Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

13
1 Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN LEUKEMIA AKUT Yaditta Mirdania, Losen Adnyana, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Sindrom Down (DS) merupakankelainan kromosom yang paling sering dijumpai post natal. Insiden Sindrom Down (DS)diperkirakan sebesar 1 dari 700 kelahiran hidup (1,2). Selain itu Sindrom Down ini sering terjadi bersamaan dengan keganasan tertentu, seperti leukemia, germ cell tumor, dan retinoblastoma (1,2).Sindrom Down pertama kali dihubungkan dengan leukemia sejak tahun 1930 dimana pertama kali dilaporkan sebuah kasus leukemia akut pada penderita Sindrom Down (2). Peningkatankejadianleukemiapada individu denganSindrom Down(DS) diamatihampir 50tahun yang laluoleh Krivit dan Good pada tahun1957 (2,3).Pada suatu studi didapatkan risiko relatifdarileukemia akutpada 5 tahunpertama kehidupanmerupakan56kali dariindividunon-DS, danleukemiamyeloidakut(AML) adalahsamasering sepertileukemia limfoid akut(ALL) (3,4). Anak-anak dengansindrom Down(DS) memiliki risiko10 sampai20kali lipat terjadinya semua jenis leukemiaakut, sedangkanresiko relatif terjadinya leukemiamegakaryoblastikakut(AMKL) diperkirakan500kali lebih tinggipada anak-anakdengan Sindrom Down dibandingkanmereka yang bukan (3,4). Karena tingginya resiko terjadinya leukemia akut pada penderita Sindrom Down tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai Leukemia akut pada penderita Sindrom Down. Mengingat Sindrom Down merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan adanya berbagai kelainan kongenital yang meliputi multi organ yang mungkin akan berpengaruh terhadap manifestasi klinis leukemia itu sendiri maupun terapi dan prognosis leukemia pada penderita tersebut. Berikut akan dilaporkan sebuah kasus seorang penderita Sindrom Down dengan leukemia akut tipe myeloid yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Transcript of Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

Page 1: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

1

Laporan Kasus

SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN LEUKEMIA AKUT

Yaditta Mirdania, Losen Adnyana, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu

Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Sindrom Down (DS) merupakankelainan kromosom yang paling sering dijumpai

post natal. Insiden Sindrom Down (DS)diperkirakan sebesar 1 dari 700 kelahiran hidup

(1,2). Selain itu Sindrom Down ini sering terjadi bersamaan dengan keganasan tertentu,

seperti leukemia, germ cell tumor, dan retinoblastoma (1,2).Sindrom Down pertama kali

dihubungkan dengan leukemia sejak tahun 1930 dimana pertama kali dilaporkan sebuah

kasus leukemia akut pada penderita Sindrom Down (2).

Peningkatankejadianleukemiapada individu denganSindrom Down(DS) diamatihampir

50tahun yang laluoleh Krivit dan Good pada tahun1957 (2,3).Pada suatu studi

didapatkan risiko relatifdarileukemia akutpada 5 tahunpertama

kehidupanmerupakan56kali dariindividunon-DS, danleukemiamyeloidakut(AML)

adalahsamasering sepertileukemia limfoid akut(ALL) (3,4). Anak-anak dengansindrom

Down(DS) memiliki risiko10 sampai20kali lipat terjadinya semua jenis leukemiaakut,

sedangkanresiko relatif terjadinya leukemiamegakaryoblastikakut(AMKL)

diperkirakan500kali lebih tinggipada anak-anakdengan Sindrom Down

dibandingkanmereka yang bukan (3,4).

Karena tingginya resiko terjadinya leukemia akut pada penderita Sindrom Down

tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai Leukemia akut pada

penderita Sindrom Down. Mengingat Sindrom Down merupakan suatu sindrom yang

ditandai dengan adanya berbagai kelainan kongenital yang meliputi multi organ yang

mungkin akan berpengaruh terhadap manifestasi klinis leukemia itu sendiri maupun

terapi dan prognosis leukemia pada penderita tersebut. Berikut akan dilaporkan sebuah

kasus seorang penderita Sindrom Down dengan leukemia akut tipe myeloid yang ada di

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Page 2: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

2

Kasus

Seorang laki-laki, usia 16 tahun, suku Bali, rujukan dari RSUD Negara, pasien

datang dengan keluhan demam tinggi sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit,

demam dirasakan terus menerus, demam turun sesaat setelah minum obat penurun panas

kemudian naik lagi. Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah

sakit, batuk disertai dahak dengan warna putih, sesak nafas disangkal. Gusi berdarah juga

dirasakan oleh pasien sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit, darah

dirasakan merembes terus menerus. Buang air kecil dan buang air besar lancer dan tidak

ada keluhan.

Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien tidak pernah mengeluhkan sakit

seperti sekarang, dan tidak didapatkan riwayat sakit jantung maupun paru-paru. Dari

riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan riwayat leukemia ataupun keganasan

lainnya. Dari riwayat sosial, pasien saat ini bersekolah di sekolah dasar kelas 5, sering

tidak naik kelas. Riwayat merokok sejak kurang lebih 6 tahun yang lalu, 1 bungkus/hari.

Riwayat konsumsi alkohol disangkal.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien kesadaran compos mentis, kesan sakit

berat, wajah mongoloid face, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 128 x/menit regular,

kuat, frekuensi nafas 22 x/menit, suhu 39 ⁰C, saturasi oksigen perifer 99%. Pada

pemeriksaan kepala leher didapatkan mata anemis, teraba pembesaran kelenjar getah

bening colli dan submandibular kanan- kiri multiple, ukuran terbesar 2x2 cm, konsistensi

kenyal, mobile, dan tidak nyeri. JVP didapatkan tidak meningkat. Pada pemeriksaan

thorax didapatkan simetris, ictus cordis teraba pada 1 cm medial linea midclavicular

sinistra ICS V, S1 dan S2 tunggal, regular, tidak didapatkan murmur. Pada pemeriksaan

paru-paru didapatkan fremitus raba meningkat pada basal hemithorax kanan, perkusi

didapatkan sonor di kedua lapangan paru dengan auskultasi didapatkan ronkhi kasar pada

basal paru kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan supel, bising usus normal,

hepar teraba 2 cm bawah arcus costae, dengan konsistensi kenyal, permukaan licin, sudut

tajam, tidak nyeri, liver span 14 cm, lien tidak teraba dengan traube space positif. Pada

ekstremitas didapatkan hangat, dan terdapat tanda simian crease pada kedua telapak

tangan.

Page 3: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

3

Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukosit 56,95x10³

/mm³, Neutrofil 13,78x10³/mm³ (24,19%), Limfosit 4,25x10³/mm³ (7,46%), monosit

21,29x10³/mm³ (37,38%), eosinophil 0,02x10³/mm³ (0,03%), basophil 17,62x10³/mm³

(30,94%), hemoglobin 5,18, hematocrit 17,35%, MCV 92,26, MCH 27,55, trombosit

23,92x10³. Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan AST 31, ALT 37, Bilirubin total

0,45, bilirubin direk 0,25, bilirubin indirek 0,2, albumin 1,9, BUN 11,5, sc 1,1, LDH

1091,99, Natrium 136, Kalium 2,4. Pada pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus

takikardi 128 x/menit, aksis normal, Pada pemeriksaan rongsen thorax didapatkan

cardiomegaly. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan eritrosit normokrom

normositer, leukosit kesan jumlah meningkat dengan ditemukan sel mieloblast lebih dari

5%, trombosit kesan jumlah menurun dengan kesimpulan suspek leukemia akut. Pada

pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan sumsum tulang hiperselular dengan

myeloid:eritroid rasio 4:1, system granulopoietik didapatkan peningkatan mieloblast

lebih dari 30% dengan didapatkan seri myeloid matang yaitu stab, sistem eritroid dan

trombosit menurun, dengan kesimpulan AML-M2 (Acute Myeloblastic Leukemia with

maturation). Pada pemeriksaan analisa kromosom didapatkan trisomi kromosom 21.

Gambar 1. Gambar sebelah kiri menunjukkan hapusan darah tepi, sebelah kanan

menunjukkan Aspirasi sumsum tulang

Page 4: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

4

Gambar 2. Analisa Kromosom pasien

Pada pasien ini didiagnosis AML-M2 + Sindrom Down + Pneumonia komuniti

(Community Acquired Pneumonia PSI class IV ) dengan hypokalemia et causa suspek

low intake + spuria. Pada pasien diberikan terapi Infus NaCl 0,9% +KCl 50 meq 20

tetes/menit, transfusi PRC s/d Hb 10 gram/dL, transfusi TC s/d trombosit 20.000,

antibiotic Cefoperazon 2x1 gram intravena, Azithromycin 1x500 mg intra oral, dan

paracetamol 3x500 mg intra oral, serta direncanakan untuk pemberian kemoterapi

dengan regimen cytarabine-Daunorubicin (7+3) setelah infeksi teratasi. Namun penderita

meninggal pada hari ke 5 kemoterapi karena kecurigaan perdarahan intracranial.

