Makalah Kajian Sastra M2

21
Makalah PARADIGMA SOSIOLOGI SASTRA NILAI PENDIDIKAN DALAM BUKU KAJIAN NOVEL SPEKTROSKOP FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN KAITANYA DENGAN KRITIK SASTRA ROLAND BARTHES Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kajian Sastra Dosen Pengampu ; Dr. Suyitno, M.Pd Oleh : RONANING TIYAS (S841408033) PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

description

bebas

Transcript of Makalah Kajian Sastra M2

Makalah PARADIGMA SOSIOLOGI SASTRA NILAI PENDIDIKAN DALAM BUKU KAJIAN NOVEL SPEKTROSKOP FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN KAITANYA DENGAN KRITIK SASTRA ROLAND BARTHES Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata KuliahKajian SastraDosen Pengampu ; Dr. Suyitno, M.Pd

Oleh :RONANING TIYAS(S841408033)

PROGRAM PASCA SARJANAPENDIDIKAN BAHASA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS SEBELAS MARET2014

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahSastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren (1976) membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut:Literature is a social institution, using as its medium language, a socialcreation. They are conventions and norm which could have arisen only in society.But, furthermore, literaturerepresentlife; andlifeis, in largemeasure, a social reality, eventhough the natural world and the inner orsubjective world of the individual have also been objects of literaryimitation. The poet himself is a member of society, possesed of a specificsocial status; he recieves some degree of social recognition and reward; headdresses an audience, however hypothetical. (1976:94).Senada dengan pernyataan diatas, Ratna (2012 :1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, danantarperistiwa yang terjadidalam batin seseorang.Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Ratna, 2012:3).Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.

B. RUMUSAN MASALAH1. Bagaimanakah paradigma kaitanya dengan Sosiologi sastra Nilai Pendidikan dalam buku kajian Novel Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan ?2. Bagaimanakah Paradigma Roland Barthes kaitan kritik sastra Moderenisme dan Postmodernisme tentang Sosiologi Sastra ?C. Tujuan1. Mengetahui paradigma kaitanya dengan Sosiologi sastra Nilai Pendidikan dalam buku kajian Novel Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan.2. Mengetahui Paradigma Roland Barthes kaitan kritik sastra Moderenisme dan Postmodernisme tentang Sosiologi Sastra

BAB IIPEMBAHASAN

A. SOSIOLOGI SASTRA1. Sosiologi SastraSecara etimologi, sosiologi berasal dari kata sosio atau society yang bermakna masyarakat dan logi atau logos yang artinya ilmu. Jadi sosiologi dalam arti sederhana adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat. Dalam arti yang lebih luas lagi sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Oleh karena itu dalam pendekatan sosiologis biasanya yang dianalisis adalah manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat sampai kedalam manusia sebagai individu.Menurut Ratna (2012:61) dasar pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh:a. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarangb. Pengarang itu sendiri adalah masyarakatc. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakatd. Hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut menangani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Ratna 2012:67).Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula (Luxenburg, Bal, dan Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas hubungan antara pengarang dengan masyarakat dan hasil berupa karya sastra dengan masyarakat. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.2. Nilai Pendidikan dalam buku kajian Novel Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan.Berangkat dari pesan yang disusungnya, Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla menyuarakan perlunya tata nilai yang berkesetaraan dan berkeadilan antara seksis perempuan dan seksis laki-laki. Pengarang Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla ikut meletakkan dasar-dasar bermasyarakat melalui kegiatan olah imajinasi karena mereka sadar bahwa imajinasi berperan menghubungkan pengalaman dengan proposisi logis yang dapat berkembang menjadi pembentuk teori. 2.1 Sikap Pemikiran yang Berkaitan dengan Pengucapan Ideologi FeminismeDiantara sikap pemikiran yang harus dikembangkan dalam menghadapi pengucapan ideology feminisme teks adalah masyarakat harus bersikap realistis. Feminisme sebagai entitas social yang tidak akan pernah berhenti melakukan negoisasi-negoisasi dengan budaya patriarki adalah sebuah realitas sosial.Feminisme adalah agen subjek politik relasi kuasa yang berdaulat untuk memperjuangkan, melawan, dan memfungsikan dirinya sebagai pengubah kehidupan perempuan menuju kesejatian representasinya. Feminisme teks Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla harus dianggap sebagai organisme hidup nirjasmani. Pembawa misi agen subjek politik relasi kuasa yang berdaulat untuk menyuarakan aspirasinya.

