kasus diare akut..................................................................

83
STATUS PASIEN BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL Nama Mahasiswa : Nor Ubudiah binti Seti Pembimbing : Dr. H.R. Setyadi, Sp.A NIM : 030.08.293 Tanda tangan : IDENTITAS P ASIEN Nama : An. D Umur : 1 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : Jl. Layang RT/RW 03/09, Kel. Tegal Sari, Kec. Tegal Barat. Ruangan : PICU Masuk RS : 8 Januari 2014 Nama Ayah : Tn. R Umur : 39 tahun Pekerjaan : Nelayan Pendidikan : SD 1

description

..........................................................................................................................................

Transcript of kasus diare akut..................................................................

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

Nama Mahasiswa : Nor Ubudiah binti Seti Pembimbing : Dr. H.R. Setyadi, Sp.A

NIM : 030.08.293 Tanda tangan :

IDENTITAS P ASIEN

Nama : An. D

Umur : 1 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Jl. Layang RT/RW 03/09, Kel. Tegal Sari, Kec. Tegal Barat.

Ruangan : PICU

Masuk RS : 8 Januari 2014

Nama Ayah : Tn. R

Umur : 39 tahun

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : SD

Nama Ibu : Ny. E

Umur : 38 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah

Tangga

Pendidikan : SD

1

DATA DASAR

ANAMNESIS (Alloanamnesis)

Anamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada tanggal 8 Januari 2014 pukul

13.00 WIB di Ruang PICU.

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar oleh ibunya ke Poliklinik RSUD Kardinah Tegal dengan

keluhan kejang . Kejang sebanyak 1 kali di rumah selama ± 45 menit dan 1 kali kejang di

UGD selama 2 menit sebelum diberi pengobatan. Kejang yang disertai demam bersifat

kelojotan seluruh tubuh, kedua mata mendelik ke atas, terdapat busa yang keluar dari mulut.

Sejak 2 hari smrs, pasien batuk pilek , muntah-muntah > 7 kali per hari (isi makanan dan

susu) disertai BAB cair( > 10 kali,berisi cairan, ampas sedikit,kuning, tidak ada lender dan

darah) ,kemudian baru muncul panas. Panas baru 1 hari dan timbul kejang lalu dibawa ke

UGD. Sebelum kejang pasien sadar, setelah kejang pasien tertidur. Ibu pasien mengaku

belum memberikan anaknya apapun obat penurun panas. Pasien juga dikatakan tidak nafsu

makan , lesu, dan kurang aktif dan tampak seperti mengantuk.

Saat dibawa ke UGD pasien sudah tidak kejang dan pasien sadar.Beberapa menit

kemudian pasien mulai kejang lagi selama 2 menit namun sempat ditangani oleh para medis

dan dokter menyarankan untuk dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pertama kali kejang demam waktu usia 8 bulan

Ibu pasien mengaku pasien pernah dirawat di RS Islam sebanyak 3 kali dalam tahun

2013 dengan keluhan kejang dan demam.

Riwayat Asma dan Alergi disangkal oleh ibu pasien

2

Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak pasien yang kini berusia 14 tahun pernah mengalami kejang demam pada usia

1 tahun dengan kejang kelojotan 7 kali dan berlangsung agak lama . Sempat dirawat

inap dan sampai sekarang tidak bisa berdiri dan berjalan,kakaknya hanya bisa

mengesot dan bisa bicara dengan jumlah kata yang sedikit.

Ditemukan riwayat Kejang dalam keluarga ayah pasien.

Riwayat asma dan alergi dalam keluarga disangkal

Riwayat Persalinan

Bayi perempuan lahir dengan umur kehamilan ibu 37 minggu, secara seksio caesaria

oleh dokter spesialis kandungan di RSUD Kardinah Tegal kerna bayi sungsang . Bayi lahir

langsung menangis keras dengan berat badan lahir 2600 gram, panjang badan lahir lupa ,

lingkar kepala dan lingkar dada lahir ibu juga lupa. Bayi dirawat bersama dengan ibu, setelah

3 hari dirawat, bayi dan ibu diperbolehkan untuk pulang.

Kesan : Neonatus aterm, lahir SC , bayi dalam keadaan sehat.

Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Antenatal

Ibu memeriksakan kehamilan di Bidan secara teratur 1x tiap bulan selama kehamilan.

Saat usia 8 bulan, ibu memeriksakan kehamilan setiap 2 minggu. Mendapatkan suntikan TT

2x. Tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan, riwayat perdarahan selama

kehamilan disangkal, riwayat trauma selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa

resep dokter dan jamu disangkal. Ibu mengkonsumsi vitamin penambah darah dari

Puskesmas.

Kesan: riwayat pemeliharaan antenatal baik.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan postnatal dilakukan rutin di Posyandu dan anak dalam keadaan sehat.

3

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan:

Berat badan lahir 2600 gram. Panjang badan lahir lupa.

Berat badan sekarang 9.7 kg. Tinggi badan 73 cm.

Perkembangan:

senyum : ibu lupa

miring : 4 bulan

tengkurap : 5 bulan

duduk : 6 bulan

gigi keluar : 8 bulan

merangkak : 10 bulan

berdiri : 11 bulan

berjalan : 12 bulan (harus pegangan pada sesuatu)

berbicara : 9 bulan( 2 -3 kata)

membaca : -

Gangguan perkembangan :

Saat ini anak berusia 1 tahun. Sudah bisa berjalan beberapa langkah tapi perlu

berpegang pada sesuatu seperti dinding. Bicaranya masih 2-3 kata dan belum

jelas serta jarang berbicara.

Kesan: Didapatkan sedikit keterlambatan dalam merangkak dan berbicara .

Interaksi dengan orang sekitar masih baik. Pertumbuhan pasien saat ini masih

sesuai dengan usianya.

4

Riwayat Makan dan Minum Anak

Ibu mengaku memberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6

bulan .

Anak sudah diberikan makanan pendamping ASI yaitu bubur nasi atau

makanan lunak pada usia 7 bulan.

Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan baik

Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN

(umur)

BCG 0 bulan - - -

DPT/ DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

POLIO 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

CAMPAK - - 9 bulan - - -

HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesan : imunisasi dasar lengkap dan mengikuti jadwal imunisasi yang

tertera pada KMS.

Riwayat Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku mengikuti program KB implant selama 5 tahun.

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai Nelayan dengan penghasilan tidak tetap . Sedangkan ibu

pasien hanya seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama bapak dan ibunya bersama

kakak pasien, dimana ayah pasien menghidupi 4 orang anggota keluarganya.Ibunya mengaku

jarang punyai tabungan.

Kesan: riwayat sosial ekonomi tidak cukup.

5

Silsilah atau Ikhtisar Keturunan

Keterangan :

: laki-laki

: perempuan

: : pasien

Data Perumahan

Kepemilikan : Rumah orangtua

Keadaan Rumah : Dinding rumah tembok, kamar tidur berjumlah 2, 1 kamar mandi di

dalam rumah. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari rumah, limbah buangan ke

selokan. Sumber air minum dari air PAM. Pencahayaan dan ventilasi rumah saling

berdekatan.

Keadaan lingkungan: Jarak antar rumah saling berdekatan

6

= Laki-laki

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 8 Januari 2014 pukul 14.00 WIB, di Ruang PICU.

Kesan Umum : kesadaran: Apatis, tampak lesu, tampak sakit berat.

Tanda Vital

Nadi : 148 x/menit, reguler, isi cukup

Laju Nafas : 38x/menit, reguler

Tekanan darah : tidak diperiksa

Suhu : 39.2 ˚C (aksila)

Data Antropometri

Berat badan sekarang : 9.7 kg.

Tinggi Badan: 73 cm

Status Internus

Kepala : Mesocephali, ubun-ubun datar, tidak tegang.

Rambut :rambut warna hitam , merata , helaian teraba halus.

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem

palpebra (-/-), mata cekung (+/+), air mata tidak ada.

Hidung :Bentuk normal, simetris, sekret (+/+)

napas cuping hidung (-/-)

Telinga :Bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-),

Mulut :Bibir kering (+), bibir sianosis (-), stomatitis (-)

Tenggorok :Faring hiperemis (-)

:Tonsil T1-T1 hiperemis (-), detritus (-), granulasi (-)

Leher :Simetris, pembesaran KGB (-)

7

Thorax :Dinding thorax normothorax dan simetris

o Pulmo:

Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan

simetris, retraksi dinding dada(-)

Palpasi : vocal fremitus tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Suara nafas vesikuler diseluruh lapang

paru kiri-kanan,Ronkhi (-/-), wheezing

(-/-)

o Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV

midclavicula sinistra

Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler,

murmur(-) gallop(-)

o Abdomen

Inspeksi : Datar, simetris

Auskultasi : Bising usus 5x/menit

Palpasi : Supel, hepar & lien tidak teraba

mambesar, turgor kulit menurun.

Perkusi : timpani di ke 4 kuadran abdomen

Genitalia : Sesuai dengan kelamin perempuan dan tidak ada

kelainan.

8

Anorektal : Dalam batas normal, hiperemis perianal (+).

Ekstremitas :

Superior Inferior

Akral Dingin -/- -/-

CRT <2” <2”

Oedem -/- -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 08/01/14 Satuan Nilai rujukan

Hematologi

Lekosit 16.4 L 10^3/uL 6.0-17.5

Eritrosit 3.1 10^6/uL 3.9 - 5.9

Hemoglobin 8.9 L g/dL 11.5 - 13.5

Hematokrit 27.2 L % 34 - 40

MCV 87.2 L U 76 – 96

MCH 28.5 L Pcg 27 – 31

MCHC 32.7 L g/dL 33.0 - 37.0

Trombosit 171 10^3/uL 150 – 400

Kimia klinik

GDS 108 mg/dl 70-160

Natrium 154.8 mmol/L 135-148

Kalium 4.62 mmol/L 95-108

Klorida 127.0 mmol/L 95-108

9

Sero Imunologi

HbsAg Negatif Negatif

PEMERIKSAAN KHUSUS

Data antropometri:

Anak perempuan usia : 1 tahun

Berat badan : 9.7 Kg

Panjang badan : 73 cm

Pemeriksaan Status Gizi :

Pertumbuhan fisik anak perempuan menurut persentil NCHS

BB/U= 9,5/9,6x100%=98.9% (normal)

PB/U= 73/74,x100%= 98,6%(normal)

BB/PB= 9.7/9.4x100%=103.1% (normal )

Kesan : Status gizi anak baik dan perawakan tubuh anak normal.

DAFTAR MASALAH

Kejang

Demam

Flu

Muntah

Diare

Penurunan kesadaran

Letargi

DIAGNOSA BANDING

1. Kejang demam

10

Kejang Demam Kompleks

Kejang Demam Simpleks

Meningitis Bakterialis

Ensefalitis

Riwayat Epilepsi dengan demam

2. Penurunan kesadaran

Syok hipovolemik

Dehidrasi derajat berat

Infeksi intrakranial

Kelainan vaskuler otak

Tumor intrakranial

3. Demam, flu, letargi

ISPA

4. Diare Akut

Diare tanpa dehidrasi

Diare dengan dehidrasi derajat ringan -sedang

Diare dengan dehidrasi derajat berat

5. Vomitus

Enteritis

GERD

Peningkatan tekanan intrakranial

DIAGNOSA SEMENTARA

Kejang Demam Kompleks

Diare Akut dengan dehidrasi derajat berat

ISPA

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

Oksigenasi dan tirah baring

Rehidrasi :IVFD RL 30 mL/kgBB dalam 30 menit pertama

,dilanjutkan 70 mL/kgBB untuk 5 jam berikutnya.

