Makalah Lk II Depok - Revitalisasi Posisi Perempuan Dalam Pembentukan Tata Pemerintahan Yang Baik...
-
Upload
rozana-tunggadewi -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
description
Transcript of Makalah Lk II Depok - Revitalisasi Posisi Perempuan Dalam Pembentukan Tata Pemerintahan Yang Baik...
1
MAKALAH
“REVITALISASI POSISI PEREMPUAN
DALAM PEMBENTUKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
MELALUI PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN”
DISUSUN OLEH :
ROZANA
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(HMI)
CABANG MALANG
2013
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
PENDAHULUAN .....................................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 3
D. Manfaat ........................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
A. Gambaran Umum Tata Pemerintahan di Indonesia ....................... 4
B. Partisipasi Politik Perempuan ......................................................... 6
1. Kedudukan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan ........... 8
2. Perwakilan Perempuan di Tata Pemerintahan ........................... 9
3. Tantangan Terbesar dalam Perwakilan Perempuan ................... 10
C. Strategi Pemecahan Hambatan Perwakilan Perempuan ................. 10
1. Langkah Publik .......................................................................... 10
2. Langkah Organisasi Perempuan ................................................ 10
3. Pembentukan Aliansi ................................................................. 11
4. Pembagian Peran ....................................................................... 11
5. Merangkul Generasi Muda ........................................................ 11
KESIMPULAN ......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 13
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Revitalisasi Posisi Perempuan dalam Pembentukan
Tata Pemerintahan yang Baik melalui Partisipasi Politik Perempuan
Makalah ini berisikan tentang informasi bahwa perempuan dan politik
adalah salah satu isu utama dalam wacana politik di Indonesia, dibuat sebagai
syarat pendaftaran peserta Latihan Kader II (LK II) HMI Cabang Depok.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua dan
dapat diterima sebagai makalah yang lolos seleksi pendaftaran LK II.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Malang, 20 Januari 2013
Penyusun
Rozana
i
ii
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good governance telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya
penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata pemerintahan yang baik,
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab, dan ada juga yang
mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).
Governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan
kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur
demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Lebih
lengkapnya adalah proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang
kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan
keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan sosial
(Batubara, Alwi Hasyim, 2006).
UNDP mendefinisikan tata pemerintahan adalah pelaksanaan wewenang
di bidang ekonomi, politik dan administratif dalam kerangka mengelola urusan
suatu negara di semua tingkatan. Hal itu terdiri dari mekanisme, proses dan
institusi yang warga negaranya dapat mengartikulasikan kepentingannya,
menggunakan hak – haknya, melaksanakan kewajiban, dan menengahi perbedaan
– perbedaan diantara mereka (undp, 2003).
UNDP memberikan sembilan (9) karakteristik pelaksanaan tata
pemeritahan yang baik, dua (2) diantaranya adalah: a) Partisipasi (keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung, maupun tidak
langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif) , dan b) Equity (setiap masyarakat memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan) (undp,
2003).
2
Salah satu aspek mendasar dari pembangunan manusia adalah partisipasi
politik. Dunia saat ini masih dipenuhi ketidakadilan terhadap perempuan.
Penghasilan yang diterima perempuan, misalnya hanya 75% yang diterima laki –
laki. Sekitar 46% dari orang dewasa yang buta huruf adalah perempuan.
Persentase perempuan yang menduduki kursi diparlemen di dunia rata – rata haya
14% dari total anggota parlemen (untuk Indonesia angka ini 8%) (undp, 2003).
Perempuan yang jumlahnya hampir separuh atau 49,9% dari penduduk
Indonesia saat ini, merupakan subyek, potensi dan aset pembangunan bangsa.
Kalau tidak ada perempuan – perempuan Indonesia dengan keahlian yang
bermacam – macam, pembangunan kita tidak bervariasi seperti sekarang. Oleh
karena itu, perempuan harus diberdayakan karena sangatlah strategis dalam
membangun budaya dan karakter bagi generasi pene rus bangsa. Absennya suara
perempuan dalam tata pemerintahan yang sudah berlangsung lama dan sebag ian
besar disebabkan oleh rendahnya representasi dan partisipasi di struktur
kelembagaan, baik di pemerintah, partai politik, organisasi nonpemerintah,
maupun perusahaan swasta. Namun peningkatan partisipasi politik perlu
diarahkan lebih jauh lagi pada hubungan yang kompleks antara kekuasaan,
kemiskinan dan partisipasi. Perempuan ingin dan butuh terlibat dalam putusan –
putusan yang mempengaruhi pribadinya, keluarga, komunitas dan negara (Idris,
Kartini Fahmi, 2008).
