Makalah Kep

40
Makalah Gizi Kesehatan Masyarakat KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP) DI SUSUN OLEH : Faradila K111 10 001 Andrianasti Preputri K111 10 008 A. Fitria Nur Annisa K111 10 020 Magfirah Irhamiah K111 10 103 Rezki Malinda K111 10 119 Khaerunnisa K111 10 313 Hardiansyah K111 10 602 1

Transcript of Makalah Kep

Page 1: Makalah Kep

Makalah Gizi Kesehatan Masyarakat

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN

(KEP)

DI SUSUN OLEH :

Faradila K111 10 001

Andrianasti Preputri K111 10 008

A. Fitria Nur Annisa K111 10 020

Magfirah Irhamiah K111 10 103

Rezki Malinda K111 10 119

Khaerunnisa K111 10 313

Hardiansyah K111 10 602

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

1

Page 2: Makalah Kep

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan

hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah “Kekurangan Energi Protein (KEP)”.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat.

 Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari

segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik

dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan

dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan datang.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada Dosen Mata Kuliah serta Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk

pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Makassar, 16 Oktober 2012

Penyusun

2

Page 3: Makalah Kep

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.........................................................................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3

A. Definisi KEP..............................................................................................................3

B. Manifestasi Klinis KEP Pada Balita..........................................................................3

C. Patofisiologi KEP Pada Balita...................................................................................5

D. Epidemiologi KEP Pada Balita..................................................................................5

E. Indikator KEP Pada Balita.........................................................................................10

F. Faktor Determinan KEP Pada Balita.........................................................................15

G. Dampak KEP..............................................................................................................19

H. Pencegahan dan Penanggulangan KEP......................................................................19

BAB III PENUTUP..............................................................................................................22

A. Kesimpulan................................................................................................................22

B. Saran...........................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................23

3

Page 4: Makalah Kep

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi yang utama di Indonesia adalah kurang energi protein (KEP),

kekurangan vitamin A (KVA), anemia gizi besi serta gangguan akibat kekurangan

Yodium (GAKY). Dari keempat masalah gizi tersebut, KEP merupakan penyebab

kesakitan dan juga sekaligus penyebab kematian (Depkes RI, 1997).

KEP adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita di

Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya. KEP berdampak terhadap

pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas antara 20-30%, selain itu juga

berdampak langsung terhadap kesakitan dan kematian.

Usia dibawah lima tahun (balita) terutama pada usia 1-3 tahun merupakan masa

pertumbuhan yang cepat (growth spurt), baik fisik maupun otak. Sehingga memerlukan

kebutuhan gizi yang paling banyak dibandingkan pada masa-masa berikutnya. pada masa

ini anak sering mengalami kesulitan makan, apabila kebutuhan nutrisi tidak ditangani

dengan baik maka akan mudah terjadi kekurangan energi protein (KEP).

Menurut data WHO tahun 2002, penyebab kematian balita urutan pertama

disebabkan gizi buruk dengan angka 54%. Sedangkan menurut Depkes RI (2005) balita

dengan gizi kurang buruk sebesar 25,82% pada tahun 2002 dan meningkat menjadi

28,17% pada tahun 2003.

Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan

menurut umur) pada balita dari 18,4 % tahun 2007 menjadi 17,9 % tahun 2010.

Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 % pada tahun 2007 menjadi

4,9 % tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu tetap

13,0%. Penurunan juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita

sangat kurus menurun dari 13,6% tahun 2007 menjadi 13,3% tahun 2010. Walaupun

secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih

terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi

kurang dan buruk diatas prevalensi nasional, yang berkisar antara 18,5 persen di provinsi

Banten sampai 30,5 persen di provinsi Nusa Tenggara Barat; dan Sulawesi Selatan

menempati urutan ke-9.

Masalah KEP (Kekurangan Energi dan Protein) di Sulawesi Selatan masih menjadi

masalah gizi utama yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Menurut hasil

4

Page 5: Makalah Kep

Susenas tahun 2003 prevalensi gizi kurang tingkat nasional adalah 19,19% dan gizi

buruk 8,31%. Hasil Survei Gizi Mikro tingkat Sulawesi Selatan Tahun 2006

menunjukkan balita yang menderita gizi kurang 24,4% dan gizi buruk 9,6% (Dinas

Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan).

