Makalah Kajian Sastra

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi- sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya, dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Sastra tak lepas dari ranah-ranah penafsiran yang mempunyai makna publik dan kebenaran menjadi dua sisi yang sama namun penjabaran makna teramat berbeda. Sebagai posisi pembaca memunyai hak untuk menafsirkan teks sastra berdasarkan persepsi dan intuisi mereka. Ideologi seorang Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier- signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. 1

description

free to download

Transcript of Makalah Kajian Sastra

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya, dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).

Sastra tak lepas dari ranah-ranah penafsiran yang mempunyai makna publik dan kebenaran menjadi dua sisi yang sama namun penjabaran makna teramat berbeda. Sebagai posisi pembaca memunyai hak untuk menafsirkan teks sastra berdasarkan persepsi dan intuisi mereka.

Ideologi seorang Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

Roland Barthes, melalui diskursus postmodernisme, menampiknya. Konsep pengarang semacam itu, yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu), bagi Barthes sudah tak punya tempat lagi, yang kemudian lebih ia pertegas dalam metafor lain; pengarang telah mati (The Death of The Author, 1977). Makna kematian di sini, menjelaskan bahwa bukan pengarang yang bicara, tapi bahasa, ...hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (pengarang).

Kematian sang penulis, menurut Barthes, selalu diikuti dengan kelahiran pembaca. Dia berbeda dengan pembaca pada tradisi modernisme. Dia tidak lagi terbelenggu dengan tirani penulis. Pada saat membaca suatu karya, dia bebas terbang ke mana saja, menembus dinding tebal gagasan penulis, serta melampaui kejeniusan penulis itu sendiri. Dengan kata lain, wafatnya penulis diikuti dengan kebebasan pembaca untuk berpatisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakikat Sosiologi sastra?

2. Bagaimana paradigma matinya pengarang menurut Roland Barthes serta paradigma pemikiran Sosiologi sastra yang tertuang dalam buku kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan ?

C. Tujuan

Mengacu pada rumusan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui hakikat Sosiologi sastra?

2. Mengetahui paradigma matinya pengarang menurut Roland Barthes serta paradigma pemikiran Sosiologi sastra Strukturalisme Genetik yang tertuang dalam buku kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Sosiologi Sastra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia( 2013: 855 ). sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan soaialnya, kondisi ekonimi serta khalayak yang ditujunya.

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan motodologis (Ratna 2012: 4 ).

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

Faktor faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.

Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.

Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.

Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup ( Wellek and Werren, 1990: 110 ).

Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:

1. Sosiologi Pengarang

Menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil Karya satra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang di luar karya sastra.

2. Sosiologi Karya Sastra

Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial.

3. Sosiologi Pembaca

Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ).

Karya sastra kita kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososngan jiwa namun juga atas realitas yang terjadi di sekeliling penarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsure yang membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsure yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian sktrinsik karya sastra adalag konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.

Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat , mengenai lembaga dan proses sosial . Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia ; karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.

Menurut Wolf terjemahan Faruk mengatakan, Sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan baik , terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general; yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan kesusasteraan dengan masyarakat ( 199 : 3 ).

B. Paradigma matinya pengarang menurut Roland Barthes.

Roland Barthes (1915-1980) adalah seorang tokoh pusat dalam kajian bahasa, sastra, budaya, dan media, baik sebagai penemu maupun pembimbing (Allen, 2003). Dia lahir di Cherbough, Manche, Prancis pada 1915. Barthes menghabiskan masa kecilnya di Bayonne, lalu pindah ke Paris. Sewaktu muda, kesehatannya yang buruk dan kemiskinan menghambat karirnya (Smith, 2001: 113). Menurut Barthes dalam bukunya yang berjudul Mythologies (1972: 107), mitos adalah sebuah sistem komunikasi, bahwa mitos adalah sebuah pesan. Maka, mitos tidak mungkin berupa objek, konsep, atau gagasan.