Pembahasan

Sindrom Down

Sindrom Down (DS) adalah kelainan kromosom yang paling umum di antara bayi

hidup lahir (1,2). Ini adalah bentuk yang paling sering cacat intelektual (keterbelakangan

mental) yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Pada Sindrom Down teridentifikasi

adanya trisomi dari kromosom 21. Mayoritas kasus Sindrom Down merupakan hasil dari

adanya non-disjunction dari kromosom 21 pada meiosis I atau meiosis II dari salah satu

orang tua (4,5). Sindrom Down ditandai dengan berbagai malformasi kongenital, dan

Page 5: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

5

masalah kesehatan lainnya. Tidak semua dari kriteria klinis sindrom down muncul pada

setiap individu yang terkena. Manifestasi klinis dari Sindrom Down antara lain :

1. Kelainan fisik

Kelainan fisik pada Sindrom Down ditandai dengan adanya mongoloid

face, yaitu adanya lipatan epikantus, wajah datar dengan jembatan hidung yang

datar, telinga displastik atau dapat dilipat, atau telinga yang kecil dan letak

rendah, brakisefalik, mulut terbuka, lidah menonjol, leher pendek dengan kulit

yang berlebih pada tengkuk leher, palatum sempit, dan gigi yang abnormal (1).

2. Retardasi mental

Hampir semua individu dengan Sindrom Down memiliki gangguan

kognitif, dengan IQ 50 sampai 70 atau 35 sampai 50, masing-masing, meskipun

beberapa penderita dapat memiliki IQ 20 sampai. Pada anak dengan Sindrom

Down,penurunan perkembangan jelas terlihat pada tahun pertama kehidupan.

Secara umum, rata-rata usia duduk (11 bulan), merangkak (17 bulan), dan

berjalan (26 bulan), yang merupakan dua kali usia rata-rata anak normal.

Perkembangan bahasa juga lebih lambat, dengan usia rata-rata untuk kata

pertama pada 18 bulan (1)

3. Gangguan Neuropsikiatri, seperti Alzheimer, autisme, dan gangguan perilaku

seperti agresifitas dan depresi

4. Penyakit Jantung

Sekitarsetengah dari individu denganSindrom Down memiliki penyakit

jantung bawaan. Dalam suatu studi berbasis populasi terbesar, kelainan

kardiovaskular teridentifikasi pada 342 (42 %) dari 821 bayi yang lahir dengan

Sindrom Down 1985-2006 di wilayah North East of England, dimana 23%

memiliki lebih dari satu anomali. Kelainan jantung yang telah teridentifikasi pada

penderita Sindrom Down antara lain: CompleteAtrioventricular Septal defect

(CAVSD) 37%,Ventricular Septal Defect (VSD) 31 %, Atrial Septal Defect

(ASD) 15 %,Partial Atrioventricular Septal Defect (PAVSD) 6 %, Tetralogi

Fallot (TOF ) 5 %,Patent Ductus Arteriosus (PDA) 4 % (1).

5. Kelainan Gastrointestinal

Penderita dengan trisomi 21 memiliki resiko lebih tinggi mengalami

kelainan saluran pencernaan, yang terjadi pada sekitar 5% dari kasus. Kelainan

Page 6: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

6

yang paling khas antara lain atresia duodenum atau stenosis,pankreas annular,

dan Hirschprung Disease, yang terjadi di 2,5 % penderita sindrom down.

6. Pertumbuhan terlambat

Anak-anak dengan sindrom down memiliki berat badan lahir, panjang,

dan lingkar kepala lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Panjang saat

lahir hanya sekitar 0,5 standar deviasi kurang dari kontrol bayi baru lahir. Dalam

sebuah studi dari 105 anak-anak dengan sindrom Down, panjang, berat, dan

lingkar kepala berada di bawah orang-orang dari anak-anak yang sehat normal

saat lahir; tetap rendah sampai pubertas. Laju pertumbuhan penderita sindrom

down lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak normal, terutama pada anak-

anak dengan penyakit jantung bawaan yang berat. Pada orang dewasa dengan

Sindrom Down, ketinggian rata-rata pada laki-laki dan perempuan adalah 157

dan 144 cm, masing-masing, dan berat rata-rata adalah 71 dan 64 kgpada laki-

laki dan perempuan (1).

