Laporan Fix

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud Memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik. Memahami bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen klastik. Menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik. Memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah ditentukan. 1.2 Tujuan Dapat memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik. Dapat memahani bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen klastik. Dapat menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik. Dapat memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah ditentukan. 1.3 Waktu pelaksanaan praktikum Hari / tanggal : 17 April dan 22 April 2014 1

description

jkkdhfkjafafefaefa

Transcript of Laporan Fix

Page 1: Laporan Fix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Maksud

Memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik.

Memahami bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen klastik.

Menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik.

Memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah

ditentukan.

1.2 Tujuan

Dapat memahami tekstur dan struktur batuan sedimen klastik.

Dapat memahani bagaimana proses pembentukkan batuan sedimen

klastik.

Dapat menganalisa berbagai komposisi dalam batuan sedimen klastik.

Dapat memahami cara penamaan batuan dengan klasifikasi yang telah

ditentukan.

1.3 Waktu pelaksanaan praktikum

Hari / tanggal : 17 April dan 22 April 2014

Waktu : 16.00 WIB

Tempat : Ruang Seminar, Gedung Sukowati Teknik Geologi

UNDIP, Semarang.

1

Page 2: Laporan Fix

BAB II

HASIL DESKRIPSI

2.1 Batu Peraga No. BSK 10

Deskripsi Megaskopis

Warna : Coklat Muda

Struktur : Laminasi & Ripple mark

Tekstur

Ukuran Butir : 1/4 – 1/2 mm (pasir sedang)

Bentuk Butir : Well Rounded

Kemas : Tertutup

Sortasi : Well Sorted

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : Pasir Sedang (1/4-1/2mm)

Matriks : Pasir Halus –Lempung

Semen : Karbonatan

Petrogenesa :

Batu dengan nomor peraga BSK 10 ini mimiliki struktur laminasi, ukuran

butir ¼-1/2 mm, bentuk butir well rounded, kemas tertutup dan sortasi well

sorted. Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang, matriksnya pasir halus

sampai lempung dan semennya bersifat karbonatan. Berdasarkan diagram

Hjulstrom, batu ini tererosi dengan kecepatan aliran sekitar 20-30 cm/s,

dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini

tertransportasi secara bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar

1,8 cm/s hingga 30 cm/s. Dan dapat terdeposisi dengan kecepatan aliran

sekitar 1,8 cm/s hingga 3 cm/s.

2

Page 3: Laporan Fix

Gambar 2.1 Batu Peraga No. BSK 10

Nama Batuan : Batupasir (Wentworth, 1922)

3

Page 4: Laporan Fix

2.2 Batu Peraga No. 116

Deskripsi Megaskopis

Warna : Hitam

Struktur : Masif

Tekstur

Ukuran Butir : 4-64 mm

Bentuk Butir : Subounded

Kemas : Terbuka

Sortasi : Poor Sorted

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : Berangkal

Matriks : Pasir halus

Semen : Karbonatan

Komponen Penyusun : Basalt, Kuarsit, dan Rijang.

Petrogenesa :

Berdasarkan dari diagram Hjlustrom, kecepatan aliran air untuk mampu

melakukan erosi dan transportasi dari pada batuan dengan ukuran butir

tersebut adalah 80 cm/s-180 cm/s, tertransportasi pada kecepatan aliran 18

cm/s-180 cm/s terdeposisi ketika kecepatan arus 40cm/s - 18 cm/s.

Gambar 2.1 Batu Peraga No.116

4

Page 5: Laporan Fix

2.3 Batu Peraga No. 176

Deskripsi Megaskopis

Warna : Coklat

Struktur : Masif

Tekstur

Ukuran Butir : <1/256 mm (lempung)

Bentuk Butir : -

Kemas : -

Sortasi : -

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : Lempung

Matriks : -

Semen : Non Karbonatan

Petrogenesa :

Batu dengan nomor peraga No. 176 memiliki kenampakan berwarna

coklat, struktur masif, ukuran butir <1/256 mm dan komposisi fragmennya

adalah lempung. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran

butirnya, material penyusun batu ini mengalami proses transportasi secara

suspensi dalam kecepatan aliran sekitar 0,1 cm/s – 300 cm/s. Sedangkan

material tersebut dapat terdeposisi dalam kecepatan aliran <0,1 cm/s. Dan

material penyusun batu ini dapat tererosi dengan kecepatan aliran ( flow

velocity) sekitar 110 cm/s hingga 300 cm/s.

