legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam ...

77
LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Wijaya Ardi NIM : E0004313 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

Transcript of legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam ...

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI

PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA

TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh:

Wijaya Ardi

NIM : E0004313

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2008

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI

PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA

TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN

Disusun Oleh :

WIJAYA ARDI

NIM : E0004313

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.

NIP. 131 863 797

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI

PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA

TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN

Disusun Oleh :

WIJAYA ARDI

NIM : E0004313

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada

Hari : Selasa

Tanggal : 3 Juni 2008

TIM PENGUJI

1. Kristiyadi, S.H, M.H. ( ................................. ) NIP. 131 569 273

Ketua

2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. ( .................................. ) NIP. 131 472 194

Sekretaris

3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. ( ................................. ) NIP. 131 863 797 Anggota

Mengetahui,

Dekan

( Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. )

NIP. 131 570 154

iv

ABSTRAK

WIJAYA ARDI. E0004313. LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan putusan Perk. No. 1783/Pid.B/2004/PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi data-data sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan dari jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang digunakan penulis adalah content analysis atau analisis isi, yaitu berupa teknik yang digunakan dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembuktian menganut prinsip adanya keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Akan tetapi, hal tersebut bukan hal yang mutlak, sehingga keterangan saksi-saksi yang tidak dapat hadir boleh atau dapat dibacakan di persidangan apabila memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Dengan demikian, sebelum membacakan keterangan saksi yang telah dibuat dalam BAP penyidikan, harus dicari terlebih dahulu alasan saksi tidak menghadiri persidangan apakah alasan itu memenuhi rumusan yang disebutkan dalam Pasal 162 (1) KUHAP. Keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila keterangan sebelumnya di proses penyidikan diberikan di bawah sumpah.

v

MOTTO

Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan

- Amsal 1 : 7 -

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya

- Pengkhotbah 3 : 11 -

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang

memberi kekuatan kepadaku

- Filipi 4 : 13 -

Saya bukan apa-apa. Saya hanyalah sebuah alat. Sebuah

pensil kecil di dalam tangan Tuhan, dimana Tuhan

menggunakannya untuk menulis apa yang dikehendakiNya.

Kendatipun kita tidak sempurna.

Dia menulis secara indah.

- Bunda Teresa -

vi

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini saya

persembahkan kepada :

§ Bapak dan Ibuku yang

mensuport

pendidikanku;

§ Kakakku yang salalu

membantuku;

§ Ita Cahyani, yang

telah membiarkan aku

ada dalam hidupnya.

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus sumber harapan sejati, atas

segala bimbingan dan kasihNya sehingga terselesaikannya karya penelitian ini,

begitu banyaknya ilmu dan pengetahuan yang didapat dalam proses ini.

Penulisan hukum ini membahas tentang bagaimanakah legalitas

keterangan saksi yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara

tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan putusan

Perk. No. 1783 / Pid.B / 2004 / PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005 dimana yang

menjadi terdakwa adalah ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS SOMAD alias

ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR

Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar atau

tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar terdakwa

yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang pengadilan

untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum

berdasarkan alat-alat bukti yang sah dimana salah satunya adalah keterangan

saksi. Fenomena yang sering terjadi dalam dunia peradilan kita, khususnya dalam

tahap sidang pengadilan, yaitu adanya keterangan saksi dalam Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) penyidikan yang dibacakan dalam persidangan. Hal ini

disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-

saksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan ( a charge ),

sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan

dalam persidangan

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian penelitian ini tidak

dapat terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada

viii

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada:

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum

melalui penelitian.

2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku pembimbing penulisan

skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk

memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.

3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara.

4. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H. selaku pembimbing akademis,

atas nasehat yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberkan ilmu pengetahuan umumnya dan

ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal

dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam

kehidupan masa depan penulis.

6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) dalam mengurus prosedur-prosedur

skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan seminar

proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.

7. Staf dan Karyawan bagian Pengajaran, atas kelancaran dalam

mengurus surat-surat persyaratan penulisan skripsi dan ujiannya.

8. Staff dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret atas kemudahan mencari bahan-bahan referensi untuk

penulisan penelitian ini.

9. Ayahanda Sulardi dan Ibunda Intan Hardanti, S.H. tercinta yang telah

memberikan segalanya kepada penulis, semoga Ananda dapat

membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada

Ananda.

ix

10. Kakakku Wahyu Atria, S.S. yang selalu meminjami laptop untuk

mengerjakan skripsi.

11. Ita Cahyani Amd.Keb. yang selalu setia menemani penulis, yang selalu

memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis, yang selalu

memberikan cintanya kepada penulis.

12. Keluarga besarku, keluarga Permadi Agus S di Jakarta dan keluarga

Totok M. di Ungaran.

13. Teman-teman ”Koyo Wong” Community dan teman kost penulis yang

penuh canda dan tawa.

14. Pihak-pihak yang belum sempat penulis sebutkan, yang selalu

tersimpan di hati penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang

membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya

tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, Juni 2008

WIJAYA ARDI

E 0004313

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii

ABSTRAK................................................................................................... iv

HALAMAN MOTTO.................................................................................. v

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

DAFTAR ISI................................................................................................ x

DAFTAR BAGAN ....................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Perumusan Masalah................................................................ 4

C. Tujuan Penelitian.................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian.................................................................. 5

E. Metode Penelitian................................................................... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ....................................................................... 11

1. Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di

Persidangan …………………………………………….. 11

2. Tinjauan Tentang Pembuktian ......................................... 18

a. Pengertian Pembuktian …………………………... 18

b. Sistem Pembuktian ………………………………. 19

c. Alat Bukti ………………………………………... 21

xi

3. Tinjauan Tentang Kesaksian …………………………… 25

a. Pengertian Saksi dan Kesaksian …………………. 25

b. Syarat-syarat Memberi Kesaksian ……………….. 26

4. Tinjauan Tentang Terorisme …………………………… 29

B. Kerangka Pemikiran................................................................ 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Legalitas Keterangan Saksi yang Dibacakan di Persidangan

Dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Terorisme di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan...............................................

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................ 62

B. Saran....................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA

35

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Kerangka Pemikiran ...………………………..……………….. 34

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman

Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang

dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan”(Andi Hamzah,1996: 7-8).

Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar

atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar

terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di

sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang

dibuat oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat-alat bukti yang

sah adalah:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

Alat-alat bukti yang telah disebutkan di atas salah satunya adalah

keterangan saksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 (1) huruf a

xiv

KUHAP. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah :

Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuannya itu. Dari pengertian keterangan saksi tersebut, dapat

disimpulkan bahwa hal-hal yang bersifat pendapat, hasil rekaan, dan

keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukan

merupakan keterangan saksi, sehingga tidak dapat dijadikan alat bukti

yang sah.

Sebagai warga negara yang baik adalah mengetahui hak dan

kewajibannya. Salah satu kewajiban yang dibebankan hukum kepada

setiap warga negara, ikut membela kepentingan umum dimana salah satu

aspek pembelaan kepentingan umum, ikut ambil bagian dalam

penyelesaian tindak pidana, apabila dalam penyelesaian itu dibutuhkan

keterangannya (M. Yahya Harahap, 2002: 168). Bertitik tolak dari

pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat undang-undang untuk

menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap orang. Penegasan

tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP sebagai

berikut :

1. menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”,

2. orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu

sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap

kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya,

3. orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi

dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan

ketentuan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP

tersebut, disimpulkan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam

pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi

setiap orang.

xv

Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk

mendengar keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar,

dan dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang

diperiksa. Tata cara pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap adalah

sebagai berikut :

1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang;

2. Memeriksa identitas saksi;

3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah;

4. Saksi memberikan keterangan apa yang diketahui, dilihat,

didengar, dan dialaminya (M. Yahya Harahap, 2002: 172-174).

Permasalahan muncul ketika saksi tidak dapat hadir di persidangan

untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, lihat

sendiri, dan ia alami sendiri. Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh

saksi untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan saksi di sidang

pengadilan. Karena saksi tidak hadir dalam persidangan, maka keterangan

dari saksi yang telah diberikan kepada penyidik dalam BAP penyidikan

dibacakan di depan sidang pengadilan.

Kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang untuk

menjadi saksi dalam perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban

mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui,

dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang

bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak

ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali

penolakan itu mempunyai alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa

memberi keterangan tanpa sumpah, hanya mereka yang disebut pada

Pasal 171 KUHAP, yaitu anak yang umurnya belum cukup lima belas

tahun dan belum pernah kawin serta orang sakit ingatan atau sakit jiwa.

xvi

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk

melakukan penulisan hukum dengan judul :

“LEGALITAS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DI

PERSIDANGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK

PIDANA TERORISME DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA

SELATAN”

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah

untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang

hendak dicapai menjadi jelas, tegas dan terarah. Dalam penelitian ini,

penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan

dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan arah yang tepat

dalam proses penelitian yang dilakukan agar penelitian berjalan sesuai

dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi

ini tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui legalitas keterangan saksi yang dibacakan di

persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana

terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

2. Tujuan Subyektif

a Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar

strata satu dalam bidang ilmu hukum.

xvii

b Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman

akan arti penting ilmu hukum dalam teori.

D. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat atau

kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat

penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun

yang menjadi manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis

dan manfaat praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan

bidang Ilmu Hukum.

b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta

pengetahuan Hukum Acara Pidana, Hukum Pembuktian dan

Hukum Acara Tindak Pidana Khusus.

c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis

berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan

dalam penelitian ini.

b Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan

untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu

yang diperoleh.

c Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-

pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti

xviii

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu

(Soerjono Soekanto, 1986: 42).

Metode penelitian merupakan faktor yang penting dan menunjang

proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan dibahas, dimana

metode merupakan cara utama yang akan digunakan untuk mencapai

tingkat ketelitian jumlah dan jenis yang dihadapi. Dengan mengadakan

klasifikasi yang didasarkan pada pengalaman, maka dapat ditentukan

jenis-jenis metode penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini

termasuk kedalam kategori penelitian normatif atau penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun

secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk

menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan metode

penelitian deskriptif. Adapun pengertian penelitian deskriptif yaitu

penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

manusia, keadaan atau hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di

dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam penyusunan teori-

teori baru (Soerjono Soekanto, 1986: 2). Berdasarkan pengertian

tersebut di atas, metode penelitian ini dimaksudkan untuk

menggambarkan dan menguraikan tentang legalitas keterangan saksi

yang dibacakan di persidangan dalam pemeriksaan perkara tindak

pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

xix

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku,

persepsi, tindakan, secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

4. Jenis Data

Pengertian data secara umum, yaitu semua informasi

mengenai variabel atau obyek yang diteliti. Lazimnya dalam

penelitian dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari

masyarakat dan dari buku pustaka. Data yang diperoleh langsung dari

masyarakat disebut data primer atau primary data dan data yang

diperoleh dari buku pustaka disebut data sekunder atau secondary

data (Soerjono Soekanto, 1986:11)

Jenis data yang digunakan pada penelitian hukum ini adalah

data sekunder, meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian

kepustakaan/ melalui literatur-literatur, himpunan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, hasil penelitian yang berwujud

laporan, maupun bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan penelitian.

5. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah

sumber data sekunder, yang diperoleh dari:

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

terdiri dari :

a) Putusan pengadilan dalam putusan putusan Perk. No. 1783/Pid.

B/2004/PN.Jak-Sel Tanggal 3 Maret 2005;

b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

xx

c) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, menjadi undang-undang;

d) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

e) Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme.

2) Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti

bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah,

literatur, majalah serta surat kabar.

3) Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupuan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya

adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya

(Soerjono Soekanto, 1986 : 52).

6. Teknik Pengumpul Data

Berdasarkan jenis penelitian yang merupakan penelitian

normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi

isi data-data sekunder hasil dari studi kepustakaan untuk

mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti.

7. Analisis Data

Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan

dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka

perlu suatu teknik analisis data yang tepat. Analisis data merupakan

langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu

laporan. Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan

xxi

menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari (Lexy J. Moleong, 1988: 248). Berdasarkan dari jenis

penelitiannya, maka teknik analisis data yang digunakan penulis adalah

content analysis atau analisis isi, yaitu berupa teknik yang digunakan

dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mempermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk

memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi,

penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika skripsi sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan bagian pertama tentang kerangka

teori yang berisi tinjauan kepustakaan sebagai literatur

pendukung dalam pembahasan masalah penulisan hukum

ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan ini meliputi

tinjauan tentang proses pemeriksaan perkara pidana di

persidangan, tinjauan tentang pembuktian, tinjauan

tentang kesaksian dan tinjauan tentang terorisme. Bagian

kedua adalah kerangka pemikiran yang disajikan dalam

bentuk narasi maupun bagan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian tentang

legalitas keterangan saksi yang dibacakan di persidangan

dalam pemeriksaan perkara tindak pidana terorisme di

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Diuraikan pula

xxii

mengenai pembahasan yang dilakukan terhadap teori

yang diperoleh dari hasil penelitian, kemudian dianalisis

dengan kajian pustaka, rumusan masalah dan tujuan

penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan mengenai pokok-pokok yang

menjadi simpulan dan saran dari hasil penelitian, dengan

berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA

xxiii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di

Persidangan

Pemeriksaan perkara pidana secara garis besar, terlihat dalam urut-

urutan dibawah ini:

a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (Pasal 153

ayat (3) KUHAP)

Ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari fair trial,

sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya

persidangan. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut apabila

memeriksa perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

b. Terdakwa dipanggil (Pasal 154 ayat (1) KUHAP)

Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa

dipanggil masuk ke ruang sidang.

c. Pembacaan surat dakwaan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP)

Pembacaan surat dakwaan dilakukan untuk perkara yang

diproses dengan acara biasa, sedangkan untuk perkara singkat,

yang dibaca adalah catatan dakwaan.

d. Keberatan atau eksepsi dari penasehat hukum/ terdakwa

(Pasal 156 ayat (1) KUHAP)

Isi keberatan tersebut dapat berupa :

1) bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara;

2) dakwaan tidak dapat diterima;

3) dakwaan harus dibatalkan.

xxiv

e. Pendapat penuntut umum (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)

Atas keberatan yang diajukan oleh terdakwa atau

penasehat hukum, penuntut umum diberi kesempatan untuk

menyatakan pendapatnya.

f. Putusan sela (Pasal 156 ayat (2) KUHAP)

Atas keberatan dan tanggapan tersebut, hakim ketua

sidang dapat memutus dengan putusan sela. Jika keberatan

diterima, perkara tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya jika

keberatan ditolak, maka perkara bisa dilanjutkan.

g. Pemeriksaan materi perkara (alat bukti)

Apabila pemeriksaan dilanjutkan, maka dilakukan

pemeriksaan terhadap alat-alat bukti dan barang bukti

(pemeriksaan materi perkara) :

1) Alat bukti keterangan saksi;

2) Alat bukti keterangan ahli;

3) Alat bukti surat;

4) Alat bukti petunjuk;

5) Alat bukti keterangan terdakwa;

6) Barang bukti.

h. Penuntut umum membacakan tuntutan (Rekuisitor)

Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian surat

dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di

persidangan dan kesimpulan penuntut umum tentang kesalahan

terdakwa disertai dengan tuntutan pidana.

i. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan pembelaan

(Pledoi)

Pledoi adalah tangkisan terhadap pembuktian yang

dibacakan penuntut umum dalam tuntutan pidana dan terdakwa

maupun penasehat hukumnya berusaha mengajukan bukti balik

dari pembuktian yang diajukan penuntut umum dimuka sidang.

Pembelaan tidak lepas dari eksistensinya bantuan hukum.

xxv

j. Penuntut umum membacakan jawaban atas pembelan (Replik)

Replik adalah jawaban atau tanggapan penuntut umum

terhadap pledoi yang diajukan tedakwa atau penasehat

hukumnya.

k. Terdakwa atau penasehat hukum membacakan duplik

Duplik adalah tanggapan atau bantahan terhadap replik.

Dalam pelaksanaan proses pemeriksaan perkara pidana di

persidangan terdapat pihak-pihak yang berhubungan, antara lain :

a. Hakim (majelis/ tunggal)

Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 KUHAP, pengertian

hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk mengadili.

b. Jaksa/ penuntut umum

Dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP disebutkan

pengertian dari jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut

umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut

umum dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b yang berbunyi:

penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

c. Terdakwa

Menurut Pasal 1 angka 15 KUHAP, terdakwa adalah

seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang

pengadilan.

d. Penasehat hukum

Pengertian penasehat hukum sesuai Pasal 1 angka 13

KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang

xxvi

ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi

bantuan hukum.

KUHAP membedakan tata cara pemeriksaan perkara pidana di

sidang pengadilan dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu :

a. Proses acara pemeriksaan biasa

Proses ini dimulai hakim ketua sidang membuka sidang

dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam

perkara mengenai kesusilalaan atau terdakwanya anak-anak

(Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan pemeriksaan itu dilakukan

secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh

terdakwa dan saksi (Pasal 152 ayat (2a) KUHAP), apabila

kedua ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka batal demi

hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP.

Pihak yang dipanggil pertama adalah terdakwa, apabila

terdakwa tidak hadir maka hakim ketua sidang akan meneliti

apakah terdakwa telah dipanggil secara sah, apabila terdakwa

tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah

untuk kedua kalinya, maka dihadirkan dengan paksa pada

sidang pertama berikutnya sesuai Pasal 154 ayat (6) KUHAP.

Ketika terdakwa hadir dalam persidangan, mula-mula hakim

ketua menanyakan identitas terdakwa serta mengingatkan

terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar

dan dilihatnya di persidangan (Pasal 155 ayat (1) KUHAP).

