Laporan Kasus peb

download Laporan Kasus peb

of 27

description

aaa

Transcript of Laporan Kasus peb

Laporan Kasus

SEORANG WANITA 23 TAHUN DENGAN PREEKLAMSIA BERAT PADA SEKUNDIGRAVIDA HAMIL PRETERM

Oleh:Christine Notoningtiyas S, dr.

Pendamping:Muhammad Fikri, dr.Indah Budi Susilowati, dr.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIAKEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIARUMAH SAKIT UMUM DAERAH SURAKARTA2015BAB IPENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami hipertensi. Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan. Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya mengakhiri kehamilan.Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD).Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5 15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Preeklampsia bersama dengan penyakit hipertensi kehamilan lainnya merupakan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian dan kesakitan terbanyak pada ibu hamil dan melahirkan di samping infeksi dan perdarahan (Chunningham, et al, 2007). Sampai saat ini etiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara lain iskemik plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel dianggap berperan dalam patogenesis preeclampsia.Di Indonesia, preeklampsia dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal. Sebagian besar mortalitas tersebut disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan dini preeklampsia dan eklampsia, sehingga pasien tidak sempat mendapat penanganan yang adekuat sebelum sampai ke rumah sakit rujukan, atau sampai ke rumah sakit rujukan dalam kondisi yang sudah buruk. Belum semua rumah sakit rujukan memiliki fasilitas perawatan intensif yang memadai untuk menangani kasus eklampsia pada khususnya, sehingga pengetahuan mengenai pengenalan faktor resiko untuk dapat mendeteksi secara dini preeklampsia sangat diperlukan agar tidak terjadi keterlambatan penanganan pertama dan rujukan.BAB IIILUSTRASI KASUS

I. ANAMNESAA. Identitas PenderitaNama: Ny. FUmur: 23 tahunJenis Kelamin: PerempuanAgama: Islam Alamat: Mertoudan 1/9 Jebres, SurakartaNo RM: 00047390Tanggal Masuk: 7 Februari 2014Jam Masuk: 21.30HPMT: 30-6-2014HPL: 07-4-2015UK: 31+5 minggu

B. Keluhan UtamaNyeri kepala

C. Riwayat Penyakit SekarangDatang seorang G2 P0 A1, 23 tahun, kiriman dari RS Dr Oen dengan keterangan PEB, pasien merasa hamil 7 bulan lebih, gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, keluar lendir darah (-). Nyeri kepala (+), kejang (-), nyeri di sekitar ulu hati (-), pandangan mata kabur (-), mual(-), muntah(-).

D. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat DM: disangkalRiwayat Asma: disangkalRiwayat Sakit Jantung: disangkalRiwayat Hipertensi: disangkalRiwayat Alergi obat/makanan: disangkal

E. Riwayat FertilitasBelum dapat dinilai

F. Riwayat ObstetriBuruk

G. Riwayat Ante Natal Care (ANC)Teratur, di bidan dan puskesmas

H. Riwayat HaidMenarche: 15 tahunLama menstruasi: 7 hariSiklus menstruasi: 28 hari

I. Riwayat PerkawinanMenikah 1 kali, 1 tahun dengan suami sekarang

J. Riwayat KBTidak menggunakan kontrasepsi

II. PEMERIKSAAN FISIKA. Status generalisTanggal 7 Februari 2015 Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi cukupTanda vital :T : 168/102 mmHgRr : 20 x/ menitN : 98 x/ menitS : 36,5 0CSpO2 : 99%

Kepala: MesocephalMata: Conjungtiva subnemis (+/+), Sclera Ikterik (-/-)THT: Tonsil tidak membesar, pharing hiperemis (-)Leher:Gld. thyroid tidak membesar, limfonodi tidak membesarThorax:Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae hiperpigmentasi (+)Cor:Inspeksi: Ictus cordis tidak tampakPalpasi: Ictus cordis tidak kuat angkatPerkusi: Batas jantung kesan tidak melebarAuskultasi: BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)Pulmo:Inspeksi: Pengembangan dada kanan = kiriPalpasi: Fremitus raba kanan = kiriPerkusi: Sonor / sonorAuskultasi : SD vesikuler (+/+), RBK basal paru (-/-)Abdomen: Inspeksi:Dinding perut > dinding dada, stria gravidarum (+)Auskultasi: Peristaltik (+) normalPalpasi: Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien tidak membesar.Perkusi:Timpani pada daerah bawah processus xyphoideus, redup pada daerah uterusGenital: Lendir darah (-), air ketuban (-)EkstremitasOedema --

