LAPORAN KASUS 2 - Tondilitis Eksaserbasi Akut - Asrarudin
-
Upload
asrarudin-hamid -
Category
Documents
-
view
186 -
download
11
Transcript of LAPORAN KASUS 2 - Tondilitis Eksaserbasi Akut - Asrarudin
BAB I
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur
faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan
bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis,
nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai
dengan keluhan nyeri tenggorokan (1) .
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia)
pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis
Akut (3,8%) (Suwendo, 2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada
periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau
6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun
yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-
laki, 13,7 persen pada perempuan) (2,3) .
Memperhatikan angka insidensi yang tinggi dari penyakit ini dan tentunya dampak
yang ditimbulkan akan dapat mempengaruhi kualitas hidup, maka pengetahuan yang
memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang
tepat dan rasional.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di
bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel
permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kriptus di
dalamnya. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar
tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali
makan. Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil
dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau
obstruksi hidung walau jarang ditemukan (2) .
Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara
mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu (2) :
1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa.
2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :
Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus
dan arcus glossopharingicus.
Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva.
Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini
dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi
fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,
2
dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil
faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer.
Gambar 1. Cincin Waldeyer
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (4).
Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis(4).
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior(4).
3
Gambar 2. Anatomi normal Tonsil Palatina
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda
atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar
toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus (4).
Vaskularisasi dan Aliran Getah Bening
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a.
maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden,
a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengan
cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di
bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju
tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.
konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior
atau lesser palatina artery member vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring (2,5).
4
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil
Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil
ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang terletak pada trabekula, yang kemudian
membentuk pleksus pada permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor
Faringeus Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju
kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar leher, di belakang
dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus
daerah dada untuk selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus (5) .
Gambar 4. Aliran Limfe Tonsil
5
Innervasi
Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf v melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX). Pemotongan pada n. IX
menyebabkan anastesia pada semua bagian tonsil (5) .
Gambar 5 : Inervasi
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2 % dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada tonsil terdapat system imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG (6).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1.)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2.) sebagai organ utama produksi
antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Tonsil palatina utamanya sebagai organ imun yang memerankan peranan penting
dalam pertahanan terhadap infeksi saluran nafas atas. Dengan analogi dibandingkan dengan
jaringan limfoepitelial di saluran bronchial dan intestinal, jaringan limfatik di cincin tonsilar
juga dinamakan mucosa-associated lymphatic tissue (MALT) dari saluran nafas atas. Jaringan
ini memiliki kemampuan reaksi imun spesifik dalam hal merespon berbagai antigen.
6
Aktivitas organ limfatik ini meningkat terutama masa kanak-kanak, ketika aktivitas
imunologis dari lingkungan menginduksi tonsil palatina hiperplasi. Jaringan tonsilar limfatik
menjadi kurang penting setelah masa inisiasi imun (fase aktif) yang berlangsung antara umur
8-10 tahun dan terjadi penurunan densitas limfosit pada semua daerah tonsil (5,6).
2. TONSILITIS KRONIS
a) Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat
menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-
gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan(7).
b) Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Pada pendería tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian
Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup
A, E.coli dan Klebsiela(4,7).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus
alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (7).
c) Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan
kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab,
suhu yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi,
kelelahan fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).
7
d) Patogenesis
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah
fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum
tubuh menurun(4).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi
akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor
yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi
atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,4).
e) Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau(1).
f) Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju,
3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,
8
Gambar 6. Tonsilitis
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda
klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar
limfe submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak
nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi
mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika
anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(4).
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala lokal,
yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan,
2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri
otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis folikularis
kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan
kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional (8).
Lebih lanjut untuk membandingkan perbedaan antara tonsilitis akut, tonsilitis kronis
dan tonsilitis kronis dengan eksaserbasi akut dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Tonsilitis Kronis
9
Eksaserbasi akut
Hiperemis dan edema Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil tapi
tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, analgetika,
obat kumur
Sembuhkan radangnya, Jika perlu
lakukan tonsilektomi 2 – 6 minggu
setelah peradangan tenang
Bila mengganggu lakukan
tonsilektomi
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring(4).
g) Pemeriksaan penunjang
- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi,
didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat
dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta
hemolitikus diukuti Staflokokus aureus (4).
10
h) Penatalaksanaan
1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada
penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis).
2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan
serta kecurigaan neoplasma(4).
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan,
serta kecenderungan neoplasma. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi
adalah sebagai berikut :
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale,
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β
hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif (1).
a) Indikasi relatif :
1. Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam setahun
meskipun dengan terapi yang adekuat
2. Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis tidak
responsif terhadap terapi media
3. Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang resisten
terhadap antibiotik betalaktamase
4. Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
11
b) Kontra indikasi :
1. Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
2. Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai
pengalaman khusus terhadap bayi
3. Infeksi saluran nafas atas yang berulang
4. Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
5. Celah pada palatum
Komplikasi
Komplikasi tonsillitis kronis meliputi komplikasi local dan sistemik (2) .
a. Komplikasi Lokal
Peritonsilitis
Abses pertonsiler (Quinsy)
Abses Parafaringeal
Kista tonsil
Tonsilolith
b. Komplikasi Sistemik yang dapat menyebar secara hematogen dan limfogen.
Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
Glomerulonefritisarthritis
Nefritis
Iridosiklitis
Dermatitis
Pruritus
Urtikaria
Furunkulosis
12
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. “E”
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bima
Pekerjaan : -
Tanggal Pemeriksaan : 29 Mei 2012
ANAMNESIS
Keluhan utama :
Pasien mengeluh nyeri saat menelan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri menelan yang
dirasakan sejak 2-3 hari yang lalu. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu
dan sering kambuh-kambuhan. Beberapa hari sebelumnya pasien menderita pilek (+) dan
demam (+). Pasien juga mengeluhkan nyeri tenggorokan. Mengeluhan gangguan makan
minum dan suara terasa serak. Pasien sering meminum air dingin, ataupun makanan
pedas. Pasien tidak mengeluhkan gangguan ataupun nyeri pada telinga.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien mengaku pernah mengalami keluhan sebelumnya sekitar 2 tahun lalu dan sering
kambuh terutama jika makan pedas atau meminum air dingin.
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga pasien dengan keluhan sakit yang sama
Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki alergi terhadap makanan dan obat-obatan.
13
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu axilla : 36,7 C⁰
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No
.
Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), fistel (-),
edema (-)
Nyeri tekan (-), fistel (-),
edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-)
Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-),
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
otorhea (-)
Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-),
otorhea (-), sekret (-)
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
perforasi (-), cone of light
(+)
Retraksi (-), bulging (-),
perforasi (-), cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
14
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-),
deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi
(-), nyeri tekan (-),
deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa
pucat
Bentuk (normal), mukosa
pucat
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (-),
massa berwara putih
mengkilat (-), sekret pada
meatus nasi media (-)
Mukosa normal, sekret (-),
massa berwara putih
mengkilat (-), sekret pada
meatus nasi media (-)
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi
(-)
Edema (-), mukosa
hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-)
Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-)
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
15
T3, Hiperemi (+)
Kripte melebar (+)
Destritus di tonsil sinistra
T3, Hiperemi (+)
Kripte melebar (+)
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T3 T3
Fossa Tonsillaris
dan Arkus Faringeus
hiperemi (+), permukaan
tidak rata
hiperemi (+),permukaan tidak
rata
DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan laboratorium: swab tonsil
16
RENCANA TERAPI
Medikamentosa
Antibiotik : Amoxicillin 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari
Analgesik : Asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari selama masih nyeri
Obat Kumur : Betadine obat kumur 4 kali sehari
Tonsilektomi
KIE pasien
Pasien dianjurkan untuk dilakukan pengambilan tonsil (tonsilektomi) karena
kekambuhan yang sering terjadi dan tidak membaik dengan pemberian obat-obatan.
Pasien dianjurkan untuk memakan makanan yang lunak selama kurang lebih 1
minggu. Menghindari makanan pedas, berminyak dan minuman dingin.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis menderita
tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Berdasarkan anamnesis, nyeri menelan yang dirasakan
sejak 2-3 hari yang lalu. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu dan sering
kambuh-kambuhan. Beberapa hari sebelumnya pasien menderita pilek (+) dan demam (+).
Pasien juga mengeluhkan nyeri tenggorokan. Mengeluhan gangguan makan minum dan suara
terasa serak. Pasien sering meminum air dingin, ataupun makanan pedas. Pasien tidak
mengeluhkan gangguan ataupun nyeri pada telinga.
Keluhan sakit pada tenggorokan dan nyeri menelan mengindikasikan adanya suatu
proses inflamasi didaerah tenggorokan, yang mana dapat saja disebabkan oleh tonsil atapun
faring yang mengalami infeksi. Keluhan demam, batuk, pilek dan pusing merupakan gejala
penyerta yang sering muncul jika terjadi infeksi akut pada daerah tonsil atapun faring. Dari
hasil pemeriksana fisik ditemukan tonsil yang membesar dan hiperemis.
Prinsip pengobatan pada pasien ini adalah istirahat yang cukup, eradikasi kuman
penyebab infeksi serta mengurangi gejala simtomatik yang dikeluhkan oleh pasien. Untuk
mengeradikasi bakteri penyebab diberikan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin 500
mg. Antibiotik amoxicillin 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari. Pasien juga diberikan
analgesi asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari sampai nyeri berkurang atau tidak ada sama
sekali. Untuk menjaga higienitas mulut pasien juga diberikan obat kumur yang mengandung
antiseptik. Pasien juga dianjurkan untuk istirahat dahulu dan jangan minum es serta makan-
makanan yang berminyak.
18
19