Lapsus
-
Upload
zeenap-shahab -
Category
Documents
-
view
76 -
download
4
description
Transcript of Lapsus
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan oleh ketidak
mampuan sel menggunakan glukosa, akibat kurangnya produksi atau tidak
adekuatnya insulin dari sel beta pankreas. Diabetes Melitus disebut juga The
Great Imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Saat ini diabetes Melitus merupakan
urutan ke-4 prioritas penelitian nasional untuk penyakit degenenatif (Keen and
Alberti, 1997). Dari semua penyakit sistemik yang telah diketahui, diabetes adalah
penyakit yang paling dipersalahkan sebagai agen risiko penyakit periodontal dan
kelainan patologis di rongga mulut lainnya (Ranakusuma, 1992).
Komplikasi oral yang paling telihat pada diabetes baik tipe 1 maupun 2
dapat diamati pada pasien diabetes tak terkontrol (Ranakusuma, 1992). Berbagai
bentuk penyakit periodontal terjadi pada 75% penderita diabetes Melitus tidak
terkontrol (Iughetti, et al., 1999). Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
Windiyarti, 2003 di RSUD Banjarnegara menyatakan bahwa prevalensi gingivitis
pada penderita diabetes melitus tipe II sebesar 96.7%. Tingginya prevalensi
gingivitis pada penderita DM tipe II membuktikan bahwa pasien DM rentan
terhadap gingivitis. Di samping itu terjadi pula komplikasi lain berupa gigi mudah
goyah, pengendapan kalkulus yang cepat, xerostomia, kandidiasis, sindroma
mulut terbakar dan neuropati perifer pada mulut serta peningkatan risiko karies
(Finney et al., 1997;Karjalainen et al., 1997).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat dalam laporan kasus ini adalah
bagaimana definisi, etiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan
dan komplikasi dari periodontitis at causa diabetes mellitus.
1.3. Tujuan
Tujuan dari pembahasan kasus ini adalah untuk mengetahui secara pasti
definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasi dari periodontitis at causa diabetes mellitus.
2
1.4. Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan
mengenai penyakit gigi dan mulut khususnya tentang gigi impaksi dengan pulpitis
reversible dan sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan gigi dan mulut.
3
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kepanjen
Umur : 61 tahun
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Kawin
Suku Bangsa : Jawa - Indonesia
Tanggal Periksa : 8 April 2013
Konsul dari : - Menderita : -
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Ingin mencabut gigi pada rahang bawah.
2. Riwayat Penyakit : Gigi pada rahang atas dan bawah banyak yang
rusak, sehingga untuk makan dan minum tidak enak. Hal ini dirasakan
sejak lima tahun ini, selain itu pasien juga mengeluh kadang-kadang
gigi terasa sakit.
3. Riwayat Perawatan
a. Gigi : Pasien pernah mencabutkan giginya (pada rahang atas dan
bawah)
b. Jar.lunak rongga mulut dan sekitarnya : Pasien tidak pernah
memeriksakan jaringan lunak rongga mulut dan sekitarnya.
4. Riwayat Kesehatan :
Kelainan darah : Disangkal
Kelainan endokrin : Disangkal
Kelainan Jantung : Hipertensi
Gangguan nutrisi : Disangkal
Kelainan kulit/kelamin : Disangkal
Gangguan pencernaan : Disangkal
Kelainan Imunologi : Disangkal
4
Gangguan respiratori : Disangkal
Gangguan TMJ : Disangkal
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Diabetes Melitus : + (sejak tahun 2004)
Lain-lain : pasien pernah mengalami stroke
pada tahun 2003.
5. Obat-obatan yang telah/sedang dijalani : Glibenklamid dan Metformin
6. Keadaan sosial/kebiasaan : Pasien gosok gigi 3x sehari setiap sehabis
makan dan suka makanan yang manis (sebelum menderita diabetes
mellitus).
7. Riwayat Keluarga :
Kelainan darah : Disangkal
Kelainan endokrin : Disangkal
Diabetes melitus : Disangkal
Kelainan jantung : Disangkal
Kelainan syaraf : Disangkal
Alergi : Disangkal
Lain-lain : -
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Ekstra Oral
- Muka : simetris
- Pipi kiri : dbn
- Pipi kanan : dbn
- Bibir atas : dbn
- Bibir bawah : dbn
- Sudut mulut : dbn
- Kelenjar submandibularis kiri : tidak ada pembesaran
- Kelenjar submandibularis kanan : tidak ada pembesaran
- Kelenjar submental : tidak ada pembesaran
- Kelenjar leher : tidak ada pembesaran
- Kelenjar sublingualis : tidak ada pembesaran
- Kelenjar parotis kanan : tidak ada pembesaran
5
- Kelenjar parotis kiri : tidak ada pembesaran
2. Intra Oral
- Mukosa labial atas : dbn
- Mukosa labial bawah : dbn
- Mukosa pipi kiri : dbn
- Mukosa pipi kanan : dbn
- Bukal fold atas : dbn
- Bukal fold bawah : dbn
- Labial fold atas : dbn
- Labial fold bawah : dbn
- Gingival rahang atas : hiperemi
- Gingival rahang bawah : hiperemi
- Lidah : dbn
- Dasar mulut : dbn
- Palatum : dbn
- Tonsil : dbn
- Pharynx : dbn
6
GP
-
KS
I GR KS
-
Keterangan :
E = Extruded
x = Gigi tanggal/dicabut
√ = Sisa akar
Calculus = Karang gigi sepanjang gigi pada rahang atas dan rahang bawah
3 23 = Sisa Akar
7 = Extruded
4 = Gigi Goyang
321 23456
876521 145678 = Gigi tanggal / Gigi dicabut
8654 178
1 2 3 4 5 6 7 8 8 7 6 5 4 3 2 1
I II III IV V IV III II I
V IV III II I I II III IV
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
Gigi Goyang
E
Gigi Goyang
Gigi Goyang
Calculus
Calculus Calculus
7
2.4 Diagnose Sementara
3 23 = Sisa Akar
7 = Extruded
4 = Gigi Goyang Derajat I
321 23456
Gigi pada rahang atas dan bawah = Calculus
2.5 Rencana Perawatan
3 23 = Pro Ektraksi post gula darah normal
7 = Pro Ektraksi post gula darah normal
876521 145678 = Pro Gigi Palsu
8654 178
Gigi pada rahang atas dan bawah = Pro Scalling post gula darah normal
2.6 Pengobatan
R/ Asam Mefenamat tab 500 mg
S 3 dd tab I pc
Pemeriksaan Penunjang :
Lab.Rontgenologi mulut/ Radiologi : -
Lab.Patologi anatomi : -
• Sitologi : -
• Biopsi : -
Lab.Mikrobiologi : -
• Bakteriologi : -
• Jamur : -
Lab.Patologi Klinik : GDA
Rujukan :
Poli Penyakit Dalam : Ya
Poli THT : -
Poli Kulit & Kelamin : -
8
Poli Syaraf : -
2.7 Diagnose Akhir
3 23 = Nekrosis Pulpa
7 = Extruded
4 = Periodontitis et causa Diabetes Mellitus
321 23456
Gingivitis et causa calculus
LEMBAR PERAWATAN
Tgl Elemen Diagnosa Therapi Ket
10/04
/2013
3 23
7
4
321 23456
Gigi pada rahang
atas dan rahang
bawah
876521 145678
8654 178
Nekrosis Pulpa
Extruded
Periodontitis et causa Diabetes Mellitus
Gingivitis et causa
calculus
Gigi tanggal/ gigi dicabut
Pro Ektraksi post gula darah normal
Pro Ektraksi post gula darah normal
(kontrol diabetes mellitus)
Pro Scalling post gula darah normal
Pro Gigi Palsu
KIE:
kebersihan
mulut harus
lebih
diperhatikan
dengan
menyikat gigi
min 2x/ hari
terutama setelah
makan dan
sebelum tidur.
