LAKAS BEDAH APENDIK
-
Upload
rivhan-fauzan -
Category
Documents
-
view
257 -
download
0
description
Transcript of LAKAS BEDAH APENDIK
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang
memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut
bagian kanan bawah. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada
pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini
mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi
yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Komplikasi utama
pada apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses. Insidens perforasi berkisar 10%sampai 32%. Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia (Sjamsuhidajat et all, 2004).
Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008
menunjukkan bahwa ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari
10.000 orang. Frekuensi tertinggi ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun.Angka
kejadiannya lebih tinggi terjadi pada pria dibanding wanita (Sjamsuhidajat et all,
2004).
Insiden appendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan
tertinggi diantara kasus-kasus kegawatan darurat, seperti juga halnya di negara
barat. Walaupun begitu diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit
ditegakkan. Pada beberapa keadaan appendicitis akut agak sulit didiagnosis,
misalnya pada fase awal dari appendisits akut gejala dan tandanya masih sangat
samar apalagi bila sudah diberi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan
teliti resiko kesalahan diagnosis pada appendicitis akut sekitar 15-20%. Bahkan
pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari
mengingat wanita terutama yang masih sangat muda sering timbul gangguan yang
mirip apendicitis akut (Lally et all, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan apendisitis
akut dapat mengakibatkan timbulnya komplikasi. Faktor-faktor tersebut dapat
1
berasal dari pasien maupun dari tenaga medis. Faktor yang berasal dari pasien
meliputi pengetahuan & mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan
faktor keterlambatan penanganan yang berasal dari tenaga medis adalah
kesalahan diagnosis, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan penundaan
tindakan bedah (Jaffe et all, 2005).
Penundaan pada pengobatan apendisitis dapat menyebabkan peningkatan
resiko perforasi 60-80% sehingga bakteri dapat meningkat sehingga menyebabkan
sepsis dan kematian. Hal yang menyebabkan sulitnya membuat diagnosis yang
tepat pada masa awal penyakit adalah karena gejala awal apendisitis pada waktu
awal tidak spesifik. Selain itu, upaya mencari diagnosis yang tepat dan rasa
keinginan menghindari apendisitis dapat menyebabkan penundaan operasi dan
meningkatkan kemungkinan perforasi dan morbiditas. Keterlambatan diagnosis
apendisitis lebih banyak terjadi pada pasien yang datang dengan keluhan sedikit
nyeri pada kuadran kanan bawah, kurangnya pemeriksaan fisik secara menyeluruh
dan pasien yang menerima analgesia narkotik. Diagnostik alat bantu yang dapat
mengurangi apendisektomi negatif dan perforasi adalah laparoskopi, sistem
penilaian, ultrasonografi dan computed tomography (Lally et all, 2004).
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari
Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan
laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian
akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada
tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia
(Jaffe et all, 2005).
1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan harapan, setiap pembaca khususnya kalangan
medis, lebih mengetahuai tentang appendicitis.
BAB 2
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan perpanjangan sekum dan berbentuk seperti cacing.
Rata-rata panjang apendiks adalah 8-10 cm (berkisar 2-20 cm). Apendiks muncul
selama bulan kelima kehamilan, dan beberapa folikel limfoid yang tersebar di
mukosa tersebut. Folikel tersebut meningkat jumlahnya ketika individu berusia 8-
20 tahun. Sebuah usus buntu yang normal terlihat di bawah ini (Craig, 2014).
Usus buntu terdapat dalam peritoneum visceral yang membentuk serosa,
dan lapisan luarnya adalah longitudinal dan berasal dari taenia coli; yang lebih
dalam, lapisan otot interior melingkar. Di bawah lapisan ini terletak lapisan
submukosa, yang berisi jaringan limfoepitelial. Mukosa terdiri dari epitel
kolumnar dengan beberapa elemen kelenjar dan sel-sel neuroendokrin argentaffin
(Craig, 2014).
Taenia coli berkumpul di daerah posteromedial dari sekum, yang
merupakan tempat dari dasar appendix. Apendiks berjalan menjadi lembaran
serosal dari peritoneum yang disebut mesoappendix, di mana program arteri
apendikular, yang berasal dari arteri ileokolika. Kadang-kadang, sebuah apendiks
arteri aksesori (berasal dari arteri cecal posterior) dapat ditemukan (Craig, 2014).
