Kajian Bahasa Dan Sastra

29
MENUJU ERA MULTIDISIPLINER DALAM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA Oleh: Djoko Saryono Abstrak: Makalah ini secara ringkas- konseptual membeberkan pergeseran gerak divergensi ke gerak konvergensi dalam ilmu- ilmu modern. Terkait dengan itu, dibeberkan juga pergeseran ideologi monodisipliner ke ideologi multidipliner baik dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya maupun dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Pergeseran gerak dan ideologi tersebut terbukti telah menghindarkan ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu emansipatoris, dan ilmu-ilmu hermeneutis khususnya ilmu bahasa dan ilmu sastra dari “senjakala kematian”, sebaliknya malah berkembang baik sekarang. Sekarang makin banyak kajian bahasa dan kajian sastra berparadigma, berpendekatan, dan atau berteori multidisipliner. Era multidisipliner pun makin kuat dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Kata Kunci: ilmu-ilmu, ideologi, divergensi, konvergensi, monodisipliner, multidisipliner Dunia modern selama ini telah didominasi kerangka berpikir positivistik. Berdasarkan konsep-konsep metodologi ilmiah dan pemilahan

Transcript of Kajian Bahasa Dan Sastra

Page 1: Kajian Bahasa Dan Sastra

MENUJU ERA MULTIDISIPLINERDALAM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA

Oleh: Djoko Saryono

Abstrak: Makalah ini secara ringkas-konseptual membeberkan pergeseran gerak divergensi ke gerak konvergensi dalam ilmu-ilmu modern. Terkait dengan itu, dibeberkan juga pergeseran ideologi monodisipliner ke ideologi multidipliner baik dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya maupun dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Pergeseran gerak dan ideologi tersebut ter-bukti telah menghindarkan ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu eman-sipatoris, dan ilmu-ilmu hermeneutis khususnya ilmu bahasa dan ilmu sastra dari “senjakala kematian”, sebaliknya malah berkembang baik sekarang. Sekarang makin banyak kajian ba-hasa dan kajian sastra berparadigma, berpendekatan, dan atau berteori multidisipliner. Era multidisipliner pun makin kuat dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra.

Kata Kunci: ilmu-ilmu, ideologi, divergensi, konvergensi, mon-odisipliner, multidisipliner

Dunia modern selama ini telah didominasi kerangka berpikir positivistik. Berdasarkan konsep-konsep metodologi ilmiah dan pemilahan yang ketat antara pengetahuan empiris dan pu-tusan nilai, nilai positivistik menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi perang terhadap segala bentuk pseudo-ilmiah dan segala sesuatu yang non-ilmiah. Positivisme berupaya hendak membuka topeng dasar-dasar normatif – yang non-kognitif, subjektif, irasional – dari pandangan global tentang manusia dan masyarakat yang selama ini digunakan sebagai peneguh sistem-sistem etis dan politis tertentu. ... Ideologi positivistik kemudian berlaku sebagai dasar legitimasi seluruh aspek ke-hidupan ...[Sindung Tjahyadi, Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas, dalam Zainal Abidin Bagir dkk, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama.

Page 2: Kajian Bahasa Dan Sastra

Bandung, Penerbit MIZAN, hlm. 71)

Dalam makalah ini dicoba dibeberkan ihwal pertumbuhan dan

perkembangan paradigma dan kecenderungan kajian bahasa dan

sastra secara ringkas-konseptual. Pembeberan itu dilakukan dengan

mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern

pada umumnya terutama paradigma dan kecenderungan ilmu-ilmu

modern karena -- setuju atau tidak – paradigma dan kecenderungan

umum telah mendominansi, malah menghegemoni ilmu-ilmu yang

tumbuh-berkembang semasa modern. Dengan kata lain, paralelisme

tersebut menginformasikan bahwa apa yang berkembang dalam

ilmu-ilmu modern pada umumnya berkembang pula dalam ilmu-ilmu

khusus tertentu, misalnya apa yang berkembang dalam ilmu-ilmu

analitis atau ilmu-ilmu kealaman berkembang pula dalam ilmu ba-

hasa dan ilmu sastra sebagaian bagian ilmu-ilmu hermeneutis atau

ilmu-ilmu kemanusiaan.

Sebagaimana telah diketahui, ilmu-ilmu modern pada umum-

nya tumbuh dan berkembang sangat pesat berkat pumpunan atau

dorongan gerak divergensi yang membuahkan monodisiplineritas

ilmu. Akan tetapi, akibat pelbagai kekurangan, keterbatasan, dan

kelemahan yang secara inheren dimiliki dan dikandung oleh gerak

divergensi, kemudian “ditanggapi, disempurnakan, diperbaiki, dan

dicanggihkan serta digeser” oleh gerak konvergensi yang mem-

buahkan multidisiplineritas ilmu. Karena itu, dapat dikatakan, gerak

konvergensi sekarang tengah menggeser, menggantikan, atau

hanyalah melengkapi gerak divergensi dalam ilmu-ilmu modern. Di

sinilah dapat disaksikan pergeseran atau pergantian pendulum di-

vergensi ke arah pendulum konvergensi. Hal ini terjadi juga dalam

ilmu bahasa dan ilmu sastra: gerakan pendulum divergensi tengah

ditanggapi, digeser, dilengkapi, atau malah digantikan oleh gerakan

Page 3: Kajian Bahasa Dan Sastra

konvergensi dalam bingkai era multidisiplineritas. Setelah secara

umum membeberkan seluk-beluk gerak pendulum divergensi dan

monodisipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner,

makalah ini membeberkan gerak pendulum divergensi dan mono-

disipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner dalam

ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam kajian bahasa dan sastra seba-

gai bagian terpadu ilmu-ilmu hermeneutis. Dengan demikian, di-

harapkan dapat diketahui nalar kajian bahasa dan sastra yang multi-

disipliner.

