MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

22
MAKALAH MATA KULIAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN MODEL KURIKULUM DAN KURIKULUM TERSEMBUNYI DI SUSUN OLEH : 1. HIDAYAT KALIJAR F55012033 2. ISTIQA NURTIARANI F55012035 3. TIARA RATNA P. SIREGAR F55012034 SEMESTER/ KELAS : II / A REGULER A DOSEN : Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Transcript of MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Page 1: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

MAKALAH

MATA KULIAH

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

MODEL KURIKULUM DAN KURIKULUM TERSEMBUNYI

DI SUSUN OLEH :

1. HIDAYAT KALIJAR F55012033

2. ISTIQA NURTIARANI F55012035

3. TIARA RATNA P. SIREGAR F55012034

SEMESTER/ KELAS : II / A

REGULER A

DOSEN :

Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si

PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2012/2013

Page 2: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat

dan karunia-Nya,kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul Model

Kurikulum dan Kurikulum Tersembunyi. Pada makalah ini, kami berusaha menjelaskan

beberapa model kurikulum yang dapat menjadi pilihan dalam menjalankan proses

pendidikan, khususnya bagi soisologi pendidikan.

Makalah ini disusun berdasarkan Informasi dan Referensi buku, yang dikupas dan

disajikan sedemikian rupa agar dapat berguna dan membantu kita dalam mengikuti kegiatan

perkuliahan.

Pada kesempatan ini pula, kami ingin mengucapkan rasa terima kasih kami kepada

bapak Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si yang telah membantu membimbing kami sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya sekaligus meminta maaf jika

dalam penyajiannya masih terdapat banyak kekurangan.

Selanjutnya, kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan dapat memudahkan

kita dalam mengikuti kegiatan perkuliahan di kampus.

Pontianak,

Penulis

Page 3: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

DAFTAR ISI

A. MODEL KURIKULUM: PENDEKATAN TEORITIS …………………………………1

1. Model kurikulum teknik saintifik………………………………………………………1

2. Model Kurikulum Refleksif……………………………………………………………1

3. Model Kurikulum yang Relasional………………….…………………………………2

B. KURIKULUM TERSEMBUNYI……………………………………………………………3

C. KURIKULUM DAN EVALUASI……………………………………………………………6

1. Evaluasi Kurikulum……………………………………………………………………6

2. Dampak Evaluasi Kurikulum pada Proses di Sekolah…………………………………7

D. KESIMPULAN……………………………………………………………………………..11

Page 4: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

A. MODEL KURIKULUM: PENDEKATAN TEORITIS

Berikut beberapa pendekatan teoritis yang berkembang dalam konstruksi model

kurikulum :

1. Model Kurikulum Teknik Saintifik

Model pendekatan teknik saintifik menyatakan bahwa pengembangan kurikulum

adalah rencana strukturisasi lingkungan belajar dan koordinasi elemen-elemen dari

personil, dan bahan. Inti dari model kurikulum teknik saintifik atau rasionalitas adalah

semua bentuk kehidupan manusia dapat dicari hukum-hukum yang bersifat umum. Melalui

hukum ini, kegiatan manusia dapat dikontrol, dirasionalisasikan, atau dibirokrasikan.

Dengan cara itu, kurikulum dipandang memiliki derajat obyektifitas, universilitas dan

logika yang tinggi, sehinggga efisisensi dan efektifitas pendidikan yang tinggi dapat

dicapai. Jadi, model kurikulum ini melihat dunia pendidikan bagaikan mesin yang

digambar, dibuat, dan diamati.

2. Model Kurikulum Refleksif

Kurikulum dilihat sebagai konsruk sosial dari para pembuatnya. Oleh sebab itu

kurikulum dapat diperbincangkan, dirundingkan, dan dinegoisasikan secara bersama. Ada

dua tingkatan kurikulum dalam perspektif ini, yaitu :

a) . Kurikulum Holistik

Kurikulum holistik yaitu suatu bangunan keseluruhan yang diterima peserta didik

dari sekolah seperti kurikulum SMA jurusan IPS atau kurikulum pendidikan sosiologi

di suatu perguruan Tinggi. Dalam konsrtuksi kurikulum holistik, kurikulum dapat

dirundingkan dengan skateholders atau pihak berkepentingan. Dalam konsrtuksi

kurikulum program studi pendidikan sosiologi, pihak pengelola program studi (prodi)

dapat mengundang semua dosen prodi, pemerintah daerah (provinsi, kota dan

kabupaten) perusahaan/industry, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tiga

pihak yang disebut terakhir yaitu pemda, pebisnis, dan LSM merupakan pihak

pengguna dari suatu yang dihasilkan(lulusan) oleh lembaga pendidikan. Adapun para

pengelola dan dosen prodi merupakan pihak yang menyedikan jasa pendidikan. Oleh

karena itu, antara apa yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dan apa diminta oleh