Keluaran rencana aksi diharapkan dapat menjembatani pencapaian MDG’s yang

telah disepakati dalam RPJMN 2010-2014 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang anak

balita menjadi 15,5 persen, menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32

persen, dan tercapainya konsumsi pangan dengan asupan kalori 2.000 Kkal/orang/hari.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi masalah di atas, diperlukan upaya

pencegahan dan penanggulangan secara terpadu di setiap tingkat pelayanan kesehatan,

termasuk pada sarana kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas perawatan, Puskesmas,

Balai Pengobatan, Puskesmas Pembantu, Pos Pelayanan Terpadu, dan Pusat Pemulihan

Gizi yang disertai peran aktif masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami merumuskan masalah sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan kekurangan energi protein (KEP)?

2. Apa manifestasi klinis KEP?

3. Bagaimana epidemiologi KEP?

4. Apa yang menjadi indikator KEP?

5. Apa saja faktor determinan KEP?

6. Apa saja dampak/akibat KEP?

7. Bagaimana upaya Pencegahan dan penanggulangan KEP?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1. Mengetahui definisi KEP

2. Mengetahui manifestasi klinis KEP

3. Mengetahui epidemiologi KEP

4. Mengetahui indikator KEP

5. Mengetahui faktor determinan KEP

6. Mengetahui dampak/akibat KEP

7. Mengetahui upaya pencegahan dan penanggulangan KEP

5

Page 6: Makalah Kep

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi KEP

WHO mendefinisikan kekurangan gizi sebagai ketidakseimbangan sel antara

pasokan nutrisi dan energi dan kebutuhan bagi tubuh seseorang untuk pertumbuhan,

pemeliharaan, dan fungsi tertentu.

Menurut Depkes RI (1997), Kurang Energi Protein (KEP) adalah suatu keadaan

yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari

sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Sedangkan pada tahun 1999,

Depkes RI mendefinisikan Kurang Energi Protein (KEP) sebagai keadaan kurang gizi

akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena

gangguan kesehatan7.

B. Manifestasi Klinis KEP

Kekurangan Energi Protein (KEP) berat secara klinis terdapat 3 tipe yaitu

kwashiorkor, marasmus dan marasmik kwashiorkor. KEP ringan atau sedang disertai

edema yang bukan karena penyakit lain disebut KEP berat tipe kwashiorkor. Berikut ini

3 tipe KEP berat:

1. Marasmus

Marasmus terjadi akibat kekurangan kalori protein berat dan kronis, yang

terutama terjadi selama setahun pertama kehidupan dan ditandai dengan

berkurangnya lemak di bawah otot dan kulit. Biasanya disebabkan karena masukan

makanan yang sangat kurang, pembawaan lahir, keterlambatan pemberian makanan

tambahan, penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan tidak

higienes atau sering terkena infeksi.

Gambar 1. Penderita Marasmus

6

Page 7: Makalah Kep

Adapun gejala marasmus antara lain:

a. Berat badan sangat kurang

b. Terlihat sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit

c. Wajah seperti orangtua

d. Cengeng dan rewel

e. Perut cekung

f. Jaringan lemak sangat sedikit bahkan sampai tidak ada

g. Tekanan darah dan detak jantung serta pernapasan kurang

h. Kulit berkeriput

i. Edema (-)

j. Muscle wasting/atrofi otot

k. Baggy pant

2. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah suatu keadaan kekurangan protein. Kwashiorkor dapat

disebabkan karena diare kronik, malabsorpsi protein, hilangnya protein melalui air

kemih (sindrom nefrotik), infeksi menahun, luka bakar, dan penyakit hati.

