Lp Ckd Dengan Capd

52
LAPORAN PENDAHULUAN CKD DENGAN CAPD I. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi kerusakan ginjal yang progresif yang tidak dapat pulih kembali, dimana ginjal tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa dalah darah ( Timby & Smith, 2005) Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Chronic Kidney Disease (CKD)adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006). Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

Transcript of Lp Ckd Dengan Capd

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD DENGAN CAPD

I. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi kerusakan ginjal

yang progresif yang tidak dapat pulih kembali, dimana ginjal tidak

mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan

cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa dalah darah ( Timby

& Smith, 2005)

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang

progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah).

Chronic Kidney Disease (CKD)adalah suatu proses penurunan fungsi

ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan

transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi renal yang

progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001).

II. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal.

Selama stadium ini kreatinine serum dan kadar BUN normal dan

pasien asimtomatik. Homeostsis terpelihara.Tidak ada keluhan.Cadangan

ginjal residu 40 % dari normal.

2. Stadium II : Insufisiensi Ginjal

Penurunan kemampuan memelihara homeotasis, Azotemia ringan,

anemi.Tidak mampu memekatkan urine dan menyimpan air, Fungsi ginjal

residu 15-40 % dari normal, GFR menurun menjadi 20 ml/menit. (normal :

100-120 ml/menit). Lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak

(GFR besarnya 25% dari normal), kadar BUN meningkat, kreatinine

serum meningkat melebihi kadar normal. Dan gejala yang timbul nokturia

dan poliuria (akibat kegagalan pemekatan urine)

3. Stadium III : Payah ginjal stadium akhir

Kerusakan massa nefron sekitar 90% (nilai GFR 10% dari normal).

BUN meningkat, klieren kreatinin 5- 10 ml/menit.Pasien oliguria.Gejala

lebih parah karena ginjal tak sanggup lagi mempertahankan homeostasis

cairan dan elektrolit dalam tubuh.Azotemia dan anemia lebih berat,

Nokturia, Gangguan cairan dan elektrolit, kesulitan dalam beraktivitas.

4. Stadium IV

Tidak terjadi homeotasis, Keluhan pada semua sistem, Fungsi

ginjal residu kurang dari 5 % dari normal.

III. Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis

2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis

3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif

4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal

polikistik,asidosis tubulus ginjal

5. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis

6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal

7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli

neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:

hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung

kemih dan uretra.

8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

IV. Manifestasi Klinik Chronic Kidney Disease (CKD)

Kelainan hemapoetik

1) Anemia

Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan

eritropoetis pada sumsum tulang menurun

Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrisit dalam

suasana uremia toksik

Defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan

yang berkurang

Perdarahan saluran cerna dan kulit

Abrosis sum-sum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.

2) Purpura / diatesis hemoragic trombositopenia

Kelainan saluran cerna

1) Mual, muntah, anoreksia dan vomitus yang berhubungan dengan

gangguan metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metal

quinidin seperti lembarnya membrane mukosa usus.

2) Fosfor uremik disebabkan ureum yang berlebihan pada air liur,

diubah oleh bakteri di mulut manjadi ammonia sehingga nafas

berbau ammonia, akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan

parotitis.

3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui

4) Gastritis, erosive, ulkus peptikum dan colitis uremik

Kelainan kulit

1) Pruritus / gatal – gatal dengan ekskuriasi akibat toksin uremia dan

pengendapan kalsium di pori-pori kulit.

2) Uremic frost akibat kristalisasi yang ada pada keringat (jarang di

jumpai)

3) Kulit berwarna pucat akibat uremia dan kekuning-kuningan akibat

timbunan urokrom.

4) Bekas – bekas garukan karena gatal.

Kelainan kardiovaskuler

1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan

aktivitas system rennin angiotensin – aldosteron.

2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial,

penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis dini akibat

penimbunan cairan dan hipertensi.

3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, akibatkan

penimbunan cairan dan hipertensi

4) Edema akibat penimbunan cairan

Kelainan neurologi

1) Retless leg syndrome. Penderita merasa gatal ditungkai bawah dan

selalu menggerakkan kakinya.

2) Burning feet syndrome. Rasa kesemutan seperti terbakar terutama di

telapak kaki.

