Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

24
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI “ OBAT – OBAT YANG BEKERJA TERHADAP SISTEM NEUROFEKTOR dan DIURETIK “ Disusun oleh : GISTA DESTIAN D 12330072 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

description

neurofektor

Transcript of Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI“ OBAT – OBAT YANG BEKERJA TERHADAP SISTEM

NEUROFEKTOR dan DIURETIK “

Disusun oleh :

GISTA DESTIAN D 12330072

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2014

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

BAB I

A. Obat – obat yang Bekerja Terhadap Sistem Neurofektor

I. Judul

Efek obat kholinergik dan anti kholinergik pada sekresi kelenjar ludah

II. Tujuan

1. Mahasiswa secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf

otonom dalam pengendalian fungsi – fungsi vegetatif tubuh.

2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik

dan aktivitas obat anti kolinergik pada sekresi kelenjar ludah.

III. Prinsip

Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salvias

dan hipersaliva yang dapat diinhibisi oleh zat anti kolinergik.

Eksperimen ini dapat digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi

aktivitas obat yang dapat befungsi sebagai antagonisme. Hewan yang

digunakan adalah kelinci.

B. Obat – obat yang Bekerja Terhadap Sistem Neurofektor

I. Judul

Efek obat kholinergik dan anti kholinergik pada mata

II. Tujuan

1. Mahasiswa secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf

otonom dalam pengendalian fungsi – fungsi vegetatif tubuh.

2. Dapat menurunkan manfaat atau bahaya obat – obat kolinergik, anti

kolinergik dan adrenergik pada pengobatan mata serta pendekatan –

pendekatan yang mungkin untuk mengatasi kelemahan – kelemahan

tersebut.

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

III. Prinsip

Pemberian obat kolinergik dan anti kolinergik pada mata hewan

percobaan yang dapat menyebabkan miosis dan midriatik. Eksperimen

ini dapat digunakan untuk melihat efek dari obat kolinergik dan anti

kolnergiik pada mata hewan percobaaan.

C. Efek Obat Pada Saluran Cerna

I. Judul

Efek garam – garam terhadap retensi air dalam saluran pencernaan

II. Tujuan

1. Mahasiswa secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf

otonom dalam pengendalian fungsi – fungsi vegetatif tubuh.

III. Prinsip

Pemberian obat kolinergik dan anti kolinergik pada mata hewan

percobaan yang dapat menyebabkan miosis dan midriatik. Eksperimen

ini dapat digunakan untuk melihat efek dari obat kolinergik dan anti

kolnergiik pada mata hewan percobaaan.

D. Diuretika

I. Judul

Diuretika

II. Tujuan

1. mahasiswa memahami kerja farmakologik dari berbagai kelompok

diuretika.

2. mahasiswa memperoleh gambaran tentang cara evaluasi efek

diuretika.

3. mahasiswa satu cara untuk memperkirakan dosis efektif lima puluh

(ED50 ).

III. Prinsip

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Diuretik adalah senyawa yang dapat menyebabkan eksresi urin yang

lebih banyak. Jika pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga ekskresi

garam – garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika/ natriuretika

( diuretika dalam arti sempit ).

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

BAB II

A. Obat – obat yang Bekerja Terhadap Sistem Neurofektor

Klasifikasi saraf otonom berdasarkan pada molekul transmitter utama

yaitu acetylcoline atau norepineprin yang dikeluarkan dari ujung bouton dan

viskositas mereka. Sejumlah besar serat saraf perifer system otonom mensintesis

dan mengeluarkan acetylcoline kolinergik, mereka bekerja dengan cara

mengeluarkan acetylcholine. Hampir semua serat eferen yang keluar system saraf

pusat adalah kolinergik. Sebagai tambahan, semua serat pascaganglion prasimpatis

adalah kolinergik. Sebagian besar serat pascaganglionik simpatis mengeluarkan

noreepinephrin yang disebut serat noradrenergic, mereka bekerja dengan cara

melepaskam norephineprin.

Obat – obat otonom dibagi dalam 5 golongan :

Obat kolinergik ( parasimpatomimetik )

Obat kolinergik ( parasimpatolitik )

Obat penghambat adrenergic ( simpatolitik )

Obat perangsang dan pengghambat ganglion

Reseptor kolinergik ada 2 jenis, yaitu : reseptor muskarinik ( otot polos,

kelenjar, jantung dan otot paru – paru ) dan reseptor nikotinik ( mempengaruhi otot

rangka di ganglion atau sambungan otot rangka. Kolinergik dibagi menjadi 2 jenis

menurut kerjanya, yaitu kolinergik kerja langsung dan kolinergik kerja tak

langsung. Contoh obat kolinergik kerja langsung adalah pilokarpin, karbakol,

pentobarbital natrium dll. Sedangkan contoh kolinergik kerja tak langsung adalah

fisostigmin, piridostigmin dan golongan organopospat.

