Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

33
Hubungan Dokter dan Pasien dalam Kaitannya dengan Aspek Etika, Disiplin, dan Hukum Medis Nike pebrica purnamasari Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana 102012518 Email : [email protected] Pendahuluan Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing- masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Agar setiap dokter dapat memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu dibuatlah suatu kode etik. Kode etik 1

description

pbl

Transcript of Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Page 1: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Hubungan Dokter dan Pasien dalam Kaitannya dengan

Aspek Etika, Disiplin, dan Hukum Medis

Nike pebrica purnamasari

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

102012518

Email : [email protected]

Pendahuluan

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan

pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas

dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.

Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya

masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan

pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa

penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan

medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang

diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini

adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari

transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.

Agar setiap dokter dapat memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu

dibuatlah suatu kode etik. Kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman

etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau

tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik

merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu

kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu  profesi yang diterjemahkan ke dalam

standar perilaku anggotanya. Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk

memberikan pengabdian kepada masyarakat. Nilai professional dapat disebut juga dengan

istilah asas etis. Chung (1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu menghargai harkat dan

martabat, peduli dan bertanggung jawab, integritas dalam hubungan, tanggung jawab

terhadap masyarakat. Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai

perlindungan dan pengembangan bagi profesi. 1

1

Page 2: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Skenario 7

Dr. P seorang ahli obgyn yang berpengalaman, baru saja akan menyelesaikan tugas

jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika Seorang wanita muda dibawa ke RS oleh

ibunya. Si pasien mengalami perdarahan vaginal dan sangat kesakitan. dr. P melakukan

pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba

melakukan aborsi. dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada

suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia bersedia opname di rumah sakit sampai

keadaaanya benar-benar baik. dr. Q datang menggantikan dr. P, yang pulang tanpa

berbicara langsung kepada pasien.

Pembahasan

Abortus

Dalam dunia kedokteran, dikenal istilah abortus, yaitu menggugurkan kandungan,

yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin

dapat hidup di luar kandungan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi

bahwa aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat

janin kurang dari 1000 gram.

Secara garis besar Aborsi dapat kita bagi menjadi:

1. Abortus spontan adalah keadaan di mana gugurnya kandungan seorang wanita yang

dapat disebabkan karena adanya kelainan dari mudigah atau fetus maupun adanya

penyakit pada ibu. Diperkirakan antara 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan

abortus secara spontan, dan secara yuridis tidak membawa implikasi apa-apa. Aborsi

Spontan ini masih terdiri dari berbagai macam tahap yakni:

a) Abortus Imminens. Abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vaginam,

sedangkan jalan lahir masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik di dalam

rahim. Abortus imminens terjadinya pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana

hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.

b) Abortus Inkomplitus. Secara sederhana bisa disebut Aborsi tak lengkap, artinya

sudah terjadi pengeluaran hasil konsepsi tetapi tidak komplit.

c) Abortus Komplitus. Disebut juga Aborsi lengkap, yakni pengeluaran seluruh hasil

konsepsi dari rahim pada kehamilan kurang dari 20 minggu.

2

Page 3: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

d) Abortus Insipiens. Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks

yang telah mendatar, sedangkan hasil konsepsi masih berada lengkap di dalam

rahim.

e) Missed Abortion. Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah

meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi

seluruhnya masih dalam kandungan.

f) Abortus Habitualis. Abortus yang terjadi sebanyak tiga kali berturut turut atau

lebih.

2. Aborsi Provokatus (sengaja) masih terbagi dua bagian kategori besar yakni :

a) Abortus provocatus medicinalis atau abortus theurapeticus

Yaitu penghentian kehamilan dengan tujuan agar kesehatan si-ibu baik agar

nyawanya dapat diselamatkan. Abortus yang dilakukan atas dasar pengobatan

(indikasi medis).

b) Abortus provocatus criminalis

Yaitu tindakan abortus yang tidak mempunyai alasan medis yang dapat

dipertanggungjawabkan atau tanpa mempunyai arti medis yang bermakna.

