makalah
description
Transcript of makalah
ASKEP MIASTENIA GRAVIS
A. Definisi
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah
satu-satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat
otot voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan dapat butuh
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Sylvia A. Price : 1148,
1995)
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan
dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi
oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth, 2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang
mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M.
Neffina, 2002).
B. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf
dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel
globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan
motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan ACh
Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran
ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama
Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia
gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat
kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir,
faktor imunologik yang berperanan
C. Insiden
Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering
pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. Dahulu, angka
kematian mencapai 90 %. Angka kematian menurun drastis sejak tersedia
pengobatan dan unit perawatan pernapasan.
D. Klasifikasi
Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis
Klasifikasi Klinis
Kelompok I Miastenia Okular Hanya menyerang otot-otot ocular,
disertai ptosis dan diplopia
Kelompok Miastenia Umum
A. Miastenia umum ringan Awitan (onset) lambat, biasanya
pada mata, lambat laun menyebar
ke otot-otot rangka dan bulbar
System pernafasan tak terkena.
Respon terhadap terapi obat baik
Angka kematian rendah
B. Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu
berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot
rangka dan bulbar
Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan miastenia
umum ringan. Otot-otot
pernafasan tak terkena
Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktivitas
klien terbatas, tetapi angka
kematian rendah
C. Miastenia umum berat 1. Fulminan akut:
Awitan yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka
dan bulbar dan mulai
terserangnya otot-otot
pernafasan
Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan
Respon terhadap obat buruk
Insiden krisis miastenik,
kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi
Tingkat kematian tinggi
2. Lanjut
Miastenia gravis berat timbul
paling sedikit 2 tahun setelah
awitan gejala-gejala kelompok
I atau II
Miastenia gravis dapat
berkembang secara perlahan
atau tiba-tiba
Respon terhadap obat dan
prognosis buruk
Sumber : Price dan Wilson, Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit, Jakarta. EGC, 1995
E. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini akan mengalami
kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir
rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk
istirahat.
Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh.
Otot-otot simetris terkena, umumnya ini dihubungkan dengan saraf kranial.
Karena otot-otot okular terkena maka gejala awal yang muncul adalah
diplopia (pengelihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Kelemahan
pada otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya
bahaya tersedak dan aspirasi.
Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini
disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap laring
menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara
hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Beberapa pasien sekitar
15% sampai 20% mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan, dan
biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan, yang membuat
pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif
mengebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan darurat akut.
Secara umum beristirahat dan agen antikolinesterase dapat
meringankan gejala gejala Miastenia Gravis. Gejala diperberat oleh perubahan
keseimbangan hormonal (misal selama kehamilan, fluktuasi dalam siklus
menstruasi atau gangguan fungsi tiroid), penyakit yang terjadi pada waktu
yang bersamaan khususnya infeksi traktus pernapasan atas dan yang berkaitan
dengan diare dan demam, emosi kekecewaan (sebagian besar pasien
mengalami kelemahan otot yang lebih ketika kecewa), alkohol (khususnya
dengan air tonik yang terdiri dari kuinin, yaitu obat yang meningkatkan
kelemahan otot) dan obat lain-lain.
Maka manifestasi klinis dari miastenia gravis diantaranya:
1. Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan
2. Diplobia (penglihatan ganda)
3. Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
4. Disfonia (gangguan suara)
5. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan
gawat napas.
F. Patofisiologis
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang
berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini
mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju
perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu
merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik dan serabut otot
yang dipersarafinya disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik
mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersyarafi oleh
hanya satu neuron motorik (Price dan Wilson, 1995).
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan
serabut otot disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang
terdiri dari tiga komponen dasar : elemen prasinaptik, elemen pascasinaptik
dan celah sinaptik. Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang terdiri
berisi vesikel sinaptik dengan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin
disintesis dan disimpan dalam akson terminal (Button). Membran plasma
akson terminal disebut membran prasinaps. Elemen pascasinaps terdiri dari
membran pascasinaps atau ujung lempeng motorik dari serat otot. Membran
pascasinaps dibentuk oleh invaginasi yang disebut saluran sinaps membran
otot atau sarkolema kedalam tonjolan akson terminal. Membran pascasinaps
memiliki banyak lipatan yang sangat meningkatkan luas permukaan.
