LAKAS BEDAH APENDIK

40
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Komplikasi utama pada apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi berkisar 10%sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Sjamsuhidajat et all, 2004). Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008 menunjukkan bahwa ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari 10.000 orang. Frekuensi tertinggi ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun.Angka kejadiannya lebih tinggi terjadi pada pria dibanding wanita (Sjamsuhidajat et all, 2004). Insiden appendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara kasus-kasus 1

description

laporan kasus

Transcript of LAKAS BEDAH APENDIK

Page 1: LAKAS BEDAH APENDIK

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis akut merupakan peradangan apendiks vermiformis yang

memerlukan pembedahan dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut

bagian kanan bawah. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada

pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini

mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan.

Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi

yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Komplikasi utama

pada apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi

peritonitis atau abses. Insidens perforasi berkisar 10%sampai 32%. Insidens lebih

tinggi pada anak kecil dan lansia (Sjamsuhidajat et all, 2004).

Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008

menunjukkan bahwa ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari

10.000 orang. Frekuensi tertinggi ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun.Angka

kejadiannya lebih tinggi terjadi pada pria dibanding wanita (Sjamsuhidajat et all,

2004).

Insiden appendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan

tertinggi diantara kasus-kasus kegawatan darurat, seperti juga halnya di negara

barat. Walaupun begitu diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit

ditegakkan. Pada beberapa keadaan appendicitis akut agak sulit didiagnosis,

misalnya pada fase awal dari appendisits akut gejala dan tandanya masih sangat

samar apalagi bila sudah diberi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan

teliti resiko kesalahan diagnosis pada appendicitis akut sekitar 15-20%. Bahkan

pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari

mengingat wanita terutama yang masih sangat muda sering timbul gangguan yang

mirip apendicitis akut (Lally et all, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan apendisitis

akut dapat mengakibatkan timbulnya komplikasi. Faktor-faktor tersebut dapat

1

Page 2: LAKAS BEDAH APENDIK

berasal dari pasien maupun dari tenaga medis. Faktor yang berasal dari pasien

meliputi pengetahuan & mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan

faktor keterlambatan penanganan yang berasal dari tenaga medis adalah

kesalahan diagnosis, keterlambatan merujuk ke rumah sakit, dan penundaan

tindakan bedah (Jaffe et all, 2005).

Penundaan pada pengobatan apendisitis dapat menyebabkan peningkatan

resiko perforasi 60-80% sehingga bakteri dapat meningkat sehingga menyebabkan

sepsis dan kematian. Hal yang menyebabkan sulitnya membuat diagnosis yang

tepat pada masa awal penyakit adalah karena gejala awal apendisitis pada waktu

awal tidak spesifik. Selain itu, upaya mencari diagnosis yang tepat dan rasa

keinginan menghindari apendisitis dapat menyebabkan penundaan operasi dan

meningkatkan kemungkinan perforasi dan morbiditas. Keterlambatan diagnosis

apendisitis lebih banyak terjadi pada pasien yang datang dengan keluhan sedikit

nyeri pada kuadran kanan bawah, kurangnya pemeriksaan fisik secara menyeluruh

dan pasien yang menerima analgesia narkotik. Diagnostik alat bantu yang dapat

mengurangi apendisektomi negatif dan perforasi adalah laparoskopi, sistem

penilaian, ultrasonografi dan computed tomography (Lally et all, 2004).

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari

Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan

laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian

akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada

tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendicitis acuta

merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia

(Jaffe et all, 2005).

1.2 Tujuan

Makalah ini disusun dengan harapan, setiap pembaca khususnya kalangan

medis, lebih mengetahuai tentang appendicitis.

BAB 2

2

Page 3: LAKAS BEDAH APENDIK

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan perpanjangan sekum dan berbentuk seperti cacing.

Rata-rata panjang apendiks adalah 8-10 cm (berkisar 2-20 cm). Apendiks muncul

selama bulan kelima kehamilan, dan beberapa folikel limfoid yang tersebar di

mukosa tersebut. Folikel tersebut meningkat jumlahnya ketika individu berusia 8-

20 tahun. Sebuah usus buntu yang normal terlihat di bawah ini (Craig, 2014).

Usus buntu terdapat dalam peritoneum visceral yang membentuk serosa,

dan lapisan luarnya adalah longitudinal dan berasal dari taenia coli; yang lebih

dalam, lapisan otot interior melingkar. Di bawah lapisan ini terletak lapisan

submukosa, yang berisi jaringan limfoepitelial. Mukosa terdiri dari epitel

kolumnar dengan beberapa elemen kelenjar dan sel-sel neuroendokrin argentaffin

(Craig, 2014).

