Makalah Sastra Indonesia

33
MAKALAH SASTRA CERITA RAKYAT SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN SASTRA SD A. Latar Belakang Masalah Salah satu standar kompetensi yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untu siswa kelas V, semester satu adalah: “Siswa mampu apresiasi cerita rakyat secara lisan” (Depdiknas, 2006: 24). Lebih lanjut, standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, yaitu: siswa mampu mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya (Depdiknas, 2006: 24). Apresiasi cerita rakyat secara lisan maupun tertulis, hingga siswa harus mampu mengidentifikasi unsur cerita di dalamnya, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi guru untuk mengajarkannya di dalam kelas. Buktinya dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD, guru-guru masih mengeluhkan ketidakmampuan siswanya dalam apresiasi secara baik cerita rakyat tersebut. Mereka menilai para siswa pada umumnya belum mampu: (1) menentukan unsur-unsur cerita, (2) mengungkapkan pesan atau amanat cerita yang didengarkan, (3) menceritakan kembali cerita rakyat dengan kata-kata 0

description

CERITA RAKYAT SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN SASTRA SDVersi Microsoft Word download in: http://www.ziddu.com/download/11009334/MakalahSastraIndonesia.doc.html

Transcript of Makalah Sastra Indonesia

Page 1: Makalah Sastra Indonesia

MAKALAH SASTRA

CERITA RAKYAT SEBAGAI MATERI

PEMBELAJARAN SASTRA SD

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu standar kompetensi yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mata

Pelajaran Bahasa Indonesia untu siswa kelas V, semester satu adalah: “Siswa

mampu apresiasi cerita rakyat secara lisan” (Depdiknas, 2006: 24). Lebih lanjut,

standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, yaitu: siswa

mampu mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya

(Depdiknas, 2006: 24).

Apresiasi cerita rakyat secara lisan maupun tertulis, hingga siswa harus

mampu mengidentifikasi unsur cerita di dalamnya, bukanlah pekerjaan yang

mudah bagi guru untuk mengajarkannya di dalam kelas. Buktinya dalam

pembelajaran bahasa Indonesia di SD, guru-guru masih mengeluhkan

ketidakmampuan siswanya dalam apresiasi secara baik cerita rakyat tersebut.

Mereka menilai para siswa pada umumnya belum mampu: (1) menentukan

unsur-unsur cerita, (2) mengungkapkan pesan atau amanat cerita yang

didengarkan, (3) menceritakan kembali cerita rakyat dengan kata-kata sendiri,

dan (4) menanggapi isi cerita rakyat tersebut.

Melalui cerita rakyat suatu daerah, sebenarnya siswa dapat diajak untuk

mengetahui sejarah, pengalaman, pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan,

dan berbagai kegiatan lain yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini berarti di

dalam cerita rakyat sebenarnya tersirat kenyataan yang menggambarkan

masyarakat pada masa lalu sampai masa kini. Dalam hal ini, sekolah memiliki

peranan yang sangat strategis, yaitu sebagai penyambung lidah masyarakat untuk

menyampaikan realita kehidupan di suatu daerah atau lingkungannya melalui

cerita rakyat di daerah tersebut. Oleh sebab itu, cerita rakyat perlu diajarkan

kepada siswa agar mereka mampu menyerap, merenungkan, dan mengungkapkan

kembali melalui daya imajinasinya ke dalma bentuk cipta sastra.

01

Page 2: Makalah Sastra Indonesia

1

Manakala sebuah cerita rakyat diajarkan pada siswa SD dalam kemasan

pembelajaran sastra yang apresiatif, dan efektif, maka akan dapat dipetik

beberapa manfaat. Melalui cerita rakyat dapat diketahui kekayaan kebudayaan

sendiri dan kebesaran masa lampau untuk kepentingan pembentukan nilai, dan

budi pekerti. Jadi, cerita rakyat bisa dijadikan sebagai potret kehidupan

masyarakat pada masa lampau yang penuh ajaran moral, dan nilai didik yang bisa

ditularkan pada siswa lewat pembelajaran.

Meskipun kajian dan apresiasi cerita rakyat dirasakan dapat memberi

beberapa manfaat, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik

(guru) di sekolah. Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan daya

apresiasi siswa terhadap cerita rakyat itu sendiri. Dalam perkembangannya,

cerita-cerita rakyat semakin bergeser oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK). Anak-anak (siswa sekolah) tidak lagi mengenali cerita

rakyat di daerahnya. Mereka lebih senang menonton televisi atau melihat film,

baik film-film dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Mereka juga lebih

senang melihat tayangan lagu-lagu pop dan acara-acara hiburan lainnya daripada

mendengarkan cerita rakyat. Padahal di dalam cerita-cerita rakyat yang ada di

daerah tempat tinggalnya dapat ditemukan sejumlah falsafah kehidupan dan nilai-

nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan mereka.

Saat ini hampir semua tayangan hiburan di televisi mereka anggap baik.

Padahal, apabila dicermati tidak semua tayangan tersebut memberikan manfaat

positif bagi mereka. Banyak tayangan atau cerita yang diwarnai dengan

kekerasan kebrutalan, kenakalan, kebebasan, dan semacamnya. Hampir semua

jenis tayangan yang ada di televisi dapat dilihat secara bebas oleh anak-anak.

Sebagian besar tayangan tanpa melalui filter dan pengawasan ketat dari orang tua

mereka. Fenomena seperti inilah yang perlu dikhawatirkan oleh beberapa pihak

yang terkait. Oleh karena itu peranan orang tua, peranan guru sekolah, dan pihak-

pihak terkait diperlukan demi kebaikan anak-anak atau generasi muda kita.