Membran pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan
mampu membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat
menghasilkan potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang
merusak asetilkolin juga terdapat dalam membran pascasinaps. Celah sinaptik
mengacu pada ruangan antara membran prasinaps dan menbran pascasinaps.
Apabila impuls saraf mencapai taut neuromoskular, membran akson
prasinaptik terminal terdepolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke
dalam celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus dan
menyatu dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membran pascasinaptik.
Masuknya ion Na secara mendadak dan keluarnya ion K menyebabkan
depolarisasi ujung lempeng, yang diketahui sebagai ujung lempeng potensial.
Ketika ujung lempeng potensial mencapai puncak, maka ujung tersebut akan
menghasilkan potensial potensial aksi dalam membran otot. Potensial aksi ini
merangkai serangkaian reaksi yang menyebabkan kontraksi serabut otot.
Begitu terjadi transmisi melewati penghubung neuromuskular, asetilkolin akan
dirusak oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin
yang dilepaskan lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi.
Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah
reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang terjadi akibat cedera
autoimun sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang menyebabkan
kelemahan pada otot. Pada 90 % pasien gejala awal melibatkan otot okular
yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Otot wajah, laring dan faring juga
sering terlibat dalam Miastenia Gravis yang dapat mengakibatkan regurgitasi
melalui hidung ketika berusaha menelan dan pasien dapat mengalami aspirasi,
gangguan suara (disfonia). Kelemahan otot pernapasan juga ditandai dengan
batuk lemah dan akhirnya serangan dispnea, dan ketidakmampuan
membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial. Selain itu terjadi kelemahan
otot ekstremitas yang menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri, berjalan,
atau bahkan menahan lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang menyisir
rambut).
Pathway Miastenia Gravis
G. Komplikasi
Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetil kolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang pada membrane postsinap
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinap pada sambungan neuromuskular
Otot pernafasan
Penurunan hubungan neuromuscular
Kelemahan otot-otot
Ketidakefektifan pola nafas
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Ketidakmampuan batuk efektif
Kelemahan otot-otot
pernafasan
Kelemahan otot-otot rangka
Krisis miastenia
Otot volunter
Regurgitasi makanan ke
hidung pada saat menelan
Suara abnormalKetidak mampuan menutup rahang
Otot wajah, laring, faring
Resti aspirasiGangguan
pemenuhan nutrisi
Kerusakan komunikasi verbal
Hambatan mobilitas fisik
Intoleransi aktivitas
Ptosis & Diplopia
Gangguan otot levator palpebra
Otot-otot okular
Gangguan citra diri
Kematian
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis antara lain:
1. Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak
diawasi
2. Pneumonia
3. Bullous death
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian obat
antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang bersikulasi.
1. Obat anti kolinestrase
a. Piridostigmin bromide (mestinon), ambenonium klorida (Mytelase),
neostigmin bromide (Prostigmin).
b. Diberikan untuk meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf dan
meningkatkan kekuatan otot, hasil diperkirakan dalam 1 jam setelah
pemberian.
2. Terapi imunosupresif
a. Ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau
pembuangan antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.
b. Kortikostreoid menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody
yang menghambat
c. Pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara
dalam titer antibody
d. Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi)
menyebabkan remisi subtansial, terutama pada pasien dengan tumor
atau hiperlasia kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer
timus. kalenjer timus.
I. Krisis Miastenia Gravis
Pasien miastenik dikatakan berada dalam krisis bila sudah tidak
mampu menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa
bantuan alat. Dua jenis krisis adalah krisis miastenik yaitu keadaan ketika
pasien membutuhkan lebih banyak obat antikolinesterase dan krisis kolinergik
yaitu keadaan yang terjadi akibat kelebihan obat antikolinesterase. Pada
keadaan lain, ventilasi dan jalan napas yang adekuat harus dipertahankan.
Edrofonium klorida (Tensilon 2 hingga 5 mg) diberikan secara intravena
sebagai test untuk membedakan jenis krisis.. obat tersebut menghasilkan
perbaikan sementara dalam krisis miastenik namun tidak memperbaiki atau
memperburuk gejala pada krisis kolinergik.
Bila terjadi krisis miastenik, pasien dipertahankan dengan respirator.
Obat antikolinesterse tidak dapat diberikan karena obat itu dapat
meningkatkan sekresi pernapasan dan dapat mencetuskan krisis kolinergik.
