makalah 9
-
Upload
intan-permatasari-putribatanang -
Category
Documents
-
view
77 -
download
0
Transcript of makalah 9
IDENTIFIKASI DATA KELUARGA:
FUNGSI SOSIALISASI KELUARGA
A. Defenisi dan Pengaruh
Pengertian Sosialisasi
Pada hakikatnya proses sosialisasi merupakan hasil dari interaksi antar
manusia. Selama manusia masih berinteraksi, proses sosialisasi pun masih berlangsung.
Sosialisasi dimulai pada saat kelahiran dan usai ketika meninggal. Sosialisasi
mencakup semua proses dalam sebuah komunitas tertentu atau kelompok dimana
manusia meningkatkan pengalaman hidup mereka, memperoleh karakteristik motif
sosial (Honingman, 1967).
Sosialiasi diarahkan pada pengajaran anak-anak menganai bagaimana caranya
berperilaku dan mengasumsikan peran di masyarakat. Anak diajari bahasa, peran atau
diharapkan untuk mengasumsikan pada berbagai langkah hidup, norma sosial dan
kultural dan harapan dari apa benar dan keliru, dan struktur teori yang relevan.
Peranan Keluarga Dalam Proses Sosialisasi Anak
Keluarga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi. Begitu seorang
bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan dengan kedua orang tuanya, kakak-kakaknya,
dan mungkin dengan saudara dekat lainnya. Sebagai anggota keluarga yang baru
dilahirkan, ia sangat tergantung pada perlindungan dan bantuan anggota-anggota
keluarganya. Proses sosialisasi awal ini dimulai dengan proses belajar menyesuaikan
diri dan mengikuti setiap apa yang diajarkan oleh orang-orang dekat sekitar lingkungan
keluarganya, seperti belajar makan, berbicara, berjalan, hingga belajar bertindak dan
berperilaku.
Khairuddin (2002), mengemukakan bahwa proses sosialisasi adalah proses
belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-
impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.
Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola,
nilai dan tingkah laku dalam masyarakat di mana ia hidup. Markum (1983) juga
mengungkapkan bahwa proses sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang (anak)
dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan norma atau adat istiadat yang berlaku di
lingkungan sosialnya.
Ahmadi (2004), keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang
dikenalkan kepada anak. Dalam keluarga, orangtua mengenalkan nilai-nilai kebudayaan
kepada anak dan di sinilah dialami interaksi dan disiplin pertama yang dikenalkan
kepadanya dalam kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu
dengan yang lain menyebabkan seorang anak menyadari dirinya sebagai individu dan
sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, dalam keluarga anak akan
menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, yaitu saling tolong menolong dan
mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut akan
diperkenalkan oleh orang tua yang akhirnya dimiliki oleh anak. Perkembangan seorang
anak di dalam keluarga sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan pengalaman-
pengalaman yang dimiliki orangtuanya.
Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses
sosialisasi individu atau seseorang. Kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya
peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah:
a. Keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi face to
face secara tetap. Dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat
diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam
hubungan sosial lebih mudah terjadi.
b. Orang tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena merupakan
buah cinta kasih hubungan suami isteri. Anak merupakan perluasan biologis dan
sosial orang tuanya. Motivasi kuat ini melahirkan hubungan emosional antara
orang tua dengan anak. Penelitian-penelitian membuktikan bahwa hubungan
emosional lebih berarti dan efektif daripada hubungan intelektual dalam proses
sosialisasi.
c. Oleh karena hubungan sosial di dalam keluarga itu bersifat relatif tetap, maka
orang tua memainkan peranan sangat penting terhadap proses sosialisasi anak.
Dalam keluarga, orang tua mencurahkan perhatian untuk mendidik anaknya
agar anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar melalui
penanaman disiplin sehingga membentuk kepribadian yang baik bagi si anak.