Taenia coli berkumpul di daerah posteromedial dari sekum, yang

merupakan tempat dari dasar appendix. Apendiks berjalan menjadi lembaran

serosal dari peritoneum yang disebut mesoappendix, di mana program arteri

apendikular, yang berasal dari arteri ileokolika. Kadang-kadang, sebuah apendiks

arteri aksesori (berasal dari arteri cecal posterior) dapat ditemukan (Craig, 2014).

2.1.1. Vaskularisasi Apendiks

Pembuluh darah dari apendiks harus diatasi untuk menghindari perdarahan

intraoperatif. Arteri apendiks terkandung dalam lipatan mesenterika yang timbul

dari ekstensi peritoneal dari ileum terminal pada aspek medial sekum dan

Appendiks; itu adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan

bersebelahan dengan dinding apendiks. Drainase vena melalui vena ileokolika dan

vena kolik kanan ke vena portal; drainase limfatik terjadi melalui node ileokolika

sepanjang jalannya mesenterika arteri superior ke kelenjar celiac dan cisterna chili

(Craig, 2014).

2.2.2. Lokasi Apendiks

Apendiks tidak memiliki posisi tetap. Ini berasal 1,7-2,5 cm di bawah ileum

terminal, baik di lokasi dorsomedial (paling umum) dari fundus cecal, langsung di

3

Page 4: LAKAS BEDAH APENDIK

samping lubang ileum, atau sebagai pembuka berbentuk corong (2-3% dari

pasien). Apendiks memiliki lokasi retroperitoneal di 65% dari pasien dan dapat

turun ke fossa iliaka di 31%. Bahkan, banyak orang mungkin memiliki lampiran

yang terletak di ruang retroperitoneal; di panggul; atau di belakang terminal

ileum, sekum, kolon asendens, atau hati. Dengan demikian, jalannya apendiks,

posisi ujungnya, dan perbedaan dalam posisi appendix jauh berubah temuan

klinis, akuntansi untuk tanda-tanda dan gejala usus buntu spesifik (Craig, 2014).

2.2. Definisi

Apendisitis akut adalah proses peradangan akut pada apendiks fermiformis.

Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi (Craig,

2014).

2.3. Etiologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam

etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Percobaan

pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal

lumen apendiks dapat menyebabkan apendisitis. Pada keadaan klinis, faktor

obstruksi ditemukan dalam 60 - 70 % kasus. Sekitar 60% obstruksi disebabkan

oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%

disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain (Bernard dan David, 2006).

Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasit seperti Entamoeba

histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan

erosi membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba

histolytica berkembang di kripte glandula intestinal. Selama infasi pada lapisan

mukosa, parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis

mukosa sebagai pencetus terjadinya ulkus (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004).

Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Beberapa keadaan

yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi adalah: akumulasi dan peningkatan

tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks, obstruksi vena dan

4

Page 5: LAKAS BEDAH APENDIK

arteri, yang akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan

invasi bakteri (Bernard dan David, 2006).

2.4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Schwartz, 2010).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian

proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks

yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri.

Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin

lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks

terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks

normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2010).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami

hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi

memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah

intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Schwartz, 2010).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat

menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis supuratif akut (Schwartz, 2010).

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang

diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila

dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforate (Schwartz,

2010).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan

akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut

5

Page 6: LAKAS BEDAH APENDIK

infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau

menghilang (Schwartz, 2010).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di

mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam

pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang

melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa.

Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis

jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses,

apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan

selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Schwartz, 2010).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek,

apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang

masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan

pembuluh darah (Schwartz, 2010).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi

membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah.

Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami

eksaserbasi akut (Schwartz, 2010).

2.5. Gejala Klinis

Gejala klasik apendisitis akut dimulai dengan sakit perut kolik yang difus. Hal

ini disebabkan terangsangnya mid-gut visceral sebagai respon terhadap

peradangan usus buntu dan obstruksi. Rasa sakit ini sering pertama kali di region

peri-umbilikal, mirip tapi kurang intens dari kolik obstruksi usus halus. Nyeri

abdomen sentral berhubungan dengan anoreksia, mual dan biasanya satu atau dua

episode muntah yang mengikuti timbulnya nyeri (Murphy). Anoreksia merupakan

gejala yang penting terutama ada anak. Pasien sering memberikan riwayat

ketidaknyamanan serupa yang menetap secara spontan. Sebuah riwayat keluarga

juga berguna hingga sepertiga dari anak-anak dengan usus buntu memiliki kerabat

tingkat pertama dengan riwayat yang sama (Williams, 2008).

