Makalah THT

39
BAB I PENDAHULUAN Pterigium adalah pertumbuhan jaringan konjungtiva ke dalam kornea. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering ditemukan pada orang-orang yang sering berada di bawah sinar matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang- orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Tampak sebagai penonjolan jaringan putih disertai pembuluh darah pada tepi dalam atau tepi luar kornea. Pterigium bisa menyebabkan perubahan bentuk kornea sehingga terjadi astigmata dan gangguan penglihatan lainnya. Jika sampai ke daerah pupil dan mengganggu penglihatan, pterigium harus diangkat melalui pembedahan. Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung. 5 Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata. Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri 1

description

Makalah THT

Transcript of Makalah THT

Page 1: Makalah THT

BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan konjungtiva ke dalam kornea. Penyebabnya tidak

diketahui, tetapi sering ditemukan pada orang-orang yang sering berada di bawah sinar

matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar

matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Sering ditemukan pada petani,

nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-

anak. 

Tampak sebagai penonjolan jaringan putih disertai pembuluh darah pada tepi dalam atau

tepi luar kornea. Pterigium bisa menyebabkan perubahan bentuk kornea sehingga

terjadi astigmata dan gangguan penglihatan lainnya. Jika sampai ke daerah pupil dan

mengganggu penglihatan, pterigium harus diangkat melalui pembedahan. Untuk mencegah

berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi

pelindung.5 

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada

konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan

iritasi mata.

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut

dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria

kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus

pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis

bakteri subakut adalah H. influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling

sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus

nasolakrimalis.

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang

sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada

orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi.4

1

Page 2: Makalah THT

BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pria usia 36 tahun datang dengan keluhan adanya kemerahan pada kedua

matanya, sejak 3 hari yang lalu. Kemerahan merata pada kedua mata, namun mata kanan terasa

lebih mengganjal. Buram disangkal.

Kotoran mata (+) berwarna kekuningan dan paisen mengeluh terganggu dengan kotoran

matanya. Bengkak tampak pada kedua mata. Mata kanan terasa lebih mengganjal karena

sebelumnya telah didapt selaput dan sekarang selaput tersebut ikut merah. Gatal dikeluhkan

namun tidak terlalu gatal, air mata tidak terlalu banyak keluar. Silau disangkal pasien. Mata juga

tidak sakit dan buram. Tidak ada riwayat sakit flu (demam, batuk, pilek) sebelumnya. Pasien

tidak memiliki riwayat alergi, demikian keluarganya. Dahulu belum pernah sakit seperti ini,

namun sejak beberapa tahun lalu memang ada selaput putih di pojok mata kanan.

Hasil pemeriksaan fisik:

Status Generalis:

Keadaan umum : Baik, Compos mentis

Tanda vital : Suhu : 36,50C, TD : 120/80 mmHg, RR : 18x/menit, Nadi :

76x/menit

Pemeriksaan Thoraks, Abdomen, dan Ekstremitas : dalam batas normal

Pada pemeriksaan oftalmologi okuli dekstra dan sinistra didapatkan:

Tajam penglihatan : 6/6

Tekanan Intra Okular : 17 mmHg

Palpebra : Edema ringan, sekret (+)

Konjungtiva bulbi :

- OD : terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak di limbus,

hiperemis (+), injeksi konjungtiva (+)

- OS : injeksi konjungtiva (+)

2

Page 3: Makalah THT

Kornea : Jernih

Kamera Okuli Anterior: Dalam

Iris dan Pupil : Bulat, sentral, reflex cahaya (+)

Lensa : Jernih

Vitreus : Jernih

Funduskopi : Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3, aa/vv 2/3, reflex macula (+),

retina baik.

Pemeriksaan penunjang:

Pemeriksaan gram terhadap air mata+sekret mata: sel batang dan segmen (+)

3

Page 4: Makalah THT

BAB III

PEMBAHASAN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

Nama : -

Usia : 36 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Nelayan

Waktu datang : -

Alamat : -

Agama : -

Keluhan Utama : Kemerahan pada kedua mata sejak 3 hari yang lalu

Keluhan Tambahan : Mata kanan terasa lebih mengganjal

Riwayat Penyakit Sekarang : Kemerahan pada kedua mata sejak 3 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat Penyakit Keluarga : -

Riwayat Pengobatan : -

II. MASALAH DAN HIPOTESIS

Masalah Analisa kasus Hipotesis

Kedua mata

merah

menyeluruh

disertai rasa

mengganjal dan

- Mata merah terjadi akibat pelebaran

pembuluh darah konjungtiva yang terjadi

akibat peradangan mata akut atau karena

pecahnya pembuluh darah.

- Rasa mengganjal karena adanya benda

- Konjungtivitis

- Episkleritis

- Skleritis

- Keratitis

- Pterigium

4

Page 5: Makalah THT

berair asing atau massa.3

- Mata berair karena sensasi benda asing

atau kualitas air mata yang menurun

(akibat dari kurangnya lipid yang

berfungsi sebagai pencegah air mata cepat

menguap)

Laki-laki, 36

tahun, pekerjaan

sebagai nelayan

- Lapangan pekerjaan pasien merupakan

faktor resiko terpapar debu, pasir, udara

panas, dan sinar UV.3

- Usia 20-49 tahun merupakan usia dimana

insidensi pterigium mencapai puncaknya.

