makalah THT skenario 4.docx

78
Modul XVI (THT)-Skenario 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah National Cancer Institute di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada tahun 1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas. Dari seluruh tumor ganas tersebut, insidens karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa ialah sebanyak 600.000 penderita. Tercatat pula jumlah penderita tumor ganas leher dan kepala sebanyak 78.000 orang lebih dari 75% adalah karsinoma sel skuamosa. Dari seluruh penderita tumor ganas yang tercatat pada tahun 19991 tersebut, 10% penderita meninggal dunia dalakm tahun pertama, di antaranya 3-4% adalah penderita dengan keganasan pada leher-kepala. Pada awal Januari 1997 dilaporkan bahwa kira-kira 33% penderita tumor ganas leher dan kepala telah meninggal dunia. Secara keseluruhan, angka rata-rata bertahan hidup 5 tahun untuk tumor ganas leher dan kepla berkisar sebanyak 50-60% untuk tumor primer saja dan bertahan hidup 5 tahun sebanyak 30% pada penderita tumor primer yang bermetastasis. Perokok berat dan peminum alkohol, mempunyai resiko timbulnya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, Small Group Discussion 19 1

Transcript of makalah THT skenario 4.docx

Page 1: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

National Cancer Institute di Amerika Serikat, melaporkan bahwa pada tahun

1991 terdapat 6 juta penderita tumor ganas. Dari seluruh tumor ganas tersebut,

insidens karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa ialah sebanyak 600.000

penderita. Tercatat pula jumlah penderita tumor ganas leher dan kepala sebanyak

78.000 orang lebih dari 75% adalah karsinoma sel skuamosa.

Dari seluruh penderita tumor ganas yang tercatat pada tahun 19991 tersebut,

10% penderita meninggal dunia dalakm tahun pertama, di antaranya 3-4% adalah

penderita dengan keganasan pada leher-kepala.

Pada awal Januari 1997 dilaporkan bahwa kira-kira 33% penderita tumor

ganas leher dan kepala telah meninggal dunia. Secara keseluruhan, angka rata-rata

bertahan hidup 5 tahun untuk tumor ganas leher dan kepla berkisar sebanyak 50-

60% untuk tumor primer saja dan bertahan hidup 5 tahun sebanyak 30% pada

penderita tumor primer yang bermetastasis.

Perokok berat dan peminum alkohol, mempunyai resiko timbulnya karsinoma

sel skuamosa pada rongga mulut, faring dan laring. Juga tercatat bahwa pada

penderita yang mengunyah tembakau seperti yang terdapat di India, sangat

mungkin menderita tumor ganas rongga mulut. Sinar matahari sangat

mempengaruhi resiko timbulnya kanker tiroid dan kelenjar liur. Penderita yang

bekerja dan memanfaatkan kulit binatang, krom dan bekerja di pabrik nikel sangat

mungkin menderita kanker hidung dan sinus paranasal. Dua per tiga dari seluruh

tumor ganas leher dan kepala, terdapat pada rongga mulut dan laring. Distribusi

keganasan di bidang telinga hidung tenggorok terdapat kira-kira 42% tumor ganas

rongga mulut, 25% laring, 15% orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar,

4% nasofaring, 4% hidung dan sinus paranasal dan 3% tiroid, dan jaringan ikat

lainnya. Karsinoma sel skuamosa ini dapat berdiferensiasi buruk, sedang dan baik.

Small Group Discussion 19 1

Page 2: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Sehubungan dengan terdapatnya tumor primer pada organ telinga hidung

tenggorok, tumor primer ini akan memberikan gejala-gejala pada tempat tersebut

seperti odinofagia, disfagia, trismus, fetor ex ore, gangguan bentuk muka,

neuropatia, sumbatan hidung, mimisan, gejala aspirasi, sumbatan jalan napas,

kerusakan pada mukosa dan kulit, perdarahan serta pembesaran kelenjar di daerah

leher dan sekitarnya. Tumor ganas di bidang telinga hidung tenggorok ini

disamping memberikan penjalaran atau infiltrasi ke jaringan sehat di sekitar tumor

primer, juga memberikan penyebaran pada kelenjar-kelenjar limfa yang terdapat

pada leher dan sekitarnya.

Tumor ganas tersebut juga dapat bermetastasis jauh seperti ke paru, hati,

tulang, otak, traktus gastrointestinal. Sehingga dapat dikatakan disampaing adanya

tumor primer, mungkin saja terdapat metastasis pada kelenjar leher dan metastasis

jauh.

Menyadari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh tumor tersebut bagi tubuh

manusia, maka sebagai mahasiswa/i Fakultas Kedokteran, kami mencoba

menyusun sebuah makalah yang berjudul “Tumor Telinga Hidung Tenggorok

(THT)”. Hal tersebut menurut kami sangat penting untuk dibahas dalam rangka

agar dapat menciptakan dan mewujudkan suatu motivasi kedepan bagi kita

semua untuk menuju kehidupan yang bahagia.

Disamping itu didalam perkembangan ilmu kedokteran yang sangat dinamis

sehingga menuntut mahasiswa untuk terus belajar dan menggali ilmu tanpa

mengenal waktu, hal itu sangat diperlukan terhadap mahasiswa yang menjadi

calon dokter masa depan di negara Indonesia, jadi dengan konsep keilmuan yang

baik maka lahirlah seorang dokter yang kompeten dan dipercaya oleh masyarakat,

itulah yang merupakan salah satu latar belakang kami dalam penyusunan makalah

ini.

Small Group Discussion 19 2

Page 3: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

1.2 Tujuan Pembahasan

Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan

berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana

tujuannya dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini

bertujuan menambah wawasan mahasiswa/i dalam menguraikan suatu persoalan

secara holistik dan tepat, dan melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/i

fakultas kedokteran, dimana pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi

seorang dokter agar mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat.

Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan para pembaca tentang tumor Telinga Hidung

Tengggorok (THT).

2. Mengetahui etiologi dan faktor risiko tumor Telinga Hidung Tengggorok

(THT).

3. Memahami patofisiologi terjadinya tumor Telinga Hidung Tengggorok

(THT).

4. Mengetahui pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis tumor Telinga

Hidung Tengggorok (THT).

5. Mengetahui penatalaksanaan tumor Telinga Hidung Tengggorok (THT).

6. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.

7. Melengkapi tugas small group discussion modul XVI skenario 4.

8. Sebagai bahan referensi mahasiswa/i fakultas kedokteran UISU semester

lima dalam menghadapi ujian akhir modul.

Itulah yang merupakan tujuan kami dalam penyusunan makalah ini, dan juga

sangat diharapkan dapat berguna bagi setiap orang yang membaca makalah ini.

Semoga seluruh tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik.

Small Group Discussion 19 3

Page 4: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini kami dihadapkan pada suata sistem yaitu ada

suatu masalah yang harus disusun dalam suatu skema, dimana skema ini juga

sekaligus menjadi pembatasan masalah yang akan dibahas pada makalah ini,

berikut merupakan pembatasan masalah dari Modul XVI skenario 4.

Small Group Discussion 19 4

Laki-laki 55 thn

Keluhan : hidung tersumbat, epistaksis, diplopia, benjolan leher unilateral, dan

gangguan pendengaran.