Melihat fenomena yang mengkhawatirkan seperti itu diharapkan tugas

sekolah adalah berupaya untuk menumbuhkan sosialisasi cerita rakyat beserta

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bentuk sosialisasi tersebut, tak lain

Page 3: Makalah Sastra Indonesia

2

adalah melalui pembelajaran sastra di kelas, seperti guru bercerita atau

mendongeng di hadapan siswa. Dengan cara seperti itu, anak-anak bisa

menemukan kedamaian manakala seseorang ibu atau bapak guru menceritakan

dongeng tentang dirinya sendiri dan lingkungan sekitar kehidupannya. Jadi,

sosialisasi sastra dalam wilayah formal yaitu sekolah dapat dijadikan sebuah

langkah praktis untuk menghidupkan kembali cerita rakyat di suatu daerah.

Dalam konteks pembelajaran sastra yang terjadi di kelas SD pada

umumnya sangat bersifat teoretis, monoton, dan menjemukan. Guru lebih banyak

menekanan materi sastra (cerita rakyat) dari sisi pengetahuan (ingatan) semata

dengan metode ceramah sebagai andalannya. Mekanisme pembelajaran yang

sering dilakukan pada pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat adalah (1)

guru menjelaskan beberapa pengertian yang terkait dengan materi cerita rakyat,

dan siswa disuruh mendengarkan sambil mencatat; (2) guru langsung menugasi

siswa menceritakan kembali isi cerita rakyat tersebut baik secara lisan maupun

tulisan; (3) mengumpulkan hasil pekerjaan siswa tanpa banyak (jarang)

memberikan umpan balik dari sisi kelemahan/ kekurangan tulisan siswa.

Kekurangberhasilan pembelajaran sastra, khususnya apresiasi cerita

rakyat tersebut disebabkan oleh banyak faktor, baik dari sisi siswa, guru,

kurikulum (materi pelajaran), pendekatan, metode, media pembelajaran, alat

evaluasi yang digunakan, bahkan sampai pada lingkungan atau suasana

pembelajaran yang terjadi.

Khususnya dari faktor guru, tidak sedikit mereka yang berpandangan

bahwa proses pembelajaran sastra yang efektif yang terjadi di kelas adalah: bila

suasana kelas tidak ramai dan tentang; para siswa duduk di kursinya masing-

masing dengan tertib; perhatian seluruh siswa terpusat pada guru, dan guru

menjelaskan (berceramah) di depan kelas. Anggapan yang demikian dalam

konteks pembelajaran sekarang sangatlah tidak tepat. Mengapa demikian? Sebab

dalam kondisi demikian, siswa justru akan semakin ‘tenggelam’ dalam kepasifan.

Mereka belajar tidak lebih dari suatu rutinitas, bukan suatu kebutuhan sehingga

kurang tertantang terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa

Page 4: Makalah Sastra Indonesia

3

cenderung belajar secara individual, menghafal konsep-konsep yang abstrak dan

teoretis.

Sinyalemen mengenai kekurangberhasilan pembelajaran sastra (cerita

rakyat) di atas, disebabkan oleh sistem pembelajaran yang masih terpusat pada

guru (teacher center). Siswa kurang diberi kesempatan untuk berlatih dan

mengembangkan kreativitasnya. Di samping itu, dari sisi siswa sendiri, pola

pembelajaran yang demikian akan membiasakan siswa pasif, hanya menerima

tanpa pernah memberi. Cenderung siswa kurang bergairah, kurang bersemangat,

kurang tertarik, atau berminat dalam mengikuti pembelajaran. Akibatnya, siswa

kurang berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Keadaan pembelajaran yang

demikian, tentu tidak akan dapat menopang terhadap percepatan pencapaian

kompetensi dasar pembelajaran yang telah ditentukan, khususnya kompetensi

atau kemampuan apresiasi cerita rakyat.

B. Apresiasi Cerita Rakyat

Apresiasi menurut Dick Hartoko (1990: 25) adalah suatu tindakan

penghargaan. Kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciation” yang

berarti penghargaan. Apresiasi meliputi tiga aspek, yaitu kognitif, emosi, dan

evaluasi. Aspek kognitif adalah kemampuan memahami masalah teori dan

prinsip-prinsip instrinsik sebuah karya sastra.

Aspek apresiasi yang kedua yaitu emotif. Aspek emotif adalah

kemampuan memiliki nilai-nilai keindahan karya sastra. Indikasi untuk

mengukur aspek emotif yang dapat digunakan adalah: (1) siswa dapat

menemukan dan menunjukkan indah tidaknya karya sastra puisi itu; (2) siswa

dapat menemukan dan menunjukkan cara penulisan latar belakang cerita/ setting;

(3) siswa dapat menemukan dan menunjukkan indah tidaknya pemakaian

ungkapan dalam karya sastra puisi.

Aspek ketiga yaitu aspek. Aspek evaluatif adalah kemampuan menilai.

Aspek ini merupakan aspek tertinggi dalam kegiatan apresiasi. Indikator untuk

menilai dan mengukurnya adalah kemampuan untuk menafsirkannya.

Page 5: Makalah Sastra Indonesia

4

Apresiasi cerita rakyat sebagai salah satu kompetensi dasar yang harus

dicapai oleh siswa SD dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, di

dalamnya terdapat kegiatan belajar, seperti: (1) siswa mendengarkan pembacaan

teks cerita rakyat; (2) siswa menentukan unsur-unsur cerita; (3) siswa

menyampaikan pesan atau amanat cerita secara lisan; (4) siswa menceritakan

kembali cerita rakyat yang didengar dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa

menuliskan tanggapan mengenai isi cerita rakyat (Tim Bina Karya Guru, 2007:

131). Jadi, lewat penelitian tindakan kelas (PTK) ini istilah “kemampuan

apresiasi cerita rakyat” mencakupi kemampuan siswa dalam lima kegiatan belajar

yang telah disebutkan di atas.