2.2 Sikap Pemikiran yang Berkait dengan Ideologi Feminisme Genetik TeksTeks Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla harus dianggap sebagai karya idealisasi materi murni yang menempatkan penciptaanya sebagai pemancar (sender) yang mengirim hal ideal kepada pembaca. Pengucapan ideologi Teks Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla harus dianggap sebagai keniscayaan komunikasi bahwa selain perbedaan adalah pemberian tetapi perbedaan juga mengandung implikasi pilihan. Pengucapan ideologi feminisme teks Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla harus dianggap sebagi letupan kerinduan keterus terangan alam bawah sadar kolektif perempuan dan komitmen perempuan yang menyadari keperempuanya atasa adanya hegemoni patriarki. Wacana-wacana Saman, Tarian Bumi, Geni Jora, dan Nayla adalah wacana pluralism dan multikulturalisme yang sekarang barangkali sedang menuju puncak semai.B. Paradigma Roland Barthes kaitan kritik sastra Moderenisme dan Postmodernisme tentang Sosiologi Sastra1.1 Paradigma Roland Barthes Matinya PengarangRoland Barthes, melalui diskursus postmodernisme, menampiknya. Konsep pengarang semacam itu, yang muncul sejak Abad Pertengahan bersama semangat Cartesian (melalui cogito ergo sum itu), bagi Barthes sudah tak punya tempat lagi, yang kemudian lebih ia pertegas dalam metafor lain; pengarang telah mati (The Death of The Author, 1977). Makna kematian di sini, menjelaskan bahwa bukan pengarang yang bicara, tapi bahasa,...hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (pengarang). Kematian sang penulis, menurut Barthes, selalu diikuti dengan kelahiran pembaca. Dia berbeda dengan pembaca pada tradisi modernisme. Dia tidak lagi terbelenggu dengan tirani penulis. Pada saat membaca suatu karya, dia bebas terbang ke mana saja, menembus dinding tebal gagasan penulis, serta melampaui kejeniusan penulis itu sendiri. Dengan kata lain, wafatnya penulis diikuti dengan kebebasan pembaca untuk berpatisipasi menghasilkan pluralitas makna dalam teks. Dengan kata lain, biografi penulis, sejauh mendukung gagasan yang ditulisnya, menjadipenting sebagai aspek referensial. Sesungguhnya pada bagian satu inilah pusat terbersitnya apa yang tertulis pada judul buku yang cukup menghenyakan ini,Matinya Dunia Sastra.Di bagian ini, ketiga tulisan bisa dikatakan berkesinambungan secara langsung sebagai perkembangan dari tema dunia sastra (kritik) yang mengalami kemerosotan atau kematian. Mula-mula Saidi berkisah latar belakang bahwa latar belakang dirinya yang secara geografis dan budaya terbelakang, mempengaruhi perjalanan terhadap pemilihan jalan hidup. Dia menyodorkan kisah kampung halamannya( Uwak Ajengan) yang begitu rajin tentang tema-tema yang berhubungan dengan agama tanpa memerhitungkan (memedulikan) apakah tulisan itu akan dimuat di media massa, sebab kenyataannya tokoh itu menulis sesuai dengan keyakinannya dan begitu besar kepercayannya pada teks. Hal inilah barangkali yang menjadi spirit hidup Saidi untuk terus konsisiten berdekatan dan melakukan pekerjaan menulis.

1.2 Kritik sastra ModerenismeKritik sastra indonesia modern selama ini merupakan bagian integral dari cara pandang sastra modern yang berkisar pada soal oposisi hierarkis antara kebenaran dengan kesemuan; kenyataan dengan representasi; dan kedalaman dengan permukaan (Faruk; 2012:16). Pertama, memunculkan anggapan bahwa sastra mengungkap kebenaran di balik permukaan, sehingga karya sastra tidak mudah dipahami. Hal ini yang memunculkan kritik sastra sebagai mediator antara karya sastra dan pembaca. Kedua, munculnya anggapan bahwa sastra popular juga menunjukkan tataran permukaan belaka, maka karya sastra yang layak dikaji adalah sastra serius. Ketiga, sebab karya sastra otonom, kritikus dituntut memahami sastra sebagai sebuah dunia yang berdiri sendiri. Keempat, kritikus bertugas menunjukkn tingkat kekonkretatan imajinasi-imajinasi sastra sambil sekaligus mengamati kekuuatan sugestifnya dalam mengarahkan imajinasi konkret yang bersifat permukaan itu menuju dunia makna yang bersifat universal dan ada di kedalaman. Kelima, upaya konkretais itu dimaksudkan untuk membangun keterlibatan, membuat pembaca terlibat, mengalami langsun di sana, tidak hanya memahami secara rasional. Tugas kritikus harus diarahkan ke arah itu.