Anti kolinergik adalah obat – obat yang menghambat asetilkolin dengan

menempati reseptor – reseptor asetilkolin. Anti kolinergik memperlihatkan efek

sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan

mendepresi pada dosis toksis.

Banyak sekali anti kolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan

obat dengan efek selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang

lebih ringan. Contohnya adalah atropine sulfat dan skopolamin.

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Dikatakan obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip

perangsangan saraf adrenergic, atau mirip efek neurotransmitor noreepineprin dan

epineprin dari susunan saraf simpatik. Obat – obat simpatomimetik yang

merangsang reseptor adrenergic dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1. Simpatomimetik kerja langsung

2. Simpatomimetik kerja tak langsung

3. Simpatomimetik kerja campuran

Contoh obatnya adalah epineprin, nor epineprin, isoproterenol. Respon

suatu organ otonom terhadap obat adrenergic ditentukan tidak hanya oleh hanya

oleh efek langsung obat tersebut, tetapi juga oleh refleks homeostatic tubuh.

Penghambat adrenergic atau adrenolitik adalah golongan obat yang menghambat

perangsangan adrenergic. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dapat

dibagi atas antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf adrenergic.

Antagonis aderenoreseptor atau adrenoseptor bloker adalah obat yang

menduduki adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan

obat adrenergik, dan dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel

efektornya. Penghambat saraf adrenergic adalah obat yang mengurangi respons

sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi tidak terhadap obat

adrenergic eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf adrenergic,

mengganggu penglepasan dan atau penyimpanan norepinefrin.

MEKANISME KERJA OBAT

Pentobarbital Na

Dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan anesthesia

tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita. Untuk

induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5% secara intermiten

setiap 30-60 detik samapi tercapai efek yang diinginkan. Untuk anak

digunakan larutan pentobarbital 2% denagn interval 30 detik dan dosis 1,5 ml

untuk berat badan 15 kg, 3ml untuk berat badan 30 kg dan 5ml untuk berat

badan 50kg. Untuk mempertahankan anesthesia pada orang dewasa diberikan

pentotal 0,5-2ml larutan 2,5%, sedangkan pada anak 2ml larutan 2%. Untuk

anesthesia basal pada anak, biasa digunakan pentotal pada rectal sebagai

suspensi 40% dan dosis 30 mg/BB.

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Atropin Sulfat

Penghambatan pada atropine hanya terjadi dengan dosis sangat besar,

kelompok ini memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi dengan afinitas

yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat. Pda dosis kecil atropine hanya

menekan sekresi air liur, mucus bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi

pupil, gangguan akomodasi. Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk

menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung

Farmakodinamik

Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi dengan

pemberian acetilkolin dalam jumlah yang berlebihan atau pemberian

antikolinesterase. Atropin memblok acetilkolin endapan maupun eksogen, tapi

hambatanya jauh lebih kuat terhadap eksogen

1. Pada Mata

Alkoloid Belladonae menghambat M.constictor pupillae dan M. cillaris

lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia.

Midriasis menyebabkan fotobia, sedangkan sikloplegia menyebabkan

hilangnya daya melihat jarak dekat.

2. Pada kelenjar ludah

Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang

lebih besar, kulit menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian

muka dan leher.

Farmakokinetik

Alkaloid Belladona mudah diserap dari semua tempat, kecuali dari kulit.

Pemberian atropine sebagai tetes mata, terutama pada anak dapat

menyebabkan asorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mokusa nasal,

sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan

Prokain

Prokain merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Sediaan prokain

HCL terhadap dalam kadar 1-2% dengan atau tanpa epinerpin untuk

anesthesia infiltrasi yang memblokade saraf dan 5-20% untuk anesthesia

spinal. Untuk anesthesia kaudal yang terus menerus, dosis awal adalah 30 ml

larutan prokain 1,5%

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Farmakodinamik

Pada penyuntikan prokain eska dengan dosis 100-800 mg, terjadi analgesia

umum ringan yang derajatnya berbanding lurus dengan dosis.

Farmakokinetik

Absorbsi berlangsung cepat dari tempat suntikan dan untuk memperlambat

absorbsi perlu ditambahkan vasokonstriktor. Sesudah asorbsi, prokain cepat

dihidrolisis oleh esterase dalam plasma menjadi Paba dan dietilaminoetanol.