Injeksi :

11

Cefotaxime 3 x 1/3gr

Oral :

ParasetamolSyrup 4 x 1 Cth

L-Zinc Syrup 2 x ½ Cth

Depaken 2 x ½ Cth

L- Bio 1x1 sachet

N on Medikamentosa

1. ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur

tetap diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan.

2. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.

3. Makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering dengan makanan rendah

serat,buah-buahan diberikan terutama pisang.

4. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis

baik

5. Memberitahukan cara penanganan kejang

6. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

7. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus

diingat  efek samping obat.

8. Memeriksa anaknya apabila adanya demam,tinja berdarah, makan atau

minum sedikit,diare makin sering atau belum membaik dalam 3 hari.

USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Lab darah perifer lengkap , gula darah, elektrolit

Neuroimaging CT-Scan

AGD apabila secara klinis curiga gangguan kesimbangan asam basa dan

elektrolit.

PROGNOSA

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad sanam : Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

12

PERJALANAN PENYAKIT

Masuk RS 8 Januari 2014

S: Kejang (-), Panas (+), batuk (-) , pilek (+), BAB cair (+) 5x campur ampas

kekuningan tanpa lendir dan tanpa darah, muntah (+), nafsu makan menurun

O: KU: somnolent , rewel (-), tampak lemas (+), kejang(-)

- S : 390C

- HR: 134 x/menit reguler

- RR : 48 x/ menit

Mata : cekung +/+, CA -/-, SI -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Thoraks : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, retraksi dinding dada (-)

Abdomen :datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

A: Kejang Demam Kompleks, Diare akut, Dehidrasi berat

P: IVFD RL 12 tpm

Inj. Cefotaxime 3 x 1/3 gram iv

Inj. Gentamicin 2x 20 mg iv

Paracetamol Syrup 4 x 1 Cth

Depaken 2 x ½ Cth

L-Zinc Syrup 2 x ½ Cth

9 Januari 2014

13

S: Kejang (-), panas (+) masih naik turun, batuk (-), pilek (+), BAB cair (-), muntah (+),

masih sulit makan

O: KU: compos mentis, rewel (+), tampak lemas (+), keringat banyak

- S : 38,10C

- HR: 140 x/menit reguler

- RR : 28 x/ menit

Mata : cekung -/-, CA -/-, SI -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-)

Thoraks : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, retraksi dinding dada (-)

Abdomen :datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

A: Kejang Demam Kompleks perbaikan

P: Terapi lanjut

10 Januari 2014

S: Kejang (-), panas (+) masih naik turun, batuk (+), pilek (+), sesak napas (-), BAB

cair (+) 5 kali, muntah (-)

O: KU: compos mentis, rewel (-), tampak lemas (-)

- S : 37,90C

- HR: 138 x/menit reguler

- RR : 32 x/ menit

- Mata : cekung -/-, CA -/-, SI -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-)

Thoraks : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, retraksi dinding dada (-)

14

Abdomen :datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

A: Kejang Demam Komplek perbaikan + Diare Akut perbaikan

P: Terapi lanjut

11 Januari 2014

S: Kejang (-), Panas (-), batuk (-), pilek (-), BAB cair (1 kali ), muntah (-), nafsu makan

menurun

O: KU: sadar, rewel (-), tampak lemas (-), tampak sesak (-)

- S : 370C

- HR: 134 x/menit reguler

- RR : 48 x/ menit

Mata : cekung -/-, CA -/-, SI -/-

Hidung : nafas cuping hidung (-)

Thoraks : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (+) ICS III parasternal kiri, gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi +/+, Wh -/-, retraksi dinding dada (-)

Abdomen :datar, BU (+), supel, timpani, turgor kulit baik

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, eodem -/-, CRT <2detik

A: Kejang Demam Komplek perbaikan

P: Terapi lanjut

15

Analisa Kasus

Diagnosa pada pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks,Diare Akut dengan

Dehidrasi Derajat Berat dan ISPA. Diagnosa ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan khusus dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis, pasien demam dan kejang sebanyak 2 kali ,kejang pertama

kali berlangsung 45 menit, sesuai dengan kriteria kejang demam kompleks berulang dalam

24 jam, durasi lebih dari 15 menit saat demam . Pada pasien ini didapatkan diare lebih 3 kali

sehari selama 2 hari.Keluhan pasien juga sesuai dengan kriteria diare akut yang terjadi kurang

dari 7 hari dengan frekwensi diare lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Kriteria ISPA bisa

ditegakkan dengan adanya keluhan demam dan pilek.Muntah-muntah pada pasien ini

mungkin terjadi akibat gastroenteritis yang disebabkan oleh mikroorganisme yang

mengakibatkan diare.

Pada pemeriksaan fisik, Kesadaran apatis, tampak sakit berat, tampak letargi..

Didapatkan kesan gizi cukup . Nadi: 124 x/menit, , suhu : 39.2 ˚C (aksila), RR 38 kali per

menit. Didapatkan mata cekung +/+, sekret hidung +/+, mukosa bibir kering, turgor kulit

menurun, bising usus meningkat , hiperemis perianal. Tanda rangsang meningeal (-).

Temuan positif seperti penurunan kesadaran, tampak sakit berat, mata cekung, mukosa bibir

kering dan turgor kulit menurun cukup untuk mendiagnosa sebagai kesan dehidrasi berat.

Temuan positif lain seperti bising usus meningkat dan perianal kelihatan hiperemis sesuai

dengan temuan klinis akibat diare akut.

Pada hasil laboratorium tidak ditemukan leukositosis, hiponatremi maupun

hipokalemi. Terdapat sedikit penurunan Hb yaitu 8,9 g/dl dan hipernatremi yaitu 154,8

mmol/L. Dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan Hb sedikit mungkin kerna kurang

asupan gizi dan belum ada gangguan keseimbangan elektrolit. Pada pasien ini belum ada

gangguan keseimbangan elektrolit sedangkan pada diare akut juga bisa terdapat gangguan

keseimbangan elektrolit. Tidak ditemukan leukositosis mungkin diare disebabkan infeksi

virus.

16

TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM

Definisi

Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat kenaikan suhu

tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.Kejang demam adalah suatu

kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 6 bulan sampai 5 tahun,

berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau

penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4

minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai

dengan kejang berulang tanpa demam.

Etiologi

Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan pasti, demam

sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,

gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang tinggi.

Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.

Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan

oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air,

atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel

apabila stimulus pencetusnya dihilangkan.

Klasifikasi

1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)

2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)

* Kejang demam sederhana

17

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum, tonik dan atau klonik

, umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam.

* Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):

1. Kejang lama > 15 menit

2. Kejang fokal atau  parsial satu sisi, atau kejang umum didahului  kejang parsial  

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi

yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah

glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan

ke otak melalui system kardiovaskuler.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang

melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membrane yang

terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionic. Dalam keaadaan

normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat

sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).

Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah.

Sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan yg sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan

konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran dari

neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan

enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

2. Rangsangan yg datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari

sekitarnya.

3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme

basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3

tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa

yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari

18

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion

natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas

muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke

membrane sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut “neurotransmitter” dan terjadi

kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya

ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada

anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan

anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi bila suhu mencapai 40oC atau

lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering

terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya

perlu memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita kejang.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak

meninggalkan gajala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)

biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot

skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh

metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu

tubuh makin meningkat yang disebabkan makain meningkatnya aktivitas otot, dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.

Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan

neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan

peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler

dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang

berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemukakan hari sehingga terjadi serangan

epilepsi yang spontan. Karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan

kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.

19

Tanda dan Gejala

Secara teoritis pada pasien dengan Kejang Demam akan didapatkan data-data antara

lain pasien kurang selera makan (anoreksia), tampak gelisah, badan panas dan berkeringat,

mukosa bibir kering.

Pemeriksaan Diagnostik

Setelah penanganan akut kejang demam, sumber demam perlu diteliti. Dalam sebuah

penelitian, sumber demam pada kejang demam antara lain infeksi virus (tersering), otitis

media, tonsilitis, ISK, gastroenteritis, infeksi paru2 (saluran napas bagian bawah), meningitis,

dan pasca imunisasi.

Beberapa pemeriksaan lanjutan hanya diperlukan jika didapatkan karakteristik khusus

pada anak.

(1) Pungsi lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan

kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan

setelah kejang demam pertama pada bayi :

* Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

* Mengalami complex partial seizure

* Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam

sebelumnya)

* Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

* Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1

jam setelah kejang demam adalah normal.

* Kejang pertama setelah usia 3 tahun

20

Inflamasi / Infeksi

Peningkatan Suhu tubuh

Metabolisme basal meningkat

Kebutuhan O2 meningkat

Glukosa ke otak menurun

Perubahan konsentrasi dan jenis ion di dalam

dan luar sel

Difusi ion Na+ dan K+Kejang

Durasi lama apnea O2 turun hipoxemia

Aktivitas otot meningkat

hipoxia

Permeabilitas meningkat edema otak

Kerusakan sel neuron otak

Epilepsi

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda

peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf

pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya,

gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat

dianjurkan untuk dilakukan.

(2) EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan

gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru

terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang

menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau

sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang

akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang

demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam

atau risiko epilepsi.

(3) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,

magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan

laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai

pemeriksaan rutin.

(4) Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan

MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk

pertama kalinya.

Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu

menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung

dari cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan Living

stone (1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi

epilepsi, dan golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi

epilepsy.

21

Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam

tergantung dari factor:

1. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

2. kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam

3. kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan

mengalami serangan kejang demam tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila hanya

terdapat 1 atau tidak sama sekali factor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya

2-3% saja.

Hemiparesis biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung

lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai kejang fokal yang

terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu timbul spasitas. Dari

suatu penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat kelainan

pada IQ.tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan

perkembangan atau kelaianan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding

dengan saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam,

retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar.

Penatalaksanaan

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang

sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk

menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam

intravena adalah 0,3 - 0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam

waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam

rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg

atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk

berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah

usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Kejang yang belum berhenti

dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval

waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit.

dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis

awal 10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan  1 mg /kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.

22

Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis

awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat

intensif.Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang

demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks.

Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik

Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa

penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi E).

Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10 –15 mg/kg/kali  diberikan 4 kali sehari dan

tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari. Asetaminofen dapat

menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, meskipun jarang.

Antipiretik pilihan adalah parasetamol 10 mg/kg yang sama efektifnya dengan ibuprofen 5

mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.

Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan

risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5

mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C  (level I, rekomendasi E).

Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat

pada 25 – 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak

berguna untuk mencegah kejang demam.

Pemberian obat rumat

Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut

(salah satu):

1. Kejang lama > 15 menit

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.

3. Kejang fokal

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

       . Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

. kejang demam > 4 kali per tahun

23

Penjelasan:

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi

pengobatan rumat

Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan

merupakan indikasi

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus

organik

Jenis obat antikonvulsan

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan

risiko berulangnya kejang (level I).Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam

benign dan efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus

menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada kasus yang sangat selektif (rekomendasi

D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan

belajar (40 - 50 %). Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan

hepatitis namun insidensnya kecil. Dosis asam valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis

dan fenobarbital 3 - 4 mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara

bertahap selama 1-2 bulan.

Edukasi pada orang tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang

sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus

dikurangi dengan cara yang diantaranya :

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat  efek

samping obat

24

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:

1. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan

atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya

jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang

5. Tetap bersama pasien selama kejang

6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti

7. Bawa  kedokter  atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

Vaksinasi

Sejauh in tidak ada kontra indikasi dengan standar vaksinasi. Kejang setelah demam

karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 - 9 kasus per

100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 - 34 per 100.000. 

Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah

vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan asetaminofen pada saat

vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

Komplikasi

Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi

hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula

kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.Kejang demam yang

berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.

Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :

* Pneumonia aspirasi

* Asfiksia

* Retardasi mental

25

Diare

Pendahuluan

Diare merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak dan dapat disebabkan oleh

berbagai macam penyebab dengan variasi penyakit dari yang ringan hingga berat. Diare yang

terjadi pada anak-anak biasanya disebabkan oleh karena infeksi, meskipun demikian diet

makanan yang tidak sesuai, terjadinya malabsorpsi makanan, dan berbagai macam gangguan

pada saluran cerna juga dapat menyebabkan keadaan tersebut. Penyakit diare ini biasanya

merupakan penyakit yang sembuh dengan sendirinya (“self-limited”), tetapi manajemen dan

tatalaksana yang tidak baik dari infeksi akut tersebut dapat menyebabkan keadaan yang

berlarut-larut.

Berdasarkan data-data yang diperoleh maka komplikasi yang seringkali terjadi akibat

diare adalah kehilangan cairan dari tubuh atau yang disebut dengan dehidrasi (Frye, 2005).

Selain dehidrasi maka komplikasi lain yang dapat menyertai diare adalah muntah. Cairan

akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kemudian akan diabsorpsi di

dalam tubuh. Jika kemampuan untuk minum untuk mengkompensasi kehilangan cairan akibat

diare dan muntah terganggu maka dehidrasi akan terjadi. Kematian yang terjadi akibat diare

pada anak-anak terutama disebabkan karena kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah yang

besar (Karras, 2005).

Definisi

Diare adalah suatu keadaan pergerakan tinja yang cepat, konsistensi cair/berair, lembek

dan dapat ditambah dengan keadaan saluran cerna yang penuh dengan gas (Karras, 2005).

Sedangkan yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar yang terjadi pada bayi

atau anak yang sebelumnya nampak sehat, dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari, disertai

perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah (Sunoto, 1991). Pada bayi

yang masih mendapat ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari,

keadaan ini tidak dapat disebut diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal.

Kadang-kadang seorang anak defekasi kurang daripada 3 kali sehari, tetapi konsistensinya

sudah encer, keadaan ini sudah dapat disebut diare.

Ada juga yang mendefinisikan bahwa diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali

sehari dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi

secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari dan anak yang sebelumnya sehat

(Mansjoer, 2000). Dalam definisi ini terdapat batasan waktu yaitu kurang dari 7 hari dan

batasan diare adalah lebih dari tiga kali sehari.

26

Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

(2005) maka yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi

lebih encer/cair dari biasanya, tiga kali atau lebih dalam satu hari, dapat/tidak disertai dengan

lendir/darah yang timbul secara mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu (14 hari).

Jika ada diare akut maka terdapat juga diare kronik. Diare kronik adalah suatu sindroma,

bukan penyakit. Diare kronik adalah diare yang berlangsung 2 minggu atau lebih.

Epidemiologi

Diare merupakan penyakit yang umum terjadi pada hampir semua kelompok usia dan

merupakan penyakit kedua tersering setelah influenza (common cold). Penyakit diare juga

merupakan suatu masalah yang kerap kali terjadi di dalam kesehatan masyarakat dan di

dalam bagian pelayanan kegawatdaruratan, terutama untuk anak-anak dibawah usia lima

tahun. Diperkirakan terdapat 100 juta kasus diare akut setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Kasus-kasus tersebut merupakan 5% dari keseluruhan kunjungan ke praktek pribadi dan 10%

dari pasien-pasien yang dirawat inap (Frye, 2005).

Walaupun telah banyak hasil yang diperoleh dibidang penanggulangan diare, namun

hingga kini diare masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada bayi dan balita di

negara berkembang. Episode diare setiap tahun di Indonesia masih berkisar sekitar 60 juta

dengan kematiannya sebanyak 200.000-250.000. Menurut survei kesehatan rumah tangga

yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1986 angka kematian karena diare merupakan 12%

diantara seluruh angka kematian kasar yang besarnya 7/1000 penduduk. Angka ini

merupakan angka yang tertinggi diantara semua penyebab kematian. Sekitar 15% penyebab

kematian bayi dan 26% kematian anak balita disebabkan oleh diare (Sunoto, 1991).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO maka anak-anak dibawah usia 3 tahun

mengalami 2-8 episode diare setiap tahunnya. Anak yang lebih besar mengalami kejadian

diare 1 kali setiap tahunnya. Dari data-data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sekitar

500 juta anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun akan mengalami diare sebanyak 1 kali

setiap tahunnya. Di negara maju seperti di Amerika Serikat maka hanya <10% dari kasus-

kasus diare tersebut yang dibawa ke tenaga medis untuk mendapatkan penanganan lebih

lanjut. Hal ini disebabkan karena pengobatan/perawatan di rumah yang efektif (Karras,

2005).

27

Berbeda dengan negara maju, maka di negara yang berkembang yang tidak memiliki

sumber pengetahuan yang mencukupi untuk perawatan di rumah, maka angka kematiannya

sangat tinggi. Sekitar 2 juta anak di seluruh dunia diperkirakan meninggal setiap tahunnya

akibat penyakit diare akut ini, dan hal ini merupakan penyebab kematian kedua tersering

setelah, infeksi saluran pernafasan (Frye, 2005).

Cara penularan diare pada umumnya adalah secara oro-fecal melalui 1) makanan dan

minuman yang telah terkontaminasi oleh enteropatogen, 2) kontak langsung tangan dengan

penderita atau baran-barang yang telah tercemar tinja penderita, atau tidak langsung melalui

lalat. Di dalam bahasa Inggris maka terdapat 4 F di dalam cara penularan diare ini yaitu food

(makanan), feces (tinja), finger (jari tangan), and fly (lalat) (Sunoto, 1991).

Faktor risiko terjadinya diare adalah faktor risiko yang dapat meningkatkan transmisi

enteropatogen, diantaranya adalah 1) tidak cukup tersedianya air bersih, 2) tercemarnya air

oleh tinja, 3) tidak ada/kurangnya sarana MCK, 4) higiene perorangan dan sanitasi

lingkungan yang buruk, 5) cara penyimpanan dan penyediaan makan yang tidak higienis, dan

6) cara penyapihan bayi yang tidak baik (terlalu cepat disapih, terlalu cepat diberi susu botol,

dan terlalu cepat diberi makanan padat). Selain itu terdapat pula beberapa faktor risiko pada

pejamu (host) yang dapat meningkatkan kerentanan pejamu terhadap enteropatogen

diantaranya adalah malnutrisi dan bayi berat badan lahir rendah (BBLR), imunodefisiensi

atau imunodepresi, rendahnya kadar asam lambung, dan peningkatan motilitas usus.

Etiologi

Penyebab diare akut adalah sebagai berikut ini (Mansjoer, 2000 ; & Sunoto, 1991) :

1) Infeksi : virus, bakteri, dan parasit.

a) Golongan virus : Rotavirus, Adenovirus, Virus Norwalk, Astrovirus, Calicivirus,

Coronavirus, Minirotavirus.

b) Golongan bakteri : Shigella spp., Salmonella spp., Escherecia coli, Vibrio cholera,

Vibrio parahaemoliticus, Aeromonas hidrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter

jejuni, Clostridium difficile, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, Yersinia

enterocolitica.

c) Golongan parasit, protozoa : Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium

coli ; cacing perut : Ascariasis, Trichuris truchiura, Strongiloides stercoralis ; jamur :

Candida spp.

28

2) Malabsorpsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak terutama trigliserida rantai panjang,

atau protein seperti beta-laktoglobulin.

3) Makanan : makanan basi, makanan beracun. Diare karena keracunan makanan terjadi

akibat dua hal yaitu makanan mengandung zat kimia beracun atau makanan mengandung

mikroorganisme yang mengeluarkan toksin, antara lain Clostridium perfringens,

Staphylococcus.

4) Alergi terhadap makanan : terutama disebabkan oleh Cow’s milk protein sensitive

enteropathy (CMPSE), dan juga dapat disebabkan oleh makanan lainnya.

5) Imunodefisiensi. Diare akibat imunodefisiensi ini sering terjadi pada penderita AIDS.

6) Psikologis : rasa takut dan cemas.

Dari berbagai macam penyebab diare akut tersebut diatas, maka yang paling sering

menjadi penyebab diare akut apa anak-anak adalah infeksi virus. Rotavirus dan adenovirus

merupakan penyebab tersering diare akut pada anak dibawah usia 2 tahun. Astrovirus dan

calicivirus biasanya menginfeksi anak-anak yang berusia dibawah tahun (Karras, 2005).

Berikut ini akan dibahas beberapa enteropatogen/penyebab diare akut spesifik yang

dianggap merupakan penyebab diare yang utama :

Rotavirus.

Rotavirus pertama kali ditemukan oleh Bishop (1973) di Australia pada biopsi duodenum

penderita diare dengan menggunakan mikroskop elektron. Ternyata kemudian Rotavirus

ditemukan di seluruh dunia sebagai penyebab diare akut yang paling sering, terutama pada

bayi dan anak usia 6-24 bulan. Di Indonesia, berdasarkan penelitian di beberapa Rumah Sakit

di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung berkisar 40-60% diare akut disebabkan oleh Rotavirus.

Akibat infeksi Rotavirus ini pada usus terjadi kerusakan sel epitel mukosa usus, infeksi

sel-sel radang pada lamina propia, pemendekan jonjot usus, pembengkakan mitokondria, dan

bentuk mikrovili (brush border) yang tidak teratur. Sebagai akibat dari semua ini adalah

terjadinya gangguan absorpsi cairan/elektrolit pada usus halus dan juga akan terjadi gangguan

pencernaan (digesti) dari makanan terutama karbohidrat karena defisiensi enzim disakaridase

akibat kerusakan epitel mukosa usus tadi.

Escherichia coli.

29

E. coli menyebabkan sekitar 25% diare di negara berkembang dan juga merupakan

penyebab diare kedua setelah Rotavirus pada bayi dan anak. Pada saat ini telah dikenal 5

golongan E.coli yang dapat menyebabkan diare, yaitu ETEC (Enteropathogenic Escherichia

coli), EPEC (Enteropathogenic Eschericia coli), EIEC (Enteroinvasive Eschericia coli),

EAEC (Enteroadherent Escherichia coli), dan EHEC (Enterohemorrhagic Escherichia coli).

ETEC. ETEC merupakan penyebab utama diare dehidrasi di negara berkembang.

Transmisinya melalui makanan (makanan sapihan/makanan pendamping), dan minuman

yang telah terkontaminasi. Pada ETEC dikenal 2 faktor virulen, yaitu 1) faktor kolonisasi,

yang menyebabkan ETEC dapat melekat pada sel epitel usus halus (enterosit) dan 2)

enterotoksin. Gen untuk faktor kolonisasi dan enterotoksin terdapat dalam plasmid, yang

dapat ditransmisikan ke bakteri E.coli lain. Terdapat 2 macam toksin yang dihasilkan oleh

ETEC, yaitu toksin yang tidak tahan panas (heat labile toxin = LT) dan toksin yang tahan

panas (heat stable toxin = ST). Toksin LT menyebabkan diare dengan jalan merangsang

aktivitas enzim adenil siklase seperti halnya toksin kolera sehingga akan meningkatkan

akumulasi cAMP, sedangkan toksin ST melalui enzim guanil siklase yang akan

meningkatkan akumulasi cGMP. Baik cAMP maupun cGMP akan menyebabkan

perangsangan sekresi cairan ke lumen usus sehingga terjadi diare. Bakteri ETEC dapat

menghasilkan LT saja, ST saja atau kedua-duanya. ETEC tidak menyebabkan kerusakan

rambut getar (mikrovili) atau menembus mukosa usus halus (invasif). Diare biasanya

berlangsung terbatas antara 3-5 hari, tetapi dapat juga lebih lama (menetap, persisten).

