Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

44
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia jeki Dipersembahkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB IDI dan Perkumpulan Ilmuwan Bioetika dan Humaniora ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online) Kepala Editor Frans Santosa Editor Agus Purwadianto Prijo Sidipratomo Anna Rozaliyani Manajer Jurnal Putri Dianita Ika Meilia Editor Kopi Putri Dianita Ika Meilia Tata Letak Hansel Tengara Widjaja Reviewer Ali Sulaiman Yunizaf Rianto Setiabudi Agus Purwadianto Frans Santosa Prijo Sidipratomo Broto Wasisto Julitasari Sundoro Anna Rozaliyani Bachtiar Husein Pukovisa Prawiroharjo Febriani Endiyarti Nurfanida Librianty Putri Dianita Ika Meilia Putu Melati Suci Kusuma Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin Penerbit. Artikel dapat diunduh di http://ilmiah.id/jeki. Bila membutuhkan salinan, silakan menghubungi [email protected]. vol. 4 no. 1 Februari 2020

Transcript of Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Page 1: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

jekiDipersembahkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB IDI

dan Perkumpulan Ilmuwan Bioetika dan Humaniora

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Kepala EditorFrans Santosa

EditorAgus Purwadianto

Prijo Sidipratomo

Anna Rozaliyani

Manajer JurnalPutri Dianita Ika Meilia

Editor KopiPutri Dianita Ika Meilia

Tata LetakHansel Tengara Widjaja

ReviewerAli Sulaiman

YunizafRianto Setiabudi

Agus PurwadiantoFrans Santosa

Prijo SidipratomoBroto Wasisto

Julitasari SundoroAnna RozaliyaniBachtiar Husein

Pukovisa PrawiroharjoFebriani Endiyarti

Nurfanida LibriantyPutri Dianita Ika Meilia

Putu Melati Suci Kusuma

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin Penerbit. Artikel dapat diunduh di http://ilmiah.id/jeki. Bila membutuhkan salinan, silakan menghubungi [email protected].

vol. 4 no. 1

Februari 2020

Page 2: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran IndonesiaTeman sejawat yang kami kasihi,Selamat datang di awal dekade baru!

Di permulaan tahun ini kita dikejutkan oleh berbagai bencana yang datang bertubi-tubi. Bencana umumnya turut mempengaruhi kondisi kesehatan manusia dan tak jarang pula menimbulkan korban jiwa. Dunia kedokteran dan kesehatan pun harus mampu mengantisipasinya. Oleh karena itu, pembahasan tentang kedokteran tanggap darurat bencana, dan dilema etik yang mungkin timbul, menjadi fokus edisi JEKI kali ini. Topik utama ini juga dipilih sebagai bentuk penghormatan kami kepada seorang pegiat kemanusiaan yang belum lama ini meninggalkan kita, yaitu Dr. Joserizal Jurnalis, SpOT. Semoga perjuangan beliau dalam memajukan kedokteran tanggap darurat bencana dapat kita lanjutkan.

Selain itu, edisi ini juga akan membahas beberapa topik dalam dunia kedokteran yang harus tetap menjadi perhatian kita dalam praktik sehari-hari. Topik-topik tersebut meliputi etika kedokteran dalam menangani komplain, menyampaikan diagnosis penyakit terminal, memberikan layanan medis multidisiplin, dan melakukan praktik polifarmasi. Terdapat pula diskusi dengan rekam medis/kesehatan elektronik serta keterlibatan dokter dalam periklanan/kegiatan bersponsor untuk memperkaya wawasan kita.

Akhir kata, semoga kita semua tetap semangat dalam menyongsong dekade yang baru ini sehingga dapat terus bersama-sama menjaga dunia kedokteran agar tetap menjunjung tinggi prinsip etika dan kemanusiaan.

Frans SantosaKepala Editor

.......1

......9

.....13

.....21

.....27

....33

.....37

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana...................................................

Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif..........................................................................................................................................

Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia........................................................................................................................

Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin.............................................................................................

Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan..............................

Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran................................

Etika Kedokteran dalam Kerjasama Periklanan dengan Sponsor..............................................

Daftar Isi

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Page 3: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

R Sjamsuhidajat1, Putri Dianita Ika Meilia1,2, Itsna Arifatuz Zulfiyah1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

2Instalasi Kedokteran Forensik dan Pemulasaraan Jenazah, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

Abstract Disasters can destroy a country in a short amount of time, both due to structural damage and the subsequent outbreaks of diseases. Indonesia is one of the countries that are the most vulnerable to disasters, both natural as well as man-made disasters. To prevent and reduce damage caused by disasters, Indonesia needs a robust disaster management system. Various ethical dilemmas can arise in disaster management. Some of the most prominent ethical dilemmas in Indonesia include dilemmas in triaging processes, conducting research in disaster settings, obtaining informed consent, providing services in limited-resource settings, and protecting the safety and health of medical personnel who assist victims of disasters in accordance with the Geneva Conventions.

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana

Abstrak Bencana dapat menghancurkan satu negara dalam waktu singkat, baik karena kerusakan struktur maupun wabah penyakit yang diakibatkan setelahnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana, baik bencana yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia. Untuk mencegah dan mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bencana, Indonesia membutuhkan sistem penanggulangan bencana yang kokoh. Berbagai dilema etik sering kali muncul dalam penanggulangan bencana ini. Beberapa dilema etik yang paling menonjol di Indonesia antara lain dilema dalam triase, melakukan riset, meminta informed consent, memberikan pelayanan dalam sarana yang terbatas, serta melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga medis yang membantu korban bencana sesuai Konvensi Jenewa.

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana, baik bencana yang disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) atau faktor manusia (man-made disaster), maupun campuran dari kedua faktor tersebut. Satu bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Indonesia adalah tsunami di Sumatra pada tahun 2004. Laporan dari Harian Kompas (29/12/2004) menyebutkan bahwa tsunami ini menimbulkan sekitar 230.000 orang tewas di 14 negara, dengan 170.000 korban di antaranya yang timbul di Indonesia. Sedangkan bencana yang disebabkan oleh faktor manusia contohnya kecelakaan maut dua kereta api pada Tragedi Bintaro pada tahun 1987. Majalah Tempo (19/10/1987) melaporkan bahwa tragedi ini menyebabkan 156 orang

tewas dan lebih dari 300 orang lainnya luka-luka. Sementara itu, pada bencana banjir yang terjadi pada awal tahun 2020 di daerah Jakarta dan sekitarnya, seperti dilansir oleh Merdeka.com (03/01/2020), diduga bahwa baik faktor alam maupun manusia turut berperan.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa yang dapat mengancam dan mengganggu kehidupan manusia, yang dapat disebabkan oleh faktor alam, non-alam, dan/atau manusia sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, dampak psikologis, dan kerugian harta benda.1 Jumlah kejadian bencana di Indonesia selama 10 tahun terakhir terus mengalami peningkatan, dengan jumlah

Kata KunciEtika, tanggap darurat bencana, triase, informed consent, penjatahan sumber [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.39

Tanggal masuk: 10 November 2019

Tanggal ditelaah: 11 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Sjamsuhidajat R, Meilia PDI, Zulfiyah IA. Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana. JEKI. 2020;4(1):1–8. doi: 10.26880/jeki.v4i1.39.

1Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 4: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

dengan menghormati asas autonomi individu. Oleh karena itu, rasio risiko dibanding keuntungan pada setiap program imunisasi harus dihitung dengan tepat.5

Etika pada tahap persiapanTahap persiapan pada penanggulangan

bencana terdiri atas pembuatan program penanggulangan bencana, sistem peringatan dini, sistem komunikasi emergensi, latihan dan rencana evakuasi, inventarisasi sumber daya, dan edukasi publik. Tujuan tahap ini adalah untuk menyiapkan respons terhadap segala bentuk bencana secara tepat dan tanggap. Pada fase ini, tenaga kesehatan juga memiliki peran dalam menyediakan informasi mengenai kesehatan dan nutrisi yang berkontribusi dalam sistem peringatan dini pada semua sektor.4 Salah satu dilema etik yang dapat terjadi pada tahap ini adalah ketika dokter harus menentukan alokasi sumber daya. Sumber daya ini dapat berupa makanan, peralatan, air, obat, dan segala benda esensial kehidupan lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin harus mengutamakan prinsip keadilan (justice) dibandingkan dengan asas autonomi individu pasien.5

Etika pada tahap responsSetiap dokter dan tenaga medis harus

senantiasa memegang empat prinsip etika utama, yaitu beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice dalam tahap respons bencana. Masalah etika yang dapat muncul pertama kali adalah mencari cara untuk mobilisasi ke lokasi bencana secepat mungkin sementara akses untuk ke lokasi tersebut dapat membahayakan jiwa dokter dan petugas penanggulangan bencana lainnya. Masalah selanjutnya terjadi pada saat melakukan triase, sistem yang memaksa dokter harus membagi pasiennya sesuai prioritas dan memilih urutan perawatan sesuai dengan prioritas tersebut. Masalah ini dapat diperberat dengan kondisi bencana yang mungkin tidak ideal, baik akibat kurangnya tenaga medis yang dikirimkan atau karena kurangnya jumlah obat yang tersedia.5

Etika pada tahap pemulihanSemua nilai dan prinsip etika yang telah

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

terbanyak pada tahun 2017 – 2018. Oleh karena itu, setiap negara membutuhkan sistem penanggulangan bencana yang kokoh untuk mencegah dan mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Sistem penanggulangan bencana ini dapat dibedakan menjadi penanggulangan bencana berskala internasional, nasional, dan lokal.2,3

Sistem penanggulangan bencana pada skala internasional diatur pada Kerangka Aksi Hyogo (KAH) yang mengidentifikasi 5 prioritas untuk sektor kesehatan yang harus dilakukan untuk menguatkan ketahanan negara terhadap bencana. Lima prioritas tersebut adalah: (1) pengurangan risiko bencana, (2) penilaian risiko bencana dan peningkatan peringatan dini, (3) penggunaan budaya, inovasi, dan pendidikan, (4) reduksi faktor risiko yang mendasari, dan (5) penguatan kesiapan bencana untuk respons dan pemulihan yang efektif.3 Sistem penanggulangan bencana merupakan bentuk kerja multisektor, dimana kesehatan turut memegang peranan penting di dalamnya.1,2

Sistem penanggulangan bencana ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu (1) tahap mitigasi, (2) tahap persiapan (preparedness), (3) tahap respons, dan (4) tahap pemulihan.4 Masalah etika dapat terjadi pada setiap tahapan ini. Dalam artikel ini akan dibahas beberapa masalah etika kedokteran yang kerapkali muncul di Indonesia agar dapat menjadi panduan bagi dokter yang terlibat dalam kegiatan tanggap darurat bencana.

Etika dalam Setiap Tahap Penanggulangan Bencana

Etika pada tahap mitigasiMitigasi terdiri dari sejumlah aktivitas

yang dapat mengurangi probabilitas kejadian bencana atau mengurangi efek bencana yang tidak dapat dicegah. Tenaga kesehatan, bekerja sama dengan pemerintah, memiliki peran dalam membuat kebijakan publik pada tahap ini, misalnya dengan membuat program imunisasi, mengontrol vektor penyakit, program keluarga, sanitasi lingkungan, dan sebagainya.4 Salah satu contoh dilema etik dalam tahap ini adalah program imunisasi, yang lebih bertujuan memproteksi publik dari bahaya dibandingkan

2

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana

Page 5: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

disebutkan pada tahap sebelumnya harus tetap diperhatikan pada tahap pemulihan ini. Akan tetapi, setiap dokter harus bekerja secara profesional sesuai dengan kebutuhan yang mungkin baru muncul setelah bencana terjadi. Pada periode ini, kebutuhan dari korban yang selamat harus menjadi perhatian. Korban bencana dapat kehilangan keluarga dan mengalami berbagai masalah psikologis, sehingga pendekatan pasien pada tahap ini harus melibatkan berbagai sektor secara holistik.5

Beberapa Masalah Etika dalam Penanggulangan Bencana

Ada begitu banyak dilema etis yang ditemukan dalam penanggulangan bencana. Tabel 1 menunjukkan berbagai tantangan etika dalam kedokteran tanggap bencana menurut Larkin.6

Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa masalah etika yang menonjol di Indonesia:

Melakukan triase secara cepat dan tepatTriase merupakan salah satu tahap

terpenting dalam penanggulangan bencana. Triase membagi pasien dalam empat kelompok, yaitu merah (gawat darurat), kuning (urgen), hijau (luka ringan), dan hitam (korban meninggal). Triase dalam bencana dilakukan untuk mengelompokkan korban bencana berdasarkan tingkat keparahan yang diderita setalah terjadinya bencana, menolong korban bencana sebanyak-banyaknya, memberikan pertolongan pertama korban bencana sesuai kebutuhan, dan meningkatkan kesempatan hidup korban bencana. Hingga saat ini, terdapat banyak sistem triase yang diperkenalkan untuk penilaian awal korban bencana di lokasi, seperti START, SIEVE, triase Homebush, dan sebagainya.2,7

Pada tahap ini, tenaga medis harus berfokus pada dua prinsip bioetika: beneficence dan justice. Menurut World Medical Association (WMA) Statement on Medical Ethics in the Event of Disasters pada tahun 1994, pertimbangan seorang dokter mengenai pasien mana yang harus diselamatkan terlebih dahulu hanya boleh didasarkan atas status medis, bukan

Sjamsuhidajat R, Meilia PDI, dan Zulfiyah IA

atas kriteria non-medis yang lain.3 Hal ini juga dijelaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012 pasal 10 yang menyebutkan bahwa setiap dokter wajib menghormati hak pasiennya, termasuk hak memperoleh pelayanan medis dan perawatan. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa setiap dokter harus memberikan pengobatan pada pasien tanpa melihat ras, agama, suku, kedudukan sosial, kondisi kecacatan tubuh, ataupun status kemampuan membayarnya.8

Selain itu, prinsip justice juga sangat berperan dalam kondisi bencana. Sumber daya kesehatan yang pada situasi normal juga umumnya sudah terbatas (scarce) akan bertambah langka. Hal ini dapat disebabkan baik karena kerusakan atau kehancuran fasilitas layanan kesehatan maupun akibat tenaga kesehatan yang turut terkena dampak dari bencana, terutama pada kejadian bencana alam yang berskala besar. Berdasarkan prinsip justice ini, para korban bencana yang paling terkena dampak seharusnya memperoleh prioritas utama. Namun, dengan adanya proses triase, maka layanan kedokteran dan kesehatan harus juga mempertimbangkan prinsip rationing, yaitu bertujuan untuk memberikan “the greatest good for the greatest number”. Dengan memberlakukan prinsip ini maka mungkin tidak semua korban akan dapat menerima tingkat prioritas layanan yang sama, namun disesuaikan dengan tujuan memaksimalkan manfaat bagi masyarakat luas.9-

11

Melakukan riset dan meminta informed consent pada korban bencana

Kondisi bencana pada dasarnya menyediakan kesempatan yang sangat berharga untuk pembelajaran, baik terkait akibat dari bencana itu sendiri maupun terkait penanganan atau kegiatan tanggap darurat bencana. Oleh karena itu, kesempatan yang ada hendaknya digunakan dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan penelitian yang baik. Namun, pelaksanaan penelitian dalam kondisi bencana menimbulkan potensi dilema etik. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah masalah informed consent penelitian. Korban bencana pada dasarnya sedang berada dalam tekanan

3Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 6: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 20204

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana

Tabel 1. Tantangan etika dalam kedokteran tanggap bencana6

Level Mikro (provider-patient)

1 Peduli pada pasien dengan gangguan kecemasan atau pasien yang membutuhkan perhatian khusus lainnya

2 Menyeimbangkan kebutuhan perawatan paliatif dengan permintaan keluarga pasien untuk “melakukan segalanya”

3 Peduli pada warga negara asing, tenaga militer, tawanan, atau pelaku teror

4 Memprioritaskan perawatan “VIP,” pegawai negeri, pemimpin, keluarga, teman, dan petugas kesehatan

5 Menjaga privasi korban di dalam suasana ramai, situasi pengawasan, karantina, dan terhadap sorotan media massa

6 Melaporkan dan mengawasi kebutuhan yang mempengaruhi kebebasan dan kerahasiaan pasien

7 Melakukan penelitian dan mendapatkan informed consent korban bencana

8 Merawat korban yang terkontaminasi, memiliki penyakit menular, atau bekerja di lingkungan dengan ancaman kesehatan lainnya

9 Melakukan triase secara cepat, objektif, akurat, dan sesuai etika dalam waktu dan dengan informasi yang terbatas

10 Memenuhi standar pelayanan dengan sarana dan prasarana yang terbatas

11 Menyeimbangkan peran penyedia layanan primer dengan peran sebagai agen kesehatan masyarakat

12 Menyeimbangkan tugas terhadap pasien secara individu dengan tugas untuk menjaga diri dan keluarga di antara kerusakan infrastruktur, pandemik influenza, dan ancaman bencana lainnya

13 Menyeimbangkan integritas dengan empati terhadap korban individu yang mencari kompensasi atas kerusakan dan disabilitas

Level Meso (provider-provider)

1 Membantu kolega, petugas kesehatan publik, dan staf kesehatan, walaupun dalam pengerjaannya dapat membahayakan nyawa diri sendiri

2 Pertukaran peran, benturan kekuasaan, dan kesalahpahaman antar tenaga kesehatan dalam segala hierarki

3 Berhadapan dengan kelalaian dan sikap tidak profesional baik dari pemimpin atau bawahan

4 Keselamatan dan kesehatan fisik dan mental pegawai sebelum, ketika, dan setelah serangan teror

5 Kesehatan kerja, kebutuhan melapor, dan privasi

6 Mengoptimalkan komunikasi di antara pemberi respons pertama, konsultan, organisasi, dan staf penyedia pelayanan kesehatan dalam semua level

7 Konflik kebutuhan dalam dan di antara organisasi yang merebutkan sumber pendanaan lokal, nasional, dan internasional

8 Memperhatikan kesehatan mental, keselamatan, dan kesejahteraan diri sendiri dan penyedia pelayanan kesehatan lainnya

9 Menyeimbangkan perekrutan tenaga kerja terampil dari tenaga relawan

10 Menentukan bagaimana respons bencana dengan menyeimbangkan sisi altruism dan tugas profesional, atau keduanya

11 Memastikan bahwa pekerjaan bencana diakui dan diberikan kompensasi secara adil oleh pimpinan

12 Menentukan bagaimana relawan diberikan sertifikat pelatihan dan bagaimana mereka tetap bertanggung jawab

13 Menerima perintah kerja suka rela tanpa adanya imbalan, jaminan, atau kontrol

Level Makro (provider-society)

