Makalah Inkontinensia

download Makalah Inkontinensia

of 21

description

inkontinensia

Transcript of Makalah Inkontinensia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan inkontinensia urine pada lansia ? 2. Apa sajakah etiologi dari inkontinensia pada lansia ?3. Apa sajakah faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia ?4. Bagaimanakah patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?5. Bagaimanakah tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia? 6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang inkontinensia urin pada lanjut usia?7. Bagaimanakah pathway inkontinensia urin pada lanjut usia?8. Bagaimanakahasuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia?

1.3 Tujuan1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia.4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia.6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia.

BAB II PEMBAHASAN2.1 Pengertian Inkontinensia Urine Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.Lebih dari 10 juta penduduk dewasa di Amerika serikat menderita inkontinensia urin (AHCPR, 1992). Keadaan ini mengenai individu dengan segala usia meskipun paling sering dijumpai diantara para lansia. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh penghuni panti lansia menderita inkontinensia urin. Meskipun inkontinensia urin bukan konsekuensi normal dari proses penuaan, namun perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan usia merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia urin.Usia, jenis kelamin serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih , menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat. Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.Biaya perawatn bagi pasien inkontinensia urin diperkirakan lebih dari 10,3 milyar US $ pertahunnya (AHCPR, 1992). Biaya psikososial dari inkontinensia urin sangat besar, yaitu: perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri dan isolasi sosial merupakan hasil yang umumnya terjadi. Inkontinensia urin pada lansia sering menyebabkan perlunya perawatan dalam lembaga perawatan.

2.2 Etiologi Inkontinensia UrineSeiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik.Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).2.3 PatofisiologiPada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum.Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000). Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang.Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).2.4 Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine pada Lansia Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008) yaitu:1. Ketidaknyamanan daerah pubis2. Distensi vesika urinaria3. Ketidak sanggupan untuk berkemih4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)a. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannyab. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemihc. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.5 Tipe Inkontinensia Urine1. Inkontinensia akibat stres merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).2. Urge incontinence Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan faktor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.3. Overflow incontinenceDitandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Overflow inkontinence dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan hiperplasia prostat). Kandung kemih neurogenik dibahas secara terpisah dalam bagian berikutnya.4. Inkontinensia fungsional Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.5. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urin Campuran, yang mencakup ciri-ciri inkontinensia seperti yang baru disebutkan, dapat pula terjadi. Selain itu inkontinensia urin dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor.Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaan dan perujukan untuk evaluasi diagnostik secara terapi, maka prognosis inkontinensia dapat ditentukan. Semua pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk mendapatkan pemeriksaan evaluasi dan terapi.

2.6 Pemeriksaan penunjanga. UrinalisisDigunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.b. UroflowmeterDigunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.c. CysometryDigunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.d. Urografi ekskretoriDisebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.e. Kateterisasi residu pascakemihDigunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangifaktor resiko, mempertahankan homeostasis,mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :1. Pemanfaatan kartu catatan berkemihYang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.2. Terapi non farmakologiDilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiapjam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.

Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).3. Terapi farmakologiObat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah: Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.4. Terapi pembedahanTerapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).5. Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan Kelainan neurologi (medulla spinalis) Penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor) Otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan Ingin kencing mendadak, dimalam hari Disfungsi neurologi Kontraksi kandung kemihterhambat

Penyakit kronis, imobilisasi, DM, gagal jantungPerubahananatomi&fungsitubuh2.7 Pathway

Neurogenic, berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya jaringan/otot-otot panggul,pembesarankelenjarprostat , kontraksi otot involunteer , kontraksi abnormal di dinding VU, penurunan hormonObat-obatanETIOLOGI

Fungsi korteks serebri

Gangguan aktifitas kolinergik

Pengeluaran urin saat aktivitasInkontinensia pd lansiaSensasi utk berkemih Toileting inadequate Tekanan abdomen Keluar urin tnp disadari MK : Inkontinensia urinarius doronganIritasi kulit Tertawa, batuk & mengejan MK : Resiko kerusakan integritas kulitKegagalan uretraTahanan uretra Pengeluaran urin tnp disadari

Output berlebih

MK : Inkontinensia urinarius stresMK : ResikoisolasisosialG3an psikiatrik Rembesan urin involunteer

Keluaran urin tdk diinginkan .