Pemberian obat dimulai lagi secara bertahap dan seringkali dosis dapat
diturunkan setelah krisis.
Pada krisis kolinergik, pasien mungkin telah meminum obat secara
berlebihan karena kesalahan atau dosisnya mungkin berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Banyak pasien yang mengalami krisis ini disebut miastenik
rapuh. Episode ini sulit dikendalikan dengan pengobatan dengan kisaran
terapeutik yang sempit antara kekurangan dosis dan kelebihan dosis. Respon
terhadap pengobatan ini seringkali hanya sebagian. Pada krisis kolinergik,
pasien dipertahankan dengan ventilasi buatan. Obat antikolinergik tidak dapat
diberikan, dan 1 mg atropin diberikan secara intravena dan dapat diulang bila
perlu. Ketika diberikan atropin, pasien harus diawasi dengan hati-hati karena
sekret pernapasan dapat mengental sehingga terjadi kesulitan menghisap, atau
sumbatan mukus dapat menghambat bronkus sehingga terjadi atelektasis.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
2. Keluhan utama : Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia
gravis meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya
penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia
(penglihathan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan
utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah
menelan dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utamanya
biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk
efektif dan dispnea.
3. Riwayat kesehatan : Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan
pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis,
pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik
yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan
atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot. Selain
itu juga perlu diperhatikan tentang riwayat penyakit sekarang, dahulu dan
riwayat penyakit keluarga.
4. Pengkajian Psiko-sosial-spiritual
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan
otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan
pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi
verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
5. Pemeriksaan fisik:
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mempunyai kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, dispnea, prnggunaan otot-otot bantu
pernafasan dan peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan
pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan.
Auskultasi buyi nafas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien
menandakan adanya akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernafasan.
b. B2 (Bleeding)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi
(takikardi/bradikardi) dan tekanan darah (hipertensi/hipotensi) yang
secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernafasan.
c. B3 (Brain)
1) Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik
2) Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik
yang mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku,
alam perasaan, dan persepsi
3) Pemeriksaan saraf cranial
a) Saraf I
Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
b) Saraf II
Penurunan pada test ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
c) Saraf III, IV dan VI
Sering didapat adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic
dari Pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan
motorik pada saraf VI
d) Saraf V
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah
e) Saraf VII
Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah/triple-furrowed lidah
f) Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g) Saraf IX dan X
Ketidakmampuan dalam menelan
h) Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
i) Saraf XII
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu titik akibat
kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah
4) System motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari system
motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka
memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi
aktivitas klien
5) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau pperiosteum derajat reflex pada respon normal
6) System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan perasaan
raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Selain itu
dimungkinkan adanya penurunkan fungsi kandung kemih, retensi
urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
e. B5 ( Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun
karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan
otot-otot menelan, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
6. Pemeriksaan diagnostic
a. Test serum anti bodi resptor ACh yang positif pada 90% pasien.
b. Test tensilon : injeksi iv memeperbaiki respon motorik sementara dan
menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu
memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
c. Test elektro fisiologis untuk menunjukan penurunan respon
rangsangan saraf berulang.
d. CT dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap menyebabkan
respon autoimun.
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
3. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
umum, keletihan
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
5. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
C. Intervensi
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
Tujuan : dalam waktu 1×24 jam setelah diberikan intervensi, pola pernafasan
klien kembali efektif.
Kriteria hasil: irama, frekuensi, dan kedalaman pernafasan dalam batas
normal, bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat mengkaji
frekuensi pernafasan, kedalaman dan
bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi
paru-paru (volume tidal, kapasitas
vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam
mendeteksi masalah paru-paru,
sebelum perubahan kadar gas darah
arteri dan sebelum tampak gejala
klinik.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, laporkan setiap perubahan
yang terjadi
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,
dan kedalaman pernafasan, kita
dapat mengetahui sejauh mana
perubahan kondisi klien.
Baringkan klien dalam posisi yang
nyaman dalam posisi duduk
Penurunan difragma memperluas
daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal.
Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR) Peningkatan RR dan takikardia
merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-
4 jam
Auskultasi dapat menentukan
kelainan suara nafas pada bagian
paru-paru.
Kemungkinan akibat dari
berkurangnya atau tidak
berfungsinya lobus, segmen dan
salah satu dari paru-paru.
