Lapsus
-
Upload
heron-titarsole -
Category
Documents
-
view
244 -
download
8
description
Transcript of Lapsus
BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS
UNIVERSITAS PATTIMURA APRIL 2015
“ANESTESI NASOTRAKEAL INTUBASI PADA PEDIATRI DENGAN
TONSILEKTOMI”
Oleh:
Heron R.F. Titarsole
(NIM : 009-83-048)
Pembimbing: dr. Fahmi Maruapey, Sp. An
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut
tonsillitis kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis
kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera
ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi. Tonsilektomi yang
didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal dari bahasa latin tonsilia
yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari bahasa
yunani ectomy yang berarti eksisi.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan
dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan
lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. D. K
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
No. RM : 07 - 54 – 15
Alamat : latuhalat
Gol. Darah : O
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 95 cm
Tanggal MRS : 24 Maret 2015
Agama : Kristen Protestan
Suku/Bangsa : Indonesia
Bangsal/Kamar : Ruang THT
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 25 Maret 2015
a. Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 1
tahun yang lalu. Nyeri telan tidak disertai dengan ngorok maupun
nafas tersengal-sengal saat tidur. Makan dan minum pasien biasa. Saat
ini pasien tidak mengeluhkan pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua
telinga, kurang pendengaran, sakit kepala dan demam. Dalam 1 bulan
terakhir kambuh 2 kali.
c. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat asma disangkal
d. Riwayat penyekit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan
pasien disangkal.
e. Riwayat Operasi & Anestesi
-
f. Riwayat Alergi
Riwayat Alergi makanan dan obat-obatan disangkal
g. Riwayat Obat-Obatan
-
h. Kebiasaan Sosial
-
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 25 Maret 2015
Status Gizi : Cukup.
Keadaan Psikis : Gelisah.
B1 : A: bebas; B: spontan; RR: 22 x/m reguler; Inspeksi: pergerakan
dada simetris ki=ka; Auskultasi: suara napas vesikuler ki=ka; T1:
penonjolan gigi atas (-), gigi palsu (-), gigi goyang (-); T2: lidah
besar (-); T3: trismus (-); T4: hipertrofi tonsil (+); T5: torticolis (-),
T6: jarak antara tiroid dengan simfisis mandibula 3 jari; T7: deviasi
trakea (-), T8: nodul tiroid (-).
B2 : Akral hangat, kering, merah; TD: 110/55 mmHg; N: 102 x/m
reguler, kuat angkat; Suhu: 36,7°C; S1S2 reguler, murmur (-),
gallop (-).
B3 : Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
B4 : BAK spontan
B5 : Inspeksi: sikatriks (-), Palpasi: NT(-), Auskultasi: BU (+).
B6 : Fraktur (-), oedem (-).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan 17-03-2015 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 12,6 11,5-17,0 g/dL
Leukosit 7600 4000-10000/L
Hematokrit 41,5 37-54%
Eritrosit 5,84x106 3,60-6,50x106/
Trombosit 413000 150000-500000/L
MCV 78 80,0-100 fl
MCH 23,8 27,0-36,0 pg
MCHC 30,4 32,0-36,0 %
Gol. Darah O
Masa Pendarahan 1’ 1-3 menit
Masa Pembekuan 5’ 2-6 menit
Kimia Klinik
SGOT 16 < 33 U/L
SGPT 10 < 50 U/L
Ureum 16 10-50 mg/dL
Creatinin 0,5 0,7-1,2 mg/dL
GDP 66 80-100 mg/dL
E. DIAGNOSIS
Diagnosis Anestesi: PS ASA I
Diagnosis Klinik: Tonsilitis Kronik
F. PLANNING
a. Pro Tonsilectomy
b. Pasien dipuasakan 5-6 jam sebelum operasi
c. Jenis Anestesi: General Anestesi
d. Pasang IV line
e. Pemberian antibiotic prfolaksis
f. Injeksi Ranitidin 25 mg / iv
G. PRE OPERATIF
1. Diagnosa Pra Bedah : Tonsilitis Kronis
2. Diagnosa Post Bedah : Tonsilitis Kronis
3. Jenis pembedahan : Tonsilektomy
4. Jenis anestesi : General anestesi Nasal intubasi
5. Lama operasi : 09.10-09.35 WIT
6. Lama anestesi : 09.00-09.55 WIT
7. Teknik anestesi :
a) Pasien diposisikan pada posisi supine dengan IV line pada tangan kiri,
cairan RL 44tpm
b) Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
c) Obat Midazolam dosis 1,5 mg dan fentanyl 40ug diberikan intravena
untuk tujuan premedikasi.