Setelah pemeriksaan oleh dokter THT, dirujuk ke bagian PA dan Radiologi

Tumor Telinga Hidung Tenggorok (THT)

Klasifikasi

Definisi

Etiologi

Patofisiologi

Gejala dan Tanda

Pemeriksaan

Penatalaksanaan

Komplikasi

Page 5: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

1.4 Metode dan Teknik

Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang

sering digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, dimana

kami menggunakan metode dan teknik secara deskriftif dimana tim penyusun

mencari sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu

dianalisis sehinggga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas

setelah itu berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber tersebut

disimpulkan sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai dengan

judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.

Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan

makalah ini.\

Small Group Discussion 19 5

Page 6: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

Dalam pembahasan pada makalah ini awalnya kami mulai dari sebuah

skenario yang diberikan yaitu :

Modul XVI ( THT )

Skenario 4

TUMOR THT

Seorang pasien laki-laki umur 55 tahun datang berobat ke Poliklinik THT

dengan surat pengantar dari dokter Puskesmas. Pasien mengeluhkan belakangan

ini sering mengalami hidung tersumbat dan kadang-kadang epistaksis, diplopia,

ada benjolan leher unilateral dan gangguan pendengaran.

Setelah pemeriksaan oleh Dokter THT, pasien dirujuk ke bagian Patologi

Anatomi dan Radiologi.

Dari skenario diataslah kami menuju kepada suatu proses pembelajaran,

dimana awalnya dimulai dari penentuan keyword, dimana keyword ini berguna

bagi kami dalam menentukan dari permasalahan yang ada dalam skenario tersebut

untuk dibahas secara tepat.

Berikut akan dijelaskan beberapa Keyword, ini sangat penting karena dengan

memahami kata-kata kunci ini maka, penyusunan pada makalah akan sistematis.

2.1.1 Keyword

1. Epistaksis

2. Diplopia

3. Unilateral

Small Group Discussion 19 6

Page 7: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Dari berbagai kata kunci diatas maka kami akan membahas berbagai hal

mengenai permasalahan yang harus diterjemahkan kedalam bentuk pembahasan

secara tepat.

2.2 Learning Objective

Dan selanjutnya kami akan menuju kepada suatu proses pembelajaran,

dimana dengan mencari Learning Objective, yang berguna bagi kami dalam

menentukan dari permasalahan yang ada dalam skenario tersebut untuk dibahas

secara tepat. Setelah kami melakukan diskusi selama satu minggu dalam dua kali

pertemuan kami dapat menyimpulkan Learning Objectivenya adalah sebagai

berikut :

1. Mengetahui klasifikasi dan definisi tumor Teling Hidung Tenggorok

(THT).

2. Mengetahui etiologi tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

3. Mengetahui gejala dan tanda tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

4. Mengetahui patofisiologi tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

5. Mengetahui pemeriksaan tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

6. Mengetahui penatalaksanaan tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

7. Mengetahui komplikasi tumor Teling Hidung Tenggorok (THT).

2.3 Tumor Ganas Telinga

Tumor ganas telinga adalah tumor ganas pada bagian telinga baik di telinga

luar, telinga tengah maupun telinga dalam.

Etiologi

Penyebab yang pasti belum jelas benar. Tersebut sebagai faktor penyebab

antara lain iritasi kronik seperti sinar matahari, infeksi kronik dan sebagainya.

Faktor herediter dan usia juga berperan penting.

Small Group Discussion 19 7

Page 8: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Patologi

Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut:

A. Tumor epitel

1. Tumor ganas epitel permukaan

a. Karsinoma sel skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering

ditemukan. Predileksi utamanya adalah di liang telinga. Lewis

mendapatkan 11 % dari tumor ini telah bermetastasis ke kelenjar leher

pada saat pertama kali pasien datang.

b. Karsinoma sel basal

Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering

ditemukan di daun telinga. Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke

telinga tengah, mastoid dan bagian skuamosa tulang temporal.

2. Tumor ganas epitel kelenjar

Adenokarsinoma

Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen

di liang telinga ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.

B. Tumor mesenkim

Sarkoma

Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering

ditemukan pada usia muda. Tumor ini bersifat invasif secara local, cepat

membesar, metastasis jauh melalui aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak

mengenai kelenjar limfe regional.

C. Tumor ganas yang asalnya susah diketahui

Melanoma maligna

Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga

ataupun di telinga tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan

pembesaran kelenjar limfe regional walaupun tumornya masih kecil.

Small Group Discussion 19 8

Page 9: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Patogenesis

a. Telinga luar

Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang

telinga, kemudian berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya

merusak kartilago menyebar kea rah telinga tengah dan mastoid. Karsinoma

sel skuamosa liang telinga luar dapat tampak seperti massa polipoid berwarna

merah. Tumor bisa berinvasi ke tulang rawan atau tulang atau menembus

membrane timpani ke telinga tengah, mastoid dan kanalis fasialis.

Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologiadalah karsinoma sel basal.

b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius )

Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah

mastoid dan daerah sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat

dianggap primer, menunujukkan asalnya dari tulang temporal, atau sekunder

yang menunjukkan metastase ke tulang temporal dari suatu tempat yang jauh,

atau menginvasi telinga dari daerah sekitarnya, biasanya kelenjar parotis.

Small Group Discussion 19 9

Page 10: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

c. Telinga dalam

Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic

neuroma). Tumor ini tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga

terjadi pada kasus neurofibromatosis. Vestibular schwannoma sebagian besar

berasal dari glial-neurilemmal junction dari saraf kranial ke delapan, yang

umumnya terletak di antara meatus auditorius interna.Metastase tumor dapat

terjadi ke telinga tengah, namun hal tersebut jarang terjadi.

Tumor Primer

Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan

yang paling lazim dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat

bulbus jugularis pada dasar telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di

manapun dalam telinga tengah. Secara histologist tumor serupa dengan tumor

korpus karotis atau kemodektoma. Suatu varian ganas telah dilaporkan namun

sangat jarang. Dengan ekspansinya tumor dapat merusak jaringan di sekitarnya

dan menyebabkan gangguan pendengaran dan rasa penuh pada telinga dan pada

beberapa kasus dapat meluas ke basis cranium, menimbulkan komplikasi saraf

kranialis dan intrakranialis. Tumor ini sangat vascular, dan seringkali dapat

terlihat sebagai suatu massa keunguan di dasar telinga tengah lewat membrane

timpani yang semitransparan. Kepucatan yang timbul pada penekanan dengan

otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain termasuk neurofibroma

saraf fasialis, hemangioma dan osteoma.

Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain: karsinoma sel

skuamosa, rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.

Tumor dapat pula meluas ke anterior lewat fisura – fisura menuju kelenjar parotis

dan fossa pterigomaxillaris. Tumor ganas telinga tengah yang paling umum pada

dewasa adalah karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma. Tumor ganas yang

paling sering meluas dari liang telinga ke telinga tengah adalah karsinoma sel

skuamosa. Tumor lain yang berasal dari liang telinga dan meluas ke telinga

tengah (lebih jarang) adalah karsinoma kistik adenoid, melanoma maligna dan sel

basal karsinoma yang ditelantarkan.