Sesudah itu hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut

umum untuk membacakan surat dakwaannya. Setelah

pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum,

maka terdakwa dan penasehat hukumnya dapat mengajukan

keberatan tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa

perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat

dakwaan harus dibatalkan.

xxvii

Apabila terdakwa atau penasehat hukumnya

menyatakan keberatan, penuntut umum diberi kesempatan

untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim

mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya

mengambil keputusan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP). Jika

keberatan itu diterima oleh hakim, maka perkara itu tidak

diperiksa lebih lanjut, dan untuk ini penuntut umum dapat

mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui

pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 156

ayat (2) dan (3). Apabila keberatan tidak diterima maka proses

persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi dan alat

bukti yang ada. Untuk keterangan mengenai saksi dan alat

bukti akan dipaparkan pada tinjauan selanjutnya.

Setelah pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai,

maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Sesudah

itu, terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan

pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum,

dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu

mendapat giliran terakhir. Semua ini dilakukan secara tertulis

dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang

dan turunnya kepada pihak yang berkepentingan sesuai

Pasal 182 ayat (1) KUHAP. Setelah itu hakim ketua sidang

menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan

ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan

hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan

penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan

memberikan alasannya (Pasal 182 ayat (2) KUHAP).

b. Proses acara pemeriksaan singkat

Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku juga

bagi pemeriksaan singkat, kecuali ditentukan lain. Hal tersebut

xxviii

dapat dilihat dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu,

Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan

itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:

a.1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di

sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan

dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa

tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya

dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan

pada waktu tindak pidana itu dilakukan;

a.2. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang

dan merupakan pengganti surat dakwaan;

2. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan

tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan

dalam waktu paling lama empat belas hari dan

bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum

belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan

tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu

diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;

3. guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan

terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat

menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;

4. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat

dalam berita acara sidang;

5. hakim memberikan surat yang memuat amar

putusan tersebut;

6. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang

sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa”.

xxix

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 203 ayat (1)

KUHAP, hal-hal yang diperiksa menurut acara pemeriksaan

singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak

termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut

umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan

sifatnya sederhana.

c. Proses acara pemeriksaan cepat

Pemeriksaan cepat menurut KUHAP dibagi menjadi

dua, yaitu :

1) Acara pemeriksaan tindak pidana ringan

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 205

ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Yang diperiksa

menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah

perkara yang diancam dengan pidana penjara atau

kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan

penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam

Paragraf 2 Bagian ini”.

2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintas

jalan raya.

Hal tersebut tercantum dalam Pasal 211

KUHAP yang berbunyi : “Yang diperiksa menurut

acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara

pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-

undangan lalu lintas jalan”.

Asas-asas yang digunakan dalam proses peradilan pidana adalah

sebagai berikut :

a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah;

b. Asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence);

c. Asas oportunitas;

xxx

d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;

e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim;

f. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan

tetap;

g. Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan

hukum;

h. Asas akusator dan inkisitor (accusatoir dan inqquisitoir);

i. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan (Andi

Hamzah, 1996:10-24)

2. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam

menentukan kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada

terdakwa dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, pembuktian perlu

diketahui secara mendalam.

Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-

ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan

boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang

didakwakan (M. Yahya Harahap, 2002:273).

Sedangkan menurut Darwan Prints, yang dimaksud pembuktian

adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan

terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus

mempertanggungjawabkannya (Darwan Prints, 1998:133). Pembuktian

tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim untuk

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian

tentang perkara yang diajukan.

xxxi

Sudikno berpendapat bahwa membuktikan mengandung tiga

pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan dalam

arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau mempunyai

arti yuridis (Sudikno Mertokusumo, 1981: 91). Membuktikan

mempunyai pengertian-pengertian :

1) Memberi (memperlihatkan bukti);

2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan

(cita-cita dan sebagainya);

3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);

4) Meyakinkan, menyaksikan.

Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang

disusun dan didapat dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan

atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan

masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian

menurut hukum pada dasarnya untuk menentukan substansi atau

hakekat adanya fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi fakta

yang terang.

b. Sistem Pembuktian

Dalam ilmu hukum, kita kenal empat jenis sistem atau teori

pembuktian, yaitu :

1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif

(positif wettelijke bewijsteorie).

Sistem ini berkembang diabad pertengahan, dan saat ini

sudah mulai ditinggalkan. Dikatakan secara positif karena

hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut

oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan

sama sekali

xxxii

2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atau sistem

keyakinan belaka (conviction intime).

Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu

peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu

kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak

terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus

tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya belaka.

3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan

yang logis (la convictio raisonee).

Bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah

berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada

dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan yang

berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.

Hakim bebas untuk menentukan macam dan banyaknya alat-

alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan

terdakwa, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya

ialah bahwa dalam keputusannya hakim harus menyebutkan

pula alasan-alasannya.

4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif

(negatief wattelijke)

Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim

memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:247-

253).

Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa

adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang dan

cara mempergunakannya disebut juga dalam undang-undang

itu, belum berarti hakim musti menjatuhkan hukuman. Hal

xxxiii

tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas

kebenarannya.

Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam

Pasal 183 (KUHAP) yang berbunyi : “Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan untuk

pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum membuat surat

dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk menyusun

alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau

tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya terdakwa yang harus

membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hakim dalam menjatuhkan

putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun

keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang

didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan

pidana apa yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan

perbuatannya (Martiman Prodjohamijaya, 1983:19).

c. Alat bukti

Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil

atau pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk

dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut

dakwaan di sidang pengadilan misalnya : keterangan terdakwa,

keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk (Andi

Hamzah,1996: 254).

xxxiv

Alat bukti yang sah adalah alat–alat yang ada hubungannya

dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan

keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang

telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat bukti yang sah

menurut Pasal 184 (1) KUHAP adalah :

1) Keterangan saksi

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti tercantum

dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, sedangkan keterangan lebih

rinci mengenai keterangan saksi dijelaskan pada Pasal 185

KUHAP. Poin penting dalam pasal tersebut adalah

keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

yang didakwakan kepadanya. Jadi dalam hal ini harus ada

lebih dari satu saksi atau dapat pula satu saksi yang didukung

oleh alat bukti yang sah lainnya.

2) Keterangan ahli

Dalam KUHAP keterangan ahli diatur dalam Pasal 186

yang berbunyi : “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan.” Penjelasan dari pasal

tersebut berbunyi : ”Keterangan ahli dapat juga diberikan

pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum

yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat

dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau

pekerjaan”. dari pengertian tersebut dapt dijelaskan bahwa

keterangan ahli dapat juga diberikan di luar sidang yaitu pada

waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum.

3) Surat

Dalam Pasal 187 KUHAP, yang dimaksud surat

sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c

xxxv

KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

sumpah, adalah:

a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang

dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang

dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat

atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan

yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh

pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau

sesuatu keadaan;

c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu

hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi

dari padanya;

d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang

lain.

Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan

dengan pemeriksaan saksi-saksi dan pemeriksaan terdakwa.

Pada saat pemeriksaan saksi, dinyatakan mengenai surat-surat

yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan kepada

terdakwa pada saat memeriksa terdakwa (Leden

Marpaung,1992: 395).

4) Petunjuk

Pengaturan tentang alat bukti petunjuk terdapat dalam

Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi :

xxxvi

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,

yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu

dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat diperoleh dari ;

(a) keterangan saksi;

(b) surat;

(c) keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu

petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan

oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan

dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

5) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti diatur dalam

Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa

nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami

sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang

dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti

di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh

suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal

yang didakwakan kepadanya.

(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan

terhadap dirinya sendiri.

xxxvii

(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan

harus disertai dengan alat bukti yang lain.

3. Tinjauan Tentang Kesaksian

a. Pengertian Saksi dan Kesaksian

Pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP adalah orang

yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pada

butir 27 dijelaskan tentang arti keterangan saksi adalah salah satu

alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa unsur-unsur dari keterangan saksi adalah :

1) Keterangan dari orang (saksi);

2) Mengenai suatu peristiwa pidana;

3) Peristiwa itu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri.

Dalam kamus besar bahasa indonesia pengertian saksi adalah

orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya tindak pidana,

kejahatan atau suatu peristiwa. Keterangan yang didengar atau

diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukanlah suatu

kesaksian. Terhadap keterangan saksi, hakim menilai kebenarannya

dengan menyesuaikan keterangan keterangan saksi satu dengan yang

lainnya, keterangan saksi dengan alat bukti sah yang ada.

xxxviii

Jenis saksi dibagi menjadi dua bagian yaitu :

1) Saksi A charge yakni saksi dalam perkara pidana yang

dipilih dan diajukan oleh penuntut umum dikarenakan

kesaksiannya memberatkan terdakwa.

2) Saksi A de charge yakni saksi yang dipilih atau ditunjuk oleh

penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum yang

sifatnya meringankan terdakwa

b. Syarat-syarat Memberi Kesaksian

Syarat sahnya suatu kesaksian dapat digunakan sebagai alat

bukti dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1) Syarat materiil

Syarat ini diatur dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang

menyebutkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti

dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Oleh sebab itu keterangan

yang berasal dari orang lain atau testimonium de auditu tidak

dapat disebut sebagai kesaksian dan sebagai alat bukti.

Menurut M Amin yang dikutip oleh A Karim Nasution

Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan mengenai hal yang didengar, dilihat atau diakui bukan oleh saksi sendiri, akan tetapi oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri orang tersebut ( A Karim Nasution, 1976:55).