2.1.1. Vaskularisasi Apendiks
Pembuluh darah dari apendiks harus diatasi untuk menghindari perdarahan
intraoperatif. Arteri apendiks terkandung dalam lipatan mesenterika yang timbul
dari ekstensi peritoneal dari ileum terminal pada aspek medial sekum dan
Appendiks; itu adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan
bersebelahan dengan dinding apendiks. Drainase vena melalui vena ileokolika dan
vena kolik kanan ke vena portal; drainase limfatik terjadi melalui node ileokolika
sepanjang jalannya mesenterika arteri superior ke kelenjar celiac dan cisterna chili
(Craig, 2014).
2.2.2. Lokasi Apendiks
Apendiks tidak memiliki posisi tetap. Ini berasal 1,7-2,5 cm di bawah ileum
terminal, baik di lokasi dorsomedial (paling umum) dari fundus cecal, langsung di
3
samping lubang ileum, atau sebagai pembuka berbentuk corong (2-3% dari
pasien). Apendiks memiliki lokasi retroperitoneal di 65% dari pasien dan dapat
turun ke fossa iliaka di 31%. Bahkan, banyak orang mungkin memiliki lampiran
yang terletak di ruang retroperitoneal; di panggul; atau di belakang terminal
ileum, sekum, kolon asendens, atau hati. Dengan demikian, jalannya apendiks,
posisi ujungnya, dan perbedaan dalam posisi appendix jauh berubah temuan
klinis, akuntansi untuk tanda-tanda dan gejala usus buntu spesifik (Craig, 2014).
2.2. Definisi
Apendisitis akut adalah proses peradangan akut pada apendiks fermiformis.
Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi (Craig,
2014).
2.3. Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam
etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Percobaan
pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal
lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Pada keadaan klinis, faktor
obstruksi ditemukan dalam 60 - 70 % kasus. Sekitar 60% obstruksi disebabkan
oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%
disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain (Bernard dan David, 2006).
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasit seperti Entamoeba
histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan
erosi membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba
histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan
mukosa, parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis
mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004).
Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Beberapa keadaan
yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi adalah: akumulasi dan peningkatan
tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks, obstruksi vena dan
4
arteri, yang akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan
invasi bakteri (Bernard dan David, 2006).
2.4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Schwartz, 2010).
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri.
Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin
lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks
terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks
normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2010).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi
memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah
intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Schwartz, 2010).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut (Schwartz, 2010).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforate (Schwartz,
2010).
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
5
infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang (Schwartz, 2010).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di
mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang
melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa.
Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Schwartz, 2010).
Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek,
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang
masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Schwartz, 2010).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah.
Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut (Schwartz, 2010).
2.5. Gejala Klinis
Gejala klasik apendisitis akut dimulai dengan sakit perut kolik yang difus. Hal
ini disebabkan terangsangnya mid-gut visceral sebagai respon terhadap
peradangan usus buntu dan obstruksi. Rasa sakit ini sering pertama kali di region
peri-umbilikal, mirip tapi kurang intens dari kolik obstruksi usus halus. Nyeri
abdomen sentral berhubungan dengan anoreksia, mual dan biasanya satu atau dua
episode muntah yang mengikuti timbulnya nyeri (Murphy). Anoreksia merupakan
gejala yang penting terutama ada anak. Pasien sering memberikan riwayat
ketidaknyamanan serupa yang menetap secara spontan. Sebuah riwayat keluarga
juga berguna hingga sepertiga dari anak-anak dengan usus buntu memiliki kerabat
tingkat pertama dengan riwayat yang sama (Williams, 2008).
