Laporan Praktikum Farmakologi

14
PRAKTIKUM IV MENENTUKAN LD 50 (LETHAL DOSE) SUPERMETRIN (SUTRIN 100ec) PADA TIKUS A. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS 1. Mengamati perubahan aktivitas perilaku setelah pemberian supermetrin secara per sonde. 2. Menentukan LD 50 supermetrin pada tikus. B. PENDAHULUAN Pestisida merupakan suatu zatatau campuran zat yang khusus digunakan untuk engendalikan, mencegah, dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, jasad renik yang di anggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman. Peptisida bersifat toksik. Pada mamalia efek utama yang ditimbulkan adalah menghambat asetilkolin esterase yang menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus akibat penumpukan asetilkolin yang tidak dihidrolisis. Penghambatan asetilkolinesterase juga menimbulkan polineuropati (neurotoksisitas) mulai terbakar sampai kesemutan terutama di kaki akibat kesukaran sensorik dan motorik dapat meluas ke tungkai dan kaki (terjadi ataksia).

description

MENENTUKAN LD 50 (LETHAL DOSE)SUPERMETRIN (SUTRIN 100ec) PADA TIKUS

Transcript of Laporan Praktikum Farmakologi

Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi

PRAKTIKUM IV

MENENTUKAN LD 50 (LETHAL DOSE)

SUPERMETRIN (SUTRIN 100ec) PADA TIKUS

A. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS

1. Mengamati perubahan aktivitas perilaku setelah pemberian supermetrin secara per

sonde.

2. Menentukan LD 50 supermetrin pada tikus.

B. PENDAHULUAN

Pestisida merupakan suatu zatatau campuran zat yang khusus digunakan untuk

engendalikan, mencegah, dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, jasad

renik yang di anggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk

mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman.

Peptisida bersifat toksik. Pada mamalia efek utama yang ditimbulkan adalah

menghambat asetilkolin esterase yang menyebabkan aktivitas kolinergik yang berlebihan

perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus akibat penumpukan asetilkolin

yang tidak dihidrolisis. Penghambatan asetilkolinesterase juga menimbulkan

polineuropati (neurotoksisitas) mulai terbakar sampai kesemutan terutama di kaki akibat

kesukaran sensorik dan motorik dapat meluas ke tungkai dan kaki (terjadi ataksia).

Penilaian keamanan obat/zat kimia perlu dilakukan untuk menentukan seberapa

toksik zat tersebut ke manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tahapan berikut :

1. Menentukan LD 50

2. Melakukan percobaan toksisitas sub akut dan kronis untuk menentukan no effect

level

3. Melakukan percobaan karsinogenitas, teratogenitas, dan mutagenesis yang

merupakan bagian penyaringan rutin keamanan.

Salah satu tujuan melakukan uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD 50.

LD 50 (Lethal Dose 50) adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu.

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi

Perhitugan LD 50 didasarkan atas perhitungan statistic. Nilai LD 50 dapat berbeda 0,002

sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam laboratorium. Karena itu harus dijelaskan

lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misal berat badan dan umur tikus, zat pelarut,

jantan atau betina, lingkungan, dan sebagainya.

Uji toksisitas akut tidak hanya bertujuan untuk menentukan nilai LD 50, tetapi

juga untuk melihat berbagai perubahan tingkah laku, adakah stimulasi atau depresi SSP,

perubahan aktivitas motorik dan pernafasan tikus, serta untuk mendapat gambaran

tentang sebab kematian. Oleh sebab itu uji toksisitas ini harus dilengkapi dengan

pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologik dari organ yang

dianggap dapat memperlihatkan kelainan. Kematian yang timbul oleh kerusakan pada

hati, ginjal, atau system hematopoisis tidak akan terjadi pada hari pertama tapi timbul

palng cepat hari ketiga.

Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun yang

terdapat pada bahan sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas akut ini

diteliti pada hewan percobaan yang menunjukkan evaluasi keamanan dari kandungan

kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik,

obat-obatan, dan sediaan biologi. Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi

atau data tentang toksisitas suatu bahan (kimia) pada hewan uji. Secara umum uji

toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka pendek/akut, dan uji

toksisitas jangka panjang. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi

tentang gejala keracunan, penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis

yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan.

Uji toksisitas akut merupakan efek yang merugikan yang timbul segera sesuda

pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau berulang yang diberikan dalam 24

jam. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar

median lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 ditetapkan sebagai tanda statistik pada

pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50%

hewan uji (Frank,1996). Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek

toksik suatu bahan (kimia) pada seke lompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji

dipandang sebagai subjek, respon berupa kematian tersebut merupakan suatu respon

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi

diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian.

