refarat inkontinensia tambahan.doc

29
REFERAT INKONTINENSIA URIN Oleh: H1A007027 Pembimbing: DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH 1

Transcript of refarat inkontinensia tambahan.doc

Page 1: refarat inkontinensia tambahan.doc

REFERAT

INKONTINENSIA URIN

Oleh:

H1A007027

Pembimbing:

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

2012

1

Page 2: refarat inkontinensia tambahan.doc

HALAMAN PEBGESAHAN

Judul Referat : Inkontinensia Urin

Nama Mahasiswa :

NIM : H1A007027

Fakultas : Kedokteran

Referat ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik

Madya pada Bagian/SMF Bedah Rumah Sakit Umum Propinsi

, 3 Januari 2013

Dosen Pembimbing

2

Page 3: refarat inkontinensia tambahan.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin.

Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai masalah, antara lain masalah medik, sosial, dan

ekonomi kerena morbitidas dan penurunan kualitas hidup yang diakibatkan (De Maagd et al,

2012; Purnomo, 2003).

Prevalensi kejadian ini cukup tinggi yaitu mengenai lebih dari 200 juta orang di

seluruh dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar 10-40% pada wanita dan 4-8% diantaranya

sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya lebih

rendah yaitu kurang lebih separuhnya. Pada manula prevalensinya lebih tinggi daripada usia

reproduksi, yaitu sekitar 38% pada wanita dan 19% pada pria. Angka ini belum

menggambarkan seluruh kejadian inkontinensia urin karena keadaan ini masih dianggap

sebagai bagian normal dari penuaan (Purnomo, 2003; Tanagho, 2008).

Inkontinensia urin dikarakteristikkan oleh lower urinary tract symptoms (LUTS).

Pemahaman mengenai anatomi dan fisiologi sistem urinaria bagian bawah akan membantu

dalam pemahaman keadaan ini. Sistem urianaria bagian bawah terdiri dari buli-buli dan

uretra. Keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam

menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urin (De Maagd et al, 2012; Purnomo,

2003).

Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fase pengisian atau pada fase

miksi. Kegagalan pengisian dan penyimpanan urin, baik karena faktor buli-buli maupun

uretra menyebabkan inkontinensia urin. Sedangkan kelainan pada fase pengeluaran urin

menyebabkan retensi urin (Purnomo, 2003).

3

Page 4: refarat inkontinensia tambahan.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria bagian Bawah

Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli-buli dan uretra. Keduanya harus bekerja

secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan (storage) dan

mengeluarkan (voiding) urin (Purnomo, 2003).

Buli-buli adalah organ otot berongga sebagai tempat penyimpanan urin. Buli-buli

yang terisi akan naik ke superior dan bahkan hingga setinggi umbilikus pada buli-buli yang

penuh (Moore and Agur, 2007). Kapasitas normal buli-buli orang dewasa adalah 400-500 mL

(Tanagho, 2008).

Buli-buli terdiri dari apeks, korpus, fundus, kolum, dan uvula. Apeks merupakan

ujung anterior buli-buli mengarah ke tepi superior sismfisis pubis. Korpus terletak antara

apeks dan fundus. Fundus dibentuk oleh dinding posterior dan berbentuk konveks. Pada

wanita, fundus berbatasan dengan dinding anterior vagina. Sedangkan pada laki-laki

berbatasan dengan rektum. Kolum buli-buli adalah pertemuan antara fundus dan permukaan

inferolateral buli-buli. Uvula merupakan penonjolan kecil pada trigonum buli-buli yang

terletak di belakang orificium uretra (Moore and Agur, 2007).

Gambar 1. Buli-buli tampak lateral (Moore and Agur, 2007)

Dinding buli-buli tersusun oleh muskulus detrusor. Ke arah kolum atau leher buli-

buli, pada perbatasan antara buli-buli dan uretra, terdapat sfingter uretra interna yang terdiri

atas jalinan otot polos. Sfingter ini selalu tertutup pada fase pengisian (filling) dan

penyimpanan, dan terbuka pada saat isi buli-buli penuh dan saat miksi atau pengeluaran

4

Page 5: refarat inkontinensia tambahan.doc

(evacuating). Di sebelah distal uretra posterior terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri

atas otot lurik dari otot dasar panggul. Pada wanitaa sfingter ini terletak di sepertiga medial

uretra. Sfingter ini membuka saat miksi sesuai dengan perintah korteks serebri (Purnomo,

2003).