Mitos adalah mode penandaan, sebuah wujud. Barthes pun percaya bahwa semua benda bisa menjadi mitos. Asalkan benda tersebut sudah mengandung pesan, maka benda itu menjadi mitos.Sifat-sifat lain dari mitos yang diusulkan oleh Barthes adalah bahwa mitos tidak ditentukan oleh materinya, melainkan oleh pesan yang disampaikan (Barthes dalam Zaimar, 2008: 58). Mitos tidak selalu bersifat verbal, sehingga juga ada mitos dalam bentuk film, lukisan, patung, fotografi, iklan, atau komik. Mitologi adalah bagian dari semiologi, yaitu ilmu yang luas tentang tanda dan bentuk. Baik mitologi maupun semiologi berurusan dengan nilai dan tidak puas dengan fakta (Barthes, 1972: 107). Fakta didefinisikan dan dijelajahi sebagai tanda bagi hal lainnya.Menurut Barthes (Barthes, 1972: 113), dalam mitos ditemukan pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Tapi mitos adalah sebuah sistem khusus yang dibangun dari rantai semiologis yang sudah ada sebelumnya

Roland Barthes, melalui diskursus postmodernisme, menampiknya. Konsep pengarang semacam itu, yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu), bagi Barthes sudah tak punya tempat lagi, yang kemudian lebih ia pertegas dalam metafor lain; pengarang telah mati (The Death of The Author, 1977). Makna kematian di sini, menjelaskan bahwa bukan pengarang yang bicara, tapi bahasa, .

Hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (pengarang).

C. Paradigma pemikiran Sosiologi sastra Strukturalisme Genetik yang tertuang dalam buku Kajian Novel dalam Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan

Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldmann. Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.

Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan Strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan pendekatan sosiologi (ekstrinsik).

Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Hakikatnya karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor luar tersebut. Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 1999b:12). Goldmann percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1999b:15).

Mengacu pada kenyataan bahwa ideologi adalah system nilai atau gagasan yang dimiliki oleh suatu kelompok atau lapisan masayarakat tertentu atau hasil produksi makna dan gagasan yang besrsifat umum. Mengacu pada karya tulis novel yang berjudul Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla adalah sebuah eksotopi. Sebagai Sebuah eksotopi maka Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla tidak kehilangan sifat tekstualnya sebagai fenomena produk identifiksasian pelahir dan pemicu daur kelahiran kembali sumber-sumber artistic intelektual yang akan menjembatani dialog peradaban anatara feminisme dan patriarki yang sesungguhnya jatidiri kekubuanya masing masing tidak utuh dan padu. Kegayutan genetics teks Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla dengan ideology feminismenya menyuarakan hasrat negoisasi dengan budaya patriarki.

Sebuah cipta sastra pada dasarnya juga adalah wacana ekspresionisme epistimologis, sebagai sebuah wacana ekspresionisme epistimologis sudah barang tentu Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla memiliki subkomposisi-subkomposisi diskursif yang tidak dianggap sebagai proposisiyang dapat didiskusikan secara objektif tetapi harus diterima sebagai ekspresi: menta, situasi kejiwaan, dan percikan infeoritas yang pribadi dari penciptanya sebagai bagian dari komunitas social yang membentuk dan membesarkanya.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas hubungan antara pengarang dengan masyarakat dan hasil berupa karya sastra dengan masyarakat. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

Kematian sang penulis, menurut Barthes, selalu diikuti dengan kelahiran pembaca. Dia berbeda dengan pembaca pada tradisi modernisme. Dia tidak lagi terbelenggu dengan tirani penulis. Pada saat membaca suatu karya, dia bebas terbang ke mana saja, menembus dinding tebal gagasan penulis, serta melampaui kejeniusan penulis itu sendiri. Dengan kata lain, wafatnya penulis diikuti dengan kebebasan pembaca untuk berpatisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks. Lantas, apa fungsi penulis selaku perangkai kata atau kalimat dalam sebuah karya jika otoritasnya dibunuh? Terhadap pertanyaan ini, kaum post-strukturalis memiliki jawaban yang bervariatif. Michel Foucault, yang lebih getol dalam kajian teks dan wacana, berpendapat bahwa fungsi penulis adalah pendistribusi wacana.

Tanpa dirinya suatu karya tak akan pernah lahir dan tak akan hadir di hadapan pembaca. Sebagai distributor wacana, penulis berhak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya dari pembaca, kerena telah bersusah payah membuka jendela pengetahuan bagi banyak manusia. Namun, penghargaan itu jangan sampai membuat kita kehilangan energi untuk bersikap kritis terhadap suatu karya. Akhirnya, hanya dua kata untuk menumbuhkan dan merawat sikap kritis: bunuh penulis!

Daftar Rujukan

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyitno, 2014. Kajian Novel Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Wellek, Rene dan Asustin Werren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

2