Makalah Ibu Hamil
-
Upload
rini-pramuati -
Category
Documents
-
view
60 -
download
3
description
Transcript of Makalah Ibu Hamil
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kehamilan merupakan proses fisiologi yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari pasangan
subur agar dapat dilalui dengan aman. Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi
yang tak terpisahkan. Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan
perkembangan kedua bagian unit tersebut.
Selama kehamilan, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan
yang membutuhkan obat. Penggunaan obat pada Ibu hamil dapat beresiko bagi ibu hamil dan
janin. Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang
berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar. Sedangkan kebanyakan obat yang
dipasarkan tidak diteliti efek sampingnya kepada Ibu hamil dan janin.
Beberapa obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu
berhati-hati.
Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, mungkin sebagai upaya
perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang reaktif, yang bersifat
teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau obat-obat yang dapat menyebabkan
terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak janin dalam pertumbuhan.
Jadi harus diingat bahwa obat yang diberikan selama kehamilan harus untuk kepentingan ibu
tanpa menghasilkan komplikasi yang tidak diinginkan. Beberapa obat dapat memberi risiko bagi
kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat
menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu.
Selama trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta.
Obat cenderung dikelola sendiri atau diresepkan oleh praktisi kesehatan selama kehamilan.
Cerdas menggunakan obat selama kehamilan mengharuskan praktisi kesehatan memahami
interaksi antara obat-obatan dan kehamilan sehingga menghindari penggunaan sembarangan obat
dengan konsekuensi teratogenik seperti tragedi thalidomide. Perubahan fisiologi selama
kehamilan dapat berpengaruh terhadap kinetika obat dalam ibu hamil dan menyusui yang
kemungkinan berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap obat yang diminum.
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman
hingga harus dihindari selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin
yang dikandung ataupun bayinya. Untuk memberikan pengetahuan mengenai penggunaan obat
pada ibu hamil, maka farmasis perlu dibekali pedoman dalam melaksanakan
pelayanan kefarmasian bagi ibu hamil dan menyusui.
1.2 TUJUAN
Untuk mengetahui obat-obat apa saja yang dapat dianjurkan terhadap pasien ibu hamil
dan menyusui
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses kehamilan
Proses kehamilan di dahului oleh proses pembuahan satu sel telur yang bersatu dengan
sel spermatozoa dan hasilnya akan terbentuk zigot. Zigot mulai membelah diri satu sel menjadi
dua sel, dari dua sel menjadi empat sel dan seterusnya. Pada hari ke empat zigot tersebut menjadi
segumpal sel yang sudah siap untuk menempel / nidasi pada lapisan dalam rongga rahim
(endometrium). Kehamilan dimulai sejak terjadinya proses nidasi ini. Pada hari ketujuh
gumpalan tersebut sudah tersusun menjadi lapisan sel yang mengelilingi suatu ruangan yang
berisi sekelompok sel di bagian dalamnya.
Sebagian besar manusia, proses kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari) dan tidak
lebih dari 43 minggu (300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 20 – 38 minggu disebut
kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dari 42 minggu disebut kehamilan postterm. Menurut
usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan trimester pertama 0 – 14 minggu,
kehamilan trimester kedua 14 – 28 minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 – 42 minggu.
Gangguan pada kehamilan
Mual dan muntah
Liur melimpah
Tekanan pada dada
Lemah dan pusing
Sariawan
Gangguan buang air besar
Varises
Wasir atau ambeien
Kejang kaki
Keputihan
2.2 Teratogenik
Prinsip-prinsip dari teratologi yang diajukan oleh James Wilson pada tahun 1959 dan
dalam bukunya monografi Lingkungan dan Lahir Cacat. Prinsip-prinsip panduan studi dan
pemahaman tentang agen teratogenik dan pengaruhnya terhadap organisme berkembang:
1. Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe konsepsi dan cara dimana ini
berinteraksi dengan faktor lingkungan yang merugikan.
2. Kerentanan terhadap teratogenesis bervariasi dengan tahap perkembangan pada saat
terkena pengaruh yang merugikan. Ada periode kritis dari kerentanan terhadap agen dan
sistem organ terpengaruh oleh agen ini.
3. Agen teratogenik bertindak dengan cara tertentu pada pengembangan sel dan jaringan
untuk memulai urutan peristiwa perkembangan abnormal.
4. Akses pengaruh yang merugikan pada jaringan berkembang tergantung pada sifat
mempengaruhi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan teratogen untuk kontak
konsepsi berkembang, seperti sifat dari agen itu sendiri, rute dan tingkat eksposur ibu,
laju perpindahan plasenta dan penyerapan sistemik, dan komposisi genotipe ibu dan
embrio / janin.
5. Ada empat manifestasi pengembangan menyimpang (Kematian, malformasi, Retardasi
Pertumbuhan dan Cacat Fungsional).
6. Manifestasi meningkatkan pembangunan menyimpang di frekuensi dan gelar sebagai
meningkatkan dosis dari No diamati Pengaruh Buruk Level (NOAEL) dengan dosis
memproduksi 100% Lethality (LD100).