1.3 Kritik Sastra PostmodernismeSebagai bagian integral dari karya-karya postmodernisme, Faruk (2012:17) kritik sastra postmodern pun seharusnya atau sepantasnya menganut paham realism kultural. Menegaskan kembali sifat kultural dari apa yang disebut dengan realitas, yang nyata, yang alamiah, dan karenanya benar. Pertama, kritik sastra postmodern harus mempertanyakan kembali posisinya sebagai mediator antara sastrawan dengan masyrakat, posisinya sebagai juru penerang sastrawan bagi masyrakat yang dianggap bodoh. Hubungan antara kritik sastra dengan karya sastra bukan hubungan antar penyampai kebenaran. Karya sastra ada kecenderungan untuk menjadi semacamteori sastra sastra itu sendiri.Begitu sebaliknya, teori-teori sastra postmodern menggunakan wacana literer. Kedua,kritikus harus berusaha menemukan pertemuan antar kedua wacana tersebut.Kedua, kritik sastra tidak selalu mengabdi kepada karya sastranya. Ketiga, karya satra postmodern tidak hanya menyingkirkan pemisahan hierarkis antara sastra serius dengan sastra populer,melainkan bahkan antara wacana sastra dengan berbagai wacana lainnya. Keempat, kritikus harus melaukan analisis semiotik dan intertekstual sebab karya sastra sebagai aktivitas diskursif, bukan lagi bangunan otonom. Kelima, kritikus tidak perlu memahami. karya sastra sebagia sebuah bangunan dunia yang utuh, mengadung koherensi. Karya sastra postmodern cenderung menempatkan makna sebagai jejak dalam dalam pengertian Derridian.Keenam, kritik sastra harus memberikan perhatian pada soal pembentukan dan pencampuran berbagai identitas. Ketujuh, kritik sastra selayaknya berusaha menemukan berbagai kemungkinan suara, gagasan mengenai dunia, yang nyata dan yang benar, dalam karya sastra tertentu dengan melakukan analisis dialogis Bakhtinian. Kedelapan, karena masih menggunakan konvensi estetik modern maupun yang lain, kritik sastra postmodern masih dapat dan perlu menggunakan konsep-konsep kritik sastra modern, misalnya soal keterlibata pada dunia. pengalaman.

BAB IIIPENUTUPA. SimpulanMemperhatikan kecenderungan kritik sastra modern dan kritik sastra postmodern dengan paradigma sastra maka dapat disimpulkan bahwa kritik modernism termasuk ke dalam paradigma Kritik Humanisme dan Pembentukan Subjek, sedangkan kritik postmodernisme terangkum ke dalam paradigma Kritik Diskursif atau Pasca-Strukturalisme. Pemasukan katagori yang pertama sebab, menurut Faruk (2012:5), kritik sastra humanis merupakan bagian dari formasi diskursif modernis. Pemasukan katagori kedua disebabkan oleh adanya wacana (parole), yang merupakan asumsi dasar dalam kritik diskursif atau pasca-struktural.Sebagai distributor wacana, penulis berhak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya dari pembaca, kerena telah bersusah payah membuka jendela pengetahuan bagi banyak manusia. Namun, penghargaan itu jangan sampai membuat kita kehilangan energi untuk bersikap kritis terhadap suatu karya. Akhirnya, hanya dua kata untuk menumbuhkan dan merawat sikap kritis: bunuh penulis.

Daftar Rujukan

Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Suyitno, 2014. Kajian Novel Spektroskop Feminisme dan Nilai Pendidikan. Yogyakarta. Graha IlmuWellek, Rene dan Asustin Werren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.