Selain itu seorang saksi harus dapat menyebutkan

alasan dari kesaksiannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

2) Syarat formil

a) Keterangan saksi harus diberikan dibawah sumpah

xxxix

Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP disebutkan:

“Sebelum memberi keterangan, saksi wajib

mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing-masing, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak

lain daripada yang sebenarnya”.

b) Keterangan saksi harus diberikan di sidang

pengadilan

Pada Pasal 185 ayat (1) KUHP menentukan

bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa

yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Maksudnya adalah keterangan saksi yang diberikan

di sidang pengadilan saja yang merupakan alat bukti

yang sah.

syarat formil lain untuk menjadi seorang saksi

adalah :

(1) Dewasa, telah berumur 15 tahun atau pernah

kawin,

(2) Sehat akal,

(3) Tidak ada hubungan keluarga, pertalian darah

atau perkawinan dengan terdakwa (Imam

Soetikno dan Robby Kharimawanaha,1998:78).

Dalam Pasal 168 KUHAP diatur mengenai pengecualian

menjadi saksi, yaitu :

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak

dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri

sebagai saksi:

1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas

atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau

yang bersama-sama sebagai terdakwa.

xl

2) saudara dari terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai

terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka

yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-

anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga

3) suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau

yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Sedangkan pada Pasal 170 KUHAP disebutkan :

1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta

dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan

sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada

mereka.

2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk

permintaan tersebut.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 170 ayat (1) KUHAP,

pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk

menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

dan penjelasan Pasal 170 ayat (2) KUHAP ditentukan jika tidak

ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang

ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya

alasan yang dikemukakan untuk mendapat kebebasan itu.

Pengecualian mutlak terdapat dalam Pasal 171 KUHAP,

yang berbunyi :

“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa

sumpah ialah :

1) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan

belum pernah kawin;

xli

2) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-

kadang ingatannya baik kembali”.

Pihak yang tercantum dalam Pasal 171 KUHAP tersebut

tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum

pidana sehingga mereka tidak diambil sumpah dalam memberikan

keterangan. Keterangan yang mereka berikan hanya dipakai

sebagai petunjuk.

4. Tinjauan Tentang Terorisme

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang

kemudian di tetapkan sebagai undang-undang dalam Undang-undang

Nomor 15 tahun 2003 disebutkan di Pasal 1 butir (1) bahwa yang

dimaksud tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi

unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam peraturan

pemerintah pengganti undang-undang ini, dimana bentuk-bentuk dan

pemidanaan tindak pidana terorisme dijelaskan dalam Pasal 6 sampai

dengan Pasal 19 Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak

pidana terorisme.

Dari Pasal 6 Perpu Nomor 1 tahun 2002 dapat diambil

pengertian bahwa terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana

teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan

korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau

hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan

kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis

atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Bentuk tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 tersebut,

dipertegas dalam Pasal 8 Perpu Nomor 1 tahun 2002 yang berbunyi :

xlii

“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang :

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak

bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau

menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya

bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya

usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,

mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk

pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda

atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk

pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah

atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk

pengamanan penerbangan yang keliru;

e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau

membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya

atau sebagian kepunyaan orang lain;

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,

menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak

pesawat udara;

g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,

tidak dapat dipakai, atau rusak;

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi

menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran,

kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara

yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang

dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima

xliii

untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan

muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,

merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai

pesawat udara dalam penerbangan;

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau

mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian

pesawat udara dalam penerbangan;

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan

jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu,

mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan

pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan

penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas

kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan

seseorang;

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan

kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam

penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan

keselamatan pesawat udara tersebut;

m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara

dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara

tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau

membahayakan keamanan penerbangan;

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau

menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam

dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat

menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat

terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut

yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

xliv

o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih,

sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan

direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi

seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l,

huruf m, dan huruf n;

p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan

karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara

dalam penerbangan;

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat

membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam

penerbangan;

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat

udara dalam penerbangan.”

Alat bukti yang dipakai dalam proses pemeriksaan tidak pidana

terorisme meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau

yang serupa dengan itu; dan

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada :

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki

makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

membaca atau memahaminya.

xlv

B. Kerangka Pemikiran

Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar

atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar

terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang

pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh

penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Berdasarkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, alat bukti yang dipakai dalam proses pemeriksaan

tidak pidana terorisme salah satunya adalah alat bukti sebagaimana dimaksud

dalam Hukum Acara Pidana. Sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP salah satu alat

bukti yang sah adalah keterangan saksi.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, memberikan

keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang

pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang. Kewajiban hukum (legal

obligation) bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara pidana

dibarengi kehadiran saksi untuk hadir di persidangan untuk dimintai

keterangan berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia

alami sendiri.

Dalam hal kasus tertentu saksi yang diminta untuk memberi

keterangan di persidangan tidak dapat hadir dengan berbagai alasan. Hal

tersebut membuat hakim memutuskan untuk membacakan keterangan saksi

yang telah diberikan dalam BAP penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

Dalam hal ini bagaimana pengaturan dan legalitas dari kesaksian yang

dibacakan di depan persidangan tersebut.

xlvi

Lex specialis derogat lex generalis

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

Proses pemeriksaan perkara pidana di persidangan

Proses pemeriksaan saksi

Hakim memutuskan keterangan saksi dalam BAP penyidikan dibacakan di persidangan

Proses pembuktian

KUHAP

Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 27 huruf a Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

Legalitas ?

Saksi tidak hadir

Alat Bukti

xlvii

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Legalitas Keterangan Saksi yang Dibacakan di Persidangan Dalam

Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Terorisme di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan

Ada suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia peradilan kita,

khususnya dalam tahap sidang pengadilan, yaitu adanya keterangan saksi dalam

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan dibacakan dalam persidangan. Hal

ini disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksi-

saksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan ( a charge ),

sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan

dalam persidangan. Disamping itu seringkali terungkap dalam persidangan bahwa

saksi-saksi tidak hadir tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Selain masalah

saksi-saksi yang tidak bersedia hadir dalam peersidangan, dalam dunia peradilan

kita dihadapkan pada saksi-saksi yang tidak bersedia untuk memberi keterangan

dan mengucapkan sumpah tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Tentunya hal

ini akan mengurangi tingkat kebenaran materil (legalitas) sebagai tujuan dari

proses pemeriksaan perkara pidana.

Berikut ini adalah salah satu perkara yang telah diajukan di persidangan

dan telah diputus oleh majelis hakim berdasarkan putusan Perk. No. 1783/

Pid.B/2004/PN.Jak-Sel tanggal 3 Maret 2005, dimana didalamnya terdapat

permasalahan mengenai keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan

oleh karena saksi-saksi tidak dapat hadir dalam persidangan dan masalah saksi

yang tidak mau mengucapkan sumpah serta tidak mau memberikan keterangan :

1. Identitas Terdakwa

Nama :ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS SOMAD

alias Abu BAKAR BA’ASYIR bin ABUD AB’ASYIR.

xlviii

Tempat lahir :Jombang

Umur/tgl lahir :66 tahun / 17 Agustus 1938

Jenis kelamin :Laki-laki

Kebangsaan :Indonesia

Tempat tinggal :Ngruki Rt 004/017, Desa Cemani, Kecamatan Grogol,

Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah.

Agama :Islam

Pekerjaan :Guru Agama

2. Dakwaan Penuntut Umum

KESATU

PRIMAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku

Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah

Al-Islamiyah baik bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain

dengan FAIZ ABU BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias

YUDHA PRANATA alias MUSTOFA NASIR bin ABU THOLUT alias

YONO alias HAFID IBROHIM MUHAMAD NASIR bin ABAS alias

SULAIMAN alias NASIR ABAS dan FATHURRAHMAN AL-GHOZI

pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003 bertempat di Ngruki

Sukoharjo di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di Mindanno Philipina

dan di Hotel J.W Marriot Jalan lingkar Dalam Mega Kuningan Setia Budi

Jakarta Selatan yang bedasarkan pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya

merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak

pidana terorisme yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau takut

terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat

massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau

harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran

xlix

terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau

fasilitas publik atau internasional.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 14 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI

Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15

Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

SUBSIDIAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR baik

bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain dengan FAIZ ABU

BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias

MUSTOFA alias ABU THOLUT alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,

FATHURRAHMAN AL-GHOZI, DR. AZHARI alias ALAN, NOORDIN

M.TOP, MASRIZAL bin ALI UMAR alias MAS’UD alias TOHIR alias

ARIYADI alias DERI alias RENO alias ARI alias RIKI dan ISMAIL alias

M.IKHWAN alias AGUS alias IWAN alias RIDWAN alias ZAKI alias

ARI KUMALA, pada tahun 1999 samapi dengan Agustus tahun 2003

bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di

Mindanno Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega

Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili

perkaranya dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan menimbulkan suasana terror atau takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain,

atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek

vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau

fasilitas internasional.

l

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 6 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI

Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15

Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

LEBIH SUBSIDAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku

Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah

Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003

bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di

Mindano Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega

Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan

mengadili perkaranya dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan ancaman

atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan

sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan

sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan

suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas

kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas

internasional.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI Nomor 1

Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2003 jo

Pasal 55 ayat (1) ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

li

LEBIH LEBIH SUBSIDIAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR

bersama-sama antara lain dengan FAIZ ABU BAKAR BAFANA,

IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias MUSTOFA alias

ABU THOLUT alias YONO alias HAFID IBROHIM, MUHAMAD

NASIR bin ABAS alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,

FATHURRAHMAN AL-GHOZI, DR. AZHARI alias ALAN, NOORDIN

M.TOP, MASRIZAL bin ALI UMAR alias MAS’UD alias TOHIR alias

ARIYADI alias DERI alias RENO alias ARI alias RIKI dan ISMAIL alias

M.IKHWAN alias AGUS alias IWAN alias RIDWAN alias ZAKI alias

ARI KUMALA, pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003

bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di

Mindanno Philipina dan di Hotel J.W. Marriot Jalan Lingkar Dalam Mega

Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan

mengadili perkaranya melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme yakni dengan

sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan

suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas

kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas

internasional.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 15 jo pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI

Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15

Tahun 2003.

lii

LEBIH-LEBIH SUBSIDIAIR LAGI

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku

Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah

Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2003

bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di

Mindano Philipina di jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII No.2 Semarang

Yayasan Al-Ummah pondok Gede Bekasi dan di Hotel J.W. Marriot jalan

Lingkar Dalam Mega Kuningan Setia Budi Jakarta Selatan yang

berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya dengan sengaja

memberikan bantuan atau kemudian terhadap pelaku tindak pidana

terorisme dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana

terorisme.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI

Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003

jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

KEDUA

PRIMAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR baik

bertindak sendiri maupun bersama-sama antara lain dengan UTOMO

PAMUNGKAS alias MUBAROK alias AMIN bin SUHARSONO, ALI

GUFRON alias MUKHLAS, AMROZI bin H. NURHASYIM, FAIZ ABU

BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias YUDHA PRANATA alias

MUSTOFA alias ABU THOLUT alias YONO alias HAFID IBROHIM,

MUHAMAD NASIR bin ABAS alias SULAIMAN alias NASIR ABAS,

FATHURRAHMAN AL-GHOZI, WAN MIN WAN MAT DUL MATIN,

MOH. IKHSAN alias IDRIS alias JONI HENDRAWAN alias

liii

GEMBROT alias AJO, DR.AZHARI alias ALAN dan NOORDIN M.

TOP, pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2002 bertempat di

Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali Gading Surakarta (Solo) di Mindanno

Philipina dan di Thailand di Sari club dan Paddy’s Pub di jalan Legian

Kuta Badung serta Gedung Konsultan Amerika I jalan Raya Puputan Niti

Mandala Renon Denpasar Bali, yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengailan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan

mengadili perkaranya, dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan,

atau banjir jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi

nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 187 ke-3 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

SUBSIDIAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR selaku

Amir atau pemimpin dari kelompok yang menamakan dirinya Al-Jama’ah

Al-islamiyah pada tahun 1999 sampai dengan Agustus tahun 2002

bertempat di Ngruki Sukoharjo, di Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di

Mindano Philipina di Sari club dan Paddy’s Pub di jalan Legian Kuta

Badung serta Gedung Konsulat Amerika I jalan Raya Puputan Niti

Mandala Renon Denpasar Bali, yang berdasarkan Pasal 84 ayat (2)

KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan

mengadili perkaranya, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan ancaman

atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan

sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan

sengaja menimbulkan kebakaran ledakan, atau banjir jika karena perbuatan

tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan

orang mati, yaitu terdakwa selaku Amir Al-jama’ah Al-islamiyah telah

liv

memberi kesempatan atau sarana atau keterangan menyalahgunakan untuk

peledakan.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal

187 ke-3 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

LEBIH SUBSIDIAIR

Bahwa terdakwa ABU BAKAR BA’ASYIR alias ABDUS

SOMAD alias ABU BAKAR BA’ASYIR bin ABUD BA’ASYIR antara

lain dengan UTOMO PAMUNGKAS alias MUBAROK alias AMIN bin

SUHARSONO, ALI GUFRON alias MUKHLAS, AMROZI bin H.

NURHASYIM, FAIZ ABU BAKAR BAFANA, IMRON BAYHAQI alias

YUDHA PRANATA alias MUSTOFA alias ABU THOLUT alias YONO

alias HAFID IBROHIM, MUHAMAD NASIR bin ABAS alias

SULAIMAN alias NASIR ABAS, FATHURRAHMAN AL-GHOZI,

WAN MIN WAN MAT dan DR.AZHARI alias ALAN pada tahun 1999

sampai dengan Agustus tahun 2002 bertempat di Ngruki Sukoharjo, di

Ma’had Ali gading Surakarta (Solo) di Mindano Philipina di Sari club dan

Paddy’s Pub di jalan Legian Kuta Badung serta Gedung Konsulat Amerika

I jalan Raya Puputan Niti Mandala Renon Denpasar Bali, yang

berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, melakukan

permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dengan sengaja

menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, jika karena perbuatan

tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan

orang mati.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana

Pasal 187 jo 187 ke-3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

lv

3. Tuntutan Penuntut Umum

a. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias

Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana bersama-sama merencanakan dan/atau

menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 jo pasal 1 Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam

Dakwaan Kesatu Primer dan oleh karenanya supaya terdakwa Abu

Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dibebaskan dari dakwaan Kesatu

Primair tersebut.

b. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias

Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir terbukti secara meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan tindak

pidana terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 6 Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam

dakwaan Kesatu Subsidiar dan terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tinak pidana “bersama-sama dengan sengaja

menimbulkan kebakaran, ledakan yang menimbulkan bahaya bagi

nyawa orang dan mengakibatkan orang mati” sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 187 ke-3 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dalam

Dakwaan Kedua Primair.

c. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias

Abdus Somad alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dengan

pidana penjara selam 8 (delapan) tahun dikurangi selama terdakwa

berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan.

d. Menyatakan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara.

e. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar

Rp 5.000,- ( lima ribu rupiah ).

lvi

4. Keteranga saksi yang dibacakan di persidangan

a. Saksi yang tidak hadir di persidangan

1) Saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim

alias Abu Hidayah

Bahwa saksi kenal dengan terdakwa bersama dengan

Abdullah Sungkar pada tahun 1993 dalam rangka berbai’ah kepada

Abdullah Sungkar dimana pada saat itu terdakwa ikut hadir;

Bahwa saksi sebagai anggota Jamaah Islamiyah sejak tahun

2003. Amir Jamaah Islamiyah yang pertama kali adalah Abdullah

Sungkar yang kemudian digantikan oleh terdakwa setelah

Abdullah Sungkar meninggal dunia;

Bahwa saksi mengetahui kalau terdakwa sebagai pengganti

Amir Jamaah Islamiyah menggantikan Abullah Sungkar setelah

Mukhlas sebagai ketua wakalah Johor mengumumkan pelantikan

terdakwa sebagai Amir Jamaah Islamiyah;

Bahwa organisasi Al jamaah Al islamiyah pernah

mempunyai kamp militer di Philipina Selatan yaitu kamp

Hudaibiyah di lokasi kamp Abu Bakar milik MILF;

2) Saksi Faiz Abu Bakar Bafana

Bahwa saksi mulai kenal dengan terdakwa pada …

terdakwa tinggal di Serting Negeri Semb … pindah ke Banting

Sungai manggis tahun 1997/1998 samapi akhirnya terdakwa

kembali ke Indonesia ;

Bahwa saksi pernah bergabung dengan jama’ah Abdullah

Sungkar alias Abdul Halim pada tahun 1986/1987 namun saat itu

belum tahu nama kelompoknya dan baru pada tahun 1995 saksi

baru mendengar nama Al jama’ah Al islamiyah dan sebagai

Amirnya adalah Abdullah sungkar;

lvii

Bahwa setelah Abdullah Sungkar meninggal dunia maka

yang menggantikan sebagai Amir adalah terdakwa;

Bahwa organisasi Al jamaah Al islamiyah memiliki tempat

latihan kemiliteran di kamp Hudaiyah Mindanao Philipina yang

dikelola oleh Mantiqi III dan saksi pernah mengikuti pelatihan di

kamp tersebut selama satu bulan sekitar tahun 1998;

3) Saksi Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul

Baby alias Danny Ofresio

Bahwa saksi pernah sekolah di Pesantren Al Mukmin

Ngruki Solo Jawa Tengah pada tahun 1991 dan masuk menjadi

anggota Jamaah Islamiyah pada tahun 1994;

Bahwa saksi kenal dengan terdakwa pada tahun 2000 ketika

datang ke kamp. Hudaibiyah Mindanao Philipina dalam rangka

menghadiri upacara pelantikan /wisuda kelulusan saksi sebagai

angkatan pertama dari Akademi Militer Al jamaah Al islamiyah;

Bahwa dalam upacara wisuda tersebut terdakwa sempat

memberi wejangan sebagai penutupan diklat;

Bahwa yang bertindak sebagai komandan upacara adalah

Nasir Abas, inspektur upacara adalah Mustofa alias Abu Tholud

sedangkan terdakwa sebagai Amir jamaah islamiyah;