5

Page 6: Laporan Fix

Gambar 2.3 Batu Peraga No. 176

Nama Batuan : Batulempung (Wentworth, 1922)

6

Page 7: Laporan Fix

2.4 Batu Peraga No. 153

Deskripsi Megaskopis

Warna : Abu-abu

Struktur : Masif

Tekstur

Ukuran Butir : 1/16—1/256 mm

Bentuk Butir : Very Well rounded

Kemas : Tertutup

Sortasi : well sorted

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : lanau

Matriks : -

Semen : Non Karbonatan

Petrogenesa :

Batu dengan nomor peraga 153 memiliki kenampakan berwarna abu-abu

dengan struktur masif. Ukuran butirnya 1/16-1/256 mm, bentuk butir very

well rounded, kemas tertutup, dan sortasi well sorted. Fragmen dari batu ini

merupakan lanau dan semen yang bersifat non karbonatan. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya, material penyusun batu ini

dapat tertransportasi secara ssuspensi dengan kecepatan aliran sekitar 0,1

cm/s – 120 cm/s. Sedangkan proses deposisinya dapat terjadi ketika

kecepatan aliran sebesar 0,1 cm/s hingga sekitar 0,4 cm/s. Dan dapat tererosi

ketika kecepatan aliran sekitar 11 cm/s hingga 130 cm/s.

7

Page 8: Laporan Fix

Gambar 2.4 Batu Peraga No.153

Nama Batuan : Batulanau (Wentworth, 1922)

8

Page 9: Laporan Fix

2.5 Batu Peraga No. 189

Deskripsi Megaskopis

Warna : Coklat

Struktur : Massif

Tekstur

Ukuran Butir : 64-256 mm (Berangkal)

Bentuk Butir : Angular

Kemas : Tertutup

Sortasi : Poor Sorted

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : Berangkal - Kerakal

Matriks : -

Semen : Karbonatan

Komposisi Fragmen : Diorit.

Petrogenesa :

Batu dengan nomor peraga 189 memiliki kenampakan berwarna coklat

dengan struktur masif. Memiliki ukuran butir 64-256 mm, bentuk butir

angular, kemas tertutup, dan ssortasi poor sorted. Fragmennya merupakan

berangkal hingga kerakal. Semennya bersifat karbonatan dan komposisi

fragmennya adalah diorite. Berdasarkan diagram Hjulstrom, material

penyusun batu ini dapat tertransportasi secara bedload ketika keceppatan

aliran (flow velocity) sekitar 30 cm/s hingga 180 cm/s. Material ini terdeposisi

pada saat kecepatan aliran sekitar 30 cm/s hingga 150 cm/s dan dapat tererosi

pada saat kecepatan aliran sebesar 180 cm/s hingga 500 cm/s.

9

Page 10: Laporan Fix

Gambar 2.5 Batu Peraga No. 189

Nama Batuan : Breksi Monomik (Wentworth, 1922)

10

Page 11: Laporan Fix

2.6 Batu Peraga No. 106

Deskripsi Megaskopis

Warna : Coklat

Struktur : Laminasi

Tekstur

Ukuran Butir : ¼-1/2 mm (pasir sedang)

Bentuk Butir : Well Rounded

Kemas : tertutup

Sortasi : Well Sorted

Derajat Kematangan : -

Komposisi

Fragmen : Pasir Sedang

Matriks : Pasir Halus - Lempung

Semen : Karbonatan

Petrogenesa :

Batu dengan nomor peraga 106 ini mimiliki struktur laminasi, ukuran butir

¼-1/2 mm, bentuk butir well rounded, kemas tertutup dan sortasi well sorted.

Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang, matriksnya pasir halus sampai

lempung dan semennya bersifat karbonatan. Berdasarkan diagram Hjulstrom,

batu ini tererosi dengan kecepatan aliran sekitar 20-30 cm/s, dilihat dari

ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi

secara bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s

hingga 30 cm/s. Dan dapat terdeposisi dengan kecepatan aliran sekitar 1,8

cm/s hingga 3 cm/s.

11

Page 12: Laporan Fix

Gambar 2.6 Batu Peraga No. 106

Nama Batuan : Batupasir (Wentworth, 1922)

12

Page 13: Laporan Fix

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Batu Peraga No. BSK 10

Batu dengan nomor peraga BSK 10 dilakukan pengamatan secara

megaskopis. Batu BSK 10 ini memiliki kenampakan bewarna coklat muda

dan menunjukkan struktur laminasi dan ripple mark. Struktur laminasi ini

merupakan struktur yang menunjukkan adanya lapisan-lapisan pada batuan

yang tebalnya kurang dari 1 cm. Sedangkan ripple merupakan struktur batuan

sedimen yang memiliki kenampakan bergelombang. Pada batu ini dilakukan

pengamatan terhadap teksturnya yaitu ukuran butir, bentuk butir, sortasi, dan

kemas. Ukuran butir dari batu ini ¼-1/2 mm (pasir sedang). Bentuk butirnyaa

tergolong well rounded, kemas tertutup, dan sortasinya well sorted. Kemas

merupakan hubungan antar butir sedimen. Pada batu ini kemasnya tergolong

tertutup karena butiran-butiran sedimennya saling bersentuhan. Sedangkan

sortasi merupakan keseragaman dari ukuran butir penyusun batuan sedimen.

Berdasarkan deskripsi terhadap komposisi penyusunnya, fragmen dari

batu ini merupakan pasir sedang (1/4-1/2 mm). Fragmen merupakan butiran

yang memiliki ukuran paling besar dalam suatu batuan. Selain fragmen, batu

ini tersusun dari matrik juga. Matriks merupakan butiran-butiran yang

mengelilingi yang memiliki ukuran lebih kecil dari fragmen. Matriks yang

menyusun batu ini adalah pasir halus-lempung. Pada batu ini dilakukan

pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL, setelah diteteskan HCL,

cairan HCL pada batu tersebut menunjukkan adanya buih-buih yang

menandakan semen dari batu ini bersifat karbonatan.

Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan

kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini

terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara

kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,

batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupkan

13

Page 14: Laporan Fix

proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20-30

cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi tersebut

akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang di

transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.

Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.

Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat

ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,

butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara bedload

dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s hingga 30 cm/s.

Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material

tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat

kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk

mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan

terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu

mengangkut material ukuran pasir ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,

sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran sekitar 1,8 cm/s

hingga 3 cm/s Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami

proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan.

Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini

mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan

proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,

selamadan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup

kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus

yang terdapat di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras,

sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini

menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan

asalnya.

Dilihat dari strukturnya yang laminasi dan ripple, dapat

diinterpretasikan bahwa terdapat jeda waktu pengendapan yang konstan dan

cepat sehingga pada saat suatu lapisan batuan sedimen telah terbentuk,

14

Page 15: Laporan Fix

terdapat lagi lapisan sedimen lain diatasnya, dan seterusnya sehingga

terbentuk struktur laminasi. Struktur laminasi ini terbentuk pada arus yang

tenang, dan terebentuk dari arus yang bertipe upper flow. Sedangkan struktur

ripple yang terbentuk ini pada batu ini disebabkan adanya arus air yang lebih

lambat daripada arus yang membentuk laminasi sehingga terbentuk struktur

yang bergelombang. Arus yang membeentuk struktur ripple tersebut bertipe

lower flow dan tergolong lagi dalam arus traksi. Setelah struktur ripple mark

terbentuk, terdapat lagi lapisan sedimen diatasnya yang membentuk struktur

laminasi lagi. Sedangkan dilihat dari teksturnya, dimana bentuk butir dan

sortasinya yang tergolong baik, dapat diinterpretasikan bahwa material

sedimen penyusun batu ini mengalami proses transportasi yang jauh dari

batuan asalnya dan bentuk butir yang dihasilkan cenderung seragam. Dilihat

dari komposisi semennya yang bersifat karbonatan, dapat diinterpretasikan

bahwa batu ini terbentuk di daerah laut dangkal.