3) Ensefalopati metabolic

a. Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi

b. Tremor, asteriksis, miokionus

c. Kejang-kejang

d. Miopat

e. Kelemahan dan hipotropi otot – otot ekstremitas proksimal

Disfungsi endokrin. Gangguan seksual, gangguan toleransi glukosa,

gangguan metabolic lemak dan gangguan metabolism vitamin D

Kelainan respiratori. Infeksi paru, efusi pleura, tachypnea, edema

pulmonal, kusmaul respirasi

Kelaianan Urinaria. Poliuria, nocturia, oliguria, anuria, proteinuria,

hematonuria.

Kelainan Muskuloskletal. Nyeri tulang, fraktur patogik, osteodistropi

ginjal, kelemahan otot dan kram.

V. Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)

Penyebab dari gagal ginjal kronik biasanya dipengaruhi oleh penyakit

sistemik seperti diabetes melitus, glumerulonefritis, pielonefritis, hipertensi

yang tidak dikontrol, obtruksi traktus urinarius, penyakit ginjal polikistik,

infeksi dan agen toksik. fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme

protein (yang normalnya dieksresikan kedalam urine) tertimbun dalam darah.

Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh, semakin banyak yang

timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berarti dan akan

membaik setelah dialisis. Banyak permasalahan yang muncul pada ginjal

sebagai akibat dari penurunan glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan

penurunan clearens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.

VI. PATHWAY Chronic Kidney Disease (CKD)

(TERLAMPIR)

VII.Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease (CKD)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk

mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges (1999),

Suzanne C. Smeltzer (2001) adalah sebagai berikut :

1. Urine

Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna keruh,

berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350 m.osn/kg,

klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari

40 mEq/L, proteinuria.

2. Darah

BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht menurun, Hb

kurang dari  7 – 8 gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH menurun

dan terjadi asidosis metabolic (kurang dari 7.2), natrium serum rendah,

kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar, magnesium/fosfat

meningkat, kalsium menurun, protein khususnya albumin menurun.

3. Osmolalitas serum

Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan urine.

4. KUB Foto

Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan adanya

obstruksi (batu).

5. Elektrokardiografi (ECG)

Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda –

tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan

hipokalsemia).

6. Ultrasonografi (USG)

Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan

paremkim ginjal, ureter proximal, kandung kemih serta prostat.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversibel,

juga menilai apakah proses sudah lanjut.

7. Foto polos abdomen

Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk

fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau

obstruksi lain.

8. Pielografi Intravena (PIV)

Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal

tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang dilakukan.

9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd

Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.

10. Pemeriksaan Foto Dada

Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat kelebihan air

(fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.

11. Pemerikasaan Kardiologi tulang

Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan klasifikasi

metastatik.

VIII. Penatalaksanaan

Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang

mengalami CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari

penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan dan

penatalaksanaan diet.Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.

1. Penatalaksanaan medis

a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 samapai 600 ml untuk 24 jam

atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah

dengan IWL 500ml, maka air yang masuk harus sesuai dengan

penjumlahan tersebut.

b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak 

cukup memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.

c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida

mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus

diberikan dengan makanan.

d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan

control volume intravaskuler.

e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan

tidak memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan

karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis

metabolic jika kondisi ini memerlukan gejala.

f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang

adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat

terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun

intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang – kadang kayexelate

sesuai kebutuhan.

g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin

manusia rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan

tiga kali seminggu.

h. Transplantasi ginjal

Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh darah

pasien CRF maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa persaratan, dan

persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal tersebut diambil dari

orang/mayat yang ditinjau dari segi imunologik sama dengan pasien.

Pemilihan dari segi imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA .

i. Dialisis

Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi

selaput semi permiabel dengan suatu cairan (cairan dialisis) yang dibuat

sedemikiam rupa sehingga komposisi elektrolitnya sama dengan darah

normal. Dengan demikian diharapkan bahwa zat-zat yang tidak

diinginkan dari dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau

perlu air juga dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua

macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis (CAPD) yang

merupakan tindakan pengganti fungsi faal ginjal sementara yaitu faal

pengeluaran/sekresi, sedangkan fungsi endokrinnya tidak ditanggulangi.

CAPD

1. Definisi

CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah

metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput

yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini

memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh

darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui

peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui

sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga

perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga

limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam

cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti

dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008). Peritoneal Dialisis

Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga

perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan

peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi

sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan &

solute yang berisi racun yang akan dibuang.

2. Anatomi Membran Peritoneum

Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus

organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dan lain-lain. Di dalam

rongga perut ini terdapat banyak pembuluh darah kecil (kapiler)

yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan

dialysis pada sisi yang lain.

