makalah 9

25
IDENTIFIKASI DATA KELUARGA: FUNGSI SOSIALISASI KELUARGA A. Defenisi dan Pengaruh Pengertian Sosialisasi Pada hakikatnya proses sosialisasi merupakan hasil dari interaksi antar manusia. Selama manusia masih berinteraksi, proses sosialisasi pun masih berlangsung. Sosialisasi dimulai pada saat kelahiran dan usai ketika meninggal. Sosialisasi mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana manusia meningkatkan pengalaman hidup mereka, memperoleh karakteristik motif sosial (Honingman, 1967). Sosialiasi diarahkan pada pengajaran anak-anak menganai bagaimana caranya berperilaku dan mengasumsikan peran di masyarakat. Anak diajari bahasa, peran atau diharapkan untuk mengasumsikan pada berbagai langkah hidup, norma sosial dan kultural dan harapan dari apa benar dan keliru, dan struktur teori yang relevan. Peranan Keluarga Dalam Proses Sosialisasi Anak Keluarga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi. Begitu seorang bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan dengan kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, dan mungkin dengan saudara dekat lainnya. Sebagai anggota keluarga yang baru dilahirkan, ia sangat tergantung pada

Transcript of makalah 9

Page 1: makalah 9

IDENTIFIKASI DATA KELUARGA:

FUNGSI SOSIALISASI KELUARGA

A. Defenisi dan Pengaruh

Pengertian Sosialisasi

Pada hakikatnya proses sosialisasi merupakan hasil dari interaksi antar

manusia. Selama manusia masih berinteraksi, proses sosialisasi pun masih berlangsung.

Sosialisasi dimulai pada saat kelahiran dan usai ketika meninggal. Sosialisasi

mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana

manusia meningkatkan pengalaman hidup mereka, memperoleh karakteristik motif

sosial (Honingman, 1967).

Sosialiasi diarahkan pada pengajaran anak-anak menganai bagaimana caranya

berperilaku dan mengasumsikan peran di masyarakat. Anak diajari bahasa, peran atau

diharapkan untuk mengasumsikan pada berbagai langkah hidup, norma sosial dan

kultural dan harapan dari apa benar dan keliru, dan struktur teori yang relevan.

Peranan Keluarga Dalam Proses Sosialisasi Anak

Keluarga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi. Begitu seorang

bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan dengan kedua orang tuanya, kakak-kakaknya,

dan mungkin dengan saudara dekat lainnya. Sebagai anggota keluarga yang baru

dilahirkan, ia sangat tergantung pada perlindungan dan bantuan anggota-anggota

keluarganya. Proses sosialisasi awal ini dimulai dengan proses belajar menyesuaikan

diri dan mengikuti setiap apa yang diajarkan oleh orang-orang dekat sekitar lingkungan

keluarganya, seperti belajar makan, berbicara, berjalan, hingga belajar bertindak dan

berperilaku.

Khairuddin (2002), mengemukakan bahwa proses sosialisasi adalah proses

belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-

impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.

Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola,

nilai dan tingkah laku dalam masyarakat di mana ia hidup. Markum (1983) juga

mengungkapkan bahwa proses sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang (anak)

Page 2: makalah 9

dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan norma atau adat istiadat yang berlaku di

lingkungan sosialnya.

Ahmadi (2004), keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang

dikenalkan kepada anak. Dalam keluarga, orangtua mengenalkan nilai-nilai kebudayaan

kepada anak dan di sinilah dialami interaksi dan disiplin pertama yang dikenalkan

kepadanya dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu

dengan yang lain menyebabkan seorang anak menyadari dirinya sebagai individu dan

sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, dalam keluarga anak akan

menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, yaitu saling tolong menolong dan

mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut akan

diperkenalkan oleh orang tua yang akhirnya dimiliki oleh anak. Perkembangan seorang

anak di dalam keluarga sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan pengalaman-

pengalaman yang dimiliki orangtuanya.

Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses

sosialisasi individu atau seseorang. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya

peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah:

a. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to

face secara tetap. Dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat

diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam

hubungan sosial lebih mudah terjadi.

b. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena merupakan

buah cinta kasih hubungan suami isteri. Anak merupakan perluasan biologis dan

sosial orang tuanya. Motivasi kuat ini melahirkan hubungan emosional antara

orang tua dengan anak. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa hubungan

emosional lebih berarti dan efektif daripada hubungan intelektual dalam proses

sosialisasi.

c. Oleh karena hubungan sosial di dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, maka

orang tua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.

Page 3: makalah 9

Dalam keluarga, orang tua mencurahkan perhatian untuk mendidik anaknya

agar anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar melalui

penanaman disiplin sehingga membentuk kepribadian yang baik bagi si anak.

Oleh karena itu, orang tua sangat berperan untuk :

1. Selalu dekat dengan anak-anaknya,

2. Memberi pengawasan dan pengendalian yang wajar,sehingga jiwa anak tidak

merasa tertekan,

3. Mendorong agar anak dapat membedakan antara benar dan salah,baik dan

buruk,pantas dan tidak pantas dan sebagainya,

4. Ibu dan ayah dapat membawakan peran sebagai orang tua yang baik serta

menghindarkan perbuatan dan perlakuan buruk serta keliru di hadapan anak-

anaknya,dan

5. Menasihati anak-anaknya jika melakukan kesalahan serta menunjukkan dan

mengarahkan mereka ke jalan yang benar

Apabila terjadi suatu kondisi yang berlainan dengan hal di atas, maka anak-

anak akan mengalami kekecewaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal

antara lain:

1. orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya,terlalu sibuk dengan kepentingan-

kepentingannya,sehingga anak merasa diabaikan,hubungan anak dengan orang tua

menjadi jauh, padahal anak sangat memerlukan kasih sayang mereka, dan

2. Orang tua terlalu memaksakan kehendak dan gagasannya kepada anak sehingga

sang anak menjadi tertekan jiwanya.

B. Pola Sosialisasi Kontemporer

Dalam lingkungan keluarga kita mengenal dua macam pola sosialisai, yaitu

dengan cara represif (repressive socialization) yang mengutamakan adanya ketaatan

anak pada orang tua dan cara partisipasi (participatory socialization) yang

mengutamakan adanya partisipasi dari anak.

a. Sosialisasi Represif

Di masyarakat seringkali kita melihat ada orang tua yang memberikan

hukuman fisik pada anak yang tidak menaati perintahnya. Misalnya memukul anak

Page 4: makalah 9

yang tidak mau belajar, atau mengunci anak di kamar mandi karena berkelahi

dengan teman. Contoh ini merupakan salah satu bentuk sosialisasi represif yang ada

di sekitar kita. Dari contoh tersebut dapatkah kamu menyimpulkan apa sebenarnya

sosialisasi represif itu? Sosialisasi represif merupakan sosialisasi yang lebih

menekankan penggunaan hukuman, terutama hukuman fisik terhadap kesalahan

yang dilakukan anak.

Adapun ciri-ciri sosialisasi represif di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menghukum perilaku yang keliru.

2. Adanya hukuman dan imbalan materiil.

3. Kepatuhan anak kepada orang tua.

4. Perintah sebagai komunikasi.

5. Komunikasi nonverbal atau komunikasi satu arah yang berasal dari orang tua.

6. Sosialisasi berpusat pada orang tua.

7. Anak memerhatikan harapan orang tua.

8. Dalam keluarga biasanya didominasi orang tua.

Sosialisasi represif umumnya dilakukan oleh orang tua yang otoriter. Sikap

orang tua yang otoriter dapat menghambat pembentukan kepribadian seorang anak.