- Pterigium

- Konjungtivitis

Tidak ada

penglihatan

buram, nyeri, dan

fotofobia

- Pterigium

Kotoran mata (+)

berwarna

kekuningan,

oedem pada kedua

mata, tidak terlalu

gatal, air mata

tidak terlalu

banyak.

- Kotoran mata berwarna kekuningan,

oedem, dan tidak terlalu gatal

menunjukkan infeksi oleh bakteri

- Air mata yang tidak terlalu banyak akibat

dari kurangnya lipid yang berfungsi

sebagai pencegah air mata cepat

menguap.

- Konjungtivitis

Belum pernah

menderita sakit

seperti ini, namun

beberapa tahun

lalu memang ada

selaput putih di

pojok okuli dextra

- Pterigium

OD : Terdapat - Terbentuknya jaringan fibrovaskular - Pterigium

5

Page 6: Makalah THT

jaringan

fibrovaskular

berbentuk segitiga

di puncak limbus,

hiperemis (+),

injeksi

konjungtiva (+)

disebabkan karena paparan bahan iritan

secara terus-menerus yang kemudian

terbentuk mikrolesi. Kemudian tubuh

membuat suatu pertahanan untuk

membunuh mikrolesi tersebut dengan

membuat suatu jaringan fibrovaskular.

- Injeksi konjungtiva disebabkan oleh

melebarnya pembuluh darah arteri

konjungtiva posterior yang terjadi akibat

pengaruh mekanis, alergi, ataupun infeksi

pada jaringan konjungtiva

- Konjungtivitis

OS : Injeksi

Konjungtiva

- Konjungtivitis

III. ANAMNESIS TAMBAHAN

Riwayat Penyakit Sekarang

- Apakah mata terasa berair?

- Apakah disertai kotoran mata?

- Apakah pernah terjadi trauma sebelumnya?

- Apakah disertai gatal?

- Bagaimana onsetnya, terjadi perlahan atau mendadak?

- Apakah keluhan ini pernah terjadi sebelumnya?

- Apakah disertai penurunan penglihatan?

- Apakah pasien merasa silau jika terkena sinar matahari (fotofobia)?

Riwayat Penyakit Dahulu

- Apakah pasien menderita penyakit sistemik seperti DM atau hipertensi?

Riwayat Pengobatan

- Apakah pasien sudah pernah berobat sebelumnya?

6

Page 7: Makalah THT

- Apakah pasien mempunyai alergi terhadap obat tertentu?

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : baik, compos mentis

Tanda vital

- Suhu :36,5 0C (N: 36,5-37,2 0C)

- TD :120/80 mmHg (N: <120/<80)

- RR :18x/menit (N: 16-20x/menit)

- Nadi :76x/menit (N: 60-100x/menit)

Pemeriksaan thoraks, abdomen dan extremitas : dalam batas normal

Interpretasi:

Pada status generalis pada pasien ini hasil semuanya dalam batas normal.

Pemeriksaan oftalmologi okuli dextra dan sinistra:

Nilai pada pasien Interpretasi

Tajam penglihatan 6/6 N:6/6

Tajam penglihatan 6/6 berarti ia dapat melihat

huruf pada jarak 6 meter,yang oleh orang

normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak

6 meter.

Tekanan intra

ocular

17 mmHg N: 15-20 mmHg

Palpebra Edema ringan, sekret (+)

berwarna kekuningan

Edema ringan dan sekret + berwarna kuning

terdapat pada konjungtivitis bakteri.

Konjungtiva bulbi -OD : terdapat jaringan

fibrovaskular berbentuk

segitiga dengan puncak

di limbus, hiperemis (+),

- Pada OD terdapat jaringan fibrovaskular

berbentuk segitiga tanda khas pada pterigium.

Puncak di limbus termasuk pterigium stadium

1. Hiperemis (+) menandakan terjadi

7

Page 8: Makalah THT

injeksi konjungtiva (+)

-OS : injeksi

konjungtiva (+)

perlebaran pembuluh darah. Konjugtiva (+)

pada konjugtivitis

- pada OS injeksi konjugtiva (+) menandakan

konjugtivitis

Kornea Jernih Normal

Kamera okuli

anterior

Dalam Normal

Iris dan pupil Bulat,sentral, reflek

cahaya (+)

Normal

Lensa Jernih Normal

Vitreus Jernih Normal

Funduskopi Papil bulat, batas tegas,

CDR 0,3, aa/vv 2/3,

reflek macula (+) retina

baik

Normal

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pewarnaan gram terhadap air mata dan sekret mata: sel batang dan segmen (+).

Interpretasi: Ditemukan adanya sel batang dan segmen (+) pada pewarnaan gram menunjukkan

konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri.

Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan swab konjungtiva dengan pemeriksaan gram dan Giemsa sangat membantu

untuk mengetahui bakteri penyebab dan penegakan diagnosis konjuntivitis bakteri. Pengecatan

gram bisa didapatkan bakteri coccus atau batang gram positif, pada infeksi Nisseria

Gonorea ditemukan bakteri diplococcus gram negatif. Pemeriksaan giemsa didapatkan sel-sel

radang leukosit dan PMN yang sangat banyak. Pada infeksi Chlamydia ditemukan adanya

inclusion bodies pada pewarnaan Giemsa.

8

Page 9: Makalah THT

Bila terdapat fasilitas dapat dilakukan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi apakah ada

gen dari bakteri-bakteri penyebab konjungtivitis tersebut. Setelah dilakukan pewarnaan gram

dapat dilanjutkan deangan pemeriksaan kultur dan sensitivitas terhadap antibiotika.

Pemeriksaan pewarnaan metilen biru. Pewarnaan Metilen Biru yang akan menunjukkan

Diplokok di dalam sel leukosit. Dengan pewarnaan Gram terlihat Diplokok Gram negatif intra

dan ekstraseluler. Pemeriksaan sensitivitas dilakukan pada agar darah dan coklat.

VI. DIAGNOSIS KERJA

Pada kasus ini diagnosis kami adalah konjuntivitis bakterial akut OD OS dengan pterygium OD, berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien mengeluhkan kedua mata merah merata sejak 3hari yang lalu, kotoran mata (+)berwarna kekuningan, terganggu dengan kotoran matanya, gtal dikeluhan tetapi tidak terlalu gatal, airmata tidak terlalu banyak keluar, mata tidak sakit k dan tidak buram, tidak ada riwayat sakit flu dan juga alergi dan pada pemeriksaan fisik pasien terlihat terdapat injeksi konjungtiva yang merupakan khas pada konjungtivitis dan pada pemeriksaan penunjang hasil menunjukan pasien mengalami konjungtivitis bakteri akut. Pada mata kanan pasien terdapat selaput putih di pojok kanan sejak beberapa tahun lalu dan pada pemeriksaaan fisik mata kanan sekarang sudah ada selaput yang sudah puncaknya terdapat dilimbus yang menunjukan pterygium derajat satu.

VII. PATOFISIOLOGI

Pterygium

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva (perilimbal) yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian

nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium terjadi pada

permukaan yang terekspose udara luar serta mendapat paparan sinar dan iritan fisik lainnya.

Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah komea. Pterigium

mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwama merah.

Pada pasien ini, ada beberapa faktor resiko yang berkontribusi besar pada pterygium yang

dialami, antara lain:

1. Paparan sinar UV (ultraviolet) dari matahari secara langsung.

Pekerjaan pasien adalah seorang nelayan. Lapangan pekerjaan seorang nelayan adalah di luar

9

Page 10: Makalah THT

ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Apabila pasien tidak menggunakan bahan/

material yang baik untuk proteksi sinar UV, maka pterigium sangat mudah terjadi pada pasien

ini, mengingat Indonesia juga merupakan negara dengan iklim tropis. Sinar Ultraviolet

diabsorbsi kornea dan konjunctiva menghasilkan kerusakan sel serta proliferasi sel yang menjadi

dasar patogenesis pterigium

2. Paparan debu serta bahan iritan lain di ruang terbuka yang menyebabkan iritasi kronis.

Paparan debu sangat mungkin terjadi pada pasien, pekerjaan nya sebagai nelayan, mengharuskan

nya berada di luar rumah. Dengan bantuan angin, debu dapat masuk ke matanya. Debu

merupakan salah satu bentuk penyebab trauma fisik yang dapat menyebabkan iritasi kronis

(akibat paparan terus menerus) akibat cedera sel yang ditimbulkannya. Adanya iritasi kronik

pada daerah limbus dan atau kornea merupakan salah satu dasar patogenesis terjadinya

pterygium.2

Konjungtivitis Bakterial

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci,

staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun

pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada

flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari infeksi

sekitarnya yang letaknya berdekatan.

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi

konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal

dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata,

mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada

mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.7

VIII. TATA LAKSANA

Pemberian terapi medika mentosa pada pasien ini diberikan steroid dikarenakan adanya

tanda hiperemis pada konjungtiva. Pemberian antibiotik tunggal seperti neosporin, basitrasin,

gentamicin, kloramfenicol, tobramisin, eritromisin atau sulfa dilakukan untuk mengatasi

konjungtivitis bakterial pada pasien

10

Page 11: Makalah THT

Sedangkan untuk terapi non medikamentosa, dilakukan operasi dengan indikasi adanya rasa

mengganjal pada mata, karena pterigium terdapat jaringan fibrovaskular ke limbus kornea.

Pemberian edukasi juga penting, melihat penyakit ini yang mungkin timbul berulang dan

mengingat pasien seorang nelayan maka disarankan untuk memakai kacamata pelindung untuk

menghindari paparan debu dan sinar matahari yang berlebihan.

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi pertama yang bisa terjadi adalah konjungtiva menarik kornea sehingga

mengakibatkan astigmatisme.

Pada pasien ini apabila terjadi rekurensi pada pasien ini, dapat mengakibatkan terjadinya

strabismus, sikatrik dan erosi kornea.