.

Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya secara megaskopis, batu

ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Batupasir

(Wentworth, 1922).

15

Page 16: Laporan Fix

3.2 Batu Peraga No. 116

Batu peraga No. 166 diamati secara megaskopis menunjukkan

kenampakan yang cenderung berwarna hitam dan berstruktur masif. Struktur

masif ini merupakan struktur kompak. Tekstur batuan ini dari segi ukuran

butirnya berukuran Kerakal (4 mm-64 mm). Sortasi pada batuan ini tergolong

poor sorted yang menandakan pemilahan butirnyang tidak seragam atau

buruk. Kemas batuan ini terbuka. Hal ini dapat kita lihat dari kontak antar

butir yang terbuka. Bentuk butir batuan ini adalah subrounded, yang artinya

butiran pada batuan ini secara umum berbentuk agak membundar.

Komposisi material penyusun batuan ini adalah fargmen yang

berukuran Berangkal (256 mm – 64 mm). Matriks berupa material berukuran

lebih kecil dari fragmen yaitu pasir halus (1/8 mm – ¼ mm ). Dari fragmen

dan matriksnya ini dapat kita identifikasi bahwa material penyusun batuan ini

telah mengalami proses transportasi dengan jarak yang tidak jauh dari daerah

asal. Pada batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan

HCL, setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut menunjukkan

adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat karbonatan.

Semen ini merupakan perekat antara fragmen dengan matriks.

16

Page 17: Laporan Fix

Proses pembentukan batuan ini terbentuk dari hasil transportasi dan

dekomposisi material sedimen. Prosesnya berupa proses rombakan /

penghancuran dari batuan yang telah ada sebelumnya dan mengalami

litifikasi membentuk batuan yang baru. Awalnya batu-batu ini terlapukkan

hingga membentuk fragmen-fragmen batuan. Lalu batuan ini tererosi dan

mengalami proses transportasi dan dekomposisi namun dengan jarak yang

tidak jauh. Berdasarkan dari diagram Hjlustrom, Kecepatan aliran air untuk

mampu melakukan erosi dan transportasi dari pada batuan dengan fragmen

berukuran berangkal adalah 80 cm/s-180 cm/s. Ukuran butir dari batu ini

dapat tertransportasi ketika kecepatan aliran 18 cm/s-180 cm/s,

Transportasinya mulai melambat dan akan berlangsung jenis transportasi

sedimen dengan tipe Bed load. Pada akhirnya, ketika mencapai kecepatan

40cm/s - 18 cm/s, maka akan mulai mengalami pengendapan menjadi batu

dengan fragmen kerakal. Akibat proses transportasi yang berlangsung cukup

dekat, menjadikan pemilahan butirnya menjadi tidak seragam. Transportasi

pada material kerakal ini masuk dalam jenis transportasi Bed Load dimana

dilihat dari bentuk butirannya yang besar dan cukup rounded, diindikasikan

17

Page 18: Laporan Fix

terbentuk secara menggelinding pada dasar sungai yang pada akhirnya akan

terendapkan. Butiran dalam batuan ini berkontak secara tidak langsung

sehingga batas antar material dan semen terlihat, sehingga batu ini berkemas

terbuka dengan sortasi yang tergolong poor sorted.

Berdasarkan petrogenesanya,batuan ini terbentuk akibat jenis arus

yang berupa traksi. Jenis ini umumnya terjadi pada dasar sungai. Material

yang telah terbawa oleh arus sungai, jika termasuk dalam material yang

cukup besar dan berat, akan turun ke dasar sungai. Lalu material ini akan

menggelinding sehingga membentuk fragmen-fragmen yang berukuran bulat.

Diperkirakan tingkat intensitas arusnya tergolong pada tipe Upper Rezim

dimana membutuhkan energy arus yang tinggi untuk mentransportnya.

Lokasi pengendapannya diperkirakan terdapat pada zona Marine di bagian

dasar laut/sungai. Hal ini juga didukung dengan adanya material-material lain

yang terendapkan dalam batuan ini yaitu berupa rijang, basalt, dan kuarsit.

