Laput SPektrum Juni

7
RUU PERTEMBAKAUAN DIBUAT UNTUK SIAPA? Emirza Nur Wicaksono (FK UNISSULA 2010) Intan Chairrany (FK UNSRI 2012) Rokok merupakan penyebab kematian terbesar didunia yang bisa dicegah. Satu dari 10 kematian orang dewasa disebabkan oleh rokok. Menurut Death Clock WHO, 71.309.505 orang tercatat telah meninggal dikarenakan penyakit terkait tembakau sejak 28 Oktober 1999 hingga sekarang. Sebatang rokok mengandung 4000 lebih zat berbahaya dan 70 diantaranya adalah zat karsinogenik. Apabila seseorang menghisap satu batang rokok maka orang tersebut akan lebih beresiko terkena penyakit berbahaya, yang menyebabkan produktivitas seseorang akan turun, serta akan menambah beban negara dan beban keluarga untuk mengobati penderita tersebut, hanya karena rokok. Perlu kita ketahui, Indonesia merupakan merupakan negara perokok nomor 3 terbesar didunia. Lebih dari 70 juta warga negara Indonesia adalah perokok aktif. Mirisnya, jumlah perokok semakin bertambah, yang mayoritas adalah anak dan remaja. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sekitar 100 juta orang lainnya adalah perokok pasif, padahal kalau si perokok itu menghisap satu hisapan rokok saja hanya 25% yang masuk ke paru dan 75% dibuang ke udara. Dari 25% yang dihisap, sekitar 12,5% dikeluarkan kembali keudara. Hasilnya sekitar 87,5 % total racun yang dikeluarkan di udara bebas dan ‘dihisap’ oleh perokok pasif. Semakin tahun jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat, salah satunya disebabkan oleh harga rokok yang semakin murah. Di Indonesia, rokok masih menjadi masalah besar karena cukainya sangat rendah, sehingga harga rokok pun menjadi sangat terjangkau bahkan bagi keluarga miskin yang pendapatannya pas-pasan. Di Indonesia harga rokok kretek termurah masih ada yang Rp5.000 atau Rp6.000 per bungkus. Bandingkan dengan Singapura dengan harga rokok per bungkus

description

laporan

Transcript of Laput SPektrum Juni

Page 1: Laput SPektrum Juni

RUU PERTEMBAKAUAN DIBUAT UNTUK SIAPA?Emirza Nur Wicaksono (FK UNISSULA 2010) Intan Chairrany (FK UNSRI 2012)

Rokok merupakan penyebab kematian terbesar didunia yang bisa dicegah. Satu dari 10 kematian orang dewasa disebabkan oleh rokok. Menurut Death Clock WHO, 71.309.505 orang tercatat telah meninggal dikarenakan penyakit terkait tembakau sejak 28 Oktober 1999 hingga sekarang. Sebatang rokok mengandung 4000 lebih zat berbahaya dan 70 diantaranya adalah zat karsinogenik. Apabila seseorang menghisap satu batang rokok maka orang tersebut akan lebih beresiko terkena penyakit berbahaya, yang menyebabkan produktivitas seseorang akan turun, serta akan menambah beban negara dan beban keluarga untuk mengobati penderita tersebut, hanya karena rokok. Perlu kita ketahui, Indonesia merupakan merupakan negara perokok nomor 3 terbesar didunia. Lebih dari 70 juta warga negara Indonesia adalah perokok aktif. Mirisnya, jumlah perokok semakin bertambah, yang mayoritas adalah anak dan remaja. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sekitar 100 juta orang lainnya adalah perokok pasif, padahal kalau si perokok itu menghisap satu hisapan rokok saja hanya 25% yang masuk ke paru dan 75% dibuang ke udara. Dari 25% yang dihisap, sekitar 12,5% dikeluarkan kembali keudara. Hasilnya sekitar 87,5 % total racun yang dikeluarkan di udara bebas dan ‘dihisap’ oleh perokok pasif.