Rongga peritoneum berisi sekitar 100ml cairan yang berfungsi

untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum.Pada orang

dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2

liter tanpa menimbulkan gangguan.Membran peritoneum

merupakan lapisan tipis bersifat semi permeable. Luas

permukaannya kurang lebih 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian,

yaitu:

a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal

peritoneum), merupakan 20% dari total luas membran

peritoneum.

b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral

peritoneum), merupakan 80% dari luas total membran

peritoneum.

Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan

basal adalah 60 – 100 ml/mnt.

3. Tujuan CAPD

Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat

toksik serta limbah metabolik, mengembalikan keseimbangan

cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang berlebihan

dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

4. Indikasi CAPD

pasien yang tidak mampu atau yang tidak mau menjalani

hemodialisa

Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan

metabolic yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil)

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjdai akibat penyakit

diabetes

Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian

heparin secara sistemik

Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)

Adanya penyakit CV yang berat

Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan

edema pulmonary yang tidak responsive terhadap terapi dapat

juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

5. Kontraindikasi CAPD

Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus,

nefrostomi)

Adhesi abdominal

Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat

kelainanpada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan

adanya tekanan cairan dialis dalam abdomenyang kontinyu

Pasien dengan imunosupresi

6. Cara Kerja CAPD

a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal

Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat

akses sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan

khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut

(peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di

dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu

sedikit di bawah pusar.  Lokasi dimana sebagian kateter

muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

b. Pemasukan Ciran Dialisat

Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan

dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut

melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika

dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam

darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik

ke dalam cairan dialisat.

Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah

ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut

(membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat

penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang

memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses

penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

7. Prosedur CAPD

Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya

membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:

1. Pengeluaran cairan

Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun

dan kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan

diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran

cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2. Memasukkan cairan

Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui

kateter. Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal

Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke

dalam rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran

dokter.

Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang

setiap 4 atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

8. Prinsip-prinsip CAPD

CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti

pada bentuk dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis.

Difusi

Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke

rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi. Difusi

adalah proses perpindahan solute dari daerah yang

berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah,

dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat

dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Konsentrasi cairan

CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma

banyak mengandung toksin uremik.Toksin uremik berpindah

dari plasma ke cairan CAPD.

Osmosis

Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi

permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah

(kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar

air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan

hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada

peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD

menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi

(hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah

dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi)

Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih

banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada

solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang

untuk menarik solute.

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :

•Kualitas membrane

•Ukuran & karakteristik larutan

•Volume dialisat

Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya

perbedaan :

1. Tekanan osmotic

2. Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan

plasma darah dalam pembuluh kapiler

Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum,

air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga

meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan

volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan

konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.

Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:

Na (132 meq /lt)

Cl ( 102 meq /lt)

Mg (0,5 meq /lt)

K (0 meq /lt)

CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar

produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan

yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih

tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk

limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium

ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan

dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis

berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap

berada dalam kisaran normal.

Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang

berukuran sedang semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul

ini merupakan toksik uremik yang signifikan.Dengan CAPD

kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul

rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses

dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun

pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama

hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat

dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan

dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang

tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa

1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran

volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga

memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan

toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien.

Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient

osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien

harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat

berdasarkan asupan makanannya.

Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari.

Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari,

dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan

pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari

(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore

dan 10.00 malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa

pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau

lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu

retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran

terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan

dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran

dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau

lebih.

9. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian

a. Efektifitas CAPD

Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan

dengan cara CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak

menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa

dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut

Wurjanto, CAPD adalah cara penanganan penderita gagal ginjal,

yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga peritoneum

(rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah

selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan

cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang kateter yang

telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan

selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah.

Ketika cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di

dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan ditarik.

Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di

rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang

menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis

dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat

bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

b. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :

Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis

peritoneal:

1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti

diketahui sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu

masih tersisa sedikit. Di samping untuk membersihkan

kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya

adalah mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan

HB) dan pelbagai hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang

lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.

2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi

dibandingkan hemodialisis pada tahun-tahun pertama

pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia

juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama

penggunaan dialisis peritoneal menyatakan angka bertahan

hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.

3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya

untuk tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu:

1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja

2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya

diri

3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.

4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit

sebagaimana HD

5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil

6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas

7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung

8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun

pertama

c. Kelemahan CAPD :

1. Resiko infeksi

Peritonitis

2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al,

2005).