6
Gejala berurutan nyeri visceral-somatik klasik terdapat hanya pada sekitar
setengah dari pasien kemudian terbukti memiliki apendisitis akut. Presentasi
atipikal termasuk nyeri yang terutama somatik atau visceral dan difus. Nyeri
atipikal lebih sering terjadi pada orang tua, di antaranya lokalisasi ke iliaka kanan
fossa jarang. Inflamasi apendiks di panggul tidak pernah dapat menghasilkan
nyeri somatik yang melibatkan dinding perut anterior, tetapi dapat menyebabkan
ketidaknyamanan suprapubik dan tenesmus. Dalam hal ini, nyeri dapat timbul
hanya pada pemeriksaan rektal dan merupakan dasar untuk rekomendasi bahwa
pemeriksaan dubur harus dilakukan pada setiap pasien yang datang dengan nyeri
akut perut bawah (Williams, 2008).
Selama 6 jam pertama, jarang ada perubahan dalam suhu atau denyut nadi.
Setelah waktu itu, sedikit demam (37.2-37.7 ° C) dengan peningkatan yang sesuai
dalam denyut nadi 80 atau 90 adalah biasa. Namun, dalam 20% dari pasien, tidak
ada demam atau takikardia pada tahap awal. Pada anak-anak, suhu lebih dari 38,5
° C menunjukkan penyebab lain, misalnya adenitis mesenterika. (Williams, 2008)
Biasanya, dua sindrom klinis apendisitis akut dapat dilihat, catarrhal akut
(non-obstruktif) apendisitis dan apendisitis akut obstruktif. Yang terakhir ini
ditandai dengan banyak gejala akut. Timbulnya gejala adalah tiba-tiba, dan dapat
disertai nyeri seluruh perut dari awal. Temperatur mungkin normal dan muntah
adalah umum, sehingga klinis gejala dapat meniru obstruksi usus akut. Intervensi
bedah emergensi diperlukan karena cepatnya progresivitas menjadi perforasi.
(Williams, 2008)
Diagnosis apendisitis terletak lebih kepada pemeriksaan klinis menyeluruh
perut dari pada anamnesis atau penyelidikan laboratorium. Fitur utama adalah
pasien sehat dengan demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri perut terlokalisasi,
penjagaan otot perut dan nyeri alih. Pemeriksaan perut dapat menunjukkan
keterbatasan gerakan pernapasan dalam perut bagian bawah. Pasien kemudian
diminta untuk menentukan titik di mana nyeri mulai dan di mana ia pindah
(pointing sign). Palpasi abdomen dengan lembut, dimulai pada fossa iliaka kiri,
bergerak berlawanan arah jarum jam ke fosa iliaka kanan akan mendeteksi titik
7
nyeri, titik McBurney. Meminta pasien batuk atau perkusi lembut diatas lokasi
paling nyeri akan menimbulkan nyeri Rebound. (Williams, 2008)
Palpasi dalam pada fossa iliaka kiri dapat menyebabkan rasa sakit di sebelah
kanan fossa iliaka, disebut tanda Rovsing, yang sangat membantu dalam
mendukung klinis diagnosis apendisitis. Kadang-kadang, apendiks yang meradang
memberiikan gejala pada pada otot psoas, dan pasien, seringnya orang dewasa
muda, akan mengatakan bahwa dengan pinggul kanan tertekuk untuk
menghilangkan rasa sakit (tanda psoas). Spasme pada internus obturator kadang
dibuktikan ketika pinggul tertekuk dan diputar secara internal. Jika apendiks
meradang bersentuhan dengan internus obturator, manuver ini akan menimbulkan
rasa sakit di hypogastrium (obturator test; Zachary Cope). Hyperaesthesia kulit
mungkin dibuktikan di fossa iliaka kanan, tapi jarang sebagai nilai diagnostik
(Williams, 2008).
2.6. Gambaran Klinis Khusus Terkait Posisi Apendiks
2.6.1. Retrocaecal
Kekakuan pada perut jarang terjadi, dan bahkan aplikasi tekanan dalam
mungkin gagal untuk mendapatkan nyeri tekan (silent apendiks), alasannya karena
bahwa sekum, distensi dengan adanya gas, mencegah tekanan yang diberikan
oleh tangan untuk mencapai struktur meradang. Namun, nyeri dalam sering
terdapat di pinggang, dan kekakuan kuadratus lumborum mungkin menjadi bukti.