d) Preoksigenasi/denitrogenisasi diberikan O2 100% dalam 3-5 menit
e) Dilakukan induksi dengan propofol 80mg/iv
f) Dilakukan pemberian muscle relacsan atracurium 15 mg/iv
g) Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil
untuk dilakukan Nasal intubasi.
h) Dilakukan insersi ETT no 4, dilakukan ventilasi dengan oksigenasi.
i) Cek suara napas pada semua lapangan paru dan lambung dengan
stetoskop, dipastikan suara napas dan dada mengembang secara
simetris. ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan
ventilator.
j) Maintenance dengan inhalasi oksigen 3 lpm dan sevoflurane 1,5%.
H. INTRA OPERATIF
1. Premedikasi : midazolam 1,5 mg, fentanyl 40ug
2. Induksi : Propofol 80mg
3. Maintanance : Sevofluran 1,5% dan Oksigen 3lpm
4. Obat relaksasi : Atracurium 15 mg
5. Obat antiinflamasi : Dexametason 5 mg
6. Obat antiperdarahan / fibrinolisis : Asam Transenamat 125 mg
7. Obat reversal : SA : neostogmin 1 : 1
8. Keseimbangan cairan :
a) Cairan masuk :
Pre-Operatif : RL 500cc
Intra-Operatif : RL 300cc
b) Cairan keluar :
Perdarahan : 30ccc
Produksi urin : -
LAMPIRAN LEMBAR OBSERVASI INTRAOPERATIF
I. POST OPERATIF
1. Pasien masuk ruang pemulihan pukul 10.00 WIT
2. Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), nyeri (-)
3. Pemeriksaan Fisik:
B1: Airway bebas, napas spontan, RR: 24 x/m, Rh (-), Wh (-).
B2: Akral hangat, kering, merah, nadi: 104 x/m, TD: 140/87 mmHg, BJ I
II reguler, murmur (-), gallop (-).
B3: Sadar, GCS: E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya +/+,
B4: -
B5: BU (+).
B6: edema (-), fraktur (-)
4. Post of pain management : Novalgin 250 mg
5. Pasien dipindahkan ke ruangan THT Manipa
6. Terapi:
Puasa sampai jam 15.00
Diet cair TKTP
Infus RL 16 tpm
Inj Ceftriaxon 500 mg /12 jam /IV
Inj Metilprednisolon 62,5mg /12 jam/IV
Inj Ketorolac 15 mg/ 12 jam/ IV
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius ( lateral band
dinding faring / gerlach’s tonsil).
Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena
sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak
diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri
yang sama terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri
gram positif. Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti
Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus group A.
Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
- Rangsangan kronis (rokok, makanan)
- Hygiene mulut yang buruk
- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
- Alergi (iritasi kronis dari alergen)
- Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)
- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari
rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2)
gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di
kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Terdapat proses peradangan berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga adanya proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
dan kripta melebar. Secara klinis kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses
berjalan terus sehingga menembs kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekantan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris.
Menurut The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compedium tahun 1995 menetapkan indikasi
tonsilektomi yaitu :1
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan malokulsi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale
4. Rhintis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsiler yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grop A streptokokus B
hemolitikus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa atau otitis media supuratif
Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi
otot
Adapun indikasi dari anestesi umum adalah sebagai berikut:
a. Bayi dan anak-anak.
b. Dewasa yang ingin di anestesi umum.
c. Prosedur operasi yang lama dan rumit.
d. Pasien dengan gangguan mental
e. Pasien dengan riwayat alergi terhadap obat anestesi lokal
f. Pasien dalam pengobatan antikoagulan
Berikut merupakan perbedaan anatomi maupun fisiologis pada anak dan
orang dewasa.