Mengapa? Anak tidak dapat membentuk sikap mandiri dalam bertindak sesuai

dengan perannya. Seorang anak yang sejak kecil selalu dikendalikan secara

berlebihan oleh orang tuanya, setelah dewasa ia tidak akan berani mengembangkan

diri, tidak dapat mengambil suatu keputusan, dan akan selalu bergantung pada

orang lain. Kata-kata 'harus', 'jangan', dan 'tidak boleh ini dan itu' akan selalu

terngiang-ngiang dalam pikirannya.

b. Sosialisasi Partisipatif

Pola ini lebih menekankan pada interaksi anak yang menjadi pusat

sosialisasi. Dalam pola ini, bahasa merupakan sarana yang paling baik sebagai alat

untuk membentuk hati nurani seseorang dan sebagai perantara dalam pengembangan

diri. Dengan bahasa, seseorang belajar berkomunikasi, belajar berpikir, dan

mengenal diri. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi

partisipatif memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut.

Page 5: makalah 9

1. Memberikan imbalan bagi perilaku baik.

2. Hukuman dan imbalan bersifat simbolis.

3. Otonomi anak.

4. Interaksi sebagai komunikasi.

5. Komunikasi verbal atau komunikasi dua arah, baik dari anak maupun dari

orang tua.

6. Sosialisasi berpusat pada anak.

7. Orang tua memerhatikan keinginan anak.

Dalam keluarga biasanya mempunyai tujuan yang sama. Keseluruhan sistem

belajar mengajar sebagai bentuk sosialisasi dalam keluarga bisa disebut sistem

pendidikan keluarga. Sistem pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh

yaitu suatu pola untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak, Pola ini tentu

saja tidak dimaksudkan pola mengasuh anak yang dilakukan oleh perawat atau

baby sitter, seperti yang sering dilakukan oleh kalangan keluarga elit/kaya di kota-

kota besar.

Pola mengasuh anak di dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh sistem

nilai, norma, dan adat istiadat yg berlaku pada masyarakat tempat keluarga itu

tinggal. Jadi, kepribadian dan pola perilaku yang terdapat pada berbagai masyarakat

suku bangsa sangat beragam coraknya.

C. Teori terkait Sosialisasi

Beberapa teori sosialisasi menurut para ahli sosiolog adalah sebagai

berikut:

a. Teori George Herbert Mead

Menurut Mead setiap anggota baru harus mempelajari peran-

peran yang ada di dalam masyarakat yaitu suatu proses yang

dinamakan pengambilan peran. Dalam proses ini seorang

belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankan serta

peran yang harus dijalankan orang lain. Jadi diri seseorang

terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

b. Teori Charles H. Cooley

Page 6: makalah 9

Menurut Cooley, seseorang berkembang melalui interaksinya

dengan orang lain melalui tiga tahap, yaitu:

1. Seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain

terhadapnya.

2. Seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain

terhadap penampilannya.

3. Seseorang mempunyai perasaan apa yang dirasakannya

sebagai penilaian orang lain terhadapnya.

Ia menganalogikan antara pembentukan diri seorang

dengan perilaku orang yang sedang bercermin. Misalnya

seseorang siswa memperoleh nilai rendah dalam ujian, ia merasa

bahwa para gurunya menganggapnya bodoh, maka ia kurang

dihargai dan siswa tersebut menjadi murung.

Ada tiga teori yang relatif kuat yang dapat menjelaskan proses pembelajaran

dalam sosialisasi. Pertama adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory),

kedua teori perkembangan individu (developmental theory), dan ketiga teori interaksi

simbolis (symbolic interaction theory).

1. Teori pembelajaran sosial

Pembelajaran terjadi melalui dua cara: (1) dikondisikan, dan (2) meniru

perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953),

Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau

negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena

memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik,

dipuji-puji di depan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara

untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman,

merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika

generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi

sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus

diberikan imbalan. Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah

selesai berdoa, orang tuanya memujinya .