FAJAR ERA MONODISIPLINER

Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu

modern, falsafah rasionalisme Cartesian [baca: ala Rene Descartes]

atau rasionalitas, yang kemudian diperkaya atau diperkuat oleh fal-

safah positivisme Comtian [baca: ala August Comte] atau positivitas,

menjadi pupuk-subur atau landasan awal-utama kemodernan ilmu-

ilmu [Descartes, 1999; Suriasumantri, 1999; Nasution, 2000; Tjahyadi,

2005; Wilardjo, 2005]. Beralaskan rasionalisme dan positivisme itu,

fajar kemodernan dalam bidang ilmu-ilmu ditandai oleh semangat un-

tuk menerapkan metode ilmiah yang notabene sangat positivistis-em-

piris secara ketat-padat (rigorous) di samping memandang objek

pengetahuan ilmiah [baca: alam semesta dan alam manusia] secara

mekanistis ala Newton [baca: bukan holistis sebagai jejaring kehidu-

pan ala Capra] sekaligus profanistis [baca: bersifat tidak transenden

atau sekular!] [Capra, 2007; Hardiman, 2009]. Hal ini bertujuan agar

diperoleh sebuah validitas dan kepastian temuan ilmiah berdasarkan

bukti-bukti empiris dan pengujian empiris-real, terlepas dari pandan-

gan-pandangan mistis dan religius atau spiritualistis, apalagi pandan-

gan akal sehat semata-mata, common sense belaka [Tjahyadi, 2005;

Wilardjo, 2005]. Asas keketatan, kepastian, dan validitas tersebut dit-

erapkan secara konsekuen dan konsisten dalam metode ilmiah den-

Page 4: Kajian Bahasa Dan Sastra

gan maksud agar dapat diperoleh hasil kajian atau temuan yang

seilmiah-ilmiahnya (seilmiah mungkin) berupa kebenaran ilmiah

bersistem yang relatif permanen; memiliki hipotetikalitas sangat

tinggi atau proposisi-proposisi yang bertali-temali secara sistemis,

yang sekarang pada umumnya disebut ilmu atau teori. Demikian juga

padangan mekanistis sekaligus profanistis tentang objek penge-

tahuan ilmiah [baca: model dunia yang mekanistis ala Newton] diter-

apkan secara konsekuen dan konsisten supaya diperoleh keilmiahan

dan kesahihan teori secara meyakinkan, dalam arti benar-benar em-

piris [Capra, 2006; 2007]. Dari sinilah kemudian tumbuh-menguat

keyakinan bahwa validitas, keketatan, dan kepastian temuan ilmiah

dapat dicapai dengan metode ilmiah bercorak mekanistis, profanistis,

dan empiris. Selanjutnya, berkembanglah pandangan bahwa yang

disebut ilmu atau minimal teori selalu bersifat empiris, profanistis,

bahkan mekanistis [Capra, 2007; Smith, 1999]. Yang dapat memenuhi

persyaratan seperti ini dipandang objektif atau memiliki objektivitas.

Objektivitas ini menjadi obsesi semua ilmu modern dan juga semua il-

muwan di samping menjadi standar semua ilmu modern. Di sinilah il-

muwan mengganggap diri memiliki kebebasan ilmiah dan meyakini

netralitas ilmu, tanpa harus terikat oleh hal-hal mistik dan religiositas

serta sosial-kemanusiaan [bandingkan dengan Suriasumantri, 1999].

Lama-kelamaan hal tersebut dianggap berlaku universal sehingga

berkembanglah pandangan tentang universalitas ilmu-ilmu modern

kendati seharusnya tidak demikian [Smith, 1999; Fauzi, 2003].

Di bawah naungan semangat kebebasan ilmiah, netralitas, ob-

jektivitas, dan universilitas ilmu-ilmu tersebut di atas, lantas lahirlah

gerakan memisah-misahkan diri atau membagi-bagi diri (divergensi)

dalam tradisi ilmu-ilmu modern terutama ilmu-ilmu (ke)alam(an) atau

ilmu analitis, kemudian diikuti ilmu-ilmu humaniora atau ilmu

hermeneutis dan ilmu-ilmu sosial modern atau ilmu emansipatoris

yang memang berkembang berkat meniru atau meneladani model

Page 5: Kajian Bahasa Dan Sastra

ilmu-ilmu alam [Habermas, 1990; Hardiman, 2009]. Di sinilah gerak

divergensi (menyebar menjadi kecil-kecil) ilmu-ilmu dimulai dan

menggelinding-meluncur dengan begitu cepat. Gerak divergensi

perkembangan ilmu-ilmu ini sepanjang zaman modern [terutama dim-

ulai pada awal sampai dengan akhir Abad XX lalu] telah melahirkan

pelbagai disiplin ilmu baru yang khusus, bahkan sangat khusus (san-

gat teknis), misalnya urologi dalam kedokteran dan entomologi dalam

biologi, – yang jumlahnya demikian banyak dan melimpah ruah. Di

sini spesialisasi dan partikularisasi ilmu-ilmu terjadi dan kemudian

berlangsung secara radikal sangat (baca: mendasar), malah luar bi-

asa. Tidak mengherankan, berpuluh-puluh disiplin ilmu spesialistis-

partikular baru (kadang-kadang dibaca: cabang-cabang ilmu, mungkin

malah ranting-ranting ilmu!) tumbuh dan berkembang dari “pokok po-

hon” disiplin ilmu tertentu. Misalnya, ilmu kedokteran telah beranak-

pinak secara luar biasa menjadi urologi, dentologi, neurologi, dan se-

bagainya; ilmu bedah menjadi bedah umum, bedah tulang, bedah

syaraf, dan sebagainya. Ilmu hukum melahirkan cabang ilmu hukum

pidana, hukum perdata, hukum ekonomi, hukum bisnis, hukum

perikatan, hukum laut (akan tetapi, mungkin aneh, setakat kini belum

ada hukum darat atau hukum udara lho!), dan lain-lain. Ilmu ekonomi

melahirkan cabang ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi pem-

bangunan, dan sebagainya. Ilmu bahasa melahirkan cabang atau

ranting fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan seba-

gainya. Ilmu sastra melahirkan sejarah sastra, teori sastra, kritik sas-

tra, dan apresiasi sastra beserta berbagai madzab turunannya;

sekadar contoh, kritik sastra terbagi menjadi kritik sastra akademis,

kritik sastra popular, dan kritik sastra Koran. Jika diperhatikan secara

cermat dan lengkap, niscaya dapat diketahui bahwa yang berkem-

bang sudah bukan cabang ilmu semata-mata, melainkan sudah sam-

pai pada ranting atau dahan ilmu-ilmu!