Oleh karena itu, orang tua sangat berperan untuk :
1. Selalu dekat dengan anak-anaknya,
2. Memberi pengawasan dan pengendalian yang wajar,sehingga jiwa anak tidak
merasa tertekan,
3. Mendorong agar anak dapat membedakan antara benar dan salah,baik dan
buruk,pantas dan tidak pantas dan sebagainya,
4. Ibu dan ayah dapat membawakan peran sebagai orang tua yang baik serta
menghindarkan perbuatan dan perlakuan buruk serta keliru di hadapan anak-
anaknya,dan
5. Menasihati anak-anaknya jika melakukan kesalahan serta menunjukkan dan
mengarahkan mereka ke jalan yang benar
Apabila terjadi suatu kondisi yang berlainan dengan hal di atas, maka anak-
anak akan mengalami kekecewaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal
antara lain:
1. orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya,terlalu sibuk dengan kepentingan-
kepentingannya,sehingga anak merasa diabaikan,hubungan anak dengan orang tua
menjadi jauh, padahal anak sangat memerlukan kasih sayang mereka, dan
2. Orang tua terlalu memaksakan kehendak dan gagasannya kepada anak sehingga
sang anak menjadi tertekan jiwanya.
B. Pola Sosialisasi Kontemporer
Dalam lingkungan keluarga kita mengenal dua macam pola sosialisai, yaitu
dengan cara represif (repressive socialization) yang mengutamakan adanya ketaatan
anak pada orang tua dan cara partisipasi (participatory socialization) yang
mengutamakan adanya partisipasi dari anak.
a. Sosialisasi Represif
Di masyarakat seringkali kita melihat ada orang tua yang memberikan
hukuman fisik pada anak yang tidak menaati perintahnya. Misalnya memukul anak
yang tidak mau belajar, atau mengunci anak di kamar mandi karena berkelahi
dengan teman. Contoh ini merupakan salah satu bentuk sosialisasi represif yang ada
di sekitar kita. Dari contoh tersebut dapatkah kamu menyimpulkan apa sebenarnya
sosialisasi represif itu? Sosialisasi represif merupakan sosialisasi yang lebih
menekankan penggunaan hukuman, terutama hukuman fisik terhadap kesalahan
yang dilakukan anak.
Adapun ciri-ciri sosialisasi represif di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menghukum perilaku yang keliru.
2. Adanya hukuman dan imbalan materiil.
3. Kepatuhan anak kepada orang tua.
4. Perintah sebagai komunikasi.
5. Komunikasi nonverbal atau komunikasi satu arah yang berasal dari orang tua.
6. Sosialisasi berpusat pada orang tua.
7. Anak memerhatikan harapan orang tua.
8. Dalam keluarga biasanya didominasi orang tua.
Sosialisasi represif umumnya dilakukan oleh orang tua yang otoriter. Sikap
orang tua yang otoriter dapat menghambat pembentukan kepribadian seorang anak.
Mengapa? Anak tidak dapat membentuk sikap mandiri dalam bertindak sesuai
dengan perannya. Seorang anak yang sejak kecil selalu dikendalikan secara
berlebihan oleh orang tuanya, setelah dewasa ia tidak akan berani mengembangkan
diri, tidak dapat mengambil suatu keputusan, dan akan selalu bergantung pada
orang lain. Kata-kata 'harus', 'jangan', dan 'tidak boleh ini dan itu' akan selalu
terngiang-ngiang dalam pikirannya.
b. Sosialisasi Partisipatif
Pola ini lebih menekankan pada interaksi anak yang menjadi pusat
sosialisasi. Dalam pola ini, bahasa merupakan sarana yang paling baik sebagai alat
untuk membentuk hati nurani seseorang dan sebagai perantara dalam pengembangan
diri. Dengan bahasa, seseorang belajar berkomunikasi, belajar berpikir, dan
mengenal diri. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sosialisasi
partisipatif memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut.
1. Memberikan imbalan bagi perilaku baik.
2. Hukuman dan imbalan bersifat simbolis.
3. Otonomi anak.
4. Interaksi sebagai komunikasi.
5. Komunikasi verbal atau komunikasi dua arah, baik dari anak maupun dari
orang tua.
6. Sosialisasi berpusat pada anak.
7. Orang tua memerhatikan keinginan anak.
Dalam keluarga biasanya mempunyai tujuan yang sama. Keseluruhan sistem
belajar mengajar sebagai bentuk sosialisasi dalam keluarga bisa disebut sistem
pendidikan keluarga. Sistem pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh
yaitu suatu pola untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak, Pola ini tentu
saja tidak dimaksudkan pola mengasuh anak yang dilakukan oleh perawat atau
baby sitter, seperti yang sering dilakukan oleh kalangan keluarga elit/kaya di kota-
kota besar.
Pola mengasuh anak di dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh sistem
nilai, norma, dan adat istiadat yg berlaku pada masyarakat tempat keluarga itu
tinggal. Jadi, kepribadian dan pola perilaku yang terdapat pada berbagai masyarakat
suku bangsa sangat beragam coraknya.