Page 5: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

pihak pengguna sedapat mungkin terjadi kedekatan atau kesesuian. Dalam konteks

inilah suatu kurikulum diperbincangkan, didiskusikan, dan dirundingkan dan

dinegoisaikan secara bersama.

b) . Kurikulum Parsial

Kurikulum parsial yaitu suatu bagian tertentu dari bangunan keseluruhan yang

diterima peserta dari sekolah seperti silabus sosiologi di SMA jurusan IPS atau

sosiologi pendidikan dari program studi pendidikan sosiologi. Dalam konstruksi

kurikulum parsial, silabus dapat pula diperbincangkan, didiskusikan, dan

dinegoisasikan secara bersama. Dalam mata kuliah sosiologi pendidikan, misalnya,

dosen dapat menawarkan konsrtuksi materi atau isi mata kuliah yang diperlukan oleh

mahasiswa secara bersama. Dengan kata lain, materi atau isi mata kuliah sosiologi

pendidikan diperbincangakan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegoisasikan secara

bersama antar dosen dan mahasiswa pada saat membuat kontrak belajar. Pada

tingkatan perguruan tinggi, kurikulum, baik secara holistik maupun parsial, dapat

diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan dan dinegoisasikan secara bersama.

Namun untuk pendidikan menengah hal itu sukar dilakukan karena terlalu banyak

relativitas dan naïf misalnya mengenai kemampuan guru untuk mengubah batasan

yang ada tentang pengetahuan. Selain itu, tidak mungkin kurikulum, misalnya

silabus suatu mata pelajaran diperbincangkan, didiskusikan, dirundingkan, dan

dinegoisasikan secara bersama antara guru dan murid.

3. Model Kurikulum Yang Relasional

Intinya adalah usaha untuk mempertalikan apa yang diajarkan di sekolah

dengan struktur sosial. Jadi, adanya pengakuan bahwa apa yang dianggap sebagai

pengetahuan di sekolah tumbuh dari suatu latar belakang dari historis tertentu.

Pemikiran tentang apa yang seharusnya diajarkan di sekolah, bagaimana cara

mengerjakannya, dengan cara apa mengerjakannya, dan siapa yang dapat

mengerjakannya, adalah refleksi dari sejarah struktur sosial atau masyarakat. Dengan

kata lain, apa yang diusungkan dalam pemikiran tentang tujuan, isi, materi, dan

strategi dalam kurikulum merupakan cerminan sejarah perjuangan hidup yang

diharapkan dapat diselesaikan melalui pendidikan. Para perancang hukum dihapkan

Page 6: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

mampu untuk menangkap realitas-realitas yang ada di masyarakat. Contoh, ketika

persoalan korupsi dipandang sebagai suatu penyakit masyarakat dan menakutkanm

maka lembaga kejaksaan mengintroduksi suatu “materi pelajaran” yang bernama

kantin kejujuran. Pada saat, narkoba dan AIDS telah merusak dan membunuh

banyak orang, maka banyak pihak yang menyarankan agar memasukkan materi

tentang bahaya narkoba dan AIDS ke dalam kurikulum sekolah. Ketika tawuran

antar-pelajar dan mahasiswa merajalela, maka berbagai pihak menyarankan pula

agar idealitas dan praksis tentang budi pekerti demokrasi, hak asasi manusia,

keadilan, dan multikulturalisme ini dalam kehidupan sehari-hari. Ide seperti ini

dilihat sebagai bagian dari bagaimana kurikulum relasional ini dikonstruksi.

B. KURIKULUM TERSEMBUNYI

Kurikulum tersembunyi atau kurikulum terselubung, secara umum dapat

dideskripsikan sebagai “hasil (sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau

luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan

sebagai tujuan”. Beragam definisi lain telah dikembangkan berdasarkan pada

perspektif yang luas dari mereka yang mempelajari peristiwa ini. Segala bentuk

pendidikan, termasuk aktivitas rekreasional dan sosial tradisional, dapat mengajarkan

bahan-bahan pelajaran yang sebetulnya tak sengaja karena bukan berhubungan dengan

sekolah tetapi dengan pengalaman belajar. Tetapi umumnya, kurikulum tersembunyi

mengacu pada berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh dalam sekolah dasar dan

menengah, biasanya dengan suatu konotasi negatif yang mengacu pada ketidaksamaan

yang muncul sebagai akibat hal tersebut. Sikap ini berasal dari komitmen sistem

sekolah yang mempromosikan demokrasi dan memastikan pengembangan kecerdasan

yang sama. Sasaran tersebut dihalangi oleh pelajaran-pelajaran yang tak terukur ini..

