Lapsus Jantung

28
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Decompensatio Cordis Decompensatio Cordis (gagal jantung) didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso dkk, 2007). 3.2 Epidemiologi Decompensatio Cordis Decompensatio Cordis merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin berkembang, dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan decompensatio cordis pada populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi decompensatio cordis mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10% individu berumur 65 tahun keatas. Walaupun insiden pada decompensatio cordis relatif lebih rendah pada wanita dibanding pria, wanita paling tidak merupakan 50% dari populasi pasien decompensatio cordis karena harapan hidup mereka yang lebih panjang. Di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan Eropa, resiko terkena 14

description

Decompensatio Cordis (gagal jantung) didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien

Transcript of Lapsus Jantung

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA3.1 Definisi Decompensatio CordisDecompensatio Cordis (gagal jantung) didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso dkk, 2007).

3.2 Epidemiologi Decompensatio Cordis

Decompensatio Cordis merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin berkembang, dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan decompensatio cordis pada populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi decompensatio cordis mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10% individu berumur 65 tahun keatas. Walaupun insiden pada decompensatio cordis relatif lebih rendah pada wanita dibanding pria, wanita paling tidak merupakan 50% dari populasi pasien decompensatio cordis karena harapan hidup mereka yang lebih panjang. Di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan Eropa, resiko terkena decompensatio cordis berkisar 1 dari 5 individu berumur 40 tahun keatas. Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. Gagal jantung menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005 (Abdurachman N. 1987 ).3.3 Etiologi Dan Faktor Pencetus Decompensatio Cordis

Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat (Prasetyanto H, 2010).

Menurut Cowie (1999), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama:

1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati). 2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi). 3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup. 4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi). 5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).6. Kelainan kongenital jantung. Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus: Faktor Predisposisi: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral, dan penyakit pericardial (Prasetyanto H, 2010).

Faktor Pencetus Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake) garam, ketidak patuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif (Prasetyanto H, 2010).

3.4 Tanda Dan Gejala Decompensatio Cordis

Pada tahap simtomatik di mana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti cepat capek (fatik), sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali dan edema sudah jelas maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide (Necel.2009).

3.5 Kriteria Decompensatio Cordis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, EKG/foto thorax, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Major atau Minor Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor (Santoso A.2007).3.6 Klasifikasi Decompensatio Cordis1. Klasifikasi Gagal jantung sistolik dan diastolic

a) gagal jantung sistolik

Gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya penekanan kontraktilitas darah keseluruh miokard. Gagal jantung sistolik akut terlihat pada miokarditis akibat virus, keracunan alcohol, dan anemia, sedangkan gagal jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati atau infark miokard.

b) gagal jantung diastolik

Gagal jantung diastolic terjadi akibat dari pengisian jantung yang terganggu. Hal ini biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat mekanisme patologi yang dihasilkan pada gagal jantung jenis ini telah diketahui.

1. Penyakit struktural

2. Kerusakan katup jantung

3. Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik

4. Efusi pericardial

5. Abnormal fisiologis

6. Peningkatan volume sistolik akhir

7. Pengurangan waktu pengisisan sebagaimana tampak pada takikardia

8. Abnormalitas non-miosit

9. Peningkatan jaringan ikat

10. Perikarditis kontriktif

11. Abnormalitas miosit

Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan New York Association (NYHA) : KelasGejala

Klas Itidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.

Klas IIgejala timbul pada aktivitas sehari-hari.

Klas IIIgejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari

Klas IVgejala timbul pada saat istirahat.

1. Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan American Heart AAssociation (AHA)

3.7 Patofisiologi Decompensatio CordisGagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan mortalitas berkisar antara 15-50% per tahun, bergantung pada keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebandingg dengan usia, dan resiko pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk mengeluarkan darah. Manifesti gagal jantung yang utama adalah (1) sesak napas dan rasa lelah, yang membatasi kemampuan melakukan kegiatan fisik; dan (2) retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut menggangu kapasitas fungsional dan kualitas hisup pasien, tetapi tidak selalu ditemukan bersama pad seorang pasien. Ada pasien dengan aktivitas fisik terbatas tanpa retensi cairan, tetapi juga ada pasien dengan edema tanpa sesak napas atau rasa lelah. Tidak semua pasien disertai edema pada awal diagnosis ataupun selanjutnya, karena itu istilah gagal jantung lebih tepat dari pada gagal jantung kongesif (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