++

akral dingin --

--

Status ObstetriInspeksiKepala: simetris, mesocephalMata:Conjungtiva subnemis (+/+), Sclera Ikterik (-/-)Thoraks:Glandula mammae hipertrofi (+), areola mammae hiperpigmentasi (+)Abdomen:Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)Genetalia Eksterna:vulva/uretra tenang, lendir darah (-), peradangan (-), tumor (-)PalpasiAbdomen:Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uteri, memanjang, punggung di kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul, TFU 29 cm, His (-), DJJ (+) 12-12-12, regulerPemeriksaan Leopold :I:Teraba tinggi fundus uteri setinggi tepi atas pusat, teraba bagian besar dan lunak di fundus, kesan bokong II:Teraba bagian besar janin di sebelah kanan, kesan punggung, bagian kecil di sebelah kiriIII: Teraba bagian bulat dan keras, kesan kepalaIV: Bagian terendah janin belum masuk panggul Ekstremitas bawah : Oedem (+) akral dingin (-)Ekstremitas atas : Oedem (+) akral dingin (-)

AuskultasiDJJ (+) 12-12-12, reguler.

Pemeriksaan Dalam (VT) :V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu di belakang, pembukaan (-),efficement 0%, kulit ketuban belum dapat dinilai, preskep, bagian terbawah janin belum masuk panggul, penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-).PEMERIKSAAN PENUNJANGRencana Pemeriksaan Lanjutan: darah rutin, HbSAg, golongan darah, GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, albumin, protein total, protein urinTanggal 7 Februari 2015 UrinalisaKejernihan : Kuning agak keruhProtein: +3Reduksi: (-)

Lab DarahHb: 10,6 g/dlHct: 31 %AE: 3,72. 106 /LAL: 13,07 /LAlbumin: 3,66 g/dlTotal protein: 7,06 g/dl AT: 207. 103 /LGol darah: BSGOT: 42 u/lHbsAg: (-)GDS: 98 mg/dlSGPT: 16 u/lUreum: 20 mg/dl Kreatinin: 0,5 mg/dlIII. KESIMPULANSeorang G2P0A1, 23 tahun, UK 31+5 minggu. T : 168/102 mmHg. Janin tunggal, intra uteri, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (-), DJJ (+) reguler. Kepala belum masuk panggul. Portio lunak mencucu di belakang, pembukaan (-), kulit ketuban belum dapat dinilai, preskep, bagian terbawah janin belum masuk panggul, penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-). Ekstrimitas inferior didapatkan oedema. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria +3, Hb : 10,6 g/dl, Hct : 31 %, AE : 3,72. 106 /L, AL: 13,07 /L, Albumin : 3,66 g/dl, SGOT: 42 u/l

IV. DIAGNOSIS PEB pada G2 P0 A1 UK 31+5 minggu belum dalam persalinan

TERAPIKonsul dr Bima, Sp.Og : Mondok konservatif pertahankan kehamilan Infus RL 20 tpm O2 3 liter/menit Dexamethason Injeksi 1 amp/12 jam2 hari MgSO4 40% injeksi 8 gr IM (4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri) dilanjutkan 4 gr / 6 jam Nifedipin tab 3x10 mg Metildopa tab 3x250mg Pasang DC balance cairan Awasi tanda-tanda impending eklampsia, KUVS

A. Follow UpTanggalPerjalanan PenyakitInstruksi

7 Februari 2015TD: 168/102N: 98x/menitRR: 20x/menitt: 36,4 oC

S: pusing (+), tidak bisa tidur (+)O: Mata: CA (-/-), SI (-/-)Thorax: cor/pulmo dbnAbdomen: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, kepala belum masuk panggul, TFU : 29 cm, His (-), DJJ (+) : 12 - 12 - 11 reguler. Osborn test (-)Genital: Lendir darah (-), air ketuban (-)A: PEB pada G2 P0 A1 UK 31+5 minggu bdp