Dalam konteks ini, kurikulum tersembunyi disebut sebagai memperkuat

ketidaksamaan sosial dengan mendidik siswa dalam berbagai persoalan dan perilaku

menurut kelas dan status sosial mereka.

Sama halnya seperti adanya ketidaksamaan distribusi modal budaya di

masyarakat, berupa distribusi yang berhubungan dalam pengetahuan di antara para

siswa. Kurikulum tersembunyi juga dapat merujuk pada transmisi norma, nilai, dan

Page 7: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

kepercayaan yang disampaikan baik dalam isi pendidikan formal dan interaksi sosial

di dalam sekolah-sekolah ini. Kurikulum tersembunyi sukar untuk didefinisikan secara

eksplisit karena berbeda-beda antar siswa dan pengalamannya serta karena kurikulum

itu selalu berubah-ubah seiring berkembangnya pengetahuan dan keyakinan

masyarakat. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sebagai konsep tetap

digunakan, namun pengertiannya diperluas menjadi sebagai sesuatu yang diajarkan

dan dipelajari bersama dengan kurikulum resmi atau formal, melekat dalam aturan,

regulasi dan rutin tidak tertulis tentang perilaku dan sikap, sepreti ketaatan pada pihak

yang berwenang dan norma yang berlaku umum (arus utama), serta iklim, hubungan

kekuasaan, dan konsekuensi yang tidak terantisipasi.

Kurikulum tersembunyi memperlihatkan, misalnya, bagaimana pelajaran-

pelajaran yang diperoleh para murid atas kenyataan bhawa mereka merupakan bagian

dari suatu komunitas, sperti konsepi tentang rapi akan diajarkan, pada umumnya,

berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok menengah ke atas. Dalam

penerapan konsep kurikulum tersembunyi ini, bisa mengarah kepada sistem

pendidikan yang positif dan bisa juga mengarah ke arah yang negatif. Seperti contoh

berikut :

Konsep rapi pada masyarakat Indonesia, misalnya, dikatakan bahwa seseorang

rapi apabila dia menggunakan pentolan atau bersepatu. Sehingga dia dipandang

berbusana pantas karena rapi untuk menghadiri berbagai kegiatan resmi seperti

ke sekolah, bekerja di kantor. Seseorang tidak dipandang rapi apabila dia

mengenakan sarung dan sandal, meskipun busana yang dikenakan harum dan

tidak kusut. Kerapian dalam busana kerja dan sekolah ini merupakan contoh

dari penerapan kurikulum tersembunyi yang positif.

Contoh dari penerapan kurikulum tersembunyi yang bersifat negatif adalah

kekerasan dan koruptif dalam dunia pendidikan. Sebagian dari pendidik

mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin, tetapi pada kenyataan dan faktanya

bahwa hal tersebut benar-benar terjadi dalam dunia pendidikan kita. Setiap

lembaga pendidikan formal memiliki suatu kegiatan yang bernama masa

orientasi (maha) siswa atau dengan berbagai nama lain yang maksudnya sama.

Kegiatan ini dimaksudkan oleh para penggagasnya atau pelaksananya sebagai

Page 8: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

cara “inisiasi” bagi para anggota baru untuk masuk ke dala komunitas baru,

yang bernama sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan

perguruan tinggi. Melalui “inisiasi” ini para anggota baru diharapkan dapat

menerima nilai dan norma berupa mandiri, kerja jeras dan disiplin. Tetapi

dalam pelaksanaannya berbeda dari bagaimana seharusnya. Seperti contoh,

untuk menerapkan disiplin kepada junior, senior membuat peraturan tentang

kehadiran tepat waktu dalam berbagai kegiatan “inisiasi” tersebut, misalnya

pushup, lari keliling suatu area, merayap di tanah atau lantai, dan lainnya.