Secara anatomis uretra dibagi menjadi uretra posterior dan uretra anterior. Uretra

posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra

anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum peni, dan dibagi

menjadi pars bulbosa, pars pendularis, pars navikularis, dan meatus uretra eksterna

(Purnomo, 2003).

Gambar 2. Potongan frontal buli-buli dan uretra pria (a) dan wanita (b).

5

Page 6: refarat inkontinensia tambahan.doc

Pada fase pengisian, terjadi relaksasi otot detrusor dan pada fase pengeluaran terjadi

kontraksi otot detrusor. Selama pengisian urin, buli-buli mampu meningkatkan volumenya

untuk mempertahankan tekanan di bawah 15 mmH2O. Sifat ini disebut komplians buli-buli.

Jika terjadi kerusakan dinding buli-buli sehingga viskoelastisitasnya terganggu, komplians

buli-buli menurun, yang berarti bahwa pengisian urin pada volume tertentu akan

menyebabkan kenaikan tekanan intravesika yang cukup besar (Purnomo, 2003).

2.2 Neurofisiologi Buli-buli dan Uretra

Saluran kemih bagian bawah mendapat inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal

dari buli-buli dan uretra serta serabut saraf eferen berupa sistem simpatis, parasimpatis, dan

somatik. Serabut aferen dari buli-buli menerima impuls regangan dari dinding buli-buli yang

dibawa nervus pelvikus ke korda spinalis S2-4 dan diteruskan hingga ke otak melalui traktus

spinotalamikus. Otak menerima informasi mengenai volume urin di dalam buli-buli. Jalur

aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenal sensasi suhu, nyeri, dan adanya aliran

urin di dalam uretra yang dibawa nervus pudendus menuju korda spinalis S2-4 (Purnomo,

2003).

Gambar 3. Struktur anatomi dan sistem saraf sistem urinaria bagian bawah (De Maagd et al, 2012)

Serabut eferen parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dibawa oleh nervus pelvikus dan

menginervasi otot detrusor. Peran sistem parasimpatis pada proses miksi berupa kontraksi

otot detrusor dan terbukanya sfingter uretra. Serabut eferen simpatis berasal dari korda

6

Page 7: refarat inkontinensia tambahan.doc

spinalis T10-L2 yang dibawa oleh nervus hipogastrikus menuju buli-buli dan uretra. Terdapat

dua reseptor adrenergik di dalam buli-buli dan uretra yaitu reseptor α yang banyak terdapat di

leher buli-buli (sfingter interna) dan uretra posterior, dan reseptro β yang banyak terdapat

pada fundus buli-buli. Rangsangan pada reseptor adrenergik α menyebabkan kontraksi

sedangkan pada β menyebabkan relaksasi. Jadi, sistem simpatis berperan pada proses

pengisian yaitu relaksasi otot detrusor karena stimulasi adrenergik β dan kontraksi sfingter

interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik α (Purnomo, 2003).

Serabut saraf somatik berasal dari nukleus Onuf di kornu anterior korda spinalis S2-4

yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otok sfingter uretra eksterna dan otot-

otot dasar panggul. Perintah dari korteks serebri menyebabkan terbukanya sfingter eksterna

pada saat miksi (Purnomo, 2003).

2.3 Proses Miksi

Miksi adalah proses pengosongan buli-buli. Saat buli-buli terisi urin, volumenya

bertambah dan mengalami peregangan. Regangan menstimulasi reseptor regang sensorik

pada dinding buli-buli yang dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus

pelvikus dan memberikan sinyal ke otak tentang jumlah urin yang mengisi buli-buli (Guyton

dan Hall, 1996; Purnomo, 2003).