Dapat juga terjadi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan sentral, mata merah, iritasi,

terdapat bekas luka kronis pada konjungtiva dan kornea. Pergerakan yang luas dari muskulus

extraokuler mata dapat membatasi motilitas okuler dan mengakibatkan diplopia. Pada pasien

yang belum mengalami eksisi bedah,jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab

paling umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani

eksisi bedah,jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling

umum dari diplopia.

Komplikasi yang jarang adalah bisa terjadi degenerasi ganas akibat jaringan epitel yang

melapisi pterygium.

X. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam

Pterigium merupakan penyakit yang tidak mengancam kejiwaan.

Ad sanationam : Dubia ad malam

Dilihat dari okupasi pasien yang merupakan nelayan yang sering terpapar oleh debu dan

sinar UV maka penyakit ini dapat muncul kembali.

Ad functionam : Dubia ad bonam

11

Page 12: Makalah THT

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi mata

1.1 Rongga orbita

Rongga orbital ini skematis digambarkan sebagai piramida empat dinding yang

berkumpul di bagian posterior. Dinding medial orbit kanan dan kiri sejajar dan dipisahkan

oleh hidung. Di orbit masing-masing, dinding lateral dan medial membentuk sudut 45 derajat,

yang menghasilkan sudut yang tepat antara dua dinding lateral. Orbit dianalogikan dengan

bentuk buahpir,dengan saraf optik yang dianalogikan seperti akar. Lingkar anterior agak kecil

dengan diameter dari wilayah hanya dalam lingkaran, yang membuat margin pelindung yang

kokoh.

Volume bola mata orang dewasa adalah sekitar 30 mL,dan bola mata hanya

menempati sekitar seperlima dari ruang. Lemak dan otot menempati sebagian besar sisanya.

Batas anterior rongga orbital adalah septum orbital,yangbertindaksebagai

penghalang antara kelopak mata dan bola mata.

Orbit berhubungan dengan sinus frontal di atas, sinus maksilaris di bawah,

dan sinus ethmoid dan sphenoid di bagian medial. Lantai orbital tipis sehingga mudah rusak oleh

trauma langsung, yang bisa mengakibatkan fraktur  dengan herniasi dari isi bola mata ke

dalam antrum maksila. Infeksi dalam sinus sphenoid dan ethmoid dapat mengikis dinding kertas

tipis medial (laminapapyracea) dan melibatkan isi dari bola mata. Cacat pada atap (misalnya,

neurofibromatosis) dapat mengakibatkan pulsation yang dapat dilihat dari bola mata yang

dikirim dari otak.

12

Page 13: Makalah THT

1.2 Pendarahan bola mata

Pasokan arteri utama dari bola mata dan strukturnya berasal dari arteri ophthalmica,

cabang besar pertama dari bagian intrakranial dari arteri karotis interna. Cabang ini melewati

bagian bawah nervus opticus dan mendampingi melalui kanal optik ke bola mata. Cabang intra

orbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus opticus sekitar 15 mm di

belakang bola mata. Cabang lain dari arteri ophtalmica termasuk arteri lakrimalis, yang

memperdarahi kelenjar lakrimal dan kelopak mata atas; berbagai otot bola mata;

arteri ciliaris posterior longus dan brevis; arteri medial palpebral untuk kedua kelopak mata,

dan arteri supraorbital dan supratroklearis.

 Arteri ciliaris posterior brevis memperdarahi koroid dan bagian-bagian

nervus optikus. Dua arteri siliaris posterior longus memperdarahi badan siliaris

dan beranastomosis satu sama lain dengan arteri siliaris anterior untuk

membentuk lingkaran arteri besar dari iris. Arteri siliaris anterior meyuplai darah otot rektus

yang melekat pada sklera. Mereka memperdarahi sklera anterior, episklera, limbus, dan

konjungtiva dan memberikan kontribusi pada lingkaran arteri besar dari iris. Cabang-

cabang yang paling anterior dari arteri ophtalmika berkontribusi

pada pembentukan arcade arteri pada kelopak mata, yang

membuat anastomosis dengan sebuah sirkulasi karotid eksternal melalui arteri wajah.

Aliran vena dari bola mata terutama melalui vena ophtalmica superior dan inferior,

kemudian menuju vena vortex, vena siliaris anterior, dan vena sentralis retinae. Vena ophtalmica

berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fissura orbital superior

dan vena pterygoideus pleksus melalui fissura orbital inferior.Vena ophtalmica superior pada

awalnya terbentuk dari pembuluh darah supraorbital dan supratroklearis dan

dari cabang vena angularis, yang semuanya mengalir melalui kulit pada daerah periorbital.

Aliran darah ini mengomunikasi langsung antara kulit wajah dan sinus kavernosa, sehingga

membentuk dasar dari trombosis sinus kavernosus yang berpotensi mematikan terhadap infeksi

sekunder kulit periorbital superfisial.

1.3 Konjungtiva

13

Page 14: Makalah THT

Konjungtiva adalah membran tipis mukus transparan yang menutupi

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebral) dan permukaan

anterior sklera (bulbar konjungtiva). 