Semakin tahun jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat, salah satunya disebabkan oleh harga rokok yang semakin murah. Di Indonesia, rokok masih menjadi masalah besar karena cukainya sangat rendah, sehingga harga rokok pun menjadi sangat terjangkau bahkan bagi keluarga miskin yang pendapatannya pas-pasan. Di Indonesia harga rokok kretek termurah masih ada yang Rp5.000 atau Rp6.000 per bungkus. Bandingkan dengan Singapura dengan harga rokok per bungkus Rp68.000, atau dengan Australia yang harganya berkisar Rp100.000 per bungkus. Lalu bagaimana caranya membatasi jumlah perokok Indonesia tanpa harus merugikan industri rokok? Mudah saja, naikan bea cukai rokok secara besar-besaran, apabila cukai rokok naik mencapai 300-500% maka pendapatan negara akan meningkat dan para perokok pun akan menurun jumlahnya. Dari survei yang dilakukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) tahun 2010 pada 2.000 orang perokok mengenai berapa harga rokok agar membuat mereka berhenti merokok, hasilnya adalah Rp25.000 per bungkus. Artinya harga rokok harus naik 2 hingga 4 kali lipat. Cukai tertinggi sekarang Rp375 (ini cukai rokok ya kak?) Kalau dihitung Rp350 saja, kita kalikan dua sudah Rp 700. Jadi paling tidak harga rokok termurah harus di atas Rp700 per batang. Itu pun harusnya tidak boleh dijual perbatang, sehingga harga rokok tidak terjangkau untuk anak-anak dan orang miskin. Disisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa industri rokok memang menyumbang lebih dari 30% pendapatan cukai Indonesia.

Selain karena harga rokok di Indonesia sangat murah, meningkatnya jumlah perokok juga dipengaruhi tampilan iklan rokok yang semakin menarik. Dari penelitian yang dilakukan Universitas Hamka dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), hampir semua anak (99,7%) melihat iklan rokok dan 68,2% diantaranya memiliki kesan positif dan 50% remaja

Page 2: Laput SPektrum Juni

perokok merasa lebih percaya diri seperti apa yang dicitrakan oleh rokok. Menurut Philip Morris (1981) Remaja sekarang adalah calon pelanggan esok hari, karena orang mulai merokok di usia remaja dan anak-anak. Salah satu perusahaan rokok menyikapi ketentuan penulisan label peringatan kesehatan pada produk rokok dengan baik dan menganggapnya sebagai komponen utama dalam kebijakan pemerintah terhadap tembakau. Mereka menyetujui penulisan yang jelas dan dapat dibedakan dengan merek dagang dan logo produk asalkan tidak berlebihan hingga menutupi elemen lain dari perusahaan agar tidak menghambat kompetisi dengan pesaing karena logo dan desain kemasan merupakan hak kekayaan intelektual.

Salah satu upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat dari rokok yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya nikotin dan juga zat-zat berbahaya lain yang terkandung dalam rokok. Didalam PP tersebut juga dijelaskan bahwa produsen tidak boleh menggunakan kata yang bersifat promotif didalam iklan rokok, serta tidak boleh mencantumkan merk ketika mendanai atau mensponsori sebuah kegiatan. Tapi sayangnya, sampai dengan Desember 2013 pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Perindustrian dan Kementrian Pertanian juga menyadari bhawa PP ini belum terimplentasi dengan baik. Padahal seharusnya PP inilah yang dapat menjadi batasan bagi semua pihak terkait untuk menindaklanjuti peredaran rokok dan produk hasil tembakau lainnya di Indonesia.

Namun tak lama kemudian, RUU Pertembakauan tiba-tiba diajukan oleh KNPK diawal tahun 2013 tanpa ada kajian, tanpa ada studi, dan tanpa ada presentasi sebelumnya, dan langsung masuk Prolegnas. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan merupakan salah satu rancangan dari 70 RUU yang masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013. Secara garis besar, RUU Pertembakauan berisi tentang tembakau dan beberapa produk dari tembakau, salah satunya rokok. Dimana RUU Pertembakauan diajukan KNPK untuk menjembatani kepentingan Industri Rokok. Dengan adanya RUU Pertembakauan maka UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No.109 tahun 2012 terkesan useless.

