Lansia Dan Status Gizi

18
2.1 Lanjut Usia (Lansia) Menurut World Health Organization (WHO), lansia merupakan individu yang berusia 60 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Martono, 2010). WHO telah menetapkan bahwa batasan umur lanjut usia yaitu: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2000). Menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998 pada Bab I pasal 1 ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Maryam dkk., 2008). 2.1.2 Proses menua Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai mengalami penurunan karena berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga 1

Transcript of Lansia Dan Status Gizi

Page 1: Lansia Dan Status Gizi

2.1 Lanjut Usia (Lansia)

Menurut World Health Organization (WHO), lansia merupakan individu

yang berusia 60 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit namun merupakan

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah

keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan

keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan

penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara

individual (Martono, 2010).

WHO telah menetapkan bahwa batasan umur lanjut usia yaitu: usia

pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia

(elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 sampai 90

tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2000).

Menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998 pada Bab I pasal 1 ayat 2

tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang

yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Maryam dkk., 2008).

2.1.2 Proses menua

Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang

maksimal. Setelah itu tubuh mulai mengalami penurunan karena berkurangnya

jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan

mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses

penuaan (Maryam dkk., 2008). Menua merupakan suatu proses menghilangnya

secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan demikian tubuh secara

progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi serta terjadi gangguan

metabolisme dan struktural yang disebut penyakit degeneratif (Martono, 2010).

Menurut Setiati dkk. (2010) seiring bertambahnya usia akan berakibat pada

semakin kecil kapasitas lansia untuk membawa dirinya ke keadaan homeostasis

setelah terjadinya suatu challenge (keadaan yang mengganggu homeostasis).

1

Page 2: Lansia Dan Status Gizi

Proses menua (aging process) yang terjadi pada lansia secara linear dapat

digambarkan melalui empat tahap, yaitu kelemahan (impairment), keterbatasan

fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability) dan

keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses

kemunduran. Pada proses penuaan terjadi degenerasi jaringan serta sel-sel tubuh

yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan. Proses ini dimulai

sejak usia 30 tahun dan semakin meningkat pada usia 45 tahun ke atas. Biasanya

proses ini ditandai oleh kemunduran fisik, anatomi dan fungsional yang akan

mempengaruhi kemampuan tubuh secara keseluruhan (Hardinsyah, 2000).

Penuaan dapat mengakibatkan perubahan pada sistem organ yang spesifik,

diantaranya sistem saraf, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem

endokrin, sistem muskuloskeletal dan sistem genitourinaria. Perubahan ini terlihat

pada tabel 2.1 (Fauci dkk., 2008). Meskipun merupakan suatu proses fisiologis,

perubahan yang terlihat dari proses menua sangat bervariasi dan variabilitas ini

semakin meningkat seiring peningkatan usia. Variasi terjadi antara satu individu

dengan individu lain pada umur yang sama, antara satu sistem organ dengan

sistem organ lain, bahkan antara satu sel terhadap sel lain pada individu yang

sama (Setiati dkk., 2010).

2

Page 3: Lansia Dan Status Gizi

Tabel 2.1 Beberapa perubahan fisiologi yang berhubungan dengan usia dan konsekuensinya

Organ/ SistemPerubahan fisiologi yang berhubungan dengan usia

Konsekuensinya

         

UmumPeningkatan lemak tubuh Penurunan air tubuh total

Peningkatan volume distribusi untuk obat yang larut lemak

Penurunan volume distribusi untuk obat yang larut air

Mata/Telinga Presbiopia Penurunan akomodasi

Kekeruhan lensaPeningkatan kerentanan cahaya terang

Penurunan ketajaman pendengaran terhadap suara berfrekuensi tinggi

Kesulitan membedakan kata bila lingkungan sekitar berisik

Endokrin Metabolisme glukosa tergangguPeningkatan kadar glukosa sebagai respon terhadap penyakit akut

Penurunan absorpsi dan aktivasi vitamin D

Osteopenia

RespirasiPenurunan elastisitas paru dan kekakuan dinding dada

Ketidaksepadanan ventilasi/perfusi

KardiovaskularPenurunan kelenturan arteri dan peningkatan TD sistolik

Respon hipotensi terhadap peningkatan denyut jantung, deplesi volume, hilangnya kontraksi atrium

Penurunan daya responsif terhadap β-adrenergik

Penurunan curah jantung dan respon denyut jantung terhadap stress

Renal Penurunan GFRGangguan ekskresi beberapa obat

Penurunan pemekatan/ pengenceran urin

Respon terlambat terhadap restriksi/ pembebanan kelebihan garam atau cairan, nokturia