C. Teori terkait Sosialisasi
Beberapa teori sosialisasi menurut para ahli sosiolog adalah sebagai
berikut:
a. Teori George Herbert Mead
Menurut Mead setiap anggota baru harus mempelajari peran-
peran yang ada di dalam masyarakat yaitu suatu proses yang
dinamakan pengambilan peran. Dalam proses ini seorang
belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankan serta
peran yang harus dijalankan orang lain. Jadi diri seseorang
terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
b. Teori Charles H. Cooley
Menurut Cooley, seseorang berkembang melalui interaksinya
dengan orang lain melalui tiga tahap, yaitu:
1. Seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain
terhadapnya.
2. Seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain
terhadap penampilannya.
3. Seseorang mempunyai perasaan apa yang dirasakannya
sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
Ia menganalogikan antara pembentukan diri seorang
dengan perilaku orang yang sedang bercermin. Misalnya
seseorang siswa memperoleh nilai rendah dalam ujian, ia merasa
bahwa para gurunya menganggapnya bodoh, maka ia kurang
dihargai dan siswa tersebut menjadi murung.
Ada tiga teori yang relatif kuat yang dapat menjelaskan proses pembelajaran
dalam sosialisasi. Pertama adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory),
kedua teori perkembangan individu (developmental theory), dan ketiga teori interaksi
simbolis (symbolic interaction theory).
1. Teori pembelajaran sosial
Pembelajaran terjadi melalui dua cara: (1) dikondisikan, dan (2) meniru
perilaku orang lain. Tokoh utama pendekatan pertama adalah B.F. Skinner (1953),
Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau
negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seorang anak rajin belajar karena
memperoleh hadiah dari orang tuanya. Seorang murid yang mempeoleh nilai baik,
dipuji-puji di depan orang banyak. Memuji, memberi imbalan, merupakan cara
untuk memunculkan bentuk perilaku tertentu. Memarahi, memberi hukuman,
merupakan cara untuk menghilangkan perilaku tertentu. Dengan demikian jika
generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada generasi
sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu dilestarikan harus
diberikan imbalan. Seorang anak diminta berdoa sebelum makan, dan setelah
selesai berdoa, orang tuanya memujinya .
Pendekatan kedua dikenal dengan nama “observational learning”. Tokoh di
balik konsep tersebut adalah Albert Bandura. Inti perndekatan ini adalah bahwa
perilaku seseorang diperoleh melalui proses peniruan perilaku orang lain. Individu
meniru perilaku orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang
menampilkan perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita
ingin mensosialisasikan hidup secara teratur, disiplin, maka caranya adalah
memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak
untuk ditiru.
2. Berdasarkan teori-teori perkembangan
Pembelajaran , sosialisasi di tahap awal melibatkan serangkaian tahapan.
Setiap tahap akan memunculkan bentuk perilaku tertentu dan setiap manusia
perilakunya berkembang melalui tahapan yang sama.
Misalnya, tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Ericson
(1950), ada delapan tahapan. Tahap pertama pengembangan rasa percaya pada
lingkungan, tahap kedua pengembangan kemandirian, tahap ketiga pengembangan
inisiatif, tahap keempat pengembangan kemampuan psikis dan pisik, tahap kelima
pengembangan identitas diri. Kelima tahapan tersebut terjadi pada saat sosialisasi
di masa kanak-kanak. Tahap perkembangan setelah itu adalah tahap keenam
merupakan pengembangan hubungan dengan orang lain secara intim, tahap ketujuh
pengembangan pembinaan keluarga/keturunan, dan tahap kedelapan
pengembangan penerimaan kehidupan.
3. Berdasarkan teori interaksi simbolis
Asal teori ini dari disiplin sosiologi, yaitu satu teori yang memusatkan pada
kajian tentang bagaimana individu menginterpretasikan dan memaknakan
interaksi-interaksi sosialnya. Di dalam teori ini ditekankan bagaimana peran aktif
seorang anak dalam sosialisasi. Sejak masa kanak-kanak, kita belajar
mengembangkan kemampuan diri (mengevaluasi diri, memotivasi diri,
mengendalikan diri).