Konjungtiva palpebra adalah permukaan posterior kelopak mata dan tegas melekat

pada tarsus. Pada margin superior dan inferior dari tarsus itu, 

menutupi jaringan episkleral menjadi konjungtiva bulbar.

Konjungtiva bulbar secara longgar melekat pada orbital

septum diforniks dan dilipat berkali-kali. Hal ini memungkinkan mata untuk bergerak

dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Saluran dari kelenjar lakrimal terbuka ke

dalam forniks temporal superior. Kecuali di limbus di mana kapsul Tenon dan konjungtiva

menyatu selama sekitar 3 mm, konjungtiva bulbar adalah melekat longgar

pada kapsul Tenon dan sklera.

Arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris dan arteri palpebral.

Limfatik konjungtiva disusun dalam lapisan dangkal dan dalam

dan bergabung dengan limfatik pada kelopak mata untuk membentuk pleksus

limfatik. Konjungtiva menerima suplai saraf dari divisi ophtalmica pertama

dari saraf kelima. Hal ini memiliki jumlah yang relatif kecil dari serat nyeri.

1.4 Kornea

Adalah bagian dinding bola mata yang terlatak paling depan. Kornea merupakan

jaringan yang jernih dan bening. Termasuk bagian dari tunika fibrosa yang besarnya sekitar 1/6

bag anterior bola mata, dan berbatasan dengan sklera yang merupakan 5/6 bag posterior bola

mata. Perbatasan antara kornea dan sklera disebut limbus. Tebal kornea 0.6-1.0 mm dan terdiri

atas 5 lapisan:

Epitel berlapis gepeng tanpa lap. Tanduk merupakan lapisan terluar dari kornea dan

tempat berakhirnya ujung saraf sehingga setiap ada gangguan pada kornea akan

memberikan gangguan sensibilitas berupa rasa sakit. Dan epitel merupakan bagian

kornea yang mempunyai daya regenerasi yang cukup baik sehingga bila ada kerusakan

tidak akan menimbulkan jaringan parut bila kerusakanya tidak melewati epitel ini.

14

Page 15: Makalah THT

Membran Bowman merupakan lapisan di bawah lapisan epitel kornea dan

merupakan suatu membran tipis yang homogen terdiri atas susunan serat kolagen yang

kuat sehingga bisa mempertahankan bentuk kornea. Bila terjadi kerusakan pada

membran bowman maka akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.

Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea dan terdiri dari atas

jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan berjalan sejajar dengan

permukaan kornea. Diantara serat kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat

higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang

lebih 70%. Kadar air dalam stroma relatif tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel

endotel dan penguapan oleh epitel. Sehingga bila fungsi endotel kurang baik maka

akan terjadi kelebihan kadar air sehingga timbul sembab kornea (edema kornea). Serat

didalam stroma demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea yang

transparan atau jernih. Bila terjadi gangguan dari susunan serat di dalam stroma

seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan mengakibatkan sinar yang melalui

kornea terpecah dan kornea terlihat keruh.

Membran Descemet merupakan lapisan yang tipis dan bersifat kenyal,kuat,tidak

berstruktur dan bening; terletak di bawah stroma,lapisan ini merupakan pelindung atau

barrier infeksi dan masukanya pembuluh darah.

Endotel terdiri atas satu lapis sel yang merupakan jaringan terpenting untuk

mempertahankan kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel yang mengatur cairan di

dalam stroma kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi sehingga bila terjadi

kerusakan maka tidak akan balik semperti sempurna. Endotel dapat rusak atau

terganggu fungsinya akibat trauma bedah,penyakit intraokuler. Usia lanjut akan

mengakibatkan jumlah endotel berkurang.

2. Faal refraksi

Yang termasuk dalam media refraksi adalah kornea, aques humor, lensa, vitreous humor,

dan retina. Sehinga bila sinar masuk akan melewati media refraksi dan sampai di retina yang

terdiri atas 10 lapisan dan dinatara 10 lapisan tersebut terdapat sel bat6ang dan kerucut yang

berfungsi sebagai fotoreseptor lalu melalui N.optikus di chiasma optikum terjadi persimpangan

15

Page 16: Makalah THT

jalur penglihatan lalu akan berjalan ke lobus occipital di area 17 yang merupakan penglihatan

primer.

Ketika cahaya bersinar pada satu mata, kedua pupil berkontriksi , konstriksi ini adalah

refleks cahaya pupil. optik atau saraf kranial II terdiri dari 80% visual dan serabut pupil afferent.

Cahaya impuls ke dalam mata menyebabkan retina menyebarkan impuls ke saraf optik, bidang

optik, otak tengah, dan korteks visual dari lobus occipitalis. Ini adalah otot afferent dari refleks

cahaya. Di otak tengah, serabut pupil menyebarkan dan disebarkan dengan serabut silang ke

depan nucleus Edinger –whestpal dari okulomotor, atau saraf kranial III. Beberapa serabut

tinggal pada sisi yang sama. Saraf kranial ketiga adalah otot efferent, yang mana berangkat

melalui badan ciliary ke otot sphincts dari iris yang menyebabkannya berkontraksi. Efek

langsungnya adalah konstriksi dari pupil mata bagian atas yang mana cahaya bersinar. Refleks

dekat terjadi ketika pelaku melihat jarak dekat. Ada tiga bagian dari refleks dekat yakni

akomodasi, menyebarkan, dan konstriksi pupil. akomodasi didefenisikan sebagai fokus dekat

dari mata yang mana diakibatkan oleh peningkatan kekuatan lensa oleh kontraksi dari otot

ciliary, di inerfasi oleh saraf kranial III.