Rijang sendiri pembentukannya berada pada laut dalam sehingga

diperkirakan tererosi dan terendapkan dalam batuan ini ketika transportasi.

Berdasarkan dari data yang ada yaitu struktur masif, ukuran butir

berupa kerakal (4 mm-64 mm), Bentuk butir Subrounded, Fragmen berupa

kerakal dan matriksnya yang berupa pasir halus, dan setelah dimasukkan ke

dalam klasifikasi Wenworth (1922) batu peraga No. 116 merupakan

Konglomerat Polimik (Wenworth, 1922).

3.3 Batu Peraga No. 176

Batu dengan nomor peraga 176 dilakukan pengamatan secara

megaskopis menunjukkan kenampakan berwarna coklat dengan struktur yang

tergolong masif. Berdasarkan pengamatan terhadap teksturnya, ukuran butir

pada batu ini adalah <1/256 mm (lempung). Karena bentuk butir dari batu ini

tidak dapat diamati dengan mata telanjang, bentuk butir, kemas, dan

sortasinya dianggap invisible.

18

Page 19: Laporan Fix

Berdasarkan pengamatan terhadap komposisi material penyusun

batuan ini, fragmen dari batu ini berukuran lempung (<1/256 mm).

Sedangkan matriks berupa material yang tidak terlihat atau Invinsible. Pada

batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL,

setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut tidak menunjukkan

adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat non

karbonatan.

Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan

kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini

terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara

kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,

batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan

proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20-30

cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi tersebut

akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang di

transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.

Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.

Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat

ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,

butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara suspension

dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar <0,1 cm/s hingga 300 cm/s.

Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material

tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat

kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk

mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan

terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu

mengangkut material ukuran lempung ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,

sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran <0,1 cm/s.

Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami proses

litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan. Setelah

19

Page 20: Laporan Fix

proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini mengalami

proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan proses yang

berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen, selama dan

atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup kompaksi,

sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus yang terdapat

di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras, sedangkan

material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini menandakan bahwa

batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan asalnya. Pada batu ini

terdapat bagian yang memiliki warna kemerahan. Warna tersebut merupakan

warna dari zat pengotor.

Berdasarkan petrogenesanya, jenis arus pada yang terjadi pada proses

pembentukan batuan ini adalah Gravity Flow. Arus ini terjadi jika adanya

suatu perbedaan kelerengan yang menyebabkan materialnya dapat terbentuk

secara melayang-layang di permukaan air. Energi transport yang dibutuhkan

umumnya rendah karena materialnya yang masih berukuran halus. Lokasi

pembentukannya dapat berada pada daerah daratan. Berdasarkan deskripsi

terhdap struktur dan teksturnya, batu dengan nomor peraga 176 ini

merupakan batuan sedimen klstik dan di klasifikasikan berdasarkan

klasifikasi Wentworth (1922) yaitu Batulempung (Wentworth, 1922).

20

Page 21: Laporan Fix

3.4 Batu Peraga No. 153

Batu dengan nomor peraga 153 dilakukan pengamatan secara

megaskopis. Batu ini memiliki kenampakan berwarna abu-abu dengan

struktur masif. Pengamatan dilakukan terhadap teksturnya, ukuran butirnya

memiliki ukuran <1/256 mm sedangkan bentuk butirnya tidak dapat diamati

secara megaskopis sehingga bentuk butir tergolong invisible.

Berdasarkan pengamatan terhadap komposisi material penyusun

batuan ini, fragmen dari batu ini berukuran lanau (<1/256-1/64 mm).

Sedangkan matriks berupa material yang tidak terlihat atau Invinsible. Pada

batu ini dilakukan pengujian semennya dengan cara meneteskan HCL,

setelah diteteskan HCL, cairan HCL pada batu tersebut tidak menunjukkan

adanya buih-buih yang menandakan semen dari batu ini bersifat non

karbonatan.

Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan

kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini

terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara

kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,

batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan

proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 11 cm/s

- 130 cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi

tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Transportasi ini juga

dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi. Berdasarkan diagram

Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk

batu ini tertransportasi secara suspension dengan kecepatan aliran (flow

velocity) sekitar <0,1 cm/s hingga 120 cm/s. Setelah material penyusun batu

ini mengalami proses transportasi, material tersebut akan mengalami proses

deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat kekuatan energi media

pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk mengangkut material ini.

Meterial-material penyusun batu ini akan terdeposisi pada saat kecepatan arus

21

Page 22: Laporan Fix

kecil dimana arus tersebut tidak mampu mengangkut material yang berukuran

lanau ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom, sedimen tersebut dapat terdeposisi

pada saat kecepatan aliran 0,1 cm/s – 0,4 cm/s. Kemudian material-material

deposisi tersebut akan mengalami proses litifhikasi dimana material sedimen

tadi akan mengalami pembatuan. Setelah proses pengendapan berlangsung,

material penyusun batu ini mengalami proses diagenesa dimana proses

diagenesa tersebut merupakan proses yang berlangsung pada temperature

rendah di dalam suatu sedimen, selama dan atau sesudah litifikasi. Proses

diagenesa tersebut mencakup kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis,

dan metasomatisme. Arus yang terdapat di daerah batuan asal merupakan

arus yang besar dan deras, sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang

tenang. Hal ini menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari

batuan asalnya.

Berdasarkan petrogenesanya, jenis arus pada yang terjadi pada proses

pembentukan batuan ini adalah Gravity Flow. Arus ini terjadi jika adanya

suatu perbedaan kelerengan yang menyebabkan materialnya dapat terbentuk

secara melayang-layang di permukaan air. Energi transport yang dibutuhkan

umumnya rendah karena materialnya yang masih berukuran halus. Lokasi

pembentukannya dapat berada pada daerah terrestrial dimana dekat dengan

permukaan air/daratan.

22

Page 23: Laporan Fix

Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya, batu dengan nomor

peraga 153 ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth (1922)

merupakan Batulanau (Wentworth, 1922)

3.5 Batu Peraga No. 189

Batu dengan nomor peraga 189 dilakukan pengamatan secara secara

megaskopis. Batu ini memiliki kenampakan berwarna coklat dan berstruktur

masif. Berdasarkan pengamatan terhadap teksturnya, ukuran butir dari

sedimen batu ini berukuran 64-256mm (berangkal). Bentuk butirnya

tergolong angular sortasinya tergolong poor sorted dan kemasnya tergolong

tertutup karena dapat dilihat pada batu tersebut, hubungan antar fragmennya

saling bersentuhan.

Komposisi yang menyusun batu ini antara lain fragmen dan semen.

Fragmen dari batu ini berukuran Berangkal – Kerakal dimana fragmen ini

merupakan batuan beku yang tersingkap dalam sedimen. Berdasarkan

pengamatan, fragmen dari batu tersebut merupakan Andesit. Dalam batu ini

tidak terdapat matriks yang mengelilingi fragmen. Hanya terdapat semen

yang merekatkan antar fragmen. Pada semen tersebut dilakukan pengujian

23

Page 24: Laporan Fix

dengan meneteskan HCL, ketika diteteskan semen dari batu tersebut

mengeluarkan buih yang menunjukkan bahwa semen dari batu tersebut

tergolong karbonatan.

Batu ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan kembali

dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini terjadi

karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara

kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,

batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupakan

proses pengikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 180

cm/s - 500 cm/s. Hal tersebut menunjukkan untuk mengerosi batuan ini

dibutuhkan energi arus yang besar. Setelah tererosi, material-material hasil

pelapukan dan erosi tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin.

Meterial-material yang di transportasi memilki ukuran yang beragam dari

ukuran bongkah-lempung. Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan

energi media transportasi. Semakin besar energi transportasi, semakin besar

ukuran butir yang dapat ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom,

dilihat dari ukuran butirnya, butiran-butiran material pembentuk batu ini

tertransportasi secara Bedload dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar

30 cm/s hingga 180 cm/s. Hal tersebut menandakan bahwa batu ini dapat

terbentuk pada arus yang relative deras. Setelah material penyusun batu ini

mengalami proses transportasi, material tersebut akan mengalami proses

deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat kekuatan energi media

pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk mengangkut material ini.