Page 7: makalah 9

Pendekatan kedua dikenal dengan nama “observational learning”. Tokoh di

balik konsep tersebut adalah Albert Bandura. Inti perndekatan ini adalah bahwa

perilaku seseorang diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Individu

meniru perilaku orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang

menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita

ingin mensosialisasikan hidup secara teratur, disiplin, maka caranya adalah

memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak

untuk ditiru.

2. Berdasarkan teori-teori perkembangan

Pembelajaran , sosialisasi di tahap awal melibatkan serangkaian tahapan.

Setiap tahap akan memunculkan bentuk perilaku tertentu dan setiap manusia

perilakunya berkembang melalui tahapan yang sama.

Misalnya, tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Ericson

(1950), ada delapan tahapan. Tahap pertama pengembangan rasa percaya pada

lingkungan, tahap kedua pengembangan kemandirian, tahap ketiga pengembangan

inisiatif, tahap keempat pengembangan kemampuan psikis dan pisik, tahap kelima

pengembangan identitas diri. Kelima tahapan tersebut terjadi pada saat sosialisasi

di masa kanak-kanak. Tahap perkembangan setelah itu adalah tahap keenam

merupakan pengembangan hubungan dengan orang lain secara intim, tahap ketujuh

pengembangan pembinaan keluarga/keturunan, dan tahap kedelapan

pengembangan penerimaan kehidupan.

3. Berdasarkan teori interaksi simbolis

Asal teori ini dari disiplin sosiologi, yaitu satu teori yang memusatkan pada

kajian tentang bagaimana individu menginterpretasikan dan memaknakan

interaksi-interaksi sosialnya. Di dalam teori ini ditekankan bagaimana peran aktif

seorang anak dalam sosialisasi. Sejak masa kanak-kanak, kita belajar

mengembangkan kemampuan diri (mengevaluasi diri, memotivasi diri,

mengendalikan diri).

Page 8: makalah 9

Menurut Herbert Mead (1934) ada tiga proses tahapan pengembangan diri

yang memungkinkan seorang anak menjadi mampu berpartisipasi penuh dalam

kehidupan sosial. Tahap pertama adalah preparatory stage, tahap kedua play stage,

dan tahap terakhir adalah game stage.

Pada tahapan pertama, anak belum mampu memandang perilakunya sendiri.

Mereka meniru perilaku orang lain yang ada di sekitarnya dan mencoba

memberikan makna. Anak juga mulai belajar menangkap makna dari bahasa yang

digunakannya. Pada tahapan kedua, anak mulai belajar berperan seperti orang lain.

Berperilaku seperti ayahnya, ibunya, guru, dsb. Melalui bermain peran yang

beraneka ragam itu anak mempelajari pola-pola perilaku individu lainnya . Tahap

ketiga merupakan tahapan di mana anak melatih ketrampilan sosialnya. Dia belajar

bagaimana memenuhi harapan orang lain yang jumlahnya tidak hanya satu.

Memenuhi harapan teman-temannya, kelompok bermainnya, kelompok belajarnya,

dan sebagainya.

D. Variabel yang Mempengaruhi Pengasuhan Anak

Sosialisasi dari orangtua sangatlah penting bagi anak, karena anak masih terlalu

muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri

ke arah kematangan. J. Clausen mendiskripsikan tentang upaya yang dilakukan orangtua

dalam rangka sosialisasi dan perkembangan sosial yang dicapai anak, yaitu sebagai

berikut:

Tabel 1. Sosialisasi dan Perkembangan Anak

Kegiatan OrangtuaPencapaian Perkembangan

Perilaku Anak

1. Memberikan makanan dan memelihara

kesehatan fisik anak

2. Melatih dan menyalurkan kebutuhan

fisiologis: toilet training (melatih

membuang air besar/kecil), menyapih

dan memberikan makanan padat.

3. Mengajar dan melatih keterampilan

berbahasa, persepsi, fisik, merawat diri

1. Mengembangkan sikap percaya

terhadap orang lain

(development of trust).

2. Membantu mengendalikan

dorongan biologis dan belajar

untuk menyalurkannya pada

tempat yang diterima

masyarakat.