Small Group Discussion 19 10

Page 11: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Tumor sekunder

Tumor yang berasal dari fokus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga

tengah, mastoid dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma

payudara, hipernefroma atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna

dan melanoma.

Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari

daerah sekitar seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma,

karsinoma kistik adenoid dan mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker

nasofaring yang meluas hingga ke tuba Eustachius. Keganasan hematologis

seperti limfoma maligna dan leukemia sering menyebabkan tulang temporal

hamper selalu memperlihatkan sumsum tulang apeks petrosa dan juga

menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius, menimbulkan gangguan

pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia berat atau terminal

dapat terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat mendadak

dan gejala – gejala vestibular.

Gejala Klinis

Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran,

dan vertigo bila labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila

tumor mengerosi dinding kanalis posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun

dalam hal ini biasanya terjadi pada akhir perjalanan penyakit.

Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa

ulserasi tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor

ganas liang telinga dan telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak

cepat dapat terlihat dan gejalanya seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi

oleh karena biasanya penyakit ini timbul pada telinga yang sebelumnya telah

menderita otitis media supuratif kronik.

Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi

hemorhargik. Nyeri yang hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis

media, tetapi bila tumor ganas telinga disertai nyeri hebat, sangat mungkin

Small Group Discussion 19 11

Page 12: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

disebabkan oleh invasi tumor ke tulang. Paresis fasial perifer sering terjadi di

samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Terkenanya n. IX,

X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan

menandakan penyakit yang incurable.

Diagnosis

Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telingaatau dari leher.

Otitis eksterna kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang

telinga.

Gambar 2.5 Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga

Gambar 2.6 Adenoma telinga tengah

Small Group Discussion 19 12

Page 13: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Gambar 2.7 Vestibular Schwannoma

Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk

melihat lokasi tumor dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran

radiologi rencana pembedahan dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik.

Politomografi dan CT scan dengan bidang aksial dan koronal akan dapat

membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih memperlihatkan perluasan tumor.

Tomogram lateral penting untuk memperlihatkan erosi dinding liang telinga.

Erosi di dinding tulang yang membatasi telinga tengah dapat dilihat pada

potongan koronal tomogram.

Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat

dilihat dengan CT Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang –

kadang diperlukan untuk melihat apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan

bulbus jugularis atau ke a. karotis interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi

penunjang, tumor dapat menimbulkan gejala pengeluaran secret, khususnya sekret

berdarah.

CT scan

CT scan dengan kontras merupakan uji diagnostik yang paling bermanfaat.

Angiografi dan Venografi

Pada beberapa kasus perlu dilakukan angiografi dan venografi jugular retrograde

untuk menegakkan diagnosis dan menentukan suplai darah dan derajat tumor.

Small Group Discussion 19 13

Page 14: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Klasifikasi

Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM

dari UICC tahun 1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah

medial menjadi 3 golongan yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik:

1 .Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian

tulang rawan liang telinga.

2 .Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu

bagian tulang dari liang telinga dan korteks mastoid.

3. Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga

tengah, kanalis fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya

pembesaran kelenjar limfe regional harus diperhatikan secara terpisah.

Penatalaksanaan

Tindakan Operasi

Suatu diagnosis jaringan sudah tentu memerlukan eksplorasi bedah pada

tempat tersebut dan pembedahan merupakan bentuk pengobatan yang lebih

disukai pada kebanyakan kasus. Bila tumor luas sering terdapat indikasi gabungan

pembedahan dan radioterapi. \

Oleh karena kompleksnya teknik operasi dan letak tumor, serta sulitnya

melakukan rekonstruksi luka operasi, kadang – kadang reseksi yang adekuat dari

luas operasi harus dikompromikan.

1. Tumor ganas daun telinga

Tumor ganas yang masih terbatas pada daun telinga dapat diangkat dengan

berbagai macam cara insisi dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi daun

telinga.

2. Tumor ganas liang telinga

Tindakan operasi tumor ganas liang telinga lebih rumit oleh karena letak

anatominya yang berdekatan dengan koklea dan labirin, n. VII serta kaput

mandibula.

Tumor ganas liang telinga yang masih terbatas pada bagian membrane (1/3

luar) memerlukan eksisi luas jaringan lunak diikuti dengan tandur kulit.Tumor

Small Group Discussion 19 14

Page 15: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

ganas yang mengenai bagian tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan

ekstirpasi luas mencakup seluruh liang telinga beserta membrane timpani dengan

memperhatikan usaha untuk mencegah trauma n. VII. Teknik operasinya disebut

reseksi partial tulang temporal.

Cara reseksi partial tulang temporal ialah dengan melakukan mastoidektomi

simple untuk mengidentifikasi n. VII. Kemudian mengangkat seluruh liang telinga

dan membrane timpani secara utuh. Untuk tindakan ini pendekatan dilakukan dari

dua arah. Yang pertama di sebelah atas liang telinga melalui epitimpanum dan

ramus zigoma kearah rongga sendi temporomandibula. Pendekatan kedua

dilakukan dengan membuat lubang – lubang kecil di sebelah depan kanalis fasialis

dengan bor kecil ke arah resesus fasialis di kavum timpani untuk mencegah

paresis fasial waktu pengangkatan seluruh liang telinga secara luas. Sisa

perlekatan setelah kedua pendekatan operasi itu dilakukan dilepaskan dengan

bantuan osteotom.

Jika pneumatisasi mastoid buruk maka dilakukan pengangkatan liang telinga

sedikit demi sedikit (“piecemeal removal”). Pasca operasi diberikan radiasi,

terutama bila diduga ada sisa – sisa tumor yang tertinggal.

3. Tumor ganas telinga tengah dan mastoid

Bila tumor ganas sudah mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka

dilakukan reseksi tulang temporal subtotal. Pada operasi ini dilakukan

pengangkatan seluruh tulang temporal di sebeah lateral dari meatus akustikus

internus, sehingga hanya apeks petrosus yang tertinggal. Pendekatan

dilakukan melalui tiga arah. Pendekatan dari arah superior dengan membuang

sebagian besar tulang skuamosa sehingga tampak dura di daerah itu,

kemudian tulang petrosus dicapai.

Pendekatan dari arah posterior dengan melakukan insisi tulang pada garis

vertical tepat di belakang tulang mastoid untuk membebaskan sinus sigmoid dan

sinus lateral. Pendekatan dari arah anterior dilakukan dengan melakukan insisi

pada prosessus zigomatikus, prosessus kondiloideus mandibula, kemudian ke fosa

glenoidea sehingga hampir mencapai a. karotis dan tampak tuba Eustachius.

Small Group Discussion 19 15

Page 16: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Kemudian basis prosessus stiloideus dipotong. Jaringan dapat dilepaskan

denganmenempatkan pahat di sebelah medial alur digastrik lalu memotong tulang

ke arah atas.