Pada dasarnya cerita rakyat (folk literature) merupakan cerita lisan yang

telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat. Cerita rakyat berkembang dan

menyebar secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu

masyarakat. Pengembangan atau pewarisannya dilakukan secara lisan. Selain itu,

tradisi-tradisi tertentu di suatu daerah biasanya dilangsungkan untuk melestarikan

cerita rakyat yang ada pada daerah tersebut.

Cerita rakyat biasanya disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut),

bersifat tradisional, dari suatu generasi ke generasi, terdiri dari berbagai versi

cerita, biasanya tidak diketahui pengarangnya (anonim). Kadang-kadang

penuturannya itu disertai dengan perbuatan, misalnya mengajar tari, mengajar

membatik, mengajar mendalang, dan sebagainya. Ini juga menjadi ciri-ciri cerita

rakyat yang tersebar di hampir seluruh wilayah nusantara. Berkaitan dengan ciri-

ciri sastra lisan, termasuk cerita rakyat, Brunvand (1968: 4) juga menyatakan

bahwa cerita rakyat memiliki beberapa ciri, antara lain: (1) it is oral; (2) it is

traditional; (3) it exist in different version; (4) it usually anonymous; dan (5) it

tends become formulized.

Pada umumnya, cerita rakyat disamakan pengertiannya dengan folklor.

Padahal, apabila dicermati asal usul katanya sudah berbeda. Kata folklor

merupakan pengindonesiaan kata Inggris folklore, yang berasal dari dua kata,

yaitu folk dan lore. Folk dapat diartikan masyarakat. Lebih jauh lagi, folk berarti

sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan

Page 6: Makalah Sastra Indonesia

5

sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Yang menjadi ciri

penanda adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan

yang telah mereka warisi turun-menurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat

mereka akui sebagai milik bersamanya.

Sementara itu, kata lore merupakan tradisi folk, yaitu kebudayaan.

Sebagian kebudayaan itu diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau

melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat kepada generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat James

Danandjaja (1997: 2) folklor adalah sebagian kebudayaan, suatu kolektif; yang

tersebar dan diwariskan turun-menurun, di antara kolektif macam apa saja, secara

tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh

yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic

device).

Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang dijumpai di

Indonesia. Pada mulanya cerita rakyat disampaikan melalui budaya lisan melalui

bagian-bagian cerita kepahlawanan yang dapat digambarkan melalui wayang,

bentuk-bentuk lainnya misalnya teater. Cerita rakyat disebarkan melalui budaya

lisan, bukan budaya tulis. Cerita rakyat telah dikumpulkan dan digunakan dalam

sistem pendidikan di Indonesia melalui buku-buku kecil yang cukup murah.

Cerita-cerita rakyat ini biasanya terdapat di daerah-daerah di Indonesia. Hakikat

cerita rakyat tersebut sesuai dengan pernyataan di bawah ini.

Cerita rakyat is a form of folklore found in Indonesia. Its origins are probably an oral culture, with a range of stories of heroes associated with Wayang and other forms of theatre, transmitted outside of a written culture. They have been collected and used in the Indonesian education system, in small cheap books, usually tied in with a district or region of Indonesia (http://en.wikipedia.org/wiki/Cerita_rakyat).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa cerita rakyat

merupakan bagian dari folklor. Folklor dapat disejajarkan dengan kebudayaan

rakyat sehingga mempunyai pengertian dan lingkup yang lebih luas daripada

cerita rakyat. Sejalan dengan itu, James Danandjaja (1997: 14) menyatakan

bahwa koleksi folklor Indonesia terdiri dari : kepercayaan rakyat, upacara, cerita

Page 7: Makalah Sastra Indonesia

6

prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng), nyanyian kanak-kanak, olahraga

bertanding, hasta karya, makanan dan minuman, arsitektur rakyat, teater rakyat,

musik rakyat, logat, dan lain-lain.

Folklor dapat disejajarkan dengan tradisi lisan. Tradisi lisan tidak terbatas

pada cerita rakyat, mite, dan legenda saja. Lebih dari itu, tradisi lisan dapat

berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap seperti: sejarah, hukum adat, praktik

hukum, dan pengobatan tradisional. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Tol

dan Prudentia (1995: 2), “Oral traditions do not only contains folktales, myhts,

and legends, but store complete indigenous cognate systems, to name of few:

histories, legal practices, adat law, medications.”

Folklor mencerminkan kebudayaan Indonesia yang diekspresikan melalui

musik, tarian, drama, seni kerajinan tangan, seni pahat, seni lukis, karya sastra.

Hal ini memiliki implikasi serius bagi penduduk asli karena kebanyakan karya-

karya folklor cenderung mempresentasikan secara lisan dan visual. Kegunaan

folklor pada masyarakat suku asli adalah sebagai alat untuk ekspresi,

pemeliharaan dan perkembangan identitas mereka (http://cybernews.cbn.net.id/

detil.asp?kategori=BusRep&newsno=61).

Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas dapat diketahui

bahwa folklor maupun cerita rakyat lebih menekankan aspek lisan daripada aspek

tulis. Cerita rakyat merupakan sastra lisan yang berkembang di masyarakat,

terutama pada masa lalu. Berkaitan dengan hal ini Suripan Sadi Hutomo (1991:

1) menyatakan bahwa sastra lisan dimaksudkan sebagai kesusastraan yang

mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebabrkan dan

diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Sebenarnya baik kesusastraan lisan

maupun tulis adalah dunia ciptaan pengarang dengan mempergunakan medium

bahasa.

