KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN...

107
KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan. (S.Pd) Oleh: Ridwan Darmawan NIM. 1113011000052 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

Transcript of KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN...

  • KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF

    AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

    Sarjana Pendidikan. (S.Pd)

    Oleh:

    Ridwan Darmawan

    NIM. 1113011000052

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2019 M/1440 H

  • KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-

    QUR’AN

    (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

    Sarjana Pendidikan. (S.Pd)

    Oleh:

    Ridwan Darmawan

    NIM. 1113011000052

    Dibawah Bimbingan

    Dosem Pembimbing Skripsi

    Drs. Abdul Haris, M.Ag.

    NIP. 19660901 199503 1 001

    JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2019 M/1440 H

  • LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

    Skripsi Berjuduul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian

    Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)” disusun oleh Ridwan Darmawan, NIM.

    1113011000052, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

    Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui

    bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan berhak untuk diujikan pada

    siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.

    Jakarta, 25 Juni 2019

    Yang Mengesahkan

    Pembimbing

    Drs. Abdul Haris, M.Ag.

    NIP. 196609011995031005

  • LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran

    (Kajian Tafsir Al-Quran Surat Al-Kahfi Ayat 65)” oleh Ridwan Darmawan

    dengan NIM 1113011000052 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas

    Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta pada tanggal 25 Juli 2019 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah

    diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S1 Pendidikan (S.Pd.)

    dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

    Jakarta, 25 Juli 2019

    Panitia Ujian Munaqasah

    Tanggal Tanda Tangan

    Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)

    Drs. Abdul Haris, M.Ag.

    NIP. 19660901 199503 1 001 ………….. ……………..

    Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Program Studi)

    Drs. Rusdi Jamil, M.Ag.

    NIP. 19621231 199503 1 005 ………….. ……………..

    Penguji 1

    Drs. H Achmad Gholib, M.Ag.

    NIP. 19541015 197902 1 001 ………….. ……………..

    Penguji 2

    Yudhi Munadi, M.Ag.

    NIP. 19701203 199803 1 003 ………….. ……………..

    Mengetahui:

    Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Dr. Sururin, M.Ag.

    NIP. 19710319 199803 2 001

  • LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

  • i

    ABSTRAK

    Ridwan Darmawan (1113011000052) Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif

    Al-Quran (Kajian Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65) Skripsi untuk Jurusan

    Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tar2biyah dan Keguruan,

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep ilmu

    ladunni menurut pandangan Al-Quran pada kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65 serta

    mengetahui bagaimana seseorang dapat mengusahakan untuk mendapatkan ilmu

    tersebut.

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif

    melalui kajian studi kepustakaan (library research). Dengan cara mengumpulkan

    data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan

    permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian

    dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang

    dilakukan dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat

    yang ditafsirkan dan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung di

    dalamnya. Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan sumber utama

    kitab tafsir, di antaranya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Mafatih al-

    Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan Al-Bahr Al-Madid karya Ibnu ‘Ajibah al-

    Hasani.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memperoleh kesimpulan bahwa

    ilmu ladunni adalah ilmu yang dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal

    tersebut didapatkan setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan

    kotoran serta meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses

    penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah ke hadirat-

    Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-rahasia rabbaniyah.

    Usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh ilmu tersebut yaitu: Meluruskan

    niat untuk mencari ilmu; Meneguhkan tujuan untuk mencari ilmu; Memiliki

    prasyarat berupa penguasaan ilmu syariat; Menaati perintah Allah dan menjauhi

    larangan-Nya; Melakukan mujahadah riyadhah; Memiliki adab yang baik kepada

    guru (tawadhu, memuliakan guru, dan lemah lembut); Berkhidmah kepada guru.

    Kata kunci: Nilai; Ilmu; Ladunni; Surah al-Kahfi; ayat 65

  • ii

    ABSTRACT

    Ridwan Darmawan (1113011000052) the concept of Ladunni knowledge

    according to the viewpoint of the Quran (on the commentary study of Surah

    Al-Kahf verse 65) Undergraduate Thesis for the Department of Islamic

    Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Islamic State

    University Syarif Hidayatullah Jakarta

    The purposes of this research are to discover the concept of Ladunni

    knowledge according to the viewpoint of the Quran on the commentary study of

    Surah Al-Kahf verse 65 and to find out on how a certain person attempted to obtain

    the knowledge.