1. Inf RL 20 tpm2. O2 3 liter/menit3. Dexamethason Injeksi 1 amp/12 jam jm 23.004. MgSO4 40% injeksi 8 gr IM (4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri) jm (22.45) dilanjutkan 4 gr / 6 jam (jm 05.00) 5. Nifedipin tab 3x10 mg6. Metildopa tab 3x250mg

8 Februari 2015Jm 12.00TD: 160/70N: 86x/menitRR: 20x/menitt: 36,4 oC

S: pusing (+), mual (+), muntah (+) terutama setelah disuntik obat MgSO4O: Mata: CA (-/-), SI (-/-)Thorax: cor/pulmo dbnAbdomen: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, kepala belum masuk panggul, TFU : 29 cm, His (-), DJJ (+) : 12 - 12 - 11 reguler. Osborn test (-)Genital: Lendir darah (-), air ketuban (-)A: PEB pada G2 P0 A1 UK 31+6 minggu bdp

1. Inf RL 20 tpm2. O2 3 liter/menit3. Dexamethason Injeksi 1 amp/12 jamKonsul dr bima SpOg4. MgSO4 40% injeksi 4 gr / 6 jam stop ganti inf RL 500ml+drip MgSO4 6 gram habis dalam 8 jam (syringe pump)5. Nifedipin tab 3x10 mg6. Metildopa tab 3x250mg

7. Pasang DC cek input output8. CTG 1x/hari9. Bsk pagi rencana USG dan cek protein urin

9 Februari 2015TD: 160/90N: 88x/menitRR: 20x/menitt: 36,6 oCLab tgl 9 Feb 2015UrinalisaKejernihan : Kuning agak keruhProtein: +2Reduksi: (-)

S: -O: Mata: CA (-/-), SI (-/-)Thorax: cor/pulmo dbnAbdomen: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, kepala belum masuk panggul, TFU : 29 cm, His (-), DJJ (+) : 12 - 12 - 11 reguler. Osborn test (-)Genital: Lendir darah (-), air ketuban (-)USG : janin tunggal, preskep, DJJ (+) reguler, air ketuban cukup, plasenta di corpus grade II, TBJ 1739 gramA:PEB pada G2 P0 A1 UK 32 minggu bdp

1. Inf RL 20 tpm2. O2 3 liter/menit3. Dexamethason Injeksi 1 amp/12 jam4. inf RL 500ml+drip MgSO4 6 gram habis dalam 8 jam (syringe pump)5. Nifedipin tab 3x10 mg6. Metildopa tab 3x250mg7. CTG 1x/hari

10 Februari 2015TD: 160/130N: 88x/menitRR: 20x/menitt: 36,6 oC

S: -O: Mata: CA (-/-), SI (-/-)Thorax: cor/pulmo dbnAbdomen: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, kepala belum masuk panggul, TFU : 29 cm, His (-), DJJ (+) : 12 - 12 - 11 reguler. Osborn test (-)Genital: Lendir darah (-), air ketuban (-)USG : janin tunggal, preskep, DJJ (+) reguler, air ketuban cukup, plasenta di corpus grade II, TBJ 1739 gramA:PEB pada G2 P0 A1 UK 32+1 minggu bdp

1. Inf RL 20 tpm2. O2 3 liter/menit3. inf RL 500ml+drip MgSO4 6 gram habis dalam 8 jam (syringe pump)4. Nifedipin tab 3x10 mg5. Metildopa tab 3x250mg6. CTG 1x/hari

11 Februari 2015TD: 160/110N: 88x/menitRR: 20x/menitt: 36,6 oC

S: -O: Mata: CA (-/-), SI (-/-)Thorax: cor/pulmo dbnAbdomen: supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, kepala belum masuk panggul, TFU : 29 cm, His (-), DJJ (+) : 12 - 12 - 11 reguler. Osborn test (-)Genital: Lendir darah (-), air ketuban (-)USG : janin tunggal, preskep, DJJ (+) reguler, air ketuban cukup, plasenta di corpus grade II, TBJ 1739 gramA:PEB pada G2 P0 A1 UK 32+2 minggu bdp