7. Kelainan mata

Kelainan yang paling umum antara lain : kelainan refraksi, strabismus,

nystagmus (1).

8. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran dialami oleh 38-78 % individu dengan Sindrom

Down. Otitis media adalah masalah yang sering dialami oleh 50 sampai 70 persen

anak-anak sindrom down (1).

9. Gangguan Endokrin

Kelainan endokrin pada sindrom down termasuk disfungsi tiroid dan

diabetes. Gangguan tiroid prevalensinya bervariasi, hipotiroidisme dapat terjadi

pada 3 sampai 54 % penderita, sedangkan hipertiroidisme dapat terjadi pada 2,5

% penderita. Selain itu, resiko terjadinya diabetes tipe I juga meningkat pada

penderita sindrom down(1).

10. Kelainan hematologi

Penderita Sindrom Down sering mengalami kelainan hematologi yang

mempengaruhi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Risiko leukemia

pada sindrom down berkisar antara 1 sampai 1,5 persen (1,2,3). Sekitar 65 persen

dari bayi yang baru lahir dengan trisomi 21 memiliki polisitemia (1). Dalam satu

studi, konsentrasi erythropoietin plasma diukur dalam darah tali pusat lebih tinggi

Page 7: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

7

pada bayi dengan DS dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan bahwa

hipoksemia janin kronis menyebabkan tingginya insiden polisitemia (1).

Pada penderita Sindrom Down juga dapat mengalami leukemia transien,

juga dikenal sebagai penyakit transient myeloproliferative (TMD) atau transient

myelopoiesis abnormal (TAM), adalah bentuk leukemia yang hampir secara

eksklusif mempengaruhi bayi baru lahir dengan DS (1,2,3,4). Leukemia transien

ditandai dengan adanya sel blast di darah perifer, terjadi pada sekitar 10% bayi

dengan Sindrom Down. TAM dapat mengalami resolusi spontan dalam waktu 3-6

bulan, prognosisnya baik, akan tetapi ada kecenderungan untuk resiko terjadinya

leukemia akut pada beberapa tahun mendatang.Sebagian besar bayi yang baru

lahir tidak menunjukkan gejala dan hanya hadir dengan sirkulasi sel blast, dengan

atau tanpa leukositosis. Gambaran klinis lainnya antara lain efusi pleura serosa,

hepatomegali, splenomegali dan pada sekitar 10% dari pasien, terjadi fibrosis hati

karena infiltrasi sel blast. Pada sebagian besar kasus, jumlah sel blast secara

bertahap menurun, dan menghilang spontan sebelum usia tiga bulan tanpa

memerlukan kemoterapi. Namun, pada pasien-pasien dengan leukositosis tinggi

(>50.000) dapat diberikan kemoterapi low-dose cytarabine.(2,3,4)

Dalam studi prospektif dan retrospektif, hingga 26 persen bayi dengan

leukemia transient akan berkembang menjadi FAB M7 subtipe leukemia myeloid

akut (AML-M7), juga dikenal sebagai leukemia megakaryoblastik akut (AMKL)

atau leukemia myeloid DS (ML-DS). AMKL terjadi pada sekitar 1 dari 50

sampai 200 anak-anak dengan sindrom down. Insiden ini sekitar 500 kali lebih

besar pada anak-anak dengan DS. AMKL dapat terjadi pada 4 tahun pertama

kehidupan yang terkait dengan mutasi pada GATA1. Sebaliknya, leukemia

myeloid pada orang dengan DS berusia empat tahun atau lebih tua biasanya

negatif untuk mutasi GATA1, dan prognosis mereka tidak berbeda dari AML

pada pasien tanpa Sindrom Down. Penderita Sindrom Down juga memiliki

resiko terjadi leukemia limfoblastik akut (ALL) sekitar 10 sampai 20 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan anak-anak tanpa sindrom down. Dalam laporan yang

membandingkan SEMUA pada anak-anak dengan dan tanpa DS, temuan berikut

dicatat pada presentasi (2,3,4).