Pada saat buli-buli sedang terisi, terjadi stimulasi sistem simpatik yang

mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna dan inhibisi sistem parasimpatis berupa

relaksasi otot detrusor. Kemudian saat buli-buli terisi penuh timbul stimulasi sistem

parasimpatis dan menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatis yang

menyebabkan relaksasi sfingter interna. Miksi kemudian terjadi jika sfingter uretra eksterna

berelaksasi yang diatur oleh pusat yang lebih tinggi (korteks serebri) dan tekanan intravesikal

melebihi tekanan uretra (Guyton dan Hall, 1996; Purnomo, 2003).

Kelainan pada unit vesiko-uretra dapat terjadi pada fase pengisian atau pada fase

miksi. Kegagalan pengisian dan penyimpanan urin, baik karena faktor buli-buli, uretra,

maupun sistem neuromuskular menyebabkan inkontinensia urin (Purnomo, 2003).

Kontinensia juga dipengaruhi oleh kemampuan kognisi individu untuk menginterpretasikan

dan merespon sensasi miksi, serta motivasi kebutuhan untuk menghambat keluarnya urin

hingga mencapai toilet (Yap and Tan, 2006).

7

Page 8: refarat inkontinensia tambahan.doc

2.4 Inkontinensia Urin

2.4.1 Definisi

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin

(Purnomo, 2003). Sedangkan menurut International Incontinence Society (ICS) inkontinensia

urin adalah keluarnya urin secara involunter, dapat ditunjukkan secara objektif dan

menimbulkan masalah sosial atau higienitas (Yap and Tan, 2006).

2.4.2 Epidemiologi

Prevalensi kejadian ini cukup tinggi yaitu mengenai lebih dari 200 juta orang di

seluruh dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar 10-40% pada wanita dan 4-8% diantaranya

sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya lebih

rendah yaitu kurang lebih separuhnya. Pada manula prevalensinya lebih tinggi daripada usia

reproduksi, yaitu sekitar 38% pada wanita dan 19% pada pria. Angka ini belum

menggambarkan seluruh kejadian inkontinensia urin karena keadaan ini masih dianggap

sebagai bagian normal dari penuaan (Purnomo, 2003; Tanagho, 2008).

2.4.3 Klasifikasi

Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh kelainan pada buli-buli atau pada uretra

(sfingter) (Purnomo, 2003). Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(Tanagho, et al,2008):

Inkontinensia urge

Inkontinensia stress

Inkontinensia overflow (paradoksal)

Inkontinensia kontinua/true

Inkontinensia Urge

Inkontinensia urge adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan segera setelah

timbul keinginan miksi. Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing

segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan oleh otot detrusor sudah

mulai mengadakan kontraksi saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Frekuensi miksi

menjadi lebih sering dan disertai perasaan urgensi (Purnomo, 2003).

Inkontinensia urge meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo,

2003).

8

Page 9: refarat inkontinensia tambahan.doc

Penyebab inkontinensia urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya

adalah overeaktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Overeaktivitas otot

detrusor disebabkan oleh kelainan neurologik (hiper-refleksi detrusor), kelainan non-

neurologis (instabilitas detrusor), atau kelainan lain yang belum diketahui (over-reaktivitas

detrusor). Penyebab hiper-refleksia detrusor diantaranya adalah stroke, penyakit Parkinson,

cedera korda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida atau mielitis transversa. Instabilitas

detrusor seringkali disebabkan oleh obstruksi infravesika, paska bedah intravesika, batu buli-

buli, tumor buli-buli, dan sistitis (Purnomo, 2003).

Penurunan komplians buli-buli dapat disebabkan oleh kandungan kolagen pada

matriks detrusor bertambah atau adanya kelainan neurologis. Penambahan kandungan

kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis paska radiasi, pemakaian kateter menetap

dalam jangka waktu lama, atau obstruksi infravesika karena hiperplasia prostat (Purnomo,

2003).