Kontrol
diabetes
mellitus secara
teratur
Kontrol Dokter
Gigi 6 bulan
sekali
9
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1 Diabetes Mellitus
3.1.1 Definisi
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik sebagai akibat kurangnya
insulin di dalam tubuh sehingga glukosa darah diatas normal hampir sepanjang
waktu, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai gejala klinis
akut 3P (poliuria, polidipsi, polifagia ) atau kadang – kadang tanpa gejala
(Tjokroprawiro, 1998).
Hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas (terletak pada
lekukan usus dua belas jari ) penting untuk menjaga keseimbangan kadar gula /
glukosa darah antara 60 – 100 mg/dl pada waktu puasa dan kadar gula darah dua
jam sesudah makan sekitar 100 – 140 mg /dl. Apabila terdapat gangguan kerja
insulin baik kualitas maupun kuantitias , maka keseimbangan tersebut menjadi
terganggu dan glukosa darah akan cenderung naik (Brian and Thomas, 2006).
3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan PERKENI ( Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia ) , sesuia dengan anjuran klasifikasi diabetes mellitus
yang dibuat oleh American Diabetes Assosiation ( ADA ) 1997, yang ditetapkan
berdasarkan penyebabnya :
1. Diabetes mellitus tipe 1 : adanya kerusakan sel β pankreas (sel
penghasil insulin) pada pankreas, umumnya menjurus pada
kekurangan insulin absolut / mutlak, penyebabnya adalah: autoimun
dan idiopatik.
2. Diabetes mellitus tipe 2 : penyebabnya bervariasi yang terutama
adalah resistensi insulin ( jumlah insulin banyak, tetapi tidak dapat
berfungsi ) dapat juga disertai kekurangan insulin relatif , gangguan
produksi ( sekresi ) insulin.
3. Diabetes tipe lain disebabkan bermacam – macam penyebab. missal :
defek / cacat genetik fungsi sel β , defek genetik kerja insulin,
pankreatitis, dan obat / zat kimia, infeksi.
10
4. Diabetes mellitus gestasional : kondisi diabetes sementara yang
dialami selama masa kehamilan
3.1.3 Patofisiologi
Diabetes mellitus mengakibatkan metabolisme glukosa abnormal. Glukosa
diperlukan oleh sel untuk tumbuh, pemeliharaan dan energi. Sebagian besar
glukosa didapatkan melalui pencernaan makanan dan kemudian bergabung dalam
darah. Supaya glukosa dapat melewati membran sel, glukosa memerlukan insulin
untuk terikat pada reseptor sel khusus. Sistem saraf pusat dan sel-sel otak tidak
memerlukan insulin untuk menggunakan glukosa. Sekresi insulin melalui sel-sel
beta pankreas distimulasi oleh pencernaan makanan dan terjadi pada dua fase.
Fase pertama sangat pendek dengan produksi insulin total sekitar 3 -5%. Selama
fase kedua, yang berlangsung selama satu jam, sebagian ebsar insulin dihasilkan.
Insulin tetap berada pada darah untuk beberapa menit (4 – 10) dan kemudian
segera terikat pada reseptor permukaan sel insulin. Jaringan tergantung-insulin
termasuk otot, lemak dan hepar yang memerlukan glukosa dari sirkulasi darah.
Fungsi dasar insulin adalah untuk mentransfer glukosa dari darah menuju sel
tergantung-insulin, untuk memfasilitasi perpindahan asam amino yang
bersirkulasi menuju sel-sel, untuk memfasilitasi sintesis trigliserida dan untuk
mencegah perusakan trigliserida (Alberti and Zimmet, 1998).
Ketika produksi insulin terganggu ataupun tidak ada, atau ketika terjadi
interferensi dengan fungsi insulin, glukosa tidak dapat didistribusikan ke jaringan
tergantung-insulin mengakibatkan peningkatan glukosa yang bersirkulasi
(hiperglikemia). Glukosa yang tidak digunakan oleh sistem saraf pusat, otak
ataupun jaringan tergantung-insuln disimpan dalam hepar sebagai glikogen. Jika
terdapat peningkatan kebutuhan penggunaan glukosa atau ketika kadar glukosa
dalam pencernaan tidak mencukupi, hepar akan memetabolisme glikogen yang
tersimpan kembali menjadi glukosa. Beberapa hormon seperti catecholamina,
glukagon, glukokortikoid, hormon pertumbuhan dan tiroksin berantagonis dengan
kerja insulin melalui peningkatan kadar glukosa yang bersirkulasi. Dengan
demikian, di bawah tekanan emosi dan fisik yang ekstrim, diabetes tipe 1
mungkin melepaskan sejumlah signifikan cathecolamin dan glukokortikoid
11
(terutama kortisol) yang – melalui peningkatan kadar glukosa darah – akan
menginduksi hiperglikemia yang parah (Gavin, 1998).