Suripan Sadi Hutomo (1991: 3-4) menyebutkan beberapa ciri sastra lisan,

termasuk cerita rakyat, yaitu sebagai berikut:

1) Penyebarannya melalui mulut. Maksudnya, ekspresi budaya yang disebarkan,

baik dari segi waktu dan ruang melalui mulut;

2) Lahir dari masyarakat yang bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau

masyarakat yang belum mengenal huruf;

Page 8: Makalah Sastra Indonesia

7

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat, sebab sastra lisan

merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi

menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan-perubahan sosial).

Oleh karena itulah, sastra lisan juga disebut fosil hidup;

4) Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik

masyarakat;

5) Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek

khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra

lisan itu mempunyai peran penting di dalam masyarakatnya;

6) Terdiri dari berbagai versi; dan

7) Menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-

kadang diucapkan tidak lengkap.

Apresiasi cerita rakyat adalah suatu proses berbahasa secara reseptif, yaitu

upaya siswa dalam menyerap, menangkap informasi (pesan-pesan) yang

terkandung dalam cerita rakyat. Upaya apresiasi dikatakan berhasil, bilamana

siswa telah sanggup (1) mendengarkan cerita rakyat yang diceritakan atau dibaca

orang lain, (2) menentukan atau mengidentifikasi unsur-unsur cerita yang

terdapat dalam cerita rakyat tersebut, (3) menyampaikan unsur-unsur cerita yang

telah diidentifikasikannya, (4) menceritakan kembali cerita rakyat tersebut

dengan kata-kata sendiri, dan (5) memberi tanggapan tertulis/ lisan tentang isi

cerita rakyat yang didengarkannya itu.

Apresiasi cerita rakyat yang disampaikan orang lain tidaklah mudah,

diperlukan sejumlah persyaratan antara lain, memiliki kemampuan

mendengarkan dengan baik, memiliki kemampuan menganalisis isi cerita,

memiliki kemampuan berbicara/mengungkapkan kembali dengan bahasa yang

lancar dan jelas, dan memiliki motivasi belajar yang tinggi. Oleh sebab itu,

proses pembelajaran apresiasi cerita rakyat perlu dirancang dengan menggunakan

kegiatan-kegiatan yang banyak menuntut siswa mengalami sendiri, bukan hanya

kegiatan yang menuntut mendengar dan mencatat dari gurunya, tanpa melibatkan

secara langsung siswa untuk bekerja mandiri atau kelompok. Siswa perlu

didudukkan sebagai subjek sehingga mereka dapat mengekspresikan ide-ide,

Page 9: Makalah Sastra Indonesia

8

merasakan adanya manfaat, dan termotivasi untuk selalu mengikuti pembelajaran

karena merasa diorangkan dan dihargai.

C. Prinsip Apresiatif

Prinsip apresiatif lebih ditekankan pada pembelajaran sastra. Istilah

prinsip apresiatif berasal dari kata kerja dalam bahasa Inggris “appreciati” yang

berarti menghargai, menilai, menjadi kata sifat “appresiative” yang berarti senang

(Echols dan Shadely, Hasan, 1993: 35). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Depdikbud, 1988: 46) kata “apresiasi” berarti “penghargaan”. Istilah apresiatif

dimaknai yang “menyenangkan”. Jadi prinsip apresiatif berarti prinsip

pembelajaran yang menyenangkan.

Menilik artinya tersebut berarti prinsip ini tidak hanya berlaku bagi

pembelajaran sastra, tetapi juga bagi pembelajaran aspek yang lain, bahkan untuk

mata pelajaran di luar mata pelajaran bahasa Indonesia. Namun, karena yang

menggunakan istilah ini hanya pembelajaran sastra, seperti yang tercantum dalam

Kurikulum 2004, apresiasi sastra merupakan salah satu komponen dari standar

kompetensi di SD dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang diintegrasikan pada aspek

keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Sekarang timbul pula pertanyaan bagaimana pembelajaran sastra yang

menyenangkan itu? Pembelajaran sastra yang menyenangkan adalah yang

mengagumkan. Bagaimana pula ciri pembelajaran yang menyenangkan itu?

Mudah saja, kita perhatikan peserta didik kita pada saat kita bercerita.

Umpamanya kita bercerita tentang “Kerbau dan Harimau” seperti berikut:

Kerbau dan Harimau

Sudah berbulan-bulan hujan tak turun. Pepohonan rontok dan gugur.

Yang masih bertahan hanya daunya yang kuning serta kayu. Bahkan,

rumput pun tak ada yang tumbuh karena kemarau terlalu amat sangat.

Pada kemarau yang amat terik itu, tersebutlah ada seekor kerbau

yang sudah kurus kurang makan. Padang rumput tempat ia dan kawan-

kawannya makan sudah kering. Segala rerumputan mati. Tadinya kerbau

Page 10: Makalah Sastra Indonesia

9

itu hidup bersama-sama dengan beberapa kerbau lainnya, merupakan

kawanan. Tetapi seekor demi seekor kerbau-kerbau lainnya mati

kehausan dan kelaparan.

Sekarang tinggallah ia sendiri. Tubuhnya kurus. Tulang-tulangnya

menonjol seolah-olah mau keluar dari kulit yang membalutnya.

Karena hutan tempat tinggalnya sudah gersang kepanasan, kerbau

itu berangkat tak bertujuan mencari padang rumput yang hijau. Sudah

sekian lamanya ia mencari tempat, tetapi sia-sia saja tak ditemukannya

tempat yang diinginkannya.