Gambar 2. Penderita Kwashiorkor

Adapun gejalanya :

a. Pertumbuhan terganggu

b. Rambut mudah dicabut, tampak kusam kering, halus, jarang, dan berubah warna

(rambut jagung)

c. Pitting edema

d. Perlemakan hepar

e. Pandangan mata sayu

7

Page 8: Makalah Kep

Tanda yang khas adalah adanya edema (bengkak) pada seluruh tubuh sehingga

tampak gemuk, wajah anak membulat dan sembab (moon face) terutama pada

bagian wajah, bengkak terutama pada punggung kaki dan bila ditekan akan

meninggalkan bekas seperti lubang, otot mengecil dan menyebabkan lengan atas

kurus sehingga ukuran Lingkar Lengan Atas LLA-nya kurang dari 14 cm, anak

menjadi rewel dan apatis perut yang membesar juga sering ditemukan akibat dari

timbunan cairan pada rongga perut salah satu gejala kemungkinan menderita

"busung lapar".

3. Gabungan Marasmus dan Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinis kwashiorkor

dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang

tidak mencolok.

C. Patofisiologi KEP

Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang disebabkan banyak faktor. Faktor-faktor

ini dapat digolongkan menjadi tiga faktor penting yaitu: tubuh sendiri (host), kuman

penyebab (agent), dan lingkungan (environment). Faktor diet memegang peranan

penting, tetapi faktor lain juga ikut menentukan.

Tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan

pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk menggunakan karbohidrat, protein, dan

lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan.

Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar,

tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat terbatas. Akibatnya,

katabolisme protein terjadi dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah

menjadi karbohidrat. Selama puasa, jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak,

gliserol, dan keton bodies. Otot dapat menggunakan asam lemak dan keton bodies

sebagai sumber energi kalau terjadi kekurangan makanan yang kronis. Tubuh akan

mempertahankan diri untuk tidak memecah protein lagi setelah kira-kira kehilangan

separuh dari tubuh.

D. Epidemiologi KEP

1. Menurut Orang

8

Page 9: Makalah Kep

Masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, bahkan masalah gizi

pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi pada status gizi pada

periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Masa kehamilan

merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena

tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam

kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu

hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah.

Masa balita merupaka masa dimana terjadi pertumbuhan badan yang cukup

pesat sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi di setiap kilo gram berat

badannya. Dalam keadaan seperti ini anak balita justru paling sering mengalami

kekurangan gizi sehingga anak balita merupakan kelompok umur yang rentan

menderita kekurangan gizi. Balita termasuk dalam golongan masyarakat kelompok

rentan gizi karena pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang

relatif pesat.

2. Menurut Tempat dan Waktu

Berdasarkan data Riskesdas 2010, dari 33 provinsi di Indonesia 18 provinsi

masih memiliki prevalensi berat kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu

berkisar antara 18,5 persen di provinsi Banten sampai 30,5 persen di provinsi Nusa

Tenggara Barat. Urutan ke 18 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah

adalah (1) Nusa Tenggara Barat, (2) Nusa Tenggara Timur, (3) Kalimantan Barat,

(4) Kalimantan Tengah, (5) Sulawesi Tengah, (6) Papua Barat, (7) Gorontalo, (8)

Maluku, (9)Sulawesi Selatan, (10) Aceh, (11) Maluku Utara, (12) Kalimantan

Selatan, (13) Sulawesi Tenggara, (14) Sumatera Utara, (15) Sulawesi Barat, (16)

Sumatera Selatan, (17) Jambi dan (18) Banten.

Dari segi sasaran MDG 2015 sembilan provinsi memiliki prevalensi berat

kurang di bawah sasaran MDG atau sudah mencapai sasaran. Ke 9 provinsi tersebut

adalah: (1) Sulawesi Utara, (2) Bali, (3) DI Yogyakarta, (4) DKI Jakarta, (5) Jawa

Barat, (6) Lampung, (7) Kepulauan Riau, (8) Kepulauan Bangka Belitung, dan (9)

Bengkulu. Namun demikian semua provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi

berat kurang masih di atas batas “non-public health problem” menurut WHO yaitu

10,0 persen.

9

Page 10: Makalah Kep

Gambar 3. Prevalensi Masalah Gizi pada Balita Tahun 2010

Sumber : Riskesdas 2010

Gambar 3 menyajikan angka prevalensi berat kurang (underweight) secara

nasional. Dapat dilihat bahwa secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun

2010 adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang.

Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 persen) sudah

terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu

dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada tahun 2010 atau turun sebesar

0,5 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar 13,0 persen. Bila

dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka

prevalensi berat kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 persen

dalam periode 2011 sampai 2015.