Psoas yang kaku, karena apendiks yang meradang kontak dengan otot yang,
mungkin cukup menyebabkan fleksi pada sendi panggul. Hiperekstensi sendi
panggul dapat menyebabkan sakit perut ketika derajat spasme pada psoas tidak
cukup untuk menyebabkan fleksi pinggul (Williams, 2008).
2.6.2. Pelvis
Kadang-kadang, diare terjadi sebagai akibat apendiks yang meradang kontak
dengan rektum. Ketika apendiks terletak sepenuhnya dalam panggul, biasanya
tidak terdapat rigiditas perut, dan sering nyeri tekan di atas titik McBurney juga
kurang. Dalam beberapa kasus, nyeri tekan dalam dapat dibuat tepat di atas dan di
sebelah kanan simfisis pubis. Pada pemeriksaan colok dubur membuktikan nyeri
8
tekan di kantong rectovesical atau kavum Douglas, terutama di sisi kanan. Spasme
pada psoas dan otot obturator internus dapat hadir saat apendiks berada di posisi
ini. Apendiks yang meradang yang kontak dengan kandung kemih dapat
menyebabkan frekuensi berkemih. Ini lebih sering terjadi pada anak (Williams,
2008).
2.6.3. Postileal
Dalam hal ini, apendiks yang meradang terletak di belakang ileum terminal.
Hal ini memberikan kesulitan terbesar dalam diagnosis karena nyeri mungkin
tidak ada, diare adalah fitur dan muntah-muntah mungkin terjadi. Nyeri tekan, jika
ada, tidak jelas, meskipun itu mungkin hadir langsung di sebelah kanan umbilikus.
(Williams, 2008)
2.7. Gambaran klinis terkait usia
2.7.1. Infant
Apendisitis relatif jarang terjadi pada bayi di bawah usia 36 bulan dan untuk
alasan yang jelas, pasien tidak mampu untuk menceritakan perjalanan penyakit.
Karena itu, diagnosis sering tertunda, dan dengan demikian insiden perforasi dan
morbiditas pasca operasi jauh lebih tinggi dibandingkan anak yang lebih tua.
Peritonitis difus dapat berkembang dengan cepat karena belum berkembangnya
omentum, yang tidak mampu memberikan banyak bantuan dalam melokalisir
infeksi (Williams, 2008).
2.7.2. Anak-anak
Sangat jarang untuk menemukan seorang anak dengan usus buntu yang tidak
muntah. Anak-anak dengan usus buntu biasanya memiliki keengganan penuh
untuk makanan. (Williams, 2008)
2.7.3. Usia tua
Gangren dan perforasi terjadi lebih sering pada pasien lansia. Pasien tua
dengan dinding perut longgar atau obesitas mungkin memiliki apendiks yang
gangren dengan sedikit bukti itu, dan gambaran klinis dapat mensimulasikan
obstruksi usus subakut. Fitur-fitur ini, ditambah dengan kondisi medis coincident,
9
menghasilkan kematian yang jauh lebih tinggi untuk akut apendisitis pada usia
lansia (Williams, 2008).
tas dapat mengaburkan dan menghilangkan semua tanda-tanda lokal akut
apendisitis. Keterlambatan diagnosis, ditambah dengan kesulitan teknis beroperasi
di obesitas, membuatnya lebih bijaksana untuk mempertimbangkan operasi
melalui sayatan perut pada garis midline. Laparoscopy sangat berguna dalam
obesitas karena dapat menghindari kebutuhan untuk sayatan perut yang besar
(Williams, 2008).
2.7.4. Ibu Hamil
Apendisitis merupakan kondisi ekstrauterin akut abdomen yang sering terjadi
pada kehamilan, dengan frekuensi 1: 1500-2000 kehamilan. Diagnosis rumit oleh
keterlambatan adanya gejala klinis non-spesifik yang sering dikaitkan dengan
kehamilan. Sekum dan apendiks semakin didorong ke kuadran kanan atas perut
sejalan dengan kehamilan berkembang selama trimester kedua dan ketiga. Namun,
rasa sakit di kuadran kanan bawah perut tetap fitur utama dari apendisitis pada
kehamilan. Kematian janin terjadi pada 3-5% kasus, meningkat menjadi 20% jika
perforasi ditemukan pada operasi. (Williams, 2008)
2.8. Pemeriksaan
Diagnosis apendisitis akut pada dasarnya klinis; namun, keputusan untuk
operasi berdasarkan kecurigaan klinis saja bisa mengarah pada pengangkatan
apendiks normal pada 15-30% kasus. Premis yang lebih baik untuk mengangkat
apendiks normal daripada untuk menunda diagnosis tidak menutup terhadap
pengawasan, terutama pada orang tua. Sejumlah skor klinis dan laboratorium
berbasis sistem telah dirancang untuk membantu diagnosis. Yang paling banyak
digunakan adalah skor Alvarado. Skor 7 atau lebih adalah sangat prediktif
apendisitis akut (Williams, 2008).