10. Komplikasi CAPD

Peritonitis

Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering

dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada

60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis

peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis disebabkan

oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat

aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan

prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat

staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas

yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius

dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative

dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat

lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan

peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat

anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan drainase

(effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang

difus.

Gejala klinis dari peritonitis

- Tampaknya gejala dapat cepat, minimal 6-12 jam,

biasanya 24-48 jam (touch contamination)

- Setelah dimulai terapi antibiotik, gejala-gejala akan

berkurang dan hilang dalam 2-3 hari.

- Gejala- gejala yang berkepanjangan menunjukkan adanya

komplikasi atau mungkin organisme tidak berespon

dengan antibiotik yang digunakan dan memerlukan

penelitian lebih lanjut.

Diagnosis klinis peritonitis pada Peritonial Dialisis

Definisi praktis tersebut memerlukan 2 kriteria di

bawah ini :

Adanya organisme pada pewarnaan Gram atau kultur dari

dari cairan PD

Cairan keruh (hitung > 100 sel dengan > 50%

polymorphonuclear cells)

Tanda-tanda peradangan peritonium (nyeri,nyeri tekan

lepas)

Media masuknya kuman akibat peritonitis

- Melalui ujung konektor dari pasien ke Twinbag selama

proses pertukaran cairan.

- Melalui exit site

Perjalanan infeksi pada pasien CAPD

- Eksogen – melalui lumen kateter (Transluminal)

Pertukaran kantong.

Mengganti transfer set.

Injeksi obat2an

Kontaminasi udara

Kerusakan PD systems

Kecelakaan saat mengganti

Cairan PD terinfeksi

Infeksi melalui air

- Eksogen – melalui dinding abdomen (periluminal)

Infeksi Exit site

Infeksi pada tunnel

Water borne infection

- Endogen

Transcolonic migration of bacteria

Intra-abdominal infected viscera

Female genital tract

Faktor – faktor yang berpengaruh terjadinya peritonitis

Pencegahan Peritonitis

- Sambungan yang steril Mengamati kondisi yang steril selama proses

pertukaran cairan Memakai desinfektan pada semua area yang terpapar

yang memungkinkan terjadinya kontaminasi Memakai masker, cuci tangan Membuat prosedur protokol yang baik Hati2 dalam memberi training pada pasien

- Seleksi pasien kepatuhan Kemampuan intelektual yang baik Dukungan keluarga yang baik

Peritonitis yang menetap dan berulang

- Resisten antibiotik

- Dosis tidak adekuat atau lama terapi

o Inadequate peritoneal/ serum/ tissue concentration

o Excessive dosing interval

o Effect of residue renal function

- Localized infection

o Tunnel infection

o Intra-abdominal abscess

o Biofilm

Komplikasi Peritonitis

- Perforasi Intestinal dan diverticulitis

- Adhesions, sclerosing peritonitis

- Malnutrisi protein berat and muscle wasting

- KematianIndikasi melepas kateter selama peritonitis

- Indikasi Absolut

o Sering berulang peritonitis

o Kambuh dengan organisme yang sama

o Peritonitis menetap setelah 5-7 hari dengan

terapi yang adekuat

o Tunnel infection with peritonitis

o Intraperitoneal abscess

o Faecal peritonitis

- Indikasi Relatif

o Fungal peritonitis

o Tuberculous peritonitis

Penanganan

Hmj

11. Fase persiapan sebelum dilakukan CAPD

1. Persiapan Bagi Klien yang akan menjalani CAPD

Persiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD

tergantung dari status fisik dan psikologis klien, tingkat

kesadaran, pengalaman sebelumnya tentang terapi dialysis dan

pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur tersebngut.

Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal

berada dalam kondisi akut sehingga memerlukan terapi jangka

pendek untuk memperbaiki kondisi yang berat pada status cairan

dan elektrolit.

Prosedur dialisi peritoneal perlu dijelaskan terlebih

dahulu kepada pasien dan surat persetujuan (inform consent)

yang sudah ditandatangani harus sudah diperoleh sebelum

prosedur tersebut dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-tanda

vital, berat badan dan kadar elektrolit serum harus dicatat.

pengosongan kandung kemih dan usus diperlukan untuk

memperkecil resiko tertusuknys organ-organ internal. perawat

juga harus mengkaji rasa cenas klien dan memberikan dukngan

serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilaksanakan.

Kateter untuk dialysis peritoneal harus dipasang di kamar

operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan kepada klien dan

keluarganya.

2. Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal

Disamping merakit peralatan untk dialysis peritoneal,

perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan

konsentrasi larutan dialisat yang akan digunakan dan obat-

obatan yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin

dapat ditambahkan untk mencegah pembentukan bekuan fibrin

yang dapat menyembut kateter peritoneal.Kalium klorida dapat

diresepakn untk mencegah hipokalemia.antibiotic dapat

diberikan untk mengobati peritonitis.

sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat

dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah

gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri abdomen, selain itu

tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-

pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens

ureum. Larutan yang terlalu dingin menyebabkan nyeri dan

vasokonstriksi dan menurunkan klirens.larutan yang terlalu

panas dapat membakar peritoneum. peralatan yang digunakan

untuk menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan

cermat untuk menjamin suhu yang diinginkan.

Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang

untuk dialysis dirakit.selang tersebut diisi dengan larutan dialisat

yang sudah dipersiapkan untuk mengurangi jumlah udara yang

masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang dapat

menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan

mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat

tersebut.

3. Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal

Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi

untuk mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil

kemungkinan kontaminasi.sebuah kateter stylet dapat digunakan

jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan dalam waktu

singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen

dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi

jumlah bakteri pada kulit dan untuk mengurangi resiko

kontaminasi seta infeksi pada lokasi pemasangan kateter.

Dokter melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam

kulit dan jaringan subkutan pasien sebelum prosedur

pemasangan keteter dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan

dilakukan pada abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah

umbilicus, di daerah ini relative tidak mengandung banyak

pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadi tidak

begitu besar. Sebuah trokar (sebuah alat yang berujung tajam)

digunakan untk menusuk peritoneum sementara pasien

mengencangkan otot abdomennya dengan cara menganggkat

kepalanya. Keteter dimasukkan melalui trokar dan kemudian

diatur posisisnya.caiaran yang sudah disiapkan diinfuskan ke

dalam cavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan

peritoneal yang membentang dari organ-organ abdomen)

menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat dibuat untuk

mempertahankan kateter pada tempatnya

2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan

hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam

sebelumnya.

b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium

dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

3. Penatalaksanaan Diet

a. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.

b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya

katabolisme protein

c. Lemak diberikan bebas.

d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan

asam folat.

e. Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil

pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat

dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens ginjal. Protein yang

diberikan harus yang bernilai biologis tinggi seperti telur, daging

sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.

IX. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengakajian

a. Identitas klien

b. Riwayat Penyakit

c. Riwayat penyakit infeksi

d. Riwayat penykit batu/obstruksi

e. Riwayat pemakaian obat-obatan

f. Riwayat penyakit endokrin

g. Riwayat penyakit vaskuler

h. Riwayat penyakit jantung

i. Data interdialisis (klien hemodialisis rutin)

j. Data interdialisis meliputi :

Berat badan kering klien atau Dry Weight, yaitu : berat badan di mana

klien merasa enak, tidak ada udema ekstrimitas, tidak merasa

melayang dan tidak merasa sesak ataupun berat, nafsu makan baik,

tidak anemis.

Berat badan interdialisis : Berat badan hemodialisis sekarang – Berat

badan post hemodialisis yang lalu (Kg).

Kapan terakhir hemodialisis.

k. Keadaan umum klien

Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.

Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang –

kadang disertai edema ekstremitas, napas terengah-engah.

l. Pemeriksaan Fisik

Kepala: Retinopati, Konjunktiva anemis, Sclera ikteric dan kadang –

kadang, disertai mata merah (red eye syndrome), rambut ronok, muka

tampak sembab, bau mulut amoniak

Leher: Vena jugularis meningkat/tidak, Pembesaran kelenjar/tidak,

Dada: Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris, Ronckhi

basah/kering, Edema paru,

Abdomen: Ketegangan, Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut

pada kunjungan berikutnya), Kram perut, Mual/munta

Kulit: Gatal-gatal, Mudah sekali berdarah (easy bruishing), Kulit

kering dan bersisik, keringat dingin, lembab, perubahan turgor kulit

Ekstremitas: Kelemahan gerak, Kram, Edema (ekstremitas

atas/bawah)

Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler

System kardiovaskuler

Data subjektif : sesak napas, sembab, batuk dengan dahak/riak,

berdarah/tidak.

Data objektif : hipertensi, kardiomegali, nampak sembab dan susah

bernapas.

System pernapasan

Data subjektif : merasa susah bernapas, mudah terengah-engah saat

beraktifitas.