11. Kelainan Paru-paru

Komplikasi paru lain yang sering terjadi pada anak-anak dengan Sindrom

Down antara lain gangguan pembuluh darah paru, penyakit paru-paru parenkim,

Page 8: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

8

kelainan saluran napas atas dan bawah, dan aspirasi kronis. Infeksi saluran

pernapasan juga lebih sering dan sering lebih parah dibandingkan anak tanpa

sindrom down (1).

12. Gangguan kulit

Mayoritas anak-anak Sindrom Downdidapatkan gangguan kulit seperti

hyperkeratosis, dermatitis seboroik, xerosis, dan alopecia areata

13. Masalah reproduksi

Wanita dengan Sindrom Down subur dan bisa hamil, akan tetapihampir

semua laki-laki dengan Sindrom Down infertil. Hal ini terjadi karena adanya

penurunan spermatogenesis.

14. Defisiensi imun

Sindrom Down dikaitkan dengan berbagai gangguan imunologi yang

dianggap berkaitan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, gangguan

autoimun, dan keganasan. Defek kemotaktik, penurunan kadar IgG4, dan

kelainan kuantitatif dan kualitatif dari sel T dan sel sistem B telah teridentifikasi

pada penderita Sindrom Down. Namun masih belum pasti apakah mekanisme

tersebut yang menyebabkan defisiensi imun pada Sindrom Down (1).

Acute Myeloblastic Leukemia (AML)

AML ditandai dengan proliferasi klonal dari prekursor myeloid dengan

berkurangnya kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi elemen seluler yang lebih

matang. Akibatnya, terjadi akumulasi dari sel blast dalam sumsum tulang, darah perifer,

dan kadang-kadang dalam jaringan lain, dengan penurunan produksi normal sel darah

merah, trombosit, dan granulosit matang. Peningkatan produksi sel-sel ganas, bersama

dengan pengurangan unsur-unsur yang matang, menghasilkan berbagai konsekuensi

sistemik termasuk anemia, perdarahan, dan peningkatan risiko infeksi (5,6,7,8).

AML adalah leukemia akut yang paling umum pada orang dewasa dan

menyumbang sekitar 80 persen dari kasus dalam kelompok ini. Di Amerika Serikat dan

Eropa, insidennya berkisar antara 3 sampai 5 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan

pada anak kurang dari 10 tahun, insiden AML kurang dari 10 persen. Pada orang dewasa,

usia rata-rata pada saat diagnosis adalah sekitar 65 tahun. Insiden meningkat dengan usia

dengan sekitar 1,3 dan 12,2 kasus per 100.000 penduduk untuk mereka yang di bawah

atau di atas 65 tahun, masing-masing, dengan rasiolaki-laki: perempuan sekitar 5:3.

Kejadian AML dikaitkan dengan faktor lingkungan (misalnya, paparan bahan kimia,

Page 9: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

9

radiasi, tembakau, atau obat-obatan kemoterapi), kelainan genetik (misalnya, trisomi 21,

anemia Fanconi, mutasi RUNX1 keluarga), dan kelainan hematologi lainnya (5,6,7,8).

Pasien dengan AML umumnya mengalami gejala yang berhubungan dengan

komplikasi pansitopenia (misalnya, anemia, neutropenia, dan trombositopenia). Jika ada

demam, hampir selalu terkait dengan infeksi; terutama jika terjadi neutropenia (<1000

neutrofil / microL). Organomegali jarang terjadi pada pasien dengan AML dan

pembesaran kelenjar getah bening yang signifikan jarang terjadi. Apabila terdapat

hepatomegali dan splenomegali dapat dipikirkan suatu transformasi akut dari leukemia

kronik sebagai diagnosis bandingnya. Penting diketahui riwayat penyakit dengan

seksama dan korelasi dengan temuan lain dalam darah dan sumsum tulang untuk

menegakkan diagnosis leukemia akut. Pasien dengan AML dapat mengalami berbagai

gangguan metabolisme dan elektrolit yang terjadi karena tingginya dari sel-sel leukemia

dalam darah. Salah satu contohnya adalah sindrom lisis tumor yang merupakan darurat

onkologi yang harus dicurigai pada pasien dengan hiperfosfatemia, hipokalsemia,

hyperuricemia, dan / atau hiperkalemia. Gangguan metabolik lain yang terlihat pada

pasien dengan AML termasuk hipokalemia dan asidosis laktat. Hipoksemia dalam gas

darah arteri dapat dilihat dari kadar tekanan oksigen arteri. Hapusan darah perifer pada

presentasi biasanya menggambarkan anemia normokromik normositik dengan derajat

keparahan yang bervariasi. Hitung retikulosit normal atau menurun. Sekitar 75 persen

pasien memiliki jumlah platelet di bawah 100 x 10 9 / L (100.000 / microL) di diagnosis,

dan sekitar 25 persen akan memiliki jumlah di bawah 25 x 10 9 / L (25.000 / microL).