6

Page 7: LAKAS BEDAH APENDIK

Gejala berurutan nyeri visceral-somatik klasik terdapat hanya pada sekitar

setengah dari pasien kemudian terbukti memiliki apendisitis akut. Presentasi

atipikal termasuk nyeri yang terutama somatik atau visceral dan difus. Nyeri

atipikal lebih sering terjadi pada orang tua, di antaranya lokalisasi ke iliaka kanan

fossa jarang. Inflamasi apendiks di panggul tidak pernah dapat menghasilkan

nyeri somatik yang melibatkan dinding perut anterior, tetapi dapat menyebabkan

ketidaknyamanan suprapubik dan tenesmus. Dalam hal ini, nyeri dapat timbul

hanya pada pemeriksaan rektal dan merupakan dasar untuk rekomendasi bahwa

pemeriksaan dubur harus dilakukan pada setiap pasien yang datang dengan nyeri

akut perut bawah (Williams, 2008).

Selama 6 jam pertama, jarang ada perubahan dalam suhu atau denyut nadi.

Setelah waktu itu, sedikit demam (37.2-37.7 ° C) dengan peningkatan yang sesuai

dalam denyut nadi 80 atau 90 adalah biasa. Namun, dalam 20% dari pasien, tidak

ada demam atau takikardia pada tahap awal. Pada anak-anak, suhu lebih dari 38,5

° C menunjukkan penyebab lain, misalnya adenitis mesenterika. (Williams, 2008)

Biasanya, dua sindrom klinis apendisitis akut dapat dilihat, catarrhal akut

(non-obstruktif) apendisitis dan apendisitis akut obstruktif. Yang terakhir ini

ditandai dengan banyak gejala akut. Timbulnya gejala adalah tiba-tiba, dan dapat

disertai nyeri seluruh perut dari awal. Temperatur mungkin normal dan muntah

adalah umum, sehingga klinis gejala dapat meniru obstruksi usus akut. Intervensi

bedah emergensi diperlukan karena cepatnya progresivitas menjadi perforasi.

(Williams, 2008)

Diagnosis apendisitis terletak lebih kepada pemeriksaan klinis menyeluruh

perut dari pada anamnesis atau penyelidikan laboratorium. Fitur utama adalah

pasien sehat dengan demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri perut terlokalisasi,

penjagaan otot perut dan nyeri alih. Pemeriksaan perut dapat menunjukkan

keterbatasan gerakan pernapasan dalam perut bagian bawah. Pasien kemudian

diminta untuk menentukan titik di mana nyeri mulai dan di mana ia pindah

(pointing sign). Palpasi abdomen dengan lembut, dimulai pada fossa iliaka kiri,

bergerak berlawanan arah jarum jam ke fosa iliaka kanan akan mendeteksi titik

7

Page 8: LAKAS BEDAH APENDIK

nyeri, titik McBurney. Meminta pasien batuk atau perkusi lembut diatas lokasi

paling nyeri akan menimbulkan nyeri Rebound. (Williams, 2008)

Palpasi dalam pada fossa iliaka kiri dapat menyebabkan rasa sakit di sebelah

kanan fossa iliaka, disebut tanda Rovsing, yang sangat membantu dalam

mendukung klinis diagnosis apendisitis. Kadang-kadang, apendiks yang meradang

memberiikan gejala pada pada otot psoas, dan pasien, seringnya orang dewasa

muda, akan mengatakan bahwa dengan pinggul kanan tertekuk untuk

menghilangkan rasa sakit (tanda psoas). Spasme pada internus obturator kadang

dibuktikan ketika pinggul tertekuk dan diputar secara internal. Jika apendiks

meradang bersentuhan dengan internus obturator, manuver ini akan menimbulkan

rasa sakit di hypogastrium (obturator test; Zachary Cope). Hyperaesthesia kulit

mungkin dibuktikan di fossa iliaka kanan, tapi jarang sebagai nilai diagnostik

(Williams, 2008).

2.6. Gambaran Klinis Khusus Terkait Posisi Apendiks

2.6.1. Retrocaecal

Kekakuan pada perut jarang terjadi, dan bahkan aplikasi tekanan dalam

mungkin gagal untuk mendapatkan nyeri tekan (silent apendiks), alasannya karena

bahwa sekum, distensi dengan adanya gas, mencegah tekanan yang diberikan

oleh tangan untuk mencapai struktur meradang. Namun, nyeri dalam sering

terdapat di pinggang, dan kekakuan kuadratus lumborum mungkin menjadi bukti.