Makin lama makin jauh saja kerbau itu berjalan. Akhirnya ia masuk

ke sebuah hutan asing, tempat tinggal sang Harimau Kurus. Kerbau itu

tidak tahu bahwa dalam hutan itu seekor harimau. Kalau tahu tentu ia

takkan masuk ke situ.

Dulu dalam hutan itu banyak binatang-binatang lainnya yang

menjadi makanan sang Harimau Kurus. Tetapi karena sang Harimau

terlalu ganas, binatang-binatang itu pada melarikan diri. Dan karena tak

ada lagi binatang yang menjadi mangsanya, Harimau itu kelaparan dan

tubuhnya semakin susut, sampai dia mendapat gelar Sang Harimau Kurus

pula.

Sang Harimau Kurus amat heran melihat ada kerbau yang masuk ke

hutan tempat tinggalnya itu. Ia berkata dalam hati: “Nah, rupanya hari

ini nasib baik datang padaku. Sudah lama aku kelaparan, sekarang

datang sesekor kerbau untuk menjadi mangsa. Biarpun kurus, tentu ia

bisa mengobati laparku buat sementara.”

Sesudah berpikir demikian, sang Harimau Kurus mengaum,

menakut-nakuti sang Kerbau: “Hai Kerbau, mengapa kau berani masuk

ke dalam hutan kerajaanku ini?”

Sang Kerbau terkejut. Tubuhnya gemetar saking lapar dan ketakutan.

Dilihatnya seekor harimau kumbang matanya bersinar menyala-nyala,

siap akan menerkam. Dengan memberanikan diri, sang kerbau menjawab:

“Wah, Tuanku! Bukan maksud hamba sembarangan masuk ke dalam

Page 11: Makalah Sastra Indonesia

10

kerajaan Tuanku. Tetapi hamba datang ke sini lantaran kesasar, mencari

makanan rumput tak juga dapat.”

“Kesasar atau tidak, tetapi kau sudah ada di sini. Tentu akan

kumakan.”

“Ampun Tuanku, beribu-ribu ampun. Lihatlah tubuh hamba yang

kurus ini. Tentu hanya tulang saja yang akan Tuanku santap. Apakah

gunanya Tuanku memakan hamba yang hina dina ini?”

“Baiklah, aku kasihan juga padamu. Kau takkan kumakan sekarang,

karena tubuhmu kurus betul. Sekarang begini saja, aku mempunyai

sebidang tegalan rumput yang hijau, tak pernah dimakan binatang

lainnya. Kau akan kuperbolehkan makan di tegalan rumput itu hingga

tubuhmu gemuk. Kalau nanti tubuhmu sudah gemuk, kau meski datang

padaku serta bersedia kumakan.”

Beberapa jenak lamanya sang Kerbau termenung. Ia tak bisa segera

menjawab. Ia sungguh bingung. Kalau ia menolak permintaan sang

Harimau, tentu seketika itu juga tubuhnya diterkam oleh raja hutan itu

tanpa ampun lagi. Sebaliknya kalau perjanjian itu ia terima, tentu nanti

kalau sudah gemuk pasti ia dimakan oleh sang Harimau. Tak satu pun

pilihan yang dapat dipilihnya. Tetapi, daripada ia diterkam seketika itu

juga, lebih baik nanti saja. Maka diambilnyalah keputusan: “Baiklah sang

Harimau, hamba terima perjanjian itu. Manakah tegalan rumput itu?”

“Syukurlah. Mari kutunjukkan padamu di mana tegalan rumput itu.”

Lalu sang Kerbau berjalan mengikuti sang Harimau menuju sebuah

tegalan rumput. Tegalan rumput itu meskipun tak hijau lagi karena

ditimpa kemarau, namun tak habis tandas dimakan binatang.

Segera sang Kerbau makan rumput yang sudah lama diimpikannya

dengan lahap.

Sang Harimau pun pergi pula mencari mangsa lain.

Sang Harimau akan menengok kerbau tersebut setiap hari Jumat.

Pada hari Jumat yang pertama, dilihatnya kerbau itu sudah mulai

gemuk. Jalannya sudah tegap, tidak lagi terhuyung-huyung seperti

Page 12: Makalah Sastra Indonesia

11

seminggu sebelumnya. Pada hari Jumat yang kedua kerbau itu sudah

gemuk pula.

“Wah, takkan lama lagi tentu aku akan makan besar,” pikir sang

Harimau.

Sementara itu, sang Kerbau pun tak henti-hentinya mencari akal

agar ia bisa meloloskan diri dari bahaya maut. Ia tak mau menjadi

mangsa harimau.

Pada hari Jumat yang ketujuh, tubuh sang kerbau sudah gemuk

benar. Kelihatannya kehitam-hitaman tanda sehat. Hampir tak ada tanda-

tanda bahwa ia dulu seekor kerbau kurus yang terhuyung-huyung hampir

mati.

Melihat bahwa saat perjanjian sudah tiba, sang Harimau mendekati

sang Kerbau dan katanya: “Nah, sekarang kau sudah gemuk, tinggal aku

saja yang masih kurus. Sudah tiba saat perjanjian kita dahulu. Kau akan

kumakan.”

“Hamba pasrah. Tapi kalau tuanku mengizinkan hamba minta

tuanku beri kesempatan untuk menemui sahabat kental hamba. Sebelum

ajal tiba, hamba ingin bersua dulu dengan sahabat hamba itu, agar ia

tidak kehilangan hamba.”

“Baik. Tapi jangan terlalu lama aku menunggu.”

“Tidak”

Lalu sang Kerbau berjalan cepat-cepat. Ia berjalan setengah hari.