Gambar 4. Prevalensi Masalah Gizi pada Balita berdasarkan Indikator TB/U dan

BB/TB Indonesia 2010

Sumber : Riskesdas, 2010

10

Page 11: Makalah Kep

Gambar 4 menyajikan prevalensi status gizi gabungan indikator secara

nasional. Dari 74,4 persen balita yang memiliki BB/TB normal diantaranya 25,3

persen balita pendek (kronis) dan 49,1 persen balita normal. Hal ini mengisyaratkan

bahwa 25,3 persen balita pendek-normal (kronis) memiliki berat badan yang

proporsional dengan tinggi badannya, sehingga kemungkinan sebagian dari balita ini

memiliki berat badan yang kurang menurut umurnya (berat kurang). Upaya

pencegahan terhadap lahirnya balita pendek merupakan salah satu upaya yang dapat

memberikan kontribusi terhadap penurunan prevalensi berat kurang

(“underweight”). Di lain pihak terdapat 13,2 persen balita kekurusan yang terdiri

dari 2,1 persen balita pendek dan 11,1 persen balita TB normal. Keadaan ini

mengindikasikan bahwa sebagian anak balita yang memiliki TB normal tapi kurus

atau memiliki berat badan yang kurang menurut umurnya.Dengan demikian

penanganan masalah balita kurus dapat memberikan kontribusi terhadap penurunan

prevalensi berat kurang (“underweight”).

Pada gambar 5, prevalensi gizi kurang telah menurun dari 31 persen pada

tahun 1991 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007 dan 17,9 persen pada tahun 2010.

Walaupun penurunan prevalensi gizi kurang pada anak memberi harapan bahwa

Indonesia telah on track dalam pencapaian indikator MDG1, yang harus diturunkan

menjadi 15,5 persen pada tahun 2015

Gambar 5. Kecenderungan Prevalensi Kurang Gizi pada Anak 0-59 Bulan

Sumber : Susenas 1989-2005 dan Riskesdas 2007 dan 2010

11

Page 12: Makalah Kep

Dari pemantauan gizi (PKG) tahun 1995-1998 yang dilakukan oleh kelompok

Gizi kesehatan Masyarakat Departemen RI, mulai dari krisis moneter hingga 1998 (4

tahun) pada 12 dari 26 provinsi yang mempunyai data lengkap tidak menunjukkan

perubahan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dengan nilai rata-rata intake

energi sebesar 2150 kkal dan 46,2 gram protein yang mendekati nilai AKG. Namun

demikian, terdapat 43-50 persen rumah tangga masih mengkonsumsi energi kurang

dari 1.500 kkal dan antara 23-35 persen masih mengkonsumsi kurang dari 32 gram

protein per kapita per hari semenjak tahun 1995. Dari hasil pemantauan konsumsi

gizi dalam kurun waktu 1995-1998 terlihat ada penurunan prevalensi gizi kurang,

yaitu dari 28,3 persen menjadi 25,4 persen dengan kecepatan penurunan 2,9 persen

pertahun dan penurunan ini meliputi tingkat desa dan kota. Harapan penurunan

prevalensi gizi buruk di Indonesia dipertahankan hingga 1persen pertahun, tetapi

penurunan prevalensi gizi kurang dari 28,3 persen menjadi 25,4 persen tersebut

masih tergolong tinggi dibanding dengan negara-negara tetangga (Malaysia,

Filipina, dan Thailand) yang besarnya 20 persen pada tahun yang sama. Oleh

karenaitu, indikasi ini menunjukkan bahwa gizi kurang di Indonesia masih

merupakan masalah. Tahun 1999 pada akhir PELITA VI, prevalensi gizi kurang

menunjukkan penurunan menjadi 16 persen, tetapi penurunan ini masih lebih tinggi

dari target.

3. Menurut WHO

Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa anak-anak kurang gizi

berjumlah 181.900.000 (32%) di negara berkembang. Selain itu, 149.600.000

diperkirakan anak-anak muda dari 5 tahun kekurangan gizi ketika diukur dalam hal

berat untuk usia. Di selatan Asia Tengah dan timur Afrika, sekitar separuh anak-

anak memiliki keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan energi protein.