Page 6: Kajian Bahasa Dan Sastra

Masing-masing disiplin ilmu yang telah berkembang demikian

yakin akan adanya suatu ontologi ilmu [baca: keberadaan ontologi]

yang bisa dikaji secara tuntas [heuristis], seolah-olah ada-nyata-

hadir objek yang dapat dikaji secara tuntas dan jelas [baca: heuristis

dan eksplanatif]. Diyakini di sini bahwa ontologi itu ada dan tak

perlu diragukan keberadaannya. Diyakini juga bahwa epistemologi

ilmu niscaya mampu mengobservasi, mendeskripsi, dan mengeks-

planasi realitas secara tepat-cermat. Dalam hubungan ini episte-

mologi dipandang mampu menghadirkan ontologi secara persis den-

gan presisi tinggi. Seiring dengan itu, masing-masing disiplin ilmu

pun membentuk-membangun bangunan epistemologis dan metodol-

ogis yang sangat tangguh, kokoh, ketat, dan ‘bertembok tinggi’ ser-

aya mencampakkan atau mengeliminasi jauh-jauh keberadaan aksi-

ologi ilmu (katanya ini bukan tugas ilmuwan). Di sinilah aksiologi

ilmu dianggap bukan urusan ilmuwan lagi atau urusan ilmu karena

ontologi dan epistemologi ilmu diyakini netral dan objektif dari ke-

pentingan-kepentingan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu berkat

sterilisasi-sofistikasi objek dan metode. Tak ayal lagi, antara disiplin

ilmu (spesialistis-partikular) yang satu dan disiplin ilmu yang lain

tidak (boleh dilihat) berhubungan dan tak dapat saling melengkapi;

praktis tak ada saling sapa, apalagi saling-silang, antara satu disiplin

ilmu dan disiplin ilmu lain – saling-sapa seakan-akan sebuah dosa,

paling tidak kesalahan, lebih-lebih saling-temu dan saling-kerjasama

dianggap “terlarang hukumnya”. Saling hubungan di antara disiplin

dianggap sebagai “cinta terlarang” [pinjam judul lagu Andi Meriem

Mattalata atau The Virgin], bahkan juga “rindu terlarang” [pinjam

judul lagu popular Broery dan Dewi Yull]. Dalam konteks ini berkem-

bang pendirian bahwa satu teori (yang mengacu pada satu ontologi

tertentu) selalu membawa konsekuensi satu metodologis tertentu;

satu teori cocok dengan satu metodologi tertentu atau sebaliknya;

satu teori dan metodologi untuk satu penelitian. Hampir-hampir tak

Page 7: Kajian Bahasa Dan Sastra

ada pandangan: satu metodologi untuk banyak teori atau banyak

teori menggunakan banyak metodologi.

Sehubungan dengan itu, pada sepanjang Abad XX (kecuali

mulai 15 tahun terakhir Abad XX) dapat disaksikan dua watak-dasar

yang sangat penting-menonjol dalam perkembangan ilmu-ilmu mod-

ern, yaitu, pertama, betapa tertutupnya bangunan ontologis, episte-

mologis, teoretis, dan metodologis ilmu-ilmu (spesialistis-partikular)

kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora; dan kedua, betapa

sibuknya masing-masing disiplin ilmu membangun “tembok-kokoh”

dan “tembok-pemisah” disipliner dengan mengabaikan keberadaan

disiplin ilmu-ilmu lain atau kerja-sama ilmu-ilmu; kerja-sama ilmu-

ilmu dan gabung-ilmu-ilmu benar-benar dianggap “cinta terlarang”.

Meminjam lirik manis maestro pernyanyi Broery dan Dewi Yull dalam

lagu Rindu Terlarang: sekarang “/di antara ilmu-ilmu memang tak

pantas [baca: satu disiplin ilmu – penulis] mengkhayal tentang

dirimu [baca: disiplin ilmu lain – penulis]/sebab kau tak lagi [baca:

disiplin ilmu lain] seperti yang dulu/kendati berat rasa rinduku [baca:

satu disiplin ilmu] kepadamu [baca: disiplin ilmu lain]/biarkan

kuhadang rinduku [baca: satu disiplin ilmu] terlarang [bertemu disi-

plin ilmu lain]/”. Di sinilah dapat disaksikan merebaknya dan kemu-

dian menguatnya era (masa) monodisipliner! [Horgan, 2005; Piliang,

2005; Smith, 1999].

Fajar era monodisipliner disertai dengan berkembangnya dan

atau menguat-menonjolnya [sebutlah] ‘ideologi’ kemonodisiplineran

dalam ilmu-ilmu (bolehlah disebut: monodisiplinerisme) pada umum-

nya – baik ilmu-ilmu alam atau ilmu analitis, ilmu-ilmu sosial atau

ilmu emansipatoris maupun ilmu-ilmu humaniora atau ilmu

hermeneutis. Monodisiplinerisme mewawasi, melandasi, dan meng-

gerakkan segenap ilmu-ilmu dalam bekerja. Kerja ilmu dan temuan

teori dikendalikan oleh monodisiplinerisme semata. Dalam bekerja

Page 8: Kajian Bahasa Dan Sastra

ini, ‘ideologi’ monodisiplinerisme ini meyakini empat hal berikut.