Tak tahu ke mana akan menuju. Karena sesungguhnya ia tak mempunyai

sahabat. Kawan-kawannya sudah mati semua karena kemarau yang amat

sangat. Ia berkata begitu kepada sang Harimau hanya akal semata-mata,

agar ia bisa melepaskan diri dari bahaya maut.

Setelah beberapa lamanya sang kerbau berjalan cepat, nafasnya

sudah memburu tanda lelah. Di bawah sebatang pohon, ia berhenti. Di

sana ia merenung saking bingung memikirkan ke mana ia akan pergi

supaya terlepas dari ajal.

Page 13: Makalah Sastra Indonesia

12

Kebetulan di atas pohon itu ada seekor lutung. Lutung itu sudah

lanjut usianya. Melihat ada seekor kerbau merenung seolah bingung,

lutung tersebut merasa kasihan. Lalu ia turun ke dahan yang rendah, di

atas punggung sang kerbau.

“Mengapa engkau nampak seperti bagiku, kawanku? Apakah yang

menyusahkan hatimu?”

Kerbau itu tersebut. Ketika melihatnya seekor lutung, hatinya agak

gembira. “Siapa tahu lutung tersebut bisa memberi petunjuk agar aku

dapat keluar dari kebingungan ini,” pikirnya.

“Benar dugaanmu, kawan. Aku memang sedang bingung.”

………………………………………………………………………………………

…………………………..

(Ajib Rosidi dalam Rusyana dkk, 1982: 52-54).

Cerita dihentikan dengan tiba-tiba. Perhatikan bagaimana keadaan dan

sikap atau tanggapan peserta didik Anda. Kalau terlihat mereka kecewa, berarti

cerita Anda menarik. Berikutya, guru mengajukan pertanyaan.

Guru : “Bagaimana perasanmu terhadap nasib si kerbau tadi?”

Peserta didik : “Kasihan, Pak!”

Guru : “Mau diteruskan?”

Peserta didik : “Mau, teruskan Pak!”

Kalau dialog seperti di atas berlangsung di kelas Anda, berarti Anda

berhasil membuat peserta didik kagum, menyenangkan, dan menarik.

Nah, itulah ilustrasi dari materi pembelajaran yang apresiatif. Cerita bisa

juga diteruskan oleh anak-anak. Walaupun mungkin hampir sama atau bahkan

mungkin tidak sama dengan cerita yang semestinya. Hal ini tidak masalah.

Tujuan kita hanya membangkitkan minat anak dan melatih mereka berimajinasi

atau berfantasi.

Page 14: Makalah Sastra Indonesia

13

D. Cerita Rakyat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD

Mata pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : V (lima) / 1 (satu0

Waktu : 2 jam pelajaran

1. Standar Kompetensi

Memahami penjelasan nara sumber dan cerita rakyat secara lisan.

2. Kompetensi Dasar

Mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya.

3. Indikator

Menceritakan kembali secara tertulis dengan kalimat runtut dan mudah

dipahami.

4. Tujuan

Peserta didik dapat menceritakan kembali dongeng yang didengarnya dengan

kalimat runtut dan mudah dipahami secara tertulis.

5. Materi Pokok

Cerita rakyat (dongeng dari Musi Banyuasin Sumatera Selatan)

Ikan Bujuk Tupai

Pada suatu hari di tepi Sungai Musi, seekor tupai melompat-

lompat akan minum. Bertemulah tupai dengan ikan gabus (ikan bujuk)

penghuni air yang tinggal tidak jauh dari situ. Kedua makhluk hidup

itu semakin hari semakin akrab. Karena akrabnya, keduanya sepakat

untuk memanggil dengan sapaan mesra, yakni tupai memanggil ikan

bujuk “tali ati” (yang berarti pengikat hati), sedangkan ikan bujuk

memanggil tupai “tali nyawa” (artinya pengikat nyawa). Makna

sapaan itu ialah antara hati dan nyawa tidak dapat dipisahkan.

Pagi itu tidak biasanya tupai tidak minum air sungai, seperti

biasa ikan bujuk menunggu kedatangan sahabatnya. Namun, dari

Page 15: Makalah Sastra Indonesia

14

waktu ke waktu tupai tidak muncul juga. Akhirnya ikan bujuk

mendatangi kediaman tupai. Betapa terkejutnya bujuk mengetahui

tupai sahabatnya sakit.

“Tali Ati, (panggilan ikan bujuk) aku sudah berobat namun

belum sembuh juga” kata tupai.

“Tali Nyawa, ada tabib di hulu sungai yang sangat pintar”, kata

bujuk.

“Sudah, katanya penyakitku dapat disembuhkan kalau aku makan

telur ayam kampung,” ucap tupai dengan suara parau.

Sampai di rumah ikan bujuk memutar otak agar bisa

mendapatkan telur ayam kampung sebagai obat sahabatnya. Barulah

ia ingat kalau setiap hari ada seorang putri yang mandi di sungai di

dekat rumahnya.

Pagi itu seorang putri mandi sambil membawa gerigi (tempat air

yang terbuat dari bambu besar). Ketika putri mengambil air, tanpa

sepengetahuannya, bujuk masuk dalam gerigi. Sampai di rumah sang

putri, gerigi diletakkan di bawah tangga naik rumah panggung.

Tiada petir dan tiada guruh, tiba-tiba hujan deras melanda desa

itu. Air hujan seperti ditumpahkan dari langit. Selang beberapa waktu,

permukaan air musi naik dan membanjiri desa itu, tidak terkecuali

gerigi di bawah tangga rumah ikut tenggelam. Secepat kilat bujuk

keluar dari gerigi mencari kandang ayam. Ia tahu betul kalau manusia

selalu memelihara ayam di bawah rumah panggung.

