MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
-
Upload
mei-kurniawati-tahara -
Category
Documents
-
view
22 -
download
0
description
Transcript of MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PERMASALAHAN YANG TIMBUL DARI PILGUB SULAWESI TENGGARA
TANGGAL 4 NOVEMBER TAHUN 2012
OLEH
NAMA : MEI KURNIAWATI
NIM : F1F111054
KELAS : A
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahhi Wabarakatuh
Puji syukur kita hanturkan kepada Allah swt berkat segala rahmat dan hidayahnya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah saya. Dalam Penulisan makalah ini pemakalah
merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki pemakalah. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini pemakalah menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.
Wasalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kendari, November 2012
P e n y u s u n
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang
dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih
yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung
dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden
serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat
masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan suses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah
meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para
pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut
hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan
perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan
penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang
berhubungan dengan pemilih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Landasan Hukum Pilkada
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan
kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari
rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada
rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam
kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah
dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai
sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45
sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan
musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan
dan kegotongroyongan
Indonesia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang
diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan
pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan
wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala
Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung
bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah
dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah
diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota,
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic
education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang
diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang
pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan
otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik
pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen
pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan
dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan
nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari
jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional
yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai
politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya
pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
B. Definisi Partisipasi Masyarakat dan Mobilisasi Massa
Definisi Partisipasi Masyarakat Menurut Para Ahli
Menurut Canter (dalam Arimbi, 1993:1) mendefinisikan partisipasi
sebagai feed-forward information and feedback information. Dengan definisi ini,
partisipasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus
dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi antara pihak
pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat di pihak lain sebagai
pihak yang merasakan langsung dampak dari kebijakan tersebut. Dari pendapat
Canter juga tersirat bahwa masyarakat dapat memberikan respon positif dalam
artian mendukung atau memberikan masukan terhadap program atau kebijakan
yang diambil oleh pemerintah, namun dapat juga menolak kebijakan.
Menurut pendapat Mubyarto (1997:35) bahwa mendefinisikan partisipasi
sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai dengan
kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Nelson, Bryant dan White (1982:206) menyebutkan bahwa keterlibatan
kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan, dapat disebut partisipasi
kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok dapat
disebut partisipasi individual. Partisipasi yang dimaksud ialah partisipasi vertikal
dan horisontal masyarakat. Disebut partisipasi vertikal karena bisa terjadi dalam
kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program
pihak lain, dalam hubungan dimana masyarakat berada pada posisi sebagai
bawahan, pengikut atau klien. Disebut partisipasi horisontal, karena pada suatu
saat tidak mustahil masyarakat mempunyai kemampuan untuk berprakarsa, di
mana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi horisontal satu dengan
yang lain, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka
melakukan kegiatan dengan pihak lain. Tentu saja partisipasi seperti itu
merupakan suatu tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu
berkembang secara mandiri.
Soetrisno memberikan dua macam definisi tentang partisipasi rakyat
(masyarakat) dalam pembngunan, yaitu: pertama, partisipasi rakyat dalam
pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/ proyek pembangunan
yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi
rendahnya partisipasi rakyat dalam definisi ini diukur dengan kemauan rakyat
untuk ikut bertanggungjawab dalam pembiayaan pembangunan, baik berupa uang
maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Kedua,
partisipasi rakyat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat,
dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat tidak
hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan,
tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan
proyek yang akn dibangun di wilayah mereka (Soetrisno, 1995).
Bank Dunia (Suhartanta, 2001) memberikan definisi partisipasi sebagai
suatu proses para pihak yang terlibat dalam suatu program/proyek, yang ikut
mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengembilan
keputusan serta pengelolaan sumber daya pembangunan yang mempengaruhinya.
Sumodingrat (1988).Partisipasi sebagai salah satu elemen pembangunan
merupakan proses adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan.
Dengan demikian partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam
pembangunan. Sumodingrat menambahkan, bahwa parasyarat yang harus terdapat
dalam proses pembangunan berkelanjutan adalah dengan mengikutsertakan semua
anggota masyarakat/rakyat dalam setiap tahap pembangunan.
Conyers (1991) memberikan tiga alasan utama sangat pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) Partisipasi masyarakat
merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan
dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan
dan proyek akan gagal, (2) Masyarakat mempercayai program pembagunan jika
dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena masyarakat lebih
mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek tersebut, (3)
Partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya di
pembangunan ).
Defisi Mobilisasi Massa
Mobilisasi massa dalam pilkada identik dengan tingkah laku masa
kampanye tidak lebih dari sekedar ajang hura-hura peserta pemilu dan massa
pendukungnya. Bahkan, kampanye seolah tak lengkap tanpa konvoi massa.
Selama beberapa kali pemilu, perilaku memobilisasi massa boro2 bisa
memberikan pencerahan kepada pemilih.
Mobilisasi biasanya hanya mungkin dilakukan dalam suatu komunitas
yang lebih mengedepankan emosional ketimbang rasional. Massa yang
dimobilisasi akan lebih mudah hanyut dengan indoktrinasi dari juru kampanye.
Mengapa? Karena peserta kampanye hampir pasti merupakan pendukung dari
kontestan penyelenggara pemilu. Jadi, kampanye hanya merupakan penegasan
dukungan itu.
Kalau pun terukur, mungkin sangat kecil atau memang tidak ada, orang
yang memilih partai karena tertarik dengan tawaran visi, misi dan program partai
yang terungkap dalam kampanye pemilu. Di sini, ada benarnya pernyataan
pengamat Arbi Sanit—pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), bahwa
sebagian besar pemilih di Indonesia bersifat permanen. Sementara, massa
mengambang hanya berkisar 1/3 persen yang juga diduga menentukan pilihan
berdasarkan pilihan orangtua atau panutannya.
C. Pelaksanaan dan Penyelewengan PILKADA
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar
dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing
masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan
kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam
pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing
masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan
pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon,
persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan
pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali .
Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah
dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah
menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak
sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara
bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya
sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah.
Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang
dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat.
Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di
pulau Sulawesi Tenggara. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik
masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali
melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah
tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari
KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan
korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata
dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya
mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk
kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon
juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan
juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.
Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,
maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu
di lingkungan penulis yaitu di Kecamatan Kendari Barat Keluarahan Watu-watu, juga
terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya
karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang
yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum
pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu
calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,
spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat
itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi
ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu.
Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon
menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye
belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada
masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang
terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar
mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan
munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
D. Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi
bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta
masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja untuk menghindari
mobilisasi massa pada tiap pemilukada. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena
pemilu antara lain :
1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban
dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan
panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat
menghindari munculnya konflik.
2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul
perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran
menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan
masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari
kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani
sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat
terlaksana dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat. Tapi dalam pelaksaanaan pilgub yang terjadi di Sulawesi tenggara
bukanlah suatu partisipasi masyarakat, melainkan adalah suatu mobilisasi massa. Ini
semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat. Sehingga masyarakat
dapat sadar dengan pentingnya berdemokrasi, menghargai pendapat, kebersamaan dalam
menghadapai sesuatu.