Makalah Benigna Prostat Hiperplasia
-
Upload
iip-sanes-saepudin -
Category
Documents
-
view
588 -
download
12
Embed Size (px)
description
Transcript of Makalah Benigna Prostat Hiperplasia

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
A. PERUBAHAN PADA SISTEM PERKEMIHAN
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra,
dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini
dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat
mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.
1. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron
dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap
dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron
bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi
kerja nefron dan akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik
sistem renal. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat
proses menua:
a. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal,
dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume
tubulus proksimal berkurang, penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini
adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang
mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia
menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit
menjadi terganggu, nokturia.
b. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,
penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk
memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan
risiko dehidrasi.
c. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran
gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.
2. Perubahan pada Sistem Urinaria
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu :

a. penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL)
b. peningkatan volume residu (N: 50 mL)
c. peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari
d. atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko inkotinensia.
3. Perubahan pada aliran darah ginjal
Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada
korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen
pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran
darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini
berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan
pengaturan sistem keseimbangan.
a. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter
per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600
ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120
ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal
dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin
terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan,
memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal
kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya
menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama
berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari
kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta
dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
b. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap

memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki
usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan
karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk
regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara
lain : (Cox, Jr dkk, 1985)
1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda.
3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum
yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta
massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal
pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
4) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun
sejak usia 30 tahun.
c. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat
disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan
jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-
macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga
usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari
pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan
kreatinin.
d. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada
peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang
sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan
dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada

laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi
peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi
sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan
timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul
terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang
biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga
berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan
mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat
mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
B. DEFINISI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
1. Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat , pertumbuhantersebut dimulai dari bagian periuretral sebaga
proliferasi yang terbatas dan tumbuh menekan kelanjar normal yang tersisa ( Price &
Wilson 2005).
Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling
dalam (medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi
menimbulkan penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan
dorongan sampai ke arah basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan
miksi.
2. Benigna Prostat hyperplasia adalh kondisi patologis yang paling umum, yang banyak
terjadi pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001)
3. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan
pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang

keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra.
C. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut;
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat;
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh
hormone, yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan testoteron.
Sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh
kelenjar adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan
testoteron dan estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testoteron dan
konvensi testoteron menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang emudian
menyebabkan hyperplasia.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
1. Teori Hormonal.
Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi
BPH. Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu
antar hormone testoteron dan androgen.
2. Teori Reawekering (Neal, 1978)

Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
3. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat arena berkurangnya sel-sel yang mati.
5. Teori sel STEM
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Prostat, dalam hal ini
kelenjar periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia,
gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat
berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
6. Dehidro Testoteron
Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar
adrenal (10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin
menjadi seks hormone dinding globulin.
D. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung
pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra

daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara
garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika
dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakulasedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini
disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus
(mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran
lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang
tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox(overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi
kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
PATHWAY (TERLAMPIR)

E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan
cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas
sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus
mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala
antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Arif
Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau
disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus,
mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada
perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi
dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi
ditentukan engan mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa
urine dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi.
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
2. Laboratorium
a. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflmasi saluran emih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui
kuman penyebab infeksi dan sensifitas kuman.
- Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
- Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang
mengenai saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.
3. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan
tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika
dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
G. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstrusi dan kondisi klien,
jika klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat beremih, maka kateterisasi
segera dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani
tindakan medik. Bila keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi
medikamentosa. Tujuan terapi pada klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada
leher buli-buli.
Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung
kemih, mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati
komplikasi.

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor
alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atausistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat
anti androgen yang menekan produksi LH.
Jenis-jenis penatalasanaan adalah:
1. Terapi Konservatif
- Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala
- Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon
2. Nonsurgical Invasive Care

Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi
gejala dan bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama
harus dihindari karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
- Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik.
- Terapi microwave (terapi panas)
3. Surgical Invasive
Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak
nyaman. Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang
dapat dilakukan antara lain:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi
atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
- Mengharnbat adrenoreseptor α
- Obat anti androgen

- Penghambat enzim α -2 reduktase
c. Fisioterapi
d. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:
- Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
- Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
- Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
1. Komplikasai Pre op
a. Pielonefritis
b. Hidronefrosis
c. Azotemia
d. Uremia
2. Post op
a. Hiponatremia dilusi (TURP)
b. Infeksi

c. Hidrokel
d. Syok
e. Retensi urin akut
f. Ileus paralitikum
g. Peningkatan suhu tubuh
h. Nyeri saat jalan