Psoas yang kaku, karena apendiks yang meradang kontak dengan otot yang,

mungkin cukup menyebabkan fleksi pada sendi panggul. Hiperekstensi sendi

panggul dapat menyebabkan sakit perut ketika derajat spasme pada psoas tidak

cukup untuk menyebabkan fleksi pinggul (Williams, 2008).

2.6.2. Pelvis

Kadang-kadang, diare terjadi sebagai akibat apendiks yang meradang kontak

dengan rektum. Ketika apendiks terletak sepenuhnya dalam panggul, biasanya

tidak terdapat rigiditas perut, dan sering nyeri tekan di atas titik McBurney juga

kurang. Dalam beberapa kasus, nyeri tekan dalam dapat dibuat tepat di atas dan di

sebelah kanan simfisis pubis. Pada pemeriksaan colok dubur membuktikan nyeri

8

Page 9: LAKAS BEDAH APENDIK

tekan di kantong rectovesical atau kavum Douglas, terutama di sisi kanan. Spasme

pada psoas dan otot obturator internus dapat hadir saat apendiks berada di posisi

ini. Apendiks yang meradang yang kontak dengan kandung kemih dapat

menyebabkan frekuensi berkemih. Ini lebih sering terjadi pada anak (Williams,

2008).

2.6.3. Postileal

Dalam hal ini, apendiks yang meradang terletak di belakang ileum terminal.

Hal ini memberikan kesulitan terbesar dalam diagnosis karena nyeri mungkin

tidak ada, diare adalah fitur dan muntah-muntah mungkin terjadi. Nyeri tekan, jika

ada, tidak jelas, meskipun itu mungkin hadir langsung di sebelah kanan umbilikus.

(Williams, 2008)

2.7. Gambaran klinis terkait usia

2.7.1. Infant

Apendisitis relatif jarang terjadi pada bayi di bawah usia 36 bulan dan untuk

alasan yang jelas, pasien tidak mampu untuk menceritakan perjalanan penyakit.

Karena itu, diagnosis sering tertunda, dan dengan demikian insiden perforasi dan

morbiditas pasca operasi jauh lebih tinggi dibandingkan anak yang lebih tua.

Peritonitis difus dapat berkembang dengan cepat karena belum berkembangnya

omentum, yang tidak mampu memberikan banyak bantuan dalam melokalisir

infeksi (Williams, 2008).

2.7.2. Anak-anak

Sangat jarang untuk menemukan seorang anak dengan usus buntu yang tidak

muntah. Anak-anak dengan usus buntu biasanya memiliki keengganan penuh

untuk makanan. (Williams, 2008)

2.7.3. Usia tua

Gangren dan perforasi terjadi lebih sering pada pasien lansia. Pasien tua

dengan dinding perut longgar atau obesitas mungkin memiliki apendiks yang

gangren dengan sedikit bukti itu, dan gambaran klinis dapat mensimulasikan

obstruksi usus subakut. Fitur-fitur ini, ditambah dengan kondisi medis coincident,

9

Page 10: LAKAS BEDAH APENDIK

menghasilkan kematian yang jauh lebih tinggi untuk akut apendisitis pada usia

lansia (Williams, 2008).

tas dapat mengaburkan dan menghilangkan semua tanda-tanda lokal akut

apendisitis. Keterlambatan diagnosis, ditambah dengan kesulitan teknis beroperasi

di obesitas, membuatnya lebih bijaksana untuk mempertimbangkan operasi

melalui sayatan perut pada garis midline. Laparoscopy sangat berguna dalam

obesitas karena dapat menghindari kebutuhan untuk sayatan perut yang besar

(Williams, 2008).