Peningkatan kadar kortisol akan menginduksi disintegrasi protein dan
mengganggu penggabungan asam amino menjadi protein, hasil akhirnya adalah
perubahan asam amino menjadi glukosa dengan hiperglikemia sebagai
resultannya. Tahap hiperglikemia ditandai dengan eliminasi sejumlah besar
glukosa melalui urin dengan peningkatan volume urin. Elektrolit dan nitrogen
juga hilang melalui urin. Komplikasi lain adalah konversi menjadi glukosa –
bagian gliserol badan lemak, yang mengakibatkan pembentukan aseton dan asam
hidroksibutirat beta yang berlebihan yang juga dieliminasi melalui urin. Jika
rantai kejadian ini terjadi terus menerus pada pasien dengan diabetes tipe 1, maka
pasien akan mengalami ketoasidosis metabolik yang jika tidak ditindaklanjuti
dapat mengarah pada koma atau bahkan kematian (David, 1995).
Pertimbangan lain yang tak kalah pentingnya pada patofisiolofi diabetes
adalah adanya peristiwa non-enzimatik normal yang disebut dengan glikosilasi
yang meningkat seiring dengan kondisi hiperglikemia. Glikosilasi adalah proses
penambahan radkal univalen yang berasal dari bentuk siklik glukosa menjadi
protein yang membentuk basa Schiff yang tidak stabil. Secara progresif,
transformasi terjadi menjadi produk glikoprotein yang lebih stabil yang disebut
produk Amadori. Jika hiperglikemia dikoreksi pada tahap ini maka produk
Amadori yang terbentuk dapat dibalikkan tetapi jika berlanjut, produk Amadori
menjadi stabil dan bentuk non-reversibel yang dikenal dengan produk akhir
glikosilasi lanjutan (advanced glycosilated end products; AGE). AGE dan lipida
berakumulasi di jaringan penderita diabetes, terutama di dinding pembuluh darah
dan kolagen, dan dipandang sebagai agen yang peling bertanggung jawab dalam
perubahan patologis makro dan mikro yang diamati pada pembuluh darah pasien.
Lipoprotein kepadatan rendah (low-density lipoproteins; LDL) melakukan ikatan
silang dengan kolagen karena glikosilasi AGE dan berkontribusi terhadap
penebalan dinding pembuluh darah. Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan
risiko atherosklerosis pada pasien diabetes (Alberti and Zimmet, 1998).
12
3.1.4 Komplikasi Sistemik
Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi AGE pada
berbagai jaringan tubuh terutama pada sistem vaskularisasi dan sistem saraf
perifer. Perubahan sistem vaskularisasi meliputi angiopati dan pembentukan
atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi lipida, proliferasi endotelial
dan pembesaran tunica intima kepiler di seluruh tubuh. Retina dan mikrosirkulasi
glomerulus ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik
merupakan penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada
pasien diabetes tipe 2. Kebutaan akibat diabetes mempunyai prevalensi tiga kali
lipat dibandingkan pada pasien non-diabetes. Nefropati diabetes adalah penyebab
utama pasien diabetes tipe 1 akibat gagal ginjal. Pasien diabetes tipe 2 juga dapat
mengalami penyakit ginjal tetapi prevalensinya lebih rendah. Adanya fakta bahwa
diabetes tipe 2 lebih sering terjadi, jumlah pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2 identik
(Alberti and Zimmet, 1998).
Seperti yang telah dijabarkan di atas, perubahan makropatologis yang
dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial berkaitan dengan pembentukan
ateroma (atherosklerosis). Atheroma dihasilkan dari deposisi AGE dan LDL yang
berkonsekuensi menimbulkan kalsifikasi berbagai arteri di dalam tubuh.
Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang buruk pada ekstremitas dan bertanggung
jawab atas ulserasi dan gangrene pada kaki. Komplikasi paling parah atheroma
adalah adanya infark miokard, hipertensi, stroke, insufisiensi koroner dan gagal
ginjal. Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 meninggal karena adanya infark
miokard (Alberti and Zimmet, 1998).
Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal tersebut terjadi
karena adanya konsekuensi terhadap kenaikan absorpsi glukosa oleh sel-sel
Schwann. Beberapa manifestasi klinis yang berhubungan dengan neuropati antara
lain nyeri terbakar, kesemutan dan rasa baal, terutama pada ekstremitas,
kelemahan otot dan kram, parestesia pada rongga mulut, burning tongue
syndrome adalah beberapa yang paling sering dilaporkan (Alberti and Zimmet,
1998).
13
3.2 Manifestasi Oral Diabetes Mellitus3.2.1 Kelainan Jaringan Periodontal
a. Definisi dan Etiologi Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal dapat diartikan sebagai suatu proses patologis yang
mengenai jaringan periodontal. Sebagian besar penyakit periodontal inflamatif
disebabkan oleh infeksi bakteri. Walaupun faktor-faktor lain dapat juga
memengaruhi jaringan periodontal, penyebab utama penyakit periodontal adalah
mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi (plak bakteri dan produk-
produk yang dihasilkannya) dan membentuk koloni. Beberapa kelainan sistemik
dapat berpengaruh buruk terhadap jaringan periodontal, tetapi faktor sistemik
semata tanpa adanya plak bakteri tidak dapat menjadi pemicu terjadinya
periodontitis. Lagi pula, ada beberapa faktor lokal yang bersama dengan plak
bakteri menyebabkan penyakit kronis jaringan periodontal. Dua faktor yang
mungkin menjadi pemicu terjadinya penyakit periodontal tanpa adanya plak
bakteri adalah malignansi dan trauma oklusi primer (Vernoni, 2004)
Etiologi periodontitis yang utama berhubungan dengan mikro-
organisme dan produk-produknya yang ditemukan pada plak supra dan sub-
gingiva. Pencetus yang umum atau faktor etiologi kedua yang menyumbang
terhadap akumulasi, retensi dan maturasi plak gigi adalah kalkulus supra dan sub-
gingiva, tepi gingiva yang menggantung dan restorasi gigi yang over-contoure,
dapat menimbulkan impaksi makanan dan menambah kedalaman probing. Faktor-
faktor sistemik dapat mempengaruhi keparahan, karena mengubah respons
jaringan terhadap bakteri (Vernoni, 2004).