EPEC. EPEC dapat menyebabkan diare berair disertai muntah dan panas pada bayi dan

anak dibawah usia 2 tahun. Di dalam usus, bakteri ini membentuk koloni melekat pada

mukosa usus, akan tetapi tidak mampu menembus dinding usus. Melekatnya bakteri ini pada

mukosa usus karena adanya plasmid. Bakteri ini cepat berkembang biak dengan membentuk

toksin yang melekat erat pada mukosa usus sehingga timbul diare pada bayi dan sering

menimbulkan prolong diarrhea terutama bagi mereka yang tidak minum ASI.

EIEC. EIEC biasanya apatogen, tetapi sering pula menyebabkan letusan kecil (KLB)

diare karena keracunan makanan (food borne). Secara biokimiawi dan serologis bakteri ini

menyerupai Shigella spp., dapat menembus mukosa usus halus, berkembang biak di dalam

kolonosit (sel epitel kolon) dan menyebabkan disentri basiler. Dalam tinja penderita, sering

ditemukan eritrosit dan leukosit.

30

EAEC. EAEC merupakan golongan E.coli yang mampu melekat dengan kuat pada

mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologis. Diduga bakteri ini

mengeluarkan sitotoksin, dapat menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7 hari (prolonged

diarrhea).

EHEC. EHEC merupakan E.coli serotipe 0157 : H7, yang dikenal dapat menyebabkan

kolitis hemoragik. Transmisinya melalui makanan, berupa daging yang dimasak kurang

matang. Diarenya disertai sakit perut hebat (kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas,

diare cair disertai darah. EHEC menghasilkan sitotoksin yang dapat menyebabkan edem dan

perdarahan usus besar.

Shigella spp.

Infeksi Shigella pada manusia dapat menyebabkan keadaan mulai dari asimptomatik

sampai dengan disentri hebat disertai dengan demam, kejang-kejang, toksis, tenesmus ani,

dan tinja yang berlendir dan darah. Golongan Shigella yang sering menyerang manusia di

daerah tropis adalah Shigella dysentri, Shigella flexnori, sedangkan Shigella sonnei lebih

sering terjadi di daerah sub tropis.

Patogenesis terjadinya diare oleh Shigella spp. Ini adalah karena kemampuannya

mengadakan invasi ke epitel sel mukosa usus. Disini dia berkembang biak dan mengeluarkan

leksotoksin yang bersifat merusak sel (sitotoksin). Daerah yang sering diserang adalah bagian

terminal dari ileum dan kolon. Akibat invasi dari bakteri ini terjadi infiltrasi sel-sel PMN dan

kerusakan sel epitel mukosa sehingga timbul ulkus kecil-kecil di daerah invasi yang

menyebabkan sel-sel darah merah, plasma protein, sel darah putih, masuk ke dalam lumen

usus dan akhirnya keluar bersama tinja.

Salmonella spp.

Di dunia terdapat lebih dari 2000 spesies, namun hanya 6-10 jenis saja yang

menyebabkan diare. Di dalam klinik, golongan Salmonella yang menyebabkan diare dikenal

dengan nama Nontyphoidal Salmonellosis, yang paling sering menimbulkan diare pada anak

adalah S. Paratyphi A, B dan C. Binatang merupaka reservoir utama, oleh karena itu infeksi

Salmonella spp. ini biasanya disebabkan oleh makanan yang berasal dari binatang, seperti

31

daging, telur, susu, dan makanan-makanan daging dalam kaleng. Diare yang disebabkan

Salmonella spp, biasanya disertai dengan rasa mual, kram perut, dan panas.

Patogenesis Salmonella spp. ini seperti halnya denan Shigella dapat melakukan invasi ke

dalam mukosa usus halus sehingga juga dapat dijumpai adanya lendir dan darah pada tinja.

Akan tetapi Salmonellosis ini tidak menyebabkan ulkus seperti pada Shigella.

Vibrio cholera.

Vibrio cholera pertama kali ditemukan oleh Robert Koch tahun 1883 pada penderita

kolera. Terdapat dua biotipe Vibrio cholera yaitu El Tor dan classic, serta dua serotipe yaitu

Ogawa dan Inaba. El Tor terkenal menyebabkan pandemi yang dimulai dari Sulawesi dan

kemudian menyebab ke Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Utara.

Vibrio cholera mempunyai sifat yaitu tidak menyebabkan kerusakan mukosa usus dan

mengeluarkan toksin yang menyebabkan diare. Vibrio cholera masuk ke dalam lumen usus

melalui lambung dan peranan asam lambung akan menentukan seseorang apakah rentan

terhadap diare atau tidak. Pada orang yang kadar asam lambungnya normal maka untuk dapat

menimbulkan diare dibutuhkan jumlah kuman yang masuk sebesar 106, akan tetapi jika asam

lambungnya kurang (pH menjadi lebih tinggi) maka jumlah 104 sudah dapat menimbulkan

diare. Setelah kuman tersebut masuk ke dalam usus maka ia akan mengeluarkan toksin.

Toksin yang dihasilkan oleh kuman kolera ini yaitu enterotoksin dan terdapat 2 jenis yaitu

komponen A dan komponen B. Komponen B ini akan menempel pada reseptor yang ada di

dinding sel mukosa usus yang disebut Gmi. Kemudian komponen A yang terlihat bersama

dengan komponen B akan melakukan penetrasi ke dalam sel dan memisahkan diri dari

Komponen B. Selanjutnya di dalam sel komponen ini akan merangsang sensitifitas enzim

adenil siklase dengan hasil selanjutnya akan meningkatkan akumulasi cAMP yang akan

merangsang sekresi cairan isotonis dan klorida sehingga timbulah diare berair (Watery

diarrhea).

Campylobacter jejuni.

32

C. jejuni merupakan penyebab 5-10% diare di dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar

5,3%. Selain diare yang disertai dengan lendir dan darah, juga terdapat gejala sakit perut

disekitar pusat, yang kemudian menjalar ke kanan bawah dan rasa nyerinya menetap di

tempat tersebut (seperti pada apendisitis akut). C. jejuni mengeluarkan 2 macam toksin yaitu

sitotoksin dan toksin LT.

Tempat infeksi yang paling sering dari C. jejuni ini adalah jejenum, ileum, dan colon.

Terdapat kelainan pada mukosa usus, peradangan, edema, pembesaran kelenjar limfe

mesenterium dan adanya cairan bebas di cavum peritonei. Jonjot usus halus ditemukan

memendek dan melebar tetapi tidak konsisten. Ileum mengalami nekrosis hemoragik karena

invasi bakteri ke dinding usus sehingga pada tinja dapat ditemukan adanya darah dan sel-sel

radang.

Yersinia enterokolitika

Yersinia enterokolitika merupakan bakteri baru sebagai penyebab diare dan telah banyak

dilaporkan di berbagai negara di Eropa dan Amerika Utara. Patogenesis terutama oleh strain

serotipe 03.08809 dengan melakukan invasi ke dalam mukosa usus, membentuk plasmid

perantara dan enterotoksin yang tahan panas (ST) dan dapat mengaktifkan enzim guanilat

siklase sehingga terjadi akumulasi cGMP pada sel sehingga akan terjadi diare. Pada

pemeriksaan histologis terdapat abses-abses kecil di daerah plaque Peyeri dan nodula

limphatisi. Pada beberapa penderita menyebabkan limfadenitis mesenterikum dan ileutis.

Entamoeba histolytica

Entamoeba histolytica tersebar di seluruh dunia. Insidensinya rendah dan sering terjadi

overdiagnosis sehingga pengobatannya juga sering berlebihan (misalnya penggunaan

enterovioform). Insidensi pembawa kista pada anak (carrier) sekitar 5% saja tetapi sebagian

besar (90%) asimptomatik dan hanya sebagian kecil (10%) saja yang menjadi sakit. Diare

biasanya berlendir disertai darah, terkenal dengan nama disentri amoeba. Gejalanya yang

mencolok adalah tenesmusnya. Penularan biasanya melalui makanan atau air (minuman)

yang tercemar oleh parasit Entamoeba histolytica, terkenal menyebabkan ulkus yang

menggaung, dan dapat menyebabkan abses hati.

Cryptosporodium

33

Cryptosporodium pada saat ini sedang populer dan dianggap sebagai penyebab diare

terbanyak yang disebabkan oleh parasit. Dahulu dikenal hanya patogen pada binatang saja.

Cryptosporodium merupakan golongan coccidium, sering menyebabkan diare pada manusia

yang menderita imunodefisiensi, misalnya pada penderita AIDS. Di negara berkembang

Cryptosporodium merupakan 4-11% penyebab diare pada anak. Penularan melalui oro-fekal

dan biasanya diare bersifat akut. Mulainya karena terjadi kerusakan mukosa usus oleh

perlekatan parasit pada mikrovilus enterosit, sehingga terjadi gangguan absorpsi makanan.

Patogenesis

Virus. Virus terbanyak penyebab diare adalah rotavirus, selain itu juga dapat disebabkan

oleh adenovirus, enterovirus, astrovirus, minirotavirus, calicivirus, dan sebagainya. Garis

besar patogenesisnya sebagai berikut ini. Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama

makanan dan/atau minuman, kemudian berkembang biak di dalam usus. Setelah itu virus

masuk ke dalam epitel usus halus dan menyebabkan kerusakan bagian apikal vili usus halus.

Sel epitel usus halus bagian apikal akan diganti oelh sel dari bagian kripta yang belum

matang, berbentuk kuboid atau gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat berfungsi

untuk menyerap air dan makanan. Sebagai akibat lebih lanjut akan terjadi diare osmotik. Vili

usus kemudian akan memendek sehingga kemampuannya untuk menyerap dan mencerna

makananpun akan berkurang. Pada saat inilah biasanya diare mulai timbul. Setelah itu sel

retikulum akan melebar, dan kemudian akan terjadi infiltrasi sel limfoid dari lamina propria,

untuk mengatasi infeksi sampai terjadi penyembuhan (Sunoto, 1991).

Bakteri. Patogenesis terjadinya diare oleh karena bakteri pada garis besarnya adalah

sebagai berikut. Bakteri masuk ke dalam traktus digestivus, kemudian berkembang biak di

dalam traktus digestivus tersebut. Bakteri ini kemudian mengeluarkan toksin yang akan

merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktivitas enzim adenili siklase (bila

toksin bersifat tidak tahan panas, disebut labile toxin = LT) atau enzim guanil siklase (bila

toksin bersifat tahan panas atau disebut stable toxin = ST). Sebagai akibat peningkatan

aktivitas enzim-enzim ini akan terjadi peningkatan cAMP atau cGMP, yang mempunyai

kemampuan merangsang sekresi klorida, natrium, dan air dari dalam sel ke lumen usus

(sekresi cairan yang isotonis) serta menghambat absorpsi natrium, klorida, dan air dari lumen

usus ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik di dalam lumen

usus (hiperosmoler). Kemudian akan terjadi hiperperistaltik usus untuk mengeluarkan cairan

yang berlebihan di dalam lumen usus tersebut, sehingga cairan dapat dialirkan dari lumen

34

usus halus ke lumen usus besar (kolon). Dalam keadaan normal, kolon seorang anak dapat

menyerap sebanyak hingga 4400 ml cairan sehari, karena itu produksi atau sekresi cairan

sebanyak 400 ml sehari belum menyebabkan diare. Bila kemampuan penyerapan kolon

berkurang, atau sekresi cairan melebihi kapasitas penyerapan kolon, maka akan terjadi diare.