Pertama, ilmu-ilmu apapun harus mengejar tujuan dan kepentingan

tertentu yang melekat [inheren] dalam dirinya sendiri [internal],

bukan mengejar suatu tujuan dan kepentingan di luar dirinya [ek-

sternal], misalnya kepentingan kemanusiaan; kepentingan kemanu-

siaan merupakan soal aksiologi ilmu yang bukan urusan langsung

ilmu. Kedua, ilmu-ilmu apapun harus bekerja dengan asas-asas disi-

pliner(itas) yang ketat dan pasti yang dimilikinya dan dalam batas-

batas cakupan yang telah ditetapkan, bukan asas ketuntasan

masalah tertentu yang harus dikajinya dan kememadaian jawaban

atas masalah-masalah keilmuan. Ketiga, ilmu-ilmu apapun perlu

bekerja dengan satu teori dan metode(logi) yang sesuai dengan tu-

juan dan kepentingan monodisipliner, tidak perlu atau tidak boleh

bekerja dengan piranti-piranti teoretis dan metodologis dari luar

bidang; pencampuran atau penggunaan dua atau lebih teori dan

metodolgi dalam suatu kajian ilmiah disebut dengan nama eklekti-

sisme [catat baik-baik: namanya saja sudah “merendahkan”!],

bukan disebut multidisiplineritas atau interdisipliner. Terakhir, keem-

pat, ilmu-ilmu apapun wajib mengusung objektivitas-empiris yang

notabene posivistis (yang sering hanya menjadi objektivisme) seba-

gai pilar sekaligus tolok ukur (tunggal?) aktivitas penelitian ilmiah

termasuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya; tak ayal objek ilmu-

ilmu alam, sosial, dan humaniora sama-sama (di)-mati-(kan). Enti-

tas, watak, dan sifat objek ilmu-ilmu sosial atau ilmu emansipatoris

dan apalagi ilmu-ilmu humaniora atau ilmu hermeneutis yang

sesungguhnya amat hidup, cair-lunak, dan mudah-bergerak pun

harus dimatikan supaya memperoleh status keilmiahan yang kokoh.

Empat keyakinan tersebut mengakibatkan kuatnya pandan-

gan bahwa penggunaan satu teori dan metodologi dalam kegiatan

penelitian sangat baik dan paling sah, sedangkan penggunaan

Page 9: Kajian Bahasa Dan Sastra

berbagai teori dan metodologi secara serempak dalam suatu

kegiatan penelitian tidak sah dan jelek, bahkan terlarang. Penggu-

naan dua atau lebih teori dan metodologi dalam kegiatan penelitian

disikapi sebagai oportunisme epistemologis dan metodologis alias

mau enaknya sendiri, tidak mau bersusah-susah, bukan dipandang

sebagai perluasan empiris teori! [simak Kleden, 1987; Fauzi, 2003;

Hardiman, 2008; 2009]. Pendek kata, kerja-sama ilmu-ilmu yang

maujud [manifest] dalam penggunaan dua atau lebih teori dan

metode dalam suatu kerja ilmiah dipandang negatif – yang secara

peyoratif sering disebut sebagai eklektisisme. Di Indonesia, hal

tersebut berkembang sangat kuat semenjak dasawarsa 1970-an dan

1980-an. Istilah eklektisisme (atau pendekatan eklektis) dipersepsi

kurang memiliki nilai akademis dan keterandalan atau validitas

ilmiah di samping dipandang lemah bangun-teori dan bangun-

metodologinya. Alhasil, penelitian yang tercermin dalam penggu-

naan dua atau lebih teori dan metode praktis tak mendapat tempat

dalam aktivitas penelitian karena dilihat sebagai eklektis, tidak dili-

hat sebagai multidisipliner atau interdisipliner [simak Kleden, 1987].

Roman Jakobson – salah seorang tokoh terkemuka bidang

fungsionalisme ilmu bahasa di samping tokoh kajian sastra – men-

gatakan bahwa semua teori dan metodologi yang berwatak mono-

disipliner-posivistis-partikular niscaya bakal bocor atau “kedodoran”

mengeksplanasi objek ilmu. Maksudnya, bahwa tidak ada kesempur-

naan dan kelengkapan teori dan metodologi apapun – kesempur-

naan hanyalah ilusi, utopia atau halusinasi [Jakobson, 2000] – se-

hingga klaim kesempurnaan dan kelengkapan suatu teori dan

metodologi justru akan menimbulkan banyak masalah epistemolo-

gis. Sebagaimana diketahui bersama, ‘ideologi’ monodisipliner-posi-

tivis-spesialistis tersebut belakangan hari memang menimbulkan

berbagai persoalan kritis, genting, dan krusial dalam kegiatan

Page 10: Kajian Bahasa Dan Sastra

penelitian dan kemudian juga persoalan teori dan metodologi. Per-

soalan kritis, genting, dan krusial yang dimaksud adalah (1)

masalah-masalah dalam kehidupan manusia ternyata banyak yang

tidak dapat dikuak, dijawab, diselesaikan, dan diatasi oleh ilmu-ilmu

disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu disipliner yang

spesialistis-partikular kehilangan relevansi dan nilai guna dalam

masyarakat, dan (3) bangunan teoretis dan epistemologis atau

metodologis ternyata mengalami ‘kebocoran serius’ sehingga klaim-

klaim teoretis dan metodologis dari ilmu-ilmu disipliner (yang spe-

sialistis-partikular) banyak yang tidak andal dan tak dapat dian-

dalkan; dan (4) watak ideologis (dan subjektivistis) ilmu-ilmu disi-

pliner tidak dapat diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam

konteks kepentingan masyarakat, bisa jadi hanya kepentingan

kekuasaan non-demokratis; serta (5) watak ilmu-ilmu monodisipliner

terbukti sangat orientalistis dan kolonialistis sebagaimana dike-

mukakan oleh Fauzi, Said, dan Linda Smith [Fauzi, 2003; Horgan,

2005; Piliang, 2005; Said, 2001; Smith, 1999].

Beberan tersebut di atas menunjukkan bahwa ilmu-ilmu mod-

ern monodisipliner-positivis yang mengklaim universal sungguh

sarat dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan sehingga senan-

tiasa berada di bawah hegemoni kepentingan dan kekuasaan ter-

tentu [Fauzi, 2003; Hardiman, 2008; 2009; Habermas, 1990; Said,

2001]. Tidak mengherankan, banyak pihak memaklumkan bahwa

ilmu-ilmu modern monodisipliner yang posivistis-spesialistis-partiku-

lar telah berada pada senjakala kematian [the end of science] [Hor-

gan, 2005; Smith, 1999]. Di sini senjakala kematian dalam arti seba-

gai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, pele-

buran dan pencampuradukan, dan kondisi tidak ada lagi objek [ilmu

pengetahuan] itu sendiri [Horgan, 20005; Piliang, 2005]. Dalam

keadaan seperti ini, meminjam istilah Piliang [2005], manusia hanya

Page 11: Kajian Bahasa Dan Sastra

menemukan “puing-puing ilmu pengetahuan”, tidak ada lagi keu-

tuhan ilmu. Sayang sekali, itu semua kurang disadari semenjak dini

oleh para ahli (ilmu spesialistis-partikular) atau ilmuwan spesialis-

partikular sehingga tak dapat ditanggulangi dengan segera.