2.3 Teratologi pada manusia
Aspek yang paling penting dalam masalah ini adalah pengaruh obat-obat pada saat
tertentu selama pembuahan sampai dengan kehamilan. Periode pertumbuhan hasil konsepsi
dibagi menjadi :
1. Periode ovum, yakni sejak saat fertilisasi sampai dengan implantasi.
2. Periode embrionik, yakni sejak minggu kedua sampai dengan minggu kedelapan setelah
fertilisasi
3. Periode fetal (janin), yakni setelah 8 minggu sampai dengan aterm. Periode embrionik
adalah periode yang paling kritis oleh karena saat ini sedang dalam fase pembentukan
organ-organ (organogenesis). Pada periode fetal atau janin, terutama trimester III,
pengaruh antibiotika yang diberikan pada ibu hamil tidak akan mempengaruhi
pembentukan organ (malformasi/dismorfogenik). Pengaruh obatobatan terhadap janin
berkaitan dengan jumlah bahan didalam peredaran darah (serum), absorbsi dalam usus,
metabolisme, ikatan dengan protein (protein binding), penyimpanan dalam sel, uuran
molekul dan kelarutan bahan tersebut dalam lemak yang merupakan faktor yang
menentukan kemampuan obat untuk menembus barier plasenta. Beberapa jenis obat
memang telah diketahui memberikan efek teratogenik pada dosis yang relatif rendah pada
saat yang tepat misalnya alkohol, thalidomide, antagonis asam folat dan lain-lainnya,
akan tetapi yang penting diketahui adalah bahwa pemakaian obat-obat tersebut meskipun
mempunyai efek teratogenik bila diberikan setelah periode yang kritis tersebut tidak lagi
memberikan kelainan-kelainan yang
2.4 Kerja Obat Teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada
saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan
anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek
pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai
minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik
belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi factor,yaitu:
1. Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
2. Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
3. Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya
vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Dervat
vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
4. Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas.
Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan
pada selubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi
alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada kehamilan trimester pertama dan
kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh.
2.5 Aksi Mekanisme
Ada 6 mekanisme teratonik yang terkait dengan pengobatan :
1. Folat antagonis
2. Gangguan sel saraf kepala
3. Gangguan endokrin
4. Tekanan oksidatif
5. Gangguan pembuluh darah
6. Reseptor tertentu atau enzim yang dimediasi teratogenesis
Banyak pengobatan digolongkan sebagai kelas X yang dikaitkan dengan sekurang-kurangnya
mekanisme di bawah ini.
Beberapa obat dipelajari untung penggunaan semasa kehamilan & menyusui dan sedikit
petunjuk yang tersedia bagi dokter dan pasien. Dengan demikian sebagian besar obat yang
digunakan off label selama kehamilan. Kebanyakan monograf produk menyarankan bahwa obat
tidak boleh digunakan selama kehamilan atau menyusui. Untuk alasan seperti biaya &
pengadilan, perusahaan farmasi tidak menangani kehamilan. Informasi tentang disposisi obat
selama kehamilan biasanya diperoleh pasca-persetujuan dan melalui pelaporan ADR secara
sukarela.
2.6 Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek terhadap janin.
Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan 5 kategori obat yang kemungkinan berefek terhadap
janin.yaitu:
1. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko
terhadap janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil
(vitamin)
2. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap
janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan ini
bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin).
3. Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap janin
akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat . obat golongan ini boleh diberikan
pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap jani
(Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH)
4. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat golongan ini
tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila
dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin).
5. Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat ini
jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak
dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penggunaan Antibiotika pada Kehamilan
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi ataupun profilaksis.
Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji
kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan
dengan mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu maupun efek teratogenik terhadap
janin dalam rahim. Selain itu penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan
perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik pada ibu hamil. Kondisi
fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau
parenteral dan dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak hamil. Barier
plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin seminimal mungkin mendapatkan efek
samping obat. Dalam hal ini harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika,
oleh karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat lemah (masa kritis) dan
meningkat sampai pada puncaknya pada waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan
menurun lagi sampai aterm.
3.2 Mekanisme kerja obat anti infeksi
Mekanisme kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat berupa :
1. Menghambat sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein dan asam nukleat.
2. Menghambat sintesa dinding sel atau membran plasma.
3. Merusak dinding sel atau membran plasma. Dilihat dari mekanisme kerjanya maka
antibiotika ini dapat mempunyai efek :
a) Bactericidal,bila menyebabkan sel mikroorganisme tersebut mati oleh karena efek obat
yang merubah, menghambat atau merusak sel mikroorganisme.
b) Bacteriostatic, bila menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme terhenti oleh karena
ada hambatan terhadap metabolisme mikroorganisme.
Obat-obat ini sebagian dalam bentuk terikat dengan protein (protein binding) atau
mengalami proses metabolisme sehingga terbentuk metabolit-metabolit yang tidak dapat
menembus barier plasenta. Sebagian lagi dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein dan
tidak mengalami metabolisme, bentuk ini yang mampu menembus barier plasenta.
3.3 Farmakokinetik obat-obat anti infeksi pada kehamilan
1. Famakokinetik obat -obat saat hamil jelas tidak sama dengan tidak hamil, oleh
karena adanya perubahan fisiologik pada saat hamil.
2. Perubahan-perubahan farmakokinetik saat hamil antara lain
3. Volume darah dan cairan tubuh meningkat sehingga kadar obat dalam plasma
darah akan menurun.
4. Kadar protein dalam plasma relatif rendah, akibatnya ikatan obat dengan protein
akan menurun sehingga kadar obat bebas dalam darah akan meningkat.
5. Aliran darah ke ginjal meningkat sehingga filtrasi glumerolus akan meningkat dan
ekskresi obat melalui ginjal juga meningkat sehingga masa aksi kerja obat dalam
tubuh akan lebih singkat.