Inkontinensia Stress

Inkontinensia stress adalah keluarnya urin dari uretra saat terjadi peningkatan tekanan

intraabdominal. Hal ini terjadi karena sfingter uretra tidak mampu mempertahankan tekanan

intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat. Peningkatan tekanan intraabdomen

dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat (Purnomo,

2003). Inkontinensia stress juga disebabkan oleh kelemahan otot panggul (Tanagho, 2008).

Inkontinensia stress banyak dijumpai pada wanita, merupakan jenis inkontinensia urin

yang paling banyak prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%.

Penyebab inkontinensia urin pada pria yaitu kerusakan sfingter uretra eksterna paska

prostatektomi, sedangkan pada wanita yaitu hipermobilitas uretra dan defisiensi kolagen

intrinsik uretra. Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul

yang berfungsi sebagai penyangga uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini menyebabkan

penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli – uretra saat terjadi peningkatan tekanan

intraabdomen. Herniasi dan angulasi tersebut terlihat sebagai terbukanya leher buli-buli –

uretra sehingga menyebabkan bocornya urin dari buli-buli meskipun tidak ada peningkatan

tekanan intravesika. Penyebab kelemahan otot ini adalah trauma persalinan, histerektomi,

perubahan hormonal (menopause), atau kelainan neurologi. Akibat defisiensi estrogen, pada

masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria (Purnomo, 2003).

Blaivas dan Olsson mengklasifikasikan inkontinensia stress berdasarkan penurunan

letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan manuver Valsava. Penilaian

9

Page 10: refarat inkontinensia tambahan.doc

dilakukan berdasarkan pengamatan klinis keluarnya urin dan dengan video-urodinamik.

Klasifikasinya yaitu sebagai berikut:

Tipe 0: pasien mengeluh inkontinensia urin stress, tetapi tidak ditemukan kebocoran

urin pada pemeriksaan dan pada video-urodinamik tampak leher buli-buli dan uretra

terbuka setelah manuver Valsava.

Tipe I: terdapat penurunan <2 cm dan kadang-kadang disertai sistokel yang masih

kecil.

Tipe II: penurunan >2 cm dan seringkali disertai sistokel; sistokel mungkin berada di

dalam vagina (tipe IIA) atau di luar vagina (tipe IIB).

Tipe III: leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi otot

detrusor maupun manuver Valsava, sehingga urin selalu keluar karena faktor gravitasi

atau penambahan tekanan intravasika (gerakan) yang minimal. Tipe ini disebabkan

oleh defisiensi sfingter intrinsik.

Inkontinensia Paradoksal

Inkontinensia paradoksal (overflow) adalah keluarnya urin tanpa dapat dikontrol pada

keadaan volume urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan

sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Keadaan ini ditandai dengan overdistensi buli-buli

(retensi urin), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi mengosongkan isinya, tampak urin

selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena

obstruksi uretra, neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vitamin B12, atau paska

bedah pada daerah pelvik (Purnomo, 2003).

Inkontinensia Kontinua

Inkontinensia urin kontinua adalah urin yang selalu keluar setiap saat dan dalam

berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang

menyebabkan urin tidak melewati sfingter uretra. Fistula vesikovagina seringkali disebabkan

oleh operasi ginekologi, trauma obstetri, atau paska radiasi di daerah pelvik. Fistula sistem

urinaria yang lain adalah fistula ureterovagina. Keadaan ini disebabkan karena cedera ureter

paska operasi daerah pelvik. Penyebab lain inkontinesia kontinua adalah muara ureter

ektopik. Urin yang disalurkan melalui ureter ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan

sfingter uretra eksterna sehingga selalu bocor, tetapi pasien masih bisa melakukan miksi

seperti orang normal (Purnomo, 2003).

10

Page 11: refarat inkontinensia tambahan.doc

Inkontinensia Fungsional

Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya hambatan tertentu, pasien tidak

mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar

tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisis misalnya artritis, paraplegia

inferior, dan stroke; gangguan kognitif seperti demensia; maupun pasien yang sedang

mengkonsumsi obat-obatan seperti diuretik, antikolinergik, narkotik, dan antagonis adrenegik

alfa (Purnomo, 2003).