Bila tumor telah mencapai apeks petrosus, maka dapat dilakukan reseksi total

tulang temporal. Untuk membuang apeks petrosus diperlukan diseksi a. karotis

dan melepaskan apeks petrosus dari dasar tengkorak. Tindakan ini penuh risiko

terjadinya trauma a. karotis dan kebocoran cairan otak yang akan lebih sukar

diatasi. Oleh karena tindakan ini mempunyai komplikasi berbahaya yang tinggi

sekali dan prognosisnya tidak lebih baik dari reseksi subtotal, hanya sedikit ahli

yang melakukannya. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa bila tumor telah

mengenai apeks petrosus maka tumor sudah tidak mungkin di operasi lagi.

Radioterapi

Para radioterapis pada umumnya sependapat bahwa segala jenis radioterapi

untuk karsinoma yang telah menginvasi tulang sedikit sekali gunanya.Radioterapi

pre – operatif diindikasikan untuk tumor yang telah menyebar luas dimana telah

terjadi penyebaran ke dura. Dosis radiasi pre operatif tidak melebihi 4000 rad.

Radioterapi pasca operatif diindikasikan untuk pasien yang telah menjalani

operasi sebelum tindakan reseksi tulang temporal. Juga untuk kasus yang pada

saat operasi tidak jelas batas tumornya sehingga tidak bisa terangkat semuanya

ataupun pada tumor yang besar walaupun tepi operasi dianggap bebas tumor.

Pemberian radiasi dianjurkan 4 – 6 minggu setelah tindakan operasi dengan dosis

yang tidak melebihi 4500 rad.

Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang sangat lanjut atau kasus yang

kambuh setelah tindakan operasi dengan tujuan untuk mengatasi otore yang

banyak, nyeri dan perdarahan. Tumor yang tidak lagi dapat direseksi

memperlihatkan respon dengan radioterapi.

Small Group Discussion 19 16

Page 17: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

2.4 Tumor Hidung dan Sinonasal

Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan

lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar

dan vestibulum nasi.

Klasifikasi Tumor :

1. Tumor Jinak

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis

mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2

jenis papiloma;

1. Eksofitik atau fungiform

2. Endofitik disebut papiloma inverted

Papiloma inverted ini bersifat sangat invasif, dapat merusak

jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan

dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-

laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral

atau maksilektomi media.

2. Tumor Ganas

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%),

disusul oleh karsinoma yang berdiferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus

maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-

25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang

terkena. Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (< 5%) karena rongga

sinus sangat miskin dengan sistem limfa kecuali bila tumor sudah

menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan sistem

limfatik.

Metastasis jauh juga jarang ditemukan (< 10%) dan organ yang sering

terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

3. Invasi Sekunder

a. Pituitary adenomas

b. Chordomas

Small Group Discussion 19 17

Page 18: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor

odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor

orbita dan apparatus lakrimal)

Epidemiologi dan etiologi

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2

per 10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUIRSCM, keganasan ini

ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki

banding wanita sebesar 2:15.

Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat

hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,

formaldehid, kromium, minyak isopropyl, dll.

Banyak laporan mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-

pekerja industri penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Risiko kanker juga

meningkat pada tukang sepatu dan boot. Karena kompleksnya paparan faktor

lingkungan pada para pekerja tersebut, agen yang berperan sulit diidentifikasi.

Paparan hidrokarbon juga meningkatkan kanker hidung. Alkohol, asap rokok,

makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi

keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi

keganasan.

Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000

penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di

Jepang dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan

dengan Amerika Serikat.

Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan

pada anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu

7:100.000 pada pasien dalam delapan dekade.

Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari

kavum nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum.

Untuk tumor yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.

Small Group Discussion 19 18

Page 19: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Jenis Histopatologi

Tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma,

Tumor jinak non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma,

neurolemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain.

Tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista

tulang dan lain-lain.

Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kalenjar liur,

adenokarsinoma, karsinoma tanpa differensiasi dan lain-lain.

Tumor ganas non-epitelial adalah hemangioperisitoma, bermacam-macam

sarcoma termasuk rabdomiosarcoma dan osteogenik sarcoma ataupun

keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma, atau

pun polimorfik retikulosis sering juga di temukan di daerah ini.

Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis

bersifat ganas karena tumbuh agresif mendekstrusi tulang, misalnya papiloma

inverted, displasia fibrosa ataupun ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi

harus radikal.

Gejala dan tanda

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor

di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,

sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung,

rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Gejala nasal

Obstruksi hidung unilateral dan rinorea.

Sekret sering bercampur darah atau terjadi epistaksis

Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi

deformitas hidung.

Small Group Discussion 19 19

Page 20: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan

nekrotik.

2. Gejala orbital

Diplopia

Protosis atau penonjolan bola mata

Oftalmoplegia

Gangguan visus

Epifora

3. Gejala oral

Penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris.

Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah.

Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi

tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

4. Gejala fasial.

Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. disertai

nyeri.

anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala intrakranial

Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,

oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan

otak yang keluar melalui hidung.

Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya

bisa terkena.

Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya

muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang

dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

Pemeriksaan fisik

Inspeksi

Perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis,

perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas berarti

Small Group Discussion 19 20

Page 21: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

tumor yang berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral berarti tumor

berasal dari sinus frontal atau etmoid.

Rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior

Periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring. Deskripsi massa sebaik

mungkin, apakah permukaannya licin, merupakan pertanda tumor jinak atau

permukaan berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda

tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti

tumor berada di sinus maksila.

Untuk memeriksa rongga oral disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan

menggunakan sarung tangan. Palpasi gusi, rahang atas, dan palatum. Apakah

ada penonjolan, nyeri tekan, atau gigi goyah.

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinoskopi dapat membantu menemukan

tumor dini.

Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu di cari meskipun tumor ini

jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

Pemeriksaan penunjang

Foto polos → diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan

perselubungan padat unilateral, harus di curigai keganasan dan buatlah

tomogram atau CT Scan.

CT scan → memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi tulang.

MRI → membedakan jaringa tumor dari jaringan normal tetapi kurang

begitub baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.

Foto polos paru → melihat adanya metastasis tumor di paru.

Diagnosis

Diagnosis pasti di tegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika

tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus

di lakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat di lakukan melalui tindakan

sinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sukus

ginggivo-bukal.

Small Group Discussion 19 21

Page 22: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Jika di curigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma,

jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang

terjadi. Diagnosis dapat di tegakkan dengan pemeriksaan angiografi.

Stadium Tumor Ganas

Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di

Indonesia adalah klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk

karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus

sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang

ditemukan. keganasan yang tumbuh di kulit sekitar hidung dan sinus paranasal

seperti basalioma dan melanoma malignum tidak termasuk dalam klasifikasi

tumor hidung dan sinus paranasal.

Perluasan tumor primer untuk sinus maksilaris menurut AJCC ialah sebagai

berikut:

TX: tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : tidak ada tumor primer

Tis: karsinoma in situ

T1: tumor terbatas pada mukosa antral tanpa erosi atau hancurnya tulang

T2: tumor dengan eroasi dari infrastruktur termasuk palatum durum, meatus nasi

medial, atau keduanya

T3: tumor menginvasi: kulit pipii, dinding posterior sinus maksila, lantai atau

dinding medial rongga orbita, sinus ethmoidalis anterior

T4: tumor menginvasi isi orbita, lamina kribrosa, sinus etmoidalis posterior atau

sfenoid, nasofaring, palatum molle, fossa pterigomaksilar atau temporal atau

basis kranii.

Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan sebagai berikut:

N0: tidak diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional

N1: metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar ≤ 3 cm

N2: diameter terbesar > 3 cm dan < 6 cm

N3: diameter terbesar > 6 cm

Metastasis jauh dikategorikan sebagai:

Small Group Discussion 19 22

Page 23: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

M0: tidak ada metastasis

M1: ada metastasis

Penatalaksanaan

Pembedahan

Bedah tumor endonasal terdiri dari reseksi tumor dibawah kendali

endoskop, diikuti dengan eksisi jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya.

Pembedahan di kontraindikasikan pada kasus-kasus yang telah

bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor

sudah mengenai kedua orbita.

Kemoterapi

Bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis atau residif atau jenis

yang sangat baik dengan kemoterapi misalnya limfoma malignum.

Pada tumor jinak di lakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu di

lakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan).

Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya di

lakukan maksilalektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal.

Maksilektomi radikal di lakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai

seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita.

Untuk tumor di rongga hidung, radioterapi dan reseksi bedah meberikan hasil

yang sama untuk lesi-lesi dini. Untuk menghindarkan rekurensi tumor di rongga

hidung umumnya mengkombinasikan terapi bedah dengan radioterapi

Untuk kanker di sinus maksilaris, maksilektomi adalah prosedur pilihan dan

umumnya diiikuti oleh radiasi postoperasi. Untu kkanker yang menyebar ke arah

orbita, jika masih T1 atau T2, mata dapat tetap dipertahankan, akan tetapi jika

sudah mencapai lantai atau dinding rongga orbita sebaiknya dilakukan

pembunagan dinding orbita atau enukleasi.

Jika tumor sudah masuk ke rongga intrakranial di lakukan reseksi

kraniofasial atau kalau perlu kraniotomi, tindakan di lakukan dalam tim bersama

dokter bedah syaraf.

Small Group Discussion 19 23

Page 24: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Rekonstruksi dan rehabilitasi

Sesudah maksilektomi total, harus di pasang prostesis maksila sebagai

tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan

fungsi menelan dan berbicara dengan baik, di samping perbaikan kosmetis

melalui tindakan operasi bedah plastik.

Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi prognosis, yaitu perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer,

perluasan tumor, pengobatan yang di berikan selanjutnya, status batas sayatan,

terapi adjuvan yang di berikan, status imunologis, lamanya follow up dll.

Walaupun demikian pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan

menghasilkan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan

meningkatkan angka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh

stadium tumor.

2.5 Karsinoma Nasofaring

Small Group Discussion 19 24

Page 25: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,

2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009).

Daerah Nasofaring

Etiologi

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin

mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF

adalah:

1. Kerentanan Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat

tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis

korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen

pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

Small Group Discussion 19 25

Page 26: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan

sebagian besar karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009).

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma

nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum

pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer

maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap

antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini

(EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang

tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat

karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan

karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma

nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop

cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau

elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer

Institute, 2009).

3. Faktor Lingkungan

Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan

timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin, diantaranya

dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur

Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, ialah:

a. Letak geografis

Ditemukan cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti

Aljazair dan Tunisia.

b. Rasial

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring,

sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan,

Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.

c. Jenis kelamin

Small Group Discussion 19 26

Page 27: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki, sebab yang pasti belum

diketahui, kemungkinan ada hubungannya dengan faktor genetik,

kebiasaan hidup, pekerjaan dll.

d. Pekerjaan

e. Kebiasaan hidup

Pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya

adalah karena memakan makanan yang diawetkan (ikan dan daging)

dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin.

f. Kebudayaan

g. Sosial ekonomi

h. Infeksi kuman atau parasit

Klasifikasi & Histopatologi

Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi

tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya

karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan

sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma

tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan

batas sel tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3.

Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan

mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma

sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak

menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida, 2007 dan

Nasir, 2009).

Gejala dan Tanda

1. Gejala Dini.

Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih

terbatas di nasofaring, yaitu :

a. Gejala telinga

- Rasa penuh pada telinga

Small Group Discussion 19 27

Page 28: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

- Tinitus

- Rasa nyeri di telinga (otalgia)

- Gangguan pendengaran

b. Gejala nasofaring

- Epistaksis

- Hidung tersumbat

- Sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak

tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor)

c. Gejala mata dan saraf

- Diplopia

- Neuralgia terminal

- Sindrom Jackson (mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII

- Sindrom unilateral (mengenai seluruh saraf otak)

2. Gejala lanjut

- Limfadenopati servikal

- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar

- Gejala akibat metastase jauh

Stadium

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 2002 adalah sebagai berikut :

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas di nasofaring

T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke

parafaring

T2b: Disertai perluasan ke parafaring

T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 :Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf

cranial, fossa intratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Small Group Discussion 19 28

Page 29: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

N = pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx : Pembesaran tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada pembesaran

N1 : Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar ≤ 6 cm,

di atas fossa supraklavikula

N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar ≤ 6 cm,

di atas fossa supraklavikula

N3 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran > 6 cm, atau

terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a: ukuran > 6 cm

N3b: di dalam fossa supraklavikula

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

Mx : Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0,N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a,T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IVb semua T N3 M0

Stadium IVc semua T semua N M1

Small Group Discussion 19 29

Page 30: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Penatalaksanaan

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi

Stadium IV denagn N > 6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Radioterapi

Masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan

Megavoltage dan pengaturan dengan komputer.

Kemoterapi

Masih tetap yang terbaik sebagai terapi ajuvan, yang terbaik saat ini adalah

kombinasi dengan Cis-Platinum sebagai inti. Kemoterapi praradiasi dengan

epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek sampaing yang cukup berat,

memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluoroacil oral setiap

hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat ”radio-sensitizer”

memperlihatkan hasil yang memberi harapan kesembuhan total.

Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang

tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah

penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang

dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak ditemukan

adanya metastase jauh.

Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan

lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih

agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase

limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir.

Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik

karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa

Small Group Discussion 19 30

Page 31: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari

pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).

Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,

fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus,

kelainan gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi

pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis.

Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran

sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.

Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka yang

menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari

mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan

perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan

risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara

memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan

yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,

meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan

kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes

serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan

karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).

2.6 Angiofibroma Nasofaring Belia

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang

secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai

kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke

sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit

dihentikan.

Small Group Discussion 19 31

Page 32: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.

Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.

1.Teori jaringan asal tumbuh

Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil yang diikuti

oleh Bensch (1878). Ia menduga bahwa tumor terjadi akibat pertumbuhan

abnormal pada jaringan fibrokartilago embrionik di daerah oksipital.5,8,10,11

Teori yang sampai sekarang banyak dianut, dikemukakan oleh Neel3, yang

berpendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding

postero-lateral atap rongga hidung, tempat prossesus sfenoid palatum bertemu

dengan ala horizontal dari vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang

sfenoid.