GERAK KONVERGENSI ILMU-ILMU

Guna mengatasi berbagai permasalahan kritis, genting, dan

krusial tersebut, banyak pihak terutama “ilmuwan alternatif” [bukan

ilmuwan mainstream] mulai berpikir tentang bagaimana titik-temu,

saling-silang, dan kerja-sama ilmu-ilmu beserta dengan metode-

metode penelitian tertentu dimungkinkan sembari berpikir tentang fil-

safat ilmu alternatif khususya ontologi, epistemologi, dan aksiologi al-

ternatif [Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Saling-silang dan

kerja-sama itu disertai usaha-usaha mempertanyakan pendirian-

pendirian filsafat ilmu yang ada; misalnya, dipertanyakan apakah me-

mang benar-benar ada kenyataan ontologis ilmu-ilmu; apakah episte-

mologi ilmu-ilmu mampu membeberkan kenyataan; dan apakah aksi-

ologi ilmu menjadi bagian penting pengkajian keilmuan [simak Hor-

gan, 2005; Hardiman, 2009; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Menurut Pil-

iang [2005], inilah titik-balik sejarah ilmu-ilmu modern. Titik balik se-

jarah itu dimaksudkan untuk menghindari senjakala kematian ilmu se-

hingga ilmu-ilmu modern diusahakan menempuh jalan berbeda

dibandingkan jalan monodisipliner.

Rintisan saling-silang dan kerja sama ilmu-ilmu dan metode-

metode yang disertai perubahan filosofis tersebut mulai banyak atau

marak dilakukan pada dasawarsa 1980-an. Gerakan saling-silang dan

kerja sama ilmu-ilmu dan metode penelitian pun dimulai, kemudian

berkembang cukup baik pada masa selanjutnya. Di sinilah dapat dis-

aksikan munculnya gerak konvergensi dalam tradisi ilmu-ilmu mod-

ern, yaitu gerak perapatan, penggabungan, penyatuan, pemaduan,

Page 12: Kajian Bahasa Dan Sastra

dan pengombinasian teori dan metodologi ilmu-ilmu yang beraneka

ragam dan majemuk. Sebagai contoh, saling-silang dan kerja sama

ilmu biologi dengan teknologi melahirkan bioteknologi; saling-silang

dan kerja sama antara psikologi dan antropologi menghasilkan

antropologi psikologi. Hal ini menegaskan bahwa gerak konvergensi

menjadikan disiplin-disiplin ilmu (yang spesialitis) dan metode-

metode yang dulu terpisah-pisah (yang partikular) mulai bertemu dan

menyatu lagi; dalam hal ini berbagai disiplin dan metode digunakan

secara serempak dalam kegiatan keilmuan terutama kegiatan peneli-

tian tanpa harus disebut eklektisisme, melainkan kombinasi, pencam-

puran [mixing], dan penyematan [blending]. Misalnya, gerakan men-

gombinasikan atau memadukan fisika dengan pikiran mistisisme

Timur sebagaimana terlihat dalam buku The Tao of Physics karya

Fritjof Capra melahirkan Fisika Baru yang dipelopori oleh Gari Sukav.

Pada awal tahun 1990-an juga mulai muncul dan berkembang pula

gerakan memadukan atau meleburkan metodologi kualitatif dan

kuantitatif [yang dahulu dilarang atau dianggap tidak mungkin] – se-

bagaimana tampak pada buku Mixing Method: Qualitative and Quanti-

tative Research karya Julia Brannen (1993), Research Design: Qualita-

tive and Quantitative Approach karya John W. Creswell (1997), dan

Blending of Qualitative and Quantitative Research karya Amstrong

(2003).

Semua itu menandakan terbitnya fajar era multidisipliner, yang

berikutnya mendorong berkembangnya ‘ideologi’ multidisipliner

dalam teori dan metodologi ilmu-ilmu. Berbeda dengan ideologi se-

belumnya, ‘ideologi’ multidisipliner memiliki orientasi pada penun-

tasan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dengan menggu-

nakan berbagai teori dan metodologi secara serempak; menggunakan

corak ontologi, epistemologi, dan aksiologi berbeda [simak Kleden,

1987; Zed, 2005]. Bangun teoretis [ontologis] dan metodologis [epis-

Page 13: Kajian Bahasa Dan Sastra

temologis] yang tersekat-sekat atau terfragmentasi dibongkar dan ak-

siologi dirangkul kembali dalam ‘ideologi’ multidisipliner serta kemu-

dian diduetkan atau dipertemukan dalam konteks ideologi multidisi-

pliner. Dari sinilah kemudian lahir studi-studi tertentu [dan bukan

ilmu-ilmu tertentu!], misalnya Studi Wanita atau Gender, Studi Asia,

Studi Amerika, Studi Pembangunan, dan Studi Lingkungan dan den-

gan demikian ilmu-ilmu modern benar-benar memasuki fase sen-

jakala kematian teori spesialistis-partikular atau bahkan kematian

teori (the end of theory) atau metodologi monodisipliner. Kematian

teori atau metodologi di sini dalam arti terjadinya penggantian secara

mendasar filsafat ilmu, paradigma kajian, dan watak teori atau

metodologi [simak Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999].

PENDULUM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA

Semua beberan di atas menunjukkan adanya dua pendulum

pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern, yaitu pendulum

divergensi yang membuat ilmu-ilmu berkembang luar biasa pesat;

dan pendulum konvergensi yang mengatasi kekurangan dan kelema-

han pendulum divergensi sehingga ketuntasan penyelesaian masalah

tercapai. Dapat dikatakan, semua ilmu harus “mendayung” di antara

pendulum divergensi dan konvergensi. Pertumbuhan dan perkemban-

gan ilmu bahasa dan ilmu sastra pun harus “mendayung” di antara

pendulum divergensi dan konvergensi. Mengikuti gerbong humaniora

atau ilmu-ilmu hermeneutis [menurut Jurgen Habermas], ilmu bahasa

dan ilmu sastra -- sebagai salah satu “pokok pohon” tertua ilmu-ilmu

dalam hermeneutis, juga mengalami gerak divergensi [gerak mera-

pat, memadu, atau menyatu] ketika pendulum divergensi sedemikian

dominan dan hegemonis menguasai ilmu-ilmu modern.