Menurut Herbert Mead (1934) ada tiga proses tahapan pengembangan diri
yang memungkinkan seorang anak menjadi mampu berpartisipasi penuh dalam
kehidupan sosial. Tahap pertama adalah preparatory stage, tahap kedua play stage,
dan tahap terakhir adalah game stage.
Pada tahapan pertama, anak belum mampu memandang perilakunya sendiri.
Mereka meniru perilaku orang lain yang ada di sekitarnya dan mencoba
memberikan makna. Anak juga mulai belajar menangkap makna dari bahasa yang
digunakannya. Pada tahapan kedua, anak mulai belajar berperan seperti orang lain.
Berperilaku seperti ayahnya, ibunya, guru, dsb. Melalui bermain peran yang
beraneka ragam itu anak mempelajari pola-pola perilaku individu lainnya . Tahap
ketiga merupakan tahapan di mana anak melatih ketrampilan sosialnya. Dia belajar
bagaimana memenuhi harapan orang lain yang jumlahnya tidak hanya satu.
Memenuhi harapan teman-temannya, kelompok bermainnya, kelompok belajarnya,
dan sebagainya.
D. Variabel yang Mempengaruhi Pengasuhan Anak
Sosialisasi dari orangtua sangatlah penting bagi anak, karena anak masih terlalu
muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri
ke arah kematangan. J. Clausen mendiskripsikan tentang upaya yang dilakukan orangtua
dalam rangka sosialisasi dan perkembangan sosial yang dicapai anak, yaitu sebagai
berikut:
Tabel 1. Sosialisasi dan Perkembangan Anak
Kegiatan OrangtuaPencapaian Perkembangan
Perilaku Anak
1. Memberikan makanan dan memelihara
kesehatan fisik anak
2. Melatih dan menyalurkan kebutuhan
fisiologis: toilet training (melatih
membuang air besar/kecil), menyapih
dan memberikan makanan padat.
3. Mengajar dan melatih keterampilan
berbahasa, persepsi, fisik, merawat diri
1. Mengembangkan sikap percaya
terhadap orang lain
(development of trust).
2. Membantu mengendalikan
dorongan biologis dan belajar
untuk menyalurkannya pada
tempat yang diterima
masyarakat.
dan keamanan diri.
4. Mengenalkan lingkungan kepada anak:
keluarga, sanak keluarga, tetangga dan
masyarakat sekitar.
5. Mengajarkan tentang budaya, nilai-nilai
(agama) dan mendorong anak untuk
menerimanya sebagai bagian dirinya.
6. Mengembangkan keterampilan
interpersonal, motif, perasaan, dan
perilaku dalam berhubungan dengan
orang lain.
7. Membimbing, mengoreksi, dan
membantu anak untuk merumuskan
tujuan dan merencanakan aktivitasnya.
3. Belajar mengenal objek-objek,
belajar berbahasa, berjalan,
mengatasi hambatan,
berpakaian, dan makan.
4. Mengembangkan pemahaman
tentang tingkah laku sosial,
belajar menyesuaikan perilaku
dengan tuntutan lingkungan.
5. Mengembangkan pemahaman
tentang bauk-buruk,
merumuskan tujuan dan kriteria
pilihan dan berperilaku yang
baik.
6. Belajar memahami perspektif
(pandangan) orang lain dan
merespons harapan/ pendapat
mereka secara selektif.
7. Memiliki pemahaman untuk
mengatur diri dan memahami
kriteria untuk menilai
penampilan/ perilaku sendiri.
Cara-cara dan sikap-sikap dalam keluarga juga memegang peranan penting
dalam perkembangan sosial anak. Jika orangtua selalu bersikap otoriter, maka anak
akan berkembang menjadi manusia pasif, tak berinisiatif, dan kurang percaya diri.
Sedangkan jika orangtua dalam keluarga bertindak demokratis, maka anak berkembang
menjadi tidak takut, penuh dengan inisiatif, memiliki rasa tanggung jawab, dan percaya
diri.
Hariyadi, dkk (2003) menyatakan bahwa pola asuh demokratis dengan suasana
yang diliputi keterbukaan lebih memberikan peluang bagi remaja untuk melakukan
proses penyesuaian diri secara efektif dibandingkan dengan pola asuh otoriter maupun
pola asuh yang penuh kebebasan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap
dan kebiasaan-kebiasaan orangtua dalam keluarga menjadi sikap dan kebiasaan yang
dimiliki anak.