Pada pasien dengan skor samar-samar (5-6), USG abdomen atau CT scan
dengan kontras dilakukan lebih lanjut untuk mengurangi tingkat apendektomi
negatif. Pemeriksaan USG abdomen lebih berguna pada anak-anak dan orang
dewasa kurus, terutama jika patologi ginekologi diduga, dengan akurasi
10
diagnostic lebih dari 90%. CT scan dengan kontras yang paling berguna pada
pasien yang memiliki ketidakpastian diagnostik, terutama pasien yang lebih tua,
dengan kecurigaan diverticulitis akut, obstruksi usus dan neoplasma adalah
kemungkinan diagnosa banding. Penggunaan selektif CT scan mungkin
mengurangi biaya-efektif baik apendektomi negatif dan lama rawat di rumah sakit
(Williams, 2008).
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakukan
penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya
diawali dengan adanya massa periapendikuler terlebih dahulu. Massa
periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk
usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh
setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan
penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga massa
periapendikuler ini adalah target dari operasi apendektomi.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis
karena selain angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin
kompleks. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai nyeri
hebat seluruh perut, demam tinggi, dan gejala kembung pada perut. Bising usus
dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang terjadi. Pus
yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum dijumpai
pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi
berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada.
Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparoskopi
sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah (Sjamsuhidayat, 2004).
2.10. Prognosis
11
Apendisitis akut merupakan indikasi terbanyak pembedahan abdomen
emergensi. Komplikasi apendektomi berkisar antara 4-15%, berkaitan dengan
nyeri pasca operasi dan biaya perawatan. Sasaran utama adalah membuat
diagnosis yang akurat secepat mungkin. Keterlambatan diagnosis meningkatkan
morbiditas dan mortalitas apendisitis.
Mortalitas berkisar 0,2-0,8%. Mortalitas pada anak berkisar 0,1-1%. Pada
orang tua, mortalitas meningkat hingga 20% akibat keterlambatan diagnosis dan
terapi. Perforasi apendisitis berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Mortalitas
apendisitis akut non gangren kurang dari 0,1% namun meningkat hingga 0,6%
pada apendisitis dengan gangren. Perforasi berkisar antara 16-40% dengan
frekuensi lebih sering apada usia muda dan usia di atas 50 tahun (55-70%). Infeksi
pasca operasi merupakan sepertiga penyebab morbiditas apendisitis (Brenner,
2014).
