LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

43
1 LAPORAN KASUS SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS (SLE) Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr. Midiyato Suratani Tanjung Pinang DisusunOleh: Hedo Saputra Jaya NPM. 10310169 ILMU PENYAKIT DALAM RSAL DR. MIDIYATO SURATANI TANJUNG PINANG FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MALAHAYATI 2014-2015

Transcript of LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

Page 1: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

1

LAPORAN KASUS

SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS (SLE)

Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RSAL Dr. Midiyato

Suratani

Tanjung Pinang

DisusunOleh:

Hedo Saputra Jaya

NPM. 10310169

ILMU PENYAKIT DALAM

RSAL DR. MIDIYATO SURATANI TANJUNG PINANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MALAHAYATI

2014-2015

Page 2: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

2

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny.S

Umur : 53 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Basuki Rahmat

Tgl masuk RS : 25 April 2014

2. Anamnesa

2.1 Keluhan Utama

Mual sejak 3 hari yang lalu SMRS

2.2 Keluhan Tambahan

Keluhan disertai muntah,pusing,susah tidur,nyeri sendi jari dan

kaki kanan saat digerakkan.

2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang dengan keluhan mual sejak 2 hari yang lalu SMRS. Os

disertai dengan muntah sebanyak 3x dalam sehari.muntah tersebut berisi

sebagian makanan.os juga mengeluhkan sering merasa pusing, badan

lemah dan nafsu makan berkurang.os juga mengeluhkan berat badan

mengalami penurunan sejak 1 bulan yang lalu.

Os juga mengeluhkan nyeri ulu hati sebelum 2 hari SMRS.nyeri

tersebut dirasakan dibagian epigastrik dibagian abdomen.

Riwayat BAK tidak ada keluhan dan DBN dan riwayat BAB tidak ada

keluhan dan DBN.Riwayat hipertensi (-), Diabetes Melitus (-) dan jantung

(-)

Selain itu os juga merasakan nyeri sendi jari dan kaki kanan pada saat

digerakkan.nyeri sendi tersebut dirasakan berpindah-pindah dan tidak

Page 3: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

3

bengkak.os juga merasakan panas terasa dibagian pipi dan kepala.os juga

mengalami bercak-bercak kemerahan dibagian abdomen keatas yaitu

dibagian seluruh lapangan perut,dada depan,dada belakang,tangan kanan

dan kiri dan bagian wajah yaitu pipi.

Bercak kemerahan tersebut sama rata dengan kulit yaitu tidak

menonjol dan tidak berisi pustul dan cairan lainnya.bercak kemerahan

tersebut tidak disertai gatal.os juga mengeluhkan rambut mudah rontok

dan demam yang tidak disertai mengggil.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Os sempat dirawat sebanyak 3x di RSAL sejak 2 bln yang lalu dan

telah terdiagnosa dengan penyakit SLE ( Sistemik Lupus Eritomatosus )

dimana hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil tes ANA (+) dan

didapatkan terapi dengan pengobatan kortikosteroid.riwayat

Hipertensi(-),diabetes melitus (-) dan jantung (-).

Os sempat berobat kemalaysia dengan control dan mendapatkan terapi

obat.Setelah 10 hari minum obat tersebut os mengalami kejang.kejang

tersebut berlangsung lebih kurang 1 menit dan pasien sadar kembali.

obat dari malaysia tersebut pasien tidak memberi tahu kepada

pemeriksa dengan alasan tertinggal dan tidak tahu obat mana yang bisa

membuat pasien tersebut kejang.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi : 88 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,2˚ celcius

SpO2 : 99 %

Page 4: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

4

b. Status Lokalis

Kepala

Bentuk : Normocephal, simetris

Rambut : hitam,mudah rontok dan pada wajah terdapat

bercak-bercak kemerahan diseluruh bagian wajah.

Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil

isokor kanan=kiri, reflek cahaya +/+

Telinga : bentuk normal, simetris kiri dan kanan, liang

lapang, membran timpani intak, serumen (-)

Hidung : bentuk normal, septum di tengah, tidak ada

deviasi, pernapasan cuping hidung tidak ada, sekret

tidak ada

Mulut : mukosa bibir basah, lidah tidak kotor, faring

dan tonsil tidak hiperemis

Leher

Inspeksi : bentuk normal, deviasi trakea (-)

Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah

bening (-), JVP tidak meningkat

Thoraks Anterior

Inspeksi : bentuk dada kanan=dada kiri, pergerakan

nafas kanan=kiri, iktus kordis tidak terlihat dan bagian

depan thorax terdapat bercak-bercak kemerahan yang

meliputi semua lapangan thorax.

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan=kiri, iktus

kordis teraba disela iga V linea midklavikula sinistra

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : pernapasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing

-/-, bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-), gallop

(-)

Thoraks Posterior

Page 5: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

5

Inspeksi : punggung simetris kanan=kiri dan bagian

thorak posterior terdapat bercak-bercak kemerahan

disemua lapangan thorak posterior.

Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan=kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : pernafasan vesikuler

Abdomen

Inspeksi : supel, perut tampak datar lembut, tidak ada

jaringan parut

Palpasi : nyeri tekan abdomen (+), hepar dan lien tidak

teraba

Perkusi : seluruh lapang abdomen timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas

Superior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

Inferior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

Genitalia

Tidak dilakukan pemeriksaan

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tanggal 25 April 2014

GDS : 140 mg/dl

Ureum : 22 mg/dl

Creatinin : 0,9 mg/dl

SGOT : Reagen Habis

SGPT : 109 U/L

Hemoglobin : 10,2 gr%

Leukosit : 12300

Eritrosit : 3,3 /mm3

Trombosit : 155000

Page 6: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

6

Hematokrit : 30 %

Golongan darah : 0

5. Diagnosa Kerja

SLE (sistemik lupus eritomatosus)

6. Diagnosa Banding

SLE

Dyspepsia

7. Penatalaksanaan

Infuse RL 20 tpm

Mucosta 3x4 mg

Lancid 2x1 mg

Vonetus 2x1 mg

Lameson 5-2-2

Irvask 1x1 pagi

Amilodipine 1x1 malam

Zolpiden 1x1 malam

Vometa 1x1 malam

8. Prognosis

Bervariasi,tergantung dari komplikasi dan keparahan

keradangan.perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali

dengan periode remisi yang lama.

Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis

dapat baik.

Page 7: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

7

PEMBAHASAN

Definisi LES.

Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun

yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ

atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi

dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

Epidemiologi LES

Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40

tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun

terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia.

Prevalensi LES di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-

400/100.000. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro,

Cina, dan mungkin saja Filipina.

Etiopatogenesis LES.

Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana

terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor

enetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor

genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang

meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir

menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode

unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik

pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3

Page 8: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

8

serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat

komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang

mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan

sitokin.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen

MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi

spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen

komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak

pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga

membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit

gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-

immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,

dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel

DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu

menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit1. Faktor lingkungan lainnya

yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko

tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau

yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran

bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat

meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen

infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor

hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa

penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar

hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal

Page 9: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

9

sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien

LES.Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (

ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya

seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam

pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang

mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

Manifestasi Klinis LES

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang

terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan

perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan

akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak

dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES

ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama

beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya

keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti

fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.

Manifestasi Konstitusional

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini agak

sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti

anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti

prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan

pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat

penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi

dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini

Page 10: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

10

dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala

gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari

sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti

infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai

menggigil.

Manifestasi Muskuloskeletal

Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan

poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50%

kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat

subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa

osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan

dengan terapi steroid.

Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi

miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan,

biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering

didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

Manifestasi Kulit

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,

butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi

psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-

tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,

gangren.

Page 11: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

11

Manifestasi Kardiovaskular

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat

berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.

Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,

interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik,

tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs.

Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan

endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung

koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang

berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

Manifestasi paru

Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto

toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas

atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada

60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan

dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan

pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit

dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal

sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri

pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom

antifosfolipid dan emboli paru.

Manifestasi Ginjal

Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan

menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan

silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.

Page 12: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

12

Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan

hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus

dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

Manifestasi Susunan Saraf

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,

neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan

antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus.

Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,

mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu

oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan

gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.

Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT

scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau

perdarahan.

Manifestasi Gastrointestinal

Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,

peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga

peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis

autoimun.

Aktivitas Penyakit LES.

Untuk menilai aktivitas penyakit dari LES dapat dilakukan penilaian

dengan skor antara lain dengan menggunakan SLE Disease Activity Index

( SLEDAI ), British Isles Lupus Assesment Group ( BILAG ), Systemic Lupus

Page 13: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

13

Activity Measurement ( SLAM ), the European Consensus Lupus Activity

Measurement ( ECLAM ) atau Lupus Activity Index ( LAM ).SLE Disease Activity

Index ( SLEDAI ), British Isles Lupus Assesment Group ( BILAG ), dan Systemic

Lupus Activity Measurement ( SLAM ) terbukti valid dan sensitif terhadap

aktivitas penyakit LES26.

Penelitian yang dilakukan oleh Eutília Andrade Medeiros Freire, Laís

Medeiros Souto, dan Rozana Mesquita Ciconelli di Brazil pada tahun 2011

menunjukkan bahwa SLE Disease Activity Index ( SLEDAI ) memiliki validitas

yang sangat tinggi dibandingkan dengan British Isles Lupus Assesment

Group( BILAG ) dan Systemic Lupus Activity Measurement ( SLAM )26. Selain

itu, SLE Disease Activity Index ( SLEDAI ) tidak memerlukan biaya yang mahal

dan mudah digunakan. Oleh karena itu, SLE Disease Activity Index ( SLEDAI )

sering digunakan untuk menilai aktivitas penyakit LES pada penelitian LES.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus

Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil

pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)

meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG

mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.

Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya

proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme

granular atau sel darah merah pada urin.

Page 14: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

14

Pemeriksaan Autoantibodi

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai

proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya

terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,

Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk

autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis

maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.

Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian

yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian

pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan

terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper

dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan

atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide

terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan

sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan

mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan

ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya

usia seseorang.

Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.

Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)

proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau

turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi

terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian

penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi

baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik

autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.

Page 15: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

15

Antibody antinuklear

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi

yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada

connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective

Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali

ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES.

Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas

ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan

La/SS-B.

ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.

ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.

Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan

yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita

skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.

Antibodi terhadap DNA.

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi

yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif

dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik

dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom

Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA. menunjukkan

peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang

kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA

dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae

immunofluoresens.

Page 16: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

16

Pemeriksaan Komplemen

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.

Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi

aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai

mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen

merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan

bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah

dan fibrinolisis.

Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus

kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat

beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita

dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding

gejala klinis.

Diagnosis SLE

Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,

mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4

kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan

Kriteria tersebut adalah :

1. Ruam malar.

2. Ruam diskoid.

3. Fotosensitivitas.

4. Ulkus di mulut.

Page 17: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

17

5. Arthritis non erosif.

6. Pleuritis atau perikarditis.

7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat

berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.

8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.

9. Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau

leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.

10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes

serologik untuk sifilis yang positif palsu.

11. Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif.

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.

Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan

membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami

fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu

banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu

menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau

payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi

terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus

menghindari rokok.

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu

diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada

penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,

penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.

Page 18: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

18

Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.

Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah

penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang

agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak

berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila

penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka

dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis

tinggi dan imunosupresan lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada

penderita LES, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat

obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria

atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan

Memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas

penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Penatalaksanaan LES secara umum.

TERAPI KONSERVATIF

Arthritis, Arthralgia & Mialgia

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik

sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada

penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat

keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar

dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara

berkala.

Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan

respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya

hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak

memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3

Page 19: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

19

bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi

oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.

Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan

analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat

dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih

dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat

dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES.

Lupus kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi

akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar

inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita

fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan

menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari

paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal

berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,

benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.

Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.

Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati,

karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat

menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit

muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak

diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan

steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan

plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,

misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan

tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang

berkekuatan lebih rendah.

Page 20: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

20

Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus

kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek

sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang resisten

terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,

vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik

adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang

kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.