Jumlah leukosit rata-rata pada diagnosis adalah sekitar 15 x 10 9 / L (15.000 sel /

microL); 20 persen pasien memiliki jumlah leukosit di atas 100 x 10 9 / L (100.000 sel /

microL) dan 25 sampai 40 persen pasien memiliki jumlah leukosit kurang dari 5 x 10 9 /

L (5000 sel / microL) (5,6,7,8).

Pada sebagian besar pasien (95 %) ditemukan mieloblas pada hapusan darah

perifer. Mieloblas adalah sel muda dengan inti besar, biasanya dengan nukleolus

menonjol, dan sejumlah variabel sitoplasma biru pucat (kadang-kadang dengan granulasi

samar) setelah pewarnaan dengan Wright Giemsa. Rasio inti dan sitoplasma berbeda-

beda tergantung pada kematangan sel. Dapat pula ditemukan gambaran Auer rod, yang

patognomonik pada AML, dimana jumlahnya bervariasi tergantung pada subtipe AML.

Aurer rod ini teridentifikasi sebagai batang berwarna pink / merah dalam

sitoplasma.Aspirasi sumsum tulang dan biopsi (biasanya unilateral) adalah kunci

Page 10: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

10

diagnosis untuk AML. Pada aspirasi sumsum tulang didapatkan sumsum tulang dengan

gambaran hiperseluler dengan dominasi sel muda. Sel mieloblast sumsum tulang yang

melebihi 20% pada sumsum tulang menegakkan diagnosis AML. (5,6,7,8).

AML pada Sindrom Down

Trisomi 21 merupakan salah satu kelainan kromosom yang tersering ditemukan

menyertai keganasan terutama leukemia akut. Beberapa literaturmenunjukkan

peningkatan resiko sebesar 10-20 kali terjadinya leukemia akut pada pasien dengan

kelainan trisomi21 (2,3,4). Hal ini dijelaskan dari adanya beberapa gen yang terdapat di

kromosom 21 yang berhubungan dengan keganasan (9-14). Gen tersebut diantaranya,

gen ETS2 (v-ets erythroblastosis virus E26 oncogene homolog 2) yang merupakan gen

potensial onkogen yang pertama kali dipetakan pada kromosom 21 (21q22) yang

berhubungan dengan AML tipe M2, dan gen BCEI dan berhubungan dengan kanker

payudara (9). Baldus et al, menemukan adanya overekspresi dari dari beberapa gen yaitu

ETS2, APP (Amyloid precursor protein), dan ERG (Ets related gene), yang terletak pada

kromosom 21 (21q22), pada penderita AML dengan Sindrom Down (10, 14). Akan

tetapi peran gen tersebut dalam leukemogenesis sendiri masih belum jelas (10,14). Selain

itu, leukemogenesis pada pasien Sindrom Down berhubungan dengan mutasi somatik

yang melibatkan gen GATA1 (2,3,4). GATA1 merupakan suatu faktor transkripsi terkait

kromosom X yang penting untuk diferensiasi seri eritrosit dan megakariositik. Mutasi ini

menghasilkan protein GATA1 yang lebih pendek (GATA1s), dimana menyebabkan

terjadinya proliferasi megakariosit immatur yang tidak terkontrol (2,3,4,13,14). Trisomi

21 memiliki kontribusi terhadap terjadinya mutasi GATA1 pada Sindrom Down, dimana

gen-gen yang berlokasi pada kromosom 21 seperti CBS (Cystathionine-β-synthase) dan

Zinc-copper superoxidedismutase (SOD1), dihubungkan dengan metabolisme abnormal

folat intrasel, akumulasi urasil, dan peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan

terjadinya kerusakan DNA (2,3,4).