Page 9: makalah 9

dan keamanan diri.

4. Mengenalkan lingkungan kepada anak:

keluarga, sanak keluarga, tetangga dan

masyarakat sekitar.

5. Mengajarkan tentang budaya, nilai-nilai

(agama) dan mendorong anak untuk

menerimanya sebagai bagian dirinya.

6. Mengembangkan keterampilan

interpersonal, motif, perasaan, dan

perilaku dalam berhubungan dengan

orang lain.

7. Membimbing, mengoreksi, dan

membantu anak untuk merumuskan

tujuan dan merencanakan aktivitasnya.

3. Belajar mengenal objek-objek,

belajar berbahasa, berjalan,

mengatasi hambatan,

berpakaian, dan makan.

4. Mengembangkan pemahaman

tentang tingkah laku sosial,

belajar menyesuaikan perilaku

dengan tuntutan lingkungan.

5. Mengembangkan pemahaman

tentang bauk-buruk,

merumuskan tujuan dan kriteria

pilihan dan berperilaku yang

baik.

6. Belajar memahami perspektif

(pandangan) orang lain dan

merespons harapan/ pendapat

mereka secara selektif.

7. Memiliki pemahaman untuk

mengatur diri dan memahami

kriteria untuk menilai

penampilan/ perilaku sendiri.

Cara-cara dan sikap-sikap dalam keluarga juga memegang peranan penting

dalam perkembangan sosial anak. Jika orangtua selalu bersikap otoriter, maka anak

akan berkembang menjadi manusia pasif, tak berinisiatif, dan kurang percaya diri.

Sedangkan jika orangtua dalam keluarga bertindak demokratis, maka anak berkembang

menjadi tidak takut, penuh dengan inisiatif, memiliki rasa tanggung jawab, dan percaya

diri.

Hariyadi, dkk (2003) menyatakan bahwa pola asuh demokratis dengan suasana

yang diliputi keterbukaan lebih memberikan peluang bagi remaja untuk melakukan

proses penyesuaian diri secara efektif dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun

pola asuh yang penuh kebebasan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap

Page 10: makalah 9

dan kebiasaan-kebiasaan orangtua dalam keluarga menjadi sikap dan kebiasaan yang

dimiliki anak.

Pengasuhan Anak dalam Keluarga - Pendidikan Pertama dari Keluarga

Pola pengasuhan adalah suatu perlakukan orang tua dalam rangka memenuhi

kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang

tua. Anak tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan perawatan orang tua, oleh

karena itu orang tua merupakan dasar perawatan dan dasar pembentuk kepribadian

anak.

Dalam perkembangan si anak, pola pengasuhan orang tua sangat menentukan

kearah mana nanti si anak setelah dewasa dan mencerminkan pola pengasuhan yang

pernah ia terima sejak ia ada. Komunikasi dengan orang tua, perhatian, serta sikap orang

tua dalam mendidik dan segala perlakuan lainnya akan membentuk seperti apa

kepribadian anak. Orang tua sebagai penanggung jawab terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak serta pembentukan kepribadian anak.

Hal pertama didalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga.

Dimana individu ibarat sebuah kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada

orang tua atau keluarga bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi, melalui

pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus menerus, diri serta kepribadian anak

dibentuk. Orang tua, yaitu ayah dan ibu, pada umumnya merupakan teladan bagi anak-

anak mereka.

Pola dan bentuk pengasuhan anak dalam keluarga tidak sama pada tiap

keluarga, karena setiap keluarga memiliki latar belakang yang berbeda, baik latar

belakang pendidikan, kebudayaan, mata pencaharian. Pola pengasuhan dan perubahan

sosialisasi anak tertanam dalam pola hubungan sosial ekonomi. Perubahan lingkungan

ekonomi dan sosial telah membawa pengaruh pada pola pengasuhan anak.