Menariknya para senior tidak sekedar menemukan kesalahan, tetapi lebih

banyak “mencari-cari” berbagai kesalahan junior. Jika junior dianggap

bersalah, maka salah satu bentuk hukuman yang diterimanya adalah kekerasan

lunak, yaitu kekerasan psikologis dan emosional, diamana para junior

dimarahi, dihardik, dan dibentak, malah tidak jarang dicaci, dimaki, atau dihina

di depan khalayak oleh senior. Bila senior memandang kesalahan yang

dilakukan oleh junior telah memasuki skala berat ini cenderung berupa

kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang diterima oleh junior atas kesalahan, yang

tidak jarang bukan merupakan kesalahan yang mereka buat, adalah dijewer

telinga, dipukul, ditendang, bahkan sampai nyawa melayang (meninggal).

Demikianlah bagaimana kurikulum tersembunyi berkembang dalam praktik

dari suatu proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran. Keadaan seperti

yang disebut di ataslah menjadi akar tunggang dari rantai kekerasan dan

perilaku koruptif dunia pendidikan yang tidak bisa diputuskan. Oleh sebab itu,

dapat dipahami mengapa berbagai kurikulum tersembunyi berdampak negatif

bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang tidak serta merta dienyahkan dari

bumi pertiwi.

Page 9: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

C. KURIKULUM DAN EVALUASI

Diskusi kurikulum dan evaluasi meliputi pembahasan tentang evaluasi dan dampak

evaluasi kurikulum pada proses di sekolah.

1. Evaluasi kurikulum

Evaluasi kurikulum dapat dipahami secara holistik dan parsial. Secara holistik,

evaluasi kurikulum berarti evaluasi pendidikan secara menyeluruh, meliputi :

- Isi atau substansi

- Proses pelaksanaan program pendidikan

- Kompetensi lulusan

- Pengadaan dan peningkatan kemampuan tenaga pendidikan

- Pengelolaan (menejemen) pendidikan

- Sarana dan prasarana

- Pembiayaan, dan

- Penilaian pendidikan

Adapun secara parsial, evaluasi kurikulum meliputi sebagian komponen dari

semua yang dijelaskan di atas, biasanya menyangkut penilaian hasil belajar, yang pada

gilirannya diharapkan dapat memperbaiki cara belajar peserta didik dan perbaikan

program pembelajaran. Evaluasi kurikulum melalui ujian nasional menjadi persoalan

ketika ia menjadi standar kelulusan yang bersifat nasional pula. Kebijakan ujian nasional

sebagai standar kelulusan secara nasional mengabaikan kenyataan bahwa adanya masalah

pada perbedaan dalam standar fasilitas dan guru yang dimiliki, baik antardaerah maupun

antarsekolah secara nasional. Ketimpangan fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan,

computer dan lain sebagainya serta kualitas dan kemampuan guru yang sedemikian rupa

secara nasional telah menyebabkan ketidakadilan dalam persaingan secara nasional pula.

Seperti kita ketahui bahwa semakin dekat suatu sekolah ke pusat kota, maka semakin

baik kualitas guru dan fasilitas yang dimiliki sekolah. Sekolah yang berada di Jakarta

akan lebih baik kuantitas dan kualitas fasilitas serta guru yang dimiliki dibandingkan

dengan sekolah yang ada di Papua. Oleh sebab itu, realitas ujian nasional sebagai standar

kelulusan telah menimbulkan dampak negatif seperti yang dikemukakan di bawah.

Page 10: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

2. Dampak Evaluasi Kurikulum Pada Proses Sekolah

Pada bagian ini akan didiskusikan dampak evaluasi kurikulum secara nasional pada

proses sekolah. Dampak evaluasi kurikulum secara nasional ini memiliki dampak negatif

dan positif.

a. Dampak Negatif Evalusi Kurikulum

Dampak negatif dari kurikulum secara nasional meliputi dampak terhadap proses

belajar mengajar (PBM), dampak pada hubungan sosial guru dan murid serta dampak

pada nilai dan norma.

Dampak Terghadap Proses PBM

Jika evaluasi kurikulum dimaksudkan sebagai standar kelulusan siswa

secara nasional pula, maka ia akan menimbulkan beberapa dampak terhadap

proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, antara lain, sekolah tidak lagi menjadi

lembaga pendidikan yang mentransmisikan nilai dan norma yang dipandang

penting dalam menghadapi kehidupan. Kalaupun transimisi nilai dan norma

dilakukan, itu pun hanya sampai pada semester pertama kelas 2. Karena pada

semester kedua kelas 2, sekolah cenderung untuk lebih memprioritaskan siswa

untuk menguasai “materi” ujian nasional. Kosekuensinya sosialisasi di sekolah

tidak sempurna.