Etiologi penyakit periodontal sangat kompleks. Para ahli mengemukakan
bahwa etiologi penyakit periodontal dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
yaitu faktor lokal dan faktor sistemik, faktor lokal dan faktor sistemik sangat erat
hubungannya dan berperan sebagai penyebab terjadinya kerusakan jaringan
periodontal. Tapi pada umumnya, penyebab utama penyakit periodontal adalah
faktor lokal. Keadaan ini dapat diperparah oleh keadaan sistemik yang kurang
menguntungkan, yang memungkinkan terjadinya keadaan yang progresif.
Faktor lokal adalah faktor yang berpengaruh langsung pada jaringan
periodonsium; dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor iritasi lokal dan fungsi
lokal. Yang dimaksud dengan faktor lokal adalah plak bakteri sebagai penyebab
14
utama. Sedangkan faktor-faktor lainnya antara lain adalah bentuk gigi yang
kurang baik dan letak gigi yang tidak teratur, maloklusi, malfungsi gigi, restorasi
yang menggantung dan bruksisme. Faktor sistemik sebagai penyebab penyakit
periodontal antara lain adalah pengaruh hormonal pada masa pubertas, kehamilan,
menopause, defisiensi vitamin, diabetes mellitus dan lain-lain (Vernoni, 2004).
Kenyataan yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara faktor
lokal dan faktor sistemik, yaitu adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat
mengakibatkan meningkatnya karies gigi dan memperberat gingivitis maupun
penyakit periodontal. Sebaliknya infeksi gigi dan jaringan sekitarnya dapat
mempengaruhi stabilitas kadar gula darah. Pernah dilaporkan bahwa kerusaakan
jaringan periodontal pada penderita diabetes melitus lebih parah dibandingkan
dengan yang bukan penderita diabetes mellitus, meskipun pada kelompok bukan
penderita diabetes mellitus memiliki penumpukan plak yang lebih banyak
dibandingkan pada kelompok penderita diabetes mellitus. Penumpukan plak itu
akan terbentuk kantong diantara gigi dan gusi dan meluas ke bawah diantara akar
gigi dan tulang dibawahnya. Kantong ini mengumpulkan plak dalam suatu
lingkungan bebas oksigen, sehingga mempermudah pertumbuhan bakteri. Jika
keadaan ini terus berlanjut, pada akhirnya banyak tulang rahang di dekat kantong
yang dirusak sehingga menyebabkan lepasnya gigi (Vernoni, 2004).
b. Pengaruh Diabetes pada Penyakit Periodontal
Secara statistik telah dibuktikan bahwa diabetes merupakan salah satu
faktor predisposisi perkembangan penyakit periodontal. Inflamasi gingiva,
meskipun dengan kadar plak yang rendah, lebih prevalen pada pasien diabetes tak
terkontrol daripada pasien non-diabetes. Penderita diabetes terkontrol mempunyai
prevalensi gingivitis yang sama dengan pasien non-diabetes. Penderita diabetes
dewasa muda dan remaja mempunyai prevalensi inflamasi gingiva hipertrofi yang
lebih tinggi dan penyakit periodontal daripada pasien non-diabetes (Soskolne,
1998).
Penderita diabetes mellitus tidak terkontrol dijumpai adanya keradangan
gingival mulai dari gingivitis marginalis sampai periodontitis supuratif akut, gigi
goyang , rasa sakit pada perkusi gigi, resorpsi tulang alveolar yang cepat dan
abses gingival multiple. Sedang pada penderita diabetes terkontrol didapatkan
15
bahwa gejala – gejala tersebut menurun keparahannya dan bahkan ada kalanya
hilang sama sekali. Penderita diabetes terkontrol menunjukkan resorpsi tulang
alveolar yang lebih lambat dibandingkan penderita diabetes yang tidak terkontrol.
Resorbsi tersebut ada hubungannya dengan lamanya seseorang menderita diabetes
(Marwati, 1992). .
Keradangan gingival yang sangat parah , poket periodontal yang dalam
dan abses periodontal sering terjadi pada penderita diabetes mellitus. Selain itu
juga gingiva tampak merah tua, turun , dan agak nyeri bila ditekan bahkan kadang
terdapat nanah pada marginal gingival dan interdental papil karena adanya infeksi
rekuren. Supurasi gingiva ini dapat ditemukan secara palpasi yang dilaksanakan
dengan halus dan pelan (Carranza et al., 2006). Akibat gingiva turun , maka gigi
penderita diabetes mellitus tampak menonjol keluar dari soket. Menurunnya
resistensi gingiva pada oral diabetik ini antara lain disebabkan oleh karena
perubahan komposisi kolagen pada jaringan ikat gingiva . Pada jaringan
periodontal , periodontium merupakan tempat manifestasi oral dibetik yang paling
penting dan prevalensinya nomor dua sesudah karies . Sejak sebelum tahun 1920
dilaporkan bahwa hampir semua penderita Diabetes mellitus yang tidak terkontrol
disertai radang periodontioum yang berat dengan gingivitis dan resorbsi prosesus
alveolaris yang disertai dengan adanya pus. Prevalensi penyakit periodontal pada
diabetes mellitus selain lebih tinggi , juga lebih berat dan berjalan lebih cepat
dibandingkan dengan penderita non diabetes. Penyakit periodontal biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri yang progresif dan kronik. Terutama pada
penderita diabetes mellitus dengan kebersihan mulut yang jelek, bakteri gram
negatif dan aerobik akan membentuk plak, apabila plak ini tidak segera
dihilangkan akan terus menyebar ke jaringan periodontal dan prosesus alveolaris.