Meterial-material penyusun batu ini akan terdeposisi pada saat kecepatan arus

tidak mampu untuk melanjutkan proses transportasi. Berdasarkan diagram

Hjulstrom, sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran 30

cm/s – 150 cm/s. Kemudian material-material deposisi tersebut akan

mengalami proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami

pembatuan. Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu

ini mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan

24

Page 25: Laporan Fix

proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,

selama dan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup

kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme.

Berdasarkan petrogenesanya,batuan ini terbentuk akibat jenis arus

yang berupa traksi. Jenis ini umumnya terjadi pada dasar sungai. Material

yang telah terbawa oleh arus sungai, jika termasuk dalam material yang

cukup besar dan berat, akan turun ke dasar sungai. Lalu material ini akan

tertransport secara sliding sehingga membentuk fragmen-fragmen yang

berukuran meruncing. Diperkirakan tingkat intensitas arusnya tergolong pada

tipe Upper Rezim dimana membutuhkan energy arus yang tinggi untuk

mentransportnya. Lokasi pengendapannya diperkirakan terdapat pada zona

Marine di bagian dasar laut/sungai.

Berdasarkan deskripsi diatas, batu dengan nomor peraga 189 ini

diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Breksi

Monomik (Wentworth, 1922).

3.6 Batu Peraga No. 106

25

Page 26: Laporan Fix

Batu dengan nomor peraga 106 dilakukan pengamatan secara

megaskopis. Batu ini menunjukkan kenampakan berwarna coklat dan strukur

laminasi. Struktur laminasi merupakan struktur berlapis yang lapisannya

kurang dari 1 cm. DIlihat dari teksturnya, ukuran butir dari batu ini yaitu

1/4mm-1/2mm (pasir sedang). Bentuk butir dari batu ini tergolong well

rounded, sortasi well sorted, dan kemasnya tertutup.

Komposisi penyusun batu ini antara lain fragmen, matrks, dan semen.

Fragmen dari batu ini adalah pasir sedang (1/4mm-1/2mm) dan matriksnya

merupakan ukuran butir yang lebih kecil dari pasir sedang yaitu pasir halus

hingga lempung. Pada semen dilakukan pengujian dengan meneteskan HCL,

ketika ditetesi oleh HCL, semen tersebut mengeluarkan buih yang

menandakan bahwa semennya bersifat karbonatan.

Batuan ini merupakan batuan yang terbentuk dari pengendapan

kembali dendritus atau pecahan batuan asal. Proses terbentuknya batu ini

terjadi karena adanya proses pelapukan batuan asalnya, baik pelapukan secara

kimiawi, fisik, maupun biologi. Kemudian setelah terjadi proses pelapukan,

batuan asal tersebut mengalami proses erosi dimana proses erosi merupkan

proses penggikisan yang disebabkan oleh air, angin, atau gletser. Berdasarkan

diagram Hjulstrom, erosi dapat terjadi ketika kecepatan aliran sekitar 20 cm/s

-30 cm/s. Setelah tererosi, material-material hasil pelapukan dan erosi

tersebut akan tertransportasi oleh air, maupun angin. Meterial-material yang

di transportasi memilki ukuran yang beragam dari ukuran bongkah-lempung.

Transportasi ini juga dipengaruhi oleh kekuatan energi media transportasi.

Semakin besar energi transportasi, semakin besar ukuran butir yang dapat

ditransportasi. Berdasarkan diagram Hjulstrom, dilihat dari ukuran butirnya,

butiran-butiran material pembentuk batu ini tertransportasi secara bedload

dengan kecepatan aliran (flow velocity) sekitar 1,8 cm/s hingga 30 cm/s.