6. Kadar progesteron saat hamil meningkat, sehingga metabolisme di hepar akan
meningkat pula , hal ini mengakibatkan kadar obat bebas dalam darah akan
menurun.
7. Peristaltik menurun sehingga absorpsi melalui usus akan menurun, dengan
demikian kadar obat per oral dalam serum ibu hamil akan lebih rendah dibanding
dengan ibu yang tidak hamil. Oleh karena itu dosis obat per oral yang diberikan
pada ibu hamil relatif harus lebih tinggi dibanding ibu tidak hamil untuk
mendapatkan dosis terapeutik dalam darah yang sama.
Kondisi seperti diatas menjadi masalah yang harus dipertimbangkan dalam pemberian
obat pada ibu hamil, oleh karena setiap obat yang diberikan pada ibu hamil hampir selalu ada
sebagian yang mampu menembus barier plasenta dan masuk kedalam unit janin dalam rahim.
Sebagai contoh Sulfonamide yang diberikan pada ibu, sebanyak < 1% akan menembus barier
plasenta kedalam unit janin. Jumlah obat Xenobiotic yang mampu menembus barier plasenta
tergantung pada :
1. Jenis obat. Oleh karena jumlah obat yang terikat pada protein dan mengalami
metabolisme sangat tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai.
2. Dosis obat. Makin tinggi dosis yang diberikan, akan makin tinggi pula kadar Xenobiotic
yang masuk kedalam unit janin.
3. Kondisi plasenta. Pada umumnya kondisi plasenta berkaitan erat dengan usia hamil.
Proses pertumbuhan plasenta akan sempurna pada usia hamil 16-20 minggu. Pada usia
hamil 21-28 minggu barier plasenta akan lebih kuat dibanding dengan usia hamil diatas
28 minggu.
Xenobiotic yang beredar dalam unit janin seharusnya mencapai kadar terkecil
yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Minimal Inhibitory
Consentration/MIC) atau kadar terkecil yang mampu membunuh mikroorganisme
(Minimal Bactericidal Consentration/MBC) tanpa menimbulkan risiko terhadap janin
atau hasil konsepsi. Akan tetapi hal ini yang sangat sulit dilaksanakan oleh karena
menentukan dosis terapeutik obat dalam tubuh janin dalam rahim belum dilaksanakan secara
rutin sedangkan MIC dan MBC ditentukan berdasarkan atas uji kepekaan di laboratorium.
Alasan lainnya adalah bahwa kemampuan obat yang diberikan pada ibu hamil tergantung pada
kondisi patologik dari jaringan yang terinfeksi. Sebagai contoh misalnya mikroorganisme dalam
kantung abses lebih sulit dicapai oleh obat anti infeksi.
Dikatakan bahwa efek toksik atau teratogenik obat antibiotika pada janin selalu dikaitkan dengan
pemakaian obat pada usia hamil yang muda (trimester I). Setiap pemakaian obat pada kehamilan,
tanpa memandang usia hamil kemungkinan dapat menimbulkan kelainan pada janin baik fisik
maupun mental dlam tingkat ringan sampai berat. Aminoglikosida akan menembus barier
plasenta dan akan memberikan efek toksik rata-rata 3-11% pada janin. Kelainan pada janin ini
dapat langsung dipantau dalam rahim, atau bahkan tidak jarang pula baru bisa diketahui setelah
lahir atau timbul pada masa anak-anak atau remaja.
Tabel 1. Klasifikasi (FDA) untuk antibiotika dan risikonya terhadap janin
3.4 Penggunaan klinis dan pemilihan jenis antibiotika pada kehamilan
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi, akan tetapi bisa juga dengan
tujuan profilaksis. Untuk tujuan terapi sering dipakai pada kasus kehamilan dengan tanda klinis
adanya infeksi baik lokal maupun sistemik misalnya kehamilan yang disertai dengan penyakit
infeksi sistemik misalnya typhoid, tuberkulose dan lain sebagainya. Sedangkan infeksi lokal
misalnya adanya tanda infeksi genetalia, vaginosis bakteri, infeksi jamur atau infeksi intrauterin
sebagai akibat suatu persalinan yang lama (partus kasep) akan tetapi bisa juga pada kasus dengan
tanda persalinan preterm yang membakat yang diduga disebabkan oleh infeksi genetalia.
Sedangkan untuk tujuan profilaksis sering digunakan pada kasus kehamilan dengan kelainan
katub jantung, ketuban pecah dini. perdarahan pada kehamilan
dan eklamsia. Pada keadaan ini sebenarnya belum tampak adanya gejala infeksi, akan tetapi
kondisi ibu seperti ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi yang membahayakan ibu
dan atau janin didalam rahim.
Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji
kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan.
Dengan menggunakan tehnik kultur yang saat ini dikerjakan, hal ini memerlukan waktu yang
relatif lama sedangkan kita harus mengejar waktu untuk segera memberikan terapi antibiotika.
Pada akhirnya seorang dokter di suatu rumah sakit harus memahami peta mikroorganisme
setempat untuk menentukan pilihan antibiotika pada ibu hamil maupun bersalin yang
memerlukan. Akan tetapi menurut beberapa peneliti dari negara maju sebenarnya lebih banyak
jenis kuman yang bisa ditemukan pada ibu hamil atau bersalin yang mengalami infeksi.