Bahwa setelah upacara terdakwa bersalaman dengan para

wisudawan berjumlah 17 (tujuh belas) orang termasuk dengan

saksi;

Bahwa saksi tidak tahu menyaksikan ataupun mengetahui

pengangkatan atau pelantikan terdakwa sebagai Amir Al jamaah Al

islamiyah

lviii

4) Saksi Ahmad Syaifullah Ibrahim

Bahwa saksi mengenai organisasi Al jamaah Al islamiyah

sejak tahun 1994 saat saksi duduk di kelas 6 di Pondok Pesantren

Al Mukmin Ngruki Solo;

Bahwa saksi pernah ke camp Hudabiyah Mindanao

Philipina pada tahun 1998 atas tawaran dari ustadz Abu fatih dan

saksi berangkat bersama-sama denagn 5 (lima) orang lainnya yakni

Zulkifli, Zubair, Sais, Tolkhan, Ibrahim Ali dan Anwar;

Bahwa pada awal tahun 2000 saat saksi selesai mengikuti

pelatihan militer di kamp Hudaibiyah diadakan semacam perayaan

penutupan dengan inspektur upacara ustadz Abu Tholud komandan

upacara Nasir Abas;

Bahwa pada saat upacara tersebut ada acara pemeriksaan

pasukan yang dilakukan oleh terdakwa yang bertindak sebagai

Amir jamaah Al islamiyah;

Bahwa dalam acara tersebut terdakwa memberikan tauziah

kepada siswa yang baru dilantik dengan materi yang isinya ucapan

selamat lulus dari sekolah militer tersebut;

Bahwa buku PUPJI merupakan landasan perjuangan

organisasi Al jamaah Al islamiyah dan PUPJI diajarkan di camp

Hudaibiyah;

b. Saksi yang tidak mau disumpah dan tidak mau memberikan

keterangan di persidangan.

Saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin

Bahwa saksi tidak mau bersumpah serta tidak bersedia

memberikan keterangan dengan alasan sudah pernah diperiksa di

lix

penyidik sebagaimana tertuang dalam berita acara pemeriksaan saksi

tersebut yang pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa saksi pertama kali kenal dengan terdakwa pada

tahun 1988 ketika sedang belajar di Pondok Pesantren Al-Mukmin

Ngruki Solo;

Bahwa pada bulan Mei tahun 2002 saksi dan Amrozi bertemu

dengan terdakwa di Solo dengan maksud mengundang terdakwa

untuk mengisi ceramah dalam rangka pelepasan santri Al-Islam

periode tahun 2001/2002 yang materi ceramahnya adalah nasehat

kepada santri yang mau keluar dari pesantren:

Bahwa pada bulan Agustus tahun 2002 saksi bersama dengan

Amrozi bertemu kembali dengan terddakwa di Solo untuk

mengundang terdakwa menghadiri acara pernikahan adik salah

seorang ustadz Al-islam dan mengisi khotbah jum’atan di

Lamongan:

Bahwa dalam percakapan tersebut sekitar antara Ashar dan

Magrib bertempat dirumah terdakwa Amrozi sempat bertanya

kepada terdakwa “Bagaimana kalau kawan-kawan mengadakan acara

di Bali” lalu dijawab oleh terdakwa “tersebut pada kalian karena

kalian yang tahu situasi dilapangan”;

Bahwa paada bulan September tahun 2002 saksi diajak oleh

Amrozy mengadakan perjalanan ke Bali. Selain saksi ikut serta

Imam Samudra, Dul Matin, Idris dan Ali Imron dengan

menggunakan kendaraan kijang warna abu-abu plat Surabaya;

Bahwa pada tanggal 5 Oktober 2002 saksi bersama-sama

dengan Amrozy, Dul Matin, Ali Imron kembali ke Denpasar

lx

menggunakan mobil L-300 yang dikemudikan saksi dan seorang lagi

yang menggunakan mobil Suzuki vitara gelap;

Bahwa terhadap keterangan saksi tersebut terdakwa

menyatakan mengenai diundang ceramah benar tapi terdakwa tidak

pernah mengucapkan kata-kata “terserah kalian karena kalian yang

tahu situasi dilapangan”;

5. Putusan Majelis Hakim

1. Menyatakan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad

alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tersebut diatas, tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Kesatu Primer,

Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih Subsidair, Lebih-lebih

Subsidair lagi dan Dakwaan Kedua Primer serta Subsidair;

2. Membebaskan terdakwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad

alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir dari dakwaan

Dakwaan Kesatu Primer, Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih

Subsidair, Lebih-lebih Subsidair lagi dan Dakwaan Kedua Primer

serta Subsidair tersebut;

3. Menyatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir alias Abdus Somad alias

Abu Bakar Ba’asyir bin Abud Ba’asyir tersebut diatas, terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana

“Permufakatan jahat dengan sengaja menimbulkan kebakaran atau

ledakan yang membahayakan nyawa orng lain dan mengakibatkan

matinya orang”;

4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Abu Bakar

Ba’asyir alias Abdus Somad alias Abu Bakar Ba’asyir bin Abud

Ba’asyir tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6

(enam) bulan;

5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan itu;

lxi

6. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam rumah tahanan

Negara;

7. Membebani terdakwa membayar biaya perkara ini sebesar

Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)

8. Memerintahkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara;

6. Pertimbangan hakim berkaitan dengan kesaksian yang dibacakan

dipersidangan

Menimbang, bahwa pada bagian lain saksi yaitu Wan Min bin

Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu

Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby

alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim yang telah

memberikan keterangan dibawah sumpah dalam penyidikan karena negara

asal saksi yang berstatus dalam tahanan tidak diperbolehkan memberi

kesaksian di depan persidangan.

Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 162 ayat (2) KUHAP,

maka nilai kesaksian-kesaksian tersebut disamakan dengan keterangan

saksi dibawah sumpah yang diucapkan di depan sidang

Menimbang, bahwa terhadap saksi Utomo Pamungkas alias

Mubarok alias Amin di depan persidangan tidak mau disumpah atau

berjanji dengan alasan karena telah memberikan kesaksiannya dalam

berita acara penyidikan. Mesipun hakim ketua sidang berulangkali

memerintahkan saksi agar bersumpah/ berjanji dan memberikan

kesaksiannya di persidangan namun tetap mengatakan tidak akan

memberikan keterangannya dengan alasan yang sama.

Menimbang, oleh karena saksi tersebut dalam berita acara

penyidikan telah disumpah dan dipersidangan tidak memberi keterangan

dengan alasan sudah memberi keterangan dalam BAP, maka sesuai dengan

Pasal 162 ayat (1) KUHAP, menurut Pengadilan keterangan di BAP

lxii

disamakan dengan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah

yang diucapkan di persidangan.

7. Pembahasan

Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar

atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar

terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di

sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang

dibuat oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang. Dalam sistem pembuktian negatif hakim dapat

memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan

pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga

hakim memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:250).

Berdasarkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian

ditetapkan sebagai Undang-undang dalam Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, alat bukti

yang dipakai dalam proses pemeriksaan tidak pidana terorisme meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau

yang serupa dengan itu; dan

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau

didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu

sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain

kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas

pada :

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

lxiii

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki

makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

membaca atau memahaminya.

Jika poin “a” Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 di atas

menyebutkan bahwa salah satu alat bukti dalam tindak pidana terorisme

adalah bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, maka

menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan

salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri,

dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.

Pada prinsipnya menjadi seorang saksi merupakan suatu kewajiban hukum

(legal obligation) bagi setiap orang. Akan tetapi, undang-undang

memberikan pengecualian dibebaskan kewajiban menjadi saksi misalnya

seorang yang masih dibawah umur (belum berumur 15 tahun) dan seorang

yang hilang ingatan atau mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

secara sempurna dalam hukum pidana. Mereka tidak wajib menjadi saksi

atau boleh memberikan keterangan tidak dibawah sumpah. Disamping itu

seseorang yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi karena

adanya hubungan darah (keluarga) atau perkawinan (semenda) dengan

terdakwa. Orang-orang ini tidak dapat didengar keterangannya atau dapat

mengundurkan diri sebagai saksi. Orang-orang tersebut adalah :

lxiv

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sampai derajat ketiga dengan terdakwa atau yang bersama-

sama sebagai terdakwa,

b. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak (bibi atau paman dari terdakwa),

juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan

anak-anak saudara (keponakan) terdakwa sampai derajat ketiga,

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Dengan demikian seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok

di atas wajib memberikan keterangan apabila diminta menjadi saksi. Akan

tetapi, menurut Pasal 169 ayat (1) KUHAP tersirat bahwa mereka yang

dimaksud dalam Pasal 168 dimungkinkan untuk dapat menjadi saksi

apabila jaksa, terdakwa, dan mereka sendiri secara tegas-tegas menyetujui

untuk memberikan keterangan di bawah sumpah. Namun apabila ketiga

golongan tersebut tidak setuju untuk memberikan kesaksian, hakim dapat

memutuskan untuk mendengarkan keterangan mereka tanpa disumpah dan

keterangannya hanya dianggap sebagai keterangan biasa guna menambah

keyakinan hakim.