Angka ini adalah 5 kali prevalensi di dunia barat.

Sekitar 50% dari 10 juta kematian tiap tahun di negara berkembang terjadi

karena kekurangan gizi pada anak-anak muda dari 5 tahun. Temuan ini mungkin

dijelaskan dengan prevalensi yang lebih besar dan tingkat keparahan peningkatan

protein energi malnutrisi di negara berkembang dan tidak perbedaan dalam

kerentanan rasial.

12

Page 13: Makalah Kep

E. Indikator KEP

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.

1. Penilaian Secara Langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu

antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.

a. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari

sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat

umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat

pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan

jumlah air dalam tubuh.

Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan

setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan

menggunakan baku antropometri balita WHO 2005.

Tabel 1. Z-score BB/U Anak Laki – Laki Usia 0-5 Tahun

13

Page 14: Makalah Kep

Sumber : WHO

Tabel 2. Z-score BB/U Anak Perempuan Usia 0-5 Tahun

14

Page 15: Makalah Kep

Sumber : WHO

Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut

ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :

Tabel 3. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB

Indikator Z-Score Klasifikasi Status Gizi

BB/U

<-3 SD

≥-3 SD s.d. <-2SD

≥-2SD s.d. +2SD

>+2 SD

Gizi buruk

Gizi kurang

Gizi baik

Gizi lebih

TB/U

<-3SD

≥-3 SD s.d. <-2 SD

≥-2SD

Sangat pendek

Pendek

Normal

15

Page 16: Makalah Kep

BB/TB

<-3SD

≥-3 SD s.d. <-2 SD

≥-2SD s.d. ≤+2SD

>+2 SD

Sangat kurus

Kurus

Normal

Gemuk

Sumber : Riskesdas 2010

Tabel 4. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Gabungan Indikator TB/U dan BB/TB

Z-ScoreKlasifikasi Status Gizi

TB/U BB/TB

<-2,0SD

<-2,0SD

<-2,0SD

<-2,0SD

-2,0SD s.d. 2,0SD

> 2,0SD

Pendek-Kurus

Pendek-Normal

Pendek-Gemuk

≥-2,0SD

≥-2,0SD

≥-2,0SD

<-2,0SD

-2,0SD s.d. 2,0SD

> 2,0SD

Normal-Kurus

Normal-Normal

Normal-Gemuk

Sumber : Riskesdas 2010

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator

ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun

akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan.

Dengan kata lain, berat badan yang rendah dapat disebabkan karena anaknya

pendek (kronis) atau karena diare atau penyakit infeksi lain (akut).

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan,

perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari

sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi PENDEK.

Indikator BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut

sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama

(singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan)

yang mengakibatkan anak menjadi KURUS. Disamping untuk identifikasi

masalah kekurusan dan indikator BB/TB dan IMT/U dapat juga memberikan

16

Page 17: Makalah Kep

indikasi kegemukan. Masalah kekurusan dan kegemukan pada usia dini dapat

berakibat pada rentannya terhadap berbagai penyakit degeneratif pada usia

dewasa (Teori Barker).

Masalah Gizi Akut-Kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat

masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang KURUS dan

PENDEK.

b. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk melihat

status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang

terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupn zat gizi. Hal ini dapat dilihat

pada jaringan epitel (supervicialephitel tissues) seperti kulit, mata, rambut dan

mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti

kelenjar tiroid.

c. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang

diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga bebepara

jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu

peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutri yang lebih parah

lagi.

d. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi

dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan

struktur dari jaringan tubuh.

2. Penilaian Secara Tidak Langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah berdasarkan survei konsumsi

makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

a. Survey Konsumsi Makanan

Survey konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara

tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

17

Page 18: Makalah Kep

Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikanan gambaran tentang

konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survey ini

dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.

b. Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis

data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur,

angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang

berhubungan dengan gizi.

c. Faktor Ekologi

Bengoa mengungkap bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi

sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.

Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari ekologi seperti iklim,

tanah, irigasi dan lain lain.

