Aborsi Dalam Etika Kedokteran

27
Aborsi dalam Etika Kedokteran Meidalena Anggresia Bahen 102010056 A4 14 September 2013 1

description

aborsiii

Transcript of Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Page 1: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Aborsi dalam Etika Kedokteran

Meidalena Anggresia Bahen

102010056

A4

14 September 2013

1

Page 2: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Aborsi dalam Etika Kedokteran

Meidalena Anggresia Bahen*

Pendahuluan

Kehidupan merupaka suatu anugerah dari Tuhan yang harus dihormati oelh setiap orang.

Kehidupan yang diberikan Tuhan kepada setiappersonal merupakan Hak Asasi Manusia yang

hanya boleh dibuat oleh pemberi kehidupan itu sendiri yakni Tuhan. Berbicara mengenai aborsi

tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya dengan wanita

dan janin yang ada dalam kandungan wanita.

Setiap tahunnya di Indonesia berjuta-juta perempuan mengalami kehamilan yang tidak

direncanakan, dan sebagian besar dari perempuan memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka.

Walaupun dalam kenyataanya aborsi secar umum adalah illegal.Seperti di negara-negara

berkembang lainnya diman terdapat stigma dan pembatasan yang ketat terhadap aborsi,

perempuan Indonesia seringkali mencari bantuan untuk aborsi dngan segala cara.

Dokter yang melakukan aborsitanpa indikasi medis tidak dapat dibenarkan dari segi

hokum maupun etika. Walupun bukti-bukti yang dapat dipercaya tidak tersedia, para peneliti

memperkirakan bahwa setiap tahunnya sekitar dua juta aborsi yang diinduksi terjadi di Indonesia

dan Asia Tenggara . Kurang lebih 40% dari semua kasus abortus adalah Abortus Provokatus

Criminalis. Hal ini merupakan dilema bagi dokter dan profesi kedokteran.1

*Alamat korespondensi :

Meidalena Anggresia Bahen, Mahasiswa semester 6 Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat 11510

Email : [email protected]

2

Page 3: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Diagnosis Prenatal

Invasif

Amniosintesis Midtrimester

Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung sel-sel

janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun 1880 untuk

dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai

dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau isoimunisasi rhesus.

Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama kali dilaporkan pada tahun

1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal

untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan,dan beberapa infeksi kongenital.2,3

Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin. Sel-sel

dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari

saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan

untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun laboratorium lebih

senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis karena banyak mengandung DNA

yang diperlukan untuk kultur.4

Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia

kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai (sekitar 150

ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar.4

Amniosentesis Dini

Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan sebelum 15

minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air ketuban belum

banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga sering menyebabkan

tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan

dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau masuknya kuman

dari usus ke uterus.2, 3

Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan diagnosis

prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi korialis yang

3

Page 4: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG

dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml.

Pemeriksaan Vili Korialis

Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12 minggu, untuk

pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan

pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom, defek gen spesifik dan

aktivitas enzim yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan.2, 3

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang ditakuti

akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang

dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih

besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.3

Non Invasif

Diagnosis PraimplantasiPerkembangan polymerase chain reaction (PCR) telah membawa revolusi dalam

molekuler genetik, teknik ini dapat menggandakan / mengkopi jutaan target segmen DNA.

Dimasa mendatang teknik ini bila dikombinasi dengan teknik fertilisasi invitro akan membantu

diagnosis prenatal terhadap pasangan dengan risiko penyakit keturunan, dimana dengan

pemeriksaan amniosintesis atau villi korialis saja masih sulit untuk menetapkan keputusan

diteruskan atau tidaknya suatu kehamilannya. Kebanyakan wanita hamil akan mengharapkan

janinnya tumbuh lengkap dan tidak mempunyai karier, tetapi untuk itu memerlukan beberapa

teknologi yang dapat melakukan skrining terhadap embrio sebelum terjadinya implantasi.2

Teknologi untuk diagnosis genetik preimplantasi ini dimungkinkan karena adanya

perkembangan didalam fertilisasi invitro, sebelum dilakukan transfer embryo kedalam

kandungan sebagian sel zygot dibiopsi untuk analisa kromosom atau DNA.