Displin sebagai suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk menanamkan

pola perilaku tertentu, kebiasaan tertentu atau membentuk manusia dengan ciri-ciri

tertentu, terutama meningkatkan kualitas mental dan moral. Jadi bagi orang tua

Page 11: makalah 9

penerapan displin pada anak adalah hal yang teramat penting dan dapat dikatakan

bahwa letak moral anak tergantung pada pola asuh yang digunakan orang tuanya.

Gaya Pengasuhan pada Anak

Setiap keluarga memiliki gaya pengasuhan anak dalam keluarga yang berbeda-

beda. Hal itu terjadi mengingat latar belakang yang ada dalam setiap keluarga itu juga

berbeda. Tetapi setidaknya ada kesamaan gaya pengasuhan yang dilakukan oleh setiap

keluarga. Berikut ini ada beberapa gaya pengasuhan anak dalam keluarga:

Otoriter (Authoritarian)

Gaya pengasuhan anak model ini menerapkan aturan: orang tua selalu benar.

Seorang anak harus selalu mematuhi apa pun yang dikatakan dan disarankan oleh orang

tuanya, Semua urusan anak diatur oleh orang tua. Tujuan gaya pengasuhan ini

sebenarnya baik yaitu agar anak teratur dalam segala hal dan menjadi sosok yang

disiplin.

Namun, gaya pengasuhan ini akan menyebabkan anak depresi serta kurang bisa

bergaul dengan lingkungannya karena sikap orang tua yang terlalu protektif. Depresi

yang berkepanjangan dapat menyebabkan anak stres, bahkan melakukan bunuh diri.

Akibat jangka panjang dari gaya pengasuhan otoriter ini akan menyebabkan hubungan

yang kurang hangat antara anak dan orang tua. Tanpa sadar orang tua tengah

membangun tembok batin dengan anaknya.

Liberal

Gaya pengasuhan anak dalam keluarga ini kebalikan dari gaya otoriter. Orang

tua memberikan kebebasan seluas-luasnya. Keinginan anak selalu dipenuhi oleh orang

tua karena anggapan anak harus diberikan keleluasaan untuk melakukan apa saja,

biarkan ia belajar dengan melakukan (learning by doing). Orang tua yang liberal

khawatir jika terlalu ketat mengatur, anak terkekang, dan kurang bisa mengekspresikan

diri sesuai dengan keinginannya.

Namun, tidak adanya kontrol dari orang tua akan menjadikan anak sosok yang

semau gue, enggan berbagi dan selalu ingin memang sendiri. Secerdas apapun seorang

Page 12: makalah 9

anak, ia belum mengenal dunia sehingga perlu bimbingan orang tua. Anak akan sulit

mandiri dan tergantung pada orang lain. Ini muncul sebagai dampak keinginan yang

selalu dipenuhi.

Egaliter (Authoritative)

Pada gaya pengasuhan ini, orangtua membuat peraturan-peraturan yang harus

dipatuhi oleh anak, tapi anak juga memiliki kesempatan untuk berpendapat. Orang tua

mendengarkan anaknya dan mencari solusi yang disepakati bersama. Ruang diskusi

tercipta antara anak dan orang tua.

Gaya pengasuhan egaliter merupakan perwujudan keinginan orang tua dan

anak. Anak-anak yang diasuh dengan cara ini akan memiliki harga diri yang tinggi,

kepercayaan diri, dan keterampilan sosial yang memadai. Secara akademis, anak-anak

dalam pola asuh egaliter mempunyai prestasi yang baik serta kurang bermasalah dalam

lingkungan pergaulannya. Namun, orang tua dapat terjebak pada kompromi berlebihan

sehingga dapat dimanipulasi oleh anak. Orangtua bukannya menempuh win-win

sollution, tetapi lebih menuruti keinginan anak.

Tidak Terlibat (Neglect)

Pada gaya pengasuhan anak dalam keluarga ini, orang tua cenderung cuek,

tidak begitu peduli dengan pengasuhan anaknya. Orang tua seolah tidak mempunyai

waktu untuk mendidik anak atau sekadar memperhatikan hal-hal sepele anaknya. Segala

sesuatu dipercayakan kepada orang lain begitu saja tanpa kendali darinya.