Beberapa studi menunjukkan bahwa leukemia akut pada sindrom down,

khususnya tipe AMkL (Acute MegakaryocyticLeukemia) memiliki prognosis yang baik,

yakni 80-100 % sembuh. Hal ini berhubungan dengan adanya sensitivitas

megakaryoblast sindrom down terhadap cytarabine (Ara-C) dan Daunorubicin pada

sebuah studi in vitro. Sensitivitas ini diduga berhubungan dengan adanya mutasi

GATA1, yang dibuktikan dengan rendahnya angka event-free survival dan tingginya

Page 11: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

11

angka relaps AML pada penderita sindrom Down usia lebih dari 4 tahun, yang mana

memiliki frekuensi mutasi GATA1 yang lebih rendah.Terjadinya mutasi dari GATA1

yang menghasilkan GATA1s menyebabkan ekspresi CDA (Cytidine Deaminase Gene)

yang terletak pada kromosom 1. CDA terlibat dalam deaminasi hidrolitik yang

irreversible dari Ara-C menjadi metabolit inaktif ara-U. Studi invitro menunjukkan

bahwa kadar transkripsi CDA lebih rendah secara signifikan pada penderita Sindrom

Down. Selain itu, ekspresi gen lokal kromosom 21 dan target gen GATA1 juga berbeda

antara AMkL dengan sindrom down dan non sindrom down. Ekspresi dari protein anti

apoptosis seperti BCL2 (yang terlokalisasi di kromosom 18) dan HSP70 ( lokasi di

kromosom 5) lebih rendah pada pasien Sindrom Down dibandingkan non Sindrom

Down. Hal ini mengindikasikan bahwa megakaryoblast pada Sindrom Down lebih

sensitif terhadap efek apoptosis dari kemoterapi. Overekspresi dari CBS juga

dihubungkan dengan terbentuknya metabolit aktif intraseluler dari ara-C secara invitro

(2,3,4).

Akan tetapi sensitivitas invitro dari AMkL Sindrom Down tersebut tidak terjadi

pada ALL Sindrom Down. Limfoblast Sindrom Down tidak menunjukkan sensitivitas

yang lebih besar terhadap berbagai agen kemoterapi dibandingkan dengan ALL non

Sindrom Down. Selain itu, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dari toksisitas

agen kemoterapi pada ALL dengan atau tanpa Sindrom Down. Abnormalitas sitogenetik

paling sering pada ALL B-precursor non sindrom Down adalah hiperploidi (>50

kromosom) atau TEL/AML1 (ETV6/RUNX1) fusi yang dihasilkan dari translokasi

t(12;21)(p13;q22), yang mana keduanya dihubungkan dengan event-free survival yang

tinggi. Sedangkan pada ALL sindrom Down menurut studi dari COG (Children’s

Oncology Group), frekuensi ETV6/RUNX1 dan hiperploidi (dengan trisomy kromosom

4 dan 10) lebih kecil dibandingkan pada non Sindrom Down. Selain itu mutasi GATA1

hampir tidak didapatkan pada ALL Sindrom Down (2,3,4).

Pengobatan konvensional dari AML-DS telah dikaitkan dengan pengobatan

terkait berlebihan mortalitas (TRM), toksisitas jantung karena anthracyclines dan infeksi

serius. Zwaan et al menunjukkan peningkatan 12 kali lipat dalam sensitivitas terhadap

sitarabin dalam sel DS-AML dibandingkan dengan sel non DS-AML, serta peningkatan

kepekaan terhadap anthracycline (dua sampai tujuh kali lipat) dan etoposide (20 kali

lipat).Peningkatan morbiditas akibat toksisitas kemoterapi dilaporkan meningkat dan

lebih berat pada ALL dengan Sindrom Down, diantaranya mucositis dan infeksi. Selain

Page 12: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

12

itu, pemberian kortikosteroid pada ALL Sindrom Down meningkatkan kejadian

hiperglikemia. COG melaporkan peningkatan resiko kematian akibat infeksi pada pasien

ALL selama terapi fase induksi dengan kortikosteroid. Selain itu, studi POG melaporkan

resiko relative sebesar 3,4 untuk terjadinya toksisitas jantung pada 6493 pasien Sindrom

Down yang diterapi dengan anthracycline. Studi lain pada 9421 pasien AML dengan

Sindrom Down terjadi cardiomyopathy simptomatik, dengan 3 orang meninggal karena

gagal jantung kongestif. Peningkatan toksisitas jantung akibat anthracycline ini diduga

karena gen SOD dan SBR1 pada kromosom 21 yang menyebabkan terjadinya radikal

oksigen dan mempengaruhi metabolisme anthracycline (2,3,4).