    In this research the writer used a qualitative approach through library

    research. By collecting datas or materials related to the discussion of the problem,

    which taken from library sources, subsequently analyzed in the method of tahlili,

    i.e. the method of translating verses from the Quran which is done by explaining all

    aspects that contained in verses that are interpreted and described the elucidations

    of its meaning. To support this research, the writer uses some sources of

    commentary books, amongst them are Almishbah by M Quraish Shihab, Mafatih

    al-Ghaib by Fakruddin al-Razi, and Al-Bahr Al-Madid by Ibn ‘Ajibah al-Hasani.

    As an outcomes of this research, the writer obtained that Ladunni

    knowledge is a knowledge that is bestowed on the heart without the learning

    process. This is obtained after going through the stages of spiritual sanctification

    from neglect and filth and negating the need and concern besides Allah. When the

    process of sanctification of mind has been perfect, a servant will be brought by God

    to His presence and bestowed upon him the knowledge of Ladunni and the secrets

    of rabbaniyah. Some efforts to obtain this knowledge, i.e. : Reinforce the intention

    of seeking knowledge; Affirming the purpose of seeking knowledge; Having a

    prerequisite in the form of mastering the knowledge of Shari'a; Obeying God's

    commands and staying away from His prohibitions; Doing the riyadhah mujahadah;

    Having a good attitude to the teacher (tawadhu, honoring the teacher, and being

    gentle); dedicating to the teacher.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    ِ مِ يِ حِ الرِ ِنِ حِ الرِ ِللاِ ِمِ سِ بِ

    ِهِ اتِ كِ ر ِب ِوِ ِللاِ ِةِ ح ِ ر ِوِ ِمِ كِ ي ِلِ عِ ِمِ ل ِالسِ ِوِ نِ سِ فِ ن ِ أ ِِرِ و ِرِ شِ ِنِ مِ ِهللِ بِ ِذِ وِ عِ ن ِوِ ِهِ يِ دِ هِ ت ِ سِ ن ِوِ ِه ِر ِفِ غِ ت ِ سِ ن ِوِ ِهِ نِ ي ِ عِ تِ سِ ن ِوِ ِهِ دِ مِ ن ِ هللِِ ِدِ مِ الِ ِنِ إِ ِنِ مِ ا

    ِل ِإ ِِلهِ ِإِ ل ِِِنِ أ ِِدِ هِ شِ .ِأِ هِ ل ِِيِ ادِ ِهِ ل ِفِ ِلِ لِ ضِ ي ِِنِ مِ وِ ِهِ ل ِِلِ ضِ ِمِ ل ِفِ ِللاِ ِِهِ دِ هِ ي ِ ِنِ ا,ِمِ نِ الِ مِ عِ أ ِِاتِ ئ ِي ِ سِ ِِِِمِ هِ .ِاللِ هِ ل ِوِ سِ ر ِوِ ِِهِ دِ بِ اِعِ دِ مِ م ِ ِِنِ أ ِِِدِ هِ شِ أ ِوِ ِِهِ ل ِِِكِ ي ِرِ ِشِ ل ِِِهِ دِ حِ للاِوِ ِِنِ دِ ي ِ ىِسِ لِ عِ ِِكِ رِ بِ وِ ِِمِ ل ِ سِ وِ ص ل

    ِىِدِ تِ اهِ ِنِ مِ وِ ِهِ ابِ حِ صِ أ ِوِ ِهِ ىِآلِ لِ عِ وِ ِدِ مِ م ِ اه ِإ َل ِالق ي ام ةِ ِب د ِي و م

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah

    melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta menganugerahkan nikmat sehat

    kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan

    semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.

    Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi

    Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik, berserta keluarga, para sahabat dan

    para pengikutnya hingga akhir zaman.

    Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak

    sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat do’a, perjuangan,

    kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai

    pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh karena ini, dengan

    segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

    kepada:

    1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Drs. Abdul Haris, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

    dan selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian telah

    memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu pengetahuan

    kepada penulis. Kebaikan Bapak dalam segala hal akan selalu terkenang

  • iv

    bagi diri penulis. Semoga keberkahan hidup senantiasa mengiringi, dan

    senantiasa berada dalam lindungan Allah.

    4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

    Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah

    yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya.

    5. Dr. Dimyati, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan

    penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi

    serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.