Peran perempuan dalam memajukan bangsa Indonesia mirip seperti
sayap burung yang tidak mungkin bisa terbang dengan satu sayap, tetapi harus
dengan dua sayap. Jika laki – laki berperan sebagai sayap, maka perempuan
adalah sayap yang lain. Agar masyarakat Indonesia berdiri diatas bangunan yang
benar, maka UUD 1945 telah memberikan beban kepada masing – masing laki –
laki dan perempuan. Sehingga untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik
diperlukan perumusan perangkat hukum dan pembentukan struktur – struktur
kelembagaan baru yang dapat melindungi hak – hak politik, ekonomi, sosial dan
budaya perempuan (Qarquti, Hanan, 2008).
Ada banyak alasan kenapa begitu pentingnya pemberdayaan perempuan
dalam negara yang berkembang. Keberhasilan pemberdayaan di negara
berkembang adalah identik dengan keberhasilan usaha membangun bangsa. Kalau
3
ada rekapitulasi dalam bidang per-bank-kan, mestinya ada rekapitulasi dalam
upaya pemberdayaan manusia yaitu dengan melipatgandakan program dan ilmu
untuk pemberdayaan perempuan (Suyono, Haryono, 2003).
Berdasarkan paparan diatas, maka penulis akan mengangkat judul
Revitalisasi Posisi Perempuan dalam Pembentukan Tata Pemerintahan yang
Baik melalui Partisipasi Politik Perempuan. Makalah ini akan menunjukkan
bahwa perempuan dan politik adalah salah satu isu utama dalam wacana politik di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum tata pemerintahan di Indonesia?
2. Bagaimana partisipasi politik perempuan di Indonesia saat ini?
3. Apa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan perwakilan
perempuan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui gambaran umum tata pemeritahan yang baik.
2. Untuk mengetahui sejauh mana partisipasi politik perempuan di Indonesia
saat ini.
3. Untuk mengetahui langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan
perwakilan perempuan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah dapat
dijadikan salah satu bahan rujukan dan diskusi dalam memperjuangkan posisi
perempuan dalam kesetaraan politik demi terwujudnya tata pemerintahan yang
baik.
4
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tata Pemerintahan di Indonesia
Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam
melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (the state), civil society
(masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia
usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru
tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga
unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinergis. Interaksi
dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada
kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah
kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas (Effendi, Sofyan,
2005).
Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional
selama ini menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu
mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan
Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah
menjadikan good governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan
Praktek KKN (Clean Governance). Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan
pokok dari Amanat Reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan yang tidak
jelas, penempatan personil yang tidak kredibel, enforcement menggunakan, serta
kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingnan bangsa telah
menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius melaksanakan
good governance.
Pengembangan good governance harus menjadi tanggungjawab kita
semua. Dalam kondisi seperti sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat
tempat yang dominan dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan
administrasi, sukar diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan
menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena
itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia masa depan harus
dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni
5
melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai
warganegara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Aksi – aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat
kemiskinan, serta merebaknya peranan perang sipil bukanlah hal ikhwal yang
berdiri sendiri. Peristiwa – peristiwa itu merupakan gejala politik dimana negara
sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya.
Menurutnya, gejala kegagalan semacam itulah yang menjadi ancaman terbesar
bagi umat manusia pada awal abad ke – 21 (Fukuyama, 2005).
Peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope)
maupun kekuatan atau kapasitas (strenght). Kedua hal ini merupakan alat analisis
untuk membedah apa yang sesungguhnya dimaksud dengan peran negara, serta
peran seperti apa yang kita anggap idel untuk dilakukannya.
Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya manjamin bahwa
hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus
menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebuhan. Elemen dasar
yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika
terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu
mengatasinya, kalau perlu dengan alat – alat pemaksa yang secara sah
dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga
keamanan, ketertiban, kebebasan, serta – jika bersifat intervensionis – mampu
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu
menjaga otoritas semacam ini, ia disebut sebagai negara lemah (Fukuyama, 2005).
Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan
yang berbeda, dan tidak otomatis berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari
seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik
tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, memungut pajak,
melakukan intervensi dan regulasi ekonomi, dan membangun infrastruktur, dan
semacamnya.
Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga – lembaga
pemerintahan baru dan penguatan lembaga – lembaga yang telah ada.
Pembangunan negara merupakan satu persoalan paling penting bagi komunitas
dunia karena negara – negara lemah atau gagal adalah sumber dari persoalan
6
dunia yang paling serius, mulai dari kemiskinan, AIDS, obat bius, hingga
terorisme.
B. Partisipasi Politik Perempuan
Pada saat ini, beberapa dekade setelah terbukanya kesempatan secara
luas bagi perempuan untuk memasuki sekolah – sekolah yang dikehendaki,
keadaan masih menunjukkan kecenderungan umum, yakni semakin tinggi jenjang
sekolah, semakin sedikit jumlah perempuannya dibanding pria. Gambaran yang
sama juga ditemui dalam jenjang kepangkatan maupun posisi di birokrsi
pemerintahan. Semakin tinggi kepangkatan ataupun posisi, semakin kecil jumlah
perempuan yang mencapainya. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut,
pemerintah bersama – sama dengan LSM memberi perhatian khusus terhadap
pemberdayaan perempuan dibidang – bidang sebagai berikut: perbaikan kualitas
hidup perempuan, perbaikan perlindungan hukum terhadap buruh perempuan,
peningkatan perempuan di masyarakat dan penciptaan serta pengkondisian iklim
sosial bagi pengembangan jati diri perempuan (Mudzhar, Atho dkk, 2001).
Dari fakta – fakta sejarah kita peroleh gambaran yang menarik perhatian
yang berhubungan dengan kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia.
Perempuan Indonesia ternyata bisa memperoleh kedudukan, wewenang dan
kekuasaan tertinggi sebagai kepala negara. Di samping itu, mereka juga telah
berkiprah diberbagai bidang yang sering dianggap sebagai duniaan laki – laki. Hal
ini bertentangan sekali dengan gambaran umum yang ada tentang Indonesia
dimana kaum perempuan yang dibedakan dari kaum laki – laki mempunyai
kedudukan yang rendah dan hidup terkekang. Mereka seolah – olah tidak
mempunyai peluang untuk berkembang.
Dalam kenyataannya, terdapat banyak bukti bahwa di masa lalu kaum
perempuan Indonesia pernah memegang jabatan pimpinan sebagai kepala negara
dan juga berperan aktif dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial dan
budaya, bahkan militer. Misalnya Kerajaan Majapahit di Jawa Timur juga pernah
diperintah oleh seorang raja putri selama 22 tahun. Ketika Raja Jayanegara
meninggal pada tahun 1328 tidak meninggalkan putra mahkota. Maka adiknya
seorang putri diangkat untuk menggantikannya dengan gelar Ratu
7
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani. Perempuan seperti Ratu
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani ini bisa dikategorikan sebagai
pimpinan tradisional karena pada umumnya mereka nerkuasa berdasarkan jenjang
keturunan dari keluarga elit tradisonal. Keadaan berubah ketika pendidikan Barat
yang bersifat modern mulai diperkenalkan dan mendorong munculnya kelompok
baru yang disebut kaum elit modern. Mereka memiliki wawasan dan cakrawala
pandang yang lebih luas dan memahami dimensi permasalahan dengan lebih
mendalam. Ide – ide luar yang mereka pelajari, seperti liberalisme, nasionalisme,
dan hak asasi manusia menambah kemampuan mereka memahami persoalan yang
dihadapi oleh bangsanya pada masa itu yang hidup dalam alam penjajahan
(Mudzhar, Atho dkk, 2001).
Kiprah kepemimpinan perempuan dalam masyarakat Indonesia semakin
berkembang walaupun secara proporsional jumlahnya belum seimbang dengan
jumlah penduduk secara keseluruhan. Demikian juga dalam hal kualitasnya masih
belum dapat mengimbangi kualitas kaum laki – laki.
Pada jabatan birokrasi atau pemerintahan, dalam eselon I sampai III pada
tahun 1984 hanya terdapat 5,5% dan tahun 1989 naik menjadi 6,5%. Dalam
kabinet Presiden tahun 2001 hanya ada satu menteri yang menjabat pimpinan
departemen yang secara tradisional dianggap cocok untuk perempuan, yaitu
Departemen Sosial dan seorang Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dalam
Kabinet Pembangunan VII jumlah menteri perempuan bertambah satu menjadi
tiga orang. Bila kita tinjau dari angka – angka statistik untuk anggota DPR maka
gambaran umum bahwa perempuan masih terbelakang semakin jelas (Mudzhar,
Atho dkk, 2001).
