Makalah THT

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laryngitis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak ditemukan pada laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi baik akut maupun kronik. 1 Tuberculosis laring merupakan bentuk jarang dari tuberculosis ekstrapulmoner. Pada era preantibiotik merupakan penyakit yang paling biasa terjadi pada laring, mengenai 35-83% pasien dengan tuberculosis. 2 Akhir-akhir ini insidensnya diperkirakan kurang dari 1% dari seluruh kasus TB. Oleh karena presentasi klinisnya yang meragukan, laryngitis TB sering dibingungkan dengan kelainan seperti carcinoma laring dan laryngitis kronis lainnya. Manifestasi klinisnya meliputi odinofagi, batuk dan suara yang serak. Penyakit ini sangat mudah menular dan karenana diagnosanya dininnya sangat penting. Pada hakekatnya semua pasien dengan laryngitis TB mempunyai TB paru aktif, sputum yang positif berkisar 90-95%. 2 Pemahaman bahwakarsinoma laring juga sering menunjukkan gejala serupa merupakan keharusanuntuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis 1

Transcript of Makalah THT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laryngitis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak ditemukan pada laring.

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi baik akut maupun

kronik. 1

Tuberculosis laring merupakan bentuk jarang dari tuberculosis ekstrapulmoner. Pada era

preantibiotik merupakan penyakit yang paling biasa terjadi pada laring, mengenai 35-83% pasien

dengan tuberculosis. 2

Akhir-akhir ini insidensnya diperkirakan kurang dari 1% dari seluruh kasus TB. Oleh

karena presentasi klinisnya yang meragukan, laryngitis TB sering dibingungkan dengan kelainan

seperti carcinoma laring dan laryngitis kronis lainnya. Manifestasi klinisnya meliputi odinofagi,

batuk dan suara yang serak. Penyakit ini sangat mudah menular dan karenana diagnosanya

dininnya sangat penting. Pada hakekatnya semua pasien dengan laryngitis TB mempunyai TB

paru aktif, sputum yang positif berkisar 90-95%.2

Pemahaman bahwakarsinoma laring juga sering menunjukkan gejala serupa merupakan

keharusanuntuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran pernapasan seperti batuk kronis,

hemoptisis dan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan

merupakan gejala-gejala umum yang sering dijumpai pada pasien dengan tuberkulosis. Pada

laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif dan dapat

menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor, baik pada periode

inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis dapat berkembang, sehingga

diperlukan trakeostomi.Akan tetapi, sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya

sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring

yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik diparu, sehingga bila sudah

mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama. (Referat Laringitis TB)

1

Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut diperlukan agar

dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat guna

mencegah komplikasi yang akan terjadi.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Laring

2.1.1 Anatomi Laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya

menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah.

Batas atas laring adalah aditus laring., sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago

krikoid. Batas depannya ialah permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum

tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas

lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elatikus dan arkus kartilago

krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah m. aritenoid transverses dan lamina kartilago

krikoid. 4

Bangunan kerangkan laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa

buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya

dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan,

kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,

maka otot-otot bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah. Gerakan laring

dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. 4

Otot ekstrinsik ada yang terletak diatas tulang hyoid (suprahyoid), dan ada yang dibawah

tulang hyoid (infrahyoid) . Otot-otot suprahyoid ialah m.digastrikus, m.geniohyoid, m.stilohyoid,

m.milohyoid. Otot-otot yang infrahyoid adalah m.sternohyoid, m.omohyoid, dan m.tirohyoid.

Otot-otot suprahyoid menarik laring ke bawah dan otot-otot infrahyoid menarik laring kebawah.4

Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m

tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m. krikotiroid. Otot-otot tersebut terletak dibagian lateral

3

laring. Otot-otot intrinsik yang terletak di posterior laring ialah m.aritenoid transversum,

m.aritenoid oblik, dan m. krikoaritenoid posterior.4(Gambar 1)

Gambar 1. Otot-otot laring

Diambil dari Illustration in Anatomy Atlas/www.netterimage.com/10 April 2013 pkl.04.20 WIB

Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah adduktor (kontraksinya mendekatkan kedua pita

suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya

akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral).4

4

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago krikoid, kartilago

aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea.4

Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi

krikoaritenoid. 4

Ligamentum yang membenutk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior,

lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior,

ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral dan medial, ligamentum

hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago

arutenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika. 4

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare,

maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu).4

Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glottis, sedangkan antara kedua

pika ventrikularis, disebut rima vestibuli.4

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu

vestibulum laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat

diatas plika ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik.4

Antara plika vokalis dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring

Morgagni. Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian

interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang diantara kedua plika vokalis dan terletak

dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago

aritenoid dan terletak dibagian posterior. 4

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis superior dan n laringis

inferior (Gambar 2,3). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.4

5

Gambar 2. diambil dari www.svpow.com 7 April 2013 pkl.21.30

Pendarahan untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu a.laringis superior dan a.laringis

inferior. Vena laringis superior dan inferior letaknya sejajar dengan a.laringis superior dan

inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.4(Gambar 3)

Gambar 3

diambil dari www.studyblue.com 4 April 2013 pkl.21.45

2.1.2 Fisiologi Laring4

Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta fonasi.

Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk

kedalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan.

6

Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring keatas akibat kontraksi

otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak kedepan akibat kontraksi

m.tiroritenoid dan m. aritenoid. Selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.

Penutupan rima glottis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan

kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik.

Selain itu dengan reflex batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat

dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat

dikeluarkan.

Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila

m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid

bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka (abduksi).

Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan tiga mekanisme, yaitu

gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus makanan

turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.

Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh,

menangis dan lain-lain. Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi. Dengan membuat suara serta

menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis.

Bila plika vokalis dalam keadaan adduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid

kebawah dan kedepan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid

posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belekang. Plika vokalis ini dalam

keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong

kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi serta

mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahya nada.

2.2 Definisi Laringitis Tuberculosa

Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laryngitis tuberkulosis. Laringitis tuberkulosis

adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam jangka waktu lama

yang disebabkanoleh kuman  Mycobacterium tuberculosa.

7

Tuberculosis laring jarang bersifat primer dan hampir selalu disertai dengan tuberculosis

paru. Sputum terinfeksi mengkontaminasi laring menimbulkan ulserasi dan infiltrasi pada

dinding laring dan pembentukan granuloma tuberculosis.5

Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang

lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Radang akut

laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut (common cold). Sedangkan

laringitis kronik merupakan radang kronis laring yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis,

deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oelh

penyalahgunaan suara (vocal abuse) seperti berteriak- teriak atau biasa berbicara keras. Laringitis

kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik. Laringitis kronik non spesifik

dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik oleh penyalahgunaan suara, rangsangan

kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk

tubuh, kelainan metabolik). Sedangkan laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan

sifilis. Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis. Laringitis

tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang terjadi dalam

jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa.3

2.3 Epidemiologi 3

Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami penurunan,

kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun kecenderungan

peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun terakhir. Dulu, dinyatakan

bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda yaitu 20 – 40 tahun. Dalam 20 tahun

belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk yang berumur lebih dari 60 tahun jelas

meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki

dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia

lanjut, terutama pasien-pasien dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak

diantaranya adalah peminum alkohol.

Riwayat kesehatan pada pasien yang sering ditemui meliputi tidak pernah mendapat

vaksinasi BCG, malnutrisi, dan AIDS. Pada umumnya terjadi pada dekade keempat dan lima.

Sebagian pada akhir dekade kedua, laporan mengenai epiglotitis TB meningkat. 2

2.4 Etiologi3

8

Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya tuberkulosis paru

sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur mukosa laring sangat lekat

pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi laring oleh Mycobacterium

tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis paru aktif, dan ini merupakan

penyakit granulomatosis laring yang paling sering.

2.5 Patofisiologi 5

Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung

kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa.

Tuberculosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fosa

interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis, serta terakhir

ialah subglotik.

2.6 Gambaran Klinis5

Secara klinis, laryngitis tuberculosis terdiri dari empat stadium, yaitu:

1. Stadium infiltrasi

2. Stadium ulserasi

3. Stadium perikondritis

4. Stadium pembentukan tumor

1. Stadium Infiltrasi

Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis ialah mukosa laring bagian

posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring

berwarna pucat.

Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak

bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin membesar, serta beberapa

tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat,

karena meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.

2. Stadium Ulserasi

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal, dasarnya

ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh pasien.

3. Stadium Perikondritis

9

Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering terkena

ialah kartilago aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan,

sehingga terbentuk nanah dan berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester

(squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal

dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit ini berlanjut dan masuk dalam

stadium terahir yaitu stadium fibrotuberkulosis.

4. Stadium Fibrotuberkulosis

Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan

subglotik.

2.6 Gejala Klinis5

Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut :

- Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.

- Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul

afoni.

- Hemoptisis.

- Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang

lainnya, merupakan tanda yang khas.

- Keadaan umum memburuk.

- Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologic) terdapat proses aktif ( biasanya pada

stadium eksudatif atau pembentukan kaverne)

2.7 Diagnosa Banding5

1. Laringitis luetika

2. Karsinoma laring

2.8 Diagnostik Laryngitis TB

Anamnesa

Langkah pertama dalam mendiagnosis laryngitis TB adalah dengan mengali informasi

melalui anamnesa terhadap pasien. Anamnesa pada pasien harus kita gali sedalam-dalamnya

dengan memperhatikan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu.

Selain itu riwayat pengobatan dan riwayat paparan terhadap TB juga harus kita tanyakan. 2

10

Perlu kita ketahui bahwa laryngitis TB bisa didahului dengan gejala infeksi TB paru atau

gejala-gejala dari laryngitis TB itu sendiri, hal ini disebabkan karena pada kebanyakan kasus

laryngitis TB didahului dengan infeksi TB Paru. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa

apa yang kita dapatkan pada anamnesa dan pemeriksaan dapat berupa gejala dari infeksi TB Paru

dan Laryngitis TB itu sendiri. 2

Keluhan utama pada anamnesa bervariasi tergantung stadium klinis dari laryngitis TB yang

diderita oleh pasien. Berikut adalah beberapa keluhan utama yang biasa ada pada laryngitis TB :

Rasa panas dan tertekan di daerah laring.

Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat

timbul afoni.

Hemoptysis.

Nyeri telan hebat yang dirasakan melebihi dari neyri telan karena radang yang khas,

merupakan tanda khas dari laryngitis TB. 4

Riwayat penyakit sekarang dan dahulu adalah ditanyakan apakah ada tanda-tanda penyerta

dari infeksi TB Paru. Tanda-tanda tersebut ialah sperti batuk yang sudah berminggu-minggu,

berdahak berwarna kuning, penurunan berat badan atau bahkan terapi TB Paru yang tidak tuntas.

Kita juga harus menanyakan juga apakah ada orang sekitar yang terkena TB untuk menegakkan

paparan terhadap kuman TB. 2,4

Pemeriksaan Fisik 2,6

Setelah kita lakukan anamnesa kita lanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik

dimulai dengan melihat keadaan umum dari pasien. Kedaan umum dari pasien umumnya dalam

keadaan buruk karena laryngitis tb adalah komplikasi yang biasanya menyertai infeksi TB paru

yang tidak tertangani.

Setelah itu dilakukan inspeksi pada laring maka akan terlihat pembengkakan dan luka pada

pita suara. Kadang kala disertai dengan pembentukan massa berwarna abu-abu. Hiperemi dan

edema juga dapat ditemukan disekitar laryng. (Gambar 4)

11

Gambar 4 A) gambaran laryngoscopy pada pasien 37 tahun dengan bentukan ulkus pada pita

suara. B) gambaran foto chest x-ray pasien tersebut dengan bentukan infiltrat pada daerah atas

kiri dari paru-paru. C) gambaran laryngoscpoy pada pasien 50 tahun dengan bentukan ulkus dan

massa berwarna abu-abu pada pita suara. D) foto x-ray pada pasien tersebut dengan bentukan

infiltrat pada kedua paru-paru. Kedua pasien tersebut dinyatakan mengidap TB dengan hasil

pemeriksaan sputum BTA positif.

Pada pemeriksaan palpasi maka akan didapatkan bentukan limfadenitis tb. Limfadenitis

biasa terjadi pada leher dan axilla pasien. Limfadenitis berkonsistensi keras dan imobil.

Limfadenitis juga tidak mempunyai batas tegas. (Gambar 5)

12

Gambar 5 Gambaran Lifadenitis TB

Palpasi pada pasien dengan laryngitis tb baru menunjukkan tanda-tanda yang signifikan

jika sudah ada manifestasi infeksi TB paru. Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa

ketika meletakkan tangan di dada pasien saat pasien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan

oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada

dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada

dinding dada disebut taktil fremitus. Pada pasien dengan TB paru vremitus taktil meningkat.

Perkusi pada pasien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan

resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada pasien dengan TB paru yang disertai

komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai

banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan

bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang

sehat.

Pemeriksaan Penunjang 7,8

Foto Rontgen

Foto rontgen pada penderita laryngitis TB dilakukan dengan dua metode yaitu foto lateral

dari leher dan foto frontal dari dada. Pada foto lateral leher didapatkan penebalan

13

epiglottis dan jaringan sub epiglottis (Gambar 6). Sedangkan pada foto dada dapat terlihat

pembentukan infiltratif bahkan hingga kavitas

Gambar 6 Panah yang lebih panjang menunjukkan penebalan epiglottis. Panah yang lebih

pendek menunjukkan penebalan jaringan subepiglottis.