Paba dieskresi dalam urin, kira-kira 80% dalam bentuk utuh dan bentuk

konjungasi. 30% dietilamino ditemukan dalam urin dan selanjutnya

mengalami degradasi dalam lambung lebih lanjut.

B. Diuretika

Diuretika adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.

Diuretika bekerja dengan :

1. menunjukkan adanya penambahan volume urin yang di produksi

2. menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air.

Fungsi utama diuretic adalah utuk memobilisasi cairan udem, yang berarti

mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa, sehingga volume cairan ekstra

sel kembali menjadi normal.

Pengaruh diuretic terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk

menentukan tempat kerja diuretika dan sekligus untuk meramalkan akibat

penggunaan

1. Diuretik osmotic

2. Penghambat mekanisme transport elektrolit ditubuli ginjal

Obat yang dapat menghambat transport diuretic di tubuli ginjal adalah :

Penghambat karbonik anhidrase

Benzotiadiazid

Diuretic hemat kalium, dan

Diuretik kuat.

A. Furosemida

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Sifat khas pada senyawa ini adalah kerjanya yang amat singkat tetapi ntensif

pada pemakaian secara paranteral, segera setelah penyuntikan terjadi peningkatan

ekskresi natrium, klorida, dan air yang lebih besar dari pada ekskesi yang

disebabkan oleh semua diuretika.

Karena kerjanya hanya bertahan singkat pada dosis rendah dan sedang terlihat

pemurnian laju ekskresi yang relative tepat sampai dibawah harga control (gejala

rebound). Walaupun demikian dengan peningkatan dosis efek keselurahan

dibandingkan dengan senyawa tiazid dapat meningkat. Artinya dengan dosis tinggi

suatu diuretika Jerat Henle, udem dapat dihilangkan jika tiazid tidak berkhasiat lagi.

Lebih dari 30 % ion natrium yang difiltrasi pada pemberian obat dengan dosis yang

cocok akan dapat diekskresi.

Sama seperti tiazida, diuretik Jeral Henle ini disamping mengekskresi lebih

banyak ion Na+ dan ion Cl-, obat ini pun mengekskresi ion klsium dan magnesium

lebih banyak. Berbeda dengan tiazida, disini ekskresi ion kalsium juga. Sifat ini

dapat dimanfaatkan pada hipertalasemia.

Mekanisme Kerja

senyawa ini dari tipe lumen (tepat bolak-balik) memblok pembawa Na+/ K+/

2Cl-, dan dengan cara ini menghambat absorbsi. Na+, K+, Cl- dalam cabang local

Jerat Henle menaik. Untuk dapat bekerja dan daerah lumen, senyawa ini dari aliran

darah harus masuk ke cairan tubulus. Transport terutama terjadi melalui sekresi

tubulus proksimal. Ini yang menjelaskan mengapa pada insufisensi ginjal yang

proses sekresinya dipengaruhi diperlukan dosis yang lebih tinggi saat mulai kerja

yang lebih lambat. Pada pemberian secara oral diuretika Jeral Henle tipe furosemid

diobsorbsi dengan cepat tetapi tidak sempurna.

Ketersediaan hayati furosemid yang merupakan zat yang paling banyak

digunakan adalah sekitar 60 %. Ikatan proteinnya tinggi yaitu sekitar 98 %, waktu

paruh sekitar 1 jam.

Ekskresi senyawa terutama melalui ginjal disamping ekskresi empedu. Dosis

tunggal rata-rata untuk penggunaan udem secara oral. Furosemid Aomo, pada

inslensi ginjal/udem yang resisten terhadap diberikan dosis yang tinggi (sampai

sekitar 2 g/hari furosemida sebagai infus.

B. Tiazid ( Hidroklortiazida

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

Farmakokinetik

Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak

setelah 1 jam. Klortiazid di distribusi ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati

sawar urin, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu

proses aktif, tiazid diekskresi oleh seltubuli proksimal kedalam cairan tubuh. Jadi

bersihan ginjal obat ini besar sekali biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari

badan. Bendroflumetiazid, politiazid dan hertalidon mempunyai masa kerja yang

lebih panjang karena ekskresinya lebih lambat.

Klortiazid dalam badan tidak mengalami perubahan metabolic, sedangkan

politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan.

Efek Samping

Intoksikasi dalam klinik jarang terjadi biasanya reaksi yang timbul disebabkan

oleh reaksi alergi atau karena penyakitnya sendiri. Telah dibuktikan pada hewan

coba bahwa besarnya dosis toksik beberapa kali dosis terapi. Reaksi yang yang telah

dilaporkan adalah berupa kelainan kulit, pura-para, dermatitis disertai

fotosensitivitas dan kelainan darah.