1 Menentukan kerja dan batasan dari penanganan bencana, baik yang berasal dari lokal, domestik, luar negeri, atau global

2 Kemauan organisasi untuk merespon secara altruistik kepada bencana versus tugas untuk membayar tagihan organisasi

3 Memastikan keadilan dan meminimalkan konflik kebutuhan dalam mengalokasikan sumber daya

4 Tugas untuk mendukung latihan persiapan yang valid, program vaksinasi, dan kelompok relawan

5 Menolak kebijakan laporan yang tidak etis, serta diskriminasi etnis dan agama

6 Tugas untuk berkomunikasi secara jujur dan hati-hati untuk risiko pembuat kebijakan lokal dan negara, media, serta masyarakat

7 Promosi aktif evaluasi yang mengenai kebijakan penelitian terhadap masyarakat yang terdampak bencana

8 Membangun protokol yang transparan untuk triase yang sesuai etika, serta aktivasi, pemeliharaan, dan terminasi rencana tang-gap darurat bencana

9 Bekerja secara domestik atau internasional dengan sumber daya yang terbatas

Page 7: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

karena mengalami masalah baik kesehatan, mental, sosial, maupun material, sehingga dapat dianggap tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas sebagaimana yang dapat diberikan dalam kondisi non bencana (under duress). Selain itu, telaah usulan penelitian juga mungkin sulit dilakukan seperti seharusnya karena otoritas lokal juga sedang mengalami disrupsi kegiatan akibat bencana. Hal ini rentan menimbulkan isu etis, terutama apabila penelitian menggunakan subjek manusia dan melibatkan peneliti asing. Oleh karena itu, penelitian dalam kondisi bencana sedapat mungkin harus tetap melalui proses telaah etika penelitian dan dinyatakan lolos kaji etik oleh otoritas lokal (ethical review), terutama apibila akan dipublikasi secara luas.12 Hal ini sesuai dengan KODEKI Tahun 2012 pasal 6 yang menyebutkan bahwa setiap dokter yang melakukan penelitian harus mengikuti kaidah yang telah ditentukan.8

Informed consent mengenai intervensi medis juga merupakan salah satu dilema etik dalam penanganan bencana. Dilansir dari WMA Declaration of Lisbon on the Rights of Patient pada tahun 1981, dikatakan bahwa apabila pasien tidak sadar atau tidak mampu menunjukkan keinginannya, maka informed consent harus didapatkan dari keluarga atau yang mewakili. Hal ini juga sesuai dengan prinsip autonomi. Dalam KODEKI Tahun 2012 pasal 5 juga disebutkan bahwa setiap perbuatan dokter yang dapat melemahkan daya tahan psikis maupun fisik pasien wajib memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya. Apabila keluarga tidak ada sementara intervensi medis harus segera dilakukan, maka pasien dianggap setuju menerima intervensi, kecuali apabila pada situasi yang sama sebelumnya pasien memilih untuk menolak intervensi.5,8

Akan tetapi, menurut WMA tidak akan ada waktu yang cukup untuk meminta persetujuan tindakan kepada pasien pada kondisi darurat seperti yang terjadi pada bencana. Pada kondisi seperti ini, dokter diminta untuk lebih memprioritaskan prinsip bioetika non-maleficence dibandingkan dengan autonomi. Walaupun dokter diyakini telah berusaha memilih keputusan yang terbaik demi kelangsungan hidup pasien, beberapa korban

Sjamsuhidajat R, Meilia PDI, dan Zulfiyah IA

bencana masih dapat menolak intervensi yang dilakukan. Dalam situasi ini, kesehatan mental korban harus dievaluasi. Apabila kesehatan mental korban diragukan, intervensi harus tetap dilanjutkan untuk mencegah terjadinya komplikasi medis lebih lanjut. Apabila evaluasi menunjukkan bahwa mental korban baik, maka korban harus dibujuk untuk menerima intervensi.5

Sebagaimana dalam praktik kedokteran sehari-hari, beberapa korban bencana yang mengalami cedera berat dapat meminta euthanasia. Saat ini, euthanasia telah dilarang dalam hukum internasional publik dan sebagian besar kode etik kedokteran di berbagai penjuru dunia. Dalam KODEKI Tahun 2012 pasal 11 juga disebutkan bahwa setiap dokter harus mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi makhluk insani. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa dokter dilarang melibatkan diri atau terlibat dalam euthanasia. Dokter diwajibkan untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk meringankan penderitaan hidup, tapi tidak mengakhirinya.5,8

Menjaga standar pelayanan dalam sarana dan prasarana yang terbatas

Walaupun WHO telah menerbitkan panduan untuk kesiapan pelayanan kesehatan dalam kondisi bencana, sebagaimana tercantum dalam Hospital Preparedness for Emergencies (HOPE), kondisi terburuk sering kali tidak dapat dihindari. Menurut WMA, setiap tenaga kesehatan harus memastikan bahwa penanganan korban bencana harus sesuai dengan prinsip etika paling minimal. Di tengah kericuhan bencana yang membutuhkan banyak bantuan, sumber daya yang tersedia seringkali berjumlah sangat terbatas. Di sisi lain, semua petugas penanggulangan bencana akan berusaha melakukan segalanya demi memberikan bantuan yang maksimal sekalipun pada lingkungan yang tidak familiar. Petugas kesehatan setempat juga mungkin terkena dampak bencana sehingga tidak dapat bekerja secara optimal. Kondisi ini kemudian menyebabkan timbulnya berbagai dilema etik. Oleh karena itu, setiap dokter yang bertugas harus memegang penuh prinsip beneficence

5Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 8: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

yang mengatakan bahwa setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa setiap dokter wajib menegakkan budaya tolong menolong dengan teman sejawatnya. Setiap dokter harus menyadari bahwa reputasi dirinya dapat terbentuk akibat pengorbanan teman sejawat di satu lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan yang sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap dokter juga bertanggung jawab akan kesehatan fisik, mental, dan sosial teman sejawatnya.8

Dalam tataran institusi maupun organisasi, harus dilakukan pengaturan beban kerja agar layanan tetap berjalan secara optimal walaupun ada sebagian dokter dan tenaga kesehatan yang diberangkatkan ke daerah bencana. Dokter dan tenaga kesehatan yang tetap melakukan pelayanan di institusi asalnya hendaknya dapat mengambil alih tugas teman sejawatnya dan juga mendapatkan penghargaan yang layak. Pemimpin institusi hendaknya memahami bahwa dalam kondisi bencana, pembagian tugas mungkin harus disiasati agar dapat menunjang kegiatan tanggap bencana namun tetap tidak merugikan pasien.6

Rencana penanggulangan bencana nasionalSektor kesehatan merupakan salah satu

sektor yang dapat terdampak cukup luas pada kondisi bencana, terutama bencana alam yang berskala besar. Oleh karena itu, diperlukan rencana tanggap darurat bencana dalam bidang kesehatan yang komprehensif. Seorang dokter dapat turut berperan menyusun rencana tersebut melalui organisasi profesi dalam bidangnya masing-masing dengan bekerja sama dan berkoordinasi dengan organisasi dari sektor dan bidang lainnya. Prinsip utama yang harus dijunjung dalam penyusunan rencana tersebut adalah prinsip humanitarian, tanpa ada “udang di balik batu”. Artinya, segala jenis bantuan dan kegiatan tanggap darurat bencana yang direncanakan tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politik, agama, ataupun lainnya.6 Hal ini sesuai dengan KODEKI Tahun 2012 pasal 13 yang menyebutkan bahwa setiap dokter harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas sektoral di bidang kesehatan ataupun

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

dan justice, dengan sekaligus memperhatikan autonomi pasien pada tahapan ini.13

Dalam penjelasan KODEKI Tahun 2012 pasal 2 disebutkan bahwa setiap dokter wajib memperjuangkan dipenuhinya fasilitas, sarana, dan prasarana yang sesuai dengan pendoman nasional pelayanan kedokteran. Faktanya, kondisi bencana sering kali tidak ideal dengan standar minimal pelayanan kedokteran, baik karena kurangnya tenaga kesehatan yang dikirim atau karena kurangnya obat yang tersedia. Oleh karena itu, pada pasal yang sama juga disebutkan bahwa dalam situasi dimana fasilitas pelayanan kesehatan tidak optimal, pengambilan keputusan profesional wajib dilakukan dengan disertai perilaku profesional terbaik dokter demi kepentingan terbaik pasien.8

Keselamatan dan kesehatan tenaga medisDokter dan tenaga medis lainnya

merupakan salah satu sumber daya manusia terpenting dalam penanggulangan bencana. Di sisi lain, mereka juga dapat menerima dampak negatif dari kondisi bencana, seperti wabah pandemi, polusi lingkungan, dan konflik militer. Kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi keselamatan dan kesehatan dokter. KODEKI Tahun 2012 pasal 20 mengatakan bahwa setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya untuk memastikan bahwa dirinya tetap layak praktik. Pasal ini mungkin dapat menjadi alasan adanya dilema etika seorang dokter dalam menentukan batasan penanganan korban bencana di kondisi yang mengancam, terutama mengingat bahwa bencana merupakan kondisi yang berbeda jika dibandingkan dengan kondisi praktik kedokteran sehari-hari. Saat bencana, berkurangnya satu dokter akan memiliki dampak berat dalam berlangsungnya penanggulangan bencana.6,8

Dalam penjelasan KODEKI Tahun 2012 pasal 8 disebutkan bahwa dokter tidak hanya bertanggung jawab kepada pasien dan dirinya sendiri, namun juga kepada teman sejawat. Untuk menjadi seorang dokter yang profesional, dokter harus dapat memenuhi ketiga tanggung jawab ini tanpa terkecuali. Kewajiban ini juga disebutkan dalam pasal 18

6

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana

Page 9: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

bidang lainnya.8

Semua dokter harus menyadari bahwa dalam kondisi bencana, terutama bencana alam yang berskala luas, semua memiliki kewajiban untuk turut membantu sesuai kompetensi masing-masing bila diperlukan. Agar dapat berperan aktif dalam kegiatan tanggap darurat bencana, sebaiknya topik tentang kedokteran tanggap bencana dimasukkan dalam kurikulum fakultas kedokteran. Sebuah penelitian mendapatkan bahwa pembahasan tentang kedokteran tanggap bencana yang dilakukan selama 2 minggu dirasakan bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran. Muatan dari kurikulum kedokteran tanggap bencana harus disesuaikan dengan profil bencana di wilayah tersebut.14

Identifikasi korban meninggal akibat bencanaWalaupun seseorang sudah meninggal

dunia, tetapi harus tetap dihormati martabatnya selaku manusia, atau yang disebut dengan residual dignity. Salah satu upaya dalam menjaga residual dignity ini adalah dengan melakukan identifikasi dengan metode disaster victim identification (DVI) sesuai dengan standar internasional. Tujuannya adalah agar jenazah dapat dikembalikan ke keluarga, semua urusan hukum administratifnya dapat diselesaikan, dan dimakamkan sesuai dengan tuntunan agama dan kultural yang dianutnya. Hal ini sesuai dengan KODEKI Tahun 2012 pasal 8 yang menyebutkan bahwa setiap dokter, dalam praktik medisnya, wajib memberikan penghormatan atas martabat manusia. Selain itu, karena proses DVI melibatkan banyak komponen dan personil inter sektoral, maka dokter yang terlibat harus mampu bekerja sama dengan profesional sesuai dengan kompetensi dan kewenangan masing-masiang, sesuai dengan pasal 13 KODEKI Tahun 2012.8,9

Setiap dokter harus memahami sistem penanggulangan bencana dan perannya dalam setiap tahap penanggulangan bencana. Adanya berbagai isu dan dilema etik kedokteran yang berpotensi timbul dalam pelaksanaan kegiatan tanggap darurat bencana harus dapat diantisipasi

Sjamsuhidajat R, Meilia PDI, dan Zulfiyah IA

dan diatasi dengan baik. Untuk itu diperlukan adanya integrasi topik kedokteran tanggap bencana ke dalam kurikulum kedokteran.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

2. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana: panduan bagi petugas kesehatan yang bekerja dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007.

3. World Health Organization. Disaster risk management for health: overview. Geneva: WHO; 2011.

4. Wisner B, Adams J, World Health Organization. Environmental health in emergencies and disasters: A practical guide. WHO; 2002.

5. Karadag CO, Hakan AK. Ethical dilemmas in disaster medicine. Iran Red Crescent Med J. 2012; 14(10):602-12.

6. Larkin GL. Ethical Issues in Disaster Medicine. In: Koenig KL, Schultz CH, editors. Koenig and Schultz’s Disaster Medicine: Comprehensive Principles and Practices. Cambridge: Cambridge University Press; 2009. p. 62–74.

7. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency department. Dtsch Arztebl Int. 2010; 107(50):892-8.

8. Kode etik kedokteran Indonesia tahun 2012. Jakarta: 2012.

9. Byard RW, Winskog C. Potential problems arising during international disaster victim identification (DVI) exercises. Forensic Sci

7Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Page 10: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Med Pathol. 2010; 6:1–2.

10. Bagherzadeh N. Death in disaster: actions and attitudes towards dead body management after disasters in Yogyakarta. IFHV Work Paper. 2014; 4(2):

11. Ali H, Brown N, Chiro L, Dillinger E, Droder E, Hanby J, et al. Recovery and identification of the missing after disaster: case studies, ethical guidelines and policy recommendations.

12. Lo STT, Chan EYY, Chan GKW, Murray V, Abrahams J, Ardalan A, et al. Health emergency and disaster risk management (health-EDRM): developing research field within the Sendai Framework paradigm. Int J Disaster Risk Sci. 2017; 8:145-9.

13. Aung KT, bt Abdul Rahman N’I, Nurumal MS, Ahayalimudin NA. Ethical disaster or natural disaster? Importance of ethical issue in disaster management. J Health Sci Nurs. 2017; 6(2):90-3.

14. Kaji AH, Coates W, Fung CC. A disaster medicine curriculum for medical students. Teach Learn Med. 2010; 22(2):116-22.

8

Etika Kedokteran dalam Kegiatan Tanggap Darurat Bencana

Page 11: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Pukovisa Prawiroharjo1,2, Ghina Faradisa Hatta, Anna Rozaliyani1,3, Fadlika Harinda, Prijo Sidipratomo1,4

1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia2Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

3Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia4Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Abstract When the conduct of doctors in providing healthcare services does not meet the expectations of the patient/family, complaints are apt to surface. It is not uncommon for gaps to exist between what is expected and the clinical considerations underlying the doctor’s treatment towards the patient. In emergency settings, focusing on handling complaints can bring additional risks to patients who need urgent care. For this reason, hospital managements need to form a special team to handle complaints. As for elective contexts such as polyclinics and hospitalizations, doctors have more room to handle complaints that are of a health service nature. In handling complaints, doctors are advised to listen to complaints first before responding, especially because complaints can be valuable in evaluating healthcare services.

Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif

Abstrak Ketika perlakuan dokter dalam konteks layanan kesehatan tidak memenuhi ekspektasi pasien/keluarganya, maka komplain akan muncul. Tidak jarang terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan pertimbangan klinis yang melatarbelakangi perlakuan dokter terhadap pasien. Dalam konteks emergensi, pemusatan perhatian tenaga kesehatan untuk menangani komplain dapat membawa risiko tambahan terhadap pasien yang membutuhkan penanganan gawat darurat. Untuk itu, manajemen rumah sakit perlu untuk membentuk tim khusus penanganan komplain. Dalam menangani komplain, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan terlebih dahulu sebelum memberikan respons, mengingat komplain adalah sarana evaluasi pelayanan yang baik.

Beberapa dekade terakhir, jumlah tuntutan pasien/keluarganya terhadap dokter/tenaga kesehatan semakin meningkat. Tidak jarang ditemukan adanya berbagai komplain dari masyarakat terkait layanan kesehatan. Adanya komplain dapat menjadi refleksi pelayanan dengan umpan balik secara aktif. Akan tetapi, ketika dihadapkan pada konteks situasi layanan medis yang kurang tepat, penanganan komplain dapat menyebabkan dilema etis dan diperlukan tinjauan etika terkait penanganan komplain tersebut.

Prinsip Dasar Penanganan Komplain Pasien

Pasien/keluarganya berhak untuk mengajukan komplain secara langsung kepada seorang dokter apabila terdapat hal-hal berikut:

(1) Kesalahan profesional (professional misconduct) dan (2) Kinerja profesional yang buruk. Yang dimaksud dengan kesalahan profesional adalah perilaku dokter yang dianggap memalukan atau tidak terhormat, yaitu perilaku yang tidak memenuhi standar perilaku dokter sesuai dengan kode etik profesi yang berlaku. Kinerja profesional yang buruk diartikan sebagai kegagalan dokter untuk memenuhi standar kompetensi, baik dalam pengetahuan dan keterampilan maupun penerapan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.1

Beberapa hal yang tidak jarang menjadi dasar komplain yang dilayangkan oleh pasien/keluarganya, antara lain: (1) Kesalahan yang tidak bertanggung jawab atau kesalahan berulang dalam pemberian resep, misalnya

Kata KunciEtika, komplain, penanganan komplain, gawat darurat, [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.40

Tanggal masuk: 14 November 2019

Tanggal ditelaah: 11 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Prawiroharjo P, Hatta GF, Rozaliyani A, Harinda F, Sidipratomo P. Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif. JEKI. 2020;4(1):9–12. doi: 10.26880/jeki.v4i1.40.

9Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 12: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

medis pasien sehingga bisa saja pasien tersebut justru tergolong paling tidak prioritas untuk ditangani kegawatdaruratannya di saat tersebut. Kurangnya pemahaman pasien dapat membuat dokter dan tim dipersepsi kurang memberi perhatian pada pasien tersebut karena perhatiannya tersita lebih besar pada pasien lain yang lebih gawat darurat. Pasien/keluarganya seringkali dengan mudahnya menilai dokter dan tim sebagai tenaga kesehatan yang tidak tanggap, kurang peduli, dan mengacuhkan pasien yang sedang sakit.

Terlebih jika pasien/keluarganya melihat dokter yang memberikan intensitas perhatian yang berbeda antar pasien sebagai persepsi dokter “pilih kasih” dan “melakukan diskriminasi”. Padahal, dokter bekerja sesuai standar profesionalismenya dengan memberikan perhatian yang lebih pada kasus yang memang lebih prioritas tingkat kegawatdaruratannya. Sikap yang seperti ini justru adalah sikap profesional yang etis dan adil. Kesenjangan persepsi seperti itulah yang dapat menjadi awal mula munculnya komplain.