Contoh pola asuh ini adalah orang tua yang mementingkan karir, tanpa peduli

dengan perkembangan anak. Secara ekonomi, bisa saja kebutuhan anak terpenuhi,

namun anak sangat kurang kasih sayang dan perhatian orang tua. Anak-anak yang

dibesarkan dengan gaya pengasuhan neglect cenderung memiliki harga diri serta

kepercayaan diri yang rendah. Rasa hormat dan tanggung jawab anak rendah, prestasi

akademik tidak bisa dibanggakan, dan memiliki perilaku buruk.

Gaya Pengasuhan Terbaik

Page 13: makalah 9

Setiap gaya pengasuhan anak dalam keluarga di atas memiliki kelebihan dan

kekurangan. Tidak ada satu gaya pengasuhan terbaik yang mutlak diterapkan. Untuk

kondisi tertentu, orang tua perlu menerapkan gaya otoriter, misalnya pada perilaku yang

dapat membahayakan anak seperti pemakaian obat-obatan terlarang dan minuman

alkohol.

Ketika menentukan tujuan liburan, kegiatan akhir tahun, orang tua bisa

menerapkan gaya egaliter sehingga anak berlibur tanpa beban. Sedangkan untuk hal-hal

yang bersifat pengembangan kreativitas, orang tua dapat lebih liberal. Idealnya orangtua

harus mengenali karakteristik anak sehingga tahu gaya pengasuhan anak dalam keluarga

yang tepat untuk anaknya pada kondisi tertentu.

Menciptakan kedekatan antara seorang ayah dengan anak adalah sebuah

investasi yang sangat berharga. Anda akan menyesal jika tidak memulainya sejak awal

dan baru merasakan sesuatu yang ganjil ketika anak mulai besar. Hubungan Anda dan

anak akan terasa kaku, formal dan berjarak. Hal ini sering terlupakan oleh seorang ayah

yang memiliki kesibukan tinggi sehingga baru menyadari ada yang salah antara

hubungannya dengan anak setelah beberapa waktu kemudian dan itu mungkin sudah

terlambat.

Peran ayah untuk memenuhi nafkah keluarga adalah pekerjaan mulia.

Pekerjaan tersebut dalam banyak hal juga menyita waktu dan energi yang tidak sedikit.

Walaupun demikian, bukan berarti menjadi alasan untuk tidak menyediakan waktu yang

cukup untuk menjalin kedekatan dan menjadi pelatih emosi bagi anak-anak.

E. Bentuk dan Sosialisasi Keluarga

Tujuan Sosialisasi Dalam Keluarga

Secara mendasar terdapat tiga tujuan sosialisasi di dalam keluarga, yakni

sebagai berikut:

a. Penguasaan diri

Masyarakat menuntut penguasaan diri pada anggota-anggotanya. Proses

mengajar anak untuk menguasai diri ini dimulai pada waktu orang tua melatih

anak untuk memelihara kebersihan dirinya. Ini merupakan tuntutan sosial pertama

yang dialami oleh anak untuk latihan penguasaan diri. Tuntutan penguasaan diri

Page 14: makalah 9

ini berkembang, dari yang bersifat fisik kepada penguasaan diri secara emosional.

Anak harus belajar menahan kemarahannya terhadap orang tua atau

saudarasaudaranya. Tuntutan sosial yang menuntut agar anak menguasai diri

merupakan pelajaran yang berat bagi anak.

b. Nilai-nilai

Bersama-sama dengan proses berlatih penguasaan diri ini kepada anak

diajarkan nilai-nilai. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar

dalam diri seseorang terbentuk pada usia enam tahun. Di dalam perkembangan

usia tersebut keluarga memegang peranan terpenting dalam menanamkan nilai-

nilai. Sebagai contoh melatih anak menguasai diri agar permainannya dapat

dpinjamkan kepada temannya, maka di situ dapat muncul suatu makna tentang arti

dari kerja sama. Mengajarkan anak menguasai diri agar tidak bermain-main

dahulu sebelum menyelesaikan pekerjaan rumahnya, maka disitu mengandung

ajaran tentang nilai sukses dalam pekerjaan.