Pengasuhan Anak dalam Keluarga - Pendidikan Pertama dari Keluarga
Pola pengasuhan adalah suatu perlakukan orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang
tua. Anak tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan perawatan orang tua, oleh
karena itu orang tua merupakan dasar perawatan dan dasar pembentuk kepribadian
anak.
Dalam perkembangan si anak, pola pengasuhan orang tua sangat menentukan
kearah mana nanti si anak setelah dewasa dan mencerminkan pola pengasuhan yang
pernah ia terima sejak ia ada. Komunikasi dengan orang tua, perhatian, serta sikap orang
tua dalam mendidik dan segala perlakuan lainnya akan membentuk seperti apa
kepribadian anak. Orang tua sebagai penanggung jawab terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak serta pembentukan kepribadian anak.
Hal pertama didalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga.
Dimana individu ibarat sebuah kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada
orang tua atau keluarga bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi, melalui
pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus menerus, diri serta kepribadian anak
dibentuk. Orang tua, yaitu ayah dan ibu, pada umumnya merupakan teladan bagi anak-
anak mereka.
Pola dan bentuk pengasuhan anak dalam keluarga tidak sama pada tiap
keluarga, karena setiap keluarga memiliki latar belakang yang berbeda, baik latar
belakang pendidikan, kebudayaan, mata pencaharian. Pola pengasuhan dan perubahan
sosialisasi anak tertanam dalam pola hubungan sosial ekonomi. Perubahan lingkungan
ekonomi dan sosial telah membawa pengaruh pada pola pengasuhan anak.
Displin sebagai suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk menanamkan
pola perilaku tertentu, kebiasaan tertentu atau membentuk manusia dengan ciri-ciri
tertentu, terutama meningkatkan kualitas mental dan moral. Jadi bagi orang tua
penerapan displin pada anak adalah hal yang teramat penting dan dapat dikatakan
bahwa letak moral anak tergantung pada pola asuh yang digunakan orang tuanya.
Gaya Pengasuhan pada Anak
Setiap keluarga memiliki gaya pengasuhan anak dalam keluarga yang berbeda-
beda. Hal itu terjadi mengingat latar belakang yang ada dalam setiap keluarga itu juga
berbeda. Tetapi setidaknya ada kesamaan gaya pengasuhan yang dilakukan oleh setiap
keluarga. Berikut ini ada beberapa gaya pengasuhan anak dalam keluarga:
Otoriter (Authoritarian)
Gaya pengasuhan anak model ini menerapkan aturan: orang tua selalu benar.
Seorang anak harus selalu mematuhi apa pun yang dikatakan dan disarankan oleh orang
tuanya, Semua urusan anak diatur oleh orang tua. Tujuan gaya pengasuhan ini
sebenarnya baik yaitu agar anak teratur dalam segala hal dan menjadi sosok yang
disiplin.
Namun, gaya pengasuhan ini akan menyebabkan anak depresi serta kurang bisa
bergaul dengan lingkungannya karena sikap orang tua yang terlalu protektif. Depresi
yang berkepanjangan dapat menyebabkan anak stres, bahkan melakukan bunuh diri.
Akibat jangka panjang dari gaya pengasuhan otoriter ini akan menyebabkan hubungan
yang kurang hangat antara anak dan orang tua. Tanpa sadar orang tua tengah
membangun tembok batin dengan anaknya.
Liberal
Gaya pengasuhan anak dalam keluarga ini kebalikan dari gaya otoriter. Orang
tua memberikan kebebasan seluas-luasnya. Keinginan anak selalu dipenuhi oleh orang
tua karena anggapan anak harus diberikan keleluasaan untuk melakukan apa saja,
biarkan ia belajar dengan melakukan (learning by doing). Orang tua yang liberal
khawatir jika terlalu ketat mengatur, anak terkekang, dan kurang bisa mengekspresikan
diri sesuai dengan keinginannya.
Namun, tidak adanya kontrol dari orang tua akan menjadikan anak sosok yang
semau gue, enggan berbagi dan selalu ingin memang sendiri. Secerdas apapun seorang
anak, ia belum mengenal dunia sehingga perlu bimbingan orang tua. Anak akan sulit
mandiri dan tergantung pada orang lain. Ini muncul sebagai dampak keinginan yang
selalu dipenuhi.
Egaliter (Authoritative)
Pada gaya pengasuhan ini, orangtua membuat peraturan-peraturan yang harus
dipatuhi oleh anak, tapi anak juga memiliki kesempatan untuk berpendapat. Orang tua
mendengarkan anaknya dan mencari solusi yang disepakati bersama. Ruang diskusi
tercipta antara anak dan orang tua.