Indikasi medis melakukan tindakan abortus :

Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang terus

menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion)

Mola Hidatidosa atau hidramnion akut

Kelainan bawaan (trisomi 13,18)

Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis

Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika dengan

adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan lainnya

pada tubuh seperti kanker payudara

Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi

Telah berulang kali mengalami operasi caesar

Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung

organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif,

toksemia gravidarum yang berat

3

Page 4: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai

komplikasi vaskuler, hipertiroid, dll

Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat

Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.

Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus seperti

ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan psikiater. 

Hubungan Dokter Pasien

Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada

sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya

memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya

mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter

dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien.2

Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga

pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu

persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini

dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat

dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko

yang mungkin terjadi. Di Indonesia, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah

memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Mentri Kesehatan Republik

Indonesia No.585/Menkes/1989. Persoalan ini telah diatur secara hukum, sehingga ada

kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.3,4,5

Persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent pada

hakikatnya merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi didalam

praktik dokter. Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan inti

sari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkrit persyaratan informed consent

adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic maupun terapeutik, pada asanya

senantiasa diperoleh persetujuan pasien yang bersangkutan. Didalam Pasal 2 Peraturan

Mentri Kesehatan No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 dinyatakan bahwa semua tindakan medis

yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan dimaksud

diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentanng perlunya tindakan medis

yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.6

4

Page 5: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan (izinnya) maka

barulah dokter spesialis itu boleh melaksanakan tindakannya. Demikian pula tindaka medic

lain yang mengandung risiko. Sebagai lanjutan kepada pasien akan dimintakan untuk

menandatangani suatu formulir sebagai tanda bukti persetujuannya. Harus diadakan

perbedaan antara:7

a. Persetujuan atau izin pasien yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan

pasien berdialog dan memperoleh kesepakatan

b. Penandatanganan formulir tersebut oleh pasien (yang sebenarnya merupakan

pelaksanaan kelanjutan dari apa yang sudah disepakati bersama dan sudah

diperoleh pada waktu dokter memberikan penjelasannya.

Oleh karena itu sebelum pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan

sebagai berikut:9

Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan

medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh

dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan),

Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak

dinginkan yang mungkin timbul,

Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pasien,

Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung,

Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa

adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan

lembaganya.

Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis

tertentu (percobaan) tersebut.

Pernyataan tanda setuju secara tertulis dengan penandatanganan formulir hanya untuk

memudahkan pembuktian jika pasien kelak menyangkal telah memberikan persetujuannya.

Dengan sudah ditandatanganinya formulir tersebut maka jika pasien menyangkal, pasien

harus membukikan bahwa ia tidak diberikan informasi. Namun jika hanya ditandatangani saja

oleh pasien tanpa diberikan informasi yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, maka secarik

kertas itu secara yuridis tidak merupakan bukti kuat bagi sang dokter. Karena pasien

5

Page 6: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

dianggap belum “informed” sehingga belum terdapat suatu kesepakatan dalam arti yang

sebenarnya. Dengan perkataan lain belum ada “consent” yang “informed” dari pasien sebagai

mana sudah diatur didalam PerMenKes No. 585 tersebut.9 Ada dua bentuk persetujuan

tindakan medis yaitu:8

1. Implied Consent (dianggap diberikan)

2. Express Consent (dinyatakan)

Implied consent umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat

menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan atau diberikan

pasien. Misalnya kalau dokter mau mengatakan mau menginjeksi pasien, dia menyingsingkan

lengan baju atau menurunkan celananya. Express Consent dintyatakan secara ;lisan dan dapat

pula dinyatakan secara tertulis dalam tindakan medis invasive dan mengendung risiko, dokter

sebaiknya mendapatkan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Sebetulnya inilah yang

umum dikenal di rumah sakit surat izin operasi.