c. Peran-peran sosial

Mempelajari peran-peran sosial ini terjadi melalui interaksi sosial dalam

keluarga. Setelah dalam diri anak berkembang kesadaran diri sendiri yang

membedakan dirinya dengan orang lain, dia mulai mempelajari peranan-peranan

sosial yang sesuai dengan gambaran tentang dirinya. Dia mempelajari peranannya

sebagai anak, sebagai saudara (kakak/adik), sebagai laki-laki/perempuan, dan

sebagainya. Proses mempelajari peran-peran sosial ini kemudian dilanjutkan di

lingkungan kelompok sebaya, sekolah, perkumpulan-perkumpulan dan lain

sebagainya.

Tahapan-Tahapan Sosialisasi

Penyesuaian diri terjadi secara berangsur-angsur, seiring dengan perluasan dan

pertumbuhan pengetahuan serta penerimaan individu terhadap nilai dan norma yang

terdapat dalam lingkungan masyarakat. Dengan melandaskan pemikirannya pada Teori

Peran Sosial, George Herbert Mead dalam bukunya yang berjudul Mind, Self, and

Society from The Standpoint of Social Behaviorist (1972) berpendapat bahwa sosialisasi

yang dilalui seseorang dapat diklasifikasikan melalui tahap-tahap berikut ini.

Page 15: makalah 9

a. Tahap Persiapan (Preparatory Stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak

mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya. Pada tahap ini juga anak mulai

melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Dalam tahap ini, individu

sebagai calon anggota masyarakat dipersiapkan dengan dibekali nilai-nilai dan

norma-norma yang menjadi pedoman bergaul dalam masyarakat oleh lingkungan

yang terdekat, yaitu keluarga.

Lingkungan yang memengaruhi termasuk individu yang berperan dalam

tahapan ini relatif sangat terbatas, sehingga proses penerimaan nilai dan norma juga

masih dalam tataran yang paling sederhana.

b. Tahap Meniru (Play Stage)

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan

peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk

kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan

sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan oleh seorang ibu

dan apa yang diharapkan seorang ibu dari dirinya. Dengan kata lain, kemampuan

untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.

Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan orang-orang yang jumlahnya

banyak telah juga mulai terbentuk.

c. Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan peran yang

secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya

menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat, sehingga memungkinkan

adanya kemampuan bermain secara bersama-sama.

Pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan temanteman sebaya di

luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap

mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma

tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

d. Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalizing Stage)

Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat

menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, dia

Page 16: makalah 9

dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi

dengannya, tetapi juga dengan masyarakat secara luas. Manusia dewasa menyadari

pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang

tidak dikenalnya. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi

warga masyarakat dalam arti sepenuhnya. Dalam tahap ini, individu dinilai sudah

mencapai tahap kematangan untuk siap terjun dalam kehidupan masyarakat. Untuk

lebih mudah memahami tahapan-tahapan sosialisasi yang telah kita bahas di atas,

berikut ini disajikan dalam bentuk tabel.

F. Diagnosis Keperawatan Keluarga

1. Menurunnya atau berkurangnya minat terhadap tugas sekolah yang dibebankan

berhubungan dengan anak terlalu asik bermain

2. Gangguan pemenuhan kebersihan diri berhubungan dengan terlalu banyak waktu

yang digunakan untuk bermain

3. Berontak/menantang terhadap peraturan keluarga berhubungan dengan larangan

bermain dari orang tua

4. Menarik diri dari lingkungan sosial (menyendiri) berhubungan dengan terlalu asik

bermain video game

5. Kurangnya sosialisasi berhubungan dengan keluarga yang terlalu melindungi

6. Gangguan proses keluarga