Pada kebanyakan pasien dengan gagal jantung, disfungsi diastolik ditemukan bersama. Pada disfungsi sistolik, kekuatan kontraksi ventrikel kiri terganggu sehingga ejeksi darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Pada disfungsi diastolik, relaksasi dinding ventrikel terganggu sehingga pengisian darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Berkurangnya curah jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala gagal jantung, sebagai akibat langsung dan/atau kompensasinya. Disfungsi sistolik biasanya terjadi akibat infrak miokard yang menyebabkan kematian sebagian sel otot jantung, sedangkan disfungsi diastolik biasanya terjadi akibat hipertensi yang menyebabkan kompensasi miokard berupa hipertrofi dan kekakuan dinding ventrikel. Sel miokard yang mati pada infrak miokard diganti dengan jaringan ikat, dan pada sel mookard yang tinggal (jumlahnya telah berkurang) terjadi hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

Patofisiologi gagal jantung sistolik dapat di lihat pada Gambar 19-1. Kompensasi pada gagal jantung sistolik terjadi melalui 2 mekanisme utama, yaitu sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron(RAA). Aktivitas sistem simpatis terjadi sebagai reaksi terhadap penurunan curah jantung yang dipersepsi oleh baroreseptor. Peningkatan aktivitas simapatis menyebabkan peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung melalui stimulasi reseptor adrenergik B1 di jantung. Akibatnya terjadi peningkatan curah jantung sebagai kompensasi terhadap penurunan curah jantung pada gagal jantung sistolik. Aktivitas sistem RAA di mulai dengan sekresi renin oleh sel jukstaglomerular di ginjal melalui stimulus reseptor adregenerik 1 dan sebagai reaksi terhadap berkurangya perfusi ke ginjal. Sekresi renin akan menghasilkan angiotensin 2 yang memiliki dua efek utama yaitu sebagai vasokonstriktor kuat dan sebagai perangsang produksi aldosteron di korteks adrenal. Efek vasokonstriksi dan aktivitas simpatis dan Ang II akan meningkatkan beban hulu (preload) dan beban hilir (afterload) jantung, dan aldostreon menyebabkan retensi air dan natrium yang akan menambah penigkatan preload jantung. Tekanan pengisian ventrikel (preload) yang meningkat akan meningkatkan curah jantung (menurut hubungan Frank-Starling) sebagai mekanisme kompensasi (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

Akan tetapi mekanisme kompensasi ini tidak berjalan lama, karena dengan berjalannya waktu, mekanisme kompensasi tersebut justru memperburuk disfungsi miokard. Dengan tujuan untuk tetap meningkatkan curah jantung yang kurang, terjadilah perubahan maladaptasi berupa hipertrofi dinding ventrikel untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan ekspansi volume ventrikel untuk meningkatkan meningkatkan tekanan dinding ventrikel sehingga meningkatkan kontraktilitas miokard. Akan tetapi perubahan maladaptasi tersebut , terutama peningkatan dinding ventrikel yang berlebih akan menyebabkan apoptosis sel jantung dan proliferasi jaringan ikat sehingga kontraktilitas miokard akan menurun. Proses yang menghasilkan perubahan maladaptaasi dalam struktur dan fungsi jantung ini disebut proses remodeling jantung. Selain itu melalui peningkatan stres hemodinamik pada ventrikel, aktivasi sitem neurohormonal endogen, sendiri maupun bersama-sama memiliki, juga memiliki efek toksik langsung pada sel jantung untuk terjadinya remodeling jantung dengan menstimulasi terjadinya apoptosis dan fibrosis miokard (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

Proses remodeling jantung merupakan proses yang progresif, sehingga akan berjalan terus tanpa perlu adanya kerusakan berulang pada jantung.proses remodeling jantung yang progresif ini menyebabkan kontraktilitas miokard akan makin menurun, sehingga curah jantung akan makin menurun. Disamping itu peningakatan after load juga akan menurunkan curah jantung akibatnya terjadi dekompensasi kordis (Setiawati A dan Nafrialdi, 2007).