2.7.4. Ibu Hamil

Apendisitis merupakan kondisi ekstrauterin akut abdomen yang sering terjadi

pada kehamilan, dengan frekuensi 1: 1500-2000 kehamilan. Diagnosis rumit oleh

keterlambatan adanya gejala klinis non-spesifik yang sering dikaitkan dengan

kehamilan. Sekum dan apendiks semakin didorong ke kuadran kanan atas perut

sejalan dengan kehamilan berkembang selama trimester kedua dan ketiga. Namun,

rasa sakit di kuadran kanan bawah perut tetap fitur utama dari apendisitis pada

kehamilan. Kematian janin terjadi pada 3-5% kasus, meningkat menjadi 20% jika

perforasi ditemukan pada operasi. (Williams, 2008)

2.8. Pemeriksaan

Diagnosis apendisitis akut pada dasarnya klinis; namun, keputusan untuk

operasi berdasarkan kecurigaan klinis saja bisa mengarah pada pengangkatan

apendiks normal pada 15-30% kasus. Premis yang lebih baik untuk mengangkat

apendiks normal daripada untuk menunda diagnosis tidak menutup terhadap

pengawasan, terutama pada orang tua. Sejumlah skor klinis dan laboratorium

berbasis sistem telah dirancang untuk membantu diagnosis. Yang paling banyak

digunakan adalah skor Alvarado. Skor 7 atau lebih adalah sangat prediktif

apendisitis akut (Williams, 2008).

Pada pasien dengan skor samar-samar (5-6), USG abdomen atau CT scan

dengan kontras dilakukan lebih lanjut untuk mengurangi tingkat apendektomi

negatif. Pemeriksaan USG abdomen lebih berguna pada anak-anak dan orang

dewasa kurus, terutama jika patologi ginekologi diduga, dengan akurasi

10

Page 11: LAKAS BEDAH APENDIK

diagnostic lebih dari 90%. CT scan dengan kontras yang paling berguna pada

pasien yang memiliki ketidakpastian diagnostik, terutama pasien yang lebih tua,

dengan kecurigaan diverticulitis akut, obstruksi usus dan neoplasma adalah

kemungkinan diagnosa banding. Penggunaan selektif CT scan mungkin

mengurangi biaya-efektif baik apendektomi negatif dan lama rawat di rumah sakit

(Williams, 2008).

2.9. Komplikasi

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakukan

penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya

diawali dengan adanya massa periapendikuler terlebih dahulu. Massa

periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk

usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh

setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan

penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga massa

periapendikuler ini adalah target dari operasi apendektomi.

Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis

karena selain angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin

kompleks. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai nyeri

hebat seluruh perut, demam tinggi, dan gejala kembung pada perut. Bising usus

dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang terjadi. Pus

yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling umum dijumpai

pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi

berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada.

Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparoskopi

sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah (Sjamsuhidayat, 2004).

2.10. Prognosis

11

Page 12: LAKAS BEDAH APENDIK

Apendisitis akut merupakan indikasi terbanyak pembedahan abdomen

emergensi. Komplikasi apendektomi berkisar antara 4-15%, berkaitan dengan

nyeri pasca operasi dan biaya perawatan. Sasaran utama adalah membuat

diagnosis yang akurat secepat mungkin. Keterlambatan diagnosis meningkatkan

morbiditas dan mortalitas apendisitis.

Mortalitas berkisar 0,2-0,8%. Mortalitas pada anak berkisar 0,1-1%. Pada

orang tua, mortalitas meningkat hingga 20% akibat keterlambatan diagnosis dan

terapi. Perforasi apendisitis berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Mortalitas

apendisitis akut non gangren kurang dari 0,1% namun meningkat hingga 0,6%

pada apendisitis dengan gangren. Perforasi berkisar antara 16-40% dengan

frekuensi lebih sering apada usia muda dan usia di atas 50 tahun (55-70%). Infeksi

pasca operasi merupakan sepertiga penyebab morbiditas apendisitis (Brenner,

2014).

2.11. Tatalaksana

2.11.1. Manajemen non-operatif

Penelitian yang dilakukan oleh Eriksson dan kolega menunjukkan tingginya

angka rekurensi apendisitis jika diobati hanya dengan antibiotic, tanpa dilakukan

operasi. Delapan dari 20 pasien (40%) dalam grup antibiotic membutuhkan

apendiktomi dalam waktu 1 tahun, 1 pasien mengalami perforasi dalam waktu 12

jam randomisasi, dan 7 lainnya mengalami apendisitis rekuren (1 diantaranya

mengalami perforasi). Karena tingginya angka kegagalan dengan hanya

menggunakan antibiotic, manajemen non-operatif pada apendisitis akut tidak

direkomendasikan. Pengobatan dengan antibiotic dapat berguna untuk sementara

waktu, akan tetapi dapat diberika dalam keadaan tanpa ada dokter yang mampu

melakukan operasi missal sedang melakukan perjalanan luar angkasa atau bawah

laut. (Zinner & Ashley, 2007)