Apabila keadaan ini tidak dirawat terjadilah periodontitis diabetik yang
manifestasinya klininiknya dapat berupa mobilitas , migrasi dan lepasnya gigi
disertai dengan keroposnya tilang alveolaris (Carranza et al., 2006) .Sehubungan
dengan adanya periodontopati diabetika terjadi peningkatan prevalensi destruksi ,
mobilitas gigi dan lepasnya gigi ataupun kalkulus. Kalkulus subgingiva
merupakan salah satu faktor yang dapat merusak jaringan periodontium .
16
Mobilitasgigi pada diabetes mellitus tidak selalu merupakan indikasi untuk
ekstraksi gigi (Cohen, 1990).
c. Mekanisme Terjadinya Penyakit Periodontal pada Penderita
Diabetes Melitus
Peningkatan prevalensi penyakit gingiva dan periodontal pada pasien
diabetes diasumsikan mempunyai etiologi multifaktorial. Deposisi AGE pada
dinding kapiler gingiva, kolagen ligamen periodontal dan matriks tulang alveolar,
peningkatan kadar LDL dengan pembentukan atheroma, hiperglikemia
mempengaruhi penyembuhan luka periodontal normal, perubahan respon imun,
peningkatan oksidasi, perubahan fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
faktor genetik adalah faktor-faktor yag berkontribusi terhadap perkembangan
penyakit periodontal pada paien diabetes mellitus. Beberapa faktor tersebut dapat
dimengerti dengan baik sedangkan lainnya perlu dievaluasi lebih jauh. Salah satu
faktor yang paling penting adalah hiperglikemia (Collin et al., 1998).
Diabetes dipercaya menimbulkan periodontitis melalui respon inflamasi
berlebihan mikroflora jaringan periodontal. Mikroflora subgingiva pasien
periodontitis yang mempunyai diabetes mellitus secara umum ekuivalen dengan
pasien periodontitis yang tida terdiagnosis mempunyai diabetes. Pembentukan
AGEs (advanced glycation endproducts) terjadi ketika glukosa yang tersedia
berkontak dengan protein stuktural dan protein lain. Proses ini tidak berlangsung
secara enzimatik dan ketika AGEs terbentuk, ia terikat dengan reseprot seluler
spesifik yang dikenal sebagai reseptor AGE (RAGE). RAGE ditemukan dalam
sel-sel endotelial dan monosit yang mempunyai peran penting dalam periodontitis.
Pengikatan antara AGE dengan RAGE menyebabkan rangkaian kejadian pro-
inflamasi yang mungkin bersifat self-sustaining karena ikatan AGE-RAGE pada
17
permukaan sel-sel endotelial menginduksi ekspresi vascular cell adhesion
molecule-1 yang menarik monosit pada sisi luminal sel-sel endotelial, sehingga
terus menerus memicu respon inflamasi (Graves et al., 2006; Cutler et al., 1999).
Di lain pihak pada penderita diabetes Melitus juga terjadi mikroangiopati
yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah kecil. Mikroangiopati diabetik ini
menyebabkan endotel rusak, adhesi-agregasi trombosit membentuk
mikrotrombus, proliferasi otot polos, penebalan membrana basalis, metabolisme
kolagen, dan penumpukan lipoprotein. Hal ini mengganggu difusi oksigen dan
nutrisi jaringan akibatnya akan terjadi kerusakan jaringan periodontal. Selanjutnya
akibat kekurangan oksigen pertumbuhan bakteri anaerob akan meningkat. Dengan
adanya infeksi bakteri anaerob pada diabetes mellitus akan menyebabkan
pertahanan dan perfusi jaringan menurun dan mengakibatkan hipoksia jaringan
sehingga bakteri anaerob yang terdapat pada plak subgingiva menjadi berkembang
dan lebih pathogen serta menimbulkan infeksi pada jaringan periodontal (Lalla et
al., 2006)
Pada diabetes mellitus dapat timbul sejumlah komplikasi yang disebabkan
kadar glukosa darah tinggi ( hiperglikemia ) . Beberapa protein tubuh pada
diabetes mellitus dengan hiperglikemia akan mengalami glikosilasi , dengan
akibat meningkatnya jumlah IgG terglikasi .Pada keadaan hiperglikemia dan
mengalami glikosilasi akan menurunkan afinitas antibody IgG terhadap antigen ,
sehingga penderita diabetes mellitus mudah terserang infeksi. Dilaporkan bahwa
ada korelasi antara kadar glukosa darah dengan prevalensi keparahan keradangan
gingival , periodontal , resorbsi tulang alveolar dan kedlaman poket. Resistensi
jaringan gigngiva dan jaringan peridontal penderita diabetes mellitus menurun ,
disebabkan karena adanya perubahan komposisi kolagen, regulasi diabetes
mellitus dan hygiene mulut (Carranza et al., 2006).
Derajat Kegoyangan Gigi
Kegoyangan gigi merupakan manifestasi klinik kelainan jaringan
periodontium, khususnya dengan terbentuknya pocket periodontal. Ada derajat
kegoyangan pada gigi yaitu :
a) Tidak ada kegoyangan.
b) Derajat 1 : penigkatan kegoyangan namun besarnya < 1mm.
18
c) Derajat 2 : penigkatan kegoyangan > 1mm.
d) Derajat 3 : penigkatan kegoyangan > 1mm disertai perpindahan keaarah
vertikal.
3.2.2 Xerostomia dan Disfungsi Kelenjar Saliva
Untuk mempertahankan derajat keasaman mulut, manusia secara alami
memiliki ludah yang sangat berperan bagi kesehatan mulut. Fungsinya antara lain
untuk perlindungan permukaan mulut baik mukosa maupun elemen gigi geligi,
pengaturan kandungan air, pencernaan makanan dan pengecapan. Perubahan sifat,
jumlah, dan susunan air ludah, akan berpengaruh terhadap kesehatan mulut dan
proses lain yang berhubungan dengan fungsi ludah (Amerongen, 1991).