2.11. Tatalaksana
2.11.1. Manajemen non-operatif
Penelitian yang dilakukan oleh Eriksson dan kolega menunjukkan tingginya
angka rekurensi apendisitis jika diobati hanya dengan antibiotic, tanpa dilakukan
operasi. Delapan dari 20 pasien (40%) dalam grup antibiotic membutuhkan
apendiktomi dalam waktu 1 tahun, 1 pasien mengalami perforasi dalam waktu 12
jam randomisasi, dan 7 lainnya mengalami apendisitis rekuren (1 diantaranya
mengalami perforasi). Karena tingginya angka kegagalan dengan hanya
menggunakan antibiotic, manajemen non-operatif pada apendisitis akut tidak
direkomendasikan. Pengobatan dengan antibiotic dapat berguna untuk sementara
waktu, akan tetapi dapat diberika dalam keadaan tanpa ada dokter yang mampu
melakukan operasi missal sedang melakukan perjalanan luar angkasa atau bawah
laut. (Zinner & Ashley, 2007)
2.11.2. Persiapan Preoperasi
Ketika keputusan untuk melakukan apendiktomi untuk apendisitis akut telah
ditetapkan, pasien harus diproses ke ruang operasi untuk meminimalkan
kesempatan progresi menjadi perforasi. Pasien dengan apensitis dapat mengalami
12
dehidrasi karena demam dan kurangnya asupan oral, sehingga pemberian cairan
intravena harus dimulai, dan nadi, tekanan darah, dan pengeluaran urin harus
dimonitor dengan ketat. Pasien dengan tanda-tanda dehidrasi yang nyata
memerlukan pemasangan Foley Cathether untuk memastikan pengeluaran urin
yang adekuat. Abnromalitas elektrolit tidak jarang ditemukan pada apendisitis
nonperforasi, di mana muntah dan demam telah muncul selama 24 jam atau
kurang, namun dapat signifikan pada beberapa kasus perforasi. Defisiensi
elektrolit harus dikoreksi sebelum induksi anestesi umum. (Zinner & Ashley,
2007)
Antibiotic intravena menunjukkan pengurangan signifikan insiden infeksi
luka post-perasi dan abses intra-abdomen. Antibiotik harus diberikan 30 menit
sebelum insisi untuk mencapai kadar jaringan yang adekuat. Flora tipikal untuk
apendiks mirip bakteri yang berada di kolon dan termasuk bakteri aerob gram
negative (khususnya Escherichia coli) dan anaerob (Bacteroides spp). Tidak ada
regimen antibiotic standar. Pilihan yang dapat diterima termasuk cephalopsporin
generasi II atau kombinasi antibiotic yang menyerang kuman gram negative dan
anaerob. Pada apendisitis non-perforasi, dosis preoperative tunggal cefoxitin
cukup. Pada kasus perforasi, perpanjangan pemberian antibiotic setidaknya
selama 5 hari disarankan. (Zinner & Ashley, 2007).
2.11.3. Open versus Laparoscopic Appendectomy
Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan, dokter bedah kemudian memilih
untuk melakukan open (OA) atau laparoscopic (LA) appendectomy. Kelebihan
open (OA) dan laparoscopic (LA) appendectomy. (Zinner & Ashley, 2007)
Tabel. 2. 1. Open versus Laparoscopic Appendectomy
Kelebihan Laparascopy Kelebihan Open
Diagnosis kondisi lain
Mengurangi rasa nyeri dan kebutuhan
penggunaan narkotik
Waktu operasi lebih singkat
Mengurangi lama rawatan Biaya operasi lebih murah
13
Risiko Infeksi luka operasi berkurang Abses intraabdomen lebih jarang
Lebih cepat kembali ke aktivitas
sebelumnya
Biaya rawatan rumah sakit lebih murah
Biaya hidup bermasyarakat setelah
rawatan berkurang
Sumber : Zinner MJ, Ashley SW. Maingot's Abdominal Operations, 11th ed.
McGraw-Hill’s. 2007
Jika appendicitis tidak dijumpai saat dilakukan tindakan operasi, pencarian
perlu dilakukan untuk membuat diagnosis alternative. Sekum dan mesenterium
harus diinspeksi. Usus halus dievaluasi dengan cara retrograd mulai dari katup
ileosekal. Perhatikan adanya penyakit Chron atau Meckel’s Diverticulum. Jika
pasien wanita, organ reporoduksi harus diinspeksi. Jika cairan purulen atau bilious
ditemukan, sumber harus dicari. (Liang et al, 2015)
14
BAB 3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : DAH
Gender : Perempuan
Umur : 6 tahun
MR : 00.63.97.00
Ruangan : RB2A 3.1.
Tanggal masuk : 17 April 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri pertama kali dirasakan pada ulu hati, menjalar ke kanan bawah lalu
menetap ke seluruh lapangan perut. Mual dan muntah dijumpai, dengan frekuensi
2 kali sehari, berisi makanan yang dimakan, volume ± ¼ aqua gelas. Demam
dijumpai sejak 5 hari SMRS, bersifat naik turun, dan dapat turun dengan obat
penurun panas. Menggigil tidak dijumpai. BAK dan BAB kesan normal.