Data objektif : edema paru, dispnea, ortopnea, kusmaul.

Sistem pencernaan

Data subjektif napsu makan turun, mual/muntah, lidah hilang rasa,

cegukan, diare (lender darah, encer) beberapa kali sehari.

Data objektif : cegukan, melena/tidak.

Sistem Neuromuskuler

Data subjektif : tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya konsentrasi

turun, insomnia dan gelisah, nyeri/sakit kepala.

Data objektif : neuropati perifer, asteriksis dan mioklonus, nampak

menahan nyeri.

Sistem genito – urinaria

Data subjektif : libido menurun, noktoria, oliguria/anuria, infertilitas

(pada wanita).

Data objektif : edema pada system genital.

System psikososial

Integritas ego

Stressor : financial, hubungan dan komunikasi

Merasa tidak mampu dan lemah

Denial, cemas, takut, marah, mudah tersinggung

Perubahan body image

Mekanisme koping klien/keluarga kurang efektif

Pemahaman klien dan keluarga terhadap diagnosis, penyakit dan

perawatannya, kadang masih kurang.

Interaksi social

Denial, menarik diri dari lingkungan

Perubahan fungsi peran dikeluarga dan masyarakat.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan

CAPD adalah:

a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya

gradient osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat

atau adanya bekuen, distensi usus, peritonitis dan jaringan parut

peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.

b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat

hipertonik sehingga pembuangan cairan berlebihan.

c. resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga

peritoneal.

d. Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen

e. resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama

pemasangan.

f. Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen,

diafragma.

3. Rencana Asuhan Keperawata

Dx. 1.Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya

gradient osmotik, retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat

atau adanya bekuen, distensi usus, peritonitis dan jaringan

parut peritonium).aatau masukan peroral berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan

volume caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan

kongesti paru.

3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.

4. Tidak terjadi nyeri perut

5.

Intervensi Rasional

1. Catat volume cairan yang masuk, keluar

dan kumulasi keseimbangan caiaran.

2. Menimbang berat badan pasien sebelum

dan sesudah menjalani dialisat

3. Kaji patensi kateter, kesulitan drainase,

perhatikan adanya lembaran atau plak

fibrin.

4. Tinggikan kepala tempat tidur, lakukan

tekanan perlahan pada abdomen.

5. Perhatikan adanya ddistensi abdomen

sehubungan dengan penurunan bising

usus, perubahan konsistensi feses,

keluhan konstipasi.

1. Jumlah aliran harus sama atau lebih dari

yang dimasukkan. Keseimbangan positif

menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih

lanjut.

2. Indikator akurat status keseimbangan

cairan. keseimbangan positif dengan

peningkatan BB menunjuuakn retensi

cairan.

3. Melambatnya kecepatan aliran/adanya

fibrin menunjukkan hambatan keter

parsial yang perlu dievaluasi.

4. dapat meningkatkan aliran bila kateter

salah posisi/obstruktif oleh omentum.

5. Distensi abdomen/konstipasi dapat

mempengaruhi keseimbangan cairan.

6. Observati TTV, perhatikan adanta

hipertensi berat, nadi kuat, distensi JVD.

edema perifer.

7. Evaluasi adanya takipnea, dispnea,

peningkatan upaya pernapasan.

Kolaborasi:

8. Perubahan program dialisat sesuai

indikasi

9. Awasi natrium serum

10. Tambahkan heparin pada dialisat awal,

bantu irigasi kateter dengan garam faal

heparinasi

11. Pertahankan pembatasan cairan sesuai

dengan indikasi

6. Peningkatan nadi menunjukkan

hipovolume. Peningkatan kelebihan

cairan berpotensi Gjk./edema paru.

7. Distensi abdomen/kompresi diafragma

dapat mengganggu napas.

8. perubahan mungkin diperlukan dalam

konsentrasi glukosa atau natrium untuk

memudahkan efisiensi dialysis.

9. Hipernatremia dapat terjadi, meskipun

kadar serum dapat menunjukkan efek

pengenceran dari kelebihan cairan.

10.mencegah dalam pembentukan fibrin

yang dapat menghambat kateter

peritoneal.

11.Pembatasan caiaran dapat dilanjutkan

untuk menurunkan kelebihan volume

cairan.

Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan

dialisat hipertonik sehingga pembuangan cairan berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan

volume caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.

3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan

negatif).

4. TTV dalam batas normal.

5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.

Intervensi Rasional

1. Catat volume cairan yang masuk, keluar

dan kumulasi keseimbangan caiaran.