Sebagaimana ilmu-ilmu pada umumnya, semenjak awal Abad

XX, seiring dengan hadirnya strukturalisme (tentu juga semiologi) dari

Page 14: Kajian Bahasa Dan Sastra

Bapak Ilmu bahasa Modern Ferdinand de Saussure [dan juga dari

Leonard Bloomfield] dan tokoh mashur ilmu sastra Renne Wellek dan

Austin Werren, dalam ilmu bahasa [modern] dan kemudian juga

dalam ilmu sastra berlangsung telah penyebaran atau pemisahan diri

yang sedemikian cepat. Buku terpenting Saussure bertajuk General

Linguistics dan buku Wellek dan Warren bertajuk Theory of Literature

merupakan gambaran paling gamblang ideology monodisipliner.

Maka, ilmu bahasa dan ilmu sastra membentuk dan memperkuat diri

dengan spesialisasi dan partikularisasi serta membatasi diri. Spesial-

isasi-partikularisasi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang terjadi dengan

tempo sedemikian cepat, bahkan demikian berkelebat, menggusur

disiplin-disiplin lama yang sejak awal multidisipliner seperti

antropologi ilmu bahasa, filsafat seni, dan retorika serta kajian moral

dalam sastra. Lahirlah berbagai disiplin ilmu ilmu bahasa yang khusus

(spesifik-partikular), misalnya fonologi, morfologi, leksikologi, sintak-

sis, semantik, dan disiplin ilmu bahasa teoretis lain. Hal ini diiringi

oleh hadirnya berbagai linguis yang ahli di bidang tertentu, misalnya

ahli fonologi, ahli morfologi, ahli sintaksis, dan ahli leksikologi yang “

… di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi …” [pinjam

lirik lagu Hatiku Hatimu yang didendangkan Muchsin Alatas dan Titik

Sandhora]. Demikian juga lahir berbagai disiplin ilmu sastra yang spe-

sialistis-partikular, antara lain strukturalisme, formalisme, stilistika,

analisis teks, strata norma, dan teori-teori objektif lain yang berkutat

pada bentuk-bentuk sastra. Masing-masing disiplin ilmu bahasa dan

ilmu sastra tersebut secara ketat dan terpisah berkembang dengan

perspektif, teori, dan metodenya sendiri. Hal ini diikuti oleh keyakinan

linguis dan ahli sastra yang demikian tinggi pada spesialisasi masing-

masing pada satu pihak dan pada pihak lain kegamangan linguis dan

ahli sastra untuk ‘menengok’ atau terjun dan menggumuli bidang

yang [dianggap] bukan spesialisasinya (spesialisasi orang lain). Al-

hasil, ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi berkeping-keping ke

Page 15: Kajian Bahasa Dan Sastra

dalam pelbagai disiplin mikro yang didukung oleh para spesialis pada

satu pihak dan pada pihak lain ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi

terisolasi dalam lingkungannya sendiri. Hal ini pertanda bahwa ‘ide-

ologi’ monodisipliner juga mencengkeram kuat dalam dunia ilmu ba-

hasa dan ilmu sastra. Maka, monodisiplinerisme merasuk ke dalam

ilmu bahasa dan ilmu sastra.

Hampir sama dengan ‘ideologi monodisipliner’ dalam ilmu-ilmu

modern pada umumnya, ternyata ‘ideologi’ monodisipliner dalam

ilmu bahasa dan ilmu sastra mengakibatkan empat hal. Pertama, ilmu

bahasa dan ilmu sastra terlalu banyak memusatkan perhatian pada

aspek-aspek formatif bahasa atau struktural bahasa dan aspek-aspek

formal sastra, meninggalkan atau menyingkirkan aspek-aspek fung-

sional bahasa, aspek-aspek ekstrinsik sastra, dan aspek-aspek puitik

sastra. Ia memang tidak mau berurusan dengan aspek-aspek non-for-

matif karena dipandang sebagai hal di luar bahasa dan sastra (ekster-

nal), tak berkaitan dengan bahasa dan sastra. Ini mengakibatkan

analisis ilmu bahasa dan ilmu sastra atau kajian sastra terfokus pada

bentuk-bentuk bahasa dan sastra yang steril atau dilepaskan dari

konteks sosial-masyarakat, budaya, dan masyarakat yang dinamis.

Kedua, ilmu bahasa dan ilmu sastra terutama penelitian ilmu bahasa

dan kajian sastra tampak terisolasi dari persoalan manusia,

masyarakat, dan budaya. Di sini segala sesuatu yang berbau ‘di luar

bahasa dan sastra’ selalu disingkirkan sebab bukan urusan ilmu ba-

hasa dan ilmu sastra. Ilmu bahasa dan ilmu sastra pun – termasuk

penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra – lebih asyik dengan dirinya

sendiri. Selain ada positivisme yang kuat, ada semacam narsisisme

ilmu bahasa dan narsisisme literer/puitika di dalam dunia ilmu bahasa

dan ilmu sastra di samping dunia para ahli ilmu bahasa dan ilmu sas-

tra. Ketiga, peran, fungsi, dan sumbangan [kontribusi] ilmu bahasa

dan ilmu sastra bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan,

Page 16: Kajian Bahasa Dan Sastra

dan peradaban dipertanyakan atau dipersepsi rendah. Kehadiran ilmu

bahasa dan ilmu sastra dalam konteks ilmu-ilmu kemanusiaan dan

kemasyarakatan juga dipertanyakan banyak pihak. Di sinilah ilmu ba-

hasa dan ilmu sastra kehilangan relevansi dengan kebutuhan manu-

sia dan masyarakat. Keempat, banyak masalah yang terkait, bersen-

tuhan, dan melekat dengan ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak dapat

diselesaikan dan diatasi oleh ilmu bahasa dan ilmu sastra yang mono-

disipliner; padahal masalah-masalah itu membutuhkan sandaran teo-

retis ilmu bahasa dan ilmu sastra di samping penelitian ilmu bahasa

dan kajian sastra. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: di man-

akah dan seberapa besarkah sumbangan ilmu bahasa dan ilmu sastra

bagi penyelesaian masalah-masalah manusia dan masyarakat?