Pada kolera sekresi cairan dari usus halus ke usus besar dapat mencapai 10 liter atau lebih

sehari. Oleh karena itu diare pada kolera biasanya sangat hebat, suatu keadaan yang disebut

sebagai diare profus (Sunoto, 1991).

Secara umum golongan bakteri yang menghasilkan cAMP akan menyebabkan diare yang

lebih hebat dibandingkan dengan golongan bakteri lain yang menghasilkan cGMP. Golongan

kuman yang mengandung LT dan merangsang pembentukan cAMP, diantaranya adalah V.

Cholera, ETEC, Shigella spp., dan Aeromonas spp. Sedangkan yang mengandung ST dan

merangsang pembentukan cGMP adalah ETEC, Campylobacter sp., Yersinia sp., dan

Staphylococcus sp.

Menurut mekanisme terjadinya diare, maka diare dapat dibagi menjadi 3 bagian besar

yaitu (Alfa):

1) Diare sekretorik

2) Diare invasif/dysentriform diarrhae

3) Diare osmotik

Diare Sekretorik

Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase. Enzim ini

selanjutnya akan mengubah ATP menjadi cAMP. Akumulasi cAMP intrasel akan

menyebabkan sekresi aktif ion klorida, yang akan diikuti secara positif oleh air, natrium,

kalium dan bikarbonat ke dalam lumen usus sehingga terjadi diare dan muntah-muntah

sehingga penderita cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi.

Pada anak, diare sekretorik ini sering disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh

mikroorganisme Vibrio, ETEC, Shigella, Clostridium, Salmonella, Campylobacter. Toksin

yang dihasilkannya tersebut akan merangsang enzim adenil siklase, selanjutnya enzim

tersebut akan mengubah ATP menjadi cAMP. Diare sekretorik pada anak paling sering

disebabkan oleh kolera.

35

Gejala dari diare sekretorik ini adalah 1) diare yang cair dan bila disebabkan oleh vibrio

biasanya hebat dan berbau amis, 2) muntah-muntah, 3) tidak disertai dengan panas badan,

dan 4) penderita biasanya cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi.

Diare Invasif

Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme dalam mukosa usus

sehingga menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Diare invasif ini disebabkan oleh

Rotavirus, bakteri (Shigella, Salmonella, Campylobacter, EIEC, Yersinia), parasit (amoeba).

Diare invasif yang disebabkan oleh bakteri dan amoeba menyebabkan tinja berlendir dan

sering disebut sebgai dysentriform diarrhea.

Di dalam usus pada shigella, setelah kuman melewati barier asam lambung, kuman masuk

ke dalam usus halus dan berkembang biak sambil mengeluarkan enterotoksin. Toksin ini

akan merangsang enzim adenil siklase untuk mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi

diare sekretorik. Selanjutnya kuman ini dengan bantuan peristaltik usus sampai di usus

besar/kolon. Di kolon, kuman ini bisa keluar bersama tinja atau melakukan invasi ke dalam

mukosa kolon sehingga terjadi kerusakan mukosa berupa mikro-mikro ulkus yang disertai

dengan serbukan sel-sel radang PMN dan menimbulkan gejala tinja berlendir dan berdarah.

Gejala dysentriform diarrhea adalah 1) tinja berlendir dan berdarah biasanya b.a.b sering

tapi sedikit-sedikit dengan peningkatan panas badan, tenesmus ani, nyeri abdomen, dan

kadang-kadang prolapsus ani, 2) bila disebabkan oleh amoeba, seringkali menjadi kronis dan

meninggalkan jaringan parut pada kolon/rektum, disebut amoeboma.

Mekanisme diare oleh rotavirus berbeda dengan bakteri yang invasif dimana diare oleh

rotavirus tidak berdarah. Setelah rotavirus masuk ke dalam traktus digestivus bersama

makanan/minuman tentunya harus mengatasi barier asam lambung, kemudian berkembang

biak dan masuk ke dalam bagian apikal vili usus halus. Kemudian sel-sel bagian apikal

tersebut akan diganti dengan sel dari bagian kripta yang belum matang/imatur berbentuk

kuboid atau gepeng. Karna imatur, sel-sel ini tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan

makanan sehingga terjadi gangguan absorpsi dan terjadi diare. Kemudian vili usus memendek

dan kemampuan absorpsi akan bertambah terganggu lagi dan diare akan bertambah hebat.

Selain itu sel-sel yang imatur tersebut tidak dapat menghasilkan enzim disakaridase. Bila

daerah usus halus yang terkena cukup luas, maka akan terjadi defisiensi enzim disakaridase

tersebut sehingga akan terjadilah diare osmotik.

36

Gejala diare yang disebabkan oleh rotavirus adalah 1) paling sering pada anak usia

dibawah 2 tahun dengan tinja cair, 2) seringkali disertai dengan peningkatan panas badan dan

batuk pilek, 3) muntah.

Diare Osmotik

Diare osmotik adalah diare yang disebabkan karena tingginya tekanan osmotik pada

lumen usus sehingga akan menarik cairan dari intra sel ke dalam lumen usus, sehingga terjadi

diare berupa watery diarrhea. Paling sering terjadinya diare osmotik ini disebabkan oleh

malabsorpsi karbohidrat.

Monosakarida biasanya diabsorpsi baik oleh usus secara pasif maupun transpor aktif

dengan ion Natrium. Sedangkan disakarida harus dihidrolisa dahulu menjadi monosakarida

oleh enzim disakaridase yang dihasilkan oleh sel mukosa. Bila terjadi defisiensi enzim ini

maka disakarida tersebut tidak dapat diabsorpsi sehingga menimbulkan osmotic load dan

terjadi diare.

Disakarida atau karbohidrat yang tidak dapat diabsorpsi tersebut akan difermentasikan di

flora usus sehingga akan terjadi asam laktat dan gas hidrogen. Adanya gas ini terlihat pada

perut penderita yang kembung (abdominal distention), pH tinja asam, dan pada pemeriksaan

dengan klinites terlihat positif. Perlu diingat bahwa enzim amilase pada bayi, baru akan

terbentuk sempurna setelah bayi berusia 3-4 bulan. Oleh sebab itu pemberian makanan

tambahan yang mengandung karbohidrat kompleks tidak diberikan sebelum usia 4 bulan,

karena dapat menimbulkan diare osmotik.

Gejala dari diare osmotik adalah 1) tinja cair/watery diarrhae akan tetapi biasanya tidak

seprogresif diare sekretorik, 2) tidak disertai dengan tanda klinis umum seperti panas, 3)

pantat anak sering terlihat merah karena tinja yang asam, 4) distensi abdomen, 5) pH tinja

asam dan klinitest positif. Bentuk yang paling sering dari diare osmotik ini adalah intoleransi

laktosa akibat defisiensi enzim laktase yang dapat terjadi karena adanya kerusakan mukosa

usus. Dilaporkan kurang lebih sekitar 25-30% dari diare oleh rotavirus terjadi intoleransi

laktosa.

37

Tabel 1. Karakteristik Tinja dan Menentukan Asalnya

Karakteristik

Tinja

Usus Kecil Usus Besar

Tampilan Watery Mukoid dan/atau berdarah

Volume Banyak Sedikit

Frekuensi Meningkat Meningkat

Darah Kemungkinan positif tetapi tidak

pernah darah segar

Kemungkinan darah segar

pH Kemungkinan <5,5 >5,5

Substansi

pereduksi

Kemungkinan positif Negatif

WBC < 5 / LPK Kemungkinan > 10 /LPK

Serum WBC Normal Kemungkinan leukositosis

(bandemia)

Organisme Virus (Rotavirus, Adenovirus,

Calicivirus, Astrovirs, Norwalk

virus)

Bakteri invasif (E.coli,

Shigella sp., Salmonella sp.,

Campylobacter sp, Yersinia sp.,

Aeromonas sp, Plesiomonas sp)

Toksin bakteri (E.coli, C.

perfringens, Vibrio spesies)

Toksin bakteri (Clostridium

difficile

Parasit (Giardia sp.,

Cryptosporodium sp.)

Parasit (Entamoeba

histolytica)

Tabel 2. Organisme Penyebab Diare dan Gejala yang Sering Timbul

Organisme Inkubasi Durasi Muntah DemamNyeri

Abdominal

Rotavirus 1-7 hari 4-8 hari Ya Rendah Tidak

Adenovirus 8-10 hari 5-12 hari Delayed Rendah Tidak

Norwalk virus 1-2 hari 2 hari Ya Tidak Tidak

Astrovirus 1-2 hari 4-8 hari +/- +/- Tidak

38

Calicivirus 1-4 hari 4-8 hari Ya +/- Tidak

Aeromonas species None 0-2 minggu +/- +/- Tidak

Campylobacter

species

2-4 hari 5-7 hari Tidak Ya Ya

C difficile Variable Variable Tidak Sediki

t

Sedikit

C perfringens Minimal 1 day Ringan Tidak Ya

Enterohemorrhagic

E coli

1-8 hari 3-6 hari Tidak +/- Ya

Enterotoxigenic E

coli

1-3 hari 3-5 hari Ya Renda

h

Ya

Plesiomonas

species

None 0-2 mg +/- +/- +/-

Salmonella species 0-3 hari 2-7 hari Ya Ya Ya

Shigella species 0-2 hari 2-5 hari Tidak High Ya

Vibrio species 0-1 hari 5-7 hari Ya Tidak Ya

Yersinia

enterocolitica

None 1-46 hari Ya Ya Ya

Giardia species 2 mg 1+

minggu

Tidak Tidak Ya

Cryptosporidium

species

5-21 hari Bulan Tidak Rendah Ya

Entamoeba species 5-7 hari 1-2+ mg Tidak Ya Tidak

39

Fisiologi dan Patofisiologi

Penyerapan cairan di usus halus. Dalam keadaan normal, usus halus mampu menyerap

cairan sebanyak 7-8 liter sehari, sedangkan usus besar 1-2 liter sehari. Penyerapan air oleh

usus halus ditentukan oleh perbedaan antara tekanan osmotik di lumen usus dan didalam sel,

terutama yang dipengaruhi oleh konsentrasi natrium. Penyerapan natrium ke dalam enterosit

dapat melalui tiga cara yaitu 1) berpasangan dengan ion klorida, atau bahan non-elektrolit

seperti glukosa, asam amino, peptida, dll, 2) pertukaran dengan ion hidrogen, 3) pasif melalui

ruang intraseluler (tight junction), yang dengan cara ini hanya sebagian kecil saja yang dapat

diserap.

Setelah masuk ke dalam enterosit , natrium ini akan dikeluarkan melalui enzim Na-K-

ATPase (terdapat di membran basolateral) ke dalam ruang intraseluler dan selanjutnya

diteruskan ke dalam pembuluh darah. Di dalam ileum dan kolon, cairan klorida diserap

melalui pertukaran dengan cairan bikarbonat.

Sekresi cairan di usus halus. Proses sekresi merupakan kebalikan dari proses absorpsi.

Penyerapan pasangan NaCl akan meningkatkan anion klorida di dalam sel kripta dan pada

waktu yang bersamaan natrium akan dikeluarkan dari sel kripta dengan bantuan enzim Na-K-

ATPase. Sekresi klorida di dalam sel kripta dapat pula ditingkatkan dengan adanya

intracellular messenger (berupa cyclic nucleotide, misalnya cAMP, cGMP, yang dapat

menyebabkan peninggian permeabilitas sel kripta) sehingga klorida dengan mudah keluar ke

lumen usus.

Dalam keadaan normal usus besar dapat meningkatkan kemampuan penyerapannya

sampai 4400 ml sehari, bila terjadi sekresi cairan yang berlebihan dari usus halus (ileosekal).