3.8 Diagnosis Decompensatio Cordis Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Hobbs FDR.2000).Pada pemeriksaan penunjang maka lakukan pemeriksaan foto dada,elektrokardiografi dan darah lengkap (Watson RDS.2000, Lee TH.2005).3.9 Pemeriksaan Penunjang Decompensatio Cordis1. Rontgen Thorax

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Davies MK, 2000; Nieminen MS, 2005).

2. EKG

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya (Davies MK, 2000).

3. Ekokardiografi

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Davies MK, et al., 2000).

4. Darah lengkap

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml (Santoso A, 2007; Davies MK, et al., 2003; Watson RDS,et al. 2000; Gillespie ND, 2005; Abraham WT dan Scarpinato L, 2002). 3.10 Penatalaksanaan Decompensatio CordisTindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5 aspek (Gillespie ND, 2005).

1. Mengurangi beban kerja jantung

2. Memperkuat kontraktilitas miokard

3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan

4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab

5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.

1. Terapi non farmakologi 1. Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan 2. Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari

3. Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol

4. Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara tiba-tiba

5. Mengurangi berat badan pada obesitas

6. Hentikan kebiasaan merokok

7. Konseling mengenai obat. 2. Terapi Farmakologi

Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang asli (Santoso, 2007) Tiga golongan tersebut adalah :

1. Vasodilator

Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang). Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral misalnya pada pasien setelah operasi (Santoso, 2007).

Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri. Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina tak stabil (Santoso, 2007).Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi atau reguitasi katub berat (Santoso, 2007).2. Vasodilator Oral

a) Penghambat ACE

Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II, menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron (Massie dan Amidon, 2002). Obat yang serba guna tersebut menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan afterload, menurunkan resistensi air dan garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan menurunkan preload (Santoso, 2007).

b) Angiotensin reseptor bloker (ARB)

Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida dalam jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang tidak dapat menerima pendapat ACE (Massie dan Amidon, 2002). Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi gagal adalah losartan, valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain (Santoso, 2007).c) Beta-Bloker

Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung situasi kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta bloker digunakan pada pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atuau berat (Santoso, 2007).

Obat ini digunakan untuk terapi gagal jantung adalah karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate (Santoso, 2007).

d) Antagonis kanal kalsium

Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi ventrikal kiri (Santoso, 2007).Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan angina dan untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan pada pasien gagal jantung (Santoso, 2007).e) Nitrat

Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara langsung (Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah Isosorbit mono nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND) (Santoso, 2007).

f) Hidralazin

Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung setelah konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry, 1995). Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan output kardiak pada pasien gagal jantung kongestif (Santoso, 2007).g) Diuretik Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi cairan yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulus distal ginjal (Santoso, 2007).Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan jam (Santoso, 2007).

h) Obat-obat Inotropik

Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot jantung (Santoso, 2007).

i) Digitalis

Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi berikut

1. Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol

Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik (Santoso, 2007)

2. Peningkatan kontraktilitas otot jantung Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung berhenti (berkurang) (Santoso, 2007).

Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pada pasien dengan gagal jantung sebelah kanan atau diastolik. Obat yang termasuk dengan golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -ATPase di dalam jaringan ini (Santoso, 2007).j) Agonis - adrenergic

Stimuli - adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan dobutamin (Santoso, 2007).

k) Inhibitor fosfodiesterase

Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik AMP. Ini menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan mirinon (Santoso, 2007).l) Antagonis aldosteron

Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal dalam serum (Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi potassium (Santoso, 2007).

3.11 Algoritma Terapi

Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines, 2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al., 2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards, 2003)(Susilo F, 2010).

3.12 Komplikasi Decompensatio Cordis1) Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan (Maggioni AP,2005).2) Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan cairan dari gagal jantung (Maggioni AP,2005).3) Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar (Maggioni AP,2005).4) Serangan jantung dan stroke.Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke (Maggioni AP,2005).3.13 Prognosis Decompensatio CordisWalaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan decompensatio cordis, perkembangan decompensatio cordis, masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan memburuknya decompensatio cordis, atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan karena adanya aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart Associtaion (NYHA) class IV] memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun, dimana pasien dengan gejala pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor penting untuk outcome pasien (Watson RDS.2000).1425