Kelelahan dan keluhan sistemik.

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,

demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul

akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat

juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam

mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup

menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat

dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian

glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda

serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat

antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15

mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk

mengontrol penyakitnya.

Page 21: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

21

TERAPI AGRESIF

Kortikosteroid

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi

harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa,

misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis,

miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia

hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat,

mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).

Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis

glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian

glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.

Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur

dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal

pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala

konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada

manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3

hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,

kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.Respons terapi

dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama,

seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6

minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai

dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis

prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu,

dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1

mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke

dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.

Page 22: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

22

Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis

tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk

memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.

Siklofosfamid

Indikasi siklofosfamid pada LES :

1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).

2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.

3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau

berulang.

4. Glomerulonefritis difus awal.

5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa

adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60

menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat,

banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6

bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan

memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal

sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila

jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya

diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml

Page 23: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

23

menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus

ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.

Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,

keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.

Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai

alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan

secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES;

setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin,

maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah

penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.

Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan

enzim hati dan mencetuskan keganasan.

Siklosporin

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah

Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES

baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama

pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.

Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum

pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

Mofetil-mikofenolat (MMF)

MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada

nefritis lupus, MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam

hal tingkat remisi, kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan

tingkat remisi nefritis lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang.

Page 24: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

24

MMF tidak berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea.

Dosis MMF adalah 500 – 1500 mg, 2 kali perhari..

Rituximab

Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan

dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab

adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap

6 bulan.

Imunoglobulin G IV

Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi

trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan

selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk

mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada

pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.

Prognosis Penyakit LES.

Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.

Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien

dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat

kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini,

tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi

90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah

sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia

dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka

kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang

terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan

dalam perawatan medis umum.

Page 25: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

25

Status Kesehatan Pasien LES.

Status kesehatan dilihat berdasarkan pengukuran kualitas hidup

berdasarkan persepsi dari penderita LES. Kualitas hidup ( Quality of Life=QoL )

atau lebih spesifik lagi kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan ( Health

Related Quality of Life=HRQoL) diartikan merupakan suatu akibat/efek suatu

penyakit dan pengobatannya dalam terhadap kemampuan suatu individu dalam

menjalankan fungsi dalam hubungannya dengan kondisi kesehatan yang dirasakan

secara fisik, mental dan sosial sebagai aspek dalam kehidupannya. Sementara

definisi kualitas hidup menurut WHO adalah persepsi seseorang terhadap

posisinya pada konteks kebudayaan, nilai-nilai norma dimana dia tinggal dan

terkait dengan tujuan, harapan, ukuran keberhasilan, dan perhatian individu

tersebut.

LES memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap status

kesehatan/kualitas hidup, terutama kemampuan bekerja. Penelitian terbaru yang

dilakukan oleh NIAMS tentang hubungan antara LES dengan pekerjaan

menunjukkan bahwa hampir tiga perempat dari 982 studi peserta akan berhenti

bekerja sebelum usia pensiun mereka. Kemudian, setengah dari mereka yang

memiliki pekerjaan ketika mereka didiagnosis LES tidak lagi bekerja pada usia 50

tahun. Para peneliti menemukan bahwa demografi dan karakteristik pekerjaan

(tuntutan fisik dan psikologis dari pekerjaan dan tingkat kontrol atas tugas dan

lingkungan kerja) memiliki dampak paling besar pada status kesehatan penderita

LES.

Untuk menilai status kesehatan/kualitas hidup penderita secara umum

menggunakan dua pendekatan dasar, yaitu dengan menggunakan kuesioner

generik dan penggunaan kuesioner spesifik penyakit ( disease-spesific

questionnaires). Kuesioner generik dikembangkan untuk penggunaan secara

umum dan dapat digunakan pada beragam penyakit dan populasi. Sedangkan,

kuesioner spesifik penyakit ( disease-spesific questionnaires) disusun untuk

menilai outcome pada penyakit spesifik karena memasukkan elemen spesifik

untuk penyakit tertentu sehingga diharapkan dapat lebih responsif dibandingkan

Page 26: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

26

dengan kuesioner generik. Namun, kuesioner ini memiliki keterbatasan karena

hanya dapat menilai fungsi fisik. Oleh karena itu, untuk pengkajian yang lebih

komprehensif maka harus dikombinasi dengan instrumen yang mengkaji fungsi

psikososial. Saat ini, kuesioner yang paling umum dan sering digunakan dalam

menilai status kesehatan/kualitas hidup penderita LES adalah Short Form-36 ( SF-

36 ).