Genitourinaria Atrofi mukosa vagina/ uretra Dispareuni, bakteriuriaPembesaran prostat Volume urin sisa

Muskuloskeletal Penurunan densitas tulang Osteopeniasistem saraf Atrofi serebri Keadaan mudah lupa

Penurunan sintesis katekolamin otak Depresi

  Penurunan sistesis dopaminergik otak Cara jalan yang lebih kaku

Sumber: Fauci dkk., 2008

Berbagai penyakit yang terjadi pada lansia sangat erat kaitannya dengan

masalah gizi, baik gizi kurang maupun gizi berlebih. Hal ini disebabkan oleh

ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, gangguan sosial, gangguan

3

Page 4: Lansia Dan Status Gizi

mental, kemiskinan, gangguan nafsu makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi,

obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi dan lain-lain (Martono, 2010).

2.2 Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari makanan

yang dikonsumsi sehari-hari. Status gizi dikatakan baik jika pola makan yang

dikonsumsi seimbang. Artinya, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sesuai

dengan kebutuhan tubuh. Almatsier (2006) mendefinisikan status gizi sebagai

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Status gizi dapat diukur dari berat badan dan tinggi badan dengan perhitungan

Indeks Massa Tubuh (IMT) (WHO, 2004).

Makanan merupakan sumber tenaga untuk hidup. Makanan juga merupakan

sumber pembangun dan pertumbuhan serta mengganti bagian-bagian tubuh yang

rusak. Selain itu, makanan diperlukan untuk mengatur proses yang terjadi di

dalam tubuh. Masalah gizi timbul akibat ketidakseimbangan energi yang masuk

dengan energi yang dikeluarkan. Masalah ini sangat berkaitan dengan pola makan.

Pada lansia, terjadi perubahan pola makan yang diakibatkan oleh perubahan

fisiologis dan psikososial (Almatsier, 2004).

2.2.1 Kebutuhan gizi lansia

Pada prinsipnya jenis zat gizi yang dibutuhkan lansia sama seperti usia

muda, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, air dan serat. Namun,

bertambahnya usia umumnya disertai dengan menurunnya fungsi organ.

Perubahan itu menyebabkan jumlah kebutuhan gizi pada lansia berubah.

Konsumsi makanan yang cukup dan seimbang akan bermanfaat bagi lansia untuk

mencegah dan mengurangi masalah gizi (Martono, 2010).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) merupakan suatu taraf asupan atau intake

yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Almatsier, 2004).

Departemen Kesehatan (2004) mengemukakan bahwa kecukupan gizi lansia pada

umumnya dihitung berdasarkan kebutuhan kalori atau energi, sebagai berikut:

a. Energi

AKG yang dianjurkan untuk lansia (>60 tahun) pada laki-laki adalah 2050

kalori dan pada wanita adalah 1600 kalori. Kebutuhan energi pada lansia menurun

4

Page 5: Lansia Dan Status Gizi

sehubungan dengan penurunan metabolisme basal dan aktivitas fisik yang

cenderung menurun (Martono, 2010).

b. Protein

Kecukupan protein pada lansia adalah sekitar 0,8 gram/kgBB atau 15-25%

dari kebutuhan energi (Soejono, 2010). Jumlah protein yang dibutuhkan menurut

Depkes (2004) untuk lansia laki-laki adalah 60 gram/hari dan wanita 50

gram/hari.

c. Lemak

Lemak berlebih disimpan dalam tubuh sebagai cadangan tenaga dan bila

berlebihan akan ditimbun sebagai lemak tubuh. Lansia dianjurkan untuk

mengkonsumsi lemak tidak lebih dari 15% total energi (Depkes, 2004).

d. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama di dalam menu makanan

Indonesia. Lansia dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat komplek karena

mengandung vitamin, mineral dan juga serat daripada mengkonsumsi karbohidrat

murni seperti gula. Jumlah karbohidrat yang dikonsumsi lansia sebaiknya 55-60%

dari total energi (Stanley dan Patricia, 2006).

e. Vitamin, mineral, air dan serat

Lansia dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan vitamin A, D

dan E sebagai antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif. Selain itu,

konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin C, B1 dan B12 serta asam

folat juga dianjurkan untuk mencegah penyakit anemia pada lansia (Martono,

2010).

Selain vitamin, lansia juga dianjurkan mengkonsumsi makanan kaya Fe, Zn,

selenium dan kalsium untuk mencegah anemia, pengeroposan tulang serta untuk

meningkatkan daya tahan tubuh. Disamping itu, zat gizi mikro lain seperti pospor,

kalium, natrium dan magnesium juga dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam

tubuh (Depkes, 2004).