Disisi lain, WHO telah mencanangkan adanya Framework Convention Aliance Framework Convention Aliance yang dimotori oleh Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) sejak Oktober 1999 dan ditandatangani oleh 168 negara pada Mei 2003. Sampai saat ini tercatat 178 negara telah meratifikasi FCTC dan tergabung dalam aliansi, tidak termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia masih belum bisa menemukan sisi baik dari ratifikasi FCTC karena mempertimbangkan perjanjian internasional lain yang sebelumnya telah dilakukan Indonesia dan keberadaan PP No. 109 Tahun 2012. Pemerintah menganggap ketika sebuah negara berkembang bergabung dalam aliansi besar menyangkut masalah dunia, akan menjadi instrumen pengganti koloinialisme. Meski sebenarnya telah jelas peraturan bahwa penyelenggaraan kebijakan itu disesuaikan dengan politik negara masing-masing tetap ada kemungkinan negara maju akan mendorong semua anggota untuk mematuhi aturan-aturan baru yang mereka buat seiring review terhadap guideline FCTC. Keberadaan PP No. 109 Tahun 2012 juga menjadi bahan pemikiran pemerintah terutama Kemenperin dan

Page 3: Laput SPektrum Juni

Kemenpan, apakah kita bisa menerapkan peraturan internasional ketika kita bahkan belum mampu melaksanakan peraturan nasional dengan baik. Seandainya RUU Pertembakauan benar-benar diberlakukan sementara peraturan lain tidak diterapkan, maka akan timbul kesan pemerintah lebih mementingkan berkembangnya industri tembakau daripada kesehatan masyaakan. Dalam forum internal DPR RI sendiri masih ada anggota yang belum menyetujui RUU ini sebagai salah satu RUU yang harus diprioritaskan di tahun 2014, mengingat peraturan yang tertulis dalam RUU ini tidak menghiraukan dampak kesehatan.

Ada 3 permasalahan terkait RUU Pertembakauan antara lain masalah kesehatan, masalah lahan kerja petani tembakau dan isu kepentingan kelompok tertentu terkait implementasi RUU Pertembakauan ini. Karena 3 permasalahan tersebut sampai saat ini RUU Pertembakauan masih menjadi Pro dan Kontra. Apabila RUU Pertembakauan ini disahkan maka akan memperkuat industri rokok dengan melibas beberapa aspek lain, salah satunya aspek kesehatan. Padahal saat ini pertumbuhan industri rokok begitu pesat dibandingkan roadmap perindustrian. Sekarang ini, pihak industri rokok sedang gencar-gencarnya melakukan upaya untuk mempertahankan status quo nya di Indonesia, seperti memberikan sponsor atau beasiswa kepada pelajar atau mahasiswa agar seolah-olah keberadaan mereka diterima oleh masyarakat karena mereka berkontribusi kepada negara melalui pendidikan, lingkungan, olahraga, seni sampai agama supaya masyarakat percaya bahwa industri rokok itu peduli terhadap Negara. Karena itulah apabila RUU Pertembakauan ini disahkan, dikhawatirkan nantinya Indonesia bisa menjadi target utama dari industri rokok dunia atau dengan kata lain, Indonesia bisa menjadi surga dari pemasaran rokok dunia dan Indonesia akan semakin dijajah oleh kapitalisme industri rokok dunia.