Terdapat pula perbedaan persepsi pasien/keluarganya saat melihat dokter “tampak asyik bermain gawai” saat jaga di UGD, sementara dokter dianggap belum merawat secara memadai. Padahal gawai dipakai dokter jaga tersebut mungkin untuk berkoordinasi dengan dokter spesialis dan manajemen rumah sakit untuk menyelesaikan permasalahan pasien gawat darurat yang sedang ditangani.

Dinas kegawatdaruratan yang sedemikian sibuk dengan waktu yang sedemikian sempit, akan semakin terhimpit dengan adanya komplain dari salah seorang pasien/keluarganya yang muncul karena perbedaan persepsi tersebut. Komplain yang disampaikan secara keras apalagi sampai mengancam secara lebih jauh, akan menarik atensi tenaga kesehatan yang bertugas kepada komplain tersebut.

Yang kemudian menjadi masalah adalah ketika atensi dokter dan tim yang bertugas teralihkan untuk menangani komplain, maka di saat yang sama menjadi kurang perhatian terhadap kasus-kasus lain yang lebih gawat dan lebih darurat. Meskipun tindakan penanganan komplain yang muncul pada saat itu adalah

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

resep obat dengan cara yang berlebihan atau berbahaya, (2) Kegagalan dalam perawatan atau pemeriksaan pasien dengan benar, (3) Hubungan dan perilaku yang tidak pantas, (4) Kesalahan diagnosis, (5) Pemeriksaan yang tidak rasional, (6) Penipuan atau ketidakjujuran, (7) Pelanggaran serius teradap kerahasiaan medis pasien, dan (8) Inkompetensi klinis.1

Komplain dalam Konteks Layanan Gawat Darurat Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 Pasal 17 menyatakan bahwa dokter wajib melakukan pertolongan gawat darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.2 Pada suasana dinas di layanan emergensi misalnya di unit gawat darurat, tidak jarang ketersediaan tenaga kesehatan, termasuk dokter, tidak sebanding dengan jumlah pasien yang memerlukan penanganan gawat darurat. Terlebih lagi pasien emergensi memerlukan upaya yang lebih besar dan evaluasi klinis yang lebih sering (bahkan dapat diperlukan evaluasi tiap menit) yang sangat menyita perhatian dokter dan tim tenaga kesehatan.

Persepsi tingkat kegawatdaruratan antara pasien/keluarganya yang tidak mengetahui ilmu medis dengan dokter jaga pastilah sangat berbeda. Perbedaan ini dapat memunculkan persepsi negatif dari pasien/keluarga, misalnya pada kasus medis dengan skala paling tidak prioritas dari ragam kasus gawat darurat yang ditangani pada saat yang sama. Munculnya persepsi ini juga dapat didukung oleh adanya anggapan pasien/keluarganya bahwa kondisi medis pasien saat itu adalah kondisi terberat yang pernah mereka alami. Pasien yang baru kali ini mengalami penyakit berat merasa berhak mendapat layanan super cepat dan tanggap, terlebih jika pasien/keluarganya memiliki kemampuan finansial lebih dan terbiasa mendapat layanan “karpet merah” dalam kesehariannya di perbankan, perusahaan, dan sebagainya.

Padahal, dalam setting layanan emergensi terdapat sejumlah pasien dalam kondisi gawat darurat dan prioritas penanganannya dilakukan menurut pertimbangan kondisi

10

Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif

Page 13: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

tindakan yang etis dan tergolong baik, namun harus disadari bahwa tindakan itu dapat secara nyata berpotensi merugikan pasien lain terutama pasien yang lebih bersifat gawat dan darurat. Padahal, dalam KODEKI tahun 2012 Pasal 11 dikatakan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Oleh karena itu, tindakan ini bisa jadi justru masuk ke dalam perangkap tindakan yang kurang etis pada pasien lain yang lebih membutuhkan atensi dan pertolongan kegawatdaruratan.2

Kebanyakan tenaga kesehatan pada konteks layanan gawat darurat akhirnya menangani komplain menggunakan strategi minta maaf dan mengaku salah. Hal itu dilakukan karena berdasarkan pengalaman strategi seperti inilah yang paling cepat meredakan komplain. Strategi ini terpaksa dipilih agar pengalihan atensi tidak berlarut, dan tenaga kesehatan dapat segera melakukan tanggung jawab moralnya kepada pasien lain yang bersifat lebih gawat dan darurat.

Celakanya, strategi permintaan maaf dapat dianggap sebagai kebenaran faktual oleh pasien/keluarganya sehingga merujuk pada beberapa kasus malah berbuah penuntutan lebih lanjut karena dianggap dokter dan tim mengakui mereka telah berbuat lalai dan tidak adil terhadap pasien/keluarganya. Hal ini dapat pula diperparah dengan pembahasan tuntutan medis lebih lanjut yang tidak mempertimbangkan konteks keseluruhan suasana gawat darurat yang sedang dialami saat itu oleh dokter dan timnya baik di level komite medik RS, komite etika dan hukum RS, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), maupun Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Masalah ini membuat dokter dan tim yang berdinas di setting gawat darurat menjadi khawatir atas kemungkinan untuk dituntut dan merasa tidak dilindungi secara memadai, baik oleh RS, organisasi profesinya, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), maupun negara (jika opsi yang diambil pasien/keluarganya adalah tuntutan hukum) pada kasus di mana mereka menjadi sasaran tuntutan medis tersebut.

Prawiroharjo P, Hatta GF, Rozaliyani A, Harinda F, dan Sidipratomo P

Saran Penanganan Komplain dalam Konteks Layanan Gawat Darurat

Kami mengajukan saran bahwa pada konteks layanan gawat darurat, di mana waktu sangat berharga untuk menolong pasien gawat dan darurat, penanganan komplain dapat dilakukan oleh pihak RS melalui petugas khusus atau rangkap fungsi yang diberi kewenangan oleh Direktur Utama, dan sedapat mungkin merupakan non-tenaga kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tenaga kesehatan yang berdinas dapat fokus menjalankan kewajiban moralnya tanpa ada pasien gawat darurat yang menjadi tumbal akibat penyitaan perhatian untuk penanganan komplain. Petugas yang menangani komplain tersebut setidaknya dapat membantu meredakan situasi serta menyaring informasi untuk kemudian diteruskan kepada dokter/tim yang relevan.

Komplain dalam Konteks Layanan Elektif

Pada konteks rawat jalan dan rawat inap di mana kondisi medis pasien secara umum mayoritas adalah elektif, tidak sedikit pula komplain dilayangkan oleh pasien/keluarganya. Dalam studi literatur di RSUD Dr. Soetomo didapatkan keluhan yang ditemukan sering berkaitan dengan antrian poli/instalasi rawat jalan.3

Banyaknya pasien yang berobat di instalasi rawat jalan harus berbenturan dengan waktu yang terbatas. Hal ini kemudian menjadikan dokter dan tenaga kesehatan lainnya tampak tergesa-gesa atau terkesan kurang meluangkan waktu untuk pemeriksaan padahal pasien dan keluarganya telah lama mengantri sejak dini hari. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan persepsi di mata pasien/keluarganya bahwa pemeriksaan yang dilakukan terkesan ‘asal-asalan’ dan yang penting cepat selesai. Padahal, pelayanan yang diberikan telah disesuaikan agar tetap efektif dan efisien.

KODEKI Pasal 10 menyatakan bahwa dokter wajib menghormati hak pasien dan wajib menjaga kepercayaan pasien.1 Adanya perbedaan persepsi tersebut berpotensi untuk menurunkan kepercayaan pasien terhadap dokter dan pelayanan di RS.

11Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 14: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Dalam bekerja, kita tidak bisa selalu sempurna. Kritik dan saran dapat menjadi sarana refleksi yang baik. Apabila seorang dokter mendapatkan komplain terkait pelayanan yang diberikannya, sebaiknya dokter mendengarkan terlebih dahulu komplain tersebut. Direksi RS juga memiliki peran penting dalam manajamen komplain. Direktur RS perlu membentuk tim penilaian independen yang bertugas untuk menangani komplain yang sifatnya bersinggungan dengan ranah manajemen RS. Bila ditemukan komplain terhadap manajemen RS, dokter dapat membantu dengan mengarahkan pasien/keluarganya untuk menghubungi tim tersebut dan menyuarakan komplain yang dimilikinya.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Medical Council. Grounds for complaints[internet]. 2020[Disitasi pada 2020 Jan]. Dapat diunduh di: https://www.medicalcouncil.ie/Public-Information/Making -a -Compla int -/Grounds - for -Complaints/Grounds-for-Complaints.html

2. Kode etik kedokteran Indonesia tahun 2012. Jakarta: 2012.

3. Muhadi M. Studi penanganan komplain pasien di instalasi rawat jalan (irj) rsud dr. soetomo. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS Dr Soetomo. 2016;2(1):8.

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Saran Penanganan Komplain dalam Konteks Elektif

Jika isi komplain pasien tersebut terkait upaya diagnosis dan tata laksana pasien, dokter penanggung jawab layanan di instalasi rawat jalan serta timnya dapat menjadi pihak pertama untuk menangani komplain tersebut secara langsung dengan baik melalui pendekatan pemahaman pelayanan yang efektif dan efisien kepada pasien/keluarganya. Dokter sebaiknya tidak tergesa-gesa dan/atau langsung membantah untuk membela diri atau merasionalisasikan komplain, padahal bisa jadi komplain tersebut benar dan bersifat membangun. Dalam menghadapi komplain, dokter perlu menunjukkan empati dan berterima kasih atas masukan yang diberikan. Berangkat dari komplain tersebut dokter bisa meningkatkan kualitas pelayanan medis dan menunjukkan perbaikan yang dilakukan atas dasar masukan dari komplain yang diberikan.

Namun, jika isi komplain pasien tersebut lebih terkait pada kebijakan RS, misalnya antrian yang panjang, pencarian rekam medis yang lama, dan sebagainya sebaiknya diarahkan pada Direktur RS. Dokter dan tim yang bekerja dapat membantu mengarahkan komplain tersebut dengan maksud baik agar RS dapat mengambil kebijakan untuk membenahi masalah tersebut.

Di sisi lainnya, jajaran direksi RS dan di staff di bawahnya selayaknya bersedia menerima komplain terkait sistem layanan dengan lapang hati. Direksi RS harus mengedepankan sikap tidak lepas tangan jika komplain yang ada terkait dengan manajemen RS. Komplain yang ada harus dianggap sebagai umpan balik positif demi perbaikan RS. RS perlu untuk membuat sistem penanganan komplain dan mengedukasi pasien/keluarga terkait penyampaian komplain terhadap manajemen RS. Dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja dapat memfasilitasi dan mengarahkan pasien/keluarga ke dalam sistem penanganan komplain yang telah dibentuk RS tersebut.

12

Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Page 15: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Pukovisa Prawiroharjo1,2, Putri Dianita Ika Meilia1,3, Ghina Faradisa Hatta1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

2Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 3Instalasi Kedokteran Forensik dan Pemulasaraan Jenazah, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

Abstract A patient’s attitude and behaviour towards bad news, e.g. a diagnosis of terminal disease or other poor medical conditions, should be handled with special attention. While it is the physician’s obligation to be honest and prioritise the patient’s autonomy, other ethical principles, such as beneficence and non-maleficence, should also be considered in withholding information which could weaken the patient, either psychologically or physically. Furthermore, patrilineal and matrilineal cultures in Indonesia are still strong and family members play an impotant role in making decisions on the patient’s behalf. The prima facie in regarding this ethical dilemma needs to be considered from various points of view, such as the patient’s cultural background, the physical and physiological state of the patient, as well as the Indonesian medical code of ethics (KODEKI) as the pillar of medical ethics in Indonesia.

Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai

Konteks Budaya Indonesia

Abstrak Sikap dan perilaku pasien terhadap berita buruk, misalnya diagnosis penyakit terminal ataupun kondisi medis buruk lainnya, harus ditangani secara khusus. Di balik kewajiban dokter untuk bersikap jujur dan mengedepankan autonomy pasien, prinsip etik beneficence dan non-maleficence menjadi pertimbangan dalam penahanan sebagian atau seluruh informasi yang dapat melemahkan psikis atau fisik pasien. Selain itu, budaya patrilineal dan matrilineal di Indonesia yang masih kental juga mempengaruhi keluarga pasien saat turut serta membuat keputusan atas kondisi medis pasien. Prima facie dalam masalah ini perlu ditinjau dengan mempertimbangkan faktor budaya, kondisi fisik dan psikis pasien, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menjadi pilar dari pertimbangan etik kedokteran di Indonesia.

Indonesia memiliki begitu banyak ragam budaya dan adat istiadat yang sedikit banyak turut mempengaruhi pola interaksi dan komunikasi, termasuk di dalamnya komunikasi kedokteran. Meskipun memiliki budaya dan adat istiadat yang majemuk, para proklamator telah merangkum saripati nilai-nilai yang ada sebagai kesepakatan bangsa, yaitu Pancasila. Musyawarah telah diterima sebagai salah satu unsur penting dari kepribadian Indonesia, yang kemudian dimaktubkan dalam sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Di Indonesia, adalah hal yang lazim jika seorang pasien bermusyawarah bersama keluarga, meskipun di era modern

banyak juga pasien yang menginginkan bahwa informasi diberikan oleh dokter hanya kepada dirinya seorang.

Informasi tentang diagnosis penyakit terminal, meskipun disampaikan dengan sangat komunikatif dan santun, tetap akan dicerna sebagai berita buruk dan melahirkan persepsi masa depan pasien yang tidak memungkinkan untuk sembuh sehingga akan menjalani masa sekarat hingga kematian. Di lain sisi, dokter memiliki kewajiban untuk bersikap jujur kepada pasien dan bertindak atas asas manfaat (beneficence) dan tidak membahayakan (non-maleficence) pasien. Hal yang menjadi pertanyaan adalah prima facie dalam konteks tersebut: Apakah tepat sikap dokter untuk

Kata KunciPenyampaian berita buruk, diagnosis penyakit terminal, budaya [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.41

Tanggal masuk: 20 November 2019

Tanggal ditelaah: 11 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Prawiroharjo P, Meilia PDI, Hatta GF. Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia. JEKI. 2020;4(1):13–9. doi: 10.26880/jeki.v4i1.41.

13Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 16: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

menunjukkan morbiditas psikiatrik dan/atau kualitas hidup yang lebih rendah pada pasien yang tidak tahu tentang prognosisnya yang fatal. Walaupun memang, faktor budaya yang dominan pada kawasan Asia tetap berperan penting dalam penanganan informasi ini. Maka dengan menimbang prinsip etik autonomy dan beneficence terhadap pasien, lebih tepat agar menerapkan cara yang menguatkan hubungan berlandaskan asas kepercayaan dengan juga mempertimbangkan preferensi pasien dalam menerima informasi, terlibat dalam keputusan klinis, serta sejauh apa peran keluarga terhadap dirinya.13

Studi Budaya di Asia, Negara Mayoritas Muslim, dan Indonesia

Pada dasarnya, budaya membentuk pandangan dan kepercayaan pasien, yang mempengaruhi pandangan terhadap penyakit, penderitaan, kematian, kecenderungan dalam membuat keputusan, menerima berita buruk, dan asuhan akhir hayat. Bentuk perbedaan budaya ini dapat dilihat antara negara-negara Barat dengan Timur, termasuk negara di mana mayoritas penduduknya adalah muslim.14 Di negara barat, terlebih Amerika Serikat15,16, Inggris17, Kanada18, dan Finlandia19, prinsip etik autonomy lebih dipegang erat sehingga lebih menekankan pengungkapan yang jujur terkait prognosis dan diagnosis terminal kepada pasien terlebih dahulu. Hanya pasien yang berhak menentukan kepada siapa informasi tersebut akan diungkapkan.

Sementara itu, negara-negara di Timur lebih memegang budaya patriarki yang mengusung hierarki dalam pembuatan keputusan sehingga keputusan tidak sepenuhnya berada di tangan pasien, melainkan pada keluarga. Budaya tersebut dapat dilihat pada negara-negara di Asia, seperti Jepang8,19, dan negara-negara mayoritas muslim, seperti Turki20, Lebanon21, Kuwait22, dan Saudi Arabia23. Memang budaya kolektif umum untuk dijumpai pada sejumlah negara Asia dan negara mayoritas muslim. Hal ini menyebabkan pendekatan yang cenderung memegang prinsip bahwa penyakit seseorang adalah masalah keluarga sehingga tak masalah jika keluarga menutupi kebenarannya demi

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

menahan sebagian atau seluruh informasi tersebut atas asas beneficence dan non-maleficence karena ditakutkan informasi sejenis tersebut sedikit banyak melemahkan daya tahan psikis maupun fisik pasien? Atau apakah lebih tepat untuk memberitahukan sepenuhnya informasi melemahkan tersebut atas asas autonomy pasien? Atas pengaruh budaya dan keluarga pasien, pada praktiknya acapkali dokter menyikapi pemberian informasi tersebut dengan menahannya dari pasien itu sendiri.