Hiperglikemia mengakibatkan meningginya jumlah urin sehingga cairan
dalam tubuh berkurang dan sekresi saliva juga berkurang. Dengan berkurangnya
saliva, dapat mengakibatkan terjadinya xerostomia. Dalam rongga mulut yang
sehat, saliva mengandung enzim-enzim antimikroba, misalnya : Lactoferin,
perioxidase, lysozyme dan histidine yang berinteraksi dengan mukosa oral dan
dapat mencegah pertumbuhan kandida yang berlebihan. Pada keadaan dimana
terjadinya perubahan pada rongga mulut yang disebabkan berkurangnya aliran
saliva, sehingga enzim-enzim antimikroba dalam saliva tidak berfungsi dengan
baik, maka rongga mulut menjadi rentan terhadap keadaan mukosa yang buruk
dan menimbulkan lesi-lesi yang menimbulkan rasa sakit. Pasien diabetes mellitus
yang mengalami disfungsi kelenjar saliva juga dapat mengalami kesulitan dalam
mengunyah dan menelan sehingga mengakibatkan nafsu makan berkurang dan
terjadinya malnutrisi (Chaves et al., 2000).
Pada penderita diabetes dapat terjadi xerostomia akibat penurunan sekresi
air ludah karena diuresis. Penurunan sekresi ini terutama dari kelenjar parotis
(6,14) cenderung membuat pH menurun (Banocy et al., 1987; Amerongen, 1991)
Di samping itu terjadi kenaikan kadar glukosa cairan mulut yang akan
dimetabolisme oleh bakteri mulut menjadi asam. Kondisi ini juga menurunkan
pH air ludah, karena pH air ludah dipengaruhi oleh kapasitas buffer yang terutama
dipengaruhi kecepatan sekresi ludah parotis. Sehingga jika sekresi parotis
menurun maka kapasitas buffer pun menurun dan pH pun ikut menurun.
Penurunan pH ini juga terjadi karena peningkatan konsentrasi glukosa darah
19
diikuti peningkatan konsentrasi glukosa dalam ludah kelenjar parotis, glukosa
dalam ludah ini akan dimetabolisme oleh bakteri mulut dan menghasilkan asam
(Borg et al., 1998;Collin et al., 1998).
Xerostomia, yang merupakan konsekuensi menurunnya aliran saliva, dapat
memacu burning mouth syndrome (BMS) dan karies. Beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan prevalensi karies pada pasien diabetes sedangkan
penelitian lain menunjukkan kebalikannya. Perkembangan karies dapat
dipengaruhi oleh kenaikan tingkat glukosa pada sekresi saliva, terutama pada
pasien diabetes tak terkontrol, sedangkan pada pasien yang terkontrol hal tersebut
dapat minimal karena asupan karbohidrat yang rendah (Borg et al., 1998).
3.2.3 Infeksi Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi bakteri oportunistik yang terjadi dalam
keadaan hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia menyebabkan kehilangan cairan
dari tubuh dalam jumlah yang banyak. Hal ini menyebabkan terjadinya disfungsi
aliran saliva sehingga aliran saliva juga berkurang. Oleh karena itu, Kandidiasis
dapat ditemukan pada penderita diabetes mellitus bila didukung berbagai faktor
yang ada pada penderita diabetes mellitus, seperti terjadinya defisiensi imun,
berkurangnya aliran saliva, keadaan malnutrisi dan pemakaian gigi tiruan dengan
oral hygiene yang buruk (Guggenheimer et al., 2000)
3.2.4 Sindroma Mulut Terbakar
Pasien dengan sindroma mulut terbakar biasanya muncul tanpa tanda-
tanda klinis, walaupun rasa sakit dan terbakar sangat kuat. Pada pasien dengan
diabetes mellitus tidak terkontrol, faktor yang menyebabkan terjadinya sindroma
mulut terbakar yaitu berupa disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis dan kelainan
20
pada saraf. Adanya kelainan pada saraf akan mendukung terjadinya gejala-
gejala,paraesthesias dan tingling, rasa sakit / terbakar yang disebabkan adanya
perubahan patologis pada saraf-saraf dalam rongga mulut (Finney et al., 19970).
3.2.5 Perawatan Rongga Mulut Pasien dengan Diabetes Mellitus
Seperti yang telah dijabarkan di atas, makin buruk kontrol glukosa, makin
parah penyakit periodontal yang terjadi. Pemeriksaan laboratorium yang paling
dapat diandalkan untuk evaluasi kontrol diabetes adalah uji hemoglobin
terglikosilasi. Glukosa secara permanen terikat pada hemoglobin menjadi AGE
(hemoglobin terglikosilasi), senyawa stabil ini terus bertahan di dalam darah
selama kurang lebih 90 hari. Terdapat dua macam tes hemoglobin terglikosilasi
tetapi yang paling sering digunakan adalah hemoglobin A1c (HbA1c). Hasil tes
ini menunjukkan persentase hemoglobin terglikosilasi yang berada dalam
sirkulasi. Nilai yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: normal 4 – 6 %,
Baik terkontrol < 7%, Sedang terkontrol 7 – 8%. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan kesehatan periodontal pada pasien diabetes
dapat meningkatkan status sistemik pasien tersebut. Hubungan ini berdasarkan
pada pengurangan AGE yang dapat diamati pada sirkulasi darah setelah terapi
periodontal yang memadai dilakukan (Molyneaux, 1998).
a. Perawatan Pada Penyakit Periodontal
Beberapa kelompok peneliti telah mengamati pengaruh perawatan
periodontal terhadap kontrol glikemik pasien diabetes. Stewart et al. melaporkan
bahwa terjadinya penurunan level HbA1c secara signifikan pada kelompok
penderita DM tipe 2 yang mendapat perawatan mekanis dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak mendapat perawatan periodontal. Kelompok peneliti
lainnya mengamati pula pengaruh perawatan periodontal yang dibarengi dengan
pemberian antimikroba/antibiotik. Miller et al. mengamati 10 orang pasien DM
tipe 1 yang diberikan perawatan skeling, penyerutan akar dan doksisiklin 100
secara sistemik, dan ternyata disertai penurunan level HbA1c dan albumin
terglikasi pada pasien yang mengalami perbaikan inflamasi gingiva. Iwamoto et
al. melaporkan bahwa dengan terapi periodontal mekanis yang dikombinasikan
dengan aplikasi subgingival jel minosiklin 10 mg (Periocline®) terjadi penurunan
21
level HbA1c yang signifikan sebanyak 0,8% pada 13 orang pasien DM tipe
(Manson, 1993).