2. Berikan jadwal untuk pengaliran dialisat

dari abdomen.

3. Menimbang berat badan pasien sebelum

dan sesudah menjalani dialisat.

4. Awasi TD dan nadi. Perhatikan tingginya

pulsasi jugular.

5. Perhatikan keluhan pusing, mual,

peningkatan rasa haus.

6. Inspeksi kelembapan mukosa, turgor kulit,

nadi perifer dan CRT.

7. Kolaborasi:

Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai

indikasi: natrium serum dan kadar

glukosa.

8. Kadar kalium serum.

1. Memberikan informasi tentang status

keseimbangan cairan pada akhir setip

pertukaran.

2. Waktu tinggal lama, khususnya bila

menggunakan cairan glukosa 4,5 dapat

menyebabkan kehilangan cairan

berlebihan.

3. Mendeteksi kecepatan pembuangan

cairan dengan membandingkan dengna

berat badan dasar.

4. Penurunan TD, hipotensi postural dan

takikardi adalah tanda didi hipovolemia.

5. Dapat menunjukkan hipovolemia.

6. Indikator dehidrasi dan membutuhkan

peningkatan pemasukan /perubahan

dalam kekuatan dialisat.

7. Caiaran hipertonik dapat menyebabkan

hipernatremia dan membuang lebih

banyak air daripada natrium.. Selain itu

glukosa dapat diabsorbsi dri dialisat

sehingga meningkatkan glukosa serum.

8. Hipokalemia dapat terjadi dan dapat

menyebabkan disritmia jantung.

Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga

peritoneal.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada

rongga peritoneum.

Kriteria hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum

2. Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.

Intervensi Rasional

1. Biarkan klien mengosonkan kandung

kemih, usus untuk menghindari

penusukan organ interna

2. Fiksasi keteter dengan plester. Tekankan

pentingnya pasien menghindari penarikan

atau pendorongan kateter.

3. Perhatikan adanya fekal dalam dialisat

atau dorongan kuat untuk defikasi, disertai

diare berat.

4. Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin

berkemih, atau haluaran urine besar

menyertai berjalannya dialysis awal.

5. Hentikan dialysis bila terjadi perforasi

usus/kandung kemih. Biarkan kateter

dialysis pada tempatnya.

1. Kandung kemih kososng lebih jauh dari

tempat pemasukan kateter dan mlam

enurunkan kemungkinan tertusuk saat

pemasangan kateter.

2. Menurunkan resiko trauma dengan

manipulasi kateter.

3. Menduga perforasi usus dengan

percampuran dialisat dan isi usus.

4. Menunjukkan perforasi kandung kemih

dengan kebocoran dialista dalam

kandung kemih. Adanya kandungan

glukosa dalam dialisat, akan

meninggikan kadar glukosa urine.

5. Tindakan cepat akan mencegah cidera

selanjutnya. Bedah perbaikan segera

dibutuhkan. Membiarkan kateter pada

tempatnya memudahkan diagnosa /lokasi

perforasi.

Dx. 4 Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, keluhan nyeri klien

dapat diatasi.

Kriteria Hasil :

1. Klien menyatakan penurunan keluhan nyeri.

2. Ekspresi wajah rileks

3. Klien dapat beristirahat dengan baik.

Intervensi Rasional

1. Kaji keluhan nyeri klien, ukur dengan

skala nyeri.

2. Jelaskan ketidaknyamanan awal biasanya

hilang setelah pertukaran pertama

3. Awasi nyeri yang mulai selama aliran dan

berlanjut selama fase equilibrasi.

lambatkan keceatan infuse sesuai dengan

indikasi.

4. Perhatikan ketidaknyamanan yang paling

dirasakan mendekati akhir aliran masuk.

masukkan tidak lebih dari 2000ml dalam

sekali watu.

5. Perhatikan keluhan nyeri pada area bahu.

cegah udara masuk ke rongga peritoneum

selama infuse.

6. Tinggikan kepala tempat tidur pada

interval tertentu. Balikkan pasien dari satu

sisi ke sisi lain. Berikan perawatan

punggung dan masasae ringan .

7. Hangatkan dialisat sebelum diinfuskan.

8. Awasi nyeri abdomen hebat dan

peningkatan sushu tubuh.

9. Dorong penggunaan teknik relaksasi.

1. Membantu identifikasi sumber nyeri

dan intervensi yang tepat.

2. Penjelasan dapat meningkatkan ansietas

dan kenyamanan.