Gaya pengasuhan egaliter merupakan perwujudan keinginan orang tua dan
anak. Anak-anak yang diasuh dengan cara ini akan memiliki harga diri yang tinggi,
kepercayaan diri, dan keterampilan sosial yang memadai. Secara akademis, anak-anak
dalam pola asuh egaliter mempunyai prestasi yang baik serta kurang bermasalah dalam
lingkungan pergaulannya. Namun, orang tua dapat terjebak pada kompromi berlebihan
sehingga dapat dimanipulasi oleh anak. Orangtua bukannya menempuh win-win
sollution, tetapi lebih menuruti keinginan anak.
Tidak Terlibat (Neglect)
Pada gaya pengasuhan anak dalam keluarga ini, orang tua cenderung cuek,
tidak begitu peduli dengan pengasuhan anaknya. Orang tua seolah tidak mempunyai
waktu untuk mendidik anak atau sekadar memperhatikan hal-hal sepele anaknya. Segala
sesuatu dipercayakan kepada orang lain begitu saja tanpa kendali darinya.
Contoh pola asuh ini adalah orang tua yang mementingkan karir, tanpa peduli
dengan perkembangan anak. Secara ekonomi, bisa saja kebutuhan anak terpenuhi,
namun anak sangat kurang kasih sayang dan perhatian orang tua. Anak-anak yang
dibesarkan dengan gaya pengasuhan neglect cenderung memiliki harga diri serta
kepercayaan diri yang rendah. Rasa hormat dan tanggung jawab anak rendah, prestasi
akademik tidak bisa dibanggakan, dan memiliki perilaku buruk.
Gaya Pengasuhan Terbaik
Setiap gaya pengasuhan anak dalam keluarga di atas memiliki kelebihan dan
kekurangan. Tidak ada satu gaya pengasuhan terbaik yang mutlak diterapkan. Untuk
kondisi tertentu, orang tua perlu menerapkan gaya otoriter, misalnya pada perilaku yang
dapat membahayakan anak seperti pemakaian obat-obatan terlarang dan minuman
alkohol.
Ketika menentukan tujuan liburan, kegiatan akhir tahun, orang tua bisa
menerapkan gaya egaliter sehingga anak berlibur tanpa beban. Sedangkan untuk hal-hal
yang bersifat pengembangan kreativitas, orang tua dapat lebih liberal. Idealnya orangtua
harus mengenali karakteristik anak sehingga tahu gaya pengasuhan anak dalam keluarga
yang tepat untuk anaknya pada kondisi tertentu.
Menciptakan kedekatan antara seorang ayah dengan anak adalah sebuah
investasi yang sangat berharga. Anda akan menyesal jika tidak memulainya sejak awal
dan baru merasakan sesuatu yang ganjil ketika anak mulai besar. Hubungan Anda dan
anak akan terasa kaku, formal dan berjarak. Hal ini sering terlupakan oleh seorang ayah
yang memiliki kesibukan tinggi sehingga baru menyadari ada yang salah antara
hubungannya dengan anak setelah beberapa waktu kemudian dan itu mungkin sudah
terlambat.
Peran ayah untuk memenuhi nafkah keluarga adalah pekerjaan mulia.
Pekerjaan tersebut dalam banyak hal juga menyita waktu dan energi yang tidak sedikit.
Walaupun demikian, bukan berarti menjadi alasan untuk tidak menyediakan waktu yang
cukup untuk menjalin kedekatan dan menjadi pelatih emosi bagi anak-anak.
E. Bentuk dan Sosialisasi Keluarga
Tujuan Sosialisasi Dalam Keluarga
Secara mendasar terdapat tiga tujuan sosialisasi di dalam keluarga, yakni
sebagai berikut:
a. Penguasaan diri
Masyarakat menuntut penguasaan diri pada anggota-anggotanya. Proses
mengajar anak untuk menguasai diri ini dimulai pada waktu orang tua melatih
anak untuk memelihara kebersihan dirinya. Ini merupakan tuntutan sosial pertama
yang dialami oleh anak untuk latihan penguasaan diri. Tuntutan penguasaan diri
ini berkembang, dari yang bersifat fisik kepada penguasaan diri secara emosional.
