BAB II KONSEP DASAR A....

25
6 BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000). Benigna prostatic hypertrophy ( BPH ) adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat ( Long, 1996 ). Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah pertambahan jumlah sel, sehingga terjadi pembentukan jaringan yang berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan obstruksi urine (Poppy, 1998). Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.

Transcript of BAB II KONSEP DASAR A....

  • 6

    BAB II

    KONSEP DASAR

    A. Pengertian

    Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat

    membesar memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan

    menyumbat aliran urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter

    (Brunner & Suddarth, 2000).

    Benigna prostatic hypertrophy ( BPH ) adalah pembesaran

    adenomatous dari kelenjar prostat ( Long, 1996 ).

    Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran dari beberapa dari

    kelenjar ini yang mengakibatkan obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000).

    BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum

    pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi

    uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000).

    Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah

    pertambahan jumlah sel, sehingga terjadi pembentukan jaringan yang

    berlebihan. Benigna Prostat Hiperplasi adalah pembesaran kelenjar prostat,

    memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih, yang mengakibatkan

    obstruksi urine (Poppy, 1998).

    Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna

    prostat hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada

    orang berusia lebih dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan.

  • 7

    B. Anatomi dan Fisiologi

    1. Anatomi

    Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang

    melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar

    prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata :

    panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari

    5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1

    buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus

    anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada

    penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil

    dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi

    cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan

    melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari :

    a. Kapsul anatomis.

    Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan

    muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :

    1) Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.

    2) Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga

    sebagaiadenomatus zone.

    3) Di sekitar uretra disebut periuretral gland.

    Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran

    dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris

    komunis yang bermuara ke dalam uretra.

  • 8

    Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona

    sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter

    preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus

    kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah

    bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum,

    kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian

    basal terdapat sel-sel kuboid (Anderson, 1999).

    GAMBAR ANATOMI

    Gambar 1. Sistem Reproduksi Pria

  • 9

    Gambar 2. Pembesaran Prostat

    2. Fisiologi

    Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur,

    sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya

    mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi

    prostat, jaringan prostat masih baik.

    Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning

    kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat

    yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu

    ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang

    bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan

    cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari

    lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga

  • 10

    penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan

    kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari

    vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

    C. Etiologi/Predisposisi

    Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara

    pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan

    dapat pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu yang dianggap

    etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut

    Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun2004 etiologi dari Benigna Prostat

    Hiperplasia (BPH) adalah :

    1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan

    keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya usia pada

    pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron

    sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia

    stroma.

    2. Ketidakseimbangan endokrin.

    3. Faktor umur / usia lanjut.

    Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.

    4. Unknown / tidak diketahui secara pasti.

    Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi biasanya

    disebabkan oleh keadaan testis dan usia lanjut.

  • 11

    D. Patofisiologi

    Menurut Syamsuhidayat dan Wim De Jong tahun 2004, umumnya

    gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal.

    Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang

    tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan

    prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah.

    Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung

    tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin.

    Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung

    kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang

    menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika

    obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi

    struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif.

    Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu

    kandung kemih.

    Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi

    progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema

    ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat

    terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan

    obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solut lainya

    meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa

    merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air

  • 12

    dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa

    menyebabkan hipovelemia.

    Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara

    perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara

    perlahan-lahan.

    Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat. Resistansi pada leher

    buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan

    merenggang sehingga timbul sakulasi atau diverkel. Fase penebalan detrusor

    ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor

    menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi

    untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat

    menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

    Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah:

    1. Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra

    adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.

    2. Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk

    dapat melawan resistensi uretra.

    3. Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi ureta

    sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi

    terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.

    4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap

    pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.

  • 13

    5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan

    normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretraberkurang

    selama tidur.

    6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh

    ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.

    7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya

    penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli

    mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik

    melebihi tekanan sfingter.

    E. Manifestasi Klinis

    1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :

    a. Obstruksi :

    1) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)

    2) Pancaran waktu miksi lemah

    3) Intermitten (miksi terputus)

    4) Miksi tidak puas

    5) Distensi abdomen

    6) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.

    b. Iritasi : sering miksi( frekuensi), nokturia, urgensi, disuria.

    2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

    Nyeri pinggang, demam (infeksi), hidronefrosis.

  • 14

    3. Gejala di luar saluran kemih :

    Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit

    hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan

    pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra

    abdominal (Sjamsuhidayat, 2004).

    Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai

    gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:

    a. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.

    b. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih,

    hipertrofi kandung kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

    Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat

    Hipertrofi:

    a. Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga urin tidak bisa keluar).

    b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.

    c. Miksi yang tidak puas.

    d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia).

    e. Pada malam hari miksi harus mengejan.

    f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria).

    g. Massa pada abdomen bagian bawah.

    h. Hematuria (adanya darah dalam urin).

    i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin).

    j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi.

    k. Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat berfungsi).