Dari fakta sejarah yang telah dikemukakan di atas, terdapat bukti bahwa
perempuan Indonesia sebenarnya pernah berkiprah menjadi pemimpin dalam
segala bidang kemasyarakatan; bahkan menjadi kepala negara dan pemerintahan.
Namun dalam kenyataannya masa kini, nampaklah bahwa peluang untuk tampil
menghadapi banyak hambatan. Padahal kita tahu bahwa peluang untuk itu
semakin banyak tersedia. Kesempatan memperoleh pendidikan pun semakin
beragam dan terbuka lebar.
8
1. Kedudukan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Perempuan berkeinginan mempengaruhi keputusan – keputusan yang
menyangkut kehidupan dan keluarga mereka, perekonomian dan nasib
masyarakat, negara, serta struktur hubungan internasional. Partisipasi politik dan
representasi perempuan merupakan esensi dari perjuangan tersebut. Hal itu juga
memungkinkan perempuan dan laki – laki dari segala ras dan usia untuk
menikmati hak – hak asasinya. Hal itu sekaligus merupakan jalan untuk
mempengaruhi alokasi sumber daya pembangunan yang merata dan yang
menentukan kehidupan baik bagi perempuan dan laki – laki di segala usia (undp,
2003).
Sebenarnya dasar hukum kesetaraan hak dan kesempatan bagi
perempuan cukup kuat. Namun, sekalipun dalam kerangka hukum formal yang
sudah progresif, banyak kendala masih menghambat partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan di semua tingkat. Masih banyak kalangan perempuan
yang tidak memahami hak – hak mereka karena kurangnya kesadaran mereka dan
informasi yang kurang memadai. Begitu juga, sebagian besar kaum pria belum
menyadari betapa pentingnya kesetaraan perempuan dalam pengambilan
keputusan. Lingkungan sosial budaya yang ada tidak kondusif bagi partisipasi
penuh perempuan dalam dunia politik atau pengambilan keputusan skala nasional,
sementara banyak kendala institusional masih menghambat akses kaum
perempuan kepada kekuasaan (Gardiner, Mayling Oey, 1996).
Karena itu, walaupun ada wakil rakyat perempuan dan Menteri Urusan
Peranan Wanita dalam politik Indonesia, hanya sedikit sekali kaum perempuan
terlibat dalam pembuatan kebijakan, perencanaan pembangunan, atau menduduki
posisi penentu kebijakan yang mampu menentukan program dan proyek
pembangunan.
Setelah menyadari bahwa partisipasi ekonomi dan partisipasi politik
tidak dapat dipisahkan, maka transformasi kelembagaan diperlukan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan ekonomi dan politik
perempuan. Pemahaman yang lebih mendalam atas hambatan di pasar tenaga
kerja dan upah kerja juga penting sebagai prasyarat bagi transformasi tersebut.
Hal itu penting terutama karena kemandirian ekonomi perempuan merupakan
9
faktor kritis bagi upaya mempengaruhi keputusan yang menyangkut kehidupan
perempuan dan keluarganya.
2. Perwakilan Perempuan di Tata Pemerintahan
Kesetaraan gender, bearti perempuan dan laki – laki menikmati status
dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak – haknya dan
kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada
pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan
gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan
dan perbedaan antara perempuan dan laki – laki (Hubeis, Aida Vitayala, 2010).
Alasan perempuan perlu berpolitik adalah :
a. Trend global peran perempuan yang semakin mengemuka di semua lini
kehidupan.
b. Komitmen politik untuk sekurang – kurangnya 30% keterwakilan
perempuan dalam legislatif.
c. Peluang era demokrasi – reformasi dan pemilihan langsung/basis
kompetensi untuk posisi – posisi strategis di publik.
d. Trend keadilan dan kesetaraan gender (KKG); di tingkat nasional dan
internasional yang semakin bergemuruh (tapi, tetap masih diperlukan
untuk diperjuangkan dan direbut).
Indikator mengenai perwakilan perempuan yang digunakan sekarang
beragam, dari peningkatan kesadaran terhadap isu – isu perempuan hingga
perubahan proses dan struktur kelembagaan dan upaya mempengaruhi wacana
pemerintahan itu sendiri. Meskipun ada harapan bahwa politisi perempuan, dalam
posisinya, dapat mengajukan agenda gender, hal itu bukanlah merupakan suatu
kebutuhan dan memang biasanya mereka tidak mampu melakukannya. Pada
banyak kasus, jumlah mereka belum mencapai masa kritis yang diperlukan.