Dikemukakan sebagian besar kuman Anaerob seperti Mycoplasma hominis, Ureaplasma
urealithicum, Bacteroides dan Gardnerella vaginalis yang memerlukan tehnik kultur yang khusus
sangat berperan pada infeksi dibidang kebidanan.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka saat ini penggunaan antibiotika terutama penggunaan
kombinasi lebih dari satu jenis obat makin meningkat. Ditinjau dari bidang farmakologis maka
penggunaan antibiotika kombinasi ini mempunyai beberapa keuntungan maupun kerugian.
A Keuntungan
1. Mengurangi resistensi terhadap antibiotika oleh karena dengan menggunakan kombinasi
yang sinergistik akan meningkatkan daya kemampuan untuk membunuh
mikroorganisme.
2. Mengurangi efek toksik. Hal ini berkaitan dengan dosis obat. Semakin rendah dosis tiap
jenis antibiotika akan makin rendah pula efek toksik obat. Efek sinergistik ini akan bisa
menurunkan masing-masing dosis obat kombinasi yang diberikan.
B Kerugian
1. Biaya yang diperlukan akan lebih banyak.
2. Efek antagonis dari 2 obat atau lebih yang mempunyai mekanisme dan titik tangkap
kerja yang sama akan sangat merugikan karena mengurangi manfaat utama dari obat.
3. Meningkatkan risiko reaksi allergi
3.5 Penyebaran Obat pada Wanita di masa sebelum sampai seleai kehamilan
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang prevalensi
penggunaan
resep obat pada wanita hamil di Amerika Serikat.
Desain penelitian: Sebuah studi retrospektif dilakukan dengan menggunakan database otomatis
dari 8
organisasi pemeliharaan kesehatan yang terlibat dalam Pemeliharaan Kesehatan Jaringan
Penelitian
Pusat Pendidikan dan Penelitian Therapeutics.Identifikasi terhadap wanita yang melahirkan bayi
di rumah sakit dari tanggal 1 Januari 1996, sampai dengan 31 Desember 2000. Resep obat
menggunakan sesuai dengan kelas terapi dan klasifikasi risiko Amerika Serikat Food and Drug
Administration
sistem dievaluasi, dengan asumsi durasi kehamilan dari 270 hari, dengan tiga trimester 90 hari
kehamilan, dan dengan jangka waktu 90 hari sebelum kehamilan. Penggunaan narkoba diluar
perespan tidak dihitung.
Hasil: Selama periode 1996 sampai 2000, 152.531 kelahiran diidentifikasi yang memenuhi
kriteria
untuk menjadi subjek penelitian. Untuk 98.182 penyebaran (64%), obat selain vitamin atau
mineral suplemen telah ditetapkan dalam 270 hari sebelum penyebaran: wanita 3595 (2,4%)
menerima obat dari kategori A; 76.292 perempuan (50,0%) menerima obat dari kategori B;
57.604 perempuan (37,8%) yang diterima obat dari kategori C; 7333 perempuan (4,8%)
menerima obat dari kategori D, dan 6.976 perempuan (4,6%) menerima obat dari kategori X
risiko Amerika Serikat Food and Drug Administration sistem klasifikasi. Secara keseluruhan,
5.157 perempuan (3,4%) menerima obat kategori D, dan 1.653 perempuan (1,1%) menerima
obat kategori X setelah awal prenatal kunjungan perawatan.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa hampir separuh dari semua wanita hamil menerima obat
resep
dari kategori C, D, atau X dari klasifikasi risiko Amerika Serikat Food and Drug Administration
sistem menyoroti pentingnya kebutuhan untuk memahami dampak dari obat-obat ini pada
mengembangkan janin dan pada wanita hamil.
3.6 Farmakokinetik saat Kehamilan
- Absorpsi: Tingginya kadar sirkulasi progesteron memperlambat pengosongan lambung dan
meningkatkan waktu transit usus. Namun penyerapan obat lambat tidak terjadi, kecuali untuk
mendapatkan respon cepat pemberian obat dilakukan secara parenteral. Peningkatan emesis
terlihat karena morning sickness.
- Distribusi: Kehamilan disertai dengan peningkatan air tubuh total hingga 8 liter dan 30%
peningkatan volume plasma, dengan penurunan konsekuen dalam plasma albumin karena
hemodilusi. Hal ini dapat mengubah konsentrasi Vd dan plasma dari obat yang diberikan.
- Metabolisme: Enzim metabolisme obat di hati diinduksi atau dirangsang selama kehamilan,
mungkin ini terjadi karena tingginya tingkat sirkulasi progesteron. Hal ini menyebabkan
degradasi metabolik yang cepat, terutama obat larut lemak.
- Ekskresi: Selama kehamilan, aliran plasma ginjal meningkat 100% dan GFR sebesar 70%. Obat
yang yang eliminasinya tergantung pada fungsi ginjal dieliminasi lebih cepat daripada saat tidak
hamil.
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi farmakokinetika
obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya penambahan volume darah
sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir semester pertama aliran darah
ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke rahim mencapai puncaknya
hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta, janin
dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu. Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas
menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi
di air seperti aminoglikosida dan obat dengan volume distribusi yang rendah.
Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia)
yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta
serta obat-obat lain yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam
bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena bertambahnya kadar obat
dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat
tersebut.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna
pada absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar
estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain,
misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin.Peningkatan aliran
darahke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama
lewat ginjal, contohnya penicilin.
3.7 Janin
A. Plasenta
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga
konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan
obat lewat plasenta.Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat
plasentadipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.
• Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi
janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti
nafas) padabayi yang baru dilahirkan.
• Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang terionisasi akan
sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada
seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta
sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan
dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan
melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan
dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta
terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi,
senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
• Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori membran
bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul
500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000
Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat
molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta
sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
• Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati membran.
Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan
melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak
terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam
lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta dan
dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga
penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari
ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan
dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-
10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
Tingkat di mana obat melintasi plasenta dan jumlah obat yang mencapai janin
1. transporter plasenta: transporter ini memompa kembali obat dari darah janin kembali ke
darah ibu, misalnya: P-gp, BCRP, MRP3.
2. Ikatan protein: juga dapat mempengaruhi tingkat dan jumlah transfer.
3. metabolisme plasenta: dapat mengkonversi obat beracun untuk metabolit tidak beracun
atau sebaliknya. Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat
metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada
di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya
oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme plasenta ini akan
menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya
etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin
yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami
metabolisme yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal.
Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung
masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan
dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan
metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam
valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel
embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio
lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di
sel embrio.
B. Durasi paparan obat
C. Karakteristik Distribusi pada jaringan janin yang berbeda
D. Tahap plasenta dan perkembangan janin pada saat paparan obat.
E. Efek obat yang digunakan pada saat kombinasi obat.
3.7 Obat-Obatan di dalam Kehamilan
Apapun yang seorang wanita hamil makan atau minum dapat memberikan pengaruh pada
janinnya. Seberapa banyak jumlah obat yang akan terpapar ke janin tergantung dari bagaimana
obat tersebut diabsorpsi (diserap), volume distribusi, metabolisme, dan ekskresi (pengeluaran
sisa obat). Penyerapan obat dapat melalui saluran cerna, saluran napas, kulit, atau melalui
pembuluh darah (suntikan intravena). Kehamilan sendiri mengganggu penyerapan obat karena
lebih lamanya pengisian lambung yang dikarenakan peningkatan hormon progesteron. Volume
distribusi juga meningkat selama kehamilan, estrogen dan progesteron mengganggu aktivitas
enzim dalm hati sehingga berpengaruh dalam metabolisme obat. Ekskresi oleh ginjal juga
meningkat selama kehamilan.
Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah seberapa banyak obat melalui plasenta (jaringan
yang melekat pada rahim dan menyediakan nutrisi atau sebagai penyaring zat- zat berbahaya
bagi janin). Obat yang larut dalam lemak lebih mudah melalui plasenta dibandingkan obat yang
larut dalam air. Obat-obat dengan berat molekul besar lebih sulit melalui plasenta. Jumlah obat
yang terikat pada plasma protein mempengaruhi jumlah obat yang dapat melalui plasenta.
Selain itu spesifisitas, dosis, waktu pemberian, fisiologi ibu, embriologi, dan genetik juga dapat
mempengaruhi. Spesifisitas dimaksudkan bahwa obat yang berbahaya untuk janin di satu spesies
belum tentu berbahaya bagi spesies lainnya, begitu juga sebaliknya (hewan ke manusia dan
sebaliknya). Dosis yang dipakai juga penting, dosis kecil mungkin tidak memiliki pengaruh
apapun, dosis sedang menyebabkan kecacatan, dan dosis tinggi dapat menyebabkan kematian.
Waktu pemberian berkaitan dengan kelainan organ-organ. Paparan obat teratogen (menyebabkan
kecacatan) pada minggu ke 2 – 3 setelah pembuahan tidak memiliki efek atau menimbulkan
abortus (all or nothing). Periode yang rentan dengan gangguan pembentukan organ berada pada
minggu ke 3 – 8 setelah pembuahan atau 10 minggu dari periode menstruasi terakhir. Setelah
periode ini, pertumbuhan janin ditandai dengan pembesaran organ-organ pada minggu 10 – 12.
Gangguan pada periode ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan atau gangguan di sistem
saraf dan alat reproduksi.
Sesungguhnya semua obat dapat melalui plasenta dalam jumlah tertentu, kecuali obat-obat
dengan ion organik yang besar seperti heparin dan insulin. Transfer plasenta aktif harus
dipertimbangkan. Terapi obat tidak perlu dihentikan selama menyusui karena jumlah yang larut
di dalam ASI tidak terlalu signifikan.
Jenis obat-obatan diantaranya adalah :
1. Antibiotik dan antiinfeksi lain
2. Obat-obatan untuk saluran napas bagian atas
3. Obat-obatan untuk gangguan pencernaan
4. Analgesik (anti nyeri)
5. Obat-obat gangguan psikiatri
6. Vitamin dan mineral
7. Obat-obatan Narkotik
8. Anti kejang
9. Obat sakit kepala
10. Obat anti kanker
11. Antikoagulan (pembekuan darah)
12. Obat Anti Hipertensi
1. Antibiotik dan antiinfeksi lain
a) Penisilin
Turunan penisilin, termasuk diantaranya amoksisilin dan ampisilin memiliki batas
keamanan yang cukup luas dan toksisitas (keracunan) yang sedikit baik bagi ibu maupun janin.
Penisilin adalah golongan ß-laktam yang menghambat pembentukan dinding sel bakteri.