  • 15

    l. Berat badan turun.

    m. Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.

    n. Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan

    kateter.

    Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi

    cystitis dan selaputnya merusak ginjal (Arifiyanto, 2008).

    Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia,

    mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth,

    2001).

    F. Klasifikasi

    Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu:

    Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)

    ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

    Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih

    menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml

    tetapi kurang dari 100 ml.

    Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa

    urin lebih dari 100 ml.

    Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

  • 16

    G. Komplikasi

    Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi

    prostat adalah:

    1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,

    hidronefrosis, gagal ginjal.

    2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.

    3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu.

    4. Hematuria.

    5. Disfungsi seksual.

    Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun

    prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf

    pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual

    dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik

    telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung

    kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001).

    Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:

    1. Hemoragi dan syok

    2. Pembentukan bekuan / trobosis

    3. Obstruksi kateter

    4. Disfungsi seksual

    (Smeltzer & Bare, 2001)

  • 17

    H. Penatalaksanaan

    1. Modalitas terapi BPH adalah :

    a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan

    kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.

    b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan

    ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang

    digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa

    repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

    c. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

    1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin

    akut (100 ml).

    2) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung

    kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.

    3) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem

    perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.

    4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.

    5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

    2. Pembedahan dapat dilakukan dengan :

    a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).

    1) Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang dimasukan

    melalui uretra.

    2) Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.

    3) Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.

  • 18

    b. Prostatektomi Suprapubis

    1) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung

    kemih.

    2) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter

    suprapubis setelah operasi.

    c. Prostatektomi Neuropubis

    1) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.

    2) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.

    3) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.

    d. Prostatektomi Perineal

    1) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.

    2) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.

    3) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.

    4) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan

    perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).

    5) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase)

    diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.

    Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya

    dapat meliputi:

    1. Inkotenensi urinarius temporer

    2. Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan

    kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan oleh

    ejakulasi dini kedalam kandung kemih.

  • 19

    I. Pengkajian Fokus

    Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post

    Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:

    1. Data subyektif :

    a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka

    berwarna merah.

    b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

    c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.

    d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

    2. Data Obyektif:

    a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.

    b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.

    c. Gelisah.

    d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.

    e. Ekspresi wajah ketakutan.

    f. Terpasang kateter.

    3. Pemeriksaan Penunjang

    a. Pemeriksaan laboratorium

    Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk

    melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat

    hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada

    saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri

    dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin

  • 20

    darah merupakan informasi dasar dan fungsi ginjal dan status

    metabolik. Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan

    sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini

    keganasan. Bila nilai SPA < 4mg / ml tidak perlu biopsy. Sedangkan

    bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah Prostat Spesific Antigen Density

    (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD >

    0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai

    PSA > 10 mg/ml.

    b. Pemeriksaan Radiologis

    Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,

    pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk

    memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli–buli

    dan volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang

    berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH.

    Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat :

    1) Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus

    urinarius, pembesaran ginjal atau buli – buli.

    2) Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi

    renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance

    (gambaran ureter belok –belok di vesika).

    3) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa

    ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, divertikulum atau tumor

    buli – buli. (Arif Mansjoer, 2000).

  • 21

    c. Pemeriksaan Diagnostik.

    1) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang,

    penampilan keruh, Ph: 7 atau lebih besar, bakteria.

    2) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella,

    pseudomonas, e.coli.

    3) BUN / kreatinin : meningkat.

    4) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih dan

    adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal kandung

    kemih.

    5) Sistogram : mengukur tekanan darah dan volume dalam kandung

    kemih.

    6) Sistouretrografi berkemih : sebagai ganti IVP untuk menvisualisasi

    kandung kemih dan uretra dengan menggunakan bahan kontras

    lokal.

    7) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran

    prostat dan kandung kemih.

    8) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat,

    mengukur sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau batu

    (R.Sjamsuhidayat, 2004).

  • 22

    J. Pathways Keperawatan

    Perubahan usia (usia lanjut)

    Ketidakseimbangan produksi estrogen dan progesteron

    Kadar testoteron menurun kadar estrogen meningkat

    Diit kompleks hiperplasia sel stroma pada jaringan

    prostat

    Mempengaruhi RNA dalam inti sel

    Proliferasi sel prostat

    BPH

    TURP/INSISI

    Sistem irigasi luka insisi

    penggunaan alat invansif

    peregangan

    spasmus otot VU

    nyeri

    (long C, Barbara: R. Sjamsuhidayat, Brunner

    &Suddart)

    Perubahan pola

    Resiko disfungsi sex

    Resiko infeksi

    gg.rs nyaman:nyeri

    Intoleransi aktivitas

  • 23

    K. Fokus Intervensi dan Rasional

    1. Gangguan rasa nyaman: nyeri suprapubik berhubungan dengan spasme

    otot spincter.

    a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

    b. Kriteria hasil:

    Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang

    Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

    c. Intervensi:

    1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor

    pencetus serta penghilang nyeri.

    Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

    2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening

    mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi).

    Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan keefektifan dalam menentukan pilihan atau

    keefektifan intervensi.

    3) Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian

    bawah.

    Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot.

    4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh,

    merokok, abdomen tegang).

    Rasional : Untuk menurunkan spasme kandung kemih.

  • 24

    5) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik

    relaksasif.

    Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali

    perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

    6) Lakukan perawatan aseptik terapeutik.

    Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi.

    7) Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

    Rasional : Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya

    sebagian kelenjar.

    2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi

    sekunder.

    a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine

    b. Kriteria hasil :

    Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung

    kemih. Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,

    dengan tak adanya tetesan/kelebihan.

    c. Intervensi :

    1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus

    dengan teknik steril.

    Rasional : Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat

    menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan

    kandung kemih.

  • 25

    2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam

    keadaan tertutup.

    Rasional : Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung

    kemih.

    3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria,

    dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea).

    Rasional : Untuk mencegah komplikasi berlanjut.

    4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan

    sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran

    urin serta adanya bekuan darah atau jaringan.

    Rasional : Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar

    infeksi nosokomial.

    Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan dan

    pasien.

    5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2

    jam (mulai hari kedua post operasi).

    Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

    seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine

    encer konstan dipertahankan melalui ginjal.

    6) Ukur intake output cairan.

    Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan

    pascaoperasi.

  • 26

    7) Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika

    tidak ada kontra indikasi.

    Rasional : Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke

    seluruh tubuh. Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine

    encer konstan dipertahankan melalui ginjal.

    8) Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-

    3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

    Rasional : Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya

    sendiri.

    3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran

    ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.

    a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual

    b. Kriteria hasil :

    Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual

    dan aktivitas secara optimal.

    c. Intervensi :

    1) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang

    berhubungan dengan perubahannya.

    Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

    2) Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.

    Rasional : Untuk menginformasikan kondisi klien.

  • 27

    3) Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya

    tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual.

    Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

    4) Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah

    fungsi seksual.

    Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

    5) Beri penjelasan penting tentang:

    a) Impoten terjadi pada prosedur

    radikal

    b) Adanya kemungkinan fungsi

    seksual kembali normal

    c) Adanya kemunduran ejakulasi.

    Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

    menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

    6) Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1

    bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

    Rasional : Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan

    pascaoperasi.

    4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée

    mikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.

    a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi

  • 28

    b. Kriteria hasil:

    1) Tanda-tanda vital dalam batas normal

    2) Tidak ada bengkak, aritema, nyeri

    3) Luka insisi semakin sembuh dengan baik

    c. Intervensi:

    1) Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.

    Rasional : Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan

    peregangan dan perdarahan kandung kemih.

    2) Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya

    sumbatan, kebocoran).

    Rasional : Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat

    menyebabkan distensi kandung kemih, dengan peningkatan

    spasme.

    3) Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar

    kateter dan drainage.

    Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.

    4) Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal

    untuk menjamin dressing.

    Rasional : Untuk mengurangi resiko infeksi.

    5) Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas

    meningkat, dingin).

  • 29

    Rasional : Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensi

    yang tepat dapat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.

    5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya kelemahan fisik,

    sehubungan adanya nyeri dan ketidaknyamanan.

    a. Tujuan: pasien dapat toleran terhadap aktivitas

    b. Kriteria hasil:

    1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/diperlukan

    2) Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang diukur

    3) Menunjukkan penurunan dalam tanda-tanda intoleransi fisiologis

    c. Intervensi:

    1) Kaji respon pasien terhadap aktivitas.

    Rasional: kecenderungan menentukan respon pasien terhadap

    aktivitas.

    2) Monitor TTV

    Rasional: Mengidentifikasi peningkatan dan penurunan

    aktivitas.

    3) Batasi pengunjung/kunjungan oleh pasien.

    Rasional: Ruangan terasa panas dan pengap yang dapat

    mempengaruhi pasien.

    4) Anjurkan pasien menghindari peningkatan tekanan abdomen.

    Rasional: Aktivitas tersebut dapat meningkatkan nyeri pada luka

    operasi.

  • 30

    5) Tingkatkan aktivitas secara bertahap, contoh bangun dari tempat

    tidur bila tidak terasa nyeri.

    Rasional: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung,

    meningkatkan regangan dan mencegah aktivitas berlebihan.