Pada daerah kolaps paru suara
pernafasan tidak terdengar, tetapi
bila hanya sebagian yang kolaps
suara pernafasan tidak terdengar
dengan jelas.
Hal tersebut dapat menentukan
fungsi paru yang baik dan ada
tidaknya atelektasis paru
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk
dan nafas dalam yang efektif
Menekan daerah yang nyeri ketika
batuk atau nafas dalam. Penekanan
otot-otot dada serta abdomen
membuat batuk lebih efektif
Kolaborasi untuk pemasangan
respirator
Respirator mengambil alih fungsi
ventilasi yang terganggu akibat
kelemahan dari otot-otot pernafasan.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
Tujuan : dalam waktu 3×24 jam setelah diberikan intervensi, jalan nafas
kembali efektif. Tujuan utama dari intervensi adalah menghilangkan kuantitas
dari viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gas.
Criteria hasil : dapat mendemonstrasikan batuk efektif, dapat menyatakan
strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi, tidak ada suara tambahan, dan
pernafasan klien normal (16-20×/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu
nafas.
Intervensi Rasional
Kaji warna, kekentalan dan jumlah
sputum
Karakteristik sputum dapat
menunjukkan berat ringannya
obstruksi
Atur posisi semi fowler Meningkatkan ekspansi dada
Pertahankan asupan cairan sedikitnya
2500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan
Hidrasi yang adekuat membantu
mengencerkan secret dan
mengefektifkan pembersihan jalan
nafas. Alasan lain untuk
memperbanyak masukan cairan
adalah kecenderungan klien untuk
bernafas melalui mulut yang
meningkatkan kehilangan air.
Menghirup air yang diuapkan juga
membantu karena uap ini dapat
melembabkan percabangan bronchial.
Lakukan fisioterapi dada dengan
teknik drainage postural, perkusi,
fibrasi dada, serta lakukan suction
Bila ada kelemahan otot abdominal,
interkostal, dan faring yang hebat,
klien tidak mampu batuk dan nafas
dalam atau membersihkan sekresi.
Terapi fisik dada yang terdiri atas
drainage postural bertujuan untuk
memobilisasi sekresi dan suction
untuk mengeluarkan secret dilakukan
sesering mungkin.
Drainage postural dengan perkusi dan
vibrasi menggunakan bantuan gaya
gravitasi untuk membantu menaikkan
sekresi sehingga dapat dikeluarkan
atau dihisap dengan mudah. Drainage
postural biasanya dilakukan ketika
klien bangun untuk membuang
sekresi yang telah terkumpul
sepanjang malam dan sebelum
istirahat, untuk meningkatkan tidur.
Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan
fisik umum, keletihan
Tujuan : infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal.
Infeksi pernafasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang
memiliki paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Criteria hasil : frekuensi nafas 16-20×/menit, frekuensi nadi 70-90×/menit,
dan kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu
tubuh.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
Menjadi data dasar dalam melakukan
intervensi selanjutnya
Atur cara beraktivitas Sasaran klien adalah memperbaiki
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien
harus belajar tentang fakta-fakta dasar
mengenai agen-agen antikolinesterase
–kerja, waktu, penyesuaian dosis, dan
efek toksik. Dan yang penting pada
penggunaan medikasi dengan tepat
waktu adalah ketegasan.
Evaluasi kemampuan aktivitas
motorik
Menilai tingkat keberhasilan dari
terapi yang telah diberikan.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus
otot fasial atau oral
Tujuan : klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Criteria hasil : terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
dipenuhi, klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan komunikasi klien Kelemahan otot-otot bicara pada klien
krisis miastenia gravis dapat berakibat
pada komunikasi
Lakukan metode komunikasi yang
ideal sesuai dengan kondisi klien
Teknik untuk meningkatkan
komunikasi meliputi mendengarkan
klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas dan
menbuktikan yang diinformasikan,
berbicara klien dengan kedipan mata
mereke dan atau goyangan jari-jari
tangan atau jari-jari kaki untuk
menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Setelah
periode krisis miastenik dipecahkan,
klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang
ini mengalami gangguan bicara,
sediakan bel khusus bila perlu
Untuk kenyamanan yang
berhubungan dengan
ketidakmampuan berkomunikasi.
Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Membantu menurunkan frustasi oleh
karena ketergantungan atau
ketidakmampan berkomunikasi
Ucapkan langsung kepada klien,
berbicara pelan dan tenang, gunakan
pertanyaan dengan jawaban ‘ya’ atau
Mengurangi kebingungan atau
kecemasan terhadap banyaknya
informasi. Memajukan stimulasi
‘tidak’ dan perhatikan respon klien komunikasi ingatan dan kata-kata
Kolaborasi : konsul ke ahli terapi
bicara
Mengkaji kemampuan verbal
individual, sensorik dan motorik,
serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi deficit dan
kebutuhan terapi
Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan : citra diri klien meningkat
Criteria hasil : mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu
menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan
perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri
negatif
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan
persepsi dan hubungan dengan
derajat ketidakmampuan
Menentukan bantuan individual
dalam menyusun rencana perawatan
atau memilih intervensi
Identifikasi arti dari kehilangan atau
disfungsi pada klien
Beberapa klien dapat menerima dan
mengatur perubahan fungsi secara
efektif dan sedikit penyesuaian diri,
sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan membandingkan, mengenal
dan mengatur kekurangan
Catat ketika klien menyatakan
terpegaruh seperti sekarat atau
mengingkari dan menyatakan inilah
kematian
Mendukung penolakan terhadap
bagian tubuh atau perasaan negative
terhadap gambaran tubuh dan
kemampuan yang menunjukkan
kebutuhan dan intervensi serta
dukungan dan emosional
Pernyataan pengakuan terhadap
penolakan tubuh, mengingatkan
kembali fakta kejadian tentang
realitas bahwa masih dapat
menggunakan sisi yang sakit dan
belajar mengontrol sisi yang sehat
Membantu klien untuk melihat bahwa
perawat menerima kedua bagian
sebagai bagian dari seluruh tubuh.
Mengizinkan klien untuk merasakan
adanya harapan dan mulai menerima
situasi baru
Bantu dan anjurkan perawatan yang
baik dan memperbaiki kebiasaan
Membantu meningkatkan perasaan
harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan
Anjurkan orang yang terdekat untuk
mengizinkan klien melakukan hal
untuk dirinya sebanyak-banyaknya
Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi
Dukung perilaku atau usaha seperti
peningkatan minat atau partisipasi
dalam aktivitas rehabilitasi
Klien dapat beradaptasi terhadap
perubahan dan pengerian tentang
peran individu masa mendatang
Monitor gangguan tidur, peningkatan
kesulitan konsentrasi, letargi dan
witdhrawal
Dapat mengindikasikan terjadinya
depresi, umumnya terjadi sebagai
pengaruh dari stroke, dimana
memerlukan intervensi dan evaluasi
lebih lanjut
Kolaborasi : rujuk pada ahli
neuropsikologi dan konseling bila ada
indikasi
Dapat memfasilitasi perubahan peran
yang penting untuk perkembangan
perasaan.
D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah
ditetapkan dari diagnose yang ditegakkan sesuai hasil pengkajian yang
dilakukan kepada klien.
E. Evaluasi
Dari intervensi yang ada dan implementasi yang dilakukan diharapkan :
1. Bersihan jalan napas efektif.
2. Mencapai fungsi pernapasan adekuat.
3. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan beradaptasi terhadap
keletihan
4. Pasien mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
5. Pasien mampu mengekspresikan konsep diri yang positif.
.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Vol 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J. (2001) Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan),
Ed.8. EGC, Jakarta.
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian,
ed. 3, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.
EGC: Jakarta.
Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.
Sylvia, A. (2005), Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Edisi 6, Vol 2,
EGC, Jakarta
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. ECG: Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
MIASTENIA GRAVIS
KELOMPOK I :
1. Agus Tri Wahyudi P. 27220010 083
1. Aisah Ayu Nur P P. 27220010 084
2. Alvialin Purnama S P. 27220010 085
3. Anysh Sholikah P. 27220010 086
4. Arif Rochmansyah S P. 27220010 087
5. Asri Dharmastuti P. 27220010 088
6. Bayu Setyawan P. 27220010 089
7. Choirul Hidayah U P. 27220010 090
8. Cici Puspitasari P. 27220010 091
9. Danang Apriyanto P. 27220010 092
10. Devi Nur F P. 27220010 093
DIII BERLANJUT DIV KEPERAWATAN KRITIS
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
2012