Bila sekresi cairan melebihi 4400 ml maka usus besar tidak mampu menyerap seluruhnya

lagi, selebihnya akan dikeluarkan bersama tinja dan terjadilah diare. Diare dapat juga terjadi

karena terbatasnya kemampuan penyerapan usus besar pada keadaan sakit, misalnya kolitis,

atau terdapat penambahan ekskresi cairan pada penyakit usus besar, misalnya karena virus,

disentri basiler, ulkus, tumor, dsb. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa setiap

perubahan mekanisme normal absorpsi dan sekresi di dalam usus halus maupun usus besar

(kolon), dapat menyebabkan diare, kehilangan cairan, elektrolitm, dan akhirnya dehidrasi.

40

Secara garis besar diare dapat disebabkan oleh diare sekretorik, diare osmotik,

peningkatan motilitas usus, dan defisiensi imun terutama SIgA. Penjelasan mengenai

mekanisme dari hal-hal tersebut semuanya telah dijelaskan pada uraian diatas pada referat ini.

Sebagai akibat dari diare akut tersebut diatas maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut :

1) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa

2) Gangguan sirkulasi darah

3) Hipoglikemia

4) Gangguan gizi.

Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa.

Sebagai akibat diare adalah tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit yang dikenal

dengan nama dehidrasi. Dehidrasi ini terjadi karena 1) hilangnya cairan melalui tinja atau

muntah (concomitant water losses) selama diare/muntah berlangsung. CWL ini banyaknya

bervariasi tergantung dari berat ringannya penyakit. Diperkirakan jumlahnya sekitar 25-30

ml/kgBB/24 jam, 2) kehilangan cairan melalui pernafasan, keringat, dan urin (insensible

water losses), 3) besarnya jumlah kehilangan cairan (previous water losses).

Kehilangan cairan yang normal (normal water losses) adalah banyaknya kehilangan

cairan/elektrolit melalui pernafasan, keringat, urin, tergantung dari umur. Makin muda anak

makin banyak kehilangan cairan dan makin bertambah umur makin berkurang Selain itu

NWL juga dipengaruhi oleh suhu tubuh, makin tinggi suhu tubuh maka akan bertambah

kehilangan cairannya. Setiap kenaikan suhu 1°C diatas normal (37°C) akan menambah

hilangnya cairan sebanyak 10 ml.

Tabel 3. Penilaian Derajat Dehidrasi

Penilaian A B C

41

1. Lihat :

Keadaan umum

Mata

Air Mata

Mulut dan

Lidah

Rasa Haus

Baik sadar

Normal

Ada

Basah

Minum biasa,

tidak haus

*Gelisah rewel

Cekung

Tidak ada

Kering

*Haus ingin

minum banyak

*Lesu/lunglai/tdk

sadar

Sangat cekung,

kering

Tidak ada

Sangat kering

*Malas

minum/tdk bisa

minum

2. Periksa Turgor

Kulit

Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat

lambat

3. Hasil

Pemeriksaan

Tanpa dehidrasi Dehidrasi

Ringan/ Sedang

Bila ada 1 tanda

* ditambah 1 atau

lebih tanda lain

Dehidrasi Berat

Bila ada 1 tanda *

ditambah 1 atau lebih

tanda lain

4. Terapi Rencana Terapi

A

Rencana Terapi

B

Rencana Terapi C

Gejala dan tanda dari dehidrasi tersebut diatas adalah rasa haus, menurunnya turgor kulit,

mukosa mulut kering, mata cekung, air mata tidak ada, ubun-ubun besar yang cekung pada

bayi, oliguria yang dapat berlanjut menjadi anuria, hipotensi, takikardia, dan menurunnya

kesadaran.

Gangguan keseimbangan elektrolit. Tonisitas dari plasma sebagian besar ditentukan oleh

natrium. Dehidrasi dapat dibagi menjadi 3 menurut tonisitas plasma yaitu :

1) Dehidrasi isotonik/isonatremik bila kadar Na plasma 130-150 mEq/L. Dalam praktek

di klinik dehidrasi inilah yang terbanyak.

2) Dehidrasi hipotonik, bila Na plasma < 130 mEq/L.

3) Dehidrasi hipertonik, bila Na plasma > 150 mEq/L.

Selain perubahan kadar Na plasma juga kalium dapat mengalami perubahan karena

kalium banyak keluar pada tinja. Pada diare biasa sebesar 26 mEq/L dan pada kolera 96

mEq/L sehingga dapat terjadi hipokalemia, namun penurunan kalium pada plasma ini

42

biasanya akan diganti dengan kalium yang terdapat pada cairan intraseluler, dengan tentunya

kadar kalium intraseluler akan menurun. Secara singkatnya maka gangguan elektrolit yang

sering terjadi pada keadaan diare adalah hiponatremia (Na < 130mEq/L), hipernatremia (Na

>150mEq/L), dan hipokalemia (K < 3 mEq/L)

Gangguan asam basa. Akibat kehilangan cairan yang banyak pada diare tersebut diatas

maka akan terjadi hemokonsentrasi/hipoksia. Akibat hipoksia maka jaringan akan terjadi

metabolisme secara anaerobik yang akan menghasilkan produk asam laktat yang selanjutnya

akan menyebabkan keadaan asidosis respiratorik/metabolik. Tanda-tanda asidosis tersebut

dapat terlihat berupa pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul).

Akibat lain dari keadaan diare adalah keluarnya bikarbonat melalui tinja, akibatnya pH

darah akan menurun bila badan tidak mengadakan koreksi dengan jalan mengeluarkan CO2

melalui paru-paru. Sebagai akibat diare yang hebat dan tubuh tidak sanggup mengadakan

kompensasi lagi, maka terjadilah asidosis metabolik, dan mungkin akan diperberat lagi bila

terjadi ketosis, oliguria atau anuria dan penimbunan asam laktat karena terjadinya hipoksia

pada jaringan tubuh.

Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% berat badan (dehidrasi berat) akan

terjadi gangguan sirkulasi dan dapat terjadi syok. Hal ini disebabkan cairan ekstraseluler

banyak berkurang (hipovolemik) sehingga perfusi darah ke jaringan berkurang, dengan akibat

hipoksia yang akan menambah beratnya asidosis metabolik, penurunan kesadaran, dan dapat

menimbulkan kematian bila tidak segera ditangani dengan baik.

Hipoglikemia

Hipoglikemia biasanya dapat terjadi pada anak yang menderita diare dan lebih sering lagi

bila sebelumnya menderita gangguan gizi (KEP). Sebab yang pasti belum diketahui tapi

kemungkinanya adalah 1) gangguan proses glikogenolisis, 2) gangguan penyimpanan

glikogen pada hati, 3) gangguan absorpsi dan digesti karbohidrat terutama pada KEP di mana

terjadi atropi jonjor usus. Akibat dari hipoglikemia ini cairan ekstraseluler akan menjadi

hipotonik dengan kompensasi air akan masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi

edema sel-sel otak yang dapat memberikan gejala penurunan kesadaran, kejang-kejang.

43

Gangguan gizi

Gangguan gizi biasanya terjadi akibat diare dimana pemberian makanan selama sakit

dihentikan. Selain itu akibat infeksi usus terjadi gangguan absorpsi terutama laktosa karena

terjadinya defisiensi enzim laktase, akibatnya pemberian susu dengan laktosa tinggi akan

menambah beratnya diare. Pada anak yang sebelumnya sudah menderita KEP akan

memperberat keadaan KEP nya, yang dalam fase selanjutnya akan memperberat pula

diarenya.

Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik pada penderita diare maka dapat ditemukan beberapa hal,

antara lain adalah sebagai berikut ini :

1) Dehidrasi. Dehidrasi merupakan hal yang utama sebagai penyebab kesakitan dan

kematian, sehingga perlu dilakukan penilaian pada setiap pasien akan tanda, gejala, dan

tingkat keparahan dehidrasinya. Letargi, penurunan kesadaran, ubun-ubun besar yang

mencekung, membran mukosa yang mengering, mata cekung, turgor kulit yang menurun,

dan terlambatnya capillary refill perlu dijadikan suatu hal yang patut dicurigai kearah

dehidrasi.

2) Gagal untuk tumbuh dan malnutrisi. Penurunan massa otot dan lemak atau terjadinya

edema periferal dapat dijadiakan petunjuk bahwa terjadi malabsorpsi dari karbohidrat,

lemak dan/atau protein. Organisme tersering yang dapat menyebabkan malabsorpsi lemak

dan diare yang intermiten adalah Giardia sp.

3) Nyeri perut. Nyeri perut yang nonspesifik dan nonfokal disertai dengan kram perut

merupakan hal yang biasa terjadi pada beberapa organisme. Nyeri biasanya tidak

bertambah bila dilakukan palpasi pada perut. Apabila terjadi nyeri perut yang fokal maka

nyeri akan bertambah dengan palpasi, bila terjadi rebound tenderness, maka kita harus

curiga terjadinya komplikasi atau curiga terhadap suatu diagnosis yang noninfeksius.

4) Borborygmi. Merupakan tanda peningkatan aktivitas peristaltik usus yang menyebabkan

auskultasi dan/atau palpasi yang meningkat dari aktivitas saluran pencernaan.

5) Eritema perianal. Defekasi yang sering dapat menyebabkan kerusakan pada kulit perianal,

terutama pada anak-anak yang kecil. Malabsorpsi karbohidrat yang sekunder seringkali

merupakan hasil dari feses yang asam. Malabsoprsi asam empedu sekunder dapat

menyebabkan dermatitis disekitar perianal yang sangat hebat yang seringkali ditandari

sebagai suatu luka bakar.

44

Pemeriksaan Laboratorium

Feses yang pH nya 5.5 atau kurang dari itu atau menunjukan adanya substansi yang

mereduksi maka menandakan adanya intoleransi karbohidrat, yang biasanya disebabkan

secara sekunder oleh penyakit virus.

Infeksi yang enteroinvasif terhadap usus besar menyebabkan leukosit terutama netrofil

akan tampak di dalam tinja. Tidak adanya lekosit pada tinja tidak menghilangkan

kemungkinan adanya organisme enteroinvasif. Meskipun demikian, adanya leukosit di

dalam tinja dapat mengeliminasikan kemungkinan penyebab enterotoksigenik E.coli,

Vibrio sp., dan virus.

Lakukan pemeriksaan setiap eksudat yang ditemukan di dalam tinja untuk mencari

leukosit. Keberadaan eksudat merupakan suatu hal yang sangat tinggi nilainya untuk

memikirkan adanya colitis (80% merupakan nilai prediksi yang positif). Colitis

merupakan suatu yang infeksius, alergi, atau bagian dari penyakit inflamasi pada saluran

pencernaan (penyakit Crohn, colitis ulseratif).

Berbagai medium kultur tersedia untuk dapat mengisolasi bakteri. Suatu tingkat

kecurigaan terhadap suatu penyebab perlu diketahui terlebih dahulu untuk menentukan

media mana yang memungkinkan untuk penyebab diare tersebut tumbuh. Medium-

medium yang dapat digunakan untuk kultur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Selalu lakukan kultur dari tinja untuk organisme-organisme Salmonella, Shigella, dan

Campylobacter serta Yersinia enterocolotica, terutama pada tampilan gejala klinis yang

menandakan adanya colitis atau jika ditemukan adanya leukosit pada tinja.

Diare yang berdarah dengan riwayat pernah memakan daging-dagingan maka perlu

dicurigai kemungkinan etiologi enterohemoragik E.coli. Jika E.coli ditemukan di dalam

tinja, maka perlu ditentukan apakah E.coli tersebut termasuk ke dalam tipe O157:H7 atau

bukan. Tipe E.coli tersebut merupakan tipe yang sering ditemukan sebagai penyebab dari

HUS (hemolytic uremic syndrome).