Bahkan jika masa kritis masih harus dibentuk dan diperkuat.
Dalam UNDP (2003), disebutkan bahwa partisipasi perempuan dalam
politik tidak dapat dipisahkan dari status sosial ekonomi mereka, terutama pada
faktor – faktor sebagai berikut:
10
a. Perempuan biasanya tidak memiliki akses yang sama ke sarana partisipasi
dibanding dengan laki – laki, misalnya dalam hal keterampilan yang
diperoleh dari pendidikan dan pelatihan atau akses ke media informasi,
termasuk teknologi komunikasi terbaru.
b. Perempuan juga seringkali tidak mempunyai kekuasaan untuk keputusan
dalam rumah tangga. Di banyak negara berkembang, hak milik
perempuan, termasuk tanah dan jaminan lain, secara hukum menjadi milik
suami, ayah, atau anak laki – laki mereka. Oleh karena itu mereka tidak
bisa menghindari bias gender dan penghalang lain ke akses pembuatan
keputusan politik.
3. Tantangan Terbesar dalam Perwakilan Perempuan
Disamping sejumlah kemajuan yang mengesankan tersebut, abad 21 juga
memperlihatkan berkurangnya 100 juta perempuan dari jumlah penduduk dunia.
Kita tidak mengetahui berapa jumlah janin yang telah digugurkan sebelumlahir ke
dunia, akibat dari kemajuan teknologi di bidang kedokteran yang memungkinkan
kita mengetahui jenis kelamin yang sedang dikandung. Kemajuan itu dapat
memperbesar kecenderungan untuk memilih bayi laki – laki yang selama itu
mendominasi sejarah manusia (UNDP, 2003).
C. Strategi Pemecahan Hambatan Perwakilan Perempuan
1. Langkah Publik
Perlu dirumuskan kerangka waktu bagi pencapaian kesetaraan gender
dalam representasi politik di tahun 2013. Tujuan yang tidak dibatasi akan
membuat pemerintah, partai politik, para pelobi, kelompok perempuan kehilangan
akuntabilitas.
a. Affirmative Action di Badan Legislatif
Penundaan keadilan merupakan pengingkaran terhadap keadilan.
Ironisnya, pepatah Amerika itu telah lama diterapkan kepada individu
yang dikenai tuduhan kriminal, tetapi tidak bagi perempuan yang
berjumlah separo dari jumlah penduduk. Affirmative action didunia politik
adalah langkah sementara yang diperlukan untuk memperoleh keadilan
11
dalam jangkan panjang bagi perempuan secara sosial dan ekonomi,
didunia privat maupun publik. Target minimum 30 – 33,3% tidaklah lebih
dari masa kritis. Hal itu masih jauh dari kesetaraan. Sebagai suatu
kesetaraan pun masih diragukan.
b. Partai Politik dan Reformasi Sistem Pemilu
Selama targetnya adalah di tingkat distrik ke atas, sistem partai telah lama
menjadi kendala bagi kepemimpinan perempuan. Selain affirmative action
di tingkat legislatif, partai politik harus memiliki komitmen terhadap
kesetaraan dan menjamin bahwa jumlah perempuan mencapai 50% dari
keanggotaan partai, pemimpin, pejabat komite, dan calon legislatif.
2. Langkah Organisasi Perempuan
a. Pelatihan Teknologi Informasi
Sudah banyak studi, yang menekankan pentingnya akses ke teknologi
informaasi untuk mengatasi kesenjangan gender. Organisasi perempuan
memainkan peran cukup penting dalam memanfaatkan teknologi baru.
Organisasi – organisasi masyarakat sipil yang dulu terabaikan, melalui
teknologi yang tidak mengenal batas wilayah itu, kini memperoleh suara
yang cukup dari pemerintahan.