14

Gambar 7 Terlihat infiltrat reticulonodular pada kedua bagian atas dari paru-paru

CT SCAN

CT Scan pada pasien laryngitis TB dilakukan pada bagian leher. Pada potongan setinggi

supra glottic di gambar PP 3 bagian A terlihat penebalan jaringan pelipatan aryepligottic

(panah berwarna putih) dan pembesaran jaringan limfa leher bagian dalam (panah

berwarna hitam). Pada potongan setinggi pita suara di gambar b terdapat pembesaran

jarinagan paralaryngeal bilateral (ditunjuk dengan panah). Pada potongan setinggi glottis

di gambar C terdapat penebalan jaringan yang memanjang sampai commisura

anterior(ditunjuk dengan panah).

15

Gambar 8 Foto CT SCAN Leher Axial

Gambar 9 Gambar A CT SCAN Leher potongan Coronal. Gambar B CT SCAN Leher

potongan Sagittal

Pada gambar PP 4 terlihat 2 macam hasil CT SCAN penderita laryngitis TB. Pada

gambar A terlihat penebalan pelipatan aryepiglottic dan supraglottic dengan hancurnya

jaringan lemak paralaryngeal. Pada gambar B terlihat penebalan epiglottis (panah putih)

dan penebalan jaringan pre-epiglottis (panah hitam).

16

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3

spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untukmengumpulkan dahak pagi

pada hari kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saatmenyerahkan dahak

pagi.

2.9 TERAPI 7

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi

kuman terhadap OAT.

Pada pasien laryngitis TB cara dan parameter evaluasi sama dengan penderita tb pada

umumnya. Pembeda dari laryngitis TB adalah masa pengobatannya yang lebih lama karena

infeksi TB telah masuk ke jaringan tulang.

Tabel 1. Jenis, Sifat dan Dosis OAT

17

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT –KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT=

Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah

terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

di Indonesia:

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

Kategori Anak: 2HRZ/4HR

18

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam

bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam

satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak. Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi

pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)

paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan

mengurangi efek samping.

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat

ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana

dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Paduan OAT dan peruntukannya.

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru

TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra

paru.

Tabel 2. Dosis dan Panduan untuk KDT OAT kategori 1

19

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA

positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh.

Pasien gagal.

Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).

Tabel 3. Dosis dan Panduan untuk KDT OAT kategori 2

Catatan:

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg

tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan

khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

20

3. OAT Sisipan (HRZE). Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap

intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Tabel dosis dan panduan

untuk KDT OAT sisipan

Tabel 4. dosis dan panduan untuk KDT OAT sisipan

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)

dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas

karena potensi obat tersebut jauh lebi h rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu

dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan

pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik

dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju

Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak

spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen

sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen

tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang

dahak tersebut dinyatakan

positif.

Tabel 5. Tindak Lanjut

Hasil

Pemeriksaan Dahak

21

Hasil Pengobatan

Sembuh. Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang

dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap. Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

Meninggal. Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab

apapun.

Pindah. Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan

hasil pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau

lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Gagal. Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Efek Samping Pengobatan

Table 6. Efek Samping Ringan Pengobatan

22

Table 7. Efek Samping Berat Pengobatan

DAFTAR PUSTAKA

23

1. ____. 2010. Medical Jurnal. Laringitis.diambil dari http://dinarhealth.blogspot.com

/2010/06/laringitis.html pada 10 April 2013 pkl.05.00 WIB

2. Beltagi, Ahmad H El.,et al. 2011. Case Report : Acute tuberculous laryngitis presenting

as acute epiglottitis. Head and Neck Radiology vol.21; pg. 284-286.tersedia di

www.ijri.org pada 09 April 2013 pkl.15.00 WIB

3. Azzilzah, Yarah.,dkk. 2012. Referat : Laringitis Tuberkulosis. Tersedia di

http://www.slideshare.net/yar_azz/laringitis-tuberkulosa pada 7 April 2013 pkl.

14.00WIB

4. Soepardi, Efiaty. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

dan Leher Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan

Leher FKUI. hal.239-241

5. Adams, George L. dkk. 1997. BOIES, Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta. hal.386

6. Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

7. Aditama, Tjandra. 2006 Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

8. Hsiao, Tsu-Yu. Journal of voice : official journal of the Voice Foundation 1 March 2011

(volume 25 issue 2 Pages 230-235 DOI: 10.1016/j.jvoice.2009.09.008)

24