Makna aborsi

Aborsi adalah peniadaan buah kandungan yang masih hidup dari rahim seorang ibu

melalui campur tangan manusia sebelum lahir dengan cara membunuhnya. Peniadaan dalam

4

Page 5: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

konteks ini dilukiskan sebagai pembunuhan, pematian, atau pemutusan hidup manusiawi

sebelum waktu kelahirannya, sebab buah kandungan itu adalah makhluk hidup. Yang menjadi

korban adalah makhluk hidup tak berdosa dan tak dapat membela diri. Dengan sederhana, istilah

ini bisa diterjemahkan dengan “keguguran” (tidak disengaja) atau “pengguguran” (sengaja) buah

kandungan sebelum lahir. 5

Di Amerika Serikat, definisi aborsi terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20

minggu, didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering

digunakan adalah pelahiran janin—neonatus yang beratnya kurang dari 500 g.

Temuan morfologis tersering pada aborsi spontan dini adalah kelainan perkembangan

zigot, mudigah, janin dini, atau kadang-kadang plasenta, dan sering terdapat kelainan kromosom.

Sebagai contoh, 60 persen mudigah yang diaborsi mengalami kelainan kromosom. Trisomi

autosom merupakan kelainan kromososm yang tersering ditemukan pada aborsi trimester

pertama. Trisomi 13, 16, 18, 21, dan 22 merupakan yang paling sering. 6

Jenis-jenis aborsi

Abortus dapat terjadi secara spontan atau secara buatan. Abortus spontan dapat

merupakan suatu mekanisme alamiah untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang abnormal.

Abortus buatan (terminasi kehamilan) dapat bersifat ilegal (abortus provocatus

criminalis), atau legal (abortus provocatus therapeuticus). Abortus buatan ilegal yang dilakukan

oleh tenaga yang tidak kompeten, biasanya memakai cara seperti memijit-mijit perut bagian

bawah, pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke dalam jalan lahir, sehingga sering

terjadi infeksi yang berat, bahkan dapat berakibat fatal.

Abortus buatan legal dilakukan hanya berdasarkan indikasi medik, dengan persetujuan

ibu hamil yang bersangkutan/ suami, dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten di

suatu sarana kesehatan tertentu. 7

Aspek- aspek klinis aborsi dibagi menjadi tujuh subkelompok: mengancam (threatened),

tidak terelakkan (inevitable), inkomplet, missed, rekuren, terapetik, dan elektif. Lima

subkelompok pertama adalah aborsi spontan. 6

Aborsi terencana (pengguguran)

5

Page 6: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Ini termasuk pembunuhan langsung atas manusia yang tak bersalah. Pengguguran buah

kandungan oleh manusia dengan sengaja atau terencana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

aborsi langsung dan tak langsung.

(1) Aborsi langsung/ elektif (sukarela) adalah pembunuhan langsung/ penghentian

kehamilan sebelum viabilitas atas permintaan wanita yang bersangkutan tetapi bukan

karena alasan gangguan kesehatan ibu atau penyakit pada janin. Ini tergolong

tindakan kriminal pembunuhan yang melenyapkan hidup manusia. Mereka yang

terlibat dalam aborsi ini dengan sendirinya mendukung tindak aborsi, yakni tindak

kejahatan pembunuhan. 5,6

(2) Aborsi tak langsung adalah pengguguran yang terjadi antara lain karena efek samping

dari pengobatan ibu. Jenis pengguguran ini ada dua.