3. Nyeri dapat terjadi pada waktu ini bila

dialim menyebabkan iritasi kimia

terhadap membrane peritoneum.

4. Mungkin akibat distensi abdomen dari

dialisat. jumlah infuse mungkin harus

dikurangi pada walnya.

5. Masuknya udara yang kurang hati-hati

ke dalam abdomen mengiritasi

diafragma dan mengakibatkan nyeri

pada bahu. Pertukaran lebih kecil

mungkin diperlukan sampai kondisi

klien membaik.

6. Perubahan posisi dapat menghilangkan

ketidaknyamanan.

7. Dapat meningkatakan kecepatan

pembuangan ureum melelui dialysis

pembuluh darah. dialisat yang terlalu

dingan dapat menyebabkan

vasokonstriksi, ketidaknyamanan, dan

dapat mencetuskan henti jantung.

8. Dapat mengindikasikan adanya

peritonitis.

9. Mengurangi ketidaknyamanan.

Kolaborasi:

10.Pemberian analgesic.

11.Tambahkan natrium hidroksida pada

dialisat sesuai indikasi.

10. Menghilangkan nyeri dan

ketidaknyamanan.

11. Kadang digunakan untuk mengubah pH

bila klien tidak toleran terhadap

keasaman dialisat.

Dx. 5 Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter

selama pemasangan.

Tujuan :

Setelah dilakuakn perawatan selama 4-8 jam, klien tidak mengalami

infeksi akibat proses dialysis.

Kriteria Hasil :

Klien tidak menunjukkan tanda-tanda Infeksi: nyeri, hipertermi,

kemerahan terdapat pus

Intervensi Rasional

1. Gunakan teknik aseptic saat pemasangan

kateter. ganti balutan kapanpun balutan

dibuka dang anti selang sesuai dengan

protocol.

2. Gant balutan dengan hati-hati dan tidak

mengubah posisi kateter. Perhatikan

karajter, warna. bau drainase dari sekitar

tempat pemasangan.

3. Observasi warna dan kejernihan

haluaran.

4. Berikan pelindung betadine pada distal,

klem bagian kateter bila terapi intermiten

digunakan.

5. Selidiki keluhan mual muntah, nyeri

abdomen, nyeri tekan lepas, demam, dan

leukositosis.

1. Mencegah introduksi organism dan

komtaminasi yang dapat menyebaban

infeksi.

2. Lingkungan yang lembab dapat

meningkatkan pertumbuhan bakteri.

3. Keluaran keruh diduga infeksi peritoneal.

4. Menurunkan resiko masuknya bakteri

melalui kateter.

5. Menunjukkan peritonitis yang

membutuhanintervensi segera.

Kolaborasi

6. Awsi jumlah SDP dari haluaran

7. Ambil specimen darah atau keluaran

caiarn untuk dikultur sensitivitasnya.

8. Awasi klirens ginjal (BUN, kretinine)

9. Berikan antibiotic secara sistemik atau

dalam dialisat sesuai indikasi.

6. SDP pada awal dapat menunjukkan

respon normal terhadap subtsansi asing,

namun berlanjutnya peningkatan

menunjukkan adanya infeksi.

7. Mengidentifikasi organism dan

intervensi yang tepat.

8. Antibiotik dan dosis pilihan akan

dipengaruhi oleh fungsi ginjal.

9. Mengurangi infeksi dan mencegah

sepsis.

Dx. 6 Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen,

diafragma.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi

gangguan pola napas.

Kriteria Hasil :

1. Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan

tidak ada suara napas tambahan.

2. GDA dalam batas normal

3. tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)

Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi napas dan kedalaman napas

2. Auskultasi bunyi napas

3. Tinggikan kepala tempat tidur dan

tingkatkan latihan napas dalam dan batuk.

4. Kolaborasi

1. Gangguan pola napas selam dialysis

diduga akibat tekanan diafragma, distensi

abdomen atau terjadinya komplikasi.

2. Suara napas yang tidak normal dapat

disebabkan peningkatan caiaran dalam

paru, tertahannya sekresi atau infeksi.

3. Memudahkan ekspansi dada.

4. Perubahan pad PaO2/PaCO2 dan kongesti

pada hasil foto dapat menunjukkan

masalah pada paru.

5. Kaji GDA, oksimetri

6. Berikan O2 sesuai indikasi

5. Memaksimalkan oksigen untuk

penyerapan vascular, pencegahan hiposia.

6. Menghilangkan nyeri, pernapasan nyama,

upaya batuk maksimal.