Tanpa kesulitan ikan bujuk dapat menemukan kandang ayam

yang sudah digenangi air. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan bujuk

mengambil salah satu telur yang sudah ditinggalkan induknya.

Dengan cara diikulum, telur dibawa menuju rumah tupai.

“Tali Nyawa, aku datang dengan membawa telur ayam” kata

bujuk dengan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, tali ati sahabatku”, jawab tupai dengan riang.

Kemudian telur itu dimakan dan sembuhlah si tupai itu.

Page 16: Makalah Sastra Indonesia

15

Beberapa tahun kemudian, ikan bujuk sakit. Tupai sedih sekali

meliaht sahabatnya tergolek tak berdaya. Kata pawang di hilir sungai,

penyakit bujuk disembuhkan dengan cara bujuk harus makan hati

buaya.

Sampai di rumah tupai memikirkan cara untuk mendapatkan hati

buaya. Tidak lama kemudian, ia mendengar berita bahwa di hulu

sungai ada seekor buaya yang sedang mengamuk. Betul juga tupai

mendapati buaya di sungai sedang mengamuk, benda apapun di

dekatnya langsung ditelannya.

Tupai memutar otak untuk dapat masuk ke dalam perut buaya.

Akhirnya tupai melubangi kelapa dan ia masuk ke dalamnya.

Kemudian kelapa dihanyutkan di sungai. Setelah kelapa hanyut di

dekat buaya, kelapa tersebut langsung disambar dan ditelannya bulat-

bulat.

Setelah di dalam perut buaya, tupai keluar dari kelapa. Dengan

leluasa tupai melihat isi perut buaya. Dengan tidak menyia-nyiakan

kesempatan digigitlah hati buaya. Buaya kesakitan dan mati

terdampar di pinggir sungai. Tupai keluar dari mulut buaya. Ia

langsung menuju rumah sahabatnya, si bujuk.

Sesampai di rumah bujuk, hati buaya diserahkannya dan

langsung dimakan oleh si bujuk. Tidak lama kemudian berkat

kebesaran Tuhan, ikan bujuk sembuh dari sakitnya.

“Terima kasih Tali Nyawa, sahabatku,” kata ikan bujuk.

“Semoga persahabatan kita abadi”, kata tupai dan bujuk

serentak. Keduanya berpelukan dengan mesranya.

(Supriyadi, 2006: 82-84).

Page 17: Makalah Sastra Indonesia

16

E. Kegiatan Pembelajaran

1. Kegiatan awal/ pendahuluan

a. Apersepsi, anak menjawab pertanyaan-pertanyaan guru yang berkaitan

dengan dongeng atau cerita rakyat.

Contoh: Pernahkah kalian mendengar dongeng? Senangah kalian

mendengar dongeng? Dongeng apa saja yang pernah didengar? Coba

sebutkan dongeng-dongeng yang ada atau terjadi di daerah kita?

Setelah anak menjawab, kita teruskan dengan pertanyaan berikutnya. Mau

kalian mendengar cerita Bapak? (Cerita bisa langsung disampaikan oleh

guru, bisa juga direkam, disertai dengan lagu-lagu dan musik yang

berkaitan dengan isi dongeng).

b. Motivasi, dilakukan dengan cara guru menyampaikan manfaat kegiatan

pembelajaran dengan materi dongeng.

Umpamanya, kalau rajin mendengar dongeng nanti kalian bisa membuat

dongeng baru atau membuat cerita lain lalu cerita tersebut dapat kalian

dikirimkan ke majalah anak-anak. Tentu kalian akan mendapat uang

imbalan.

c. Menjelaskan tujuan, disampaikan sesuai dengan yang pembelajaran

secara singkat.

2. Kegiatan inti

a. Peserta didik mendengarkan penjelasan guru yang berkaitan dengan

langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan.

b. Peserta didik menyimak sebuah cerita rakyat yang berupa dongeng yang

berasal dari Musi Banyuasin Sumatera Selatan (cerita bisa langsung

disampaikan oleh guru atau dapat juga direkam yang disertai dengan

lagu-lagu dan musik yang berkaitan dengan isi dongeng). Sambil

menyimak peserta didik diberi kesempatan mencatat hal-hal yang

mungkin berguna untuk bahan menceritakan kembali, sebagai tugas

akhirnya.

c. Secara berkelompok, peserta didik mendiskusikan pertanyaan yang

berkaitan dengan isi dongeng. Umpamanya: siapa pelaku cerita itu; di

Page 18: Makalah Sastra Indonesia

17

mana terjadinya peristiwa itu; jelaskan perilaku para pelakunya;

bagaimana hubungan antarpelaku; apa buktinya bahwa kedua pelaku

saling menolong; dsb (kegiatan ini dilakukan dalam rangka menggiring

peserta didik untuk memahami isi cerita).

d. Tiap kelompok melaporkan hasil diskusinya. Pada saat salah seorang

wakil dari suatu kelompok melaporkan, kelompok lain menyimak dan

menanggapinya.

e. Peserta didik memperhatikan tanggapan guru terhadap hasil diskusi tiap

kelompok dan proses diskusi kelas.

f. Peserta didik menceritakan kembali isi cerita dengan kalimat yang runtut

dan mudah dipahami secara tertulis.

3. Kegiatan akhir/penutup

a. Kegiatan refleksi tentang proses dan hasil kegiatan pembelajaran.