Perbedaan Sikap dan Perilaku Pasien serta Keluarganya terhadap Penyampaian Diagnosis Penyakit Terminal

Beberapa studi menunjukkan perbedaan antara sikap dan perilaku pasien serta keluarganya terhadap pengungkapan diagnosis penyakit terminal. Melalui persepsi pasien, pasien lebih memilih untuk mengetahui diagnosisnya langsung dari dokter sebagai tangan pertama dibandingkan disampaikan oleh keluarganya atau orang lain. Di lain sisi, yakni melalui persepsi keluarga, keluarga lebih memilih untuk menjadi orang pertama yang mengetahui berita buruk tersebut dibandingkan diberitahu langsung kepada pasien terkait.1-6 Menurut studi Liu, et al. (2018) di Cina, beberapa faktor signifikan mempengaruhi perbedaan persepsi tersebut, yakni usia, tingkat edukasi, dan tingkat kesejahteraan. Pasien dengan usia yang lebih muda, lebih teredukasi, serta dengan tingkat kesejahteraan yang setara atau lebih tinggi dari rata-rata secara signifikan menuntut haknya untuk mengetahui lebih awal tentang diagnosis penyakitnya. Pasien cenderung memegang prinsip etik autonomy, sedangkan keluarga pasien lebih cenderung berpihak pada prinsip beneficence.1

Sejumlah studi meneliti tentang dampak negatif terhadap tingkat kondisi mental, seperti cemas dan depresi, pada kelompok yang diberitahu dan tidak diberitahu perihal diagnosis masing-masing individu. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap tingkat cemas maupun depresi pada kedua kelompok.7-9 Bahkan beberapa studi dari Iran10, India11, dan Turki12 masing-masing

14

Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia

Page 17: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

“kebaikan” pasien. Terdapat kekhawatiran bahwa apabila kebenaran diberitahukan kepada pasien maka harapan pasien akan sirna, yang berujung pada keputusasaan, kesengsaraan fisik, kelelahan mental, dan mempercepat kematian. Persepsi dalam budaya Etiopia menunjukkan bahwa pasien bahkan ditakutkan mungkin untuk meninggal akibat syok terhadap berita buruk. Di beberapa negara Eropa selatan dan timur, serta sejumlah negara di Asia dan Timur Tengah, dipersepsikan bahwa tidak memberikan informasi medis yang buruk atau terminal lebih manusiawi dan etis. Lagi-lagi, prinsip beneficence terhadap pasien lah yang melandasi perilaku dan persepsi tersebut.14

Walaupun penting untuk menghormati perbedaan kepercayaan kebudayaan pasien, prinsip etik autonomy dan justice yang merupakan hak dasar setiap pasien tidak boleh diabaikan. Hal ini dapat berujung pada pengobatan yang “sia-sia” dalam sistem perawatan yang memiliki keterbatasan sumber daya karena pada dasarnya asuhan medis perlu untuk menjunjung prinsip patient-centred care. Perlu diingat bahwa tetap penting untuk mempertimbangkan preferensi pasien terlebih dahulu dalam penerimaan informasi tersebut.13

Ketentuan Umum KODEKI tentang Penyampaian Diagnosis Penyakit Terminal

Penyampaian diagnosis penyakit terminal terkandung dalam pasal 5 KODEKI, yang menyatakan bahwa, “Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.” Pada cakupan pasal 5 poin 3 dinyatakan, “Dalam rangka menimbulkan dan/atau menjaga rasa percaya diri pasien, dokter seyogyanya dilarang berbohong kepada pasiennya yang menderita penyakit berat/parah, kecacatan atau gangguan kualitas hidup, tetapi boleh menahan sebagian informasi yang dapat melemahkan psikis pasien dan/atau fisiknya.” Sementara pasal 5 poin 4 menyatakan “Dokter wajib menghormati keinginan pasien yang menolak untuk mendapat informasi mengenai penyakitnya sendiri atau tindakan/pengobatan

Prawiroharjo P, Meilia PDI, dan Hatta GF

yang memperlemah fisik dan mentalnya, namun seyogyanya dilakukan setelah memperoleh ijin pasien dan menjelaskan informasi tersebut kepada keluarga pasien.”24

Penjelasan pasal 5 KODEKI menyatakan, “Pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya.” Selanjutnya, “Pasien yang memiliki otonomi namun akan terpapar risiko fisik dan mental akibat perjalanan penyakitnya sendiri maupun tindakan/obat yang akan diberikan dokter, khususnya yang diramalkan berat (fatal), serius, berpotensi kecacatan atau akan merugikan, wajib diberi informasi memadai sebelumnya. Kecuali bila pasien tersebut tidak mampu mengerti dan/atau memahami atau terdapat gangguan kapasitas otonominya sehingga dirinya tidak mampu membuat keputusan menentukan (yang terbaik) baginya. Namun dalam budaya Indonesia, pasien sering ditemani oleh suami/istri atau bapak/ibu atau anak-anaknya, sehingga pemberian informasi dilakukan bersamaan kepada mereka, apalagi kategori perawatan akhir kehidupan. Kecuali yang amat khusus privasinya, pemberian informasi bersamaan ini perlu dimintakan persetujuan pasien lebih dulu.” 24

Pada narasi yang ada di pasal 5 KODEKI sebenarnya menyatakan, “…wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.” 24 Kami setuju dengan narasi KODEKI tersebut dengan fleksibiltas penafsiran bahwa persetujuan dapat diajukan kepada pasien atau keluarganya. Kata “atau” di sini semestinya membuat fleksibel dalam teknis pelaksanaannya, yaitu apakah persetujuan tersebut diajukan kepada pasien terlebih dahulu, kepada keluarganya terlebih dahulu, ataukah secara bersamaan. Namun, sayangnya pada cakupan dan penjelasan pasal 5 KODEKI ini belum memberikan tempat pada sikap yang jamak ada pada budaya negara Asia dan mayoritas muslim, yaitu memberikan informasi

15Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 18: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

mempersilakan diberikan kepada keluarga sesuai cakupan pasal 5 poin 4.24 Sebaliknya, jika pasien berkeberatan karena informasi tersebut dianggap sangat pribadi, maka informasi tersebut hanya dapat diteruskan kepada keluarganya atau pihak lain atas persetujuan pasien lebih dulu. Meskipun pada penjelasan pasal, disebutkan juga mengenai pemberian informasi kepada pasien dan keluarga dalam waktu bersamaan dengan mempertimbangkan kondisi di Indonesia bahwa pasien sering ditemani keluarganya ketika berobat. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kami menyarankan agar melengkapi cakupan dan penjelasan pasal 5 KODEKI dengan turut memasukkan bahwa penyampaian informasi kepada keluarga terlebih dahulu dapat dibenarkan sebagai sikap alternatif sesuai konteks dan kondisi yang ada.

Banyak dokter di Indonesia lebih nyaman memberitahukan informasi penyakit terminal ini ke keluarga terdekat terlebih dahulu dengan maksud agar keluarga dapat mengatasi kesedihannya, lalu kemudian dapat menguatkan mental pasien. Namun, yang perlu disadari oleh dokter Indonesia bahwa bisa terdapat potensi masalah yang perlu diantisipasi apabila informasi diberikan kepada keluarga pasien terlebih dahulu. Bahkan pada konteks tertentu, kebijakan ini dapat pula menjadi gelagat kurang baik saat pasien yang semestinya tahu atas kondisinya, merasa aneh melihat keluarganya tampak bersedih hati sementara pasien tidak mengetahui apa-apa. Alih-alih tujuan mulia tersebut tercapai, hal ini justru dapat memicu konflik kecil antara pasien dan keluarganya karena pasien dapat saja menaruh curiga.

Hal lain yang dapat terjadi adalah apabila dokter sengaja tidak memberitahukan kepada pasien perihal masalah kesehatan yang sebenarnya. Jika kemudian keluarga pasien juga berembuk di antara mereka sendiri dan memutuskan pasien tidak perlu diberitahu hingga akhir hidupnya, keputusan untuk membiarkan pasien sekarat dan wafat dalam kondisi tidak mengetahui kebenaran prognosis medisnya sejak awal adalah tindakan yang tidak etis. Dapat dibayangkan bahwa detil kehidupan pasien tidak seluruhnya diketahui keluarga, misalnya pasien dapat memiliki hutang-piutang

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

terkait kepada keluarga pasien terlebih dahulu baru kemudian pasien. Meskipun pada uraian penjelasan pasal, disebutkan bahwa pemberian informasi dilakukan bersamaan waktunya kepada pasien dan kepada keluarga dalam mempertimbangkan kondisi yang ada di Indonesia di mana pasien sering ditemani keluarganya. Ke depannya, diperlukan revisi terhadap cakupan dan penjelasan pasal 5 KODEKI ini untuk mengakomodasi hal yang jamak dilakukan di Indonesia sebagai budaya bahwa sikap memberikan informasi kepada keluarga pasien terlebih dahulu dapat dibenarkan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu.

Kode Etik Negara Lain tentang Penyampaian Informasi Diagnosis Penyakit Terminal

Di Amerika Serikat, American Medical Association (AMA) mengatur masalah penyampaian informasi dalam konteks informed consent, komunikasi, dan pembuatan keputusan. Klinisi harus jujur dalam menyampaikan kondisi medis pasien secara langsung atau secepatnya. Menahan sebagian informasi dapat dilakukan hanya dengan persetujuan dan kemauan pasien atau pada keadaan pasien tidak dapat memiliki kemampuan pengertian penuh atas informasi tersebut. Dalam menahan informasi, klinisi memiliki andil untuk mengatur jumlah pemberitahuan informasi yang dibutuhkan sedikit demi sedikit, tergantung pada kondisi kesiapan pasien. Klinisi juga dapat berkonsultasi kepada keluarga pasien atau pun komite etik untuk memutuskan keuntungan dan kerugian relatif atas penahanan informasi tersebut. Pada dasarnya, asas etik autonomy dan beneficence tetap diperhitungkan.25

Bolehkah Dokter Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Keluarga Pasien saja tanpa Pasien Tersebut Diberitahu?

Bagian cakupan pasal maupun penjelasan pasal 5 KODEKI menerangkan bahwa sikap dokter memberitahu keluarganya terlebih dahulu dan tidak memberitahu kepada pasien belum dapat diterima sebagai salah satu alternatif, kecuali jika pasien telah jelas menolak diberitahu informasi tersebut dan

16

Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia

Page 19: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

dan janji yang belum ditepati kepada orang lain. Seandainya informasi prognosis terkait penyakit terminal ini diketahui oleh pasien sedini mungkin, maka setidaknya pasien dapat melakukan perencanaan-perencanaan strategis dalam akhir hidupnya agar nanti saat meninggal dunia, ia sudah bebas dari hutang, janji yang belum ditepati, dapat menulis wasiat, dapat mengukir karya terakhir, dan sebagainya.

Capaian ini jelas bertolak belakang dengan apa yang pasien ikhtiarkan, yaitu hampir setiap hari bersedia penuh semangat antri panjang mengular di rumah sakit demi menjaga harapan ia akan sembuh di kemudian hari. Di satu sisi, bisa jadi dokter dan keluarga melihat hal ini sebagai aspek positif. Namun harus diakui, di sisi lain hal ini dapat ditafsirkan sebaliknya menjadi sangat negatif. Apabila kita sepakat bahwa kondisi meninggal dunia tanpa hutang, telah lunas semua janji bakti, dan sempat mengukir karya terakhir adalah bentuk yang lebih agung dibandingkan memelihara semangat berobat hari ke hari, maka misinformasi yang dialami pasien justru menjauhkan pasien dari peluang dapat meraih kondisi meninggal dunia yang sangat baik dan memelihara kehormatan dirinya.

Informasi Apa yang Dapat Ditahan Sebagian oleh Dokter tanpa Mengurangi Kejujuran?

Pada cakupan pasal 5 KODEKI 2012, disebutkan bahwa dalam rangka menimbulkan dan/atau menjaga rasa percaya diri pasien, dokter seyogyanya dilarang berbohong kepada pasiennya yang menderita penyakit berat/parah, kecacatan atau gangguan kualitas hidup tetapi boleh menahan sebagian informasi yang dapat melemahkan psikis pasien dan/atau fisiknya.24 Informasi yang melemahkan tersebut di dalamnya termasuk informasi mengenai rincian prognosis, progresivitas, komplikasi penyakit, proses penyakit dalam mengakibatkan kematian, hingga perkiraan kemungkinan sisa waktu hidup. Hal ini juga sejalan dengan pendapat AMA. Walaupun Amerika Serikat merupakan negara yang sangat menjunjung hak autonomy pasien, penahanan informasi dapat dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesiapan pasien, yang dapat dinilai oleh

Prawiroharjo P, Meilia PDI, dan Hatta GF

klinisi penanggung jawab pelayanan pasien—yang tentunya juga atas persetujuan pasien.25 Akan tetapi, perlu digarisbawahi pernyataan atas persetujuan pasien. Informasi merupakan alat yang ampuh, baik untuk bahaya maupun kebaikan, sehingga menahan informasi dari pasien yang kompeten dapat menyebabkan pasien tidak berdaya dan pembenarannya demi kesejahteraan dapat dipertanyakan. Menahan informasi dari pasien yang kompeten tidak memberikan dampak menguntungkan dalam jangka panjangnya, terutama dalam hal pembuatan keputusan ke depannya.26

Rekomendasi Mekanisme Pemberitahuan Informasi Pasien dengan Penyakit Terminal Sesuai Budaya Indonesia

Indonesia masih kental dengan kebudayaan patrilineal maupun matrilineal. Kedua budaya ini memiliki andil dalam pengambilan keputusan masyarakat secara umum.27,28 Sebelumnya, perlu diingat makna kekerabatan yang melekat pada budaya ini, yakni hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang memiliki hubungan darah atau keturunan dalam satu keluarga.

Mempertimbangkan budaya Indonesia yang masih kental asas patrilineal dan matrilineal di berbagai daerah dan besar pengaruhnya pada pembuatan keputusan seorang individu, kami mengusulkan bahwa dapat saja keluarga diberitahu terlebih dahulu, namun dalam waktu tidak lama (misalnya dalam sepekan), pasien kemudian diberitahu. Informasi yang disampaikan sebaiknya juga tidak sekedar terkait aspek medis saja, namun juga nasihat humanis menyentuh kalbu pasien tentang hakikat kehidupan dan kematian. Dalam upaya luhur ini, kerjasama dengan pemuka agama, psikolog/psikiater, dan tokoh masyarakat menjadi penting dilakukan oleh dokter maupun difasilitasi oleh rumah sakit.

Terlepas dari kekentalan budaya yang mempengaruhi pembuatan keputusan pada masyarakat luas di Indonesia, edukasi yang mendalam terhadap persepsi autonomy pasien tetap perlu dilakukan. Menimbang dampak jangka panjang yang lebih signifikan, pendirian masyarakat terhadap hak autonomy atas

17Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 20: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

3. Wang SY, Chen CH, Chen YS, Huang HL. The attitude toward truth telling of cancer in Taiwan. J Psychosom Res. 2004;57(1):53–58.

4. Jotkowitz A, Glick S, Gesundheit B. Truth-telling in a culturally diverse world. Cancer Invest. 2006;24:786–789. [PubMed] [Google Scholar]

5. Jotkowitz AB, Glick S, Porath A. A physician charter on medical professionalism: A challenge for medical education. Eur J Intern Med. 2004;15:5–9. [PubMed] [Google Scholar]

6. Hallenbeck J, Arnold R. A request for non-disclosure: Don’t tell mother. J Clin Oncol. 2007;25:5030–5034. [PubMed] [Google Scholar]3

7. Montazeri A, Tavoli A, Mohagheghi MA, Roshan R, Tavoli Z. Disclosure of cancer diagnosis and quality of life in cancer patients: should it be the same everywhere? BMC Cancer. 2009;9:39.

8. Maeda Y, Hagihara A, Kobori E, Nakayama T. Psychological process from hospitalization to death among uninformed terminal liver cancer patients in Japan. BMC Palliat Care. 2006;5:6.

9. Qian H, Hou L. Psychological impact of revealing a diagnosis of lung cancer to patients in China. J Thorac Dis. 2016;8(10):2879–2884.

10. Montazeri A, Tavoli A, Ali M, et al. Disclosure of cancer diagnosis and quality of life in cancer patients: should it be the same everywhere? BMC Cancer. 2009; 9:39.

11. Alexander PJ, Dinesh N, Vidyasagar MS. Psychiatric morbidity among cancer patients and its relationship with awareness of illness and expectations about treatment outcome. Acta Oncol. 1993;32:623-6.

12. Atesci F, Baltalarli B, Oguzhanoglu N, et al. Psychiatric morbidity among cancer patients and awareness of illness. Support Care Cancer. 2004; 12: 161-7.

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

hidup dan matinya perlu dikuatkan, yakni merupakan hak pasien untuk mengetahui secara penuh informasi atas kondisi medisnya, atau sebaliknya juga merupakan hak pasien untuk acuh atas informasi yang dapat diberikan dan menyerahkan keputusan pada keluarga---sesuai budaya yang berlaku. Kembali lagi pada peran penting dokter agar dapat cermat dalam mengamati pasien yang dirawatnya untuk menilai kesiapan fisik dan mental pasien dalam menerima informasi yang berpotensi melemahkan dirinya tersebut.

Penyampaian diagnosis penyakit terminal melibatkan prinsip etik autonomy, beneficence, serta non-maleficence, dengan mempertimbangkan faktor budaya patrilineal dan matrilineal di Indonesia yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan seorang pasien. Edukasi yang mendalam tentang persepsi hak autonomy atas hidup dan matinya juga tetap perlu dilakukan dan dikuatkan.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Liu Y, Yang J, Huo D, Fan H, Gao Y. Disclosure of cancer diagnosis in China: the incidence, patients’ situation, and different preferences between patients and their family members and related influence factors. Cancer Manag Res. 2018;10:2173–2181. Published 2018 Jul 23. doi:10.2147/CMAR.S166437

2. Chittem M, Norman P, Harris PR. Relationships between perceived diagnostic disclosure, patient characteristics, psychological distress and illness perceptions in Indian cancer patients. Psychooncology. 2013;22(6):1375–1380.

18

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia

Page 21: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

13. O’Kelly CDP, Urch C, Brown EA. The impact of culture and religion on truth telling at the end of life. Nephrology Dialysis Transplantation. 2011;26(12):3838-42. https://doi.org/10.1093/ndt/gfr630

14. Kazdaglis GA, Arnaoutoglou C, Karypidis D, Memekidou D, Spanos G, Papadopoulos O. Disclosing the truth to terminal cancer patients: a discussion of ethical and cultural issues. EMHJ. 2010;16(4):442-7.

15. McCabe MS, Wood WA, Goldberg RM. When the family requests withholding the diagnosis: who owns the truth?. J Oncol Pract. 2010;6(2):94–96. doi:10.1200/JOP.091086

16. Seale C. Communication and awareness about death: a study of a random sample of dying people. Social science and medicine, 1991, 32(8):943–52.

17. Hebert PC et al. Bioethics for clinicians: 7.Truth telling. Canadian Medical Association journal, 1997, 156(2):225–8.

18. Sainio C, Lauris S, Eriksson E. Cancer patients’ views and experiences of participation in care and decision making. Nursing ethics, 2001, 8(2):97–113.

19. Tanida N. Japanese attitudes towards truth disclosure in c ancer. Scandinavian journal of social medicine, 1994, .7–50:)1(22

20. Bozcuk H et al. Does awareness of diagnosis make any differ- ence to quality of life? Determinants of emotional functioning in a group of cancer patients in Turkey. Supportive care in can- cer, 2002, 10(1):51–7.

21. Hamadeh GN, Adib SM. Cancer truth disclosure by Lebanese doctors. Social science & medicine, 1998, 47(9):1289–94.

22. Qasem AA et al. Disclosure of cancer diagnosis and prognosis by physicians in Kuwait. International journal of clinical practice, .8–215:)3(56 ,2002

Prawiroharjo P, Meilia PDI, dan Hatta GF

23. Mobeireek AF et al. Communication with the seriously ill: physicians’ attitudes in Saudi Arabia. Journal of medical ethics, .5–282:)5(22 ,1996

24. Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S, Budiningsih Y, Prawiroharjo P, et al. Kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2012.

25. American Medical Association. Code of medical ethics: consent, communication & decision making. Dapat diakses: https://www.ama-assn.org/delivering-care/ethics/code-medical-ethics-consent-communication-decision-making

26. Edwin A. Don’t Lie but Don’t Tell the Whole Truth: The Therapeutic Privilege - Is it Ever Justified?. Ghana Med J. 2008;42(4):156–161.

19Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 22: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Telkomsel Dukung InDonesIa menuju RevolusI InDusTRI 4.0

Era digital telah mendorong In-donesia ke arah revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan hadirn-ya sejumlah terobosan teknologi

baru di sejumlah bidang, di antaranya adalah big data, internet of things (IoT), robotika, machine to machine, artificial intelligence dan lainnya. Seiring den-gan perkembangan industri teknologi, Telkomsel pun bertransformasi menjadi digital telco company yang bergerak se-cara pasti dalam meningkatkan kesia-pan dan teknologi untuk mengakselerasi perkembangan ekosistem digital di Indo-nesia.

Upaya ini merupakan salah satu bentuk dukungan Telkomsel bagi roadmap pe-merintah Indonesia yaitu ‘Making In-donesia 4.0’, dimana aspek penguasaan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi menjadi kunci penen-tu daya saing bangsa. Peran Telkomsel dalam revolusi industri 4.0 diperkuat dengan keseriusan kami dalam mengem-bangkan produk dan layanan digital yang relevan.

Pada tahun 2018, Telkomsel menjadi yang pertama di Indonesia dalam melakukan komersialisasi teknologi NB-IoT (Nar-rowband Internet of Things) di Indone-sia melalui implementasi bike sharing di Universitas Indonesia (UI). NB-IoT mer-upakan teknologi telekomunikasi terbaru yang dirancang secara khusus agar komu-nikasi antar mesin yang semakin masif dengan coverage jaringan telekomunikasi yang semakin luas dapat dilakukan se-cara efisien, serta penggunaan daya pada perangkat pengguna semakin hemat.

Dengan bekerjasama dengan PLN DIS-JAYA, teknologi NB-IoT Telkomsel juga telah berhasil diimplementasikan pada sistem smart meter di jaringan listrik, yang disebut sebagai Advanced Meter Infrastructure (AMI). Inovasi ini menan-dai komersialisasi NB-IoT AMI pertama di Asia Tenggara. Telkomsel terus mem-perkuat keseriusannya dalam mengem-bangkan IoT melalui penerapan NB-IoT pada mesin automatic fish feeder di Kam-pung Perikanan Digital melalui kolaborasi dengan eFishery dan Japfa.

Telkomsel juga menghadirkan Telkom-sel Innovation Center (TINC). Program TINC merangkum berbagai kegiatan da-lam membentuk ekosistem IoT Indonesia yang matang, berupa penyediaan labora-torium IoT, program mentoring dan boot-camp bersama expertise di bidang IoT, serta networking access bagi para startup, developer, maupun system integrator den-gan para pemain industri terkait.

Selain IoT, Telkomsel juga menghadirkan MSIGHT sebagai portofolio bisnis layanan Telco Big Data. MSIGHT merupakan unit yang beroperasi secara business to business (B2B) untuk memberikan nilai tambah untuk lembaga-lembaga pemerin-tah dan sektor industri seperti keuangan, transportasi, e-commerce, ritel, digital, periklanan, dan masih banyak lagi.

Beberapa aplikasi bisnis dari informasi Big Data diantaranya digunakan untuk melakukan monitoring perubahan jum-lah trafik pengunjung pusat, segmentasi konsumen berdasarkan profil tertentu; mengetahui perilaku digital konsumen, pola pergerakan konsumen antar lokasi, dan perilaku konsumen terhadap produk dan servis. Beberapa layanan Telco Big

Data MSIGHT telah dimanfaatkan instan-si pemerintah seperti Badan Pusat Statis-tik (BPS) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk melakukan studi secara lebih efisien dan mendapatkan sudut pandang yang lebih kaya, dimana aplikasinya diterapkan pada studi dampak makroekonomi dari penye-lenggaraan Asian Games 2018.

Untuk mendukung berbagai produk dan layanan digital yang inovatif, Telkomsel juga menghadirkan layanan konektivitas yang handal. Telkomsel secara konsisten telah mengimplementasikan roadmap te-knologi mobile broadband terdepan, ter-masuk teknologi 5G.

Sejak tahun 2016, Telkomsel telah melaku-kan serangkaian uji coba teknologi untuk mempersiapkan implementasi teknologi 5G, di antaranya implementasi teknologi 4.5G, uji coba Massive IoT & FDD Massive MIMO, uji coba teknologi seluler 1 Gbps, serta uji coba teknologi 5G yang meng-hasilkan kecepatan 70 Gbps.

Telkomsel adalah operator yang pertama menghadirkan pengalaman 5G di Indone-sia, melalui 5G Experience Center di kom-pleks Gelora Bung Karno, selama perhela-tan Asian Games 2018. Pada Asian Games 2018, Telkomsel menghadirkan pengala-man teknologi 5G yang diimplementasi-kan melalui autonomous bus, future driv-ing, live streaming dan virtual gaming.

Berbagai implementasi inovasi teknologi tersebut mencerminkan portfolio bisnis digital Telkomsel yang terus berkembang untuk mendukung kematangan ekosistem digital di Indonesia dan menjadi fondasi utama Telkomsel untuk membangun In-donesia Digital.

1 2 3 4

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah saat mendampingi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meninjau salah satu aplikasi Habibie Garden yang merpakan lulusan program CSR Telkomsel The NextDev.

Pada perhelatan Asian Games 2018, Telkomsel memastikan komitmennya dalam menghadirkan layanan berbasis teknologi terdepan dengan melakukan trial jaringan selular 5G pertama di Indonesia dengan mengimplemtasikannya melalui teknologi kehadiran autonomous bus (kendaraan tanpa awak).

Salah satu bentuk komitmen Telkomsel dalam mendorong penerapan komersialisasi teknologi selular berbasis IoT pertama di Indonesia melalui peluncuran layanan aplikasi Bike Sharing bekerja sama dengan Universitas Indonesia.

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah (paling kiri) bersama Direktur Utama Telkomsel Indonesia (paling kanan) saat mendampingi Menteri Perindustrian Republik Indonesia Airlangga Hartarto dan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia saat gelaran Asian Games 2018, dimana Telkomsel juga menghadirkan showcase Telkomsel 5G Experience yang menampilkan sejumlah layanan berteknologi 5G sebagai bentuk dukungan Telkomsel dalam penembangan ekosistem Industri 4.0 di Indonesia.

1

2

3

4

4.04.0

Page 23: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

4.0Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah saat mendampingi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meninjau salah satu aplikasi Habibie Garden yang merpakan lulusan program CSR Telkomsel The NextDev.1

2

Dalam upaya membuka isolasi layanan komu-nikasi di Indonesia, saat ini Telkomsel telah membangun 870 base transceiver station (BTS) di wilayah-wilayah

perdesaan yang sebelumnya tidak memperoleh layanan komunikasi. Dalam waktu dekat, akan segera mengoperasikan 232 BTS lainnya, sehingga secara total Telkomsel menggelar 1102 BTS di 1102 desa tanpa sinyal di Tanah Air.

Seluruh BTS di wilayah terisolir tersebut tersebar di 26 provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulaw-esi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

Dari 1102 BTS tersebut, 51 di antaranya merupakan BTS 4G yang memungkinkan masyarakat memanfaat-kan layanan data yang berkualitas untuk meningkat-kan produktivitas. Hadirnya BTS 4G Telkomsel terbukti nyata mentransformasi kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah terpencil. Ke depann-ya, Telkomsel tidak hanya menghadirkan konektivitas layanan komunikasi, namun juga menyediakan solu-si produk dan layanan digital yang turut mendukung produktivitas masyarakat sekaligus meningkatkan perekonomian daerah pelosok.

Penggelaran BTS di wilayah-wilayah terisolir tersebut merupakan hasil kerjasama Telkomsel dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAK-TI) Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal penyediaan akses telekomunikasi seluler bagi masyarakat di wilayah pelayanan universal tele-komunikasi dan informatika atau yang lebih dikenal dengan Universal Service Obligation (USO).

Kehadiran BTS di wilayah-wilayah yang sebelum-nya tidak memperoleh akses telekomunikasi ini semakin mempertegas komitmen Telkomsel dalam membangun dan memajukan seluruh negeri, tidak hanya di kota dan daerah yang menguntungkan secara bisnis. Telkomsel terus berupaya menyedia-kan layanan komunikasi berkualitas yang merata di seluruh Indonesia untuk mendorong pertumbuhan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Dalam membangun BTS USO di wilayah-wilayah terisolir, Telkomsel menerapkan teknologi BTS yang memungkinkan penggunaan layanan trans-misi satelit Very Small Aperture Terminal-Inter-net Protocol (VSAT-IP). Teknologi ini merupakan solusi komunikasi untuk melayani daerah-daerah terpencil dengan kondisi geografis yang menantang sehingga paling tepat untuk diimplementasikan di negara kepulauan seperti Indonesia. Dalam pro-gram ini, Telkomsel juga menggelar perangkat an-tena yang berfungsi untuk mengirim dan menerima sinyal telekomunikasi serta base station controller (BSC) untuk mengontrol dan memonitor kinerja BTS.

Di samping mendukung program USO, Telkom-sel terus berperan aktif dan berkontribusi dalam menghadirkan akses telekomunikasi bagi masyar-akat Indonesia di kawasan tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Sesuai dengan komitmen kuat untuk membuka akses telekomunikasi dan informasi di daerah perbatasan, daerah terpencil, serta jalur ba-hari di Indonesia sekaligus mendukung percepatan Rencana Pita Lebar Indonesia periode 2014-2019, Telkomsel telah menggelar program Merah Putih (Menembus Daerah Perdesaan, Industri Terpencil, dan Bahari). Proyek Merah Putih diharapkan mem-berikan solusi agar masyarakat di wilayah-wilayah yang belum terjangkau layanan telekomunikasi bisa menikmati layanan telekomunikasi dengan stan-dar kualitas yang sama dengan wilayah lainnya di seluruh Indonesia.

Telkomsel konsIsTen Buka akses komunIkasI DI WIlayah TeRIsolIR

4.0

Page 24: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

4.04.0

Page 25: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Pukovisa Prawiroharjo1,2, Anna Rozaliyani1,3, Ghina Faradisa Hatta, Mohammad Baharuddin1

1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia2Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

3Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstract Patient care involving multidisciplinary approach and its disjunct meetings toward patients potentially create a disparity in approach and treatment recommendation between attending physicians. This can cause confusion and overlapping recommended treatment. Patient-centred care and continuity of care are some of the important principles of medical care. Detriments in ethical principles are present while trying to establish those principles, including beneficence, non-maleficence, autonomy, and justice. This review aims at reviewing the basic purpose of multidisciplinary medical care, and any discrepancies in its practice.

Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP)

pada Layanan Medis Multidisiplin

Abstrak Perawatan pasien yang melibatkan banyak disiplin ilmu dan perjumpaan dokter-pasien yang terpisah-pisah berpotensi menimbulkan perbedaan pendekatan dan rekomendasi antardokter. Kondisi ini dapat menyebabkan kebingungan pasien dan tumpang tindih dalam tatalaksana pasien. Prinsip layanan medis mencakup patient-centered care dan layanan berkesinambungan (continuity of care). Ketimpangan prinsip etik dapat dijumpai dalam layanan medis multidisiplin meliputi prinsip etik beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice. Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali tujuan dasar pelayanan medis multidisiplin, serta potensi ketimpangan dalam praktiknya.

Kondisi medis yang kompleks tak jarang membuat pasien memerlukan analisis layanan multidisiplin spesialistik bahkan subspesialistik. Kondisi itu mengharuskan pasien datang ke rumah sakit untuk menjumpai tim dokter yang terdiri dari berbagai spesialis dan subspesialis. Bentuk perjumpaan tersering yang dialami pasien di Indonesia, baik dalam konteks rawat jalan maupun rawat inap, adalah perjumpaan secara terpisah dan bukan dalam satu kesatuan perjumpaan yang diharapkan berujung pada kesatuan sikap dan rekomendasi atas kondisi medis pasien.

Tanggungjawab Rumah Sakit dalam Menyelenggarakan Layanan Multidisiplin

Peran rumah sakit sebagai suatu organisasi dalam menyelaraskan asas beneficence (asas

manfaat atau kepentingan pasien di atas masalah lain) dapat tercermin pada beberapa peraturan. Rumah sakit berperan dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.1 Pada peraturan tersebut juga disebutkan bahwa rumah sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien (Pasal 43 UU Nomor 44 Tahun 2009) serta menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit agar terwujud tata kelola perusahaan dan klinis yang baik (Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2009).1,2 Dalam pasal 3 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa pengaturan praktik kedokteran

Kata KunciEtika, layanan multidisiplin, pola [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.42

Tanggal masuk: 21 November 2019

Tanggal ditelaah: 12 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Prawiroharjo P, Rozaliyani A, Hatta GF, Baharuddin M. Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin. JEKI. 2020;4(1):21–6. doi: 10.26880/jeki.v4i1.42.

21Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 26: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Para dokter hendaknya menyadari bahwa prinsip dasar yang harus diutamakan adalah keselamatan pasien dan layanan medis terbaik untuk pasien. Untuk itu setiap dokter harus memberikan kemampuan terbaik berdasarkan kompetensi ilmu masing-masing, sekaligus berbesar hati untuk menyadari keterbatasan yang dimilikinya. Dengan demikian, tim dokter harus saling membantu sekaligus memberikan kepercayaan kepada anggota tim yang memiliki kompetensi ilmu paling memadai, sesuai dengan kewenangan klinis yang berlaku.

Perbedaan sikap dan rekomendasi interdisiplin dapat berkaitan dengan prinsip mendasar dalam memberi pelayanan kepada pasien, yaitu visi pendekatan layanan medis bagi pasien. Hal ini dapat dilihat pada layanan multidisiplin bagi pasien dengan kondisi penyakit terminal. Di satu sisi, terdapat klinisi yang masih bersikeras menggunakan pendekatan heroik-positivistik, yang mengejar dan menargetkan tercapainya parameter “perbaikan medis” berbasis pemeriksaan klinis, hasil laboratorium, atau radiologis. Namun, adapula klinisi yang lebih mengutamakan kualitas hidup pasien serta survival rate (kesintasan) dalam jangka waktu tertentu sehingga lebih memilih layanan paliatif. Pertimbangan ini didasari pemahaman kecilnya kemungkinan kesembuhan pasien atas dasar studi ilmiah. Sengkarut ini semakin kompleks ketika pasien atau keluarga yang dipandang layak membuat putusan juga terbelah sikapnya. Sengkarut ini tidak selesai bila para dokter yang menangani pasien tidak memiliki kesamaan pandangan dalam hal yang mendasar.

Potensi lainnya untuk melanggar kaidah non maleficence adalah tumpang tindihnya terapi medikamentosa. Koordinasi yang kurang baik pada aspek ini dapat menyebabkan pasien mendapatkan dua jenis obat yang memiliki golongan atau mekanisme kerja yang sama atau serupa dari dua orang dokter. Contoh lain adalah pemberian obat-obatan yang menimbulkan interaksi antarobat, yang dapat membahayakan pasien.

Potensi masalah lain adalah adanya miskoordinasi dalam merekomendasikan pemeriksaan penunjang. Hal ini dapat menyebabkan pasien mendapatkan

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

dilakukan agar tercapai perlindungan kepada pasien, peningkatan mutu pelayanan medis, serta pemberian kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.2

Mengacu pada undang-undang tersebut, perlu diterapkan koordinasi layanan multidisiplin. Pelayanan medis dewasa ini semakin berorientasi pada pendekatan patient-centered care dan kesinambungan pelayanan (continuity of care).3-7 Pendekatan tersebut diupayakan melalui layanan multidisiplin untuk memberikan manfaat yang seluas-luasnya kepada pasien.

Kaidah Manfaat (Beneficence) terkait Pola Koordinasi Layanan Multidisiplin

Perawatan pasien pada prinsipnya harus dilakukan dengan mempertimbangkan memberikan manfaat terbaik bagi pasien (beneficence). Perawatan pasien multidisiplin memiliki potensi menghadirkan aspek manfaat yang besar. Hadirnya dokter-dokter dengan kemampuan analisis mendalam dan beragam terkait kondisi medis pasien akan mampu menghadirkan penilaian yang detil dan komprehensif, yang akan membantu kesembuhan pasien. Kehadiran tim dokter juga dapat saling mengisi sehingga akan menutup banyak celah masalah medis yang tidak teridentifikasi.

Kaidah Non-Maleficence dan Potensi Masalah dalam Layanan Multidisiplin

Layanan multidisiplin dilaksanakan dengan susunan tim medis yang terdiri atas ketua tim (DPJP utama) dan anggota tim (DPJP terkait masalah medis pasien lainnya). Pada umumnya, pertemuan pasien dengan setiap DPJP terjadi dalam waktu yang terpisah-pisah. Perjumpaan yang terpisah-pisah ini berpotensi menyebabkan munculnya perbedaan sikap dan rekomendasi antardokter yang melayani pasien. Kebingungan atau tumpang tindih tatalaksana yang direkomendasikan dapat merugikan pasien sehingga perlu dicegah sesuai kaidah non-maleficence (menghindari timbulnya bahaya, kerugian, atau hal yang tak menguntungkan pasien).

22

Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin

Page 27: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

pemeriksaan penunjang yang tidak diperlukan karena sebenarnya sudah direkomendasikan dokter lainnya. Misalnya, pada pasien trauma kepala CT-Scan kepala umumnya sudah pula memvisualisasikan kondisi mata dan hidung pasien sehingga pemeriksaan CT-Scan orbita secara terpisah sudah tidak diperlukan lagi.