Reseptor, setiap sel batang dan kerucut dibagi menjadi segmen luar, segmen dalam yang

mengandung inti-inti reseptor dan daerah sinaps. Segmen luar adalah modifikasi silia dan

merupakan tumpukan teratur sakulus atau lempeng dari membrane. Sakulus dan membrane ini

mengandung senyawa-senyawa peka cahaya yang bereaksi terhadap cahaya dan mampu

membangkitkan potensial aksi di jaras penglihatan . segmen luar sel batang selalu diperbaharui

oleh pembentukan lempeng-lempeng baru ditepbagian dalam segmen dsan proses

fagositosis lempeng tua serta dari ujung luar oleh sel-sel eptel berpigmen.

Fotoreseptor terdiri atas dua jenis sel, yaitu koni (kerucut) dan basillli (batang). Sel basilli

yang lebih banyak, berfungsi untuk melihat dalam cahaya remang-remang, tidak untuk melihat

warna. Koni berfungsi untuk melihat cahaya terang dan warna. Lateral terhadap bintik buta

terdapat daerah lonjong disebut macula lutea, demgam cekungan kecil dipusatnya yang disebut

fovea sentralis. Fovea sentralis hanya mengandung koni; macula mengandung kebanyakan koni,

yang makin berkurang kea rah perifer. Retina perifer hanya mengandung basilli. Agar melihat

jelas, berkas cahaya harus jatuh tepat pada fovea sentralis, yang besarnya hanya seujubg jarum

pentul.

16

Page 17: Makalah THT

Semua bangunan transparan yang harus dilalui berkas cahaya untuk mencapai retina

disebut media refraksi, yaitu kornea, lensa dan korpus vitreous. Mata normal akan membiaskan

cahaya yang memasuki mata sedemikian rupa sehingga bayangannya tepat jatuh tepat di retina,

di fovea sentralis.

Mekanisme pembentukan bayangan. Mata mengubah energi dalam spekturm yang dapat

dilihat menjadi potensial aksi di nervus optikus. Panjang gelombang cahaya yang dapat dilihat

berkisar dari 397 nm sampai 723 nm. Bayangan benda di sekitar difokuskan di retina. Berkas

cahaya yang mencapai retina akan mencetuskan potensial didalam sel kerucut dan batang.

Impuls yang timbul di retina dihantarkan ke korteks serebrum, untuk dapat menimbulkan kesan

penglihatan.

Daya akomodasi , biula m. siliaris dalam keadaan istirahat, berkas sinar paralel yang

jatuh dimata yang optiknya normal (emetropia) akan difokuskan ke retina. Selama relaksasi ini

dipertahankan, maka berkas sinar dari benda yang kurang dari 6 m akan difokuskan di belakang

retina dan akibatnya benda tersebut akan nampak kabur. proses meningkatnya kelengkungan

lensa disebut akomodasi. Pada keadaan istirahat, ketegangan lensa dipertahankan oleh tarikan

ligamentum lensa. Karena bahan lensa mudah dibentuk dan kelenturan kapsul lensa cukup tinggi,

lensa dapat ditarik menjadi gepeng. Bila pandangan diarahkan ke benda yang dekat, otot siliaris

akan berkontraksi. Hal ini mengurangi jarak antara tepi-tepi korpus siliaris dan melemaskan

ligamentum lensa, sehingga lensa membentuk mengerut membentuk benda yang lebih cembung.

Pada orang berusia muda bentuk ini dapat meningkatkan daya bias mata hingga 12 dioptri.

Selain akomodasi, terjadi konvergensi sumbu penglihatan dan konstriksi pupil bila

seseorang melihat benda yang dekat. Respon 3 bagian ini : akomodasi, konvergensi, sumbu

penglihatan, dan kontriksi pupil disebut respon melihat dekat.

Gangguan umum pada mekanisme pembentukan bayangan, pada beberapa orang, bola

mata berukuran lebih pendek daripada normal dan sinar yang sejajar difokuskan dibelakang

retina. Kelainan ini disebut hiperopia atau penglihatan jauh. Akomodasi yang terus menerus,

bahkan sewaktu melihat benda jauh dapat sedikit mengkompensasi kelainan, tetapi kerja otot

yang terus menerus akan melelahkan dan dapat menimbulkan nyeri kepala dan penglihatan

kabur. Konvergensi sumbu penglihatan yang terus menerus yang disertai akomodasi akhirnya

dapat menimbulkan juling (strabismus), kelainan ini dapat diperbaiki dengan menggunakan

kacamata dengan lensa konveks, yang membantu daya bias mata dalam memperpendek jarak

17

Page 18: Makalah THT

fokus. Pada miopia (penglihatan dekat), garis tengah antero posterior bola mata terlalu panjang.