Air merupakan komponen utama yang paling banyak

terdapat di dalam tubuh manusia. Sekitar 60% dari total berat

badan orang dewasa terdiri dari air. Air sangat penting dalam proses

metabolisme dan mengeluarkan sisa pembakaran tubuh. Air dan serat juga

5

Page 6: Lansia Dan Status Gizi

dianjurkan untuk lansia agar buang air besar menjadi lancar. Serat juga dapat

mencegah penyerapan kolesterol dalam tubuh sehingga dapat menurunkan

kolesterol dalam tubuh (Almatsier, 2004).

2.2.2 Pola makan dan menu lansia

Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan

jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu

tertentu (Baliwati, 2004). Santoso (2004) mengemukakan bahwa pola

makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan tiap hari

oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok

masyarakat tertentu.

Perubahan fisiologis pada lansia akan mempengaruhi pola

makan pada lansia. Pola makan lansia mencerminkan sikap dan

kebiasaan selama hidupnya yang dipengaruhi oleh lingkungan.

Makanan pokok di Indonesia yaitu nasi, dikonsumsi hampir

semua orang di Indonesia (95%), termasuk lansia. Nasi

dikonsumsi berdampingan dengan sumber zat gizi lain seperti

protein dan lemak (Darmojo, 2002).

Pola makan masyarakat di Indonesia pada umumnya

diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan

diproduksi di wilayah tersebut. Daerah pegunungan dan

pertanian, masyarakatnya banyak mengkonsumsi sayuran

karena sayuran mudah didapat di wilayah tersebut. Masyarakat

nelayan di daerah pantai seperti halnya di Aceh, ikan merupakan

makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri

(Gunawan, 2002).

Setiap budaya mempunyai keyakinan dan cara sendiri

dalam memperoleh, mengolah dan menyajikan makanan. Hal

tersebut akan terpola dan menjadi kebiasaan suatu kelompok

masyarakat. Lansia pada umumnya lebih menyukai makanan

6

Page 7: Lansia Dan Status Gizi

yang berkaitan dengan pengalaman yang menyenangkan atau

berhubungan dengan rumah atau daerah asal (Gunawan, 2002).

Ahli gizi menganjurkan untuk menu lansia yang sehat,

menu sehari-hari adalah (Arisman, 2009):

Tidak berlebihan, tetapi cukup mengandung zat gizi sesuai dengan

persyaratan kebutuhan lansia

Bervariasi jenis makanan dan cara olahnya

Membatasi konsumsi lemak

Membatasi konsumsi gula

Menghindari konsumsi garam yang terlalu banyak, merokok dan minuman

beralkohol

Cukup banyak mengkonsumsi makanan berserat (buah-buahan, sayuran

dan sereal) untuk menghindari sembelit atau konstipasi

Minuman yang cukup

Susunan makanan sehari-hari untuk lansia hendaknya tidak terlalu banyak

menyimpang dari kebiasaan makanan serta disesuaikan dengan keadaan

psikologisnya. Pola makan disesuaikan dengan kecukupan gizi yang dianjurkan

dan menu makanannya disesuaikan dengan ketersediaan dan kebiasaan makan tiap

daerah. Menu makanan lansia dalam sehari dapat disusun berdasarkan konsep gizi

seimbang, sebagai contoh:

Kelompok makanan pokok (utama): nasi (1 porsi= 200 gram)

Kelompok lauk pauk: daging (1 potong= 50 gram), tahu (1 potong= 25

gram)

Kelompok sayuran: bayam (1 mangkok= 100 gr)

Kelompok buah-buahan: pepaya (1 potong= 100 gr)

Susu (1 gelas= 100 gr)

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi lansia

a. Umur

Pada masa pertumbuhan (bayi, anak-anak dan remaja), semua kebutuhan zat

gizi tinggi. Makin tua seseorang, kebutuhan kalori (lemak dan karbohidrat) akan

menurun. Namun, kebutuhan protein vitamin dan mineral cukup tinggi sebagai

7

Page 8: Lansia Dan Status Gizi

antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari radikal bebas yang dapat merusak

sel (Martono, 2010).

b. Jenis kelamin

Umumnya laki-laki memerlukan zat gizi yang lebih banyak karena

perbedaan postur, otot dan luas permukaan tubuh dibandingkan dengan wanita. Di

Indonesia, prevalensi gizi lebih orang dewasa terbesar terjadi pada perempuan

yaitu sebesar 26,1% sedangkan laki-laki sebesar 15,6% (Riskesdas, 2010).