Akar masalah tumpang tindih tersebut adalah koordinasi dan komunikasi yang tidak efektif antardokter,8-10 yang dapat berujung pada ketidakpuasan pasien, misdiagnosis, keterlambatan tatalaksana, kesalahan prosedur medis, bahkan kematian.11 Maka dari itu, standar koordinasi dan komunikasi antardokter harus dikembangkan serta difasilitasi pihak rumah sakit agar terlaksana dengan baik. Aspek koordinasi dan komunikasi antardokter ini juga tersirat diatur dalam pasal 7 dan pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.3

Ketimpangan Prinsip Etik Autonomy dalam Layanan Multidisiplin

Prinsip etik autonomy (kewenangan pasien untuk menentukan pilihan atau membuat keputusan sendiri) pada praktiknya juga dapat mengalami ketimpangan. Contohnya, seorang pasien yang sebelumnya sudah sering berobat ke spesialis jantung A sehingga rasa percaya dan nyaman sudah terbentuk, masuk ke instalasi gawat darurat (IGD) atas indikasi stroke. Pasien tersebut memiliki lebih dari satu masalah kesehatan yang membutuhkan layanan multidisiplin. Berdasarkan masalah medis utama pasien, dokter spesialis saraf menjadi DPJP utama tim multidisiplin. Akan tetapi, pasien yang sadar akan autonomy-nya ingin memilih dokter spesialis jantung A sebagai DPJP utama, karena boleh jadi pasien belum memahami betul indikasi medis utama saat masuk ke IGD. Hal ini menimbulkan pertanyaan: berdasarkan prima facie, prinsip etik manakah yang harus diutamakan, apakah prinsip autonomy yang dijunjung oleh pasien atau beneficence yang mengutamakan kebaikan untuk pasien? Secara etis, klinisi harus menghormati hak autonomy pasien sehingga tepat untuk menerima pilihan pasien tersebut. Akan tetapi, hendaknya klinisi

Prawiroharjo P, Rozaliyani A, Hatta GF, dan Baharuddin M

juga memberikan pandangan medis berbasis bukti sebagai pertimbangan terbaik bagi kondisi pasien. Lebih elok apabila kemudian spesialis jantung A secara rendah hati menyampaikan pertimbangan bahwa demi kebaikan pasien, spesialis saraf lebih tepat untuk menjadi DPJP utama pada kondisi stroke yang dialami pasien tersebut. Dengan mengedepankan prinsip beneficence, dokter spesialis jantung A hendaknya menenangkan pasien dan keluarga agar mempercayai dokter saraf tersebut, walaupun keputusan akhir tetap dipegang oleh pasien.

Ketidaksesuaian rekomendasi antar-DPJP juga dapat menyebabkan benturan etis dalam layanan medis apabila pasien memilih untuk mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh DPJP terkait lainnya yang bukan DPJP utama. Hal seperti ini harus ditangani dengan bijak agar dapat mencegah timbulnya konflik antar-DPJP. Komunikasi interdisiplin menjadi kunci dalam hal ini.8-11

Prinsip pelayanan yang patient-centred care harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan DPJP utama pada layanan medis multidisiplin. DPJP utama dapat ditentukan berdasarkan indikasi medis, kompetensi spesialistik, kewenangan klinis, pertemuan pertama, kesepakatan internal antara DPJP terkait, pilihan pasien, serta tempat perawatan, seperti ruang rawat intensif. Dalam hal ini, pilihan pasien hanya merupakan satu dari berbagai indikasi pemilihan DPJP utama.4 Namun, perlu dipertanyakan kembali, apakah sebenarnya indikasi tersebut sudah dipertimbangkan dari awal asuhan? Patut juga dipertanyakan tentang pemberian informasi terkait DPJP utama kepada pasien. Apakah dokter sebagai komunikator, sesuai dengan area kompetensi ketiga Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012,18 sudah mengomunikasikan hal tersebut kepada pasien sejak awal?

Stewart dkk19 mengatakan bahwa layanan patient-centered care menjunjung tinggi prinsip etik autonomy. Hal yang penting dilakukan adalah mengupayakan titik temu agar pasien memiliki pengetahuaan yang memadai tentang masalah medisnya atau tentang penanganan terhadap dirinya. Tantangan berikutnya adalah belum jelasnya batas sejauh mana autonomy pasien dapat

23Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 28: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

hal ini RS harus menetapkan peraturan yang jelas dan konsisten terkait pembagian peran, tanggunggung, dan kewenangan klinis yang harus dilaksanakan oleh setiap dokter.

Seorang DPJP utama berperan penting dalam mengintegrasikan layanan medis bagi pasien. Dalam hal ini, komunikasi intensif dan efektif dalam tim sangat berperan. Agar dapat mewujudkan kesinambungan asuhan tanpa terputus (seamless continuity of care), disarankan untuk mengadakan rapat tim yang melibatkan seluruh DPJP terkait sesuai kebutuhan pasien dan pihak manajemen rumah sakit. Hal ini juga perlu didukung oleh pihak rumah sakit untuk menyediakan fasilitas agar komunikasi dan data tentang pasien dapat dihimpun dengan baik dan DPJP utama dapat mengoordinasikan pengelolaan layanan medis yang terbaik bagi pasien tersebut.4

Memang pada praktiknya apabila hal ini diaplikasikan kepada setiap pasien rawat inap masih sulit. Oleh karena itu, dapat dipikirkan untuk menerapkan strategi tersebut pada beberapa kasus prioritas dengan penanganan multidisiplin yang cukup kompleks, seperti pada kasus langka, onkologi, geriatri, ataupun penyakit kronik.12-15 Sebuah penelitian oleh Yeung, et al. (2016) menunjukkan dampak yang signifikan dari implementasi layanan medis multidisiplin yang terintegrasi pada penyakit kronik dan kasus langka.12 The Australian Government Department of Health merekomendasikan pertemuan koordinasi layanan medis multidisiplin pada penyakit kronik, misalnya asma, stroke, kanker, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, bahkan penyakit musculoskeletal kronis. Pada beberapa kasus, kehadiran pasien dibutuhkan pula dalam pertemuan. Konferensi tersebut tidak harus tatap muka secara langsung, melainkan dapat melalui telepon, video, ataupun kombinasi.16

Idealnya, pertemuan tersebut dihadiri seluruh dokter yang memberikan layanan medis dan melibatkan pihak keluarga pasien. Apabila kondisi ideal ini sulit dipenuhi karena kesulitan mencocokkan waktu antar dokter yang memberikan layanan, maka dapat difasilitasi dengan pembicaraan menggunakan teknologi saat ini yang dapat dibuka lebih dari satu kamar

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

ditegakkan. Apabila pasien menggunakan hak autonomy secara tidak proporsional, padahal ia belum memiliki pengetahuan memadai terkait kondisi penyakit dan layanan medis terbaik, maka pasien dapat mengambil keputusan yang kurang tepat, sehingga bertentangan dengan prinsip etik lainnya, yaitu non-maleficence.

Ketimpangan Prinsip Etik Justice dalam Layanan Multidisiplin

Komunikasi dan koordinasi yang kurang efektif, selain berdampak pada prinsip non-maleficence juga mempengaruhi prinsip justice (keadilan). Pemberian obat yang tumpang tindih tidak hanya dapat meningkatkan risiko timbulnya efek samping dan interaksi obat, melainkan juga berdampak pada biaya yang dikeluarkan pasien, baik biaya pribadi maupun penjamin (asuransi, BPJS, perusahaan, dan sebagainya).

Selain itu, diskrepansi pendapat akan rekomendasi juga dapat dilihat pada penentuan perawatan intensif atau perawatan biasa. Prinsip keadilan disini perlu ditelaah, mengingat setiap pasien memiliki hak untuk perawatan yang optimal. Hal ini berhubungan dengan penentuan prioritas ruang perawatan intensif, yakni keadilan bagi semua pasien sesuai dengan pertimbangan medis yang proporsional.

Saran Pengaturan Koordinasi antar-DPJP di Rumah Sakit

Penentuan koordinasi antardokter harus dipersiapkan dengan baik sejak pasien pertama kali masuk ke rumah sakit. Kemampuan dan peran dokter di IGD atau triage perlu dioptimalkan dalam menentukan konsultasi awal kepada dokter spesialis terkait. Peran untuk memilah konsultasi pasien tersebut harus berpedoman kepada kewenangan klinis dokter spesialis yang paling berkompeten. Sekali lagi, pertimbangan utama harus diletakkan pada prinsip keselamatan pasien dan layanan medis terbaik bagi pasien (patient-centred care). Pemilahan konsultasi spesialistik yang kurang tepat bukan hanya berdampak pada disharmoni komunikasi antardokter, tetapi juga berakibat terhadap tata laksana pasien yang kurang optimal, bahkan dapat berakibat fatal. Dalam

24

Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin

Page 29: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

diskusi.

Pemilihan DPJP utama dapat ditentukan berdasarkan indikasi medis, kompetensi spesialistik dan kewenangan klinis, pertemuan pertama, kesepakatan internal antara DPJP terkait, pilihan pasien, ataupun jenis ruang perawatan. Pasien perlu mendapatkan informasi memadai terkait kondisi penyakit dan layanan medisnya, termasuk penentuan DPJP. Komunikasi dan informasi merupakan poin penting dalam standar keselamatan pasien. Perawatan pasien secara multidisiplin dapat memberikan manfaat yang besar kepada pasien. Dalam praktiknya, koordinasi dan komunikasi interdisiplin harus terjalin efektif dan intensif agar patient-centred care serta continuity of care dapat terwujudkan dan adanya pelanggaran etika kedokteran dapat dihindari.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

4. Lumenta NA, Atmodjo D, Luwiharsih, Amatyah M, Sutoto, et al. Panduan pelaksanaan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Edisi 1. Jakarta: Komisi Akreditasi Rumah Sakit; 2014.

5. World Health Organization. Continuity and coordination of care: a practice brief to support implementation on of the WHO Framework on integrated

Prawiroharjo P, Rozaliyani A, Hatta GF, dan Baharuddin M

people-centred health services. Spain: WHO; 2018. Dapat diakses: https://apps .who . in t/ i r i s /b i t s t re am/handle/10665/274628/9789241514033-eng.pdf?ua=1

6. Louw JM, Marcus TS, Hugo JFM. Patient- or person-centred practice in medicine? - A review of concepts. Afr J Prim Health Care Fam Med. 2017;9(1):e1–e7. http://dx.doi.org/10.4102/phcfm.v9i1.1455

7. WHO. Human factors in patient safety review of topics and tools: report for methods and measures working group of WHO patient safety. WHO; 2009. Dapat diakses: http://www.who.int/patientsafety/research/methods_measures/human_factors/human_factors_review.pdf

8. Stewart, MA. Stuck in the middle: the impact of collaborative interprofessional communication on patient expectations. Shoulder & Elbow. 2018;10(1):66-72. http://dx.doi.org/10.1177/1758573217735325.

9. De Vries-Erich, J, Reuchlin, K, de Maaijer, P, van de Ridder, J. Identifying facilitators and barriers for implementation of interprofessional education: perspectives from medical educators in the Netherlands. J Interprof Care 2017; 31: 170–174.

10. Hellier C, Tully V, Forrest S, et al. Improving multidisciplinary communication at ward board rounds using video enhanced reflective practice. BMJ Open Quality 2015;4:u206968.w2801. http://dx.doi.org/10.1136/bmjquality.u206968.w2801

11. Foronda, C, MacWilliams, B, McArthur, E. Interprofessional communication in healthcare: an integrative review. Nurse Educ Pract 2016; 19: 36–40.

12. Yeung CHT, Santesso N, Zeraatkar D, Wang A, Pai M, Sholzberg M, et al. Integrated multidisciplinary care for the management of chronic conditions in adults: an overview of reviews and an example of

25Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Page 30: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

19. Stewart M, Brown JB, Weston WW, McWhinney IR, McWilliam CL, Freeman TR. Introduction In: Stewart M, editor. Patient-centered medicine: Transforming the clinical method. 3rd ed. London: Radcliffe, 2014; 426 p.

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

using indirect evidence to inform clinical practice recommendations in the field of rare diseases. Haemophilia, 2016;22 (Suppl. 3):41–50. http://dx.doi.org/10.1111/hae.13010

13. Raine R, Wallace I, Nic a’ Bhaird C, Xanthopoulou P, Lanceley A, Clarke A, et al. Improving the effectiveness of multidisciplinary team meetings for patients with chronic diseases: a prospective observational study. Southampton: NIHR Journals Library; 2014. Dapat diakses: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25642498

14. Pillay B, Wootten AC, Crowe H, Corcoran N, Tran B, Bowden P, et al. The impact of multidisciplinary team meetings on patient assessment, management and outcomes in oncology settings: A systematic review of the literature. Cancer Treatment Reviews. 2016; 42:56-72. https://doi.org/10.1016/j.ctrv.2015.11.007

15. Brännström F, Bjerregaard JK, Winbladh A, Nilbert M, Revhaug A, Wagenius G, et al. Multidisciplinary cancer conferences: A systematic review and development of practice standards. Acta Oncol. 2015;54(4):447-53. http://dx.doi.org/10.3109/0284186X.2014.952387

16. Australian Government Department of Health. Chronic disease management: multidisciplinary case conference medicare items for GPs. 2013. Dapat diakses: https://www1.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/t/04BC88E9B6672B16CA257BF0001E3786/$File/FS%20-%20GP%20Multidis%20Case%20Conf%20-%20Provider%20Info%2031-10-13.pdf

17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

18. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: KKI; 2012.

26

Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin

Page 31: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

T. Sintak Gunawan1, Gilbert Mayer Christianto1Centre of Ethics, Universitas Katholik Atma Jaya

Abstract The integration of information technology with various systems in the world produces a lot of innovation and progress. One result of the application of technological advances in the health system is the development of electronic medical/health record. Various electronic medical/health records have been widely used, especially in developed countries. In Indonesia, attempts have already been made to implement electronic medical/health record system in practice. However, not all healthcare providers have implemented this system. This paper will discuss various aspects regarding electronic medical/health records, including the steps to implement them and problems that may be encountered in the process.

Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan

Abstrak Integrasi teknologi dan informasi dengan berbagai sistem di dunia menghasilkan banyak inovasi dan kemajuan. Salah satu hasil penerapan kemajuan teknologi dan informasi dalam sistem kesehatan adalah berkembangannya rekam medis/kesehatan elektronik. Rekam medis/kesehatan elektronik sudah banyak digunakan terutama di negara-negara maju dengan macam-macam bentuknya. Di Indonesia, telah mulai dicoba untuk menerapkan sistem rekam medis/kesehatan elektronik dalam praktik. Akan tetapi belum semua penyedia layanan kesehatan sudah menerapkan sistem ini. Berikut akan dibahas lebih dalam mengenai rekam medis/kesehatan elektronik, beserta langkah-langkah penerapannya, dan problematika yang mungkin dihadapi.

Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sudah menjadi bagian yang integral dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE) merupakan salah satu bentuk penerapan TIK dalam sistem pelayanan kesehatan melalui komputerisasi data pasien. RMKE mencakup Rekam Medis Elektronik (Electronic Medical Record) (EMR), Rekam Kesehatan Elektronik (Electronic Health Record), dan Rekam Kesehatan Pribadi (Personal Health Record).1

Rekam medis elektronik (RME) adalah versi digital dari rekam medis konvensional (berupa kertas) yang biasa digunakan di fasilitas kesehatan. RME berisi catatan dan informasi yang dikumpulkan oleh dan untuk dokter di fasilitas layanan kesehatan tersebut, yang digunakan untuk tujuan diagnosis dan perawatan kesehatan pasien. RME memungkinkan

penyedia layanan untuk melacak data pasien dari waktu ke waktu, identifikasi pasien untuk kunjungan pencegahan dan skrining, memantau pasien, dan meningkatkan kualitas perawatan kesehatan.1 Bukan hanya itu, dari segi biaya RME lebih efisien karena tidak mengeluarkan biaya untuk mencetak status dan tidak membutuhkan ruangan/tempat untuk penyimpanan.

Rekam kesehatan elektronik (RKE) dibuat lebih lengkap daripada data klinis standar yang dikumpulkan dalam RME di fasilitas kesehatan dan memberikan pandangan yang lebih luas tentang perawatan pasien. RKE berisi semua perawatan dan pemeriksaan yang pernah pasien jalani, misalnya kunjungan ke klinik layanan primer, klinik spesialis, rumah sakit, atau laboratorium klinis. RKE memungkinkan pertukaran informasi yang terintegrasi antara penyedia layanan kesehatan sehingga tenaga

Kata KunciTeknologi informasi, rekam medis elektronik, rekam kesehatan elektronik, sistem [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.43

Tanggal masuk: 24 November 2019

Tanggal ditelaah: 12 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Gunawan TS, Christianto GM. Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan. JEKI. 2020;4(1):27–31. doi: 10.26880/jeki.v4i1.43.

27Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 32: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

masyarakat.5

Namun, dalam kondisi saat ini, RMKE dapat menjadi tidak efisien dan sulit digunakan. Dari segi teknis, tantangan terbesar yang dihadapi adalah dari segi pendanaan. Masalah lain yang ditemukan adalah dari segi sumber daya, kurangnya profesional IT (Information Technology) yang terampil, diperlukan untuk mengintegrasikan data klinis pasien menjadi data digital RMKE. Tenaga kesehatan (terutama yang senior) juga tidak semangat untuk belajar menggunakan RMKE dalam praktik mereka.4

Penelitian lain menunjukkan bahwa dokter sekarang mencurahkan lebih banyak waktu untuk melakukan entry data daripada kontak/komunikasi dengan pasien. Sebuah penelitian terhadap dokter yang menggunakan RMKE di unit gawat darurat menunjukkan bahwa dokter menghabiskan rata-rata 43% dari waktu mereka untuk entri data dan hanya 28% dari waktu mereka pada kontak pasien langsung. Dalam membuat keputusan, klinisi banyak mengabaikan pemeriksaan fisik, melakukan analisa pertimbangan klinis, dan lebih mengandalkan hasil catatan elektronik. Hal ini bisa membahayakan pasien karena kondisi tubuh manusia yang sangat dinamis dan bisa berubah dengan cepat.4

Pelanggaran kerahasiaan informasi medis tidak hanya dapat terjadi dengan catatan medis kertas (konvensional). Risiko pelanggaran kerahasiaan pada sistem RMKE dapat pula terjadi, bahkan lebih cepat dan luas. Akibatnya, fasilitas layan kesehatan harus waspada dalam mencegah akses yang tidak sah ke informasi pasien agar kerahasiaan data pasien terjaga. Hal ini mencakup ancaman dari pihak internal, dari manajemen, kata sandi yang buruk, rekan kerja yang tidak puas atau tidak loyal, dan langkah-langkah keamanan fisik yang transparan, serta ancaman eksternal, seperti pencurian perangkat elektronik yang mengandung informasi kesehatan.2

Problematika RMKE di Indonesia

Di Indonesia, RMKE sudah mulai digunakan sejak akhir tahun 2000-an. Penggunaan teknologi dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia awalnya terbatas untuk

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

kesehatan yang akan memeriksa pasien mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kondisi pasien yang ditanganinya.1

Rekam kesehatan pribadi (RKP) berisi jenis informasi yang serupa dengan RKE — diagnosis, obat-obatan, imunisasi, riwayat medis keluarga, dan informasi kontak penyedia — tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga informasi tersebut dapat diatur untuk diakses dan dikelola oleh pasien. Pasien dapat menggunakan RKP untuk memelihara dan mengelola informasi kesehatan mereka di lingkungan pribadi secara aman dan rahasia. RKP dapat mencakup informasi dari berbagai sumber termasuk dokter, fasilitas kesehatan, perangkat pemantauan rumah, dan pasien sendiri.1

Problematika RMKE di Dunia

Rekam medis konvensional mempunyai banyak keterbatasan, diantaranya dari segi biaya untuk mencetak rekam medis dan penyimpanan rekam medis yang membutuhkan ruangan/tempat khusus. Dari segi waktu, rekam medis konvensional kurang efisien karena dibutuhkan waktu untuk mencari dan mengambil rekam medis. Dari segi kesinambungan informasi, data klinis dalam rekam medis konvensional bisa terputus karena lama penyimpanan rekam medis konvesional mempunyai waktu terbatas tergantung kebijakan pelayanan kesehatan.