Miopia bersifat genetik. Pada orang berusia muda aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan

benda-benda dekat, misalnya belajar dapat mempercepat timbulnya miopia. Kelainan ini dapat

diatasi dengan kacamata lensa bikonkaf, yang membuat berkas cahaya sejajar sedikit

berdivergensi sebelum masuk ke mata. Astigmatisme adalah keadaan yang sering dijumpai

dengan kelengkungan kornea tidak merata. Bila kelengkungan disatu meridian berbeda dengan

kelengkungan dimeridian lain, berkas cahaya di meridian tersebut akan dibiaskan ke fokus yang

berbeda.yang kurang dari 6 meter akan difokuskan di belakang retina dan akibatnya benda

tersebut tampak kabur.

3. Pterigium

Definisi

Merupakan massa yang letaknya superfisial dari bola mata, biasanya terbentuk

konjungtiva perilimbal dan meluas ke permukaan kornea. Besarnya dapat bervariasi, dapat

tumbuh secara invasif hingga menimbulkan perubahan topografi dari kornea dan dalam kasus-

kasus lanjutan dapat mengaburkan pusat optik kornea. Penyebabnya belum diketahui secara

pasti, namun diduga berhubungan dengan adanya iritasi kronis dari debu, sinar matahari dan

udara panas. Sehingga faktor resiko dari pterigium adalah tingginya paparan sinar UV dan

pekerjaan yang banyak dilakukan di luar ruangan.

Epidemiologi

Pterigium lebih banyak ditemukan pada pria, hal tersebut kemungkinan berhubungan

dengan aktivitas yang lebih banyak di luar ruangan sehingga lebih mudah terpapar debu dan

sinar UV. Jumlahnya dua kali lebih banyak disbanding wanita. Insiden tertinggi pterigium adalah

pada usia 20-40 tahun. Sedangkan prevalensi tertingginya pada usia di atas 40 tahun.

18

Page 19: Makalah THT

Stadium Pterigium

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumpuhan pterigium

dibagi menjadi:

Derajat Keterangan Gambar

Derajat I Hanya terbatas pada limbus

Derajat II Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea

Derajat III Jika telah melewati derajat 2 tetapi

tidak melebihi pinggir pupil mata

dalam keadaan cahaya normal (pupil

dalam keadaan normal sekitar 3-4

mm)

Derajat IV Jika pertumbuhan pterigium sudah

melewati pupil sehinggamengganggu

penglihatan.

Gejala Klinis

19

Page 20: Makalah THT

Gejala pterigium sangat bervariasi, pterigium dapat tidak bergejala atau sebaliknya yaitu

menunjukkan gejala yang signifikan seperti mata merah, gatal, iritasi dan penglihatan yang

kabur. Munculnya gejala gangguan penglihatan tersebut berhubungan dengan lesi yang telah

menginvasi kornea yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Akibat penarikan kornea oleh lesi

pterigium, penderita dapat mengalami astigmatisma, yang biasanya tipe astigmatisma ireguler.

Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya perubahan fibrovaskular pada

permukaan konjungtiva dan kornea saat dilakukan inspeksi. Kebanyakan lesi pterigium terdapat

di bagian nasal, meskipun pterigium dapat pula terdapat di bagian temporal. Manifestasi klinis

dari pterigium dapat dibagi dua, yaitu :

Proliferasi minimal disertai gambaran yang relative atrofik, pterigium tipe ini akan lebih

mendatar dan pertumbuhannya lebih lambat serta memiliki insiden rekurensi yang lebih rendah

pasca operasi.

Proliferasi secara cepat, biasanya menimbulkan gejala yang lebih signifikan dan memiliki

kekambuhan yang tinggi setelah dilakukan operasi pengangkatan pterigium.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan topografi kornea dapat berguna untuk menentukan derajat astigmatisma

ireguler yang disebabkan oleh pertumbuhan invasif pterigium. Sedangkan pemeriksaan external

photography dapat membantu untuk mengobservasi progresifitas dari pterigium tersebut.

Patofisiologi

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastik kolagen dan proliferasi

fibrovaskular. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastik menunjukkan

basophilia dengan hematoxylin dan pewarnaan eosin. Jaringan tersebut dapat diwarnai oleh

pewarnaan jaringan elastis, akan tetapi jaringan tersebut bukan merupakan jaringan elastis sejati

dan tidak dapat dicerna oleh elastase..

Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium tidak harus melakukan operasi, sebab tingkat kekambuhannya

tinggi terutama pada pasien-pasien dengan faktor resiko. Akan tetapi, perlu dilakukan observasi

20

Page 21: Makalah THT

secara berkelanjutan sebab lesi pterigium mudah teriritasi dan dapat terus tumbuh sehingga dapat

menutupi media penglihatan, akibatnya visus dapat menurun. Apabila terjadi iritasi dapat steroid

atau tetes mata dekongestan.