Pada pasien tua seringkali mengeluh inkontinensia urin sementara yang dipacu

beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni Delirium, Infection (infeksi

saluran kemih), Atrophic vaginitis/urethtritis, Pharmaceutical, Psycological, Excess urine

output, Restricted mobility, dan Stool impaction (Purnomo, 2003).

2.4.4 Evaluasi Pasien Inkontinensia Urin

2.4.4.1 Anamnesis

Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien inkontinensia urin antara lain:

Onset keluhan dan progresivitasnya.

Seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu kehidupan pasien.

Jumlah urin yang dikeluarkan saat inkontinensia.

Keluarnya tetesan-tetesan urin yang tidak mampu dicegah dapat dijumpai pada

inkontinensia paradoksal atau inkompetensi uretra, sedangkan keluarnya urin dalam

jumlah sedang dijumpai pada overaktivitas detrusor. Jumlah urin yang banyak

dijumpai pada inkontinensia kontinua.

Apakah pasien selalu memakai pempers dan seberapa sering ganti?

Pada malam hari seberapa sering miksi atau mengganti pempers?

Ada atau tidak faktor pencetus seperti batuk, bersin, atau aktivitas lain yang

mendahului inkontinensia, merupakan tanda dari inkontinensia stress. Kontraksi

detrusor dini seperti pada inkontinensia urge kadang dapat dicetuskan oleh faktor-

faktor tersebut.

Adanya keluhan urgensi dan frekuensi, pertanda overreaktivitas detrusor.

Diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi mengarah pada kelainan neurologis.

Ada riwayat penyakit yang lalu harus dicari. Hal ini berkaitan dengan faktor

predisposisi terjadinya inkontinesia seperti diabetes melitus, kelainan neurologi,

infeksi saluran kemih berulang, dan atrofi genitourinaria pada menopause serta

riwayat operasi maupun radiasi di daerah pelvis. Riwayat melahirkan juga perlu

11

Page 12: refarat inkontinensia tambahan.doc

diperhatikan yaitu apakah multipara, partus kasep, dan bayi besar yang kesemuanya

dapat menyebabkan inkompetensi sfingter dan kelemahan otot panggul. Riwayat obat-

obatan yang dikonsumsi juga dapat mempengaruhi seperti diuretik (Tanagho et al,

2998; Purnomo, 2003).

2.4.4.2 Pemeriksaan Fisik

Secara umum harus dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh. Pemeriksaan fisik

khusus yang dilakukan meliputi pemeriksaan abdomen, urogenital, dan neurologis (Purnomo,

2003).

Pada pemeriksaan abdomen dicari kemungkinan distensi buli-buli yang merupakan

tanda inkontinensia paradoks; atau adanya massa di pinggang dari hidronefrosis. Jaringan

parut bekas operasi pelvis atau abdomen juga dicari. Pada pemeriksaan urogenital, perhatikan

orifisium uretra dan vagina. Jika terdapat penonjolan orifisium eksternum mungkin

merupakan suatu proses inflamasi atau divertikulum. Minta pasien melakukan manuver

Valsava; jika terdapat penurunan leher buli-buli – uretra dan terdapat urin yang keluar,

kemungkinan pasien menderita inkontinensia stress. Dengan menggunakan spekulum,

perhatikan perubahan dan penebalan mukosa vagina yang merupakan tanda vaginitis

atrofikas akibat defisiensi estrogen, yang dapat terlihat pada inkontinensia urge. Perhatikan

adanya sistokel, enterokel, prolapsus uteri, atau rektokel yang menyertai inkontinensia stress.

Palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus atau adneksa (Purnomo, 2003).

Pemeriksaan status mental diperlukan untuk mencari tanda demensia. Pemeriksaan

neurologis dermatom dilakukan terhadap saraf yang menginervasi vesikouretra, yaitu nervus

pudendus dan nervus pelvikus berasal dari korda spinalis S2-4, dapat diperiksa dengan cara:

angkle jerk refleks (S1 dan S2), fleksi toe dan arch the feet (S2 dan S3), dan tonus sfingter ani

atau refleks bulbokavernosa (S2-4). Sfingter ani yang flaksid menunjukkan adanya

kelemahan otot detrusor (Purnomo, 2003).