RMKE sudah lama diterapkan oleh banyak negara. Di Tiongkok, RMKE mulai dikembangkan dari tahun 1997 dipromotori oleh rumah sakit militer People’s Liberation Army General Hospital (PLAGH).2 Pada tahun 2005, National Health System (NHS) di Inggris membuat keputusan untuk menerapkan sistem catatan kesehatan elektronik di setiap jejaring NHS Trusts.3 Negara Thailand sudah mulai melakukan komputerisasi dalam pengelolaan data pasien sejak tahun 2008.4

Sistem pelayanan kesehatan elektronik dibangun dengan fungsi utama untuk melacak kunjungan pasien, riwayat medis, perawatan, dan resep obat. Saat ini, RMKE juga dikembangkan untuk mendukung fungsi administrasi dan pembayaran. Dengan sistem RMKE yang baik, diharapkan layanan kesehatan yang diberikan akan semakin baik dan aman untuk pasien dan

28

Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan

Page 33: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

pencatatan data pasien. Namun, dengan perkembangan era sistem teknologi informasi, RMKE mulai digunakan dalam sistem rujukan berjenjang dan sistem pembayaran. Selain itu, RMKE juga digunakan dalam komunikasi dan pertukaran informasi antar fasilitas kesehatan, seperti di Jawa Tengah dimana setiap puskesmas dapat mengakses rekam medis elektronik yang terintegrasi sehingga dapat melacak riwayat pasien yang datang berobat.6

Namun, dalam sistem RMKE saat ini belum terjadi integrasi sepenuhnya antara data kesehatan pasien yang sekarang dengan riwayat kesehatan pasien yang terdahulu. Sistem ini membantu dalam perawatan pasien untuk kondisi akut/sekarang, tetapi untuk pasien dengan penyakit kronis atau penyakit kongenital, maka riwayat kesehatan pasien sebelumnya sangat krusial dalam menentukan rencana pengobatan pasien yang holistik dan berkesinambungan. Tidak jarang pasien harus menjalani berbagai pemeriksaan dari awal kembali karena ketidaktersediaan data kesehatan dahulu. RMKE seperti ini belum memenuhi potensi yang seharusnya bisa dicapai, yaitu peningkatan kualitas, peningkatan efisiensi, pengurangan biaya, dan penelitian.

Langkah-langkah Pembuatan Sistem RMKE

Belum semua rumah sakit di Indonesia menggunakan sistem RMKE. Perancangan dan penerapan yang terstruktur, menyeluruh, dan dilakukan secara hati-hati adalah kunci dalam merancang RMKE.

Lima hal yang harus diperhatikan terkait dengan pembuatan dan penerapan rekam medis elektronik adalah sebagai berikut:1. Hubungan dokter-pasien

RMKE bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan. Klinisi harus mampu menggunakan RMKE sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu interaksi dengan pasien yang dapat menyebabkan gangguan pelayanan bahkan keselamatan pasien, serta dibutuhkan kerja yang sistematis dan terintegrasi.

2. Privasi, rahasia, dan keamananPrinsip dasar rekam medis haruslah bersifat menjaga privasi, rahasia, dan aman (privacy,

Gunawan TS dan Christianto GM

confidentiality, and security) baik dalam bentuk kertas maupun dalam bentuk elektronik. Oleh sebab itu, rekam medis harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketiga aspek ini senantiasa terjamin. Seperti halnya rekam medis konvensional, hanya pihak berwenang saja yang boleh „masuk“ dan menggunakannya. Pasien perlu pula mengetahui dan memahami sistem RMKE. Untuk itu, perlu penjelasan yang memadai tentang sistem ini sehingga disetujui oleh pasien untuk dilaksanakan bersama-sama. Persetujuan ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis, tergantung kebutuhan. Pihak penyedia layanan kesehatan perlu membuat pedoman teknis pelaksanaan untuk menjamin terjaganya keamanan, kerahasiaan, dan privasi RMKE.

3. Budaya penerapan RMKEPerlu dipertimbangkan apakah para pihak yang terkait dapat beradaptasi dengan cara kerja RMKE karena adanya isu generation gap dan gagap teknologi. Dalam proses pendidikan sebelumnya, tenaga medis telah terbiasa menggunakan rekam medis kertas. Jika terjadi perubahan, yaitu penerapan RMKE, “budaya” baru ini perlu dipahami dan diterima oleh seluruh pihak yang terkait dengan penggunaan RMKE tersebut. Mungkin perlu jangka waktu tertentu untuk pelatihan dan penyesuaian budaya.

4. Keselamatan pasienPerlu dipertimbangkan apakah penggunaan RMKE akan meningkatkan keselamatan pasien atau malah mengganggu dalam tindakan menyelamatkan pasien. Oleh sebab itu, perlu kepastian bahwa pihak yang terlibat dalam menggunakan RMKE, terutama dokter dan perawat, telah terampil menggunakannya.

5. Penggunaan RMKE untuk kepentingan lainSelain untuk pencatatan, RMKE juga bisa digunakan untuk kepentingan lain seperti pendidikan, penelitian, dan peradilan. Untuk kepentingan lain ini perlu dibuat peraturan khusus terkait dengan penggunaan RMKE.

29Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 34: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

perlu dimasukkan dalam sistem RMKE.8

Langkah ketiga adalah implementasi RMKE. Orang-orang yang bekerja di fasilitasi layanan kesehatan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda dan lintas generasi. Masing-masing mempunyai kemampuan untuk menangkap pembelajaran yang berbeda, terutama yang terkait dengan teknologi informasi. Maka perlu diadakan pelatihan yang terstruktur dan sistematis untuk mengubah pola pikir dan budaya dari pencatatan rekam medis konvensional menjadi pencatatan rekam medis digital.

Dalam masa pelatihan dan penyesuaian ini, pelayanan penyedia layanan kesehatan kepada pasien tidak boleh terganggu. Pada tahap awal bisa dilakukan pendampingan bagi staf yang kesulitan dalam pengisian RMKE oleh staf yang lebih terampil. Selain itu perlu dilakukan pertemuan berkala dan teratur untuk mencari solusi bagi kendala yang dihadapi. Diperlukan juga ahli dan teknisi yang senantiasa siap membantu jika terjadi permasalahan.

Pemimpin rumah sakit bertanggungjawab untuk memotivasi setiap staf agar mengerti pentingnya sistem RMKE dan keuntungan yang bisa dicapai dengan sistem ini. Perlu pengawasan untuk perjalanan sistem RMKE ini. Audit berkala dilakukan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan dan RMKE berjalan sebagaimana mestinya.

RMKE telah mengubah tatacara layanan kesehatan konvensional, hubungan dokter pasien, dan pemanfaatan informasi/data kesehatan. Tiga hal yang penting diperhatikan terkait penerapan rekam medis elektronik dengan etika kedokteran adalah privacy, confidentiality, dan security. Penyedia layanan kesehatan perlu membuat sistem penerapan RMKE secara lengkap dan dilakukan sosialisasi yang baik. Perlu dukungan penuh seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan RMKE agar mudah ditangani jika terjadi masalah. RMKE diharapkan akan membantu menciptakan layanan kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan pasien, efektif, efisien, dan bermutu.

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Langkah pertama yang diperlukan dalam pembuatan RMKE adalah mencari vendor untuk merancang sistem pelayanan kesehatan online. Banyak data-data medis yang perlu diolah mulai dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, sampai data penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Kondisi tubuh manusia sangat kompleks dan berfluktuatif sehingga tidak jarang dibutuhkan pemantauan yang ketat dan berkesinambungan. Data yang diperoleh harus dapat diteliti, dipastikan kebenarannya, dan disimpan sebagaimana mestinya. Tidak semua vendor dapat menjembatani jarak antara bidang medis dan teknologi. Vendor yang kompeten dan berpengalaman dalam membuat sistem elektronik untuk bidang kesehatan terbatas. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi antara sektor kesehatan dan sektor teknologi dalam merancang RMKE.

Saat ini, kebijakan dan peraturan yang terkait tentang RMKE masih terbatas. Kebutuhan tiap fasilitas layanan kesehatan berbeda-beda dan yang paling mengetahuinya adalah dari fasilitas layanan kesehatan itu sendiri. Namun, mereka membutuhkan suatu pedoman untuk bekerjasama dengan vendor untuk memulai pembuatan RMKE. Disini pemerintah bisa berperan dalam membuat pedoman dan anjuran dalam proses pembuatan RMKE tersebut.

Langkah kedua adalah kerjasama penyedia layanan kesehatan dengan vendor. Perbedaan persepsi bentuk/sistem RMKE antara penyedia layanan kesehatan dengan vendor sering kali terjadi. Oleh sebab itu, perlu penyetaraan atau persamaan persepsi antara kedua belah pihak melalui kerjasama yang baik. Hal ini membutuhkan cukup banyak waktu dan tenaga.

Rekam medis adalah privasi pasien, sehingga perlu dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan. Setiap pihak yang terlibat dalam pembuatan sistem RMKE ini perlu mengetahui peran dan kewenangan masing-masing pihak. Vendor perlu mengetahui dengan jelas berdasarkan UU kesehatan setiap orang yang terlibat dan menggunakan rekam medis berada dalam sumpah untuk menjaga kerahasiaan pasien layaknya dokter. Hal ini

30

KESIMPULAN

Rekam Medis/Kesehatan Elektronik (RMKE): Integrasi Sistem Kesehatan

Page 35: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Garret P, Seidman J. EMR vs EHR – What is the Difference? | Health IT Buzz [Internet]. Healthit.gov. 2011 [cited 12 July 2019]. Available from: https://www.healthit.gov/buzz-blog/electronic-health-and-medical-records/emr-vs-ehr-difference

2. Li P, Xie C, Pollard T, Johnson A, Cao D, Kang H et al. Promoting Secondary Analysis of Electronic Medical Records in China: Summary of the PLAGH-MIT Critical Data Conference and Health Datathon. JMIR Medical Informatics [Internet]. 2017 [cited 12 July 2019];5(4):e43. Available from: https://medinform.jmir.org/2017/4/PDF

3. Dismantling the NHS National Programme for IT [Internet]. GOV.UK. 2011 [cited 12 July 2019]. Available from: https://www.gov.uk/government/news/dismantling-the-nhs-national-programme-for-it

4. Saniotis A. Changing ethics in medical practice: a Thai perspective. Indian Journal of Medical Ethics [Internet]. 2007 [cited 12 July 2019];(1). Available from: https://www.researchgate.net/publication/51404984_Changing_ethics_in_medical_practice_a_Thai_perspective

5. Electronic Health Records: Types & Components [Internet]. Study.com. 2019 [cited 12 July 2019]. Available from: https://study.com/academy/lesson/electronic-health-records-types-components.html

6. Indradi R. Enaknya Rekam Medis Elektronik (RME), Tinggal Klik-Klik Saja, Informasi Langsung Tersedia! - Tribun Jateng [Internet]. Tribun Jateng. 2019 [cited 12 July 2019]. Available from: https://jateng.tribunnews.com/2019/03/27/enaknya-rekam-medis-elektronik-rme-tinggal-klik-klik-saja-informasi-langsung-tersedia

Gunawan TS dan Christianto GM

7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran

8. Federation of State Medical Board. Report of the Committee on Ethics and Professionalism in the Adoption and Use of Electronic Health Records. 2014; amerika serikat.

31Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Page 36: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia
Page 37: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Rianto Setiabudy1,2, Ali Sulaiman1, Frans Santosa1,3, Julitasari Sundoro1,4, Fadlika Harinda1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia2Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

3Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta4The Indonesian Technical Advisory Group on Immunization Communicable Disease Control (ITAGI CDC)

Abstract The traditional belief that polypharmacy is a form of the art of medicine must now be shifted towards evidence-based medicine and precision medicine. Until now, polypharmacy is still a common phenomenon locally as well as globally. From an ethical point of view, polypharmacy is a medical practice that could potentially harm patients, both in terms of patient safety and medical costs. As a doctor, rational prescribing by considering the risks, benefits, and costs must be performed. The doctor takes full responsibility according to his competence and must provide an explanation of the drugs and side effects.

Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran

Abstrak Adanya pemikiran zaman dulu di mana kombinasi obat termasuk dalam seni kedokteran (art of medicine) kini sudah harus digeser ke arah pelayanan kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine) dan precision medicine. Fenomena polifarmasi masih banyak dijumpai dalam layanan kesehatan di Indonesia maupun di dunia. Menurut tinjauan etik, polifarmasi merupakan praktik medis yang potensial merugikan pasien baik dari segi keselamatan (patient safety) maupun dari segi biaya pengobatan. Sebagai seorang dokter, peresepan rasional dengan mempertimbangkan risk, benefit, dan cost harus dilakukan. Dokter bertanggung jawab penuh sesuai kompetensinya dan harus memberikan penjelasan mengenai obat-obatan dan efek samping.

Hingga saat ini, fenomena peresepan terlalu banyak obat di saat yang bersamaan (polifarmasi) masih banyak dijumpai dalam layanan kesehatan di berbagai belahan dunia. Prevalensi polifarmasi menurut laporan kepustakaan mencapai 38,1–91,2%.1-2 Dari penelitian yang dilakukan di RSUD Saiful Anwar Malang, didapatkan hasil praktik polifarmasi terjadi pada 72% pasien geriatri. Adapun 70% dari praktik polifarmasi tersebut menimbulkan permasalahan terkait pemberian obat (Drug-Related Problem, DRP). Kejadian DRP tersering antara lain potensi interaksi obat (66%), dosis yang tidak tepat (17,3%), pemakaian obat yang tidak perlu (16%), efek samping obat (14%), dan pemilihan jenis obat yang tidak tepat (8,7%).3

Meskipun pasien berhak memilih dengan siapa dia ingin berobat dan pilihan pengobatan

apa yang ingin dilakukannya sebagai bentuk realisasi asas autonomi dalam etika kedokteran, pengetahuan yang minim tentang obat yang beredar, baik jenis, efek terapi, dan efek samping membuat masyarakat biasanya menyerahkan pilihan jenis obat yang diresepkan sepenuhnya kepada dokter. Di era sekarang, di mana pilihan obat sudah sangat beragam, seorang dokter harus memastikan bahwa obat-obatan yang diberikan pada pasiennya sesuai indikasi medis dan aman, tetapi tetap dengan harga yang terjangkau.

Fenomena Polifarmasi

Menurut WHO, polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan obat yang banyak (umumnya lebih dari lima obat) di saat yang bersamaan oleh seorang individu. Pemberian obat ini bersifat lebih dari kebutuhan rasionalnya terkait dengan

Kata KunciEtika, polifarmasi, peresepan rasional, [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.44

Tanggal masuk: 10 Desember 2019

Tanggal ditelaah: 12 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Setiabudy R, Sulaiman A, Santosa F, Sundoro J, Harinda F. Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran. JEKI. 2020;4(1):33–6. doi: 10.26880/jeki.v4i1.44.

33Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 38: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

potensial membahayakan pasien. Dalam konsep peresepan rasional, selain

kompetensi dokter, realisasi asas autonomi pasien juga dapat berkontribusi positif. Dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 disebutkan bahwa dalam menerima pelayanan praktik kedokteran, pasien berhak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, termasuk terapi medikamentosa yang akan diberikan.5

Kontroversi Puyer

Masalah kontroversi puyer pernah mencuat di tahun 2009, setelah adanya liputan dari salah satu stasiun TV. Selain kontroversi higienitas alat yang digunakan, polifarmasi dan risiko interaksi antar obat dalam puyer turut menjadi sorotan.6 Meskipun terkesan lumrah di Indonesia, pembuatan puyer di negera lain sangat jarang ditemukan. Bukan karena adanya larangan melainkan terdapat beberapa kerugian dari pembuatan puyer terkait dengan stabilitas dan interaksi obat.

Dalam upaya membuat obat dengan stabilitas yang baik, perusahaan farmasi mengeluarkan banyak dana dan melakukan riset hingga didapatkan obat yang stabilitasnya baik. Misalnya, dengan memberikan coating dan menggunakan kemasan blister atau aluminium foil agar terlindung dari perusakan oleh cahaya maupun oksidasi. Proses penggerusan dalam pembuatan puyer dapat mengakibatkan mekanisme pelindung stabilitas obat rusak sehingga stabilitas obat menurun. Yang lebih mengkhawatirkan, masih terdapat dokter yang mencampurkan puyer dalam sediaan sirup (misalnya, OBH) di mana hal tersebut membuat stabilitas obat menurun dan jauh lebih cepat rusak.

Pencampuran beragam jenis obat dalam puyer dapat menyebabkan terjadinya interaksi antar obat dan inkompatibilitas obat. Hal ini dapat menyebabkan efektivitas terapi menurun dan reaksi samping obat. Adanya faktor kesalahan manusia turut menambah kerugian yang dapat terjadi dari pembuatan puyer, seperti salah dalam pengambilan obat, penimbangan obat, dan kurangnya kebersihan. Penggunaan alat penumbuk yang tidak selalu

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

diagnosis yang diberikan oleh dokter. Dalam konteks ini, terdapat obat-obatan yang dapat dikurangi tanpa memengaruhi efek terapeutik yang diharapkan. Obat-obatan tersebut juga bila ditinjau dari segi biaya masih dapat disesuaikan alternatif pilihan dengan biaya yang lebih murah. Selain itu, risiko efek samping dan interaksi antar obat menjadi perhatian khusus mengingat dapat berdampak fatal.2

Terdapat beberapa penyebab timbulnya polifarmasi, antara lain tidak jelasnya tujuan/target pengobatan, kurangnya pengetahuan mengenai interaksi obat, kecenderungan dokter untuk melakukan “playing safe”, bujukan promosi dari pabrik obat, dan pengobatan dilakukan untuk tiap gejala (terapi simptomatis).1

Fenomena polifarmasi utamanya ditemukan pada pasien lanjut usia (geriatri) di mana pasien golongan tersebut cenderung memiliki multiple organ diseases. Pasien geriatri umumnya menjalani pengobatan multidisiplin dan mendapat berbagai obat dari masing-masing disiplin. Bentuk adaptasi atau toleransi tubuh terhadap interaksi obat/efek samping pada pasien geriatri lebih rendah dibandingkan kelompok usia produktif. Oleh karena itu, peresepan rasional menjadi hal utama yang harus diperhatikan dalam pemberian regimen pada pasien geriatri.4

Peresepan Rasional

Dalam melakukan peresepan obat yang rasional, seorang dokter perlu mempertimbangkan risk, benefit, dan cost dari terapi medikamentosa penyakit, komponen usia, keadaan umum, efek terapeutik yang optimal, efek samping yang minimal, kesesuaian bentuk sediaan, keamanan interaksi antar obat, dan keterjangkauan harga.4 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 ayat 1 yang menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.5 Dalam hal ini jelas bahwa pemberian obat-obatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien atau polifarmasi merupakan praktik medis yang

34

Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran

Page 39: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

dibersihkan sebelum pembuatan puyer tidak hanya meningkatkan risiko kontaminasi mikroba, namun tanpa disadari memungkinkan pencampuran material obat pada komposisi puyer sebelumnya dengan puyer berikutnya.