Penatalaksanaan pterigium yang terpenting adalah melindungi mata dengan pterigium

dari sinar ultraviolet misalnya dengan memakai kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang

dapat diberikan air mata buatan dan bila perlu diberikan steroid.

Operasi pengangkatan pterigium dilakukan bila telah menimbulkan astigmatisma atau

menutup media penglihatan, dibawah anestesi topikal atau lokal dan ditambah sedasi bila

diperlukan. Terdapat 3 teknik operasi pterigium, yaitu bare sklera (hanya meliputi pengangkatan

lesi pterigium), teknik subkonjungtiva (lesi diangkat kemudian sisanya di selipkan di bawah

konjungtiva bulbi, tujuannya agar jika residif pterigium tidak akan menginvasi kornea), dan

teknik  graft (pterigium setelah diangkat lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa

mulut/konjungtiva forniks). Setelah operasi, biasanya mata pasien merekat pada malam hari,

perawatanya dengan memakai obat tetes mata atau salep mata anibiotika/ antiinflamasi.

Medikamentosa yang dapat diberikan pada pterigium antara lain :

- Air mata artificial untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada

lapisan mata.

- Obat tetes mata antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan

okular lainnya. Dapat membantu mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada

permukaan okular. Contoh obatnya adalah prednisolon asetat (Pred Fo 1% merupakan suatu

suspense kortikosteroid yang pemakaiannya dibatasi untuk  inflamasi berat yang tidak dapat

disembuhkan dengan pelumas topikal lain.

Prognosis

Prognosis ptergium secara visual dan kosmetik baik. Pada hari pertama pasca operasi,

sebagian besar pasien dapat melanjutkan aktifitas penuh. Pasien-pasien yang kembali terkena

perigium, dimana rekurensi adalah komplikasi utama dari pterigium, maka dapat dilakukan

operasi eksisi kembali dengan conjungtiva/limbal autograft atau transplantasi membrane

amniotic pada pasien tertentu.6

21

Page 22: Makalah THT

4. Konjungtivitis

Inflamasi bulbar dan atau konjungtiva palpebral, atau konjungtivitis dapat disebabkan

karena alergi, virus atau bakteri. Konjungtivitis bacterial biasanya disebabkan oleh stafilokokus,

streptokokus, klamidia dan gonokokus. Konjungtivitis ringan dapat sembuh sendiri dan mudah

diatasi dengan antibiotic. Konjungtivitis berat, seperti yang disebabkan oleh gonokokus dapat

menyebabkan kebutaan.

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit

mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak

mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit

ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan

banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009). Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat

menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan

oat-obatan topical dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan

infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif.1

Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut

dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria

kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia

dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri

subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi

pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang

sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada

orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, pengguna lensa kontak, penderita sinusitis,

keadaan imunodefisiensi dan terekspos oleh penderita STD pada saat lahir.

Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci,

staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh

22

Page 23: Makalah THT

ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan

pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ

sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka

panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta

resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009).

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi

konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal

dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata,

mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada

mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).

Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi

konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri

biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering

dijumpai edema pada kelopak mata(AOA, 2010).

Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri

namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan

reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat

pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).

Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit

berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang

aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada

pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama

sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat

pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap

obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).

Penatalaksanaan

23

Page 24: Makalah THT

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya.

Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis

purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi

topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus

dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva.8

24

Page 25: Makalah THT

BAB V

KESIMPULAN

Pada pasien yang datang dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari ini berdasarkan

hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosis kerja Pterigium

dengan Konjungtivitis Bakterial. Tetapi, pada pasien ini masih membutuhkan pemeriksaan

tambahan untuk menentukan etiologi konjungtivitis bakterialnya. Sementara pada pasien ini

belum diketahui etiologi pada konjungtivitisnya, maka kami memberikan antibiotik

broadspectrum untuk tatalaksana konjungtivitis. Sedangkan untuk pterigium, kami memberikan

optional berupa tindakan operasi, selain itu, kami memberikan edukasi kepada pasien.

25

Page 26: Makalah THT

DAFTAR PUSTAKA

1. Alloyna, Dhika. Prevalensi Konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan pada Tahun 2009 dan 2010. Available at : Prevalensi Konjungtivitis di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 dan 2010.

Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. Available at:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31458

2. Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. In: Riordon-Eva P, Whitcher JP; editors.

Vaughan arid Asbury's General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraW'Hill

Companies: 2004.p. 119

3. Ilyas S. Mata merah. Ilmu Penyakit Mata 3rd Ed. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.2009.p.116-8

4. Konjungtivitis Bakterial. Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on

September 8, 2012.

5. Pterigium. Available at: http://m.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=820.

Accessed on September 8, 2012

6. Pterigium Available at : http://www.scribd.com/doc/85926843/makalah-mtht-1. Accesed

on September 6, 2012

7. Rubenstein JB, Virasch V. Conjunctivitis: Infectious and noninfectious. In: Yanoff M,

Duker JS, eds. Ophthalmology. 3rd ed. St. Louis, Mo: Mosby Elsevier; 2008:chap 4.6.

8. Yeung Karen K. Bacterial Conjunctivitis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1191730-overview#a0104

26