Berkaitan dengan keterangan saksi yang dibacakan di persidangan,

berdasarkan kasus diatas terdapat 2 (dua) permasalahan yang dapat

dibahas, pertama adalah permasalahan keterangan keempat saksi yaitu

Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu

Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias

Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim

yang dibacakan di persidangan karena tidak hadir untuk memberikan

keterangan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di persidangan dan

yang kedua adalah penolakan saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias

Amin untuk mengucapkan sumpah meskipun hadir di persidangan dan

menolak memberi keterangan di persidangan dengan alasan telah

lxv

memberikan keterangannnya dihadapan penyidik. Keterangan dari saksi

Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin dalam BAP penyidikan

tersebut pada akhirnya dibacakan di depan sidang pengadilan.

Menurut Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa “Keterangan saksi sebagai alat bukti

apa yang saksi nyatakan dalam sidang”. Dari ketentuan tersebut di atas

apabila kita tafsirkan secara a contrario berarti keterangan seorang saksi

dapat dijadikan alat bukti yang sah bukan apa yang saksi nyatakan dalam

BAP penyidikan, melainkan apa yang saksi nyatakan dalam sidang

pengadilan.

Pada hakikatnya KUHAP menganut prinsip keharusan

menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 185 (1) KUHAP yang intinya keterangan saksi dapat dijadikan alat

bukti yang sah apabila dinyatakan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi,

KUHAP sendiri memberi pengecualian apabila saksi-saksi yang telah

memberikan keterangan dalam BAP tidak hadir dalam proses persidangan

keterangannya itu dapat atau boleh dibacakan di persidangan, tetapi harus

memenuhi alasan-alasan sebagai berikut:

a. Meninggal dunia atau ada halangan yang sah

b. Tempat tinggal atau kediamannya jauh dari tempat sidang

pemeriksaan

c. Adanya tugas atau kewajiban dari negara yang dibebankan

kepadanya.

Dengan demikian menurut Pasal 162 (1) KUHAP apabila seorang

saksi berhalangan hadir, maka keterangan yang telah diberikan dalam

pemeriksaan penyidikan dapat dibacakan, tetapi harus memenuhi hal-hal

tersebut diatas. Apabila keterangan tersebut dilakukan di bawah sumpah,

maka keterangannya dianggap mempunyai nilai yang sama dengan

lxvi

keterangan saksi yang disumpah di persidangan, hal tersebut sesuai dengan

Pasal 162 ayat (2). Sedangkan keterangan yang diberikan tidak di bawah

sumpah hanya bernilai sebagai keterangan biasa yang tidak mempunyai

kekuatan pembuktian, tetapi dapat digunakan sebagai keterangan yang

dapat menguatkan keyakinan hakim jika dihubungkan dengan alat bukti

lain .

Dalam hal ini apabila seseorang yang menolak untuk memberikan

keterangan kesaksian di depan persidangan walaupun telah dipanggil

secara sah, kepadanya dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan

undang-undang yang berlaku (R. Soesilo, 1994: 8). Adapun undang-

undang yang dimaksud adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) yang dapat dijadikan dasar penuntutan bagi seorang saksi yang

menolak hadir di depan sidang pengadilan, seperti pada Pasal 216 ayat (1),

Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP. Hakim mempunyai kewenangan untuk

menentukan penting atau tidaknya saksi yang hadir dalam persidangan.

Disamping itu juga hakim berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau

menunda pemeriksaan sidang. Apabila pemeriksaan perkara ditunda, maka

hakim akan memerintahkan jaksa untuk memanggil kembali saksi yang

bersangkutan dan membawanya ke depan sidang pengadilan.

Berdasarkan kasus di atas, empat saksi yaitu Wan Min bin Wan

Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar

Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias

Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim tidak dapat hadir karena

hukum dari negara asal saksi yang berstatus dalam tahanan tidak

memperbolehkan memberi kesaksian di depan persidangan. Dengan

demikian, ketidakhadiran keempat saksi tersebut dapat dikategorikan

“mempunyai alasan yang sah” sesuai dengan rumusan Pasal 162 ayat (1)

karena hakim dapat menilai bahwa alasan saksi-saksi tidak hadir

didasarkan karena ada halangan yang sah dan/ atau tempat tinggal atau

kediamannya jauh dari tempat sidang pemeriksaan yang menjadikan saksi

lxvii

tidak dapat hadir untuk memberi kesaksian dalam proses pemeriksaan di

sidang pengadilan.

Alasan yang sah tersebut dapat dijadikan oleh hakim untuk

membacakan keterangan saksi yang telah di buat dalam BAP penyidikan.

Oleh karena keterangan saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias

Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi

Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad

Syaifullah Ibrahim dalam BAP penyidikan dibuat di bawah sumpah, maka

berdasarkan nilai kekuatan pembuktiannya, kesaksian yang dibacakan di

persidangan dari keempat saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis

alias Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad

faisal bi Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio

dan Ahmad Syaifullah Ibrahim dapat dipersamakan dengan keterangan

saksi dibawah sumpah yang diucapkan di persidangan. Sekalipun

keterangan saksi yang berhalangan hanya dibacakan saja di persidangan,

namun keterangan itu disamakan dan sederajat dengan keterangan saksi

yang disumpah di persidangan karena keterangan yang disampaikan saksi

dalam pemeriksaan penyidikan diberikan dibawah sumpah atau dengan

kata lain keterangan saksi yang dimaksud dapat dijadikan alat bukti yang

sah dan keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang

disumpah di persidangan sesuai Pasal 162 ayat (2) KUHAP.

Pasal 116 ayat (1) KUHAP memberi kemungkinan bagi penyidik

untuk menyumpah seorang saksi dalam pemeriksaan penyidikan, jika

benar-benar cukup alasan untuk menduga bahwa saksi yang bersangkutan

tidak dapat hadir dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Pada prinsipnya

pemeriksaan saksi di depan penyidik tidak wajib disumpah, akan tetapi

dalam hal tertentu, apabila cukup alasan saksi diduga tidak dapat hadir

dalam pemeriksaan sidang pengadilan, penyidik dapat menyumpah saksi.

Hal tersebut berkaitan dengan kekuatan pembuktian dari keterangan saksi

tersebut dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Misalnya seperti

lxviii

kasus diatas keempat saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias

Wan Halim alias Abu Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi

Imam Sarijan alias Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad

Syaifullah Ibrahim yang tinggal di luar negeri dan menjadi tahanan di

negara asalnya tersebut, sudah dapat menjadi alasan yang cukup untuk

menduganya akan berhalangan menghadiri pemeriksaan di sidang

pengadilan sehingga penyidik perlu mengambil sumpah atas keterangan

dari keempat saksi di atas supaya keterangannya mempunyai kekuatan

sebagai alat bukti yang sah dalam sidang pengadilan .

Berkaitan dengan keterangan saksi Utomo Pamungkas alias

Mubarok alias Amin, kita perlu mengkaji lebih mendalam. Dalam kasus

tersebut Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin sebenarnya hadir

dalam persidangan namun, saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias

Amin tidak bersedia memberikan keterangan di persidangan dan menolak

untuk disumpah. Sesuai pertimbangan hakim, maka keterangan saksi

dalam BAP penyidikan tersebut dapat dibacakan di persidangan dan dapat

dijadikan sebagai alat bukti mengingat keterangan Utomo Pamungkas alias

Mubarok alias Amin dalam BAP penyidikan dibuat dibawah sumpah.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 159 ayat (2) memberikan

keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang

pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang dan orang yang menolak

memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu sidang pengadilan, dapat

dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin telah

hadir di persidangan, dengan demikian dia wajib untuk memberikan

keterangan sesuai yang di perintahkan oleh hakim. Sekalipun Pasal 159

ayat (2) mempergunakan kata-kata : memerintahkan supaya saksi tersebut

dihadapkan ke persidangan, namun makna yang tersirat dalam “perintah

menghadapkan”, tiada lain dari pada upaya yang dibenarkan hukum untuk

lxix

menghadirkan saksi dengan paksa, apabila saksi tidak mau hadir secara

sukarela (M. Yahya Harahap, 2002: 170)

Kasus di atas menunjukan bahwa saksi Utomo Pamungkas alias

Mubarok alias Amin hadir dan telah dihadapkan di persidangan namun

saksi tidak bersedia disumpah dan tidak bersedia memberikan keterangan

di persidangan. Menurut Pasal 171 KUHAP, pihak yang boleh diperiksa

untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum

cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin dan/ atau orang sakit

ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Jika dikaitkan dengan Pasal 161 ayat (1) KUHAP, dalam hal saksi atau

ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,

maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat

penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah

tahanan negara paling lama empat belas hari. Sedangkan menurut Yahya

harahap, sah tidaknya penolakan saksi mengucapkan sumpah atau janji

juga dapat tergantung pada penilaian hakim. Namun demikian dalam

penilaian itu sedapat mungkin bertitik tolak pada ketentuan undang-

undang. Hakim jangan terlampau leluasa memberikan alasan yang

dikemukakan saksi (M. Yahya Harahap, 2002: 178).