(a) Aborsi terapeutik adalah campur tangan medis—operasi yang dilaksanakan

sebelum janin mampu hidup untuk meniadakan bagian tubuh yang sakit sebagai satu-

satunya cara untuk menyelamatkan hidup ibu (mencegah cedera tubuh yang serius

pada ibu) karena keselamatan nyawa ibu sungguh terancam. Tindakan meniadakan

bagian tubuh tersebut, berakibat pada gugurnya kandungan. Kasus ini perlu mendapat

tinjauan dan pengkajian yang mendalam dari sudut medis dan etis.2 American College

of Obstetricians and Gynecologists (1987) menyusun pedoman untuk aborsi

terapeutik:

Jika berlanjutnya kehamilan dapat mengancam nyawa atau menimbulkan gangguan

kesehatan yang serius bagi wanita yang bersangkutan. Dalam menentukan apakah

risiko semacam itu ada atau tidak maka keadaan lingkungan keseluruhan saat itu atau

dalam waktu dekat dapat dipertimbangkan.

Jika kehamilan terjadi akibat perkosaan atau inses.

Jika berlanjutnya kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan anak dengan

deformitas fisik atau retardasi mental yang parah.

(b) Aborsi eugenik adalah aborsi yang dilakukan karena alasan genetis dari anak yang

dikandung dengan tujuan memilih anak yang memiliki genetika yang baik. Istilah

yang berbau rasis ini sudah tidak digunakan lagi. Aborsi ini akhirnya terarah pada

aborsi terapeutik karena kemungkinan besar janin mengalami cacat serius akibat

ketidak teraturan genetik, gangguan penyakit-penyakit tertentu tidak terhindarkan,

6

Page 7: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

dan ketidakseimbangan social dalam keluarga.5 Aborsi yang diinduksi secara legal

(terapetik dan elektif) merupakan prosedur yang relatif aman, terutama jika

dilakukan dalam 2 bulan pertama kehamilan. Risiko kematian akibat aborsi yang

dilakukan selama 2 bulan pertama adalah sekitar 0,6 per 100. 000 tindakan.

Risiko relatif meninggal akibat aborsi meningkat sekitar dua kali lipat untuk

setiap 2 minggu penundaan setelah gestasi 8 minggu. 6

Prinsip-prinsip Etika dan Moral Tentang Aborsi

Abortus buatan dapat bersifat illegal (abortus provocatus criminalis) atau legal (abortus

provocatus therapeuticus). Abortus buatan illegal yang dilakukan oleh tenaga yang tidak

kompeten biasanya memakai cara–cara seperti memijit-mijit perut bagian bawah , memasukkan

benda asing atau jenis tunmbuh-tumbuhan ke dalam leher rahim, pemakaian bahan-bahan kimia

yang dimasukkan ke jalan lahir dan lain-lain sehingga terjadi infeksi yang berat bahkan dapat

berakibat kematian. Abortus buatan yang legal dilakukan hanya berdasarkan indikasi

medis,dengan persetujuan ibi hamilyang bersangkutan/suami, dilaksanakan oleh tenaga

kesehatan yang kompeten di suatu sarana kesehatan tertentu. Cara yang digunakan dapat berupa

tindakan bedah (kuretasi atau aspirasi vakum) atau dengan cara medis dan dilaksanakan di rumah

sakit atau klinis-klinis. 1

Dalam Deklarasi Oslo 1970 tentang abortus atas indikasi medis disebutkan bahwa dasar

moral yang dijiwai oleh seorang dokter adalah lafal sumpah dokter yang berbunyi “saya akan

menghormati hidup insane sejak saat pembuahan’. Atas dasar ini abortus buatan dengan indikasi

medis hanya dilakukan berdasarkan atas syarat-syarat sebagai berikut: 1

1. Pengguguran hanya dilakukan sebagai tindakan terapeutik

2. Suatu keputusan untuk menghentikan kehamilan sedapat mungkin disetujui secara

tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih sesuai dengan kompetensi professional.

3. Prosedur pengguguran hendaknya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di

instalasi yang dilakui oleh otorita yang sah.