2.Teori hormonal

Martin dkk pertama kali mengemukakan bahwa diduga angiofibroma

nasofaring merupakan hasil dari ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya

kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas

adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur serta

hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi posterior dan lateral

koana pada atap nasofaring. Tumor akan meluas di bawah mukosa sepanjang atap

nasofaring mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah, membentuk

tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan

mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontra lateral dan memipihkan

konka.

Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke samping ke arah foramen

sfenopalatina. Melalui foramen tersebut tumor masuk ke fossa pterigomaksila,

kemudian lesi akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Tumor akan

meluas terus melalui fisura pterigomaksila masuk ke dalam fossa infratemporal

yang akan menimbulkan benjolan di pipi dan rasa penuh di wajah.

Small Group Discussion 19 32

Page 33: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Bila tumor cukup besar akan menonjol ke bagian bawah fossa temporal dan

menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma. Biasanya tumor berkembang

terus masuk fisura orbitalis inferior, membuka bagian antero-posterior fossa

pterigomaksila dan masuk ke ujung bawah fissure orbitalis superior. Bila tumor

meluas ke daerah ini, akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan

membentuk pelebaran yang khas sepanjang tepi bawah lateral fissura orbitalis

superior sehingga terjadi proptosis.

Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan:

1. Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan

menghancurkan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah

ini merupakan tempat bertemunya korpus dan ala magna tulang sfenoid,

sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di fossa serebri media, lateral

dari sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.

2. Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya

masuk ke sinus kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong

kelenjar hipofisis ke satu sisi dan timbul di sela tursika. Hal ini akan

menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus.

3. Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya

masuk ke fossa serebri anterior.

Gejala klinis

Keluhan paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang bersifat

progresif, epistaksis berulang dan rinore kronik. Epistaksis biasanya hebat dan

jarang berhenti spontan. Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia, sefalgia, tuli

konduktif, deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat

menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia, dan

dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura

orbitalis superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta

deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa

pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri rahang atas

bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan

Small Group Discussion 19 33

Page 34: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.

Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan radiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan

histopatologis jaringan tumor pasca operasi. Sebaiknya tindakan biopsi dihindari

atau dilakukan dalam kamar operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat

bahaya perdarahan yang biasanya sukar di kontrol

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologik dapat banyak membantu dalam menegakkan

diagnosis dan rencana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologic

konvensional akan terlihat gambaran klasik angiofibroma nasofaring dini.

Gambaran ini di sebut sebagai tanda “Holman Miller” (1965), yaitu pendorongan

ke depan dinding posterior sinus maksila dan pendorongan ke belakang prosesus

pterigoideus, sehingga fisura pterigo palatina melebar. Dari pemeriksaan ini juga

akan terlihat adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring, atau erosi dinding

orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.

Pada pemeriksaan CT-Scan dengan potongan koronal dan aksial, akan

memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi

tumor dan perluasaan ke struktur sekitarnya serta melihat adanya invasi ke tulang.

Small Group Discussion 19 34

Page 35: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Pemeriksaan magnetik resonance imaging dapat dilakukan dan bermanfaat

untuk melihat perluasan tumor ke intrakaranial dan hubungannya dengan

pembuluh darah utama serta struktur neurologik disekitarnya.

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran yang

khas yaitu :

a. Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat pertumbuhan

tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.

b. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai

maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan.

Pemeriksaan angiografi bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok

utama, mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat

dari kedua sisi leher.

Stadium Tumor

Sistem penderajatan angiofibroma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh

Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler. Klasifikasi menurut

Session adalah :

Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult.

Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan

meluas setidaknya satu sinus paranasal.

Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.

Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.

Stadium IIIA: Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke

intrakranial.

Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke

sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi

tulang.

Stadium II: Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.

Small Group Discussion 19 35

Page 36: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Stadium III: Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio

paraselar.

Stadium IV: Tumor menginvasi tumor kavernosus, regio kiasma optik dan atau

fossa pitultary.

Penatalaksanaan

Operasi

Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi

tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral,

rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving) atau kombinasi dengan

kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial.

Operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan

dengan dipandu CT scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu

dengan laser.

Sebelum operasi, dilakukan embolisasi dan ligasi arteri karotis eksterna

untuk mengurangi perdarahan yang banyak dan anastesi dengan teknik

hipotensi.

Pengobatan hormonal

Preparat testosteron reseptor bokel (flutamid0 dapat deberikan pada

pasien dengan stadium I dan II.

Radioterapi

Dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama knife) atau jika tumor

meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan

mendestruksi dasar tengkorak diberikan radioterapi prabedah atau terapi

hormonal 6 minggu sebelum operasi.

Small Group Discussion 19 36

Page 37: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

2.7 Tumor Ganas Rongga Mulut

Tumor ganas rongga mulut adalah tumor ganas yang terletak mulai dari

perbatasan kulit–selaput lendir, bibir atas dan bawah sampai ke perbatasan

palatum durum – palatum mole di bagian atas dan garis sirkumvalata di bagian

bawah.  Organ yang dimaksud meliputi bibir atas dan bawah, selaput lendir

mulut,maxilla, mandibula dan bagian atas trigonum retromolar, lidah bagian 2/3

depan, dasar mulut dan palatum durum.

Etiologi

Seperti halnya keganasan pada umumnya, etiologi keganasan pada rongga mulut

tidak diketahui secara pasti dan bersifat multifaktorial.

Faktor-faktor resiko terjadinya kanker rongga mulut antara lain :

1. Merokok, menginang

Merokok dan penggunaan tembakau seperti menginang berkaitan dengan sekitar

75% kasus kanker mulut, disebabkan oleh iritasi mukosa mulut dari rokok dan

panas saat menghisap rokok atau cerutu. Tembakau mengandung karsinogenik

yang poten seperti nitrosamine (nicotine), polycyclic aromatic hydrocarbons,

nitrosodicthanolamine, nitrosoproline dan polonium.

2. Alkohol

Tiga dari empat orang yang menderita kanker mulut dan tenggorokan sering

mengkonsumsi alkohol. Orang yang sering minum alkohol memiliki resiko 6 kali

lebih besar terjadinya kanker rongga mulut. Sedangkan orang yang minum

alkohol dan merokok memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan

orang yang hanya menggunakan tembakau.  Penggunaan alkohol dan tembakau

mempunyai efek sinergistik. Alkohol sebagai suatu zat yang memberikan iritasi,

secara teori menyebabkan terjadinya pembakaran terus-menerus dan

meningkatkan permeabilitas selaput lendir. Hal ini menyebabkan penyerapan zat

karsinogen yang ada di alkohol maupun tembakau.

3. Infeksi HPV (Human Papilloma Virus)

Small Group Discussion 19 37

Page 38: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Infeksi HPV, terutama tipe 16, merupakan faktor resiko dan faktor penyebab

kanker mulut (Gilsion dkk. Johns Hopkins). Kanker oral karena virus ini

cenderung pada tonsil dan peritonsil, dasar lidah dan orofaring.

4. Oral higiene yang jelek

Oral higiene yang jelek meningkatkan resiko terjadinya infeksi kronis yang dapat

menyebabkan transformasi sel epitel. Iritasi kronis dari tambalan gigi, gigi yang

tajam atau alat yang lain diduga dapat meningkatkan resiko.