Jika kita hanya menganut pada aturan tertulis yang ada di dalam

KUHAP, keterangan saksi yang dapat dibacakan di persidangan hanya

apabila saksi tersebut memenuhi rumusan Pasal 162 ayat (1) yakni

dikarenakan saksi meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak

dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman

atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan

kepentingan negara. Apabila saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias

Amin hadir di persidangan maka rumusan pada Pasal 162 ayat (1)

sebenarnya tidak terpenuhi. KUHAP dan Undang-undang tentang

lxx

pemberantasan tindak pidana terorisme sendiri tidak memberikan

penjelasan mengenai permasalahan tersebut.

Hakekatnya peraturan perundang-undangan itu sifatnya tidak

lengkap. Tidak ada dan tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan

yang dapat mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara tuntas,

lengkap dan jelas karena aktifitas kehidupan manusia yang sangat luas,

baik jenis maupun jumlahnya (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti P.,

2005: 127). Dari pandangan tersebut maka hukum harus dikembangkan

dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-

undangan. Dengan kata lain hukum yang tidak lengkap dan tidak jelas itu

dapat diatasi dengan penemuan hukum supaya tidak ada kekosongan

hukum dalam menyelesaikan perkara yang diajukan di persidangan.

Menurut Bambang Purnomo dalam Pontang Moerad,

pembentukan/ penemuan hukum terjadi karena :

1. Undang-undangnya ada, tetapi sudah ketinggalan, sudah tidak

sesuai dengan keadaan peristiwa itu terjadi. Kemudian hakim

membentuk hukum.

2. Undang-undangnya tidak ada. Disini hakim mencari norma non-

hukum, sekurang-kurangnya non-undang-undang (Pontang

Moerad, 2005: 82).

Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara

langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-

undang yang berlaku umum dan abstrak pada peristiwa yang kongkrit dan

khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan

atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk

kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus

dicari lebih dahulu dari peristiwa kongkritnya, kemudian undang-

undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan (Sudikno Mertokusumo,

lxxi

2003: 169). Penemuan hukum diakukan oleh hakim untuk menyelesaikan

permasalahan dalam melaksanakan undang-undang dimana undang-

undang tidak mengatur secara jelas bila terjadi pristiwa kongkrit. Menurut

Sudikno ada beberapa metode dalam penemuan hukum, yakni metode

interpretasi, metode argumentasi dan metode penemun hukum bebas.

Jika dikaitkan dengan aliran pemikiran hukum, hal ini sejalan

dengan pemikiran hukum dari aliran rechtsvinding yang merupakan aliran

tengah diantara aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Bahwa menurut

aliran rechtsvinding, benar bahwa hakim terikat pada undang-undang,

akan tetapi tidaklah seketat seperti menurut pandangan aliran legisme yang

menganggap semua hukum terdapat dalam undang-undang, karena hakim

juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan

aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya

hakim mempunyai apa yang disebut kebebasan yang terikat atau

keterikatan yang bebas.

Hakim wajib menemukan hukum atas suatu perkara yang ia

tangani. Penafsiran dan penemuan hukum juga menjadi faktor bagi

pengembangan hukum, dalam hal ini hakim sebagai salah satu penegak

hukum harus dapat menemukan dan menerapkan hukum yang berlaku bagi

penyelesaian permasalahan yang sifatnya kongkrit dan belum diatur secara

khusus dalam peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai dengan

ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan

memahami dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam

melaksanakan fungsi dan kewenangan kehakiman diberikan otonomi

kebebasan. Otonomi kebebasan itu mencakup menafsirkan peraturan

perundang-undangan, mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar

hukum, menciptakan hukum baru apabila menghadapi kekosongan

peraturan perundang-undangan.

lxxii

Selain masalah penemuan hukum, kasus yang terjadi pada saksi

Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin dapat dikaitkan dengan

Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang berbunyi : ”Pengadilan membantu pencari keadilan dan

berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”. Dari

pengertian tersebut, saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin

dapat diangap menghambat proses peradilan sehingga kebenaran materiil

yang hendak dicapai menjadi terhambat, sehingga hakim dengan

kewenangannya dapat memutuskan langkah apa yang harus dilakukan

untuk mengatasi hambatan dan rintangan tersebut.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa hakim dengan

pengetahuan dan pertimbangannya menentukan dahulu saksi Utomo

Pamungkas alias Mubarok alias Amin termasuk dalam saksi yang hadir di

persidangan namun menolak mengucapkan sumpah atau janji dalam

memberikan keterangan atau saksi termasuk dalam kategori saksi yang

tidak dapat hadir di persidangan.

Konsekuensi dari penentuan status saksi tersebut adalah apabila

saksi yang menolak mengucapkan sumpah, maka keterangan yang telah di

berikan olehnya bukan merupakan alat bukti yang sah melainkan hanya

keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim apabila pembuktian

yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian dan dapat

digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang

keterangan saksi saling bersesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut

sesuai Pasal 161 ayat (2) yang dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7).

Namun dari kasus di atas hakim dengan pertimbangannya memutuskan

bahwa saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin “dianggap”

tidak hadir di persidangan dengan alasan yang sah yakni telah memberikan

keterangan di bawah sumpah di depan penyidik. Tentu saja dengan

pertimbangnnya itu hakim memutuskan untuk membacakan BAP

lxxiii

penyidikan dari saksi Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin untuk

dijadikan alat bukti karena pada waktu memberikan keterangan di depan

penyidik, saksi telah memberikan keterangan dibawah sumpah sehingga

keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang

disumpah di persidangan.

lxxiv

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Proses pembuktian pada prinsipnya menganut adanya keharusan

menghadirkan saksi-saksi di persidangan Pasal 185 ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi, hal tersebut

bukanlah hal yang mutlak. Saksi yang tidak dapat hadir dalam proses

sidang di pengadilan, keterangannya boleh atau dapat dibacakan di

persidangan apabila memenuhi salah satu alasan yang disebutkan dalam

Pasal 162 (1) KUHAP. Dengan demikian, saksi-saksi yang tidak hadir

dalam kasus di atas harus dicari terlebih dahulu apakah saksi-saksi tersebut

tidak hadir dengan alasan yang memenuhi rumusan yang disebutkan dalam

Pasal 162 (1) KUHAP.

Keterangan saksi-saksi yang dibacakan di persidangan dapat

dijadikan alat bukti yang sah apabila keterangan sebelumnya di proses

penyidikan diberikan di bawah sumpah. Oleh karena keterangan kelima

saksi Wan Min bin Wan Mat alias Abu Hafis alias Wan Halim alias Abu

Hidayah, Faiz Abu Bakar Bafana, Ahmad faisal bi Imam Sarijan alias

Zulkifli alias Zul Baby alias Danny Ofresio dan Ahmad Syaifullah Ibrahim

dan Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Amin yang di bawah sumpah,

maka keterangannya yang dibacakan dianggap sebagai alat bukti dan

keterangannya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang

disumpah di persidangan.

lxxv

B. Saran

Dalam konteks kasus seperti yang telah dibahas di muka, penulis

memberikan saran sebagai berikut :

1. Apabila dalam proses persidangan saksi menolak hadir dengan

alasan yang tidak sah/ tidak sesuai dengan rumusan pasal 162

ayat (1), maka hakim melalui penuntut umum melakukan upaya

paksa untuk menghadirkan saksi. Jika saksi tetap menolak

menghadiri sidang untuk memberi keterangan, padahal telah

dipanggil secara sah, maka saksi tersebut dihadapkan di

persidangan dan dijerat dengan pasal 216, 224, 522 KUHP.

2. Hakim tidak hanya berpedoman pada hukum yang tertulis saja.

Dengan kewenangan yang dimiliki, hakim dapat melakukan

penemuan hukum (rechtsvinding). Jadi sikap hakim tidak hanya

sebagai pihak melaksanakan undang-undang atau sebagai corong

undang-undang (la bouche du droit), melainkan dapat mengatasi

masalah kekosongan hukum dengan melakukan penemuan hukum

disaat menemui suatu perkara yang belum diatur dalam peraturan

perundang-undangan maupun telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan namun tidak diatur secara lengkap atau

kurang jelas.

lxxvi

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku

A. Karim Nasution. 1976. Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana

I, II, III. Jakarta: Tanpa penerbit

Andi hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta

Artha Jaya.

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti P. 2005. Aspek-aspek Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Idonesia. Yogyakarta: UII Press

Darwan Prinst. 1998. Hukum Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.

Imam Soetikno dan Robby Krisnandha. 1998. Pokok-Pokok Hukum Acara

Pidana. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Universitas Sebelas Maret.

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana: Bagian Kedua.

Jakarta: Sinar Grafika.

Lexy J. Moleong. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan

Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.

Martiman Prodjohamidjojo. 1983. Komentar Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan

Dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Alumni.

R. Soesilo. 1994. Saksi dan Bukti. Ilmu Bukti dalam Proses Perkara Pidana

Menurut KUHAP. Bogor: Politeia.

Tim.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud.

Soerjono Sukanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sudikno Mertokusumo.1981. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:

Liberty.

lxxvii

___________________.2003.Mengenal Hukum Suatu Pengantar.

Yogyakarta: Liberty

Dari Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1

tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi

undang-undang

Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.