c. Aktivitas fisik dan mental

Orang yang melakukan aktivitas fisik memerlukan zat gizi yang lebih

banyak dibandingkan dengan orang yang hanya duduk atau tidur. Kecukupan gizi

seseorang akan sangat tergantung dari pekerjaan sehari-hari. Semakin berat kerja

seseorang, semakin besar zat gizi yang dibutuhkan. Walaupun aktivitas fisik lebih

banyak membutuhkan zat gizi daripada aktivitas mental namun stress

berkepanjangan dapat mengganggu proses metabolisme tubuh. Aktivitas akan

meningkatkan nafsu makan sehingga intake makanan bertambah. Selain itu

aktivitas juga memperlancar peredaran darah sehingga menigkatkan absorpsi zat-

zat makanan (Rusilanti, 2006).

d. Pendidikan dan pengetahuan gizi

Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah seseorang untuk

mendapatkan pengetahuan dan informasi khususnya tentang makanan yang baik

untuk kesehatan. Pendidikan yang baik serta pengetahuan yang memadai

merupakan modal seseorang termasuk lansia dalam mempertimbangkan pemilihan

makanan bukan saja berdasarkan selera tetapi juga pemenuhan kebutuhan gizi

(Adianto, 2003).

e. Status ekonomi

Pendapatan seseorang menentukan pola makan. Pendapatan merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas serta kuantitas

makanan. Disisi lain, kemajuan di bidang ekonomi dapat mempengaruhi pola

konsumsi. Proporsi konsumsi sumber energi dari karbohidrat dapat berkurang

akan tetapi proporsi sumber energi dari lemak dan protein akan meningkat

sehingga apabila tidak terkontrol akan menimbulkan masalah gizi (Adianto,

2003).

8

Page 9: Lansia Dan Status Gizi

2.2.4 Masalah gizi pada lansia

Masalah gizi yang umum terjadi pada lansia selain kekurangan gizi juga

kelebihan gizi yang memacu timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit

jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, reumatik, ginjal, sirosis hati dan

kanker (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2012). Dengan meningkatkan status gizi pada

lansia diharapkan keadaan kesehatan dapat dipertahankan atau bahkan

ditingkatkan.

a. Kekurangan gizi (Undernutrition)

Kekurangan gizi pada lansia dapat terjadi karena konsumsi energi dari

makanan lebih rendah dari pada kebutuhan tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan

energi maka tubuh akan memecah cadangan lemak menjadi energi. Pemecahan

lemak akan diikuti dengan penurunan berat badan dan apabila kekurangan

konsumsi energi berlangsung lama maka akan mengakibatkan terjadinya kurang

energi kronis (Gibney dkk., 2009).

Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya kekurangan gizi pada lansia

adalah terjadinya proses menua pada sistem pencernaan seperti gigi geligi yang

mulai banyak tanggal dan kerusakan gusi menyebabkan lansia merasa sukar untuk

makan makanan yang berkonsistensi keras. Disamping itu, pada lansia juga terjadi

penurunan produksi enzim ptyalin dari kelenjar saliva yang akan berpengaruh

pada proses perubahan karbohidrat kompleks menjadi disakarida serta

berkurangnya fungsi ludah sebagai pelicin makanan sehingga proses menelan

lebih sukar. Sekresi asam lambung juga semakin berkurang dan ukurannya

menjadi lebih kecil sehingga rangsang rasa lapar serta daya tampung makanan

semakin berkurang (Fauci dkk., 2008).

b. Kelebihan gizi (Overnutrition)

Pada lansia, kebutuhan energi menurun sehubungan dengan terjadinya

penurunan metabolisme basal dan aktivitas fisik. Proses metabolisme yang

menurun pada lansia tanpa diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau

penurunan jumlah makanan menyebabkan terjadinya kelebihan energi. Kelebihan

energi ini akan diubah menjadi lemak dan disimpan di dalam jaringan adipose

sebagai cadangan energi dan sebagian lagi disimpan sebagai glikogen di dalam

hati dan jaringan otot. Cadangan energi dalam bentuk lemak yang berlebihan akan

9

Page 10: Lansia Dan Status Gizi

ditimbun di dalam tubuh terutama di dalam rongga perut, lengan, paha dan organ-

organ lainnya. Terjadinya penimbunan lemak ini disebut sebagai kelebihan berat

badan (overweight) ataupun obesitas (Gibney dkk., 2009).