Pemberian antibiotik berupa doksisiklin atau minosiklin, keduanya
merupakan derivat tetarasiklin, ternyata mempengaruhi hasil perawatan. Hal ini
disebabkan tetrasiklin dan kedua derivatnya mempunyai potensi menghambat
proses kolagenolisis dan meningkatkan sintesis dan sekresi protein. Disamping
itu, melalui mekanisme non-antikolagenase doksisiklin terbukti dapat menurunkan
level glikasi protein. Dengan demikian pemberian doksisiklin sebagai penunjang
perawatan medis pada pasien diabetik yag menderita penyakit periodontal bisa
memberikan dua keuntungan. Pertama, sebagai antibioktik berspektrum luas yang
efektif terhadap kebanyakan patogen periodontal. Kedua, sebagai modulator bagi
respons pejamu pasien diabetik terhadap infeksi periodontal, doksisiklin
menghambat glikasi non-ensimatik protein ekstraseluler dan kemungkinan besar
menghambat pula glikasi hemoglobin (Schulze et al., 2006). Pada penderita DM,
perawatan hanya dapat dilakukan apabila diabetesnya terkontrol. Apabila akan
dilakukan prosedur bedah yang agak besar, sebaiknya diberikan antibiotik mulai
sehari sebelumnya sebagai perlindungan. Bila diabetes tidak terkontrol, pasien
harus segera dirujuk ke dokter umum yang akan melakukan pemeriksaan kadar
gula urin dan kadar gula darah (Schulze et al., 2006).
Apabila ingin dilakukan pencabutan gigi, harus diperhatikan kadar gula
darahnya. Karena jika dalam keadaan gula darah sesaatnya tinggi dilakukan
pencabutan, dikhawatirkan terjadinya komplikasi pasca pencabutan gigi yaitu
perdarahan.Sedikit saran untuk semua sahabat, ada baiknya jika orangtua atau
keluarga kita ada yang memiliki riwayat diabetes mellitus. Hendaknya periksa
gula darahnya terlebih dahulu sebelum melakukan pencabutan pada giginya. Dan
jika gula darah Sesaat (GDS) lebih dari 140mg/dl, sebaiknya pencabutan gigi
ditunda hingga GDS kurang dari 140mg/dl dan GDP < 100 mg/dl. Konsultasikan
ke dokter penyakit dalam untuk membantu mengurangi kadar gula darahnya
(Schulze et al., 2006).
b. Perawatan Pada Xerostomia
Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi
paliatif yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya
22
komplikasi oral (Guggenheimer, 2003). Terapi rehidrasi terutama untuk pasien
DM, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic),
saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat
direkomendasikan (Navazesh, 2003)
Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya
saliva buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan
dentifrices yang juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang
menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat
parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien
mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini. (Guggenheimer, 2003).
Pasien dengan gejala sistemik sebaiknya diberikan penanganan sesuai
kelainan yang dideritanya. Seorang pasien dengan DM (tipe 1 dan 2) seharusnya
mendapatkan pengobatan DM dengan baik sehingga kontrol metaboliknya
menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akan memperbaiki kondisi xerostomia
yang dialaminya.
Terapi insulin merupakan terapi utama untuk pasien dengan DM tipe 1.
Terdapat banyak metodem pemggunaan terapi insulin yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien tatapi secara umum merupakan injeksi subkutan (Kinambi,
2008), pemberian Preparat amylin komersial (pramlintide) dan Oral Hypoglicemic
Agent (OHA) adalah terapi garis pertama yang digunakan untuk pasien dengan
DM tipe 2, dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin pancreas dan kerja
insulin (insulin action) (Kinambi, 2008).
c. Pengobatan Kandidiasis
Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik, dengan
syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang akan dirawat.
Obat - obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal berupa : clotrimazole
lozenge, nystatin pastiles, dan nystatin suspensi oral, sedangkan obat anti jamur
yang dapat dibenkan secara sistemik yaitu : ketoconazole tablet, itraconazole
tablet, fluconazole tablet. Hal yang sangat penting dilakukan oleh pasien adalah
menjaga kebersihan rongga mulut, sehingga kandida albikans yang merupakan
mikroorganisme komensal dan flora normal di rongga mulut tidak berubah
menjadi agen infeksius opportunistik penyebab kandidiasis oral. Pasien juga harus
23
menghindari faktor - faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kandidiasis
(Kinambi, 2008).
d. Perawatan Sindroma Mulut Terbakar
Semua pasien dengan BMS, diabetes mellitus harus dieksklusikan dengan
menghitung kadar gula darah puasa. Pasien dengan hasil abnormal harus
dilakukan manajemen dan edukasi. Control diabetes mellitus dapat mengurangi
BMS. Penggantian medikasi diabetes terkadang dapat membantu. Beberapa
pasien membutuhkan obat – obatan oral atau beberapa membutuhkan terapi
insulin (Kinambi, 2008).
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik sebagai akibat kurangnya
insulin di dalam tubuh sehingga glukosa darah diatas normal hampir sepanjang
waktu, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai gejala klinis
akut 3P (poliuria, pplidipsi, polifagia ) atau kadang – kadang tanpa gejala.
Penyakit periodontal dapat diartikan sebagai suatu proses patologis yang
mengenai jaringan periodontal. Beberapa kelainan sistemik dapat berpengaruh
buruk terhadap jaringan periodontal salah satunya diabetes mellitus yang secara
statistik telah dibuktikan bahwa diabetes merupakan salah satu faktor predisposisi
perkembangan penyakit periodontal.
Penderita diabetes mellitus tidak terkontrol dijumpai adanya keradangan
gingival mulai dari gingivitis marginalis sampai periodontitis supuratif akut, gigi
goyang , rasa sakit pada perkusi gigi, resorpsi tulang alveolar yang cepat dan
abses gingival multiple. Sedang pada penderita diabetes terkontrol didapatkan
bahwa gejala – gejala tersebut menurun keparahannya dan bahkan ada kalanya
hilang sama sekali. Penderita diabetes terkontrol menunjukkan resorpsi tulang
alveolar yang lebih lambat dibandingkan penderita diabetes yang tidak terkontrol.