Hal lain yang perlu diketahui adalah informasi atau penjelasan apa sebaiknya yang

disampaikan kepada pasien sebelum tindakan medis dilakukan. Dalam PermenKes tentang

persetujuan tindakan medis hal ini dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikannya kepada

pasien diminta atau tidak diminta. Artinya harus disampaikan, informasi itu meliputi :8

1.Diagnosis

2.Terapi dan kemungkinan alternative terapi lain

3.Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya

4.Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain (misalnya gatal-gatal)

5.Risiko

6.Keuntungan terapi

7.Prognosa

Aspek Etika

Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis

yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada

niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang

dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk

menyembuhkan atau menolong pasien. Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari

seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik

6

Page 7: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983. 3

Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International

Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-

undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia

yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya,

kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.54

Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan

pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus

pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, begitu juga

sebaliknya. Pada kasus abortus provokatus kode etik yang dilanggar berupa KODEKI Bab II

butir 7d yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup makhluk insani”.3

Contoh pelanggaran etik murni antara lain menarik imbalan yang tidak wajar atau

menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi, mengambil alih pasien

tanpa persetujuan sejawatnya, memuji diri sendiri di depan pasien, tidak pernah mengikuti

pendidikan kedokteran yang berkesinambungan, dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.

Contoh pelanggaran etikolegal adalah pelayanan dokter di bawah standar, menerbitkan surat

keterangan palsu, membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter, abortus provokatus.10

Aspek Disiplin Medis

Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran : 11,12

1. Melakukan praktik kedokteran  dengan tidak kompeten

Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, tenaga medik harus bekerja dalam

batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakkan diagnosis maupun dalam

penatalaksanaan pasien

2. Tidak merujuk pasien kepada tenaga medik lain yang memiliki kompetensi sesuai.

a. Dalam menangani penyakit atau kondisi pasien diluar kompetensinya (karena

keterbatasan pengetahuan, ketrampilan ataupun peralatan yang tersedia), maka

dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau

dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana pelayanan

kesehatan lain yang lebih sesuai.

7

Page 8: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

b. Upaya perujukan tidak  dilakukan pada keadaan-keadaan antara lain :

Sifat sakit pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk

Keberadaan tenaga medik lain dan atau sarana kesehatan yang lebih

tepat  sulit dijangkau

Atas kehendak pasien 

3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki

kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.

a. Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan  tindakan atau prosedur

kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan

ruang lingkup ketrampilan mereka.

b. Dokter harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian

memiliki  kompetensi untuk itu.

c. Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien  tersebut.  

4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki kompetensi dan

kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut;

a. Bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat

menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi

sama dan memiliki SIP.

b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu

sehingga tidak memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang

memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan dokter/dokter gigi

pengganti lainnya.

c. SIP dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus

digantikan.

d. Ketidakhadiran dokter bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi

pengganti pada saat dokter berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada

pasien.  

5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental

sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;    

a. Dalam melaksanakan praktik, tenaga medik yang mengalami gangguan

kesehatan fisik atau mental tertentu dapat dinyatakan tidak kompeten (unfit to

practice) karena dapat membahayakan pasien.

8

Page 9: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

b. Dokter bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk kembali melakukan praktik

kedokteran/kedokteran gigi bilamana kesehatan fisik maupun mentalnya telah

pulih untuk praktik (fit to practice).

c. Pernyatakan  layak atau tidak layak untuk melaksanakan praktik kedokteran

dilakukan oleh “komite kesehatan” yang dibentuk KKI. (diskusi dan usulan

utk KKI) 

6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau

tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab

profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat

membahayakan pasien.  

Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat,

hati-hati, etis dan penuh kepedulian  dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan

penunjang diagnostik

b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien.     

c. Tindakan dan pengobatan secara professional

d. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi

kedokteran.

e. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan  

7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan pasien

a. Dokter atau dokter gigi melakukan pemeriksaan  atau pemberian terapi,

ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien.

b. Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani pasien

dari segi biaya maupun kenyamanan dan bahkan dapat menimbulkan bahaya

bagi pasien.

8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)

kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran

a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to

information), dan oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan

9

Page 10: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

bahasa yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi

tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.

b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan

meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik,

alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang

mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan

yang akan dijalaninya.

d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya

kematian pasien, kecuali atas kehendak pasien   

9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga

dekat atau wali atau pengampunya.

a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya

(well informed) sehingga  pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya

sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau

menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan dokter kepadanya.

b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan

persetujuan (otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana

pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau

keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan

oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung)

atau wali atau pengampunya (proxy).

c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara

tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap

tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan

tertulis.

d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak

memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau

mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan darurat, tindakan

medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.

e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan

harus dari pihak suami/istri.