Pada penggunaan lama dapat timbul hiper likema, terutama pada penderita

diabetes. Ada 3 faktor yang menyebabkan hal ini dan telah dapat dibuktukan pada

tikus yaitu: berkurangnya sekresi insulin terhadap peninggian kadar glukosa plasma,

meningkatnya glukosfenolisis, dan berkurangnya glikogenesis. Tiazid dapat

menyebabkan peningkatan kadar kolesteroldan trigliserid plasma dengan

mekanisme yang tidak diketahui, tetapi tadak jelas apakah ini meninggikan resiko

terjadinya aterosllerosis.

Kadar natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat plasma, sebaiknya diperiksa

secara berkala pada penggunaan tiazida jangaka lama walaupun perubahannya tidak

menonjol. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan diare, muntah-

muntah atau anoreksia harus segera diatasi karene memperbesar bahaya intoksikasi

digitalis, memungkinkan terjadinya koma hepatikum pada penderita sirosis hepatitis

dan parese / paritisis otot skelet. Kombinasi tetap tiazid bersama diuretik hemat

kalium dapat mencegah hipopalemia.

BAB III

HASIL PENGAMATAN

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

A. Kelompok 1 (efek obat kholinergik dan anti kholinergik pada sekresi kelenjar ludah)Hewan Percobaan : KelinciAlat : Alat suntik 1 ml ; jarum suntik no. 27, ¾ - 1 inch ;

jarum suntik no.26 ½ inch ; gelas ukur 50 ml ; corong ; timbangan dan wadah kelinci.

Bahan Obat : Pentobarbital natrium intra vena ; pilokarpin nitrat intra muskular ; atropina sulfat intra vena

Prosedur : 1. Kelinci disedasikan dengan pentobarbital

natrium2. Suntikan larutan pilokarpin. Catat waktu

penyuntikan3. Saliva yang di ekskresikan di tampung dalam

gelas ukur ( catat saat muncul efek salivasi ) selama 5 menit.

4. Setelah 5 menit, suntikan atropina sulfat.5. Tampung saliva yang di ekskresikan dalam gelas

ukur baru ( selama 5 menit ).

Tabel pengamatan :

Waktu Keterangan

11:11 Pemberian phenobarbital 0,8ml11:19 Kelinci menjadi tenang11:23 Pemberian pilokarpin 0,5ml11:25 Setelah disuntik pilokarpin, pada menit ke-2 saliva mulai

keluar. Setelah 5 menit kelinci mengeluarkan saliva sebanyak 10ml

11:28 Pemberian Atropin sulfat 0,1ml11:33 Setelah disuntikkan, kelinci sedikit mrngrluarkan salova

tidak sebanyak pilokarpin

B. Kelompok 2 (Efek obat kholinergik dan anti kholinergik pada mata)Hewan Percobaan : KelinciAlat : pipet tetes ; alat pengukur diameter pupil mata ; senter.Bahan Obat : larutan fisostigmin salisilat 0,2 % ; larutan

pilokarpin HCl 3 % ; larutan atropin sulfat 2 %Prosedur :

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

1. Amati, ukur dan catat diameter pupilmata pada cahaya suram dan pada penyinaran dengan senter. Bandingkan .

2. Semua obat yang digunakan, diteteskan ke dalam kelopak mata bawah. Setelah larutaan diteteskan, biarkan mata terbuka selama satu menit sambil ditekan saluran nasolakrimal.

3. Bila tidak ada efek setelah 15 menit, ulangi prosedur ini.

4. Ke dalam mata kanan teteskan 3 tetes larutan fisostigmin salisilat dan kedalam mata kiri diteteskan 3 tetes larutan pilokarpin HCl. Perhatikan dan catat efek yang terjadi.

5. Tiap kali setelah penetesan obat, refleks pupil mata diuji.

6. Setelah terjadi misosis kuat pada kedua mata, kedalam mata kanan diteteskan 2 tetes larutan atropin sulfat. Amati efek pada kedua mata.

7. Selang 20 menit kemudian, ke dalam mata kanan di teteskan 6 tetes larutan fisostigmin salisiliat.

Tabel Pengamatan :

Efek KeteranganKolinergik Mata kelinci sebelah kiri diberikan pilokarpin, dan jika di

tekan pupil akan mengecilAntikolinergik Mata sebelah kanan diberikan atropin dan jika ditekan

pupil akan membesar

C. Kelompok 3 (Efek garam – garam terhadap retensi air dalam saluran cerna)Hewan Percobaan : 1 ekor tikus putih jantanAlat : spuit 1 ml atau 2 ml ; gunting ; benang steril ;kaca

arloji ; pipet tetes ; kleenex ; jarum bedah.Bahan Obat : Larutan pentobarbital natrium 4 % ; larutan

magnesium sulfat 25 % ; 3 % dan 0,2 % ; natrium klorida fisiologik.