Pada penggunaan agen antifolat, dalam hal ini methotrexate, penderita Sindrom

Down juga menunjukkan toksisitas berat seperti myelosupresi, mukositis, dan

hepatotoksik, yang mengindikasikan bahwa Sindrom Down juga mempengaruhi

metabolisme folat. Methotrexate ditransport secara aktif ke intrasel melalui protein

transmembrane yang diatur oleh gen SLC19A1 yang terletak di kromosom 21. Trisomi

21 menyebabkan terjadinya uptake methotrexate yang lebih besar ke berbagai jaringan

normal yang potensial menyebabkan terjadinya toksisitas obat (2,3,4).

Ringkasan

Telah dilaporkan sebuah kasus Leukemia Akut pada penderita Sindrom Down,

dimana penderita dengan Sindrom Down memiliki kecenderungan sebesar 10-20 kali

lipat lebih besar untuk terjadinya leukemia akut. Selain itu leukemia akut pada Sindrom

Down juga berhubungan dengan kejadian toksisitas kemoterapi yang lebih besar

dibandingkan dengan non-DS leukemia, oleh karena itu mungkin diperlukan regimen

khusus atau penyesuaian dosis untuk penderita leukemia akut dengan Sindrom Down.

Daftar Pustaka

1. BullM.J, Committee on Genetics. Health supervision for children with Down

syndrome. Pediatrics.2011;128:393.

2. Kudo K. Myeloid Leukemia Associated with Down Syndrome.Intech. 2013;107-

113

3. XavierAC, Taub JW.Acute leukemia in children with Down Syndrome.

Hematologica. 2010; 95(7):1043-1045

Page 13: Laporan Kasus SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN ...

13

4. Xavier AC, Ge Y, Taub JW. Down Syndrome and Malignancies A Unique

Clinical Relationship Review. Journal of Molecular Diagnostic. 2009; 11(5):371-

380.

5. Kurnianda J, Leukemia Mieloblastik Akut.Pada : Alwi I, Salim S, Hidayat R,

Kurniawan J, Tahapary D., eds.Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam

PAPDI edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2015. pp 2671-2677.

6. Provan D, Baglin T, Dokal I, de Vas J. Acute Myeloblastic Leukemia.Oxford

Handbook of Clinical Haematology4th

edition. Oxford: Oxford University Press.

2015.pp 124-137.

7. Hudnall SD. Acute Myeloid Leukemia, Hematology : A Pathophysiologic

Approach. Philadelphia: Mosby; 2012. pp 87-89.

8. Marcucci G, Bloomfield CD. Acute Myeloid Leukemia.In : Kasper DL, Hauser

SL, Jameson JL., eds.Harrison’s Principles of Internal Medicine19th

edition. New

York : McGraw-Hill Education; 2015.pp 678-687.

9. Watkins PC, Tanzi RE, Cheng SV, Gusella JF.Gene Mapping and medical

genetics, Molecular genetics of Human Chromosome 21. Journal of medical

genetics. 1987;24: 257-270.

10. Strati P, Daver N, Ravandi F, Pemmaraju N, Pierce S, Manero GG, et

al.Biological and Clinical features of Trisomi 21 in Adult patients with Acute

Myeloid Leukemia. Clin Lymphoma Myeloma Leuk. 2013;13 (2):S276-S281.

11. Khan I, Malinge S, Crispino JD. Myeloid Leukemia in Down Syndrome. Crit

Rev Oncog. 2011;16 (1-2):25-36.

12. Queiroz LB, Ferrari I, De Sa CM, Mazzeu JF, Magalhaes IQ, de Lima

BD.Leukemogenesis in Down Syndrome.Intech. 2011;295-312.

13. Mateos MK,Barbarig D, Byatt SA, Sutton R, Marshall GM.Down Syndrome and

Leukemia : insights into Leukemogenesis and translational targets. Translational

Pediatrics. 2015; 4(2):76-92.

14. Baldus CD, Liyanarachchi S, Mrozek K, Auer H, Tanner SM, Gulmond M, et al.

Acute Myeloid Leukemia with Complex Karyotypes and Abnormal Chromosome

21 :Amplification discloses overexpression of APP, ETS2, and ERG genes.

PNAS. 2004; 3915-3920.