Jalan Napas
JALAN NAPAS INFAN SIGNIFIKANSI
Pernapasan hidung yang obligat, nares sempit
Infan bernapas hanya melalui hidung yang mudah tersumbat oleh sekresi
Lidah yang besar Dapat menyumbat jalan napas dan membuat laringoskopi dan intubasi lebih sulit
Oksiput yang besar Sniffing positon tercapai dengan mengganjal bahunya
Glottis terletak pada C3 bayi yang prematur, C3-C4 bayi baru lahir, dan C5 dewasa
Laring terletak lebih anterior; penekanan krikoid sering dapat membantu visualisasi
Laring dan trakhea berbentuk seperti corong
Bagian tersempit trakhea adalah krikoid; pasien sebaiknya dipasangkan ETT berukuran < 30 cm H2O untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mukosa trakhea, barotrauma
Pita vokalis lebih miring ke anterior
Insersi ETT mungkin lebih sulit
ETT = Endotracheal Tube
Sistem Pulmonal
SISTEM PULMONAL ANAK- SIGNIFIKANSI
ANAKAlveoli yang sedikit dan lebih kecil Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13
kali lebih banyak dibanding bayi baru lahir
Kemampuan pengembangan lebih kecil Kurang elastis
Kecenderungan kollaps jalan napas lebih besar
Resistensi jalan napas lebih besarJalan napas lebih kecil
Tenaga untuk bernapas lebih besar dan penyakit lebih rentan menyerang saluran napas yang kecil
Iga-iga lebih horizontal, lebih lunak, dan mengandung lebih banyak kartilago
Mekanisme kerja dinding dada tidak efisien
Mengadung otot tipe-1 (yang sangat oksidatif) yang lebih sedikit
Bayi lebih mudah lelah
Kapasitas total paru (TLC) kurang, RR dan metabolik lebih cepat
Desaturasi terjadi lebih cepat
Volume akhir lebih besar Ventilasi ruang rugi lebih tinggi
Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin.
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan
tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:1,7
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
Tabel 1. The American Society Of Anesthesiologist Physical status (ASA PS)
system.
ContohASA I Pasien normal, sehat. Sehat, tidak merokok, tidak atau
sedikit menggunakan alcoholASA II Pasien dengan penyakit
sistemik ringan.Penyakit ringan tanpa keterbatasan fungsi. Misalnya perokok berat, peminum alkohol, kehamilan, obesitas (30<BMI<40), hipertensi dan DM terkontrol dan penyakit paru sedang
ASA III Pasien dengan penyakit sistemik berat
Terdapat keterbatas fungsi; satu atau lebih penyakit sistemik sedang sampai berat contohnya kontrol hipertensi atau DM yang buruk, COPD, obesitas (BMI > 40), hepatitis, ketergantungan alcohol, penggunaan pacemaker implant, penurunan sedang fraksi ejeksi, dialisis, bayi prematur PCA < 6 minggu, riwayat (> 3 bulan) MCI, CVA, TIA, atau CAD/Stents.
ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat dan secara langsung mengancam kehidupannya setiap saat.
Contoh: sepsis, DIC
ASA V Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya .tidak akan lebih dari 24 jam
Contoh: ruptureaneurisma abdominal atau thoracis, trauma massif, perdarahan intrakranial dengan massa.
ASA VI Brain death pada pasien yang organnya diambil dengan tujuan donor organ.
Penambahan huruf ”E” untuk pasien yang emergency.b.
a. Pemeriksaan praoperasi anestesi 7,8
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,
jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif
pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : Palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
a. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien.
b. menghilangkan rasa khawatir.
c. membuat amnesia.
d. memberikan analgesia.
e. mencegah muntah.
f. memperlancar induksi.
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia.
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
j. Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien,
berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat
penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya
anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana
anestesi yang akan digunakan
Obat-obatan Premedikasi
Benzodiazepine
Derivate benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
diazepam dan midazolam. Derivate yang lain adalah: klordiazepoksid, nitrazepam
ddan oksazepam.
Efek pada organ
- Sistem saraf pusat dan medulla spinalis
Mempunyai efek sedasi dan a nti cemas yang bekerja pada sistem limbik dan
pada ARAS serta bisa menimbulka amnesia anterograd. Sebagai obat anti kejang
yang bekerja pada kornu anterior medulla spinalis dan hubungan saraf otot. Pada
dosis kecil bersifat sedative, sedangkan dosis tinggi bersifat hipnotik.