F. Faktor Determinan KEP

UNICEF (United Nations Children’s Fund) menyatakan bahwa ada dua penyebab

langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan

akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa

disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak

memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Malnutrisi yang terjadi akibat penyakit

disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-

zat makanan secara baik. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh

masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping

perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak. Pengelolaan

lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi

penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit

(Saragih dalam Disha, 2010).

18

Page 19: Makalah Kep

Gambar 6. Faktor Penyebab Gizi Kurang

Sumber : UNICEF, 1990

Gambar 7. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi

Sumber : UNICEF 1990, disesuaikan dengan kondisi Indonesia

19

Penyebab

Langsung

GIZI KURAN

GKonsumsi Zat Gizi

Infeksi

Penyakit

Ketersediaan Panga

n di tingkat

RT

Asuhan Ibu dan

Anak

Pelayanan

Kesehatan

KEMISKINAN DAN PENDIDIKAN,

KETERSEDIAAN PANGAN,

KESEMPATAN KERJAKRISIS EKONOMI

DAN POLITIK

Penyebab

Tidak Langsung

Penyebab

Utama

Akar Masal

ah

Page 20: Makalah Kep

Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu5, yaitu

faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong (berpengaruh).

Sebagai contoh, bayi dan anak yang tidak mendapat air susu ibu (ASI) dan makanan

pendamping ASI yang tepat memiliki daya tahan yang rendah sehingga mudah terserang

infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas

(ISPA) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik.

Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak

memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam,

bergizi seimbang, dan aman. Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan

keluarga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi

dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah

yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga.

Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu: 1)

inisiasi menyusu dini; 2) memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan; 3)

pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan

tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan; dan 4) ASI terus diberikan sampai anak berusia 2

tahun.

Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan

tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu,

cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian

kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi

yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih,

kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan

memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam rumah

terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga

berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola asuh bayi dan anak serta

jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Pola asuh, sanitasi lingkungan

dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan

tingkat pendapatan keluarga.

Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya

tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status

gizi masyarakat. Oleh karena itu, mengatasi masalah gizi masyarakat merupakan salah

20

Page 21: Makalah Kep

satu tumpuan penting dalam pembangunan ekonomi, politik, dan kesejahteraan sosial

yang berkelanjutan.

Gambar 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gizi dan Kesehatan Anak

Sumber : Schroeder, 2001

Banyak pendapat mengenai faktor determinan yang dapat menyebabkan timbulnya

masalah gizi pada bayi di antaranya menurut Schroeder (2001), menyatakan bahwa

kekurangan gizi dipengaruhi oleh konsumsi makan makanan yang kurang dan adanya

penyakit infeksi sedangkan penyebab mendasar adalah makanan, perawatan (pola asuh)

dan pelayanan kesehatan seperti diterangkan pada Gambar 8. Interaksi dari berbagai

faktor sosial ekonomi dapat menyebabkan jatuhnya seorang anak pada keadaan

kekurangan gizi perlu dipertimbangkan. Menurut Martorell dan Habicht (1986), status

ekonomi mempengaruhi pertumbuhan bayi, melalui konsumsi makan dan kejadian

infeksi. Status sosial ekonomi terhadap konsumsi makan mempengaruhi kemampuan

rumah tangga untuk memproduksi dan/atau membeli pangan, menentukan praktek

pemberian makanan bayi, kesehatan serta sanitasi lingkungan. Jus’at (1992) membuat

model mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak antara lain:

karakteristik keluarga, karakteristik anak, status kesehatan dan ketersediaan bahan

makanan.

21

Page 22: Makalah Kep

G. Dampak KEP

Dampak gizi kurang dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Adapun dampak

dari kekurangan gizi adalah :