Quantal respon , yaitu jumlah respon pada sekelompok hewan uji terhadapdosis tertentu

suatu obat atau bahan.

Pengamatan terhadap efek ini dilakukan untuk menentukan jumlah respon dari

suatu respon diskretik (all or none response) pada suatu kelompok hewan uji. Jumlah

respon tersebut dapat 100%, 99%, 50%, 20%, 10%, atau 1%. Respon yang bersifat

diskret itu dapatberupa kematian, aksi potensial, dan sebagainya, Dosis dibuat sebagai

suatu peringkat dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis terendah merupakan dosis

yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi

merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji. Cara pemberian

obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan pada pemberiannya pada manusia,

sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia.

Dalam uji toksisitas akut, penentuan LD50 dilakukan dengan cara menghitung

jumlah kematian hewan uji yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis

tunggal bahan yang diteliti menurut cara yang ditunjukkan oleh para ahli. Namun

demikian, kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat

berjalan lambat. Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan bahwa

bahan obat atau bahan itu mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah

sehingga gejala keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity). Oleh

karena itu banyak ahli berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati sampai 7 hari

bahkan juga sampai 2 minggu. Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang

sesuai dengan karakteristik bahan kimia tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya

perubahan selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar

volume yang sesuai dengan hewan uji.

Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan

dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ini

ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta untuk

memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis. Uji

Toksisitas Sub-kronik (Jangka Pendek) Uji ini dimaksudkan untuk mengungkapkan

berbagai efek berbahaya yang dapat terjadi jika suatu senyawa digunakan selama waktu

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi

tertentu, selama waktu tertentu, serta untuk menunjukkan apakah berbagai efek tersebut

berkaitan dengan dosis. Kegunaan uji toksisitas sub-kronik adalah untuk mengetahui efek

samping dan kontraindikasi obat yang diuji. Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan

tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka

waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; yaitu 3 bulan untuk tikus, dan 1 atau 2

tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih

pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.

Uji Toksisitas Kronik (Jangka Panjang) Pada dasarnya uji toksisitas kronik sama dengan

toksisitas sub-akut. Perbedaannya hanya terletak pada lamanya pemberian dosis dan masa

pengamatannya. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 3–

6 bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan

7–10 tahun untuk anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari

6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenik. Umumnya satu

atau lebih jenis binatang yang digunakan. Kecuali tidak ditunjukkan, tikuslah yang

digunakan, anjing dan primata merupakan pilihan berikutnya. Karena ukurannya yang

kecil, tikus tidak cocok digunakan dalam studi toksisitas jangka panjang, meskipun

mereka sering digunakan dalam studi karsinogenesitas. Jantan dan betina dalam jumlah

yang sama digunakan. Umumnya 40-100 tikus ditempatkan dalam kelompok masing-

masing dosis dan juga dalam kelompok kontrol. Penggunaan anjing dan primata non

manusia jauh lebih sedikit.

C. ALAT DAN BAHAN

1. Kapas, kain, spuit, kasa, klem

2. Kandang, tikus 3 ekor

3. Alkohol

4. Sutrin 100ec (dosis 25 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB)

D. PROSEDUR KERJA

1. Siapkan sondeyang berisi sutrin 100ec untuk masing-masing tikus dengan dosis 25

mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB.

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi

2. Pegang tikus dalam posisi terlentang secara gentle.

3. Berikan sutrin 100ec per sonde pada masing-masing tikus

4. Amati perubahan prilaku masing-masing tikus (seperti yang tertera pada lembar

pengamatan) dengan seksama.

E. HASIL PENGAMATAN

LD 50, DATA KELAS

Dosis Respon Tidur (+/-) Pada Tikus % Indikasi Yang

Berespon1 2 3 4 5 6

25 mg - - - - - - 0 %

100 mg + + + + - + 83,3 %

200 mg + + + + + + 100 %

Perhitungan :

y = bx + a dari data tabel, didapat A= 1,5635

B = 0,5495

R = 0,9007

Maka ; y = 1,5635 + 0,5495 X

Jika diminta y = 50, maka 50 = 1,5635 + 0,5495 X

0,5495 X = 48,4365

% R

espo

n

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi

x = 88,15 mg

Jadi ,LD 50 sebesar 88,15 mg

F. LEMBAR PENGAMATAN

LD50 Data Kelompok (Perubahan Prilaku Masing-Masing Tikus)

Menit No.