Setelah material penyusun batu ini mengalami proses transportasi, material

tersebut akan mengalami proses deposisi / pengendapan. Hal ini terjadi akibat

kekuatan energi media pengangkut / transpotasinya tidak mampu lagi untuk

mengangkut material ini. Meterial-material penyusun batu ini akan

26

Page 27: Laporan Fix

terdeposisi pada saat kecepatan arus kecil dimana arus tersebut tidak mampu

mengangkut material ukuran pasir ini. Berdasarkan diagram Hjulstrom,

sedimen tersebut dapat terdeposisi pada saat kecepatan aliran sekitar 1,8 cm/s

hingga 3 cm/s Kemudian material-material deposisi tersebut akan mengalami

proses litifhikasi dimana material sedimen tadi akan mengalami pembatuan.

Setelah proses pengendapan berlangsung, material penyusun batu ini

mengalami proses diagenesa dimana proses diagenesa tersebut merupakan

proses yang berlangsung pada temperature rendah di dalam suatu sedimen,

selamadan atau sesudah litifikasi. Proses diagenesa tersebut mencakup

kompaksi, sementasi, rekristalisasi, autigenesis, dan metasomatisme. Arus

yang terdapat di daerah batuan asal merupakan arus yang besar dan deras,

sedangkan material ini terdeposisi pada arus yang tenang. Hal ini

menandakan bahwa batu ini terbentuk di daerah yang jauh dari batuan

asalnya.

Dilihat dari strukturnya yang laminasi, dapat diinterpretasikan bahwa

terdapat jeda waktu pengendapan yang konstan dan cepat sehingga pada saat

suatu lapisan batuan sedimen telah terbentuk, terdapat lagi lapisan sedimen

lain diatasnya, dan seterusnya sehingga terbentuk struktur laminasi. Struktur

laminasi ini terbentuk pada arus yang tenang, dan terbentuk dari arus yang

bertipe upper flow. Sedangkan dilihat dari teksturnya, dimana bentuk butir

dan sortasinya yang tergolong baik, dapat diinterpretasikan bahwa material

sedimen penyusun batu ini mengalami proses transportasi yang jauh dari

batuan asalnya dan bentuk butir yang dihasilkan cenderung seragam. Dilihat

dari komposisi semennya yang bersifat karbonatan, dapat diinterpretasikan

bahwa batu ini terbentuk di daerah laut dangkal

27

Page 28: Laporan Fix

.

Berdasarkan deskripsi struktur dan teksturnya secara megaskopis, batu

ini diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Wentworth, 1922 yaitu Batupasir

(Wentworth, 1922).

28

Page 29: Laporan Fix

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Batuan dengan nomor peraga BSK 10 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna coklat, strukturnya laminasi & ripple.

Komposisinya berupa fragmen pasir halus, matriks pasir halus-lempung,

dan semennya karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi

Wentworth,1922 adalah Batupasir.

Batuan dengan nomor peraga 116 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna hitam, berstruktur masif. Komposisinya berupa

fragmen kerakal, matriks pasir halus, dan semennya karbonatan. Nama

batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah Konglomerat

Polimik..

Batuan dengan nomor peraga 176 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna coklat, strukturnya masif. Komposisinya berupa

fragmen lempung, matriks invinsible, dan semennya non karbonatan.

Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah

Batulempung.

Batuan dengan nomor peraga 153 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna abu-abu dan strukturnya masif. Komposisinya

berupa fragmen lanau, matriks invinsible, dan semennya non karbonatan.

Nama batuan ini menurut klasifikasi Wenworth,1922 adalah batulanau.

Batuan dengan nomor peraga 189 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna coklat dan strukturnya masif. Komposisinya

berupa fragmen berangkal-kerakal, matriks non visible, dan semennya

bersifat karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922

adalah Breksi Monomik.

Batuan dengan nomor peraga 106 merupakan batuan sedimen klastik

dengan ciri-ciri berwarna coklat dengan struktur masif. Komposisinya

29

Page 30: Laporan Fix

berupa fragmen pasir sedang, matriks pasir halus-lempung, dan semennya

karbonatan. Nama batuan ini menurut klasifikasi Wentworth,1922 adalah

Batupasir.

4.2 Saran

Dalam pendeskripsian batuan sebaiknya dilakukan dengan hati – hati dan

teliti.

Dalam penggunaan bahan – bahan berbahaya sebaiknya dilakukan secara

hati – hati dan seperlunya saja.

30