RPT : -
RPO : Tidak jelas
III. STATUS PRESENS
Sensorium : Compos Mentis
Temperature : 37,3 oC
Nadi : 100x/menit
Pernafasan : 36x/menit
15
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalisata :
Kepala
Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior
pucat (-/-), sklera ikterus (-/-)
T/H/M : DBN
Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O
Toraks
Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi dada (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 36 x/menit
Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 100x/menit
Abdomen
Inspeksi : simetris, Distensi (+)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan Mc Burney Sign (+), nyeri lepas (+), defans
musculare (+)
Perkusi : hipertimpani
Auskultasi : Peristaltik melemah
Ekstremitas
Superior :hangat, oedem (-), Tidak Ada Kelainan, TD: 100/70 mmHg
Inferior : hangat, oedem (-)
Pemeriksaan DRE:
Perineum: dalam batas normal
Mukosa: licin
Sfingter ani : ketat
16
Ampula rekti : kosong, feses (-), darah (-), lendir (-)
Hasil Laboratorium di IGD tanggal 17 April 2015
Hb 11,9 gr%
Eritrosit 4,39 x 10 /mm3
Leukosit 26.570 /mm3
Hematokrit 34,2%
PT 11,8(13,7)
APTT 21,5(32,8)
Thrombin Time 13,6(17,5)
Albumin 3,6gr%
KGD ad random 45,6 mg/dl
Ureum 20,7 mg/dl
Kreatinin 0,38 mg/dl
Na 131 mEq/L
Kalium 3,3 mEq/L
Cl 95 mEq/L
17
Hasil Foto Toraks di IGD RSUP HAM 17 April 2015
Kesimpulan: Cor dan Pulmo dalam batas normal
Hasil USG Abdomen di RS
18
Kesimpulan: Appendisitis perforasi
Diagnosis:
Diffuse peritonitis ec Susp. Appendisitis perforasi
Rencana Kerja:
Puasa
IVFD RL 20 gtt/i (micro)
Inj. Ceftriaxone 500mg/8 jam
Explorasi Laparotomy Emergency
FOLLOW UP
Tgl S O A P
Terapi Rencana
18
Apri
l
2015
Demam
(+), os
belum
buang
angin
Sens: CM
TD : 100/70
mmHg
Pols : 92 x/
menit
RR : 18
x/menit
T : febris
PD
Kepala :
mata : conj
palp. Inf
anemis (-),
sklera ikterik
(-)
Post
laparotomy
appendicec
tomy d/t
diffuse
peritonitis
ec
appendiciti
s perforasi
-Paracetamol drips
250mg/8jam
-IVFD RL 20gtt/I
(mikro)
-IVFD metronidazole
250mg/8jam
-inj. Ceftriaxon
500mg/8jam
-inj. Ranitidine
25mg/12jam
19
Abdomen :
I : Simetris,
luka op
tertutup
perban
P : Soepel
P : tympani
A :
Peristaltik
(+) N
Thorax
I : Simetris
P : SF ka = ki
P : Sonor
A : Vesikuler
Extremitas
Akral :
hangat
19
Apri
l
2015
Demam
(-)
Sens: CM
TD : 100/70
mmHg
Pols : 88 x/
menit
RR : 18
Post
laparotomy
(H1)
appendicec
tomy d/t
diffuse
- Diet minum sedikit-
sedikit,siang ganti diet
MII
-IVFD RL 20gtt/I
(mikro)
-IVFD metronidazole
20
x/menit
T : afebris
PD
Kepala :
mata : conj
palp. Inf
anemis (-),
sklera ikterik
(-)
Abdomen :
I : Simetris,
luka op
tertutup
perban
P : Soepel
P : tympani
A :
Peristaltik
(+) N
Thorax
I : Simetris
P : SF ka = ki
P : Sonor
A : Vesikuler
Extremitas
Akral :
hangat
peritonitis
ec
appendiciti
s perforasi
250mg/8jam
-inj. Ceftriaxon
500mg/8jam
-inj. Ranitidine
25mg/12jam
21
Tgl S O A P
Terapi Diagnostic
20
Apri
l
2015
Demam
(-)
Sens: CM
TD : 100/70
mmHg
Pols : 88 x/
menit
RR : 18
x/menit
T : afebris
PD
Kepala :
mata : conj
palp. Inf
anemis (-),
sklera ikterik
(-)
Abdomen :
I : Simetris,
luka op
tertutup
Post
laparotomy
(H2)
appendicec
tomy d/t
diffuse
peritonitis
ec
appendiciti
s perforasi