4. Jika dokter merasa bahwa hati nuraninya tidak membenarkan untuk melakukan

pengguguran tersebut, maka ia berhak untuk mengundurkan diri dan menyerahkan

pelaksanaan tindakan medis tertentu itu kepada sejawatnya yang lain yang kompeten.1

7

Page 8: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Aborsi ditinjau dari segi moral

Setiap manusia, termasuk mereka yang masih dalam kandungan memiliki hak dasar

untuk hidup yang langsung dari Tuhan dan bukan dari orang tua. Janin dalam kandungan

memiliki hak-hak dasar yang setara dengan manusia. Aborsi yang disengaja sama sekali tidak

dapat diterima karena bertentangan atau melawan nilai hidup manusia. Dalam situasi konfliktual,

aborsi sekurang-kurangnya perlu menimbang beberapa nilai berikut: (1) pengakuan atas hak-hak

dasar setiap manusia; (2) perlindungan atas hak-hal dasar ini terkait dengan cinta kasih Sang

Pencipta; (3) pembelaan terhadap gagasan yang benar dari tinjauan keibuan; (4) keselamatan

nyawa yang sedang mengandung anak manusia.

Bagaimanakah dengan aborsi terapeutik? Aborsi ini termasuk isu yang lebih

kontroversial. Tertulianus menyebutnya sebagai “kebutuhan yang kejam”. Dari abad ke-15

hingga ke-17, sejumlah teolog berpendapat bahwa aborsi langsung atas janin yang belum berjiwa

dizinkan untuk menyelamatkan hidup ibu. 5 Penilaian moral terhadap kasus ini perlu

mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:

1. Kita tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah. Menghukum orang yang tidak

bersalah adalah bentuk dari ketidakadilan.

2. Memperalat orang lain. Aborsi langsung demi kesehatan ibu merupakan bentuk

pemanfaatan (instrumentalisasi) orang lain demi kepentingan pribadi. Yang

diperbolehkan hanyalah aborsi terapeutik tidak langsung di mana tujuan intervensi medis

itu adalah untuk menyembuhkan penyakit yang dalam prosesnya terpaksa janinnya

gugur. Contoh wanita terkena kankir rahim gangas padahal dia sedang mengandung

dalam kehamilan muda. Demikian juga, intervensi medis tidak lansung ditujukan kepada

si janin tetapi kepada rahim itu sendiri. Penilaian moral di sini berdasarkan apa yang

disebut prinsip double effect.

3. Adanya kemajuan teknologi kedokteran sudah sangat mengurangi banyak sekali apa yang

tadinya digolongkan sebagai indikasi kesehatan yang valid utnuk melakukan aborsi.

4. Harus ada usaha serius untuk mengetahui apakah memang aborsi ini secara objektuf

menjadi satu-satunya cara untuk menjaga kesehatan si ibu. Apakah masih ada

kemungkinan lain tanpa harus melakukan aborsi.

5. Indikasi sosio-ekonomis tidak bisa menjadi alasan untuk dilakukannya aborsi sebab hidup

manusia itu jauh lebih bernilai daripada semua nilai ekonomi dan sosial.

8

Page 9: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

6. Martabat hidup manusia tidaklah tergantung pada penampilan seseorang secara badaniah,

tetapi martabat manusia itu ada bersama dengan adanya manusia. Oleh karena itu, hal-hal

yang eksternal seperti cacat atau lengkap, berbentuk atau belum berbentuk, laki-laki atau

perempuan, dan sebagainya tidaklah memperngaruhi nilai martabat manusia. oleh karena

itu, tidak bisa dibenarkan aborsi oleh karena janin yang cacat atau belum berumur. 8

Pemeriksaan prenatal kadang berujung pada aborsi akibat abnormalitas janin atau

keguguran yang dipicu oleh prosedur pemeriksaan. Berbagai praktik ini dipandang sahih secara

moral asalkan janin yang bersangkutan tidak dipandang sebagai makhluk hidup. Hipotesis ini

dikecam oleh berbagai pemangku kepentingan. Beberapa rohaniawan, terutama dari agama

Katolik, mengutuk aborsi sebagai suatu tindakan yang amoral, bahkan untuk alasan terapeutik.