Dampak pada Hubungan Sosial antara Guru dan Murid

Ujian nasional telah menciptakan stratifikasi sosial terhadap guru oleh

para siswa. Semua guru dibuat stratifikasinya berdasarkan atas dua kelas, yaitu

kelas mata pelajaran yang ikut diuji dan kelas mata pelajaran yang tidak ikut

diuji pada ujian nasional. Perbedaab kelas ini memberikan dampak pada

perbedaan sikap, perilaku, dan tindakan terhadap guru oleh para siswa. Dalam

stratifikasi sosial ini, guru yang mengajar mata pelajaran yang ikut diuji

memperoleh perhatian, penghormatan, dan ketundukan yang lebih besar

dibandingkan dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak ikut diuji

dalam ujian nasional. Keadaan ini selanjutnya memberikan dampak terhadap

kemampuan guru untuk memotivasi dan menasihati murid serta sebaliknya

kepatuhan murid terhadap motivasi dan nasihat yang diberikan guru.

Page 11: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Dalam berbagai perbincangan dengan banyak guru dari beebagai level

sekolah ditemukan bahwa peserta didik lebih taat, patuh, dan penurut apabila

mereka disuruh untuk rajin dalam mengulang pelajaran di rumah oleh guru yang

mengajar mata pelajaran yang diuji pada ujian nasional. Sebaliknya, bila guru

yang mengajar mata pelajaran yang tidak diuji menyarankan agar siswa rajin

belajar mengurangi materi di rumah, maka kebanyakan jawaban yang keluar dari

mulut para siswa adalah: “ bapak/ibu, mata pelajaranya tidak masuk dalam ujian

nasioanal, capek-capek mengulang, menghabiskan waktu saja!” Jawaban seperti

itu tentu sesuatu yang menyakitkan bagi guru. Nasihat dan motivasi yang baik

dibalas dengan pelecehan terhadap mata pelajaran yang diasuhnya. Sehingga,

evaluasi kurikulum sangat mempengaruhi dalam kesenjangan hubungan sosial

antara guru dan murid.

Dampak pada Nilai dan Norma

a). Nilai kejujuran semakin berkurang

kepala dinas, kepala sekolah, dan guru sekolah melakukan berbagai

upaya, baik yang sah maupun yang tidak sah atau melanggar aturan yang ada

untuk mencapai target kelulusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Adapun upaya yang sah dilakukan oleh sekolah di antaranya menambah jam

kegiatan belajar, khususkan pembahasan soal ujian, mengadakan latihan

bersama lembaga kursus, dan sebagainya. Adapun upaya yang tidak sah, yaitu

berupaya menyediakan sebagian atau semua jawaban dari soal ujian nasional

pada sebelum dan/ atau sedang ujian berlangsung, mengatur posisi peserta

ujian sedemikian rupa sehingga si pintar dapat “membantu” peserta ujian

lainnya, memperlonggar pengawasan terhadap peserta ujian, dan sebagainya.

Contoh dari hal di atas menunjukkan bahwa adanya satu nilai yang dilanggar

dan digembosi yaitu nilai tentang kejujuran.

Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa pelaksanaan ujian

nasional dilakukan secara jujur jika gambaran tentang ujian nasional seperti

yang kita pahami di atas. Oleh sebab itu, “ketidakjujuran” dalam pelaksanaan

ujian nasional itu sendiri dapat pula dilihat sebagai pelajaran yang dilaksankan

oleh sekolah dalam kurikulum tersembunyi.

Page 12: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

b). Nilai kerja keras yang semakin menurun

Nilai berikutnya yang didekonstruksi melalui pelaksanaan ujian nasional

adalah nilai tentang pentingnya kerja keras. Dalam konteks pendidikan, kerja

keras diwujudkan dalam usaha yang maksimal dalam belajar dan menimba ilmu

seperti mengulang pelajaran, mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengerjakan

berbagai macam latihan. Melalui berbagai kegiatan tersebut, pserta didik akan

terlatih sehingga memiliki kompetensi seperti yang diharapkan. Pembocoran

kunci jawaban dari soal-soal ujian nasional yang dilakukan oleh pengurus

sekolah dan guru pada waktu sebelum dan sesudah ujian nasional diadakan,

merupakan suatu bentuk dari penggembosan atau pengempesan nilai tentang

kerja keras. Nilai kerja keras telah ditanam oleh setiap pendidik semenjak tahun

pertama menjadi siswa atau mahasiswa. Dengan pembocoran kunci jawaban

tersebut, membuat peserta didik menjadi malas dan cenderung membuat mereka

menjadi serba ketergantungan terhadap kunci jawaban yang sebenarnya

menyebabkan mereka tidak mau berusaha.