Penisilin dipakai untuk berbagai macam infeksi bakteri. Ampisilin dan amoksisilin baik untuk
pengobatan infeksi saluran kemih. Sefalosporin juga aman dan digunakan untuk pengobatan
infeksi saluran kemih, pielonefritis (infeksi ginjal), dan gonorea. Penisilin aman digunakan
selama menyusui
b) Klindamisin :Klindamisin adalah golongan makrolida, digunakan pada infeksi bakteri
anaerob dan aman untuk wanita menyusui.
c) Tetrasiklin :Dapat mengakibatkan pewarnaan pada gigi janin.
d) Metronidazol
Metronidazol menghambat sintesis protein bakteri. Digunakan untuk trikomonas dan
bakterial vaginosis. Aman digunakan pada wanita menyusui
e) Aminoglikosida
Aminoglikosida menghambat sintesis protein bakteri. Digunakan untuk mengatasi
pielonefritis (radang pada ginjal). Bila dikonsumsi wanita hamil dapat menyebabkan
ototoksisitas (gangguan pada telinga) yang berakibat gangguan pendengaran. Aman pada bayi
yang disusui karena hanya sedikit jumlah obat yang melalui air susu
f) Trimetoprim-sulfametoksazol
Kombinasi ini (Bactrim) menghambat metabolisme asam folat dan baik untuk mengobati
infeksi saluran kemih. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa penggunaan bactrim pada
triwulan pertama berkaitan dengan sedikit peningkatan risiko kecacatan pada janin, terutama
jantung dan pembuluh darah. Selain itu, bactrim dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
(peningkatan kadar bilirubin pada tubuh) sehingga berakibat kernikterus (kuning) pada bayi.
Antibiotik ini aman untuk wanita menyusui
g) Eritromisin
Eritromisin dan azitromisin menghambat sintesis protein bakteri. Dapat digunakan pada
wanita menyusui
h) Antivirus
Acylovir tidak menimbulkan kecacatan pada janin berdasarkan penelitian pada 601
wanita hamil yang mengkonsumsi acyclovir. The Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) merekomendasikan bahwa acyclovir aman digunakan pada wanita hamil yang mengalami
papaparan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus (herpes, hepatitis, varisela <cacar>).
Untuk tatalaksana penyakit HIV / AIDS menggunakan NRTIs (zidovudin) dan NNRTIs aman
dikonsumsi oleh wanita hamil. Sedangkan Protease Inhibitor (Pis) belum diteliti lebih lanjut.
2. Obat-obatan untuk saluran napas bagian atas
Keluhan pada saluran pernapasan atas seperti rinore (hidung berair), bersin-bersin, hidung
tersumbat, batuk, sakit pada tenggorok diikuti dengan lemah dan lesu adalah keluhan yang
umum dimiliki oleh wanita hamil. Flu tersebut dapat disebabkan oleh rinovirus, koronavirus,
influenza virus, dan banyak lagi. Apabila keluhan ini murni disebabkan oleh virus tanpa infeksi
tambahan oleh bakteri maka terapi menggunakan antibiotik tidak diperlukan. Obat-obatan yang
paling sering digunakan untuk mengurangi gejala yang terjadi diantaranya adalah :
a) Antihistamin
Antihistamin atau sering dikenal sebagai antialergi aman digunakan selama kehamilan.
Antihistamin yang aman termasuk diantaranya adalah klorfeniramin, klemastin, difenhidramin,
dan doksilamin. Antihistamin generasi II seperti loratadin, setirizin, astemizol, dan feksofenadin
baru memiliki sedikit data mengenai penggunannnya selama kehamilan
b) Dekongestan
Dekongestan atau obat pelega sumbatan hidung adalah obat yang digunakan untuk
meredakan gejala flu yang terjadi. Dekongestan oral (diminum) diantaranya adalah
pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
dan fenilepinefrin. Pada triwulan pertama pemakaian pseudoefedrin berkaitan dengan kejadian
gastroschisis karena itu sebaiknya dipikirkan alternatif penggunaaan dekongestan topikal (hanya
disemprotkan di bagian tertentu tubuh, hidung) pada triwulan pertama
c) Pereda Batuk
Kodein dan dekstrometorfan adalah obat pereda batuk yang paling umum digunakan.
Kebanyakan obat flu aman dikonsumsi selama menyusui
Asma merupakan penyakit saluran pernapasan atas yang kronik (jangka waktu lama) ditandai
dengan peradangan pada saluran napas dan hipereaktivitas dari bronkus (lendir banyak keluar).
Terapi asma dimulai dengan mengurangi paparan terhadap lingkungan yang membuat asma
menjadi kambuh. Semua wanita hamil sebaiknya memperoleh vaksinasi influenza. Obat-obatan
asma diantaranya adalah :
d) Glukokortikoid
Inhalasi glukokortikoid (cara pemasukan obat melalui pernapasan, diuap) dilaporkan
tidak menyebabkan kecacatan dan dapat digunakan selama menyusui. Glukokortikoid sistemik
(diminum dengan reaksi pada seluruh tubuh) meningkatkan risiko bibir sumbing sebanyak 5 kali
dari normal.
e) Teofilin :Tidak menyebabkan kecacatan pada janin dan aman digunakan selama
menyusui
f) Sodium Kromolin :Tidak menyebabkan kecacatan pada janin dan aman digunakan
selama menyusui
Obat-obatan untuk gangguan pencernaan
Keluhan pada saluran cerna merupakan keluhan yang umum pada wanita hamil, termasuk
diantaranya adalah mual, muntah, hiperemesis gravidarum, intrahepatik kolestasis dalam
kehamilan, dan Inflammatory Bowel Disease. Terapi menggunakan obat diantaranya adalah :
Antihistamin. Aman dikonsumsi oleh wanita hamil.
Agen antidopaminergik. Beberapa obat antidopaminergik seperti proklorperazin, metoklopramid,
klorpromazin, dan haloperidol aman dikonsumsi oleh wanita hamil
Obat-obatan lain. Antasid, simetidin, dan ranitidin aman dikonsumsi wania hamil dan menyusui.