Mereka mengatakan bahwa suatu embrio bukan hanya suatu kumpulan organ dan jaringan dalam

rahim seorang wanita tetapi juga merupakan ciptaan Tuhan sehingga embrio tersebut dipandang

sebagai manusia sejak saat pembuahan.

Para pendukung diagnosis prenatal berpendapat bahwa aborsi medis untuk abnormalitas

janin adalah praktik yang sahih selama wanita hamil menyetujui tindakan layanan penapisan

tersebut. Model pilihan individu dan kebutuhan konsumen ini didasarkan pada hak asasi yang

dimiliki oleh wanita: hak untuk memiliki dan mengatur tubuh mereka sendiri, termasuk hak

untuk memilih melakukan aborsi.

Selain itu, terminasi selektif masuk dalam kategori eugenik, yakni suatu pencarian akan

perbaikan kumpulan gen manusia dengan cara mencegah kelahiran beberapa individu yang

dianggap tidak layak untuk hidup. Praktik-praktik tersebut tidak dipandang sebagai sesuatu yang

perlu diatur oleh pemerintah di masyarakat yang demokratik, tetapi dipandang sebagai “eugenik

bawah tangan”; pilihan diserahkan di tangan masing-masing orang tua, dan bergantung pada

pencarian tiap orang akan anak yang sehat. tindakan ini dapat dibenarkan karena didukung oleh

para praktisi kesehatan.

Seberapa parah abnormalitas janin—ketika diagnosisnya belum pasti—seberapa besar

kemungkinan terjadinya kecacatan yang dapat membenarkan tindakan terminasi kehamilan? 9

Aspek Medikolegal

Hukum Kedokteran

9

Page 10: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Soal aborsi telah diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No 23/ 1992 tentang Kesehatan (UUK) dan

peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah lainnya (misalnya Sumpah dan Kode

Etik Kedokteran Indonesia/ KODEKI telah dikuatkan dengan Permenkes).

Dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan tersebut butir-butir yang berkaitan dengan

abortus buatan legal sebagai berikut:

Pasal 15

1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau

janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan:

a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;

b. oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan

dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim

ahli;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;

d. pada sarana kesehatan tertentu.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Di Indonesia tindakan abortus dilarang sejak tahun 1918 menurut KUHP. Dalam pasal

346 sd 349 KUHP dinyatakan bahwa: Barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang

menyebabkan keguguran atau matinya kandungan dapat dikenai penjara. 10

Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku-pelaku abortus

ilegal sebagai berikut:

a. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain melakukannya

(KUHP, Pasal 346, hukum maksimum 4 tahun).

b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnya (KUHP, Pasal 347,

hukum maksimum 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman maksimum 15

tahun).

c. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita tersebut (KUHP,

Pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut meninggal,

maksimum 7 tahun).

10

Page 11: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

d. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP, Pasal 349,

hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaan).

e. Barangsiapa mempertunjukkan alat/ cara menggugurkan kandungan kepada anak

dibawah usia 17 tahun/ dibawag umur (KUHP pasal 283, hukuman maksimal 9 bulan).

f. Barangsiapa menganjurkan/ merawat/ memberi obat kepada seorang wanita dengan

memberi harapan agar gugur kandungannya (KUHP pasal 299, hukuman maksimum 4

tahun. 7

Sumpah dokter dan KODEKI

Sampai saat ini lafal sumpah dokter yang diucapkan antara lain berbunyi “Saya akan

menghormati hidup insan mulai dari saat pembuahan. Pasal 10 KODEKI menyebutkan: “Setiap

dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi mahkluk insan.” Dalam buku

Kode Etik Kedokteran Indonesia yang diterbitkan oleh IDI, disebutkan dalam bagian penjelasan

pasal 10 ini, yakni: Seorang dokter tidak boleh melakukan abortus provacatus dan euthanasia.