2.4.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yakni urinalisis dan kultur urin digunakan untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi.

Pemeriksaan urodinamik digunakan untuk membantu menentukan jenis dan derajat

inkontinensia, serta untuk evaluasi sebelum dan sesudah terapi. Termasuk pemeriksaan

urodinamik adalah pemeriksaan uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri,

valsava leak point pressure, serta video urodinamika (Purnomo, 2003).

12

Page 13: refarat inkontinensia tambahan.doc

Pemeriksaan urodinamik yang paling sederhana adalah mengukur tekanan intravesika

dengan urodinamik eyeball. Dalam posisi dorsolitotomi pasien dipasang kateter. Setelah sisa

urin dikeluarkan, ujung kateter dihubungkan dengan semprit 50 mL tanpa pendorongnya, dan

diletakkan setinggi buli-buli (simfisis pubis). Kateter diisi air steril dengan perlahan-lahan

melalui semprit secara gravitasi. Lalu minta pasien mengatakan jika ada perasaan penuh di

buli-buli. Catat dan perhatikan volume air yang dimasukkan dan ketinggian air pada

meniskus (Purnomo, 2003).

Buli-buli normal: meniskus konstan selama pengisian buli-buli hingga tercapai

volume kapasitas buli-buli. Meniskus akan naik perlahan pada pengisian berikutnya.

Komplians buli-buli menurun: meniskus naik sebanding dengan volume air yang

dimasukkan.

Instabilitas buli-buli: meniskus tiba-tiba naik saat pengisian.

Uninhibited contraction: ada rembesan air di sela-sela kateter.

Pemeriksaan pencitraan yang meliputi pielografi intravena dan sistografi diperlukan

untuk mencari kemungkinan adanya fistula ureterovagina, muara ureter ektopik, dan

penurunan leher buli-buli – uretra (Purnomo, 2003). Sistourethroskopi dapat melihat keadaan

patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum.

Pemeriksaan residu urin dengan katerisasi atau ultrasonografi post miksi dilakukan

untuk mengetahui adanya obstruksi infravesika atau kelemahan otot detrusor.

2.4.5 Tatalaksana

Inkontinensia urin merupakan gejala, untuk itu terapi ditujukan pada penyakit

penyebab serta mengatasi permsalahan sosial yang timbul. Pada inkontinensia stress atau

urge, pilihan terapi tergantung dari derajat keparahan inkontinensia.

13

Page 14: refarat inkontinensia tambahan.doc

Tabel 1. Pilihan terapai pada inkontinensia urin

Jenis

inkontinensia

Latihan Medikamentosa Tindakan invasif

Urge Behavioral

Biofeedback

Bladder drill

Lihat tabel 2. Augmentasi buli-buli

Neuromodulasi

Rhizolisis

Stress Pelvic floor

exercise

Agonis adrenergik alfa

Antidepresan trisiklik

Hormonal

Kolposuspensi

TVT

Injeksi kolagen

Paradoksal - Desobstruksi

Total - Sfingter artifisial

2.4.5.1 Latihan/rehabilitasi

Prinsip terapi inkontinensia strees adalah memposisikan segmen vesikouretra di

tempat yang tepat. Alasannya adalah karena sfingter normal namun kurang efisien karena

hipermobilitas pada posisi yang abnormal (Tanagho et al, 2008). Pelvic floor exercise atau