1. Pada Ibu Hamil

a. Kesakitan dan kematian meningkat

b. Perkembangan otak janin dan pertumbuhan terhambat

c. BBLR

2. Pada Ibu Menyusui

a. Kesakitan dan kematian meningkat

b. Produksi ASI menurun

c. Keadaan gizi dan kesehatan bayi menurun

3. Pada Balita

a. Perkembangan otak dan pertumbuhan fisik terhambat

b. Perkembangan motorik, mental, kecerdasan terhambat

c. Kesakitan dan kematian anak meningkat

4. Pada Usia Sekolah dan Remaja

a. Kesakitan meningkat, absensi meningkat

b. Pertumbuhan, daya tangkap belajar menurun

c. Kesegaran fisik menurun

d. Interaksi sosial kurang sehingga kriminalitas meningkat

5. Pada Dewasa dan Usia Lanjut

a. Kesakitan meningkat, umur harapan hidup rendah

b. Kesegaran fisik dan produktivitas kerja menurun

c. Kesempatan bekerja dan pendapatan menurun

H. Pencegahan Dan Penanggulangan KEP

1. Pencegahan

a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Pencegahan tingkat pertama mencakup promosi kesehatan dan

perlindungan khusus dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan

kepada masyarakat terhadap hal-hal yang dapat mencegah terjadinya

kekurangan gizi. Tindakan yang termasuk dalam pencegahan tingkat pertama :

1) Hanya memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan.

2) Memberikan MP-ASI setelah umur 6 bulan.

22

Page 23: Makalah Kep

3) Menyusui diteruskan sampai umur 2 tahun.

4) Menggunakan garam beryodium

5) Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A, tablet Fe) kepada anak

balita.

6) Pemberian imunisasi dasar lengkap.

b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Pencegahan tingkat kedua lebih ditujukan pada kegiatan skrining

kesehatan dan deteksi dini untuk menemukan kasus gizi kurang di dalam

populasi. Pencegahan tingkat kedua bertujuan untuk menghentikan

perkembangan kasus gizi kurang menuju suatu perkembangan ke arah

kerusakan atau ketidakmampuan. Tindakan yang termasuk dalam pencegahan

tingkat kedua :

1) Pemberian makanan tambahan pemulihan (MP-ASI) kepada balita gakin

yang berat badannya tidak naik atau gizi kurang.

2) Deteksi dini (penemuan kasus baru gizi kurang) melalui bulan penimbangan

balita di posyandu.

3) Pelaksanaan pemantauan wilayah setempat gizi (PWS-Gizi).

4) Pelaksanaan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk.

5) Pemantauan Status Gizi (PSG)

c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan tingkat ketiga ditujukan untuk membatasi atau menghalangi

ketidakmampuan, kondisi atau gangguan sehingga tidak berkembang ke arah

lanjut yang membutuhkan perawatan intensif. Pencegahan tingkat ketiga juga

mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan dengan menyediakan

rehabilitasi saat masalah gizi sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan.

Tindakan yang termasuk dalam pencegahan tingkat ketiga :

1) Konseling kepada ibu-ibu yang anaknya mempunyai gangguan

pertumbuhan.

2) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan

asuhan gizi kepada anak.

3) Menangani kasus gizi buruk dengan perawatan puskesmas dan rumah sakit.

4) Pemberdayaan keluarga untuk menerapkan perilaku sadar gizi.

23

Page 24: Makalah Kep

5) Melakukan pencegahan meluasnya kasus dengan koordinasi lintas program

dan lintas sektor dengan cara memberikan bantuan pangan, pengobatan

penyakit, penyediaan air bersih, dan memberikan penyuluhan gizi.

2. Penanggulangan

a. Jangka Pendek

1) Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di Posyandu

2) Rujukan kasus KEP dengan komplikasi penyakit di RSU

3) Pemberian ASI Eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan

4) Pemberian kapsul Vit A

5) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi buruk

dengan lama pemberian 3 bulan

6) Memberikan makanan Pendamping ASI

7) (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia 6-12 bulan

8) Promosi makanan sehat dan bergizi

b. Jangka Menengah

1) Revitalisasi Posyandu

2) Revitalisasi Puskesmas

3) Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

c. Jangka Panjang

1) Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

2) Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan

kemiskinan dan ketahanan pangan

24

Page 25: Makalah Kep

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kurang Energi Protein (KEP) sebagai keadaan kurang gizi akibat konsumsi pangan

tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan yang

secara klinis terdapat 3 tipe yaitu kwashiorkor, marasmus dan marasmik kwashiorkor.