c). Nilai tentang Persaingan sehat

Nilai lain yang diruntuhkan melalui pelaksanaan ujian nasional adalah

persaingan sehat. Seperti nilai kejujuran dan kerja keras, nilai persaingan sehat

juga merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh hampir seluruh masyarakat

Indonesia. Kearifan sosial menuntun kita agar berkompetisi sehat dalam

mencapai sesuatu jika sesuai dengan jalannya. Nilai berkompetisi secara sehat

telah disosialisasikan semenjak siswa mendapatkan pelajaran pertamanya di

sekolah seperti tidak boleh curang, misalnya menyontek atau mengakui kerja

orang lain sebagai kerja diri sendiri.

Persengkongkolan berbagai oknum sekolah dalam pembocoran kunci

jawaban dari soal-soal ujian nasional yang dilakukan pada waktu sebelum dan

sesudah ujian nasional diadakan, merupakan suatu bentuk dari pengeroposan

atau pelapukan terhadap nila yang dipandan penting seperti adanya persaingan

secara sehat dalam memperoleh nilai atau keberhasilan dalam ujian.

Pengeroposan dan pelapukan justru terjadi pada saat siswa akan meninggalkan

Page 13: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

lembaga yang memberikannya pendidikan, penbelajaran dan pengajaran. Dengan

kata lain para siswa dilepas kepergian mereka dari sekolah dengan nilai yang

bertentangan dengan apa yang mereka telah terima dan pegang erat pada masa

sebelumnya di sekolah.

Jika kita paha dan sepakat terhadap realitas seperti yang dibeberkan di

atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sekolah telah menghancurkan nilai-

nilai penting dalam peradaban manusia yaitu nilai kejujuran, kerja keras, dan

kompetensi secara sehat. Apabila nilai-nilai peradaban seperti disebut tadi

dihancurkan, maka apakah salah bila kita berkesimpulan bahwa sekolah

membangun keterbelakangan nilai berupa sosialisasi nilai yang berdimensi negatif

pada saat siswa akan meninggalkan sekolah seperti ketidakjujuran, malas, dan

berlaku curang. Oleh sebab itu, perlu pengawasan dan pemantauan ujian yang

ketat, yang melibatkan pengawas, polisi dan tim pemantau.

b. Dampak Positif evaluasi kurikulum

Evaluasi kurikulum secara nasional, melalui ujian yang diselengarakan secara

nasional, namun tidak harus menjadin standar kelulusan nasional, telah menghasilakan

nilai ujian yang berskala pula. Nilai evaluasi secara nasional yang bersifat murni, tidak ada

penmbahan dengan nilai yang berasal dari sekolah, telah menjadi instrumen untuk masuk

ke sekolah yang lebih tinggi, menggantikan tes yang diselenggarakan oleh sekolah yang

dituju. System penerimaan murid baru melalui seleksi peringkat nilai evaluasi secara

nasional yang bersifat murni, memberikan dampak positif. Sebab ini memberikan peluang

dan kesempatan yang adil kepada seluruh peserta didik untuk memasuki sekolah

lanjutannya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Melalui pola ini

dimungkinkan anak-anak dari keluarga miskin bisa menikmati pendidikan di sekolah yang

bermutu karena prestasi sang anak sendiri. Adapun system penerimaan murid baru

melalui tes yang diselenggarakan sekolah menciptakan ketidakadilan karena seleksi ini

menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme sebab uang dan relasi dengan pihak

sekolah (kepala sekolah dan guru) dijadikan standar untuk kelulusan anak.

Page 14: MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

D. KESIMPULAN

Jadi kurikulum adalah semua situasi atau keadaan dalam mana lembaga pendidikan dapat

menyelidiki, mengorganisasi, memonitor, dan mengevaluasi secara sadar terhadap

perkembangan peserta didik. Pendekatan teoritis yang berkembang dalam kontruksi model

kurikulum adalah: model kurikulum teknik saintifik, model kurikulum refleksif, dan model

kurikulum yang rasional. Evaluasi ah dilakukan terhadap kurikulum dapat menimbulkan

dampak positif dan dampak negative.