Eksperimen

Postur

Tubuh

Aktivitas

Motor

Ataxia Righting

Reflex

Test

Kasa

Analgesia Ptosis Mati

5 1

2

3

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

-

-

+++

10 1

2

3

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

-

-

+++

15 1

2

3

+

+

-

+

+

-

+

++

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

-

-

+++

30 1

2

3

+

++

-

+

+++

-

+

++

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

+

+

-

-

-

+++

60 1

2

3

+

+++

-

+

++++

-

++

+++

-

+

++

-

+

++++

-

+

++

-

+

+

-

-

-

+++

G. KETERANGAN

1. Postur Tubuh

+ = jaga = kepala dan punggung tegak

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi

++ = ngantuk = kepala tegak, punggung mulai datar

+++ = tidur = kepala dan punggung datar

2. Aktivitas Motor

+ = gerak spontan

++ = gerak spontan bila dipegang

+++ = gerak menurun saat dipegang

++++ = tidak ada gerak spontan pada saat dipegang

3. Ataksia = gerakan berjalan inkoordinasi

+ = inkoordinasi terlihat kadang-kadang

++ = inkoordnasi jelas terlihat

+++ = tidak dapat berjalan lurus

4. Righting Reflex

+ = diam pada satu posisi miring

++ = diam pada dua posisi miring

+++ = diam pada waktu terlentang

5. Test Kasa

+ = tidak jatuh apabila kasa dibalik dan digoyang

++ = jatuh apabila kasa dibalik

+++ = jatuh apabila posisi kasa 90 derajat

++++ = jatuh apabila posisi kasa 45

6. Analgesia

+ = respon berkurang pada saat telapak kaki dijepit

++ = tidak ada respon pada saat telapak kaki dijepit

7. Ptosis

+ = ptosis kurang dari 1/2

++ =1/2

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi

+++ = seluruh palpebra tertutup

H. PEMBAHASAN

LD 50 (Lethal Dose 50) adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50%

individu. Nilai dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam

laboratorium. Jadi harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misal

berat badan, umur tikus, zat pelarut, jenis kelamin, lingkungan dan sebagainya.

Pada peraktikum kami prosedur yang digunakan adalah berat badan dengan rincian

sebagai berikut :

Tikus Berat Badan Dosis Dosis Yang

Diberikan

Sediaan 20,04

mg/ml

1 187 g 25 mg/Kg BB 4,675 mg 0,23 ml

2 196 g 100 mg/Kg BB 19,6 mg 0,98 ml

3 248 g 200 mg/Kg BB 49,6 mg 2,48 ml

Ket :Hasil, tikus dosis 2 dan 3 mati.

Analisa dari data kelas pada tabel di atas, didapatkan hasil bahwa LD 50 terjadi

pada tikus dosis II dan III yaiti 100 mg dan 200 mg. Pada dosis III (200 mg) langsung

dapat teramati selang beberapa detik setelah pemberian pestisida tikus langsung mati.

Berbeda dengan tikus dosis II (100 mg) baru bisa teramati setelah 24 jam.

Uji toksisitas akut tidak hanya bertujuan untuk menentukan LD 50, tetapi juga

untuk melihat berbagai perubahan tingkah laku, adakah stimulasi atau depresi sistem

saraf pusat, perubahan aktivitas motorik & pernapasan tikus serta untuk mendapat

gambaran tentang sebab kematian.

Dari data perubahan tingkah laku di atas dapat kita analisa, bahwa tikus dosis II

(100 mg) menunjukkan perubahan tingkah laku yang lebih tajam dari tikus dosis I (25

mg), dan akhirnya pada 24 jam berikutnya tikus dosis II pun mati. Ini dikarenakan dosis

yang diberikan melebihi LD 50. Karena dari data regresi yang telah dibahas sebelumnya,

kita tahu LD 50 pada 88,15 mg. Jadi wajar jika pada dosis 100 mg tikus mati setelah 24

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi

jam, sedangkan pada tikus dosis I (25 mg), ia bru bisa diamati setelh 3 hari (mati/tidak).

Jika ia mati, berati telah terjadi kerusakan pada organ antara lain pada hati, ginjal, atau

sistem hematopoisis.

I. KESIMPULAN

LD 50 adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu.

LD 50 pada percobaan terjadi pad dosis 88,15 mg

Setelah pemberian sutrin terjadi perubahan tingkah laku pada hewan coba.

Daftar pustaka

Neal, Michael J.(2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit

Erlangga. Hal. 8

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi

Katzung, BG. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 6. EGC: Jakarta, Hal. 354-356

Snaryo. 2004. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

http://www.wartamedika.com/2008/02/obat-supermetrin-valium.html