Pada bagian lain dari penjelasan itu juga disebutkan bahwa abortus provocatus dapat dibenarkan

sebagai tindakan pengobatan, apabila merupakan satu- satunya jalan untuk menolong jiwa ibu

dari bahaya maut (abortus provocatus therapeutics). Jadi, etika kedokteran sendiri memang

sudah tidak mengizinkan para dokter Indonesia untuk melakukan aborsi kecuali atas indikasi

medis dan rumusan KODEKI inilah yang berlaku di Indonesia. Singkatnya, perbuatan aborsi

merupakan pelanggaran terhadap Sumpah Dokter dan KODEKI, kecuali atas indikasi medis.

Peran IDI

Dalam menyoroti masalah aborsi ini, peran IDI sangatlah menentukan karena sebenarnya

secara moral para dokter (yang merupakan anggota IDI) terikat oleh sumpah dan etika

kedokteran. Tegasnya, seorang (dokter sekalipun) tidak dapat seenaknya menilai, menafsirkan

dan kemudian menyimpulkan sumpah, etika maupun ajaran agama menurut seleranya sendiri! 11

Akta aborsi

Hukum di Inggris mengatakan bahwa aborsi dapat dilaksanakan sampai pada akhir

minggu ke-24 kehamilan bila dua dokter setuju bahwa:

11

Page 12: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

1. Untuk meneruskan kehamilan akan menimbulkan risiko lebih besar cidera bagi kesehatan

mental atau fisik dari perempuan yang mengandung daripada risiko menjalani aborsi;

atau

2. Untuk melanjutkan kehamilan akan menimbulkan bahaya cidera bagi kesehatan mental

atau fisik bayi yang ada dari perempuan yang hamil daripada bahaya menjalani aborsi.

Namun, hukum mengizinkan aborsi pada setiap tahap kehamilan:

1. Bila para dokter setuju bahwa melanjutkan kehamilan akan melibatkan bahaya bagi

kehidupan si ibu;

2. Bila mereka setuju bahwa tindakan aborsi perlu untuk menghindari cidera berat yang

tetap bagi kesehatan fisik atau mental si perempuan hamil;

3. Bila terdapat bahaya serius ketika si anak lahir ia akan menderita ‘ketidaknormalan fisik

atau mental sampai menjadi cacat serius’.

Akta aborsi mengatakan bahwa dalam sebagian besar kasus aborsi di Inggris harus

dilakukan sebelum akhir minggu ke-24 kehamilan. Aborsi yang dilakukan setelah 24 minggu

usia kehamilan sangat jarang dewasa ini.

Ayah dari fetus yang akan diaborsi tidak mempunyai hak untuk dimintai pendapatnya

atau keberatan atas aborsi, bahkan bila ia menikah dengan si ibu.

Sebagian besar aborsi di Inggris dilakukan dengan mengacu pada Akta Aborsi yang

mengizinkan aborsi bila kehamilan melibatkan bahaya bagi kesehatan fisik atau mental si ibu.

Banyak dokter yang terlibat dalam aborsi berpendapat bahwa bila seorang perempuan yakin

tidak ingin mempunyai anak, maka menolak aborsi baginya dapat membahayakan kesehatan

mentalnya. Untuk itu, sebagian besar aborsi di Inggris dilaksanakan demi ‘alasan sosial’ atas

kehamilan-kehamilan yang sungguh-sungguh sehat. 12

Persetujuan tindakan medik (Informed consent)

Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau

kontrak terapeutik.Tiap- tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang

menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus

dihormati.Dalam ikatan demikian lah masalah Persertujuan Tindakan Medik atau yang sekarang

disebut Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu pihak dokter (tim

12

Page 13: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medic

yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka), dan dilain pihak pasien atau

keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik apa yang akan

dilaluinya.

Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter akan

sejalan dengan apa yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien dan keluarga pasien. Hal ini

dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik saja, sedangkan

pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya,

seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.

Perkembangan seputar PTM ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa

di Negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah PTM

ini.Declaration of Lisbon (1981) dan Patients’ Bill of Right (American Hospital Association,

1972) pada intinya menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima informasi dari

dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”.

Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination)

sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang

penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

Dari kacamata demikian, PTM sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan

kesehatan terhadap otonomi hak perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau

mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan

bahwa PTM merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien.

Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan

Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik (informed

consent).

Kalangan kesehatan tentu diharapkan sejak awal telah memahami masalah PTM dengan

baik karena merupakan salah satu batu yang dapat membuat kalangan kesehatan tersandung

dalam menjalankan profesi yang menjurus ke malpraktik medik.

Pengertian PTM

13

Page 14: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

PTM adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Sesungguhnya terjemahan

ini tidaklah begitu tepat.Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah

diinformasikan.Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat

sesuatu. Dengan demikian, Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada

dokter setelah diberi penjelasan.Pengertian demikian tidak tepat tergambar pada terjemahan

PTM. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) mungkin lebih sesuai dengan padanan informed

consent.Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989, istilah

PTM-lah yang resmi dipakai. Dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tahun 2004, istilah ini

diganti lagi dengan istilah baru, yaitu Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi.

Yang dimaksud dengan informed atau memberi penjelasan di sini adalah semua keadaan

yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medikapa yang akan dilakukan dokter

serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien dan keluarga.

Di negeri Belanda, untuk maksud yang sama mereka menggunakan istilah “gerichte

toestemming” yang artinya izin atau persetujuan yang terarah. Jerman menyebutkan

“Aufklarungspflicht” yang berarti kewajiban dokter untuk memberi penerangan.

Dalam Permenkes No. 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan PTM

adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan

medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Dalam pengertian demikian, PTM bisa dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan

PTM dari pengertian umum dan kedua membicarakan PTM dari pengertian khusus. Dalam

pengertian umum, PTM adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan

pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang akan dilakukan.

Namun dalam pelayanan kesehatan sering pengertian kedua lebih dikenal, yaitu PTM yang

dikaitkan dengan persetujuan atau ijin tertulis dari pasien/ keluarga pada tindakan operatif atau

tindakan invasif lain yang beresiko. Oleh karena itu, dahulu PTM ini lebih dikenal sebagai Surat

Ijin Operasi (SIO), Surat Persetujuan Pasien, Surat Perjanjian, dan lain-lain istilah yang dirasa

sesuai oleh rumahsakit atau dokter yang merancang surat tersebut.

14

Page 15: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Kini, sesudah diterbitkannya Permenkes tentang PTM tersebut, sudah banyak perubahan

tentang pengertian dan pemahaman dikalangan kesehatan mengenai informed consent ini.

Appelbaum seperti dikutip Guwandi (1993) menyatakan informed consent bukan sekedar

formulir persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan merupakan proses komunikasi.

Tercapainya kesepakatan antara dokter pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang

informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa

yang telah disepakati (informed consent is a process, not an event).

Bentuk PTM

Ada dua bentuk PTM, yaitu:

1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent)

Keadaan normal

Keadaan darurat

2. Dinyatakan (Expressed consent)

Lisan

Tulisan

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas.

Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.Umumnya tindakan

dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum.Misalnya

pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan

melakukan penjahitan. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk informed consent dalam

arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya.

Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat (emergency)

sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa

memberikan persetujuan dan keluarga nya pun tidak ditempat, dokter dapat melakukan tindakan

medik terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini

disebut sebagai Presumed consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan

menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter.