1. O2 3 liter/menit2. inf RL 500ml+drip MgSO4 6 gram habis dalam 8 jam (syringe pump)3. Nifedipin tab 3x10 mg4. Metildopa tab 3x250mg5. Rujuk

B. Diskusi1. Diagnosis Awal pasienPasien merupakan rujukan RS Dr Oen Surakarta dengan keterangan PEB usia kehamilan 31+5 minggu. Dari pemeriksaan fisik tekanan darah pasien 168/102 mmHg (sistolik 160 mmHg dan diastol 90 mmHg), pemeriksaan laboratorium urinalisa proteinuria +3, gejala gangguan otak yakni nyeri kepala, peningkatan SGOT (42 ug/dl) . Riwayat penyakit dahulu pasien mengaku tidak memiliki riwayat hipertensi sebelum kehamilan. Melihat usia kehamilan pasien diatas 20 minggu disertai gejala dan tanda tersebut pasien dapat di diagnosis dengan preeklamsia berat. Dari anamnesa pasien tidak didapatkan gejala-gejala impending eklamsia yang meliputi mata kabur, mual muntah, nyeri epigastrium, nyeri kuadran kanan atas abdomen. Pemeriksaan laboratorium tambahan pada kasus di atas untuk mencari penegakan sindroma HELLP pada kasus preeklamsia karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing parameter. Gambaran hemolisis merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP. Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur. Pada pre eklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. Jumlah platelet yang rendah menjadi acuan untuk dikelompokkan dalam kelas Sindroma HELLP yang berbeda.Pada hasil laboratorium pasien didapatkan hitung trombosit dalam batas normal (207. 103 /L), SGOT meningkat (42 ug/dl), SGPT dalam batas normal (16 u/l), Albumin yang menurun (3,66 g/dl), proteinuria (+++). Pada PEB, proteinuria bisa terjadi karena kerusakan sel glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran protein pada urin. Pada pasien ini, terdapat edema pada extremitas inferior. Edema sebenaranya normal terjadi pada 40% wanita hamil kecuali edema yang patologik. Edema patologik yaitu edema nondependent pada muka dan tangan, atau edema generalisata (anasarka) dan biasanya disertai kenaikan berat badan yang cepat.Pada pre eklampsia terjadi vasospasme menyeluruh pada hampir semua organ tubuh termasuk pada sistem saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan peningkatan volume cairan intraseluler sel otak karena penurunan tekanan osmotik koloid yang menyebabkan edema serebri sehingga dapat menimbulkan gejala seperti kejang, nyeri kepala, vertigo, hiperrefleksi, dan buta kortical. Nyeri kepala merupakan salah satu keadaan yang mengancam kearah eklamsia atau disebut Impending Eklampsia2. Penatalaksanaan PEBPrinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah terapi pada penyulit dengan medikamentosa dan merencanakan sikap pada kehamilan tergantung dari usia kehamilan. Pada terapi pasien disebutkan konservatif mempertahankan kehamilan tanpa mempebgaruhi keselamatan pada ibu. Pada diagnosis awal pasien tersebut dipilih terapi pengelolaan konservatif karena kehamilan masih kurang bulan (31+5 minggu) dan belum ditemukan tanda-tanda eklampsia. Kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa. Diharapkan dapat dipertahankan sampai usia kehamilan se-aterm mungkin. Pemberian terapi medikamentosa dalam hal ini meliputi mondok rumahsakit, pemberian terapi intravena, dan pemberian antikejang Mg SO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pada pasien juga diberikan MgSO4. Pemberian MgSO4 sebagai antikejang karena MgSO4 mampu menurunkan kadar asetilkolin dan menghambat transmisi neuromuscular dengan menjadi kompetitif inhibitor ion kalsium.Pada pasien ini segera diberikan Dexamethasone rescue, yaitu pemberian double strength dexamethasone. Dexamethasone diberikan 10 mg iv tiap 12 jam selama dua hari. Kegunaan dari pemberian double strength dexamethasone ini meningkatkan pematangan paru janin.Dalam observasi selanjutnya, dimonitoring gejala impending eklamsia setiap harinya, pengukuran proteinuria, tekanan darah. Ternyata tidak didapatkan perbaikan keadaan ibu. Hal tersebut ditunjukkan dengan tekanan darah yang belum mencapi target setelah 6 jam dan 24 jam setelah pemberian medikamentosa, serta ditemukan keluhan nyeri kepala, mual dan muntah walaupun proteinuria mengalami perbaikan (++). 3. Pemberian AntihipertensiPada pasien ini tekanan darah saat datang adalah 168/102, kemudian diberikan nifedipin 3x 10 mg sebagai terapi hipertensi pada kehamilannya. Pada literatur, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan hingga mencapai < 160/ 105 atau MAP < 125. Nifedipin merupakan antihipertensi pada pre eklampsia lini pertama dengan dosis 10-20 mg per oral, diulang setelah 30 menit dengan dosis maksimal 120mg/24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan per oral.Pada hipertensi kronis kehamilan, metildopa merupakan antihipertensi lini pertama dengan dosis awal 3x 500 mg dosis maksimal 3 gram/ 24 jam. Lini selanjutnya adalah antihipertensi dari golongan Calsium Canal Blocker seperti nifedipin dengan dosis bervariasi antara 30- 90 mg/ hari.Setelah mendapat kombinasi terapi nifedipin dan metildopa, pada pasien tidak terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan. Pada evaluasi 6 jam setelah terapi didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg dan pada evaluasi 24 jam setelah terapi didapatkan tekanan darah 160/70 mmHg.