Kegel exercise bertujuan untuk meningkatkan resistensi uretra dengan cara memperkuat otot-

otot dasar panggul dan otot periuretra. Pasien dilatih cara melakukan atau mengenal kontraksi

otot dasar panggul dengan cara mencoba menghentikan aliran urin (mengkontraksikan otot-

otot pelvis) kemudian mengeluarkan kembali urin melalui relaksasi otot sfingter. Lalu pasien

diinstruksikan untuk melakukan kontraksi otot dasar panggul (seolah-olah menahan urin)

selama 10 detik sebanyak 10-20 kali kontraksi dan dilakukan dalam 3 kali/hari. Untuk

mendapatkan efek yang diharapkan latihan dilakukan selama 6-8 minggu. Latihan ini

menyebabkan hipertrofi otot dasar panggul. Sehingga dapat meningkatkan tekanan mekanik

pada uretra dan memperbaiki fungsi sfingter uretra. Latihan ini dapat digunakan sebagai

prevensi terjadinya inkontinensia urin pada wanita sebelum melahirkan (Purnomo, 2003).

Pada terapi behavioral pasien diberi pengetahuan tentang fisiologi sistem urinaria

sebelah bawah dan mengikuti jadwal miksi seperti yang telah ditentukan. Pasien dilatih untuk

mengenal timbulnya sensasi urgensi, kemudian mencoba menghambatnya, dan selanjutnya

menunda saat miksi. Jika sudah terbiasa, interval antara miksi menjadi lebih lama dan volume

miksi lebih banyak (Purnomo, 2003).

14

Page 15: refarat inkontinensia tambahan.doc

2.4.5.2 Medikamentosa

Inkontinensia urge

Tujuan terapi pada inkontinensia urge adalah meningkatkan kapasitas buli-buli,

meningkatkan volume urin yang pertama kali memberi sensasi miksi, dan menurunkan

frekuensi kencing. Dipilih obat-obatan yang menghambat kontraksi otot detrusor atau yang

menghambat impuls aferen dari buli-buli.

Tabel 2. Obat pilihan pada inkontinensia urge

Sistemik Topikal

Antikolinergik (oksibutinin,

propantelin bromid, tolterodin tartrat)

Pelemas otot polos (disiklomin,

flavoxat)

Antidepresan trisiklik (imipramin)

Antiprostaglandin

Penghambat kanal kalsium

Penghambat jalur eferen:

o Oksibutinin

o Atrofin

Penghambat jalur aferen:

o Anestesi lokal

o Kapsaisin

o Rasiniferatoksin

Antikolonergik. Ikatan obat ini pada reseptor muskarinik lebih kuat daripada ikatan

asetilkolin sehingga menghambat transmisi impuls yang mencetuskan kontraksi detrusor.

Obat ini meningkatkan kapasitas buli-buli dan mengobati overreaktivitas buli-buli. Efek

samping yang dapat terjadi yaitu mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, takikardia,

drowsiness, dan meningkatkan tekanan intraokuli (Purnomo, 2003). Dikontraindikasikan

pada pasien dengan retensi urin.

Pelemas otot polos. Obat ini berguna pada hiperrefleksia otot spasmodik.

Antidepresan trisiklik. Obat ini dapat digunakan sebagai pelemas otot, memberikan anestesi

lokal pada buli-buli, dan berefek antikolinergik. Efek samping yang dapat terjadi yaitu

kelemahan, mudah lelah, hipotensi postural, pusing, dan sedasi. Pemakaian pada usia lanjut

sebaiknya dibatasi.

Penghambat kanal kalsium. Efek yang diharapkan yaitu menurunnya kontraksi otot detrusor

pada instabilitas buli-buli. Efek sampingnya yaitu flushing, pusing, palpitasi, hipotensi, dan

refleks takikardi.

Prostaglandin berperan pada eksitasi neurotransmisi pada saluran kemih bagian bawah.

15

Page 16: refarat inkontinensia tambahan.doc

Inkontinensia stress

Tujuan terapinya yaitu meningkatkan tonus sfingter uretra dan resistensi bladder

outlet.

Agonis alfa adrenergik. Obat ini menstimulasi reseptor alfa adrenergik yang menyebabkan

kontraksi otot polos pada leher buli-buli dan uretra posterior. Jenis obatnya yaitu efedrin,

pseudoefedrin, dan fenilpropanolamin. Efektif pada inkontinensia stress derajat ringan dan

sedang. Efek samping obat ini yaitu anoreksia, nausea, insomnia, konfusi, peningkatan

tekanan darah, dan ansietas.