Short Form-36 ( SF-36 ) adalah salah satu kuesioner generik yang

digunakan untuk menilai status kesehatan penderita LES. Kuesioner yang

dikembangkan oleh Ware dkk ( 1992 ) ini terdiri dari 36 butir pertanyaan yang

dijawab/dilaporkan oleh pasien sendiri supaya dapat digunakan pada kondisi,

populasi, dan keadaan yang bervariasi. Kuesioner ini terdiri dari 8 sub penelitian

fungsi fisik, fungsi sosial, keterbatasan peran akibat masalah fisik, keterbatasan

peran akibat masalah emosional, kesehatan mental, energi/vitalitas, nyeri, dan

persepsi kesehatan secara keseluruhan. Semuanya dapat dirangkum menjadi 2

skor komponen : gabungan komponen fisik dan gabungan skor komponen mental.

Pada penelitian Stoll, dkk ( 1997 ), SF-36 menjadi suatu instrument pada LES

yang kesahihan dan keandalannya telah teruji ( validitas dan reliabilitasnya telah

teruji ) sehingga telah digunakan pada beberapa penelitian LES. Dengan SF-36

ini, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan LES mempunyai

status kesehatan yang secara signifikan lebih buruk dibandingkan pasien tanpa

penyakit kronik.

Page 27: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

27

KESIMPULAN

Sistemik Lupus Eritomatosus (SLE) merupakan suatu kondisi inflamasi

kronik yang disebabkan oleh penyakit autoimun. Ia muncul karena adanya

aktivitas sistem kekebalan tubuh (zat anti-bodi) yang berlebihan. Anti-bodi yang

sebenarnya adalah benteng pertahanan terhadap berbagai gangguan penyakit, pada

lupus justru bertingkah “aneh”. Salah satu faktor di bagian kulit adalah pengaruh

cahaya sinar matahahari.

Tahap awal gejala yang ditimbulkan mirip gejala penyakit pada umumnya,

misalkan demam tinggi, peradangan pada kulit, sariawan, radang sendi atau

radang pada sendi dan otot. Tidak heran jika banyak orang yang menduga bahwa

dirinya hanya sekedar mengalami gangguan kesehatan biasa, seperti rematik, tifus

atau gejala penyakit lain. Oleh karena itu, lupus kerap dijuluki sebagai “si peniru

ulung”.

Menghadapi kasus lupus diperlukan banyak penanganan berbeda. Namun

yang terpenting, jika seseorang diketahui telah menemukan empat dari sebelas

kriteria lupus diatas, hendaknya segera memeriksakan diri secara seksama ke

dokter untuk mendapat perawatan intensif serta pengobatan yang cepat dan tepat

guna.

Page 28: LAPORAN KASUS 2 SLE.docx

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti

Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan

Kelamin FKUI. Jakarta, 2007.

2. Symposium national immunology week 2004.chapter 20.arthritis and

musculoskeletal disorder.page 805=807

3. Harrisson’s principle of internal medicine 15th edition.volume 2:page 1922-

2928

4. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1,edisi ketiga:hal 150-159

5. medical journal : cermin dunia kedokteran no.142,2004 : hal 27-30

6. Ppatoghenesis Lupus Erythematosus. Available at :

http//www.thedoctordoctor.com/disease

7.The merck manual edisi 16,jilid 2 : hal 878-830.

8. Editor : Prof. dr. H. M. Sjaiffoellah Noer dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Penerbit ; Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2009.

9. Fitzpatrick’s in : Color Atlas and Synopsisof Clinical Dermatology. Fifth

Edition.

10. Charles D. Forbes, William F. Jackson in : Illustrated Pocket Guide to Clinical

Medicine. Second Edition 2004. Mosby