Penghambat pompa proton tidak direkomendasikan untuk wanita hamil. Misoprostol
kontraindikasi untuk kehamilan
4. Analgesik
Analgesik atau dikenal dengan anti nyeri terbagi atas kategori antiinflamasi nonsteroid dan
kategori opioid.
Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)
Aspirin adalah golongan NSAIDs yang bekerja dengan menghambat enzim untuk
pembuatan prostaglandin. Perhatian lebih diperlukan pada konsumsi aspirin melebihi dosis
harian terendah karena obat ini dapat melalui plasenta. Pemakaian aspirin pada triwulan pertama
berkaitan dengan peningkatan risiko gastroschisis. Dosis aspirin tinggi berhubungan dengan
abruptio plasenta (plasenta terlepas dari rahim sebelum waktunya). The World Health
Organization (WHO) memiliki perhatian lebih untuk konsumsi aspirin pada wanita menyusui.
Indometasin dan ibuprofen merupakan NSAIDs yang sering digunakan.
NSAIDs jenis ini dapat mengakibatkan konstriksi (penyempitan) dari arteriosus duktus fetalis
(pembuluh darah janin) selama kehamilan sehingga tidak direkomendasikan setelah usia
kehamilan memasuki minggu ke – 32.Penggunaan obat ini selama triwulan pertama
mengakibatkan oligohidramnion (cairan ketuban berkurang) atau anhidramnion (tidak ada cairan
ketuban) yang berkaitan dengan gangguan ginjal janin. Obat ini dapat digunakan selama
menyusui.
Asetaminofen banyak digunakan selama kehamilan. Obat ini dapat melalui plasenta namun
cenderung aman apabila digunakan pada dosis biasa. Asetaminofen dapat digunakan secara rutin
pada semua triwulan untuk meredakan nyeri, sakit kepala, dan demam. Dapat digunakan untuk
wanita menyusui.
Analgesik Opioid
Analgesik opioid adalah preparat narkotik yang dapat digunakan selama kehamilan. Preparat
narkotik ini dapat melalui plasenta namun tidak berkaitan dengan kecacatan pada janin selama
digunakan pada dosis biasa. Apabila penggunaan obat ini dekat dengan waktu melahirkan, maka
dapat menyebabkan depresi pernapasan pada janin. Narkotik yang umum digunakan adalah
kodein, meperidin, dan oksikodon, semua preparat ini dapat digunakan ketika menyusui.
5. Obat-obat gangguan psikiatri
Depresi dan skizofrenia adalah gangguan psikiatri yang dapat ditemukan selama periode
reproduksi. Agen trisiklik seperti amitriptilin, desipramin, dan imipramin digunakan untuk
mengatasi depresi, kecemasan berlebih, gangguan obsesif-kompulsif, migrain, dan masalah lain.
Tidak ada bukti jelas yang menyatakan adanya efek samping agen trisiklik pada wanita
menyusui dan wanita hamil.
The Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) termasuk di dalamnya fluoksetin
dan fluvoksamin tidak meningkatkan risiko kecacatan pada janin. Agen lain seperti penghambat
monoamin oksidase yang digunakan untuk mengatasi depresi belum diteliti lebih lanjut
mengenai keamanannya pada wanita hamil. Obat untuk stabilisasi mood (mood stabilizers)
seperti litium, asam valproat, dan karbamazepin dinyatakan sebagai agen teratogen (berbahaya
untuk janin). Litium tidak direkomendasikan untuk wanita menyusui. Asam valproat dan
karbamazepin berhubungan dengan peningkatan risiko neural tube defects (gangguan pada
saraf). Obat untuk mengatasi kecemasan berlebih seperti benzodiazepin dapat meningkatkan
risiko bibir sumbing. Efek pada wanita menyusui belum diketahui namun perlu diperhatikan
lebih lanjut.
6. Vitamin dan Mineral
Konsumsi multivitamin dan mineral pada umumnya diberikan untuk wanita hamil dari tenaga
kesehatan. Sudah dibuktikan berdasarkan penelitian bahwa folat dapat mengurangi kelainan
saraf. Suplementasi besi dapat meningkatkan hematokrit ketika melahirkan dan 6 minggu pasca
melahirkan. Vitamin yang terbukti teratogen adalah vitamin A ketika dikonsumsi lebih dari
10.000 IU/hari. Vitamin A dalam dosis ini dapat menyebabkan kelainan saraf. Apabila
digunakan sebagai suplementasi tidak lebih dari 5000 IU/hari.
7. Obat-obatan narkotik
Narkotik termasuk di dalamnya adalah opiat, kokain, atau kanabinoid. Efek narkotika
adalah hambatan pertumbuhan janin, kematian janin dalam kandungan, dan ketergantungan pada
janin. Penggunaan kokain selama kehamilan dapat meningkatkan risiko abruptio plasenta,
ketuban pecah dini, dan bayi berat lahir rendah. Amfetamin, obat yang digunakan untuk
mengatasi depresi, dapat meningkatkan
risiko bibir sumbing.
Penggunaan obat narkotik dengan suntikan bersama dapat meningkatkan risiko Hepatitis
B atau HIV/AIDS, dimana janin dapat tertular oleh virus tersebut.