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara

nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9

persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Balita termasuk dalam golongan masyarakat

kelompok rentan gizi karena pada saat ini mereka sedang mengalami proses

pertumbuhan yang relatif pesat. UNICEF menyatakan bahwa ada dua penyebab

langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan

akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Adapun pencegahan KEP antara

lain promosi kesehatan dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat terhadap hal-hal

yang dapat mencegah terjadinya kekurangan gizi., dan skrining kesehatan dan deteksi

dini untuk menemukan kasus gizi kurang di dalam populasi. Sedangkan untuk

penanggulangan antara lain adanya upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan

di posyandu, revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi serta pemberdayaan

masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).

B. Saran

Pentingnya mengetahui faktor determinan kekurangan energi protein agar dapat

melakukan pencegahan sedini mungkin sehingga dapat menurunkan prevalensi gizi

kurang dan gizi buruk, serta dapat mencapai target MDGs yang telah disepakati dalam

RPJMN 2010-2014. Upaya pencegahan dilakukan dengan memutus faktor penyebab

langsung melalui upaya penyuluhan kesehatan mengenai konsumsi gizi seimbang serta

pencegahan penyakit infeksi. Upaya penanggulangan KEP diprioritaskan pada kelompok balita karena merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kekurangan gizi.

25

Page 26: Makalah Kep

DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, Sari, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berkontribusi terhadap Status Gizi pada Balita

di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Padjadjaran Bandung.

http://repository.unpad.ac.id/bitstream/handle/123456789/685/faktor_faktor_yg_ber

kontribusi.pdf?sequence=3 (Diakses pada tanggal 21 September 2011)

Meriani, Gusti Ayu Kuanji. 2010. Hubungan Perilaku Ibu dalam Pemberian Gizi Seimbang

dengan Status Gizi pada Balita di Posyandu Kelurahan Depo, Kecamatan Pancoran

Mas Kota Depok. Skripsi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan

Nasional Veteran Jakarta.

http://library.upnvj.ac.id/index.php?p=show_detail&id=5567 (Diakses pada tanggal

18 Oktober 2011)

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.

http://belajarwordpressplk.files.wordpress.com/2011/09/laporan_riskesdas_2010.pdf. (Di

akses pada tanggal 09 Oktober 2011)

Lingga, Nduma K. 2010. Faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di Desa

Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi, Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20850 (Diakses pada tanggal 18

Oktober 2010)

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 – 2015. http://www.bappenas.go.id/get-file-

server/node/10655/ (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2011)

Scheinfeld, Noah S, dkk. Protein-Energy Malnutrition.

http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview (Diakses pada tanggal 18 Oktober

2011)

26

Page 27: Makalah Kep

Nurayanti, Ika. 2010. Asuhan Keperawatan Keluarga Tn.A Pada An. T dengan Malnutrisi

Kurang Energi Protein Ringan di Desa Sambiroto W02 Kecamatan Tembalang

Semarang. KTI, Universitas Muhammadiyah Semarang.

http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptunimus-gdl-

ikanurayan-5194&PHPSESSID=1e67af6fa4bdd962b254ed311c991538 (Diakses

pada tanggal 18 Oktober 2011)

Tim Field Lab FK UNS. 2011. Keterampilan Status Gizi Balita dan Ibu Hamil. Fakultas

Kedokteran UNS. fk.uns.ac.id/static/file/Gizi.pdf (Diakses pada tanggal 18 Oktober 2011)

Penanganan Mutakhir Gizi Buruk pada Anak.

http://www.scribd.com/doc/38961736/Penanganan-Mutakhir-Gizi-Buruk-Pada-Anak

(Diakses pada tanggal 18 Oktober 2011)

Nur’aeni. 2008. Hubungan antara Asupan Energi, Protein, dan Faktor Lain dengan Status

Gizi Baduta (0-23 Bulan) di Wilayah Kerja Puskesmas Depok Jaya Tahun 2008.

Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitaas Indonesia.

http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124101-S-5339-Hubungan%20antara-

Literatur.pdf (Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011)

Inadiar P, Disha. 2010. Perbedaan Pola Asah, Asih, Asuh pada Balita Status Gizi Kurang

dan Status Gizi Normal (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Peneleh, Surabaya).

Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/295/gdlhub-gdl-s1-2011-inadiarpdi-14731-

abstrak-p.pdf (Diakses pada tanggal 18 Oktober 2011)

27