5. Usia

Kanker rongga mulut biasanya timbul pada usia > 40 tahun, kemungkinan

disebabkan karena menurunnya sistem imunitas karena bertambahnya usia,

akumulasi dari perubahan-perubahan genetik dan lamanya terpapar oleh insisiator

dan promotor keganasan (meliputi iritan kimia dan fisik, virus, efek hormonal,

penuaan sel dan penurunan imunitas.

6. Jenis kelamin

Kanker rongga mulut lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita,

dengan perbandingan 3:2 sampai 2:1.

Gejala dan Tanda

Rasa nyeri di telinga (otalgia)

Rasa nyeri waktu menelan (disfagia)

Tidak bisa membuka mulut (trismus)

Terdapatnya bercak keputihan (leukoplakia) dan bercak kemerahan

(eritroplakia) yang tidak hilang dengan pengobatan biasa.

Terdapatnya suatu massa dengan permukaan yang tidak rata (ulkus) dan

memberikan rasa nyeri, karena adanya rangsangan pada organ-organ rongga

mulut yang dipersarafi oleh cabang N. Trigeminus dan cabang N. Fasialis

(pertanda keganasan)

Small Group Discussion 19 38

Page 39: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Squamous cell carcinoma (SCC)

Pemeriksaan Fisik

(1) Status general

Pemeriksaan umum tentang keadaan umum pasien dan tanda-tanda metastase di

organ lain.

(2) Status lokal

Pemeriksaan lokal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi bimanual. Perabaan lesi

rongga mulut dilakukan dengan memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam rongga mulut

dan jari-jari lainnya meraba lesi dari luar mulut.

(3) Status regional

Dilakukan palpasi kelenjar getah bening untuk menentukan adanya pembesaran

kelenjar getah bening. Bila terdapat pembesaran, ditentukan lokasi, jumlah,

ukuran, konsistensi, dan mobilitasnya.

Pemeriksaan Penunjang

(1) Pemeriksaan histopatologi

Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi dapat diambil dari tumor primer atau

pada metastase kelenjar getah bening leher dengan biopsi jarum halus.

Biopsi eksisi dapat dilakukan pada tumor yang kecil ≤ 1 cm, seperti pada tindakan

operasi definitif.

Biopsi insisi menggunakan tang aligator bila tumor besar atau inoperabel.2

(2) Pemeriksaan radiografi

X-foto polos

Small Group Discussion 19 39

Page 40: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

- X-foto mandibula AP, lateral, Eisler, panoramik, oklusal : pada tumor

gingiva mandibula atau tumor yang melekat pada mandibula.

- X-foto cranial lateral, Waters, oklusal : pada tumor gingival, maksila

atau tumor yang melekat pada maksila

- X-foto Hap : pada tumor palatum durum

- X-foto thorax : untuk mengetahui adanya metastase ke paru.

Pencitraan

- USG hepar : untuk melihat metastase ke hepar

- CT-scan atau MRI : untuk melihat luas ekstensi tumor lokoregional

- Scan tulang : bila diduga ada metastase ke tulang.

(3) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti : darah, urin, SGOT/SGPT, alkali

fosfatase, ureum, creatinin, albumin, serum elektrolit, untuk menilai keadaan

umum dan persiapan operasi.

Stadium

Klasifikasi TNM tumor rongga mulut menurut UICC 2002 sebagai berikut:2

T ( tumor primer ) :

T0    : tidak ditemukan

Tis    : carcinoma in situ

T1     : ø ≤ 2 cm

T2     : ø 2 - 4 cm

T3     : ø > 4 cm

T4a   : tumor sudah menyerang organ-organ lain seperti kortek tulang,

n.alveolaris inferior, otot-otot lidah (ekstrinsik/deep), sinus maxilla dan kulit

T4b    : infiltrasi ruang masticator, pterygoid plate, dasar tengkorak, a. carotis

interna

Tx      : tumor primer tidak dapat ditentukan

N ( kelenjar limfe regional ) 

N0     : tidak teraba pembesaran kelenjar,

N1     : single,ipsilateral,  ø ≤ 3cm

Small Group Discussion 19 40

Page 41: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

N2a   : single, ipsilateral, ø > 3 – 6 cm

N2b   : multiple, ipsilateral, ø £ 6cm

N2c   : bilateral / kontralateral  ø £ 6cm

N3     : > 6 cm

Nx     : pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditentukan

M ( metastase )

M0     : tidak ada metastase

M1     : terdapat metastase jauh

Mx     : metastase tidak dapat ditentukan

Stadium kanker rongga mulut

I. T1 N0 M0

II. T2 N0 M0

III. T3 N0 M0

T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

IVA. T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB. T1-4 N3 M0

IVC. T1-4 N1-3 M1

Penatalaksanaan

Anjuran terapi untuk kanker rongga mulut :

Std. T N M Operasi   Radioterapi   Kemoterapi

I T1N0M0 Eksisi

radikal

/ Kuratif, 50-70 Gy   Tidak

dianjurkan

II T2N0M0 Eksisi

radikal

/ Kuratif, 50-70 Gy   Tidak

dianjurkan

III T3N0M0 Eksisi & Post-op, 30-40 Gy (&) CT

Small Group Discussion 19 41

Page 42: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

T1-3N1M0

radikal

IVA T4N0-1M0

T1-4N2M0

Eksisi

radikal

& Post-op, 30-40 Gy (&) CT

IVB T1-4N3M0

Operabel

Inoperabel

Eksisi

radikal

 

&

 

Post-op, 30-40 Gy

Paliatif, 50-70 Gy

 

(&)

 

CT

IVC Tiap T, Tiap

N, M1

Paliatif   Paliatif   Paliatif

  

Dalam penanganan kanker rongga mulut, perlu diperhatikan eradikasi tumor,

pengembalian fungsi rongga mulut serta aspek kosmetik/ penampilan penderita.

2.8 Tumor laring

Tumor Jinak

Tumor jinak laring hanya 5% dari semua jenis tumor laring, dapat berupa:

1. Papiloma laring (terbanyak frekuensinya)

2. Adenoma

3. Kondroma

4. Mioblastoma sel granuler

5. Hemangioma

6. Lipoma

7. Neurofibroma

Papiloma laring dapat digolongkan dalam 2 jenis;

1. Papiloma laring juvenil, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk

multipel dan mengalami regresi pada waktu dewasa.

2. Pada dewasa berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan

merupakan prekanker.

Small Group Discussion 19 42

Page 43: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Bentuk Juvenil

Tumor dapat tumbuh pada pita suara bagian anterior atau daerah

subglotik, dapat pula di plika ventrikularis atau aritenoid. Secara

makroskopik bentuknya seperti buah murbei, berwarna putih kelabu dan

kadang-kadang kemerahan. Jaringan tumor sangat rapuh dan kalu

dipotong tidak berdarah. Sering tumbuh lagi setelah diangkat, sehingga

harus dioperasi berulang-ulang.

Gejala

- Suara parau

- Batuk

- Bila papiloma telah menutup rima glotis timbul sesak napas dengan stridor.

Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan laring langsung, biopsi serta

pemeriksaan patologi-anatomik.

Terapi

- Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau dengan sinar laser. Oleh karena

sering tumbuh lagi, tindakan ini dilakukan berulang-ulang.

- Vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormon, kalsium atau ID methionin

(essential amino acid).

Tumor Ganas

Tumor ganas laring bukanlah hal yang jarang ditemukan di bidang THT.

Sebagai gambaran, diluar negeri tumor ganas laring menempati urutan

pertama dalam urutan keganasan di bidang THT, sedangkan di RSCM

menempati urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring, tumor ganas hidung

dan sinus paranasal.

Small Group Discussion 19 43

Page 44: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

Tumor Ganas laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding

perempuan, dengan perbandingan 5 : 1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun.

Etiologi

Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa

hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok,

alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada

peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang

terpapar dengan debu kayu.

Histopatologi

Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas laring,

dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai

adalah karsinoma anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma.

Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya

jinak, akan tetapi klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor ganas

laring, lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1.

Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat menimbulkan

kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau jauh.

Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan

kontraindikasi. Prognosanya sangat baik.

Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring.

Sering dari kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari

glottis. Sering bermetastase ke paru-paru dan hepar. two years survival rate-

nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal dengan

diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.

Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid

70%, tiroid 20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40 – 60 tahun.

Terapi yang dianjurkan adalah laringektomi total.

Klasifikasi letak tumor

Small Group Discussion 19 44

Page 45: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

o Tumor supraglotik : mulai dari tepi atas epiglotis sampai batas atas glotis

termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.

o Tumor glotik : dapat mengenai ½ pita suara, dapat meluas ke subglotik

sejauh 10 mm, dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau

prosessus vokalis kartilago aritenoid.

- Batas Inferior: 10 mm di bawah tepi bebas pita suara

- Batas superior: ventrikel laring

o Tumor subglotik : tumbuh > 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli

sampai batas inferior krikoid.

o Tumor transglotik : tumor yang menyeberangi ventrikel mengenai pita suara

asli dan pita suara palsu, atau meluas ke subglotik > 10 mm.

Gejala

Suara serak

Sesak nafas dan stridor

Rasa nyeri di tenggorok

Disfagia

Batuk dan haemoptisis

Pembengkakan pada leher

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnese

Small Group Discussion 19 45

Page 46: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

2. Pemeriksaan THT rutin

3. Laringoskopi direk

4. Radiologi foto polos leher dan dada

5. Pemeriksaan radiologi khusus: politomografi, CT-Scan, MRI

6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti

Stadium

Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC :

1. Tumor primer (T)

Supra glottis :

T is: tumor insitu

T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l

T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal

T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika,

ventrikel atau pita suara palsu satu sisi.

T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita

suara palsu

T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi

T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi ke

dalam.

T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.

Glotis :

T is : tumor insitu

T 0 : tak jelas adanya tumor primer

T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior)

dengan pergerakan normal

T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli

T 1b : tumor mengenai kedua pita suara

T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun

subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu.

Small Group Discussion 19 46

Page 47: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara

T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring

Sub glotis :

T is : tumor insitu

T 0 : tak jelas adanya tumor primer

T 1 : tumor terbatas pada subglotis

T 1a : tumor terbatas pada satu sisi

T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi

T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara

asli dengan pergerakan normal atau terganggu

T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara

T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring.

2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)

N x : kelenjar tidak dapat dinilai

N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar.

N 1 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter ≤ 3 cm

N 2 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 – <6 cm atau

klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm

N 2a :klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter > 3 cm - ≤ 6 cm.

N 2b :klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm

N 3 :kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral

N 3 a :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm

N 3 b :klinis terdapat kelenjar bilateral

N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral

3. Metastase jauh (M)

M 0 : tidak ada metastase jauh

M 1 : terdapat metastase jauh

Small Group Discussion 19 47

Page 48: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

4. Stadium :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1, T2, T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0 M0

Setiap T N2 M0

Setiap T Setiap N M1

Penatalaksanaan

I. Pembedahan

Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :

A. Laringektomi

1. Laringektomi parsial

Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I

yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.

2. Laringektomi total

Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas

atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.

B. Diseksi Leher Radikal

Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena

kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor

supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan

metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi

leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.

II. Radioterapi

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1

dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan

Small Group Discussion 19 48

Page 49: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat

dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total

6000 – 7000 rad.

Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,

Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh

kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan

pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 4500–5000 rad

selama 4–6 minggu diikuti dengan laringektomi total.

III. Kemoterapi

Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun

paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–

1000 mg/m2.

Rehabilitasi

Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa

tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.

rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan

Social Rehabilitation”.

Prognosa

Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan

kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada

karsinoma laring stadium I 90 – 98% stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70%

dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan

menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.

Small Group Discussion 19 49

Page 50: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penyusunan makalah ini ditemukan beberapa kesimpulan yang berkaitan

dengan tujuan pembuatan dan judul dari makalah, berikut merupakan beberapa

kesimpulan yang dapat diambil :

1. Tumor THT terdiri atas tumor jinak dan ganas.

2. Tumor jinak umumnya tidak berbahaya, kecuali angiofibroma

nasofaraing yang secara klinis bersifat ganas.

3. Tumor ganas yang sering di bidang THT, yaitu: karsinoma nasofaring,

tumor ganas hidung dan sinonasal, tumor laring dan tumor ganas rongga

mulut.

4. Tumor primer THT akan memberikan gejala pada Telinga Hidung dan

Tenggorok sesuai lokasi tumor tersebut.

5. Tumor ganas dapat mernyebar ke kelenjar-kelenjar limfa yang terdapat

pada leher dan sekitarnya, bahkan dapat bermetastasis jauh ke paru, hati

tulang, otak dan traktus intestinal.

6. Dalam hal mengetahui lebih jauh tentang Tumor THT ini seorang

mahasiswa dituntut untuk memahami dengan baik definisi, klasifikasi,

etiologi, patofisiologi, pemeriksaan fisik dan penunjang serta

penatalaksanaan tumor THT.

Small Group Discussion 19 50

Page 51: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

3.2 Saran

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para

pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :

1. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.

2. Pembahasan yang lebih mendalam disertai gambaran-gambaran

histopatologi tumor THT yang lebih jelas.

3. Pembahasan secara langsung dengan mancari pasien untuk dilakukan

suatu penelitian.

Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-

pihak yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian

makalah ini disusun serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi

pembaca khususunya mahasiswa fakultas kedokteran UISU semester V/2012

dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.

Small Group Discussion 19 51

Page 52: makalah THT skenario 4.docx

Modul XVI (THT)-Skenario 4

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George. L., Boies, Lawrence. R., Higler, Peter. H. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.

Asroel, Harry. A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma

Nasofaring. Diakses dari http://library.usu.ac.id.

Firdaus, Abduh. M., Rahman, Syukri. Asyari, Ade. Penatalaksanaan

Angiofibroma Nasofaring Juvenil Dengan Pendekatan

Transpalatal. Diakses dari http://repository.unand.ac.id.

Haryuna, T. S. H. Tumor Laring. Diakses dari

http://library.usu.ac.id.

Soepardi, Efiaty. A.,Iskandar, Nurbaiti. Bashiruddin, Jenny. Restuti, Ratna. D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Small Group Discussion 19 52