Contoh: Bagaimanakah dongeng yang kalian dengar tadi, menarik dan

mengasyikkan bukan? Apa kira-kira kekurangannya? Nah, ternyata

tulisan kalian sudah bagus semua. Jalan ceritanya tepat, isinya lengkap,

kalimat-kalimatnya pun sudah baik dan benar. Hanya ada beberapa dari

kalian yang menuliskan huruf kapital belum tepat. Bapak sangat bangga,

anak-anak sudah mengikuti pembelajaran ini dengan penuh perhatian dan

semangat yang menggebu. Oleh karena itu, hasilnya pun sangat

memuaskan. Selamat anak-anak!

b. Penegasan-penegasan berkaitan dengan tata cara mendengarkan,

menceritakan kembali, dan menuliskannya.

c. Tindak lanjut.

Kegiatan ini berupa pengayaan atau perbaikan. Pengayaan, kalau 85%

dari jumlah peserta didik sudah mendapat nilai 75 (kalau skor 0-100).

Dan lakukan perbaikan kalau peserta didik yang mendapat nilai 75 kurang

dari 85% dari jumlah peserta didik.

Page 19: Makalah Sastra Indonesia

18

Penilaian

Kriteria/ skor

1. Kelengkapan isi cerita: 6 (jika lengkap beri nilai 6, kurang lengkap beri nilai

4, dan jika kurang lengkap sekali beri nilai 2).

2. Ketepatan kalimat: 4 (jika tidak ada yang salah beri nilai 4, salah sedikit beri

nilai 3, dan jika banyak ketidaktepatannya beri nilai 2).

Contoh Dongeng

Dongeng Putri Bungsu dengan Garam

Menurut yang empunya cerita, dahulu kala ada seseorang raja yang

mempunyai beberapa putri. Pada suatu hari dipanggillah mereka untuk

mengetahui bagaimana cinta mereka terhadap orang tuanya.

Putri yang bersulung berkata, “Lebih baik saya kehilangan kedua belah

mataku daripada kehilangan kedua orang tuaku.” Raja sangat puas mendengar

pernyataan anak sulungnya. Kemudian putri yang kedua mendapat giliran untuk

menyatakan pendapatnya. “Saya lebih baik kehilangan kedua belah tanganku

daripada kehilangan orang tuaku,” demikianlah katanya. Atas pertanyaan ini raja

pun merasa sangat bahagia. Selanjutnya putri ketiga menyatakan pendapatnya,

“Lebih baik saya hidup tanpa kedua kakiku daripada tidak ada orang tuaku,”

jawaban ini pun menenangkan hati orang tuanya.

Akhirnya tibalah giliran putri keempat, yaitu putri bungsunya, untuk

menyatakan rasa kasihnya pada kedua orang tuanya. Pernyataannya adalah,

“Lebih baik saya makan tanpa garam daripada harus dipisahkan dari kedua

orangtuaku.” Mendengar pernyataan itu, Sang Raja sangat murka. “Apa? He!

Aku kau samakan dengan garam? Cintamu terhadap orangtuamu hanya sebesar

garam! Jika demikian lebih baik engkau pergi dari sini!” Akhirnya diusirlah si

bungsu serta tidak diakui lagi sebagai putrinya. Kata sang Raja setelah mengusir

putrinya itu dalam bahasa Jawa, “Dadio banyu emoh nyawuk, dadio godhong

emoh nyuwek.” Artinya harfiahnya adalah: “jadi air tak mau nyendok, jadi daun

Page 20: Makalah Sastra Indonesia

19

tidak mau nyobek” dan arti tersiratnya adalah: “sudah tidak mau tahu-menahu

lagi”. Dan dibuanglah putri bungsunya ke hutan dengan menyuruh penggawanya.

Bertahun-tahun telah lewat tanpa ada berita dari putri bungsunya. Pada

suatu hari Sang Raja tersesat di hutan pada waktu berburu dan terpaksa berteduh

di sebuah gubuk yang didiami oleh seorang perempuan muda. Oleh orang

perempuan itu, beliau disuguhi masakan yang sedap-sedap. Sehabis bersantap

berkatalah raja kepada perempuan muda itu, “Masakanmu sebenarnya enak,

tetapi sayangnya hambar kurang asing.” Jawab perempuan muda itu adalah ia

pantang memakan garam, karena dahulu ia pernah ditanya orang tuanya, apakah

ia mengasihi mereka. Jawabnya yang sejujurnya adalah ia lebih baik tidak makan

garam daripada tidak mencinta mereka. Akibat dari pernyataan itu, ia diusir

ayahnya. Sejak itu ia bersumpah tidak akan menyentuh garam lagi.

Mendengar pengakuan itu, sang Raja terkejut karena ternyata perempuan

muda ini adalah putri bungsunya, yang ternyata sangat besar kasihnya

kepadanya, sehingga bersedia melakukan pengurbanan diri sebesar ini. Putrinya

pun segera diakuinya kembali dan diajak pulang ke istana.

Page 21: Makalah Sastra Indonesia

20

DAFTAR PUSTAKA

Bascom, William R. 1965. The Form of Folklore: Prose Narratives. The Hague: Mouton.

Brunvand, Jan Harold. 1968. The Study of American Folklore: An Introduction. New York: W.W. Norton & Company Inc.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

James Danandjaja. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Joko Nurkamto. 2004. “Peningkatan Profesionalisme Guru melalui Reflective Teaching” Pidato Pengukuhan Guru Besar FKIP UNS. 12 Juni 2004.

Suripan Sadi Hutomo. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

Wikipedia, the free encyclopeia. 2006. Cerita Rakyat. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cerita_rakyat). Diakses tanggal 2 Februari 2008.

(http://cybernews.cbn.net.id/ detil.asp?kategori=BusRep&newsno=61). Diakses 25 Maret 2008.