Beberapa strategi pelatihan yang dikembangkan untuk peningkatan
partisipasi perempuan adalah sebagai berikut:
- Advokasi kesadaran gender dalam politik
- Pengembangan kapasitas melalui jaringan
- Kemampuan negosiasi
- Manajemen
- Pengembangan konstituen
- Analisis anggaran
- Kemampuan mengarus-utamakan gender
- Penggunaan media massa
- Pendidikan politik dan pendidikan pemilih
- Mobilisasi massa
- Strategi jangka panjang untuk merangkul generasi muda
12
3. Pembentukan Aliansi
Proses membangun aliansi itu membutuhkan mitra untuk bekerjasama
dalam berbagai isu di semua aspek pemerintahan. Peran negara adalah
memperbaiki kebijakan untuk mencapai kesetaraan gender di struktur
pemerintahan. Kekuatan masyarakat sipil terletak pada langkah – langkah yang
akan meningkatkan kualitas partisipasi politik perempuan, seperti pelatihan, lobi
dan kerja lapangan. Keduanya mempengaruhi sektor swata.
Hampir semua negara dibutuhkan penciptaan hubungan yang positif
antara politisi dan masyarakat sipil dan saling berbagi antara perempuan
diberbagai bidang untuk membentuk strategi pelengkap. Disamping itu
keterlibatan dengan pemimpin agama, terutama bila menyangkut interpretasi ayat
suci yang menghambat partisipasi perempuan.
Secara keseluruhan, membangun aliansi menjadi mekanisme yang efektif
untuk:
a. Pertukaran informasi mengenai pengalaman perempuan dalam
mengidentifikasi syarat – syarat yang diperlukan untuk menciptakan
hubungan yang berkelanjutan diantara berbagai aktor pemerintahan
b. Dialog antar semua aktor untuk meningkatkan dampak dari partisipasi
politik perempuan.
c. Membangun akuntabilitas perempuan di antara berbagai konstituen.
4. Pembagian Peran
Usaha membangun aliansi dan kerjasama khusus diperlukan untuk
mengubah persepsi yang menyangkut kepemimpinan perempuan, terutama
dengan menyebarkan informasi kepemimpinan perempuan yang kredibel, efektif,
dan lebih baik daripada laki – laki diberbagai bidang dan di seluruh lapisan
masyarakat.
5. Merangkul Generasi Muda
Bila pendidikan politik dan peranan perempuan diberikan setelah mereka
di rancukan oleh peran perempuan yang lain dan kegiatan ekonomi, transformasi
sistem politik akan tetap berjalan lambat, mungkin baru tercapai seabad atau satu
milenium kemudian.
13
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka beberapa hal yang dapat
disimpulkan adalah :
1. Dalam pelaksanaan tata pemerintahan di Indonesia, perangkat hukum dan
pembentukan struktur – struktur kelambagaan baru yang dapat melindungi
hak – hak politik, ekonomi, sosial dan budaya perempuan dirasakan masih
sangat minim.
2. Partisipasi politik perempuan di Indonesia masih jauh ketinggalan dari
persentase rata – rata perempuan yang menduduki kursi parlemen di dunia
yaitu Indonesia hanya mampu 8% sedangkan rata – rata dunia 14%.
3. Hambatan yang dialami dalam mewujudkan keterwakilan perempuan di
parleman dapat di selesaikan a) langkah publik salah satunya dengan
affirmative action, b) Langkah – langkah Organisasi perempuan dengan
pelaksanaan pelatihan, c) pembentukan aliansi, d) Pembagian peran,
e)merangkul generasi muda.
14
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Alwi Hasyim. 2006. Konsep Good Governance dalam Konsep
Otonomi Daerah. USU Press. Medan
Effendi, Sofian. 2005. Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama.
UGM Press. Yogyakarta
Fukuyama, Francis. 2005. Memperkuat Negara : Tata Pemerintahan dan Tata
Dunia Abad 21. Freedom Institute dan PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Gardiner, Mayling Oey, et al. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini.
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Hubies, Aida Vitayala. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa.
IPB Press, Bogor.
Idris, Kartini Fahmi. 2008. Jati Diri Perempuan Muslim : Perspektif Islam
Terhadap Kesetaraan Gender. UI Press, Jakarta
Mudzhar, Atho, et al. 2001. Wanita dalam Masyarakat Indonesia : Akses,
Pemberdayaan dan Kesempatan. Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta
Qarquti, Hanan. 2008. Kisah Sang Wanita : Menyelami Sejarah Kaum Wanita
di Segala Zaman hingga Zaman Cahaya Islam. Mirqat Publishing,
Jakarta.
Subadio, Maria Ulfah. 1978. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia :
Bunga Rampai Tulisan – Tulisan. UI Press. Jakarta.
UNDP. 2003. Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang
Baik: Tantangan Abad 21 terjemahan Pusat Telaah dan Informasi
Regional (PATTIRO). Jakarta