10

Page 11: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

f. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik (antara lain

imunisasi massal, wabah dan lain-lain) tidak diperlukan persetujuan medis. 

10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.

a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam

medik secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka

penyimpanan rekam medik merupakan tanggung jawab sarana pelayanan

kesehatan yang bersangkutan 

11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak

sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

dan etika profesi

a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas  indikasi medik

yang mengharuskan tindakan tersebut.

b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang

mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter. 

12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan

sendiri dan atau keluarganya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan dan etika profesi.

a. Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan

mengakhiri kehidupan manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah

kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran, juga

bertentangan dengan aturan hukum pidana.

b. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran

kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA)

ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya,

dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi  tetap memberikan

perawatan (ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk

berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan. 

11

Page 12: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan

atau teknologi yang belum diterima atau diluar tatacara praktik kedokteran yang

layak.

a. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter gigi

wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara praktik

kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran.

b. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui penelitian /

uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan manusia sebagai subjek

penelitian  tanpa persetujuan etik (ethical clearance).

Dalam praktik kedokteran dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau klien

sebagai subjek penelitian asal mendapat ethical clearance dari komisi etik penelitian.

15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak

membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan

mampu melakukannya.

a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang

mendasar bagi setiap manusia, khususnya bagi dokter atau dokter gigi di

sarana pelayanan kesehatan.

b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau

apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau

karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan

tertentu. 

16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang

layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika

profesi.

a. Tugas profesional medik adalah melakukan pelayanan kesehatan terhadap

pasien secara tuntas.

b. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter untuk menolak atau mengakhiri

pelayanan kepada pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) :

Pasien melakukan intimidasi terhadap dokter/dokter gigi  

Pasien melakukan kekerasan terhadap dokter/dokter gigi

12

Page 13: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa

alasan.Dalam hal diatas dokter wajib memberitahukan secara lisan

atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin kelangsungan

pengobatan pasien dengan cara merujuk dan menyertakan keterangan

medisnya.

c. Dokter tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan dokter

pasien terapeutik semata-mata karena keluhan pasien (complaint),  alasan

finansial, suku, ras, jender, politik, agama dan kepercayaan.  

17. Membuka rahasia kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan atau etika profesi.

a. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia  pasiennya. Bila  dipandang

perlu untuk menyampaikan  informasi tanpa persetujuan pasien atau

keluarga, maka dokter tersebut harus mempunyai alasan pembenaran.

b. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:

Permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI

Permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan 

18. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang

diketahuinya secara benar dan patut.

a. Profesional medik harus jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan

keterangan medik baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

b. Tenaga medik tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsu.

c. Dalam hal membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter

wajib membaca secara teliti setiap dokumen yang akan ditanda tangani, agar

tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.  

19. Turut serta di dalam perbuatan yang termasuk ke dalam tindakan penyiksaan

(torture) atau eksekusi hukuman mati.

Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara kesehatan fisik,

mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, seorang

profesional medik tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang

bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau pelaksanaan

hukuman mati. 

13

Page 14: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif

lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

etika profesi.

Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat

adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan perundang-

undangan.  

21. Melakukan pelecehan seksual atau tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan

terhadap pasien; Penjelasan: Seorang profesional medik tidak boleh menggunakan

hubungan personal (seperti hubungan seks atau emosional)  yang merusak hubungan

dokter – pasien.  

22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.

Dalam melaksanakan hubungan dokter-pasien, seorang dokter/dokter gigi hanya

dibenarkan menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi sesuai dengan

kemampuan, kewenangan dan  ketentuan perundang-undangan. Penggunaan gelar

dan sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat menyesatkan masyarakat pengguna

jasa pelayanan kesehatan. 

23. Menerima imbalan sebagai hasil dari rujukan atau permintaan pemeriksaan atau

pemberian resep obat/ alat kesehatan.

Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter lain/

sarana penunjang lain, atau pembuatan resep/ pemberian obat, seorang dokter/dokter

gigi hanya dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter

tidak dibenarkan meminta atau  menerima imbalan jasa diluar ketentuan etika

profesi yang  dapat mempengaruhi indepedensi dokter (kick-back atau fee-splitting).