Bagaimana jika RUU Pertembakauan tidak disahkan? Apakah petani tembakau akan merugi? Perlu kita tahu, area lahan pertanian tembakau cenderung turun dari waktu ke waktu. Pada tahun 2002 seluas 261 hektar, dan ditahun 2006 seluas 190 hektar. Secara otomatis jumlah petani tembakau di Indonesia juga turun. Saat ini luas lahan tembakau di Indonesia juga hanya terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu Jawa Timur (108 ribu hektar atau 55% dari total lahan tembakau), Jawa Tengah (44 ribu hektar atau 22%), dan Nusa Tenggara Barat (NTB) (24 ribu hektar atau 12%). Dengan kata lain, 90% lahan tembakau berada di tiga provinsi ini. Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah juga merupakan lokasi terbanyak lahan tembakau di Indonesia, tetapi tidak semua kabupaten menanam tembakau seperti halnya Jawa Timur sentra tanaman tembakau di Kabupaten Pamekasan, Bojonegoro, dan Probolinggo. Sedangkan di Jawa Tengah hanya berada di Temanggung, Klaten dan Kendal. Meskipun area lahan pertanian tembakau cenderung turun, namun produksi rokok meningkat sangat pesat karena tembakau yang digunakan pengusaha rokok di Indonesia mayoritas adalah tembakau impor dan tidak ada hubunganya dengan pendapatan para petani tembakau. Karena data dari Badan Statistik Upah juga menyebutkan bahwasanya para petani tembakau tidak menggantungkan seluruh mata pencaharianya dari tembakau, karema pendapatan dari petani tembakau tidak lebih dari Rp.700.000,- dan tembakaupun juga merupakan “tanaman musiman” atau dengan kata lain, pekerjaan petani tembakau pun merupakan pekerjaan musiman, bukan pekerjaan tetap. Begitu pula dengan para pekerja di industri rokok yang dari tahun ketahun juga cenderung mengalami penurunan karena pada industri rokok sekarang

Page 4: Laput SPektrum Juni

lebih kepada mekanisasi dan teknologi lain yang lebih modern ketimbang tenaga manusia untuk meningkatkan efisiensi. Kecenderungan terjadinya mekanisasi produksi rokok di Indonesia sebagai salah satu contoh telah mengurangi biaya pekerja secara substansial.

Lalu bagaimana pemasukan pendapatan negara jika RUU Pertembakauan tidak disahkan dan kita menerapkan PP No. 109 tahun 2012? Memang jika dilihat pendapatan negara yang diperoleh dari rokok memang sangat besar dan industri rokokpun menyerap banyak sekali tenaga kerja. Namun dibalik keuntungan yang besar tersebut terselip kerugian yang sangat besar pula nilainya. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, pemasukan yang diterima dari rokok sebesar 55 triliun rupiah, namun pengeluaran makro yang dikeluarkan akibat dari efek rokok tersebut mencapai 241,5 triliun rupiah. Apalagi di saat sekarang ini dimana Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sudah diberlakukan, yang berimbas pada bertambahnya beban pemerintah karena harus menanggung lebih dari 80 triliun untuk mengobati penyakit akibat rokok. Jadi industri rokok tidak mempunyai peran besar dalam pembangunan bangsa ini, bahkan apabila RUU Pertembakauan ini disahkan, produktifitas dari orang Indonesia turun dan angka kesakitan meningkat yang menyebabkan beban negara yang akan bertambah karena akan memayungi perkembangan industri rokok.

Dari hal yang dikemukakan, jelas bahwa intinya masalah pertembakauan tidak perlu diatur sendiri didalam undang-undang karena RUU Pertembakauan tidak jelas tujuannya dan ditujukan kepada siapa. Disahkannya RUU Pertembakauan ini juga akan merugikan banyak orang ketimbang keuntunganya yang hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Selain itu adanya RUU Pertembakauan juga bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwasanya negara wajib memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah peraturan mengenai Pengendalian dari Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, bukan RUU Pertembakauan yang akan “menghancurkan” Indonesia secara perlahan.

Tambahan: tapi saya ga tau ini bagusnya ditaro dimana

Indonesia memang berada dalam kungkungan kemungkinan-kemungkinan mengerikan selama masih belum mampu menata pemerintahan dan memutuskan kebijakan yang baik untuk masyatrakatnya. Jika masih memilih industri rokok, ada kemungkinan Indonesia semakin tenggelam dalam kapitalisme dunia. Jika menyetujui ratifikasi FCTC, ada kemungkinan Indonesia kembali terjajah oleh kolonialisme kebijakan. Kemungkinan-kemungkinan ini seharusnya dapat dihindari apabila pemegang kekuasaan mampu menentukan hal terbaik untuk Indonesia dengan mempertimbangkan semua sisi positif dan negatifnya.