- Respirasi
Pada dosis kecil (0,2 mg/kg bb) yang diberikan secara intravena,
menimbulkan depresi ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan
narkotik menimbulkan depresi napas yang lebih berat.
- Kardiovaskular
Pada dosis kecil, epngaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut
jantung, akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan
oleh efek dilatasi pembuluh darah.
- Neuromuskular
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra
spinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita
kekakuan otot rangka seperti pada tetanus.
Penggunaan klinis
Dalam praktek anestesia obat ini digunakan sebagai:
- Premedikasi, diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kgbb atau
peroral dengan dosis 5-10 mg.
- Induksi intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kgbb
- Sedasi pada anestesia regional diberikan intravena
- Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
- Pada pemberian intramuskular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur
dengan obat lain karena bisa terjadi presipitasi.
Jalur vena yang dipilih sebaiknya vena-vena besar untuk mencegah terjadinya
flebitis. Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa
nyeri pada daerah suntikan.
Kemasan
Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan
untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah
digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi
inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi
nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh
efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh
nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan
untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1.
Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)
diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan
dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut
sebagai neurolepanestesia1
Induksi anestesi umum
Induksi adalah usaha membawa/ membuat kondisi pasien dari sadar ke
stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesia dan pembedahan.
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi
anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit sebelum
induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Untuk persiapan induksi anestesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S = Scope : Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung,
Laringoscope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
T = Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
> 5 tahun dengan balon (cuffed).
A = Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T = Tape: Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer: Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokakkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C= Connector: Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia .
S = Suction : Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat
ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi,
misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang
dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat
terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai.
Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit,
sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama
kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau
pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada
suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
Intubasi nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan oral intubasi kecuali bahwa TT dimasukan
melalui hidung dan nasofaring ke orofaring sebelum laringoskopi. Lubang hidung
di mana pasien bernafas paling mudah dipilih. Hidung ditetesi fenilefrin tetes
(0,5% atau 0,25%) untuk memvasokonstriksikan pembuluh darah dan menciutkan
selaput lendir. Namun, pemberian berlebihan fenilefrin hidung menyebabkan
hipertensi, takikardia, dll Jika pasien sadar, anestesi lokal tetes dan blok saraf juga
dapat dimanfaatkan
Sebuah TT dilumasi dengan jelly diolesi di sepanjang dasar hidung, bawah
konka inferior pada sudut tegak lurus ke wajah. Bevel tabung harus diarahkan
lateral jauh dari turbinat. Untuk memastikan bahwa tabung melewati sepanjang
lantai rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus ditarik. Hidung dengan TT,
saluran udara, atau kateter nasogastric berbahaya pada pasien dengan trauma
midfasial parah karena risiko terkena intrakranial. Walaupun sudah kurang
digunakan, intubasi ini dapat berhasil.
Kuhn pada tahun 1902 adalah orang yang pertama mnggunakan teknik
intubasi nasotrakeal. Teknik nasotrakeal intubasi selanjutnya dipopulerkan pada
tahun 1920 oleh Magill , yang teknik ini lebih digunakan untuk operasi intra-oral.
Indikasi untuk intubasi nasotrakeal yaitu :
Operasi kepala dan leher
Intra-oral dan bedah oropharyngeal
Prosedur intra-oral Complex melibatkan segmental mandibulectomy dan
prosedur rekonstruksi mandibula.
Rigid laryngoscopy and operasi microlaryngeal
Operasi gigi.
Indikasi umum:
Intubasi pasien dengan patologi intra-oral termasuk lesi obstruktif atau
kelainan struktural dan trismus
Intubasi pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang leher
Intubasi pasien dengan sindrome obstructive sleep apnea
Bidang bedah diperbesar, bahkan untuk operasi rutin seperti tonsilektomi.
Komplikasi yang paling tersering yaitu terjadinya epistaksis
Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anestesia , pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose.
Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis
tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah
dari full dose ataupun maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah
(geriatri, pasien pre-syok).
Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik
setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga
efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan
kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat
(kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi
pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan
venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya
adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol
cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus.
Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat,
dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total
anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya
melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim
hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam
memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan
intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari
tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan
cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi
langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol
tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih
sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50
mg)
Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena
atau dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1
aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian
kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.
Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti
dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki
sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat
pasien tertidur.
Sevofluran
Sevofluran terhalogenasi dengan fluor. Sevofluran larut dalam darah sedikit
lebih besar dari desfluran (lamda b/g 0.65 berbanding 0.42). bau yang tidak tajam
dan cepat meningkat pada konsentrasi alveolar membuat sevofluran menjadi
pilihan untuk induksi inhalasi yang halus dan cepat pada pasien anak dan dewasa.
Bahkan induksi inhalasi dengan 4-8% sevofluran dalam campuran 50% N2O dan
oksigen dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit.8
Efek pada sistem organ
a. Kardiovaskular
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia.
Sevofluran dapat memperpanjang interval QT namun signifikasi klinisnya tidak
diketahui.
b. Pernapasan
Sevofluran menekan pernapasan dan membalikan bronkospasme ke tingkat yang
sama dengan isofluran.
c. Cerebral
Mirip dengan isofluran dan desfluran, sevofluran sedikiti meningkatkan CBF
dan tekanan intrakranial pada normocarbia, meskipun beberapa studi
menunjukkan penurunan aliran darah otak. Konsentrasi tinggi sevofluran (> 1,5
MAC) dapat mengganggu autoregulasi dari CBF, sehingga memungkinkan
penurunan CBF selama hemoragik hipotensi. Efek autoregulasi CBF tampaknya
kurang menonjol dibandingkan dengan isoflurane. Kebutuhan oksigen metabolik
serebral menurun, dan aktivitas kejang belum dilaporkan.
d. Neuromuskular
Sevoflurane menghasilkan relaksasi otot cukup untuk intubasi anak setelah
induksi inhalasi.
e. Ginjal
Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ginjal. Walaupun sedikit dirusak
oleh kapur soda tetapi belum ada laporan membahayakan tubuh manusia.
a. Hepar
Sevofluran menurunkan aliran darah vena porta, namun meningkatkan aliran
darah arteri hepar, mempertahankan aliran darah total hepar dan penggunaan
oksigen. Ini tidak berkaitan dengan terjadinya reaksi immune induksi anestetik
penyebab hepatotoksik.
Biotransformasi dan Toksisitas
Enzim mikrosomal P-450 (khusus isoform 2E1) memetabolisme sevoflurane
1/4 lebih rendah dari halotan (5% berbanding 20%), tetapi 10 sampai 25 kali dari
isoflurane atau desflurane dan dapat dirangsang dengan etanol atau fenobarbital
pretreatment. Potensial terjadinya nefortoksisitas merupakan hasil dari
meningkatnya Fluorida (F). Konsentrasi fluoride serum melebihi 50 umol / L
pada sekitar 7% dari pasien yang menerima sevoflurane, namun disfungsi ginjal
yang signifikan secara klinis belum dikaitkan dengan anestesi sevoflurane.
Umumnya, tingkat metabolisme sevofluran adalah 5%, atau 10 kali lipat dari
isoflurane. Meskipun demikian, belum ada hubungan dengan kadar puncak
fluoride setelah pemberian sevoflurane dan setiap kelainan ginjal akibat
akumulasinya.8Alkali seperti barium hydroxide lime atau soda lime dapat
menurunkan sevoflurane, produksi lain yang terbukti yaitu (setidaknya pada tikus)
produk akhir bersifat nefrotoksik (senyawaA,fluoromethyl-2,2-difluoro
1[trifluoromethyl]vinylether).Akumulasi senyawa A meningkat dengan
peningkatan suhu gas pernapasan, aliran rendah, barium hidroksida kering
penyerap (Baralyme), konsentrasi sevoflurane tinggi, dan anestesi durasi panjang.
Banyak studi mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara sevofluran
dengan berbagai penurunan fungsi ginjal mengindikasikan toksisitas atau cedera
yang dideteksi postoperative. Namun demikian, beberapa klinisi menyarankan
aliran fresh gas (O2) 2 L/menit untuk anestetik lebih dari beberapa jam dan
sevofluran jangan digunakan untuk pasien dengan disfungsi ginjal.