24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang

dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang bertentangan dengan etika profesi.

Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan informasi

tentang kemampuan/pelayanan seorang dokter/dokter gigi untuk kepentingan

pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya, profesional medik hanya dibenarkan

memberikan informasi yang memenuhi ketentuan umum yakni: sah, patut, jujur,

akurat dan dapat dipercaya.

25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.

Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya  (NAPZA)

14

Page 15: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi sehingga berpotensi 

membahayakan pengguna pelayanan medik. 

26. Berpraktik dengan menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang

tidak sah.     

Seorang dokter/dokter gigi yang diduga memiliki STR dan atau  SIP dengan

menggunakan persyaratan yang tidak sah dapat diajukan ke MKDKI. Apabila

terbukti pelanggaran tersebut maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran

Indonesia.

27. Ketidak jujuran dalam bertransaksi  dengan pasien dalam memberikan pelayanan

medik.     

Dokter/dokter gigi harus jujur meminta imbalan jasa sesuai dengan tindakan yang

dilakukan.

28. Dikenai hukuman pidana yang telah berkekuatan tetap atas perbuatan pidana yang

berkaitan dengan keluhuran/martabat profesi kedokteran atau disiplin profesi atau

etika profesi.

MKDKI dapat memperoleh informasi dari instansi resmi maupun dari media massa.

Berdasarkan hal tersebut KKI secara aktif meminta amar keputusan.   

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang- undang No.

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3) adalah : 12

a) Pemberian peringatan tertulis

b) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik; dan/atau

c) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran

atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang

dimaksud  dapat berupa Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin

Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau Rekomendasi pencabutan Surat Tanda

Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamannya;Kewajiban mengikuti pendidikan

atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang  dimaksud  dapat

berupa: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang 

di institusi pendidikan atau  sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan

kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. 12

15

Page 16: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Aspek Hukum

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas,

yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu. Aspek etik seringkali tidak dapat

dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat

menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap

etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai

pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. 13

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter

atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari semakin

tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya

dan lebih asertif, semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai

hasil dari luasnya arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan

kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna,

dan provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri. Praktek kedokteran

berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan

arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau

benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Akan tetapi

banyak sekali kelalaian dalam standar profesional yang berlaku umum atau sebuah proses

dimana terjadi kesalahan dalam prosedur dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan

dokter, kesalahan ini dapat berupa kesalahan diagnosa, kesalahan pemberian terapi, maupun

kesalahan dalam hal penanganan pasien dokter, serta pelanggaran atas tugas yang

menyebabkan seseorang menderita kerugian, akan tetapi bukan hanya dirugikan secara

materil, namun yang lebih utama adalah kerugian pada kejiwaan dan mental pasien serta

keluarganya. Hal ini dilakukan oleh seorang profesional ataupun bawahannya, agen atas

nama klien atau pasien yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien. Hal seperti ini

kita sebut sebagai Malpraktik. 13

Dalam segi hukum dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat

terjadi pada suatu tindakan yang di sengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu ,

tindakan kelalaian, ataupun suatu kekurang mahiran, tidak kompeten dan tidak beralasan.

16

Page 17: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Pelanggaran disiplin profesi baik dengan pelanggaran standart secara sengaja, pelanggaran

prilaku profesi, bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum

administrasi, serta hukum pidana dan perdata.

Pidana umum yang dilakukan antara lain ; pembohongan, keterangan palsu, penahanan

pasien, buka rahasia kedokteran tanpa HAK, aborsi illegal, euthanasia, pelecehan seksual.

Kelalaian medik adalah suatu jenis malpraktik tersering, Kelalaian dapat terjadi dalam 3

bentuk; malfeasance, misfeasance, nonfeasance. Malfeaseance melakukan tindakan medis

tanpa indikasi. Misfeasance melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan

dengan tidak tepat contoh; tindakan medis yang menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah

tidak melakukan kewajiban medis yang merupakan kewajibannya.

Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang

keputusanya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi

profesional mereka dan prosedur operasionalnya dilakukan oleh seorang dokter yang

kompeten diinstalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut

disetujui oleh ibu hamil bersangkutan, suami, atau keluarga (Deklarasi Oslo 1970). Aborsi yang

ilegal atau tanpa indikasi medis adalah salah satu contoh dari pelanggaran sumpah dan kode

etik kedokteran di Indonesia. Hal ini juga tertulis dalam lafal sumpah dokter yang berbunyi

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”. Banyak negara yang

tidak mengizinkan aborsi ilegal, seperti Indonesia, karena aborsi ilegal adalah tindakan

penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20

minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan

darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu. 14

Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat Indonesia.

Namun terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan merupakan masalah kesehatan

masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana

diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan

eklampsia.

17

Page 18: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Abortus buatan legal, yaitu abortus buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan

sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.23 Tahun 1992 tentangkesehatan, yakni harus

memenuhi hal sebagai berikut : 13-14

1) Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun,

dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan

dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk

menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis

tertentu.

A. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil

tindakan medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan

janinnya terancam bahaya maut

B. Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah

tenaga yang memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang

dokter ahli kandungan seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.

C. Hak utama untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan

kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat

diminta dari semua atau keluarganya.

D. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan

peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.

2) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara lain

mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,tenaga

kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk persetujuan, sarana kesehatan

yang ditunjuk.

Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu : 11

1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan

melanggar hukum.  Sampai saat ini masih diterapkan.

2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

3. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan dalam

kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).

18

Page 19: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan

berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam

pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah

dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana

kejahatan dilakukan”.

Kesimpulan

Permasalahan tidak adanya persetujuan / informed consent, dokter juga tidak dapat

dinyatakan bersalah terkait pasal 11 BAB IV Peraturan Menteri Kesehatan No.585 yang

menyatakan Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi

oleh keluarga terdekat dan secara medis berada dalam keadaan gawat atau darurat yang

memerlukan tindakan medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun

Namun, dalam segi etika dan disiplin kedokteran dokter P dianggap tidak profesional

karena menyalahi ikatan antara dokter-pasien dengan tidak melanjutkan pemberian pelayanan

dan keterangan yang cukup baik kepada pasien maupun kepada dokter pengganti yang

merupakan pelanggaran kewajiban dokter sehingga tidak terpenuhinya hak-hak pasien.

19

Page 20: Pbl Blok 27-Etika Kedokteran

Daftar Pustaka

1. Achadiat CM. Dinamika etika dan hukum kedokteran. Jakarta: EGC; 2007. h. 1-2.

2. Nasution BJ. Hukum kesehatan pertanggungjawaban dokter. Jakarta: Rineka Cipta;

2005. h.11-35.

3. Djamin D dan Arifin S. Bahan dasar hukum perdata. Medan: Akademi Keuangan dan

Perbankan; 1993. h.26.

4. Chrisdiono M dan Achadiat. Dinamika etika dan hukum kedokteran dalam tantangan

zaman. Jakarta: EGC; 2006. h.11-31.

5. Komalawati V. Peran informed consent dalam transaksi terapeutik. Bandung: Citra

Aditya Bakti; 1993. h.103-4.

6. Amir A. Bunga rampai hukum kedokteran. Jakarta: Widya Medika; 1997. h.30-4

7. Gunawandi J. Persetujuan tindakan medis (informed consent) pasien, dokter, dan

hukum. Jakarta: FK UI; 2007. h.2, 24-6.

8. Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien.

Jakarta: Diadit Media; 2005. h.10.

9. Ohoiwutun YAT. Bunga rampai hukum kedoteran. Malang: Bayu Media Publishing;

2007. h.17.

10. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan konsil kedokteran Indonesia nomor

15/KKI/PER/VIII/2006 tentang organisasi dan tata kerja majelis kehormatan dan

disiplin kedokteran Indonesia di tingkat provinsi. Diunduh dari

http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Buku_MKDKI.pdf, 2006.

11. Subaidah R, Juita BRH. Abortus provocatus pada korban perkosaan dalam perspektif

hukum pidana. Semarang: Universitas Semarang; 2010.

12. Prodjodikoro W. Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia. Bandung: Refika

Aditama; 2008.

13. Moeljatno. Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta; 2002.

14. Sholehuddin M. Sistem sanksi dalam hukum pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada;

2004.

20