Diabetes dipercaya menimbulkan periodontitis melalui respon inflamasi
berlebihan mikroflora jaringan periodontal. Mikroflora subgingiva pasien
periodontitis yang mempunyai diabetes mellitus secara umum ekuivalen dengan
pasien periodontitis yang tida terdiagnosis mempunyai diabetes.
4.2 Saran
Bila ditemukan gejala diabetes mellitus segera periksakan diri ke dokter
agar penyakit tidak bertambah parah, mengganggu aktifitas, dan timbul
komplikasi.
25
DAFTAR PUSTAKA
Alberti KG; Zimmet PZ. Definition, diagnosis and classification of diabetes
mellitus and its complications. Part 1: diagnosis and classification of
diabetes mellitus provisional report of a WHO consultation. Diabetic
Medicine, 1998;15:539-53
Amerongen AVN. Ludah dan Kelenjar Ludah : Arti Bagi Kesehatan Gigi, Gadjah
Mada University Press, 1991; 1-42
Banocy J, Albecht M, Rigo O, Ember G, Ritlop B. Salivary Secretion Rate, pH,
Lactobacilli and Yeast Counts in Diabetic Women. Acta Diabetol Lat, Jul-
Sep 1987,; 24:3 223-8
Borg Andersson A, Birkhed D, Berntorp K, Lindgarde F, Matsson L, Glucose
Concentration in Parotid Saliva After Glucose/Food Intake in Individual
with Glucose Intolerance and Diabetes Melitus, Eur J Oral Sci. 1998, Oct;
106(5):931-7
Brian L.Mealey and Thomas W.Oates : Diabetes Mellitus and Periodontal Disease
: J Periodontal .August. 2006 : 8 .19 – 13.
Carranza FA , et al . 2006 : Clinical Periodontology , 10th. Philadelphia, W.B.
Saunders Co.Ltd: pp 309 -41, 391, 461-65,654-65.
Chavez EM et al. Salivary function and glycemic control in older persons with
diabetes. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endodont
2000;89:305-11.
Cohen DW.1990. Diabetes Mellitus and Periodontal Disease. J Periodontal 41 :
hlm 709.6.
Collin HL et al. Periodontal findings in elderly patients with non-insulin
dependent diabetes mellitus. J Periodont 1998;69:962-6.
Cutler CW et al. Heightened gingival inflammation and attachment loss in type 2
diabetics with hyperlipidemia. J Periodont 1999;70:1313-21.
Daliemunthe SH. Hubungan timbal balik antara periodontitis dengan diabates
melitus. Dentika J Dent 2003; 8(2): 120-5.
David ES. Pancreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus, in: Sylvia AP,
Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC,
Jakarta, 1995, 1109-19
26
Finney LS, Finney MO, Gonzales-Compoy JM. What the Mouth has to say about
Diabetes, Careful examinations can avert serious complication. Postgrad
Med1997; Dec; 102 (6) : 117-26
Graves DT, Liu R, Alikhani M, Al-Mashat H, Trackman PC. Diabetes-enhanced
inflammation and apoptosis: impact on periodontal pathology. J Dent Res
2006;85(1):15-21.
Gavin JR 3rd. New classification and diagnostic criteria for diabetes mellitus. Clin
Cornerstone 1998;1:1-12.
Guggenheimer J, Moore PA, Rossie K, et al. Insulin-dependent diabetes mellitus
and oral soft tissue pathologies, II: prevalence and characteristics of
Candida and Candidal lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod 2000;89(5):570-576.
Iughetti L, Marino R, Bertolani MF, Bernasconi S. Oral Health in Children and
Adolescents with IDDM. Pediatr. Endocrinol. Metabolism, 1999, Sep-Oct; 2
(5); 603-10
Keen H, Alberti KGMM. Genetics of Diabetes, in : International Textbook of
Diabetes Melitus, 2nd ed. Alberti KGMM, Ximmet P,. De Fronzo RA, John
Wiley & Sons Ltd. England; 1997, 37-88
Karjalainen KM, Knuuttila ML, Kaar ML. Relationship between Caries and Level
of Metabolic Balance in Children and Adolescents with Insulin Dependent
Diabetes Melitus, Caries Res 1997; 31 (1) : 13
Lalla E, Kaplan S, Chang SM, et al. Periodontal infection profiles in type 1
diabetes. J Clin Periodontol 2006;33(12):855-862.12.
Molyneaux LM, Constantino MI, McGill M, Zilkens R, Yue DK. Better
glycaemic control and risk reduction of diabetic complications in Type 2
diabetes: comparison with the DCCT. Diabetes Res Clin Pract
1998;42(2):77-83.
Marwati E.1992. Infeksi Jaringan Lunak mulut pada Penderita Diabetes Mellitus .
Majalah Ilmu Kedokteran Gigi FKG USAKTI .No 11 hlm.76-81.9.
Manson JD, Eley BM. Outline of periodontics. Alih Bahasa. Anastasia S. Jakarta:
Hipokrates, 1993: 71.
27
Ranakusuma AB. Buku Ajar Praktis Metabolik Endokrinologi Rongga Mulut. FK
UI, Jakarta, 1992, 71-117.
Schulze A, Busse M. Periodontal disease in diabetics : Relationship, Prevention,
and Treatment. Clinical Sports Medicine International (CSMI) 2008; 1(2): 1-
4.
Soskolne WA. Epidemiological and clinical aspects of periodontal diseases in
diabetics. Annals Periodont 1998;3:3-12.
Tjokroprawiro A 1998. Diabetes Mellitus dan Macam – macam Diit Diabetes
Mellitus B, B1,B2,B3 .Edisi ke -10 Surabaya, Airlangga University Press:
hlm.1-9,15-6.
Vernino AR. Etiologi Penyakit Periodontal. Dalam: ed. Amaliya, Juwono L.
Silabus Periodonti. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004: 13