Banyak kalangan kemudian beranggapan dan berkesimpulan bahwa

ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak banyak memberikan manfaat bagi

kehidupan manusia; tidak banyak menyelesaikan persoalan-persoalan

hidup manusia. Pendek kata, keempat dampak negatif ‘ideologi’

monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra tersebut men-

dorong timbulnya (semacam) “krisis ontologis dan epistemologis

[metodologis]” di dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra.

Kenyataan tersebut jelas merupakan kondisi dunia ilmu bahasa

dan dunia ilmu sastra yang tak ideal, bahkan “terbelakang” dan ter-

ancam mengalami senjakala kematian. ‘Ideologi’ multidisipliner

dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra kemudian muncul untuk mere-

spons dan mengubah kondisi dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra

tersebut. Bangunan teoretis [ontologis] dan epistemologis atau

metodologis yang monodisipliner lalu mulai dibongkar, digeser, malah

diganti. Sebagai gantinya, mulailah dikembangkan bangun teoretis

dan metodologis yang bersifat multidisipliner dalam ilmu bahasa dan

ilmu sastra. Semenjak paruh terakhir dasawarsa 1980-an mulai

berkembang pesat teori dan metodologi ilmu bahasa dan ilmu sastra

Page 17: Kajian Bahasa Dan Sastra

yang multi(inter)disipliner. Demikian juga bidang-bidang multidisi-

pliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra bermunculan, misalnya

fonetik, psikologi bahasa, sosioilmu bahasa, geografi bahasa, etno-

grafi komunikasi, dan neurologi bahasa serta wacana kritis; psikologi

sastra, sosiologi sastra, estetika, kritisisme baru, etnopuitika, dan pas-

cakolonialisme. Metode-metode multidisipliner juga mendapat tempat

dalam penelitian ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan sangat lazim

dipakai dalam kegiatan penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra, mis-

alnya semiotika bersama hermeneutika. Pada dasawarsa 1980-an

multidiplineritas dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah tumbuh

dan berkembang baik. Sekarang perspektif, teori, dan metode multi-

disipliner sudah berkembang jauh dalam kajian bahasa dan kajian

sastra. Penggunaan perspektif, teori, dan metode yang multidisipliner

juga tak lagi dipandang sebagai wujud oportunisme teori dan

metodologi yang bertujuan mencari gampangnya saja dalam kegiatan

penelitian. Pendek kata, dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra sekaligus

kajian bahasa dan kajian sastra sekarang memasuki era multidisi-

pliner.

Kajian-kajian bahasa dan sastra berdasarkan perspektif, teori,

dan metode multidisipliner sudah dilakukan oleh berbagai pihak se-

menjak paruh kedua tahun 1980-an di Indonesia. Dalam kajian ba-

hasa, sebagai contoh, kajian wacana kritis, sosiologi bahasa, psikologi

bahasa, linguistik komputasi, pragmatik, politik bahasa, dan pe-

merolehan bahasa dalam kaitannya dengan berbagai faktor

kekuasaan sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Disertasi Ju-

madi (2007) berjudul Kuasa dalam Kelas, disertasi Dyah Werdiningsih

(2006) berjudul Pemerolehan Pragmatik Anak Usia Pra-sekolah, diser-

tasi Lilik Wahyuni (2008) berjudul Pertarungan Simbolis di Media

Massa, Hari Suwignyo (2009) berjudul Tindak Tutur Pembelajaran

Among, dan disertasi Roekhan (2009) bertajuk Kekerasan Simbolis di

Page 18: Kajian Bahasa Dan Sastra

Media Massa serta Anang Santosa (2003) berjudul Wacana Politik

Orde Baru adalah beberapa contoh kajian bahasa yang fungsional dan

multidisipliner. Demikian juga tesis Taufik Dermawan (1989) berjudul

Analisis Sosiologi Sastra dan Strukturalisme-Genetik Ronggeng Dukuh

Paruk, disertasi Dharmojo (2004) bertajuk Munaba: Struktur, Fungsi,

dan Nilai, disertasi Aleda Mawene (2005) berjudul Mitos Suku

Amungme, dan disertasi Muhammad Ali (2009) berjudul Kelong dalam

Perspektif Hermeneutika adalah beberapa contoh kajian sastra yang

fungsional dan multidisipliner nan fenomenologis-hermeneutis. Berba-

gai kajian bahasa dan sastra tersebut semuanya menggunakan dua

atau lebih pendekatan dan teori untuk memecahkan masalah kajian;

misalnya, pendekatan hermeneutika dan semiotika digunakan secara

serempak dalam kajian; teori wacana kritis dipadukan dengan teori

etnografi komunikasi; teori pragmatik dipadukan dengan etnografi ko-

munikasi; dan teori pragmatik dan etnografi komunikasi dipadukan

dengan teori pembelajaran among Tamansiswa. Ini semua menun-

jukkan bahwa multidisiplinerisme yang fenomenologis-humanistis

telah berkembang baik dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam ka-

jian bahasa dan kajian sastra. Beralaskan multidisiplinerisme ini di-

harapkan kajian bahasa dan kajian sastra dapat terus berkembang

baik sehingga bisa menyelamatkan ilmu-ilmu modern khususnya

ilmu-ilmu humaniora atau hermeneutis dari “senjakala kematian ilmu-

ilmu’ (Piliang, 2005); paling tidak bisa membebaskan ilmu bahasa dan

ilmu sastra dari bayang-bayang hegemonis atau dominan ilmu-ilmu

analitis dan ilmu-ilmu emansipatoris. Jadi, multidisiplinerisme yang

fenomenologis-humanistis dalam ilmu-ilmu hermeneutis bisa men-

dorong pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa dan ilmu sastra

serta kajian bahasa dan kajian sastra.