Prosedur :1. Tikus dipuasakan makan selama 24 jam, minum

tetap diberikan2. Tikus di bius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg

bb secara ip.

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

3. Usus dipamerkan melalui torehan ventral sagital, usus jangan sampai terluka, selama pembedahan dan percobaan usus harus basahi dengan NaCl fisiologik

4. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pirolus,

Tabel Pengamatan :

D. Kelompok 4 ( Diuretika)

Hewan percobaan : 1 ekor tikus putih

Alat : spuit; pipa lambung; kandang khusus; tabung

berskala untuk

Penampunga urin;kertas indikator

Bahan obat :furosemid Na 0,5 mg/kg bb ; 13,5 mg/kg bb; larutan

NaCl fisiologik

0,5 ml.

Prosedur :

1. Tikus dipuasakan selama 12 sampai 16 jam, tetapi tetap

diberikan air minum

2. Tikus diberikan air minum per oral sebanyak 50 ml/kg bb

3. Tikus diberikan furosemid sesuai dosis atau NaCl fisiologis

4. Setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam

kandang khusus yang didisain untuk mengumpulkan urin

tanpa kontaminasi feses.

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

BAB IV

PEMBAHASAN

 Dalam praktikum farmakologi dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-

obat sistem syaraf otonom pada kelinci. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem

saraf tak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara

otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang

belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan

organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem

pencernaan dan otot polos pembuluh darah.

Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai

obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal

suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor

parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian

obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom.

Percobaan ini dimulai dengan mempersiapkan berbagai alat yang

dibutuhkan. Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu kelinci. Kelinci diberikan 

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

uretan(pentobarbital) dengan dosis yang sesuai, secara intravena menggunakan jarum suntik.

Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan. Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat

mencit tertidur atau  menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan kelinci dilakukan

karena dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan

digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom.

Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem

syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem

pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau

oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang

aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka

aktivitas kelenjar saliva akan menurun.

Setelah  diberi uretan, kelinci pun akan merasa tenang pada saat itulah diberikan

pilokarpin secara intramuskular.  Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar

mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan

stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan

turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah.

Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang

dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-

kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. pilokarpin merupakan salah satu pemacu

sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.

Setelah 5 menit dari pemberian pilokarpin, kelinci menghasilkan saliva sebanyak 10ml.

setalah itu, kelinci disunttikkan dengan larutan atropin melalui intravena. Atropin merupakan

obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada kelinci

untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin

merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin

termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun

eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna

yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva

menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen

antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan

kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem

syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis

histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini

dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

            Setelah semua obat diberikan kepada mencit, kemudian disiapkan gelas ukur yang

sudah diletakkan diatas papan dengan kemiringan. Kemudian letakkan mulut tikus di atas

gelas ukur, dan ukur berapa banyak saliva yang terdapat pada gelas ukur. Dari hasil

percobaan menunjukan bahwa atropin cukup efektif bekerja sebagai antikolinergik. Hal

tersebut terbukti dengan dosis atropin yang semakin besar, pengaruh pilokarpin

sebagai kolinergik yang mampu meningkatkan ekskresi saliva dapat menurun.

BAB V

KESIMPULAN

Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Atropin

digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki aktivitas

menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat parasimpatomimetik

(kolinergik) yang memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.

Semakin tinggi dosis atropin yang diberikan terhadap hewan percobaan, semakin

sedikit saliva yang dikeluarkan oleh hewan percobaan tersebut.

Saraf simpatik dan saraf parasimpatik, kedua saraf tersebut bersifat antagonis. Jika

saraf simpatik menyebabkan kontraksi pada suatu efektor, saraf parasimpatik

menyebabkan relaksasi pada efektor tersebut. Mekanisme kerja seperti itu

bertujuan agar proses-proses di dalam tubuh berjalan dengan normal. Contohnya, pengaruh

saraf simpatik dan parasimpatik terhadap efektor adalah saraf simpatik menyebabkan

kecepatan dan volume kecepatan jantung bertambah, sedangkan saraf parasimpatik

menyebabkan kecepatan volume kecepatan jantung berkurang. Contoh lainnya, saraf

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Neurofektor

simpatik menyebabkan otot siliari mata relaksasi, sedangkan saraf parasimpatik

menyebabkan otot siliari mata kontraksi.