15

Page 16: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan

dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian,

sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya

tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau pemeriksaan

dalam vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan atau

tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis.Persetujuan secara lisan

sudah mencukupi.

Solusi

Bayi lahir cacat dapat dicegah dengan menempuh konseling genetic. Pasangan yang

memiliki gen cacat, memerlukan konsultasi agar tidak berketurunan cacat. Bagi mereka yang

sudah terlanjur membuahkan bayi cacat, dan tidak mungkin dikoreksi lagi, memerlukan tindakan

pengguguran demi pengobatan (theurapeutic abortion), dan memberikan diet khusus serta

vitamin dosis tinggi jika bayi lahir dengan gangguan metabolisme tertentu.

Bayi cacat sudah dapat didiagnosis semasa dalam kandungan. Untuk maksud itu

dilakukan pengambilan cairan ketuban waktu kehamilan berumur 14-16 minggu. Jika masih

dianggap layak lahir, bayi tidak digugurkan dan diberikan pengobatan agar terbebas dari

kemungkinan cacatnya. 13

Kesimpulan

Aborsi adalah peniadaan buah kandungan yang masih hidup dari rahim seorang ibu

melalui campur tangan manusia sebelum lahir dengan cara membunuhnya. Abortus dapat terjadi

secara spontan atau secara buatan. Abortus buatan (terminasi kehamilan) dapat bersifat ilegal

(abortus provocatus criminalis), atau legal (abortus provocatus therapeuticus). Abortus buatan

ilegal yang dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten, biasanya memakai cara seperti memijit-

mijit perut bagian bawah, pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan ke dalam jalan lahir,

sehingga sering terjadi infeksi yang berat, bahkan dapat berakibat fatal. Abortus buatan legal

dilakukan hanya berdasarkan indikasi medik, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan/

suami, dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten di suatu sarana kesehatan tertentu.

Prenatal diagnostik yang sebenarnya bisa sangat berguna untuk mendeteksi penyakit dan

kelainan pada janin, yang sering kali justru berakhir dengan aborsi jika seandainya dalam

prenatal diagnostik itu diketahui cacat atau kelainan pada janin. Aborsi jenis ini biasanya disebut

16

Page 17: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

aborsi eugenik. Mereka beralasan bahwa membiarkan hidup janin cacat macam ini bukanlah

tindakan manusiawi. Tentu saja pandangan ini tidak benar sebab dari sudut pandang etis dan

teologis, seorang yang mengalami cacat tidak mengubah status harkat dan martabat hidupnya.

Daftar Pustaka

1. Murtadho M. Etika dan moral dalam kasus aborsi. 22 Oktober 2012. Telah diunduh dari http://mufid-fpsi00.web.unair.ac.id/artikel_detail-62088-umum-etika%20dan%20moral%20dalam%20kasus%20aborsi.html , 16 September 2013

2. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical

maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 783-

98.

3. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R, Resnik R,

Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2004. p.

235-73.

4. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors.

High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p.

215-23.

5. Chang W. Bioetika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009. h. 37-44.

6. Leveno JK. Williams manual of obstetrics. Edisi ke-21. Yudha EK, editor. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. h. 54-8.

7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008. h. 16-97.

8. Kusmaryanto CB. Tolak aborsi. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2005. H. 121-32

9. Sullivan A, Kean L, Cryer A. Panduan pemeriksaan antenatal. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2006. h. 15-6.

10. Priharjo R. Pengantar etika keperawatan. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2006. h. 25-6.

11. Achadiat CM. Dinamika etika dan hukum kedokteran dalam tantangan zaman. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. h. 137-41.

12. Simon, Danes C. Masalah-masalah moral sosial aktual dalam perspektif iman kristen.

Yogyakarta: penerbit Kanisius, 2000. h. 67-8.

17

Page 18: Aborsi Dalam Etika Kedokteran

13. Cahyoni JB. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik kedokteran.

Yogyakarta: Kanisius, 2008. h. 217.

18