Rasionalitas peresepan puyer menjadi masalah ketika campuran obat dalam satu puyer terlampau banyak. Praktik polifarmasi pun terkesan tersembunyi dengan adanya persepsi pengobatan dengan satu puyer saja. Untuk mengetahui komposisi puyer yang sedang digunakan bila pasien berobat multicenter, sebagai pertimbangan peresepan rasional, juga menjadi suatu kesulitan tersendiri.

Tinjauan Etika

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 pasal 7a ditegaskan bahwa seorang dokter dalam setiap praktik mediknya, harus memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.7 Dokter harus memiliki pengetahuan dasar ilmu farmakologi yang cukup mengenai farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisik kimia obat yang akan diresepkan sesuai kompetensi yang dimilikinya.

Perilaku Pasien

Pola pemikiran masyarakat yang mengharapkan efek secara instan, tidak jarang membuat pasien berpindah dokter (doctor shopping). Dari hasil doctor shopping tersebut kemudian pasien mendapat obat yang terkadang ‘berbeda’ dibandingkan obat sebelumnya. Perbedaan tersebut umumnya terbatas pada ragam merek, kekuatan, atau sediaannya. Dengan inisiatif sendiri, tidak jarang pasien meminum semua obat dari semua kunjungan dokternya tersebut. Perilaku seperti ini juga dapat berakibat buruk terkait dengan paparan berbagai macam obat dengan dosis dan risiko interaksi antar obat tanpa supervisi dari ahlinya.

Dalam KODEKI Pasal 9 dan 10, disebutkan bahwa seorang dokter wajib bersikap jujur terhadap pasien dan sejawatnya. Seorang dokter wajib menjelaskan secara jujur kepada pasien terkait pilihan pengobatan

Setiabudy R, Sulaiman A, Santosa F, Sundoro J, dan Harinda F

yang ada serta obat-obatan yang diberikan.7 Dengan demikian pasien dapat mengerti obat apa yang diminumnya. Akan tetapi dilema etik terjadi ketika jumlah obat yang diberikan oleh dokter terlampau banyak sehingga edukasi yang disampaikan juga berbenturan dengan keterbatasan daya tangkap pasien. Tidak sedikit pula dokter terlewat untuk menjelaskan karena tergesa-gesa oleh waktu ataupun alasan lainnya.

Dokter sebagai profesi yang memiliki kompetensi dalam bidang pengobatan mempunyai tanggung jawab untuk berlaku kompeten dan memenuhi hak pasien dengan memberikan penjelasan serta alternatif pengobatan. Dari sudut pandang etika, polifarmasi merupakan tindakan yang potensial mengancam keselamatan pasien.

Setiap dokter dan calon dokter hendaknya memahami dengan menyeluruh teknik peresepan rasional untuk menghindari praktik polifarmasi yang dapat membahayakan pasien. Perlu dipertimbangkan agar Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dapat berperan sebagai mediator pembinaan profesi agar tidak terjadi pelanggaran etik terkait dengan praktik polifarmasi di layanan kedokteran Indonesia. Dalam hal ini peran aktif MKEK baik pusat, wilayah, maupun cabang sangat diharapkan, misalnya dalam setiap pertemuan rutin ataupun setiap kesempatan.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Jokanovic N, Tan EC, Dooley MJ, Kirkpatrick CM, Bell JS. Prevalence and factors associated with polypharmacy in long-term care facilities: a systematic review. J Am Med Dir Assoc. 2015;16(6):535.e1–12.

2. WHO. Medication safety in polypharmacy. Geneva: World Health Organization;2019.

35Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Page 40: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

3. Rahmawaty Y, Sunarti S. Permasalahan pemberian obat pada pasien geriatri di ruang perawatan RSUD saiful anwar malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2014;28(2):141-5.

4. Gurwitz J, Kapoor A, Rochon P. Polypharmacy, the good prescribing continuum, and the ethics of deprescribing. public policy & aging report. 2018;28(4):108-112.

5. Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Jakarta:2004.

6. Kontroversi puyer dan polifarmasi[Internet]. 2009 Mar [disitasi pada 2020 Jan] dapat diakses pada: www.kompas.com.

7. Kode etik kedokteran Indonesia tahun 2012. Jakarta: 2012.

36

Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran

Page 41: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Rianto Setiabudy1,2, Broto Wasisto1, Bachtiar Husein1

1Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia2Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstract Partnership between doctors or medical associations with industries to promote the marketing of particular products undoubtedly places the medical profession in a conflict of interest. Under this unfavorable condition, the medical profession must do their best to provide educational message for the society, maintain independency as well as their professional integrity. In this collaboration doctors and the medical association in whatever way are not allowed to participate in the promotion of any particular product(s). Doctors and the medical associations are allowed to construct educational advertisement. The sponsor may show their support to the message in the educational advertisement in a separate time or place in a such way that that people understand that it comes from the sponsor. Doctors and the medical associations are not allowed to participate in any product promotional program which are disguised as health discussion programs in the television or radio.

Etika Kedokteran dalam Kerjasama Periklanan dengan Sponsor

Abstrak Kerjasama antara dokter atau perhimpunan profesi dengan industri dalam upaya pengiklanan produk tertentu berpeluang cukup besar untuk menyebabkan dokter atau perhimpunan profesi masuk ke dalam konflik kepentingan. Dalam kondisi demikian, para profesional medis ini harus berupaya maksimal untuk memberikan pesan edukasi kepada masyarakat, mempertahankan independensi, dan menjaga integritas profesi. Dalam kerjasama ini, dokter atau perhimpunan profesi tidak dibenarkan dalam bentuk apa pun ikut atau memberi kesan ikut mempromosikan suatu produk tertentu. Dokter atau perhimpunan profesi dibenarkan membuat iklan edukasi. Sponsor boleh menyatakan dukungannya terhadap pesan edukasi itu dalam tayangan terpisah dengan jedah waktu yang cukup sedemikian sehingga orang tahu bahwa itu pesan yang datang dari sponsor. Dokter dan perhimpunan profesi seyogyanya juga tidak boleh ikut tampil dalam promosi produk yang disamarkan sebagai diskusi kesehatan di televisi atau radio

Iklan dalam bentuk tayangan di televisi, radio, media cetak, dan sebagainya adalah sarana yang sering digunakan oleh produsen obat, alat kesehatan, suplemen makanan, minuman, dan lain-lain untuk memperkenalkan produknya ke pada konsumen. Dalam upaya memenangkan persaingan dagang, kerap kali produsen membutuhkan pernyataan dukungan dari profesi medis. Ini bersandar pada kenyataan bahwa hingga saat ini pernyataan dokter mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Apa yang dikatakan dokter dianggap mengandung nilai kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi.

Sementara itu, dokter maupun perhimpunan profesi membutuhkan biaya baik

untuk kepentingan pribadi maupun untuk menjalankan kegiatan organisasi. Karena itu, kerjasama dokter dengan produsen atau sponsor menjadi sesuatu yang amat menarik. Honor yang diberikan oleh sponsor bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebagai seorang profesional, dokter atau perhimpunan profesi harus mengatakan hal yang benar, berimbang, dan bertujuan mencerdaskan masyarakat. Namun, sebagai pihak yang menerima honor dari sponsor, ada dorongan kuat baginya untuk memuji suatu produk secara berlebihan, menyampaikan pesan yang tidak berimbang, atau menakut-nakuti masyarakat yang semuanya bertujuan membantu sponsor meningkatkan penjualan produknya. Dengan demikian amat jelas bahwa

Kata KunciEtika, dokter, iklan, [email protected]© 2020 JEKI/ilmiah.idDOI10.26880/jeki.v4i1.45

Tanggal masuk: 31 Desember 2019

Tanggal ditelaah: 12 Januari 2020

Tanggal diterima: 10 Februari 2020

Tanggal publikasi: 24 Februari 2020

ISSN 2598-179X (cetak) ISSN 2598-053X (online)

Setiabudy R, Wasisto B, Husein B. Etika Kedokteran dalam Kerjasama Periklanan dengan Sponsor. JEKI. 2020;4(1):37–40. doi: 10.26880/jeki.v4i1.45.

37Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 42: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

dirinya sebagai “praktisi kesehatan”. Dalam diskusi ini, dokter sering hanya

mengulas segi medisnya, sedangkan pesan-pesan untuk membeli produk disampaikan oleh petugas marketing dari sponsor. Namun, terkadang juga terjadi hal yang lebih buruk lagi yaitu dokter secara gamblang ikut menganjurkan orang membeli produk yang dipromosikan itu.

3. Partisipasi dokter dalam siaran iklan di radio biasanya muncul dalam bentuk obrolan mengenai masalah kesehatan tertentu namun bila disimak terlihat jelas bahwa tujuan sebenarnya dari obrolan itu membujuk masyarakat membeli produk tertentu. Diskusi seperti ini jelas adalah kegiatan promosi produk yang disamarkan sebagai diskusi kesehatan.

Ada satu lagi bentuk tayangan di televisi atau siaran radio yang sering melibatkan dokter, yaitu yang bersifat murni layanan kesehatan masyarakat. Tayangan/siaran/artikel demikian sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan promosi produk tertentu, dan tujuannya semata-mata untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan. Sponsornya bisa Kementerian Kesehatan atau organisasi kesehatan tertentu yang tidak berafiliasi dengan industri. Tayangan atau siaran demikian ini sangat terpuji dari sudut pandang etika kedokteran.

Pedoman terkait Etika Kedokteran dalam Periklanan

1. Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 3:“Dalam melakukan pekerjaan

kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang menyebabkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.”

2. Sumpah Dokter butir 2:“Saya akan menjalankan tugas dengan

cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.”

3. Sumpah Dokter butir 3:“Saya akan memelihara dengan sekuat

tenaga, martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.”

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

dokter maupun perhimpunan profesi dokter yang bekerjasama dengan sponsor masuk ke dalam konflik kepentingan.

Kondisi konflik kepentingan ini harus dijauhi karena, walaupun belum tentu bersalah, dokter atau perhimpunan profesi yang bersangkutan sudah amat dekat dengan pelanggaran etika dan hukum. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) sebenarnya sangat menginginkan agar dokter dan perhimpunan profesi tidak terlibat dalam kerjasama periklanan dengan sponsor, namun desakan dari mereka demikian kuatnya sehingga MKEK memberikan toleransi yang disertai rambu-rambu etika agar tidak terjadi dampak negatif yang dapat mencederai marwah profesi dokter. Dalam kepustakaan tidak sulit bagi kita untuk mencari informasi mengenai rambu etika bagi dokter terkait masalah mengiklankan dirinya sendiri, tapi tidak ada yang membahas mengenai kerjasama dengan industri yang mengiklankan produknya.

Manifestasi Kerja Sama

Keterlibatan dokter dalam iklan promosi produk bisa muncul dalam beberapa bentuk:1. Partisipasi dalam iklan edukasi (terkadang

disebut tulisan atau artikel edukasi) di televisi, radio, atau media cetak. Di sini, dokter atau perhimpunan profesi menyampaikan pesan sederhana agar masyarakat bisa hidup sehat, padahal tujuan utamanya ialah menunjang penjualan produk tertentu. Misalnya, masyarakat dianjurkan untuk minum cukup, menggunakan sabun pada waktu mandi, membersihkan gigi setelah makan, menjaga kesehatan jantung, dan lain-lain. Tujuan sebenarnya ialah menunjang penjualan produk tertentu air mineral, sabun mandi, odol, suplemen penurun kadar kolesterol, dan sebagainya.

2. Partisipasi dalam tayangan televisi atau siaran iklan berbentuk diskusi mengenai masalah kesehatan. Dokter yang dilibatkan terkadang menggunakan jas dokter, namun ada juga yang tidak menggunakan jas dokter, tapi berulang kali disapa dengan panggilan “dokter”. Terkadang ada juga yang menyebut

38

Etika Kedokteran dalam Kerjasama Periklanan dengan Sponsor

Page 43: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Kajian dari Segi Etika Kedokteran

1. Artikel/tulisan/iklan edukasi harus dibuat dengan tujuan utama mendidik masyarakat untuk hidup sehat. Bahwasanya ada kepentingan promosi produk tertentu, yang secara de facto terkait di sini, adalah tujuan tambahan.

2. Semua orang bisa memahami bahwa promosi adalah upaya yang wajar bila dilakukan oleh pabrik pembuat produk tertentu, namun tidak pada tempatnya bila seorang dokter atau perhimpunan profesi ikut berpromosi untuk menjual produk tersebut

3. Pengertian artikel/tulisan/iklan edukasi harus dibedakan dengan iklan biasa. Iklan edukasi menyandang nama “edukasi” maka isi artikel/tulisan/iklan edukasi harus berimbang, objektif, bersifat mendidik, tidak berbohong, menakut-nakuti atau melanggar norma kepantasan/ kesusilaan yang berlaku bagi masyarakat Indonesia. Materi untuk tulisan edukasi seyogyanya dibuat oleh dokter atau perhimpunan.

Iklan biasa dibuat oleh orang-orang yang bekerja untuk produsen dan sifatnya lain sekali dari iklan edukasi karena ia boleh menonjolkan berbagai kelebihan suatu produk tanpa mengungkapkan kelemahannya. Iklan biasa tidak membawa misi edukasi karena tujuannya ialah meningkatkan penjualan produk. Sampai batas tertentu, iklan biasa masih diperbolehkan “menimbulkan sedikit rasa takut” agar produknya dibeli orang, misalnya menyatakan betapa berbahayanya rumah yang tidak dilengkapi dengan alat pemadam api. Yang tidak diperbolehkan di sini hanyalah menjelekkan produk pesaingnya. Semuanya ini ada dalam ranah etika bisnis, bukan etika kedokteran.

4. Artikel/tulisan/iklan edukasi harus disusun oleh orang-orang yang kompeten, dalam hal ini dokter atau perhimpunan profesi. Para dokter atau perhimpunan profesi yang membuat iklan edukasi semacam ini jelas terancam oleh konflik kepentingan karena mendapat imbalan finansial dari produsen. Karena itu, mereka harus berupaya maksimal untuk tetap objektif dan menjaga marwah

Setiabudy R, Wasisto B, dan Husein B

profesi kedokteran. 5. Sponsor tidak boleh ikut campur dalam

penyusunan artikel/tulisan/iklan edukasi, namun ia boleh menampilkan dukungannya atau pesan promosinya pada tempat atau waktu yang berdekatan tulisan/iklan edukasi itu sedemikian rupa sehingga orang tahu bahwa itu adalah pesan sponsor. Untuk tayangan di televisi, pesan sponsor dibawakan bukan oleh dokter penyampai pesan edukasi dan diberi jarak waktu minimal 3 detik. Untuk siaran radio, suara pembawa pesan sponsor tidak boleh menggunakan suara dokter pembawa pesan edukasi. Untuk tulisan edukasi diberi bingkai yang berbeda.

6. Draft artikel/tulisan/iklan edukasi itu perlu dikonsultasikan dan disetujui oleh MKEK IDI sebelum ditayangkan di televisi, disiarkan melalui radio, atau disebarluaskan melalui media cetak.

7. Tulisan yang tampilannya menyerupai tulisan/artikel/iklan edukasi, namun substansinya adalah semata untuk tujuan promosi harus ditulis dengan jelas kata “IKLAN” di sudut kiri atau kanan atasnya. Tulisan sedemikian ini disusun oleh pabrik pembuat produk. Dokter dan perhimpunan profesi tidak diperkenankan membuatnya.

8. Iklan biasa di media cetak maupun televisi (yang dibuat oleh produsen), tidak boleh menampilkan penyampai pesan yang menggunakan seragam dokter, atau memberi kesan bahwa ia adalah dokter, atau menampilkan lambang IDI, atau menggunakan nama/lambang perhimpunan profesi, atau nama yang dilengkapi dengan gelar dokter, atau ia dipanggil dengan sebutan “Dokter”. Hal ini tidak berlaku untuk tayangan yang sifatnya murni untuk layanan/edukasi masyarakat.

9. Iklan biasa di radio/TV juga tidak boleh menimbulkan kesan bahwa penyampai pesan adalah seorang dokter, baik atas nama pribadi atau mewakili perhimpunan profesi.

10. Harus dihindarkan semua tindakan/tayangan/pernyataan apa pun yang dapat menimbulkan kesan perhimpunan profesi atau dokter secara pribadi ikut berpromosi,

39Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

Page 44: Jurnal Etika Kedokteran Indonesia

Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1 Feb 2020

misalnya: menempelkan logo perhimpunan pada produk, menyatakan bahwa perhimpunan profesi merekomendasikan produk tertentu, memuji-muji produk tertentu, membuat testimoni, dan sebagainya.

Perkembangan jaman mengakibatkan timbulkan kebutuhan kerja sama antara dokter/perhimpunan profesi dengan produsen dalam periklanan untuk menunjang promosi produk tertentu. Kerjasama ini memberi manfaat finansial bagi bagi dokter/perhimpunan profesi, namun juga sekaligus menempatkan mereka dalam konflik kepentingan. Dalam kondisi demikian, para profesional medis ini harus berupaya maksimal untuk memberikan pesan edukasi yang objektif kepada masyarakat, mempertahankan independensi, dan menjaga integritas profesi. Adanya rambu atau pegangan etika akan sangat membantu profesi dokter untuk menjaga agar mereka tidak sampai mencederai marwah etika profesi dan tetap menjunjung tinggi etika kedokteran. Selain itu, adanya pegangan etika ini juga membantu produsen untuk memahami sudut pandang dari etika kedokteran.

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan dalam penulisan artikel ini.

1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia 2012

2. Sumpah Dokter Indonesia

3. The AMA Position Statement on Advertising and Public Endorsement. athttps://ama.com.au/position-statement/advertising-and-public-endorsement-2004-editorially-revised-2006-revised-2014

4. Anonim. Guide to professional conduct and ethics for registered medical practitioners

40

KESIMPULAN

KONFLIK KEPENTINGAN

REFERENSI

Etika Kedokteran dalam Kerjasama Periklanan dengan Sponsor