Adanya riwayat pernah memakan makanan laut (seafood) atau pernah berpergian keluar

negeri maka perlu dilakukan skrining tambahan untuk mencari spesies Vibrio dan

Plesiomonas.

Antigen rotavirus dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan enzim immunoassay dan

pemeriksaan aglutinasi latex dari tinja. Kejadian false-negatif sekitar 50%, dan false-

positif pun seringkali muncul, terutama jika terdapat darah di dalam tinja.

Antigen Adenovirus (serotipe 40 dan 41) dapat dideteksi dengan cara enzim

immunoassay.

45

Pemeriksaan tinja untuk mencari ova dan parasit merupakan cara terbaik untuk

menemukan parasit penyebab diare. Lakukanlah pemeriksaan tinja setiap 3 hari sekali

atau setiap 2 hari sekali.

Hitung jenis leukosit biasanya tidak meningkat pada diare yang disebabkan oleh virus dan

toksin. Leukositosis seringkali terjadi tetapi tidak secara konstan pada diare yang

disebabkan oleh enteroinvasif bakteri. Organisme shigella menyebabkan leukositosis

dengan tanda bandemia (netrofilia) dengan variasi pada total hitung jenis sel darahnya.

Pada suatu waktu, maka protein-losing enteropathy dapat diketemukan pada pasien

dengan inflamasi yang luas di dalam saluran pencernaan akibat infeksi oleh bakteri yang

enteroinvasif (seperti Salmonella spp., enteroinvasif E.coli). Dalam keadaan ini dapat

ditemukan keadaan kadar serum albumin yang rendah dan kadar alfa1-antitripsin fekal

yang tinggi.

Penatalaksanaan

Karena kebanyakan dari diare ini adalah penyakit yang self-limiting, maka dalam

pengelolaannya adalah bersifat suportif. Rehidrasi secara oral (OR) merupakan terapi utama

bagi semua anak-anak yang menderita diare, jangan pernah untuk tidak memberikan OR

bahkan bila anak tidak berada di dalam keadaan dehidrasi, karena pemeliharaan cairan dalam

tubuh merupakan hal yang sangat penting. Neonatus dan bayi berada dalam kelompok risiko

tinggi untuk mengalami komplikasi sekunder seperti dehidrasi berat dan gangguan elektrolit

sehingga memerlukan pengawasan ketat. Jika perlu maka dapat dilakukan rehidrasi cairan

secara intravena bila pemberian cairan secara oral tidak berhasil mengatasi keadaan. Tetapi

sebagai patokan dalam pemberian cairan ini tetap mengacu kepada rencana terapi A, B, atau

C. Cairan yang diberikan untuk rehidrasi idealnya memiliki osmolaritas yang rendah (210-

250 mOsm) dan mengandung natrium sekitar 50-60 mmol/L.

Pemberian obat antimotilitas tidak memiliki indikasi untuk diare. Terapi antimikroba juga

dilakukan jika penyebab diarenya adalah non-virus, karena mengingat bahwa diare ini adalah

penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Berikut tabel dibawah ini akan

memperlihatkan terapi-terapi yang dapat diberikan untuk diare yang non-virus.

Dosis obat-obat yang digunakan untuk pengobatan diare :

Cefixime : 8 mg/kg/hr p.o. sehari 4 kali selama 7-10 hari.

Ceftiaxone : 50 mg/kg/hr i.v./i.m. dibagi 2-4 dosis selama 7-10 hari (max 2 gr/hr).

46

Cefotaxime : 50 mg/kg/dosis iv/im sehari 3 kali selama 7-10 hari.

Eritromisin : 50 mg/kg/hr po/iv dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.

Furazolidone : 5 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.

Iodoquinol : 30-40 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 20 hari.

Metronidazol : 30-50 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 10 hari.

Paramomycin : 25-30 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 7 hari (max 4 gram/hari).

Quinocrine : 6 mg/kg/hr po dibagi 3 dosis selama 5 hari.

Sulfamethoxazole dan trimethoprim : 10 mg/kg/hr po sehari 2 kali selama 7-10 hari.

Vancomycin : 40-50 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 10-14 hari (max 2

gram/hari).

Tetrasiklin : < 8 tahun tidak diketahui dosisnya

: 8 tahun 25-50 mg/kg/hr po dibagi 4 dosis selama 7-14 hari.

Nitazoxonide : < 1 tahun : tidak diketahui dosisnya

: 1-4 tahun : 100 mg (5ml) po sehari 2 kali selama 3 hari dan diberikan bersama dengan

makanan.

: 4-11 tahun : 200 mg (10 ml) sehari 2 kali selama 3 hari dan diberikan bersama dengan

makanan.

: 11 tahun : 500 mg po dibagi 2 dosis selama 3 hari.

Rifaximin : < 12 tahun tidak diketahui dosisnya

: 12 tahun : 100 mg po sehari 3 kali.

Jika diperlukan dapat berkonsultasi dengan dokter bedah karena beberapa organisme

dapat menyebabkan nyeri abdomen dan tinja yang mengandung darah segar. Selain itu gejala

yang menyerupai apendisitis, colitis hemoragik, intususepsi atau toksik megakolon dapat

muncul juga pada pasien-pasien diare.

Terapi yang digunakan di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSHS :

Antidiare tidak diberikan dan Antibiotik digunakan hanya untuk :

Diare invasif : Kotrimoksasol 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama hari.

Kolera : Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis selama 2-3 hari.

Amoeba, Giardia, Kriptosporodium : Metronidazol 30-50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis

selama 5 hari (10 hari untuk kasus berat)

Diet : Sesuai dengan penyebab diare

47

Intoleransi karbohidrat : susu rendah sampai bebas laktosa

Alergi protein susu sapi : susu kedelai

Malabsorpsi lemak : susu yang mengandung medium chain trigliserid (MCT)

Apabila dengan terapi dietetik diatas tidak ada respons, gunakan susu protein hidroksilat.

Penyulit :

Dehidrasi

- Tanpa dehidrasi : Rencana Terapi A

- Dehidrasi ringan-sedang : Rencana Terapi B

- Dehidrasi berat : Rencana Terapi C

Gangguan elektrolit

- Hiponatremia

Dapat diberikan larutan NaCl hipertonis 3 (13mEq/L) atau % (855mEq/L). Tetapi untuk

mencapai kadar Na yang aman (125 mEq/L) maka Na yang dibutuhkan menurut rumus

sebagai berikut ini : mEq Na = 12 – Na darah x 0.6 x BB(kg) diberikan dalam 4 jam.

- Hipernatremia

Bila terjadi dehidrasi berat disertai syok/presyok maka berikan NaCl 0.9% atau RL atau

Albumin 5%. Setelah syok teratasi lalu berikan larutan yang mengandung Na : 75-80 mEq/L,

misalnya NaCl-dekstrosa (2A) atau DG half strength sampai ada diuresis kemudian berikan K

40 mEq/L.

- Hipokalemia :

Bila kadar K darah < 2.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) → larutan KCl 3.75% i.v.

dengan dosis 3- mEq/kgBB, maksimal 40 mEq/L.

Bila kadar K 2.5 – 3.5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala), cukup diberikan K : 75

mg/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis.

- Hiperkalemia :

Kadar K darah Terapi

< 6 mEq/L Kayeksalat 1 g/kgBB p.o., dilarutkan dalam 2 ml/kgBB larutan

sorbitol 70%.

Kayeksalat 1 g/kgBB enema, dilarutkan dalam 10 ml/kgBB larutan sorbitol 70%

diberikan melalui kateter folley, diklem selama 30-60 menit.

6-7 mEq/L NaHCO3 7.5% dosis 3 mEq/kgBB secara i.v. atau 1 unit insulin/5 g glukosa

> 7 mEq/L Ca glukonas 10%, dosis 0.1-0.5 ml/kgBB i.v. dengan kecepatan 2 ml/menit

Gangguan keseimbangan asam-basa

48

- Asidosis metabolik

Apabila kadar bikarbonat <22mEq/L dan kadar base excess (BE) tidak diketahui →

larutan bikarbonat 8.4% (1mEq = 1 ml) atau 7.5% (0.9 mEq = 1ml) sebanyak 2-4 mEq/kgBB.

Bila BE diketahui : mEq NaHCO3 = BE x BB x 0.3

- Alkalosis metabolik

Tergantung derajat dehidrasi berikan NaCl 0.9%, 10-20ml/kgBB dalam 1 jam. Bila telah

diuresis, dilanjutkan dengan cairan 0.45 NaCl atau 2,5% dekstrosa (2A) 40-80ml/kgBB +

KCl 38 mEq/L dalam 8 jam.

Komplikasi

Demam enterik yang disebabkan oleh S. typhi. Sindroima tersebut mempunyai gejala

seperti malaise, demam, nyeri perut, dan bradikardia. Diare dan rash (rose spots) akan

timbul setelah 1 minggu gejala awal timbul. Bakteri akan menyebar keseluruh tubuh pada

saat itu dan pengobatan untuk mencegah komplikasi sistemik seperti hepatitis,

miokarditis, kolesistitis atau perdarahan saluran cerna diperlukan.

Hemolytic uremic syndrome (HUS) disebabkan oleh kerusakan endothelial vascular oleh

verotoksin yang dihasilkan oleh enterohemoragik E.coli dan Shigella sp.

Trombositopenia, anemia hemolitik mikroangiopati, dan gagal ginjal akut merupakan

tanda-tanda dari HUS. Gejala biasanya timbul setelah 1 minggu sejak diare pertama kali

timbul.

Reiter syndrome (RS) dapat menyebabkan komplikasi infeksi akut dari diare ini dan hal

tersebut ditandai dengan adanya arthritis, uretritis, konjungtivitis, dan lesi pada

mukokutan. Individu dengan RS biasanya tidak menampilkan gejala-gejala tersebut

secara keseluruhan saja.

Pasien yang mengalami diare akut dikemudian hari dapat menjadi seorang karier jika

disebabkan oleh organisme tertentu.

- Setelah terinfeksi oleh Salmonella, 1-4% pasien diare akut non tifoid dapat menjadi

karier. Keadaan karier dari Salmonella ini terutama terjadi pada wanita, bayi, dan

individu-individu yang mempunyai penyakit saluran kandung empedu.

- Karier C.difficile biasanya asimptomatik dan dapat ditemukan pada 20% pasien yang

dirawat di rumah sakit yang mendapatkan terapi antibiotika dan 50% pada bayi.

- Rotavirus dapat diekskresikan secara asimptomatik di dalam tinja seorang anak yang

sebelumnya pernah mengalami diare.

49

Tabel 9. Komplikasi yang Biasa Terjadi Akibat Diare

Organisme Komplikasi

Aeromonas caviae Intussusception, gram-negative sepsis, HUS

Campylobacter species Bacteremia, meningitis, cholecystitis, urinary tract

infection, pancreatitis, Reiter syndrome (RS)

C difficile Chronic diarrhea

C perfringens serotype C Enteritis necroticans

Enterohemorrhagic E coli Hemorrhagic colitis

Enterohemorrhagic E coli

O157:H7

HUS

Plesiomonas species Septicemia

Salmonella species Enteric fever, bacteremia, meningitis, osteomyelitis,

myocarditis, RS

Shigella species Seizures, HUS, perforation, RS

Vibrio species Rapid dehydration

Yersinia enterocolitica Appendicitis, perforation, intussusception, peritonitis, toxic

megacolon, cholangitis, bacteremia, RS

Rotavirus Isotonic dehydration, carbohydrate intolerance

Giardia species Chronic fat malabsorption

Cryptosporidium species Chronic diarrhea

Entamoeba species Colonic perforation, liver abscess

Prognosis

Baik di negara maju maupun di negara berkembang, dengan penanganan diare yang baik

maka prognosis akan sangat baik. Kematian biasanya terjadi akibat dari dehidrasi dan

malnutrisi yang terjadi secara sekunder akibat dari diarenya itu sendiri. Apabila terjadi

dehidrasi yang berat maka perlu dilakukan pemberian cairan secara parenteral. Bila terjadi

keadaan malnutrisi akibat gangguan absorpsi makanan maka pemberian nutrisi secara

parenteral pun perlu dilakukan karena bila terjadi gangguan dari absorpsi makanan

(malabsorpsi) maka kemungkinan untuk jatuh kedalam keadaan dehidrasi yang lebih berat

lagi akan semakin lebih besar.