Sebagai tambahan, nikotin yang terkandung di dalam rokok juga dapat menyebabkan bayi berat
lahir rendah. Nikotin mengurangi aliran darah menuju plasenta dan meningkatkan risiko
kelahiran preterm, bayi berat lahir rendah, dan kematian mendadak pada janin. Alkohol pada
wanita hamil dapat menyebabkan sindroma alkohol janin yang ditandai dengan perubahan
kraniofasial (tulang kepala dan wajah) dan gangguan kognitif. Tidak ada batas aman untuk
konsumsi alkohol selama kehamilan.
8. Anti Kejang
Epilepsi adalah penyakit gangguan saraf yang dapat terjadi selama kehamilan. Semua
obat antiepilepsi dapat melalui plasenta dan memiliki potensi teratogen. Penelitian membuktikan
bahwa obat antiepilepsi dapat menyebabkan cacat bawaan. Fenitoin (Dilantin) dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin. Karbamazepin dapat meningkatkan risiko spina
bifida. Fenobarbital dapat mengakibatkan kelainan jantung bawaan dan sumbing orofasial (bibir
dan wajah). Asam valproat memiliki risiko peningkatan 1-2% kelainan spina bifida. Obat
antiepilepsi diatas dapat digunakan selama menyusui.
9. Obat Sakit Kepala
Sakit kepala sering dialami selama kehamilan. Sumatriptan dapat digunakan untuk
mengobati sakit
kepala dan tidak bersifat teratogen. Obat untuk migrain yaitu ergotamin tidak memiliki sifat yang
berbahaya bagi janin. Obat ini dapat merangsang kontraksi rahim sehingga dapat menyebabkan
prematur janin.
10. Obat anti kanker
Kanker yang paling sering dialami oleh wanita hamil adalah kanker payudara. kanker
leher rahim, limfoma, melanoma, leukimia (kanker darah), dan kanker usus besar serta kanker
indung telur. Obat kemoterapi seperti metotreksat dapat memiliki potensi bahaya bagi janin.
Obat ini dapat menyebabkan kecacatan pada janin bila digunakan pada triwulan pertama. Selain
itu, obat kemoterapi dapat masuk ke dalam ASI sehingga menyusui tidak diperkenankan bagi ibu
yang menggunakan obat kemoterapi. Terapi pada wanita hamil dengan kanker harus
didiskusikan dengan tenaga kesehatan masing-masing.
11. Antikoagulan (anti pembekuan darah)
Tromboemboli (sumbatan pada pembuluh darah) merupakan salah satu penyebab
kematian tertinggi bagi wanita hamil dan setelah melahirkan. Antikoagulan digunakan untuk
mengatasi tromboemboli serta penyakit jantung akibat kelainan katup. Penggunaan antikoagulan
oral (warfarin) dapat mengakibatkan efek teratogen pada janin. Obat ini dapat melalui plasenta
dan menekan vitamin K yang diperlukan sebagai agen pembekuan darah. Antikoagulan lain
adalah heparin yang tidak dapat melalui plasenta pada dosis berapapun sehingga tidak bersifat
teratogen. Kedua jenis antikoagulan ini dapat digunakan selama menyusui.
12. Obat Anti Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
Penghambat ACE (captopril, enalapril) apabila digunakan pada triwulan kedua dan ketiga
dapat mengakibatkan disfungsi ginjal pada janin dan oligohidramnion (berkurangnya cairan
ketuban). Obat ini tidak dianjurkan selama kehamilan. Penghambat pompa kalsium (amlodipin,
diltiazem, nifedipin) dapat mengakibatkan hipoksia janin (kekurangan oksigen) yang berkaitan
dengan hipotensi maternal (tekanan darah rendah pada ibu). Golongan penghambat β
(propranolol, labetolol) dapat menyebabkan bradikardia (denyut jantung melambat) pada janin
maupun bayi baru lahir. Golongan diuretik (asetazolamid) dapat mengakibatkan gangguan
elektrolit pada janin. Golongan ARAs dapat mengakibatkan gangguan sistem renin-angiotensin
sehingga menyebabkan kematian pada janin.
KESIMPULAN
Pada umumnya obat-obatan aman untuk digunakan dalam masa kehamilan, termasuk
diantaranya antibiotik, obat untuk saluran pernapasan atas, dan keluhan saluran cernaBeberapa
obat diketahui memiliki efek teratogen (membuat cacat pada janin), termasuk diantaranya
Penghambat ACE (obat antihipertensi), isotretinoin (obat jerawat), alkohol, antibiotik tetrasiklin,
doksisiklin, dan streptomisin, antikoagulan, litium, obat antikejang, beberapa obat
antineoplasma, vitamin A dan turunannya, obat antitiroid, kokain, dan thalidomide. Kebanyakan
obat aman untuk digunakan dalam masa menyusui karena jumlah yang muncul di air susu
bersifat subterapeutik, sekitar 1 – 2% dari dosis ibu, kecuali litium.
Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil, merupakan suatu panduan yang diharapkan dapat
membantu para tenaga kesehatan terutama yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan dalam
melayani ibu hamil.
Dalam rangka peningkatan pengetahuan mengenai penggunaan obat pada ibu hamil, perlu
pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga harus dihindari
selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin yang dikandung.
Karena Perubahan fisiologi selama kehamilan dan menyusui dapat berpengaruh terhadap
kinetika obat pada ibu hamil dan menyusui yang kemungkinan berdampak terhadap perubahan
respon ibu hamil terhadap obat yang diminum.
DAFTAR PUSTAKA
http://muhammadyusuffirdaus.wordpress.com/2013/02/13/ibu-hamil/
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10578-Chapter1.pdf