Estrogen. Pemakaiannya pada inkontinensia stress masih diperdebatkan. Pemakaian

kombinasi dengan adrenergik alfa mempunyai efek sinergis. Pemberian estrogen pada

menopause dapat meningkatkan jumlah reseptor adrenergik alfa pada uretra.

Injeksi agen bulking. Terapi ini merupakan terapi terbaru untuk inkontinensia stress, yaitu

injeksi lokal, dekat sfingter uretra interna, agen bulking seperti asam hialuronat dan kolagen.

Tujuannya adalah menebalkan dan menutup jaringan uretravesikal.

2.4.5.3 Pembedahan

Inkontinensia yang disebabkan oleh fistula atau kelainan bawaan ektopik ureter

tindakan yang paling tepat adalah pembedahan, berupa penutupan fistula atau neoimplantasi

ureter ke buli-buli. Pada inkontinensia urge dan stress pembedahan dilakukan jika terapi

konservatif tidak memberikan hasil maksimal. Pada inkontinensia urge untuk mengurangi

evereaktivitas buli-buli dilakukan dengan rhizolisis, sedangkan penurunan komplians buli-

buli dilakukan dengan augmentasi buli-buli. Hipermobilitas uretra dikoreksi dengan suspensi

leher buli-buli dengan berbagai tekhnik antara lain Marshall-Marchetti-Kranzt, Burch,

Stamey, tension-free vaginal tape (TVT), atau tekhnik yang lain (purnomo, 2003). Tekhnik

Marshall-Marchetti-Kranzt melengketkan jaringan periuretra ke bagian posterior simfisis

pubis. Burch memodifikasi tekhnik tersebut dimana dinding anterior vagina diikat dengan

ligamen Cooper (Tanagho et al, 2008).

16

Page 17: refarat inkontinensia tambahan.doc

Gambar 2. Tekhnik Burch (Tanagho et al, 2008)

17

Page 18: refarat inkontinensia tambahan.doc

BAB 3

KESIMPULAN

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin.

Prevalensi kejadian ini cukup tinggi yaitu mengenai lebih dari 200 juta orang di seluruh

dunia. Lebih sering ditemukan pada wanita dan usia tua.

Inkontinensia urin disebabkan oleh kegagalan pengisian dan penyimpanan urin, baik

karena faktor buli-buli maupun uretra. Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan menjadi

Inkontinensia true, inkontinensia urge, inkontinensia stress, inkontinensia overflow

(paradoksal), inkontinensia kontinua, inkontinensia kongenital, dan inkontinensia iatrogenik

atau posttraumatik.

Inkontinensia merupakan gejala bagian dari suatu kelainan. Evaluasi pasien dengan

keluhan inkontinensia meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,

pemeriksaan urodinamik, pemeriksaan radiologi, serta pemeriksaan residu urin. Terapi

inkontinensia urin tergantung tipe dan derajat keparahannya, terdiri dari rehabilitasi,

medikamentosan, dan pembedahan

18

Page 19: refarat inkontinensia tambahan.doc

DAFTAR PUSTAKA

DeMaagd, G.A., et al. 2012. Management of Urinary Incontinence. Pharmacy and

Terapeutics Journal vol.3 no.6 p 345-361H. Accessed from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3411204/pdf/ptj3706345.pdf

Guyton A.C dan Hall, J.E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta. hal 507-508

National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse. Urinary Incontinence in

Men. 2007. U.S Departement of Health and Human Services. Accessed from

http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/uimen/uimen_508.pdf

Moore, K.L dan Agur, A.M.R. 2007. Essential Clinical Anatomy, 3rd ed. Lippincott

Williams & Wilkins: Texas.

Purnomo, B.B. 2003. Dasar-dasar Urologi, edisi kedua. Sagung Seto: Jakarta. hal 105-119

Tanagho, E.A., et al. 2008. Urinary Incontinence. Dalam: Smith’s General Urology, 17th

edition. McGraw-Hill: New York. p 473-489

19