Makalah Pbl Blok 27

16
Tinjauan Pustaka Tindakan Profesionalisme Kedokteran Gita Pupitasari 102011327 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 e-mail: [email protected] Pendahuluan Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu. 1

description

profesionalisme kedokteran

Transcript of Makalah Pbl Blok 27

Tinjauan Pustaka

Tindakan Profesionalisme KedokteranGita Pupitasari

102011327

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

e-mail: [email protected]

Pendahuluan Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya.

Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran

Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang mungkin terjadi, alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya. Prinsip autonomy berkembang di mana seseorang bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya terhadap dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain.Kasus Skenario 5

Dr. P adalah seorang doketer spesialis obgin yang berpengalaman. Beliau baru saja akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit, ketika seorang wanita datang dengan ditemani soerang ibunya untuk berobat. Namun ibunmya tersebut langsung pergi lagi setelah berbicara dengan suster jaga alasan harus menjaga anak-anaknya yang lain. Lalu pasien menceritakan keluhannya itu yaitu mengalami perdarahan pervaginam dan sangat kesakitan. Dr.P kemudian melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudian Dr.Q datang untuk menggantikan dr.P, yang langsung pulang tanpa berbicara kepada pasien. Informed Consent

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.1

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu memberikaninformed consent kepada pasien. Informed consentberasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.1

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.1Ruang LingkupInformed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.2

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif.Hak-hak pasien dalam pemberianinform consent adalah: 2 Hak atas informasiInformasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.

Hak atas persetujuan (Consent)Consentmerupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikanconsent. Kriteriaconsentyang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.

Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :2a. Diagnosisb. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of medical procedure)c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadie. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative medical procedure and risk)f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan

Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan. Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan kematangannya, serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter.3

Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya. 3

Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. 3Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :41. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.

3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga. 3Tujuan informed Consent5a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui atau disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang merugikan/membahayakan diri pasien.

b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.

Bentuk Informed Consent61. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)

Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka. 62. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)

Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.63. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)

Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive. 6

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent.1

Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut : 11. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.

2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.

3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.

4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

Malpraktek Medik

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hatu melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik. 6

Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3 aspek/hal: 61. Intensional Professional Misconduct : Bahwa seorang dokter atau dokter gigi dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan sengaja. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis (illegal). 62. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien. Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik, namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu tapi tidak sempurna. 63. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter cardiofaskuler melakukan operasi tulang. 6Informed Consent segi Hukum dan Etika

Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.7

Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. 7

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. 7

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya. 7

Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. 7

Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter, yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang dari prinsip menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan. Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hal ini. 7Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di dalam informed concent : 71. Autonomy

Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa menghilangkan kebebasannya. 72. Non-maleficence

Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal yang diinginkan masyarakat secara common sense. 73. Beneficence

Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien. 74. Justice

Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya. 7Kesimpulan Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa tuntutan. Dan dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus mencari tahu terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga kesehatan tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan sehingga tidak membuat kesalahan.

Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan hasil dari pemeriksaan. Karna hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informedconsent). Jadi,informed consentmerupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang. Daftar Pustaka 1. Chang, William. Bioetika sebuahpengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16.2. J. Guwandi. Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7

3. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2001.h. 45-6.4. Peraturan mentrikesehatan Republik Indonesia 290/MENKES/PER/III/2008.

5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2008 .h.160-1. 6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 3. Jakarta: EGC; 1999 .h. 67-72. 7. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta : Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40. 1