Anak harus belajar menahan kemarahannya terhadap orang tua atau
saudarasaudaranya. Tuntutan sosial yang menuntut agar anak menguasai diri
merupakan pelajaran yang berat bagi anak.
b. Nilai-nilai
Bersama-sama dengan proses berlatih penguasaan diri ini kepada anak
diajarkan nilai-nilai. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar
dalam diri seseorang terbentuk pada usia enam tahun. Di dalam perkembangan
usia tersebut keluarga memegang peranan terpenting dalam menanamkan nilai-
nilai. Sebagai contoh melatih anak menguasai diri agar permainannya dapat
dpinjamkan kepada temannya, maka di situ dapat muncul suatu makna tentang arti
dari kerja sama. Mengajarkan anak menguasai diri agar tidak bermain-main
dahulu sebelum menyelesaikan pekerjaan rumahnya, maka disitu mengandung
ajaran tentang nilai sukses dalam pekerjaan.
c. Peran-peran sosial
Mempelajari peran-peran sosial ini terjadi melalui interaksi sosial dalam
keluarga. Setelah dalam diri anak berkembang kesadaran diri sendiri yang
membedakan dirinya dengan orang lain, dia mulai mempelajari peranan-peranan
sosial yang sesuai dengan gambaran tentang dirinya. Dia mempelajari peranannya
sebagai anak, sebagai saudara (kakak/adik), sebagai laki-laki/perempuan, dan
sebagainya. Proses mempelajari peran-peran sosial ini kemudian dilanjutkan di
lingkungan kelompok sebaya, sekolah, perkumpulan-perkumpulan dan lain
sebagainya.
Tahapan-Tahapan Sosialisasi
Penyesuaian diri terjadi secara berangsur-angsur, seiring dengan perluasan dan
pertumbuhan pengetahuan serta penerimaan individu terhadap nilai dan norma yang
terdapat dalam lingkungan masyarakat. Dengan melandaskan pemikirannya pada Teori
Peran Sosial, George Herbert Mead dalam bukunya yang berjudul Mind, Self, and
Society from The Standpoint of Social Behaviorist (1972) berpendapat bahwa sosialisasi
yang dilalui seseorang dapat diklasifikasikan melalui tahap-tahap berikut ini.
a. Tahap Persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak
mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya. Pada tahap ini juga anak mulai
melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Dalam tahap ini, individu
sebagai calon anggota masyarakat dipersiapkan dengan dibekali nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pedoman bergaul dalam masyarakat oleh lingkungan
yang terdekat, yaitu keluarga.
Lingkungan yang memengaruhi termasuk individu yang berperan dalam
tahapan ini relatif sangat terbatas, sehingga proses penerimaan nilai dan norma juga
masih dalam tataran yang paling sederhana.
b. Tahap Meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan
peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk
kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan
sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan oleh seorang ibu
dan apa yang diharapkan seorang ibu dari dirinya. Dengan kata lain, kemampuan
untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan orang-orang yang jumlahnya
banyak telah juga mulai terbentuk.
c. Tahap Siap Bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan peran yang
secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat, sehingga memungkinkan
adanya kemampuan bermain secara bersama-sama.
Pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan temanteman sebaya di
luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap
mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma
tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
d. Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalizing Stage)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat
menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, dia
dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi
dengannya, tetapi juga dengan masyarakat secara luas. Manusia dewasa menyadari
pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang
tidak dikenalnya. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi
warga masyarakat dalam arti sepenuhnya. Dalam tahap ini, individu dinilai sudah
mencapai tahap kematangan untuk siap terjun dalam kehidupan masyarakat. Untuk
lebih mudah memahami tahapan-tahapan sosialisasi yang telah kita bahas di atas,
berikut ini disajikan dalam bentuk tabel.
F. Diagnosis Keperawatan Keluarga
1. Menurunnya atau berkurangnya minat terhadap tugas sekolah yang dibebankan
berhubungan dengan anak terlalu asik bermain
2. Gangguan pemenuhan kebersihan diri berhubungan dengan terlalu banyak waktu
yang digunakan untuk bermain
3. Berontak/menantang terhadap peraturan keluarga berhubungan dengan larangan
bermain dari orang tua
4. Menarik diri dari lingkungan sosial (menyendiri) berhubungan dengan terlalu asik
bermain video game
5. Kurangnya sosialisasi berhubungan dengan keluarga yang terlalu melindungi
6. Gangguan proses keluarga