-diet MII
-IVFD RL 30gtt/I
(mikro)
-IVFD metronidazole
250mg/8jam
-inj. Ceftriaxon
500mg/12jam
-inj. Ranitidine
25mg/12jam
-mobilisasi duduk
-gv
22
perban, drain
(+) produksi
<50cc/24jam
P : Soepel
P : tympani
A :
Peristaltik
(+) N
Thorax
I : Simetris
P : SF ka = ki
P : Sonor
A : Vesikuler
Extremitas
Akral :
hangat
21-
23
Apri
l
2015
Demam
(-)
Sens: CM
TD : 100/70
mmHg
Pols : 92 x/
menit
RR : 18
x/menit
T : afebris
PD
Kepala :
mata : conj
palp. Inf
Post
laparotomy
(H3-H4)
appendicec
tomy d/t
diffuse
peritonitis
ec
appendiciti
s perforasi
-diet MII
-IVFD RL 30gtt/I
(mikro)
-IVFD metronidazole
250mg/8jam
-inj. Ceftriaxon
500mg/12jam
-inj. Ranitidine
25mg/12jam
-mobilisasi duduk
-gv
23
anemis (-),
sklera ikterik
(-)
Abdomen :
I : Simetris,
luka op
tertutup
perban, drain
(+) produksi
<50cc/24jam
P : Soepel
P : tympani
A :
Peristaltik
(+) N
Thorax
I : Simetris
P : SF ka = ki
P : Sonor
A : Vesikuler
Extremitas
Akral :
hangat
24
BAB 4
KESIMPULAN
Perempuan, 6 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut .
Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pertama
kali dirasakan pada ulu hati, menjalar ke kanan bawah lalu menetap ke seluruh
lapangan perut. Mual dan muntah dijumpai, dengan frekuensi 2 kali sehari, berisi
makanan yang dimakan, volume ± ¼ aqua gelas. Demam dijumpai sejak 5 hari
SMRS, bersifat naik turun, dan dapat turun dengan obat penurun panas. Menggigil
tidak dijumpai. BAK dan BAB kesan normal.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai peristaltic (+), teraba massa (-),
Mcburneney sign (+). Pada pemeriksaan darah ditemukan peningkatan leukosit.
Pada pemeriksaan foto thorax tidak tampak kelainan pada Cor dan Pulmo. Pada
pemeriksaan USG tampak Diffuse peritonitis ec Susp. Appendisitis perforasi.
Saat ini pasien didignosis dengan Post laparotomy appendicectomy d/t
diffuse peritonitis ec appendicitis perforasi dan diberi terapi :
Terapi :
- Diet M II
- IVFD RL 30gtt/I (mikro)
- IVFD metronidazole 250mg/8jam
- Inj. Ceftriaxon 500mg/12jam
25
- Inj. Ranitidine 25mg/12jam
- Mobilisasi duduk
- Gv
DAFTAR PUSTAKA
Bernard J, David B. 2006 The Appendix.Schwartz’s principles of surgery, 8th
ed.Chapter 29.New York:McGraw-Hill: p 1119-35.
Craig, S. 2014. Apedicitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview [Acessed 23rd April
2015]
F. Charles Brunicardi, Dana K. Andersen, Timothy R. Billiar, David L. Dunn,
John G. Hunter, Jeffrey B. Matthews, Raphael E. Pollock (2010) Schwartz's
Principles of Surgery, 10th edn., United State: McGraw-Hill Education.
Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
Liang, M. K., et al. The Appendix. In: Brunicardi FC,ed. Schwartz’s Principles of
Surgery, 10th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015. p. 1252.
Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
26
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
2005:1119-34
Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta:EGC, 639-645, 755-64.
Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. 2008. Bailey & Love Short Practice
of Surgery 25th edition. London : Edward Arnold Ltd, 1207-1211.
Zinner MJ, Ashley SW., 2007.Maingot's Abdominal Operations, 11th ed.
McGraw-Hill’s.
.
27