal ini dikarenakan hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya.

14

Page 15: Hadits Secara Global MakalahH

Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum Islam.

e.         Muhaddits

Yaitu orang yang banyak menghafal hadits serta mengetahui sifat-sifat orang yang meriwayatkan tentang 'adil dan kecacatannya.

f.          Hafiz

Yaitu orang yang menghafal sebanyak 100,000 hadits dengan isnadnya.

g.         Hujjah

Yaitu orang yang menghafal sebanyak 300,000 hadits dengan isnadnya.

h.         Hakim

Yaitu orang yang meliputi 'ilmunya dengan urusannya hadits.

2.6. Pembagian Ilmu hadits

Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits dirayat (dirayah).  

1.        Ilmu hadits riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad. Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab.

2. Ilmu Hadits dirayat ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak. Atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits.

2.7. Istilah-Istilah Dasar Dalam Ilmu Hadits

15

Page 16: Hadits Secara Global MakalahH

1.        Al jarhu wa ta’dil: Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.

2.        At Ta’dil: Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri seorang rawi.

3.        Al Jarhu: Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.

4.        Tsiqah: Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).

5.        Rawi La Ba`sa Bihi: Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.

6.        Jayyid: Baik

7.        Layyin: Lemah.

8.        Majhul: Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.

9.        Mubham: Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.

10.    Mudallis: Rawi yangi melakukan tadlis.

11.    Rawi Mastur: Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).

12.    Perawi Matruk: Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.

13.    Rawi Mudhtharib: Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).

14.    Rawi Mukhtalith: Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.

15.    Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.

16

Page 17: Hadits Secara Global MakalahH

16.    Saqith: Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).

17.    Tadh’if: Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).

18.    Tahqiq: Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.

19.    Tahsin: Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.

20.    Ta’liq: Komentar, atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, derajat hadits dan sebagainya yang biasanya berbentuk catatan kaki.

21.    Takhrij: Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.

22.    Syahid: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.

23.    Syawahid: Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.

24.    Mutaba’ah: Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.

2.8.       Klasifikasi Hadits

1.        Hadits Qudsi

a.     Pengertian Hadis Qudsi

Secara terminologi hadis qudsi adalah hadits yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT. Atau setiap hadits yang disandarkan Rasulullah SAW. perkataannya kepada Allah Azza wa JallaDefinisi tersebut menjelaskan bahwa hadits Qudsi itu adalah perkataan yang bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah SWT. tetapi bukanlah Al-Quran.

17

Page 18: Hadits Secara Global MakalahH

b.         Perbedaan antara Hadits Qudsi dan al-Quran

Antara al-Quran dan Hadits Qudsi terdapat beberapa perbedaan, yaitu :

Ø  Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari Rasulullah SAW.

Ø  Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah.

Ø  Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir, sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir.

Ø  Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadits Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna.

Ø  Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadits qudsi tidak.

c.         Perbedaan antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi.

Berdasarkan pengertian dan kriteria yang dimiliki hadits Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadits Nabawi, yaitu; bahwa Hadits Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari Allah SWT. Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.

2.        Hadits Marfu'

a.         Pengertian Hadis Marfu'

Hadis Marfu' adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat.

Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan

18

Page 19: Hadits Secara Global MakalahH

demikian, sanad dari hadis Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.

b.         Hukum Hadits Marfu'

Hukum hadits marfu' tergantung pada kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga memungkinkan suatu hadits Marfu' itu berstatus shahih, hasan atau dhaif.

3.        Hadits Mauquf

a.         Pengertian Hadis Mauquf

Beberapa ulama hadits memberikan terminologi hadits mauquf yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi. Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, ataupun taqrir beliau.

b.         Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'.

Diantara hadits mauquf terdapat hadits yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadits yang demikian dinamai oleh para ulama hadits dengan al-mauquf lafdzhan al-marfu' ma'nan, yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun secara mkana bersifat marfu'

c.         Hukum hadis Mauquf.

Apabila suatu hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas, dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan hadis marfu itu.Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujjahannya.

4.         Hadis Maqthu'

a.         Pengertian Hadis Mqthu'

Secara terminology hadis maqthu' yaitu sesuatu yang terhenti (sampai) pada Tabi’i baik perkataan maupun perbuatan.

19

Page 20: Hadits Secara Global MakalahH

Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.Hadis Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementara munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.

b.         Status Hukum Hadis Maqthu'.

Hadits Maqthu' tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan perkataan Ulama lainnya.

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1.        Hadits Mutawatir.

a.         Ta'rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”

Artinya: "Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

b.         Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

Ø  Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat

20

Page 21: Hadits Secara Global MakalahH

disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

Ø  Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.

Ø  Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang sedemikian ketatnya.

c.         Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu:

Ø  Hadits Mutawatir Lafzi

Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

1)        "Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."

2)        "Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi." Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut:Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

Ø  Hadits mutawatir maknawi

Hadits mutawatir maknawi adalah;

"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum." Jadi, hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat kesamaan dalam maknanya.

Ø  Hadis Mutawatir Amali

Yaitu: "Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."

21

Page 22: Hadits Secara Global MakalahH

2.        Hadits Ahad

a.         Pengertian hadis ahad

Menurut Istilah ahli hadits, ta’rif hadits ahad antara lain:

Ø  "Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "

Ø  "Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat mutawatir."

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi; hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam. Para ulama membagi hadits ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih, hadits hasan dan hadits dhaif.

1.        Hadits Sahih.

Hadis sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, yaitu "Hadis shahih adalah hadits yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Imam an-Nawawi, membagi yang shahih menjadi tujuh bagian:

a.         Yang paling tinggi, ialah yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih aw ‘ala sihhatihi).

22

Page 23: Hadits Secara Global MakalahH

b.         Yang diriwayatkan sendiri oleh Imam al-Bukhari.

c.         Yang diriwayatkan sendiri oleh Muslim.

d.        Hadits yang memenuhi kualifikasi shahih Bukhari dan Muslim.

e.         Hadits yang memenuhi kualifikasi shahih dari Imam al-Bukhari.

f.          Hadits yang memenuhi kualifikasi shahih dari Muslim.

g.         Yang dianggap shahih oleh imam-imam yang lain selain Bukhari dan Muslim.

2.        Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : "Yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan."

3.        Hadist Dhaif

Hadits dhaif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadits daif yaitu; "Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.". Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:

23

Page 24: Hadits Secara Global MakalahH

1.        Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim.

2.        As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah.

3.        As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hanbal (Imam Ibnu Majah).

4.        Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim.

5.        Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

6.        Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun persetujuannya. Para ulama membagi tingkatan hadits ke dalam beberapa golongan, seperti hadits qudsi, hadits mutawatir, hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif dan lain sebagainya.

Selain hal yang kami sebut di atas, ada hal lain yang harus dipahami dalam mempelajari ilmu hadist, yaitu istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam ilmu hadits, seperti; At Ta’dil, Tsiqah, Rawi La Ba`sa Bihi dan lain sebagainya.

24

Page 25: Hadits Secara Global MakalahH

3.2.       Saran

Dari runtutan pembahasan mengenai dasar-dasar ilmu hadits ini kami merekomendaikan beberapa saran yaitu:

1.        Kepada seluruh kaum muslimin untuk terus mendalami sumber hukum umat islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.

2.        Mempelajari ilmu hadits dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi yang terkait ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (‘ulama atau Ustadz).

25

Page 26: Hadits Secara Global MakalahH

DAFTAR PUSTAKA

Shalih Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad, 2008. Musthalahul Hadits. Jogjakarta: Media Hidayah.

As-Shalih, Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

26