Pertumbuhan dan perkembangan kajian bahasa dan kajian sas-

tra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra multidisipliner tersebut

Page 19: Kajian Bahasa Dan Sastra

memberikan dua arti penting. Pertama, kajian bahasa dan kajian sas-

tra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra akan semakin terbuka-

inklusif memanfaatkan dan mendayagunakan paradigma, pen-

dekatan, dan teori serta metode kajian dari manapun – baik dari

dalam dunia kajian bahasa dan kajian sastra maupun dari dunia ilmu-

ilmu hermeneutis pada umumnya, malah ilmu-ilmu emansipatoris.

Misalnya, kajian sastra bisa saja menggunakan sosiologi pengete-

tahuan ala Manheim dan Berger-Luckman [baca: asal sosiologi] dan

arkeologi pengetahuan ala Foucault [baca: asal filsafat] serta wacana

kritis ala van Dijk atau Sara Mills [baca: asal linguistik kritis]. Hasil-

hasil kajian sastra niscaya akan berbeda dengan kajian-kajian sastra

pada umumnya. Kedua, kajian bahasa dan kajian sastra akan dapat

semakin berkembang secara otonom dan mandiri tanpa harus selalu

bergantung pada ilmu-ilmu lain, terbebas dari bayang-bayang domi-

nan atau hegemonis ilmu-ilmu emansipatoris atau ilmu-ilmu analitis,

kendati tetap terbuka menerima pikiran-pikiran eksternal. Misalnya,

kendati tidak dilarang atau boleh-boleh saja, kajian sastra tidak harus

selalu mengambil dan menerapkan asumsi-asumsi dan teorema-teo-

rema dari ilmu-ilmu emansipatoris secara paksa, padahal tidak cocok

dengan kajian sastra. Kajian sastra bisa bebas mengambil dan mener-

apkan paradigma, pendekatan, teori, dan atau metode dari manapun

asalkan cocok dengan kebutuhan kajian sastra, dan kalau bisa mem-

perkaya kajian sastra. Dua arti penting tersebut niscaya akan men-

jadikan kajian bahasa dan kajian sastra memiliki kebebasan berkem-

bang pada satu sisi dan pada sisi lain akan me miliki konstribusi pent-

ing pada ilmu-ilmu hermeneutis pada umumnya, malahan mungkin

pada ilmu-ilmu emansipatoris. Tersirat di sini bahwa kajian bahasa

dan kajian sastra multidisipliner yang sehat-berkembang akan selalu

memiliki otonomi sekaligus kontribusi hasil kajian bahasa dan kajian

sastra. Otonomi dalam arti kajian bahasa dan kajian sastra berkem-

bang secara mandiri, tidak di bawah baying-bayang apapun; dan kon-

Page 20: Kajian Bahasa Dan Sastra

tribusi dalam arti hasil-hasil kajian bahasa dan kajian sastra mem-

berikan kegunaan dan kemanfaatan tertentu, misalnya kegunaan

kontemplasi bagi orang tertentu.

SIMPULAN

Beberan-beberan di atas memperlihatkan terjadinya peralihan

atau pergeseran paradigma, pendekatan, dan model-model kajian

ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu emansipatoris, dan ilmu-ilmu

hermeneutis. Pada satu sisi telah terjadi pergeseran dari gerak diver-

gensi ke gerak konvergensi dan pada sisi lain juga telah terjadi perge-

seran dari ideologi monodisiplineritas ke ideologi multidisiplineritas

dalam ilmu-ilmu modern. Tentu saja, peralihan atau pergeseran ini

juga terjadi pada ilmu bahasa dan ilmu sastra sebagai bagian terpadu

ilmu-ilmu hermeneutis. Gerak divergensi kajian bahasa dan kajian

sastra sudah beralih atau bergeser ke gerak konvergensi dalam kajian

bahasa dan kajian sastra di samping ilmu bahasa dan ilmu sastra.

Demikian juga monodisiplineritas kajian bahasa dan kajian sastra su-

dah beralih atau bergeser ke multidisiplineritas kajian bahasa dan ka-

jian sastra. Dengan peralihan atau pergeseran tersebut, baik ilmu ba-

hasa dan ilmu sastra maupun kajian bahasa dan kajian sastra bisa

tetap eksis, terhindar dari “senjakala kematian”. Ini mengimp-

likasikan, kajian bahasa dan kajian sastra dapat berkembang baik.

Perkembangan yang baik itu paling tidak ditandai oleh pemilikan

otonomi sekaligus kemampuan berkontribusi hasil kajian bagi pihak

lain. Tanda-tanda otonomi dan kontribusi tersebut tampak pada ka-

jian bahasa dan kajian sastra konvergen-multidisipliner.

DAFTAR RUJUKAN

Capra, Fritjof. 2006. The Tao of Physics. Bandung: Penerbit Jalasutra.

Page 21: Kajian Bahasa Dan Sastra

Capra, Fritjof. 2007. The Turning Point, Titik Balik Peradaban. Yo-gyakarta: Penerbit Jejak.

Fauzi, Noer. 2003. Dekolonisasi Metodologi: Memerdekan Pendidikan. Dalam Jurnal Wacana, Edisi 15, Tahun IV, 2003, hlm. 3—10.

Habermas, Jurgen. 1987. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Hardiman, Francisco Budi. 2008. Melampaui Positivisme dan Moderni-tas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hardiman, Franscisco Budi. 2009. Kritik Ideologi: Pertautan Penge-tahuan dan Kepentingan menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Horgan, John. 2005. The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Bandung: Penerbit Teraju.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Piliang, Amir Yasraf. 2005. Di Antara Puing-puing Ilmu Pengetahuan. Pengantar Buku The End of Science. Bandung: Penerbit Teraju.

Said, Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit MIZAN.

Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies. London: Zed Book.

Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Penerbit Sinar Hara-pan.

Tjahyadi, Sindung. 2005. Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas. Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Ban-dung: Penerbit MIZAN.

Wilardjo, Like. 2005. Hipotetikalitas: Ketidakpastian dan Pilihan Etis? Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Penerbit MIZAN.