Kelebihan berat badan dan obesitas pada seseorang merupakan masalah gizi

yang serius karena dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes

mellitus, hipertensi, ginjal, sirosis hati dan kanker (Supariasa, Bakri dan Fajar,

2012). WHO (2005) juga menyebutkan bahwa terjadi peningkatan angka

mortalitas pada seseorang yang mengalami overweight yang diukur dengan skala

IMT.

Secara umum masalah kelebihan dan kekurangan gizi pada orang dewasa

khususnya lansia merupakan masalah penting karena selain mempunyai risiko

penyakit-penyakit tertentu juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh

karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan oleh setiap orang secara

berkesinambungan (Martono, 2010).

Berat badan kurang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi

sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan risiko terhadap penyakit

degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal memungkinkan

seseorang untuk dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa,

Bakri dan Fajar, 2012).

2.2.5 Penilaian status gizi

Status gizi dapat diukur secara tidak langsung dan secara langsung.

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu survei

konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Penilaian status gizi secara

langsung dapat dibagi manjadi empat penilaian yaitu klinis, biokimia, biofisik dan

antropometri (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2012).

Pengukuran antropometri digunakan secara luas dalam penilaian status gizi,

terutama jika terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan energi dengan protein.

Antropometri lebih banyak digunakan karena lebih praktis dan mudah untuk

dilakukan (Perissinotto dkk., 2002). Pengukuran antropometri merupakan

pengukuran dimensi fisis dan komposisi tubuh yang bertujuan untuk screening

atau tapis gizi, survei gizi dan pemantauan status gizi. Indeks antropometri yang

10

Page 11: Lansia Dan Status Gizi

sering digunakan yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan IMT

(Supariasa, Bakri dan Fajar, 2012).

Indeks massa tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu alat untuk memantau

status gizi orang dewasa, khusus yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan

berat badan. Nilai indeks diperoleh dengan perhitungan berat badan dalam

kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter dikuadratkan (Depkes RI,

2004).

IMT = BB(Kg)TB2(m2)

Keterangan :

BB : Berat badan (Kg)TB : Tinggi badan (m)

IMT merupakan pengukuran yang paling mudah dan paling banyak

digunakan untuk mengidentifikasi seorang lansia yang memiliki risiko

kekurangan atau kelebihan gizi (Perissonotto dkk., 2002).

Tabel 2.2 Klasifikasi status gizi pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut kriteria WHO tahun 2004

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Underweight < 18,50

Normoweight 18,50 - 24,99

Pre-obese 25,00 - 29,99

Obese ≥ 30,00

DAFTAR PUSTAKA

Adianto, S. 2003.  Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Asupan Gizi dan Status Gizi Lansia di Panti Wredha Pucang Gading Semarang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Almatsier. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Baliwati Y.F; A. Khomsan dan C.W. Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

11

Page 12: Lansia Dan Status Gizi

Darmojo, B.R. 2002. Trends in Dietary of the Elderly : The Indonesian Case. Asia Pacific J Clin Nutr (11): S351-S354.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Tabel Angka Kecukupan Gizi bagi Orang Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.

Fauci, A.S. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th ed. USA: The McGraw-Hill.

Gibney, M. J. dkk,. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Gunawan, R. 2002. Makanan Dalam Perspektif Budaya. Nursing Journal of Padjadjaran University. 4(7), 55-60.

Hardiansyah. 2000. Pengaruh Gizi terhadap Lanjut Usia. Bogor: Pergizi Pangan Indonesia.

Martono, H. H. dan Kris P. 2010. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit Universitas Indonesia.

Maryam, Siti; Mia F. E; Rosidawati; Ahmad J; dan Irwan B. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Perissinotto, E; Pisent, C; Sergi, G; Grigoletto, F. dan Enzi, G. 2002. Anthropometric Measurement in the Elderly : Age and Gender Differences. British Journal of Nutrition (2002), 87, 177–186.

Riset Kesehatan Dasar. 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Rusilanti, dan Clara M.K. 2006. Model Hubungan dan Aspek Psikososial dan Aktifitas Fisik dengan Status Gizi Lansia. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(1) : 29-35.

Santoso, S. dan Ranti, L.A. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.

Setiati, S; Harimurti, K. dan Roosheroe, A.G. 2010. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam: Sudoyo, A.W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Soejono, C.H. 2010. Pengkajian Paripurna pada Pasien Geriatri. Dalam: Sudoyo, A.W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Stanley, M. dan Patricia, G.B. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Supariasa, I.D.N; Bachyar B. dan Ibnu F. 2012. Penilaian Status Gizi Edisi Revisi. Jakarta: EGC.

12

Page 13: Lansia Dan Status Gizi

13