MK : Harga diri rendah

2.8 Evaluasi DiagnostikSetelah adanya inkontinensia dikenali, anamnesis riwayat sakit yang cermat diperlukan. Tindakan ini mencakup uraian yang rinci mengenai masalah tersebut dan riwayat penggunaan obat-obatan. Riwayat urinasi, catatan eliminasi urin dan hasil-hasil tes bedside (yaitu, volume urin sisa sesudah urinasi, manuver stres) dapat digunakan untuk membantu menentukan tipe inkontinensia urin. Evaluasi diagnostik urodinamik yang lebih ekstensif dapat dilakukan.2.9 Penatalaksanaan Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang mendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang tidak terelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapa un, maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang bersifat interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin secara efektif.Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dapat bersifat sepintas atau reversibel; setelah penyebab yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat diingat melalui singkatan DIAPPERS . penyebab ini mencakup keadaan berikut: delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic agents ( agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik, relaksan otot, preparat adrenergik), psichologic factors (faktor psikologis; depresi, regresi), excessive urin production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan diuresis), restricted activity (aktivitas yang terbats), dan stool impaction (impaksi fekal) (AHCPR, 1992), setelah semua ini berhasil diatasi, pola urinasi pasien biasanya kembali normal.2.10 Intervensi Keperawatan Bergantung pada hasil-hasil evaluasi mungkin diperlukan penanganan keperawatan dan medik. Tindakan keperawatan yang efektif sering hanya berupa tindakan sederhana seperti menciptakan lingkungan yang memudahkan pasien untuk ke kamar mandi; meletakkan pispot atau urinal dalam jangkauan pasien; menganjurkan kepada pasien untuk membiarkan lampu menyala di kamar tidur yang gelap; dan menasihati pasien agar memilih pakaian yang mudah ditanggalkan ketika ingin menggunakan kloset.Perawat dapat pula menganjurkan dan mendorong pasien untuk mempraktikkan latihan Kegel yang dapat membantu pasien wanita dengan segala usia untuk mengendalikan inkontinensia. Latihan ini menguatkan otot-otot dasar panggul yang akan memperbaiki resistensi uretra dan pengendalian urinarius.Tindakan lain yang dapat dilakukan perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi inkontinensia adalah membantu pasien dalam mengatasi inkontinensia adalah dengan memulai program prompted voiding atau habit training dan mendorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan untuk mencegah konstipasi serta pengerasan feses yang sering menjadi faktor penyebab inkontinensia urin pada seorang pasien yang sedentarik. Latihan kandung kemih yang mencakup penggunaan strategi perilaku atau biofeedback mungkin juga bermanfaat.2.11 Penatalaksanaan BedahKoreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi inkontinensia stres. Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan: perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artifisial yang dimodifikasi dengan menggunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dapat digunakan untuk menutup uretra.Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stres adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniatur yang dilengkapi elektrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.Untuk tipe-tipe inkontinensia yang lain, tindakan keperawatan seperti yang dijelaskan diatas biasanya lebih tepat.2.12 Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine pada Lansia 1. Pengkajian1) Identitas klienInkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.2) Riwayat kesehatan Riwayat kesehatan sekarang. Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. Riwayat kesehatan masa lalu Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.3) Pemeriksaan fisiK a. Keadaan umum. Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensi.b. Pemeriksaan Sistem B1 (breathing). Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. B2 (blood)Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah B3 (brain). Kesadaran biasanya sadar penuh B4 (bladder).Inspeksi:periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.Palpasi :Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.4)Data penunjang Urinalisis Hematuria. Poliuria Bakteriuria.5) Pemeriksaan Radiografia. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureterb. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).6)Kultur Urine Steril. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml). Organisme.

2. Diagnosa1) Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi sfingter uretr intrinsik. 2) Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine3) Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine. 3. Intervensi a. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi sfingter ureter intrinsikTujuan :Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebabIntervensi Rasional

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari.2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih.

4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.

Mengetahui perubahan pola berkemih

Mengetahui efektifitasprogram yang direncanakan untuk merubah pola berkemih.

Mengetahui adakah obstruksi atau kerusakan pada organ kemihMengetahui bagian mana yang mengalami kebocoran pada organ perkemihan

Mengobservasi input dan output urine pasien, dan memaksimalkan input yang harus diberikan/ sesuai kebutuhan

Untuk mengidentifikasi kekuatan otot panggul pasien dan meminimalisir terjadinya penurunan kekuatan ototUntuk menentukan pengobatan yang tepat diberikan pada pasien

b. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urineTujuan : Jumlah bakteri < 100.000 / ml, Kulit periostomal tetap utuh, Suhu 37 C, Urine jernih dengan sedimen minimal.Intervensi Rasional

1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.

2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.

Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

c. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine. Intervensi Rasional

1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada saat pertama.

2. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan peningkatan dan penurunan tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang.

3. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.

4. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.

5. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri.

6. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.

7. Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.

8. Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara pemuasan seksual.

Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak sembuh, infeksi)Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu / membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya secara efektif.Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata menunjukkan peristaltic normal.Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.

Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pada pemberi asuhan.

Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri.

Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih dan prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini.

BAB IIIPENUTUP 3.1 Kesimpulan Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar sifatnya akan permanen.Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.

3.2 Saran Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien Lanjut usia dengan masalah Inkontinensia urin.

Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

DAFTAR PUSTAKAAlimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan DasarManusia. Jakarta :Salemba MedikaPotter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

6