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia BeratPreeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah 140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick (Angsar, 2008).Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam kehamilan, yakni hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai proteinuria 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).Preeklampsia berat dibagi menjadi:a) Preeklampsia berat tanpaimpendingeclampsiab) Preeklampsia berat denganimpending eclampsia.Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa : Muntah-muntah Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit karena perubahan pada lambungGangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008). 2.2 Faktor Resiko Preeklampsia BeratTerdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, termasuk preeclampsia berat, yaitu: Primigravida, primipaternitas Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar. Umur yang ekstrim. Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar, 2008) Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2 Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden preeclampsia yang tinggi.Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).

2.3 Etiologi Preeklampsia BeratSetiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada: Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan kembar atau kehamilan mola. Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya. Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama kehamilan.Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme, transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003), penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi dari kehamilan normal.4. Faktor defisiensi nutrisi.5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).

2.4 Patogenesis Preeklampsia Berat 2.4.1 VasospasmeKonsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan langsung tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena.Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan hipertensi berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoran yang interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada subendothelial.Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel junctional. Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi ultrastruktural di wilayah subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).

2.4.2 Aktivasi sel endotelSelama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam pemahaman kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor yang tidak diketahui - kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa sirkulasi sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah perifer wanita preeklampsia.Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respon otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors (Cunningham, et al, 2007).Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel akan terjadi: Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat) Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah. Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator). Peningkatan faktor koagulasi.Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik morfologi endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan meningkatnya konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan serum wanita hamil normal (Cunningham, et al, 2007).

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia BeratDigolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut: Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif. Oliguria, yaitu produksi urin 1.2 mg/dL). Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema). Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT) Edema paru-paru dan sianosis. Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH) Trombositopenia ( 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

2.7.1 Penanganan di PuskesmasMengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut :1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tetes per menit.3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah diberikan.5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan tabung oksigen.7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

2.7.2 Penanganan di rumah sakitDasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya. Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):a.Pencegahan KejangTirah baring, tidur miring kiriInfus RL atau RD5Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu : -Loading / initial dose: dosis awal-Maintenance dose: dosis rumatan Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urinTabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEBLoading doseMaintenance dose

SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit SM 40 % 10 g im, terbagi pada glutea kiri dan kanan SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30 tts/m 1. SM rumatan diberikan sampai 24 jam pada perawatan konservatif dan 24 jam setelah persalinan pada perawatan aktif

Syarat pemberian SM : Reflex patella harus positif Respiration rate > 16 /m Produksi urine dalam 4 jam 100cc Tersedia calcium glukonas 10 %

Antidotum :Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit

Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :1. Sodium thiopental 100 mg iv2. Diazepam 10 mg iv3. Sodium amobarbital 250 mg iv4. Phenytoin dengan dosis : Dosis awal 100 mg iv 16,7 mg/menit/1 jam500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam

b.AntihipertensiHanya diberikan bila tensi 180/110 mmHg atau MAP 126Bisa diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jamPenurunan darah dilakukan secara bertahap :-Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik-Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau MAP < 125c.DiuretikumTidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :Memperberat penurunan perfusi plasentaMemperberat hipovolemiaMeningkatkan hemokonsentrasiIndikasi pemberian diuretikum :1.Edema paru2.Payah jantung kongestif3.Edema anasarka

Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif. a.Perawatan konservatif1.Tujuan :Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahimMeningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu2.Indikasi :Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia3.Pemberian anti kejang :Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose tidak diberikan )4.AntihipertensiDiberikan sesuai protokol untuk PER. 5.Induksi Maturasi ParuDiberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.6.Cara perawatan :Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsiaMenimbang berat badan tiap hariMengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnyaMengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidurPemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum dan faktor koagulasiBila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.7.Terminasi kehamilanBila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai atermBila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrikb.Perawatan aktif1.Tujuan : Terminasi kehamilan2.Indikasi :(i). Indikasi Ibu :Kegagalan terapi medikamentosa : -Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan tekanan darah persisten-Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan tekanan darah yang progresifDidapatkan tanda dan gejala impending preeclampsiaDidapatkan gangguan fungsi heparDidapatkan gangguan fungsi ginjalTerjadi solusio plasentaTimbul onset persalinan atau ketuban pecah(ii). Indikasi JaninUsia kehamilan 37 mingguPJT berdasarkan pemeriksaan USG serialNST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8Terjadi oligohidramnion(iii). Indikasi LaboratoriumTimbulnya HELLP syndrome3.Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.4.Terminasi kehamilan :Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :(i)Pasien belum inpartuDilakukan induksi persalinan bila skor pelvik 8. Bila skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 g intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.Indikasi operasi sesar :-Indikasi obstetrik untuk operasi sesar-Induksi persalinan gagal-Terjadi maternal distress-Terjadi fetal compromised-Usia kehamilan < 33 minggu(ii)Pasien sudah inpartuPerjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partografKala II diperinganBila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan dilakukan dengan operasi sesarPada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar

2.8 Komplikasi Preeklampsia Berat2.8.1 Penyulit Ibua. SSP: Perdarahan Intrakranial Thrombosis vena sentral Hipertensi ensephalopati Edema cerebri Edema retina Macular atau retinal detachment Kebutaan cortexb. Gastrointestinal-hepatik: Subcapsular hematoma hepar Ruptur kapsul hepar Ascites c. Ginjal: Gagal ginjal akut Nekrosis Tubular Akutad. Hematologik: DIC Trombositopenia e. Kardiopulmonal: Edema paru Arrest napas Cardiac arrest Iskemia miokardium(Angsar, 2008)

2.8.2 Penyulit Janina. PJTb. Solusio plasentac. IUFDd. Kematian neonatale. Prematuritasf. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009)

DAFTAR PUSTAKAAngsar, 2008. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Buku Ilmu Kebidanan Edisi keempat halaman 534-559, editor: Saifudin, Abdul Bari, Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GD et al. 2001, Hypertension Disorders in Pregnancy. Williams Obstetrics. 21th ed. London: Prentice-Hall International, 2001: 567-618.Dekker GA, Sibai BM, Etiology and Pathogenesis of Preeclampsia: Current Concepts. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: 1359-1375.Handaya, 2001. Penanganan preeklampsia/eklampsia. Jakarta: Prosiding Seminar Konsep Mutakhir Preeklampsia.Isler CM, Rinehart BK, Terrone DA, Martin RW, Magann EF, Martin JN. Maternal Mortality with HELPP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, And Low Platelets) Syndrome. Am J Obstet Gynecol 1999; 181: 924-928.Prasetyorini, N, 2009. Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia. Seminar POGI Cabang Malang. Divisi Kedokteran Feto Maternal - FKUB/RSSA MalangRoberts JM, Redman CWG. Preeclampsia: More Than Pregnancy-induced Hypertension. Lancet 1993; 341: 1447-1454.Roberts JM, Taylor RN, Musci TJ, Rodgers GM, Hubel CA, McLaughlin. Preeclampsia: An Endothelial Cell Disorder. Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1200-1204.Wang Y, Alexander JS. Placental Pathophysiology in Preclampsia. Pathophysiology 2000; 6: 261-270.

23