2.11.2. Persiapan Preoperasi

Ketika keputusan untuk melakukan apendiktomi untuk apendisitis akut telah

ditetapkan, pasien harus diproses ke ruang operasi untuk meminimalkan

kesempatan progresi menjadi perforasi. Pasien dengan apensitis dapat mengalami

12

Page 13: LAKAS BEDAH APENDIK

dehidrasi karena demam dan kurangnya asupan oral, sehingga pemberian cairan

intravena harus dimulai, dan nadi, tekanan darah, dan pengeluaran urin harus

dimonitor dengan ketat. Pasien dengan tanda-tanda dehidrasi yang nyata

memerlukan pemasangan Foley Cathether untuk memastikan pengeluaran urin

yang adekuat. Abnromalitas elektrolit tidak jarang ditemukan pada apendisitis

nonperforasi, di mana muntah dan demam telah muncul selama 24 jam atau

kurang, namun dapat signifikan pada beberapa kasus perforasi. Defisiensi

elektrolit harus dikoreksi sebelum induksi anestesi umum. (Zinner & Ashley,

2007)

Antibiotic intravena menunjukkan pengurangan signifikan insiden infeksi

luka post-perasi dan abses intra-abdomen. Antibiotik harus diberikan 30 menit

sebelum insisi untuk mencapai kadar jaringan yang adekuat. Flora tipikal untuk

apendiks mirip bakteri yang berada di kolon dan termasuk bakteri aerob gram

negative (khususnya Escherichia coli) dan anaerob (Bacteroides spp). Tidak ada

regimen antibiotic standar. Pilihan yang dapat diterima termasuk cephalopsporin

generasi II atau kombinasi antibiotic yang menyerang kuman gram negative dan

anaerob. Pada apendisitis non-perforasi, dosis preoperative tunggal cefoxitin

cukup. Pada kasus perforasi, perpanjangan pemberian antibiotic setidaknya

selama 5 hari disarankan. (Zinner & Ashley, 2007).

2.11.3. Open versus Laparoscopic Appendectomy

Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan, dokter bedah kemudian memilih

untuk melakukan open (OA) atau laparoscopic (LA) appendectomy. Kelebihan

open (OA) dan laparoscopic (LA) appendectomy. (Zinner & Ashley, 2007)

Tabel. 2. 1. Open versus Laparoscopic Appendectomy

Kelebihan Laparascopy Kelebihan Open

Diagnosis kondisi lain

Mengurangi rasa nyeri dan kebutuhan

penggunaan narkotik

Waktu operasi lebih singkat

Mengurangi lama rawatan Biaya operasi lebih murah

13

Page 14: LAKAS BEDAH APENDIK

Risiko Infeksi luka operasi berkurang Abses intraabdomen lebih jarang

Lebih cepat kembali ke aktivitas

sebelumnya

Biaya rawatan rumah sakit lebih murah

Biaya hidup bermasyarakat setelah

rawatan berkurang

Sumber : Zinner MJ, Ashley SW. Maingot's Abdominal Operations, 11th ed.

McGraw-Hill’s. 2007

Jika appendicitis tidak dijumpai saat dilakukan tindakan operasi, pencarian

perlu dilakukan untuk membuat diagnosis alternative. Sekum dan mesenterium

harus diinspeksi. Usus halus dievaluasi dengan cara retrograd mulai dari katup

ileosekal. Perhatikan adanya penyakit Chron atau Meckel’s Diverticulum. Jika

pasien wanita, organ reporoduksi harus diinspeksi. Jika cairan purulen atau bilious

ditemukan, sumber harus dicari. (Liang et al, 2015)

14

Page 15: LAKAS BEDAH APENDIK

BAB 3

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : DAH

Gender : Perempuan

Umur : 6 tahun

MR : 00.63.97.00

Ruangan : RB2A 3.1.

Tanggal masuk : 17 April 2015

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri seluruh lapangan perut

Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah

sakit. Nyeri pertama kali dirasakan pada ulu hati, menjalar ke kanan bawah lalu

menetap ke seluruh lapangan perut. Mual dan muntah dijumpai, dengan frekuensi

2 kali sehari, berisi makanan yang dimakan, volume ± ¼ aqua gelas. Demam

dijumpai sejak 5 hari SMRS, bersifat naik turun, dan dapat turun dengan obat

penurun panas. Menggigil tidak dijumpai. BAK dan BAB kesan normal.