Kontraindikasi
Kontraindikasi meliputi hipovolemia berat, kerentanan terhadap hipertermia
maligna, dan hipertensi intrakranial.8
Interaksi Obat
Seperti volatile anestesi, sevofluran potentiates NMBAs tidak menginduksi
aritmia terkait katekolamin. Kebanyakan penelitian mengatakan sevoflurane tidak
berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal yang menunjukkan toksisitas atau
cedera pasca operasi. Meskipun demikian, beberapa dokter menyarankan
diberikannya O2 mengalir minimal 2 L / menit untuk anestesi yang berlangsung
lebih dari beberapa jam dan sevoflurane yang tidak dapat digunakan pada pasien
dengan disfungsi ginjal yang sudah ada sebelumnya
Penawar Pelumpuh Otot
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-
otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan
edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.7
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,
edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh
otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia,
kejang bronnkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02
mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.7
Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Kebutuhan cairan pada anak untuk operasi :
Ringan = 2 mL/KgBB/Jam
Sedang = 4 mL/KgBB/Jam
Berat = 6 mL/KgBB/Jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak,
tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa.
Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Manajemen pain post operatif
Novalgin (dipyrone/ metamizole sodium)
Dipyrone (metamizole) adalah obat antiinflamasi non
steroid. Mekanisme dipyrone sama denganobat-obat NSAID
lainnya, yaitu menghambat produksi prostaglandin. Metamizole
Na adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang
mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat dan
perifer. Metamizole Na bekerja sebagai analgesik, diabsorpsi
dari saluran pencernaan mempunyai waktu paruh 1-4 jam.
Setelah pemberian oral, dipyrone dengan cepat
dihidrolisis dalam saluran pencernaanmenjadi metabolit aktif 4-
metil-amino-antipyrine.Dipyrone juga cepat tidak terdeteksi
dalamplasma setelah pemberian secara intravena. Tak satu pun
darimetabolit dipyrone secara luas terikat pada protein
plasma.Sebagian besar diekskresikan dalam urin sebagai
metabolit.
Dipyrone adalah sulfonat natrium dari
aminophenazone.Karena risiko efek samping yang serius di
banyak negara penggunaannya hanya dalamrasa sakit yang
berat atau demam di mana tidak tersedia obat alternatif tidak
lain. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan dipyrone
adalah meningkatkan risiko agranulositosis.
BAB IV
PEMBAHASAN
Anak laki-laki berumur 4 tahun dengan Keluahan nyeri telan sejak 1 tahun
yang lalu. Nyeri telan tidak disertai dengan ngorok maupun nafas tersengal-sengal
saat tidur. Makan dan minum pasien biasa. Saat ini pasien tidak mengeluhkan
pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang pendengaran, sakit kepala
dan demam. Dalam 1 bulan terakhir kambuh 2 kali. Pada pemeriksaan Didapati
pembesaran tonsil T2-T2 dengan dinding yang hiperemis
Gejala-gejala yang dialami pasein sesuai dengan kepustakaan yang
mengarah pada diagnosis Tonsilitis Kronis.
Pre-operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi, sangat perlu untuk dilakukan persiapan
pre-operatif terlebih dulu. Pada pasien ini, dari anamnesis terpimpin tidak
didapatkan riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan, tidak
mengkonsumsi obat-obatan rutin, tidak didapatkan riwayat operasi sebelumnya,
tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan gangguan
pembekuan darah. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna
yang dapat mengganggu proses anestesi, dari hasil laboratorium didapatkan masih
dalam batas normal. Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai
PS ASA I, dengan jenis anstesi adalah anestesi umum menggunakan teknik
nasotracheal intubasi. Untuk meminimalkan risiko adanya aspirasi operasi maka
pasien dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien ini dipuasakan selama 5-6 jam, diberikan
premedikasi berupa ranitidin 25 mg IV/ 1 jam sebelum operasi dan midazolam
1,5 mg/iv sebelum operasi.