DISENTRI

50

Definisi, etiologi dan kepentingan

Disentri didefinisikan sebagai diare yang disertai darah dalam tinja. Penyebab yang

terpenting dan tersering adalah Shigella, khususnya S.flexeneri dan S.dysentriae tipe 1.

Penyebab lain seperti Campylobacter jejuni terutama pada bayi dan lebih jarang adalah

Salmonella; disentri yang disebabkan oleh Salmonella ini biasanya tidak berat. Escherichia

coli enteroinvasif relatif lebih mirip dengan Shigella dan menyebabkan disentri yang berat.

Namun begitu, infeksi dengan kuman ini jarang terjadi. Entamuba histolytica menyebabkan

disentri pada anak yang lebih besar, tetapi jarang pada balita.

Disentri adalah penyebab penting kesakitan dan kematian yang berkaitan dengan diare.

Sekitar 10% episode diare pada balita adalah disentri, tetapi merupakan penyebab sekitar

15% kematian karena diare. Disentri pada bayi dan anak yang kurang gizi biasanya berat,

memperlihatkan dehidrasi pada waktu sakit atau pada anak jarang tidak mendapat ASI. Juga

mempunyai efek yang lebih jelek terhadap status gizi daripada diare cair akut. Disentri terjadi

dengan frekuensi lebih sering dan berat pada anak yang sakit campak atau menderita campak

bulan sebelumnya. Episode diare yang dimulai dengan disentri lebih sering menjadi persisten

daripada mulai dengan diare cair.

Gambaran Klinis dan diagnosis

Diagnosis klinis disentri didasarkan semata-mata pada terlihatnya darah di dalam tinja.

Tinja mungkin juga mengandung sel-sel nanah (lekosit polimorfonuklear) yang terlihat

dengan mikroskop dan mungkin mengandung lendir dalam jumlah banyak; gambaran yang

terakhir ini mengarah ke infeksi bakteri yang invasif ke mukosa usus (seperti Campylobacter

jejuni atau Shigella), akan tetapi gejala ini saja tidak cukup untuk mendiagnosis disentri. Pada

beberapa episode shigellosis, pertama-tama tinja cair kemudian menjadi berdarah setelah 1

atau 2 hari.

Diare cair ini kadang-kadang berat dan menyebabkan dehidrasi. Namun, biasanya

keluarnya tinja berdarah sedikit-sedikit beberapa kali dan tidak sampai dehidrasi. Penderita

dengan disentri sering disertai panas, tetapi kadang-kadang suhunya rendah, terutama pada

kasus-kasus yang berat. Sakit kram di perut dan sakit di dubur pada waktu defekasi, atau

tetanus juga sering terjadi, namun anak kecil tidak dapat menggambarkan keluhan ini.

51

Beberapa komplikasi yang berat dan kemungkinan fatal dapat terjadi pada waktu disentri,

terutama bila penyebabnya Shigella. Keadaan ini meliputi perforasi usus, megakolon toksik,

prolapsus rektum, kejang-kejang (dengan) atau tanpa hiperpireksil, anemiaseptik, sindrom

hemolitik uremik dan hiponatremia yang lama. Komplikasi utama disentri adalah kehilangan

berat badan dan status gizi yang dengan cepat memburuk. Hal ini disebabkan oleh anoreksia,

kebutuhan badan terhadap gizi untuk mengatasi infeksi dan memperbaiki kerusakan usus dan

kehilangan protein melalui jaringan yang rusak (misal: hilangnya protein karena enteropati).

Kematian karena disentri biasanya disebabkan oleh kerusakan ileum dan kolon, komplikasi

sepsis, infeksi sekunder (misal: pneumonia) atau gizi buruk. Anak yang baru sembuh dari

disentri juga meningkat resiko kematiannya karena infeksi lain, disebabkan buruknya status

gizi atau turunnya imunitas.

Penyebab episode disentri sering tidak diketahui. Biakan tinja untuk mendeteksi bakteri

patogen sering tidak mungkin. Selain itu paling tidak dibutuhkan waktu 2 hari sebelum hasil

biakan ada, sedangkan antibiotik harus segera diberikan. Amubiasis hanya dapat didiagnosis

dengan pasti bila trofozoit E.histolitika yang mengandung sel darah merah terlihat di dalam

tinja yang segar atau pada lendir ulkus rektum (didapatkan pada waktu proktoskopi).

Ditemukannya kista tidak cukup untuk mendiagnosis amebiasis. Amubiasis harus dicurigai

bila seorang anak disentri tidak membaik setelah diberi antibiotik yang tepat untuk

Shigellosis.

Tatalaksana

Anak dengan disentri harus dicurigai karena Shigellosis dan diberi pengobatan yang

sesuai. Ini disebabkan karena kira-kira 60% kasus disentri yang datang ke sarana kesehatan

dan hampir semua kasus berat dan mengancam kehidupan adalah disebabkan Shigella. Bila

pemeriksaan mikroskopis tinja dibuat dan trofozoit .histolitika terlihat mengandung eritrosit,

pengobatan anti amubik harus diberikan. Empat komponen kunci pengobatan disentri adalah :

Antibiotika

Cairan

Makanan

Tindak lanjut

52

Pengobatan antimikroba

Pengobatan awal Shigellosis dengan antibiotika yang tepat memperpendek lama sakit dan

mengurangi risiko komplikasi yang serius serta kematian. Namun demikian, pengobatan

seperti itu hanya efektif bila Shigella sensitif terhadap antibiotika yang diberikan. Bila

pengobatan terlambat atau antibiotika diberikan tidak sensitif, bakteri mungkin menyebabkan

kerusakan usus yang luas dan masuk ke dalam sirkulasi darah yang menyebabkan septikemi,

kelemahan dan kadang-kadang syok septik. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak

yang kurang gizi atau bayi dan mungkin fatal.

Karena sensitivtas Shigella terhadap antibiotika tidak diketahui, sangat penting untuk

menggunakan antibiotik yang diketahui masih sensitif terhadap Shigella di daerah ini.

Trimethoprim sulfamethoxasole biasanya merupakan pilihan tetapi di beberapa daerah

ampicillin juga efektif. Meskipun pengobatan dianjurkan untuk 5 hari, seharusnya ada

perbaikan setelah 2 hari, mis: berkurangnya panas, berkuranganya sakit dan darah dalam tinja

serta berkurangnya frekuensi BAB. Bila tidak terjadi, antibiotik harus dihentikan dan diganti

dengan yang lain. Di beberapa daerah mungkin bisa diberikan asam nalidixat. Meskipun

bakteri lain seperti Campylobacter jejuni dan Salmonella dapat menyebabkan disentri,

biasanya penyakitnya lebih ringan dan sembuh sendiri (selg limiting diarrhoea).

Anak dengan disentri tidak harus diobati secara rutin untuk amebiasis. Pengobatan harus

diberikan hanya bila ditemukan trofozoit E.histolitika yang mengandung sel darah merah

dalam tinja atau bila tinja berdarah menetap setelah pengobatan dengan 2 antibiotika berturut-

turut (masing-masing diberikan untuk 2 hari) yang biasanya efektif untuk Shigella.

Pengobatan yang dipilih untuk disentri ameba adalah metronidazol. Bila disentri disebabkan

oleh E.histolitika perbaikan akan terjadi dalam 2 – 3 hari setelah pengobatan.

Cairan

Anak dengan disentri harus dievaluasi untuk tanda-tanda dehidrasinya dan diberi

pengobatan yang sesuai. Semua penderita disentri harus diberi air dan cairan lain yang

dianjurkan selama sakit, terutama bila disertai panas.

Pemberian makanan

Anak dengan disentri harus diteruskan pemberian makanannya untuk mencegah atau

mengurangi kekurangan gizi. Pemberian makanan mungkin sulit, karena adanya anoreksia.

Petunjuk umum pemberian makanan pada rencana pengobatan A harus diikuti.

53

Tindak lanjut

Kebanyakan penderita disentri menunjukkan perbaikan yang besar dalam 2 hari setelah

pengobatan dengan antimikroba yang efektif. Penderita ini harus diberi pengobatan selama 5

hari dan biasanya tidak membutuhkan tindak lanjut. Penderita lain harus diikuti dengan

seksama terutama pada anak yang tidak memperlihatkan perbaikan dalam 2 hari dan anak

yang mempunyai risiko tinggi terhadap kematian atau komplikasi lain. Anak yang berisiko

tinggi (misal: bayi, anak kurang gizi, anak yang tidak mendapat ASI dan mereka yang

mengalami dehidrasi) harus sering diawasi baik penderita bila rawat jalan atau dimasukkan

ke rumah sakit untuk rawat inap. Penderita disentri dan malnutrisi berat secara rutin harus

dirawat inap. Anak yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 2 hari pertama pengobatan

antimikroba harus diberi antimikroba lain seperti yang dijelaskan di atas.

Pencegahan

Mikroorganisma yang menyebabkan disentri ditularkan melalui tangan, makanan dan air

yang tercemar tinja. Penularan Shigellosis melalui tangan sangat efisien karena hanya

dibutuhkan jumlah kuman Shigella sangat sedikit (10 – 100 kuman) untuk menimbulkan

sakit. Cara pencegahannya ialah cuci tangan yang bersih sebelum masak dan sebelum makan

serta penggunaan jamban yang higinis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,

Jakarta.

2. Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta.

3. Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta.

4. Sylvia A. Price, dkk (2002), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,

Jakarta.

5. KONSENSUS PENANGANAN KEJANG DEMAM. Editor: Hardiono D.

Pusponegoro, Dwi Putro Widodo, Sofyan Ismael Unit Kerja Koordinasi Neurologi

54

PP. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2005 - 2008.

6. Alfa, Yasmar. Tanpa tahun. Diare Akut Pada Anak. Bandung : SMF Ilmu Kesehatan

Anak FK UNPAD/RSHS.

7. Alfa, Yasmar. Tanpa tahun. Patogenesis dan Patofisiologi Diare. Bandung : SMF

Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RSHS.

8. Departemen Kesehatan RI. 1999. Buku Ajar Diare (Pegangan Bagi Mahasiswa).

9. Frye, Richard E. 2005. Diarrhea. Melalui <http://www.emedicine.com/> [22/12/05].

10. Guyton, Arthur.C. & Hall, John E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Terjemahan : Irawati Setiawan, dkk. Hal 1013-1049. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

11. Karras, David. 2005. Diarrhea. Melalui

<http://www.emedicinehealth.com/articles/5917-10.asp> [22/12/05].

12. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. hal 470-477.

Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

13. Nguyen, David G. 2005. Pediatrics, Rotavirus. Melalui <http://www.emedicine.com/>

[22/12/05].

14. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.

15. Sunoto. 1991. Penyakit Radang Usus : Infeksi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak

FKUI editor A.H. Markum dkk. Hal 448-466. Jakarta : FKUI.

55