RPT : -

RPO : Tidak jelas

III. STATUS PRESENS

Sensorium : Compos Mentis

Temperature : 37,3 oC

Nadi : 100x/menit

Pernafasan : 36x/menit

15

Page 16: LAKAS BEDAH APENDIK

IV. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalisata :

Kepala

Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior

pucat (-/-), sklera ikterus (-/-)

T/H/M : DBN

Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O

Toraks

Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi dada (-)

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 36 x/menit

Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 100x/menit

Abdomen

Inspeksi : simetris, Distensi (+)

Palpasi : Soepel, nyeri tekan Mc Burney Sign (+), nyeri lepas (+), defans

musculare (+)

Perkusi : hipertimpani

Auskultasi : Peristaltik melemah

Ekstremitas

Superior :hangat, oedem (-), Tidak Ada Kelainan, TD: 100/70 mmHg

Inferior : hangat, oedem (-)

Pemeriksaan DRE:

Perineum: dalam batas normal

Mukosa: licin

Sfingter ani : ketat

16

Page 17: LAKAS BEDAH APENDIK

Ampula rekti : kosong, feses (-), darah (-), lendir (-)

Hasil Laboratorium di IGD tanggal 17 April 2015

Hb 11,9 gr%

Eritrosit 4,39 x 10 /mm3

Leukosit 26.570 /mm3

Hematokrit 34,2%

PT 11,8(13,7)

APTT 21,5(32,8)

Thrombin Time 13,6(17,5)

Albumin 3,6gr%

KGD ad random 45,6 mg/dl

Ureum 20,7 mg/dl

Kreatinin 0,38 mg/dl

Na 131 mEq/L

Kalium 3,3 mEq/L

Cl 95 mEq/L

17

Page 18: LAKAS BEDAH APENDIK

Hasil Foto Toraks di IGD RSUP HAM 17 April 2015

Kesimpulan: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Hasil USG Abdomen di RS

18

Page 19: LAKAS BEDAH APENDIK

Kesimpulan: Appendisitis perforasi

Diagnosis:

Diffuse peritonitis ec Susp. Appendisitis perforasi

Rencana Kerja:

Puasa

IVFD RL 20 gtt/i (micro)

Inj. Ceftriaxone 500mg/8 jam

Explorasi Laparotomy Emergency

FOLLOW UP

Tgl S O A P

Terapi Rencana

18

Apri

l

2015

Demam

(+), os

belum

buang

angin

Sens: CM

TD : 100/70

mmHg

Pols : 92 x/

menit

RR : 18

x/menit

T : febris

PD

Kepala :

mata : conj

palp. Inf

anemis (-),

sklera ikterik

(-)

Post

laparotomy

appendicec

tomy d/t

diffuse

peritonitis

ec

appendiciti

s perforasi

-Paracetamol drips

250mg/8jam

-IVFD RL 20gtt/I

(mikro)

-IVFD metronidazole

250mg/8jam

-inj. Ceftriaxon

500mg/8jam

-inj. Ranitidine

25mg/12jam

19

Page 20: LAKAS BEDAH APENDIK

Abdomen :

I : Simetris,

luka op

tertutup

perban

P : Soepel

P : tympani

A :

Peristaltik

(+) N

Thorax

I : Simetris

P : SF ka = ki

P : Sonor

A : Vesikuler

Extremitas

Akral :

hangat

19

Apri

l

2015

Demam

(-)

Sens: CM

TD : 100/70

mmHg

Pols : 88 x/

menit

RR : 18

Post

laparotomy

(H1)

appendicec

tomy d/t

diffuse

- Diet minum sedikit-

sedikit,siang ganti diet

MII

-IVFD RL 20gtt/I

(mikro)

-IVFD metronidazole

20

Page 21: LAKAS BEDAH APENDIK

x/menit

T : afebris

PD

Kepala :

mata : conj

palp. Inf

anemis (-),

sklera ikterik

(-)

Abdomen :

I : Simetris,

luka op

tertutup

perban

P : Soepel

P : tympani

A :

Peristaltik

(+) N

Thorax

I : Simetris

P : SF ka = ki

P : Sonor

A : Vesikuler

Extremitas

Akral :

hangat

peritonitis

ec

appendiciti

s perforasi

250mg/8jam

-inj. Ceftriaxon

500mg/8jam

-inj. Ranitidine

25mg/12jam

21

Page 22: LAKAS BEDAH APENDIK

Tgl S O A P

Terapi Diagnostic

20

Apri

l

2015

Demam

(-)

Sens: CM

TD : 100/70

mmHg

Pols : 88 x/

menit

RR : 18

x/menit

T : afebris

PD

Kepala :

mata : conj

palp. Inf

anemis (-),

sklera ikterik

(-)