I. Intra-operatif
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan premedikasi berupa injeksi
Midazolam 1,5 mg/iv berfungsi untuk meredakan kecemasan dan ketakutan anak
dan memperlancar induksi, selain itu digunakan oleh karena efek depresi
pernapasan yang minimal. Selanjutnya, diberikan analgesic opioid berupa fentanyl
40 mg/iv.
Obat Induksi anestesi yang digunakan adalah propofol. Mekanisme induksi
general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Penggunaan propofol bersamaan
dengan fentanyl pada kasus ini menghasilkan efek yang memuaskan. Opioid
menghasilkan efek analgesia, kestabilan hemodinamik dan menumpulkan respon
terhadap stimulus bedah, sedangkan propofol menghasilkan efek hipnosis dan
amnesia.
Intubasi yang diakukan dengan menggunakan teknik nassotracheal
intubation yang dengan Indikasi untuk intubasi nasotrakeal yaitu pada kasus
iniOperasi kepala dan leher bedah intra-oral dan oropharyngeal dan lapangan
pembedahan dapat diperbesar.
Maintanance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi
inhalasi yang dipakai adalah sevoflurane 1,5%. Sevofluran kurang larut dalam
darah, berbau harum dan cepat meningkat pada konsentrasi alveolar membuat
sevofluran menjadi pilihan untuk induksi inhalasi yang halus dan pemulihan yang
cepat pada pasien anak dan dewasa. Sevoflurane kurang bersifat iritan terhadap
saluran pernafasan bagian atas dibanding desfluran.
Selama proses anestesi (intra-operatif) saturasi oksigen pasien tidak pernah
< 95%, tekanan darah pasien stabill 110/50 hingga 120/60mmHg, nadi 100x/m -
120x/m. Pemberian dexametason 5mg/ Iv yang berperan sebagai anti inflamasi.
Mencegah terjadinya edma selama intubasi dan extubasi dan memiliki fungsi
sebagai anti nyeri post operatif. Asam transenamat diberikan karena terjadi
perdarahan selama operasi berkisar kurang lebih 30 cc yang berfungsi sebagai
obat anti perdarahan.
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( BB pasien 20 kg)
Terapi rumatan :
10 kgBB I dikalikan 4 = 4x10 = 40
10 KgBB II dikalikan 2 = 2x10 = 20
Cairan yg dibutuhkan untuk terapi rumatan adalah 60 cc/jam. Defisit cairan
karena puasa 6 jam, 60 cc x 10 jam) = 360 cc.
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan
keterangan sebagai berikut
Jam I = M + O + 50% P
M = Maintenanc cairan
O = prediksi kehilangan cairan selama operasi
P = lamam=nya puasa dari jumlah jam puasa x maintenace
Pada pasien ini:
M = 60 ml/jam
O = 4 mL/Kgbb x 20 = 80 ml
P = 10 jam puasa x 60ml = 600 ml
Pemberian cairan 1 jam pertama = 140 cc + 300 cc
Jam ke 2 dan k 3 = 140 cc + 150 cc
Post-operatif
Pada ruang pemulihan, pasien diobservasi tanda-tanda vital. Kontrol nyeri
postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum
pasien dipindahkan sangat dibutuhkan. Setelah 15 jam di ruang pemulihan pasien
sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperative (S 100-110,
D 60-76), pasien mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 >92% dengan udara
ruangan, dan pasien mampu menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena
itu, pasien kemudian dipindahkan ke ruangan biasa.
Terapi Post Op pain diberikan novalgin injeksi 250 mg. Novalgin
adalah obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja sama
dengan obat-obat NSAID lainnya, yaitu menghambat produksi
prostaglandin.Karena risiko efek samping yang serius di banyak
negara penggunaannya hanya dalam rasa sakit yang berat atau
demam di mana tidak tersedia obat alternatif tidak lain. Efek
samping yang ditimbulkan adalah meningkatkan risiko
agranulositosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Drake A. Tonsillectomy.
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses
tanggal 23 Maret 2013.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar
untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
5. Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi
FKUI, edisi ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta
Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
9. Aslınur, Mutlu U, Kara A. Group A streptococcal tonsillopharyngitis
burden in a tertiary Turkish hospital. The Turkish Journal of Pediatrics
2012; 54: 474-477
10. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6.
EGC. Jakarta; 2001