Abdomen :

I : Simetris,

luka op

tertutup

Post

laparotomy

(H2)

appendicec

tomy d/t

diffuse

peritonitis

ec

appendiciti

s perforasi

-diet MII

-IVFD RL 30gtt/I

(mikro)

-IVFD metronidazole

250mg/8jam

-inj. Ceftriaxon

500mg/12jam

-inj. Ranitidine

25mg/12jam

-mobilisasi duduk

-gv

22

Page 23: LAKAS BEDAH APENDIK

perban, drain

(+) produksi

<50cc/24jam

P : Soepel

P : tympani

A :

Peristaltik

(+) N

Thorax

I : Simetris

P : SF ka = ki

P : Sonor

A : Vesikuler

Extremitas

Akral :

hangat

21-

23

Apri

l

2015

Demam

(-)

Sens: CM

TD : 100/70

mmHg

Pols : 92 x/

menit

RR : 18

x/menit

T : afebris

PD

Kepala :

mata : conj

palp. Inf

Post

laparotomy

(H3-H4)

appendicec

tomy d/t

diffuse

peritonitis

ec

appendiciti

s perforasi

-diet MII

-IVFD RL 30gtt/I

(mikro)

-IVFD metronidazole

250mg/8jam

-inj. Ceftriaxon

500mg/12jam

-inj. Ranitidine

25mg/12jam

-mobilisasi duduk

-gv

23

Page 24: LAKAS BEDAH APENDIK

anemis (-),

sklera ikterik

(-)

Abdomen :

I : Simetris,

luka op

tertutup

perban, drain

(+) produksi

<50cc/24jam

P : Soepel

P : tympani

A :

Peristaltik

(+) N

Thorax

I : Simetris

P : SF ka = ki

P : Sonor

A : Vesikuler

Extremitas

Akral :

hangat

24

Page 25: LAKAS BEDAH APENDIK

BAB 4

KESIMPULAN

Perempuan, 6 tahun datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut .

Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pertama

kali dirasakan pada ulu hati, menjalar ke kanan bawah lalu menetap ke seluruh

lapangan perut. Mual dan muntah dijumpai, dengan frekuensi 2 kali sehari, berisi

makanan yang dimakan, volume ± ¼ aqua gelas. Demam dijumpai sejak 5 hari

SMRS, bersifat naik turun, dan dapat turun dengan obat penurun panas. Menggigil

tidak dijumpai. BAK dan BAB kesan normal.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai peristaltic (+), teraba massa (-),

Mcburneney sign (+). Pada pemeriksaan darah ditemukan peningkatan leukosit.

Pada pemeriksaan foto thorax tidak tampak kelainan pada Cor dan Pulmo. Pada

pemeriksaan USG tampak Diffuse peritonitis ec Susp. Appendisitis perforasi.

Saat ini pasien didignosis dengan Post laparotomy appendicectomy d/t

diffuse peritonitis ec appendicitis perforasi dan diberi terapi :

Terapi :

- Diet M II

- IVFD RL 30gtt/I (mikro)

- IVFD metronidazole 250mg/8jam

- Inj. Ceftriaxon 500mg/12jam

25

Page 26: LAKAS BEDAH APENDIK

- Inj. Ranitidine 25mg/12jam

- Mobilisasi duduk

- Gv

DAFTAR PUSTAKA

Bernard J, David B. 2006 The Appendix.Schwartz’s principles of surgery, 8th

ed.Chapter 29.New York:McGraw-Hill: p 1119-35.

Craig, S. 2014. Apedicitis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview [Acessed 23rd April

2015]

F. Charles Brunicardi, Dana K. Andersen, Timothy R. Billiar, David L. Dunn,

John G. Hunter, Jeffrey B. Matthews, Raphael E. Pollock (2010) Schwartz's

Principles of Surgery, 10th edn., United State: McGraw-Hill Education.

Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th

edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.

Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

Liang, M. K., et al. The Appendix. In: Brunicardi FC,ed. Schwartz’s Principles of

Surgery, 10th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015. p. 1252.

Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery

Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn

26

Page 27: LAKAS BEDAH APENDIK

DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.

2005:1119-34

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.

Jakarta:EGC, 639-645, 755-64.

Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. 2008. Bailey & Love Short Practice

of Surgery 25th edition. London : Edward Arnold Ltd, 1207-1211.

Zinner MJ, Ashley SW., 2007.Maingot's Abdominal Operations, 11th ed.

McGraw-Hill’s.

.

27