    6. Kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda Susanto dan ibunda Sri

    Nurhayati yang telah merawat dengan penuh kasih sayang, yang

    berjuang untuk memberikan pendidikan tinggi kepada putranya,

    mendidik dengan sabar, tulus dan ikhlas, serta memotivasi dan

    mendo’akan penulis dalam setiap langkahnya.

    7. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu

    namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis,

    yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan membimbing penulis

    selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu

    Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta. Semoga Ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan

    mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.

    8. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Bu Isti selaku Staff

    Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah yag telah

    memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

    9. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ilmu

    Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, yang telah membantu

    penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang

    penulis butuhkan.

    10. Kedua adik tercinta, Dinda Aulia Putri dan Raihan Gilang Pamungkas,

    yang telah mendukung penulis, tempat bertukar pikiran, memberikan

    canda dan tawa yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam

    menyelesaikan penulisan ini.

    11. Penyemangat terdekat Afif Faizin dan Safitri Era Globalisasi yang selalu

    memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus

    berjuang menempuh pendidikan hingga terselesaikan penulisan ini.

    12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam Angkatan

    2013, terutama kelas B “CABHE” semoga keberkahan dan kesuksesan

    selalu menyertai kalian semuanya. Terima kasih telah menjadi teman,

    sahabat, saudara, sekaligus keluarga yang selalu ada untuk menjadi

    tempat bertukar pikiran dan bantuan dalam penulisan ini. Semoga Allah

    Swt. membalas kebaikan kalian semuanya.

    13. Adik Kelas, Argarry Akbar yang selalu memberikan dukungan,

    semangat dan bantuan kepada penulis dalam penulisan ini. Semoga

    Allah Swt. membalas semua kabaikan kalian.

  • v

    14. Sahabat yang selalu setia dan sedia memberikan nasihat, perhatian,

    semangat, canda dan tawa, yaitu Amala Firman Akhi yang sama-sama

    menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta dan Muhammad Hilal Baqi mahasiswa FAI di

    Universitas Muhammadiyah Jakarta, semoga persahabatan kita abadi

    sampai ke surga-Nya.

    15. Tak lupa segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,

    namun turut membantu penulis dalam penulisan skripsi ini ataupun

    memberikan pelajaran hidup bagi penulis. Penulis tidak dapat

    membalasnya dengan apapun, semoga Allah Swt. yang akan membalas

    dengan balasan yang sebaik-baiknya di dunia dan akhirat.

    Demikian skripsi ini dibuat, seperti pepatah tiada gading yang tak retak, begitu pun

    dengan pembuatan skripsi ini, penulis menyadari dan mengakui bahwa masih

    terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi kepenulisan,

    susunan kalimat ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

    sifatnya membangun sangat penulis harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.

    Semoga skripsi ini bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama, lebih khusus bagi

    penulis sendiri, dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi

    pengembangan dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam.

    Jakarta, 25 Juni 2019

    Penulis,

    Ridwan Darmawan

  • vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

    Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf

    berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi.

    Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu

    Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    1. Konsonan

    Huruf Arab Huruf Latin

    اTidak

    dilambangkan

    ś ث

    ḫ ح

    kh خ

    ż ذ

    sy ش

    Huruf Arab Huruf Latin

    ş ص

    đ ض

    ţ ط

    ť ظ

    ‘ ع

    ģ غ

    h ة

    2. Vokal

    Vokal Tunggal

    Tanda Huruf Latin

    a

    i

    u

    Contoh:

    kataba = َكتَبََ

    urifa‘ = ُعِرفََ

    Vokal Rangkap

    Tanda Huruf Latin

    ai

    au

    (tempatnya di bawah tabel vokal

    rangkap)

    kaifa = َكْيفََ

    haula = َحْولََ

  • vii

    3. Madd (Panjang)

    Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda

    ā ـَا

    î ـِي

    ū ـُو

    Contoh:

    qîla = قِْيلََ kāna = َكانََ

    yaqūlu = يَقُْولَُ da’ā = دََعا

    4. Tā’ Marbūţah

    Tā’ Marbūtah hidup transliterasinya adalah /t/.

    Tā’ Marbūtah mati transliterasinya adalah /h/.

    Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tā’ Marbūtah diikuti oleh kata

    yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka

    Tā’ Marbūtah itu ditransliterasikan menjadi /h/. Contoh:

    .ḫadîqāt al-ḫayawānāt atau ḫadîqātul ḫayawānāt = حديقةَالحيوانات

    .al-madrasat al-ibtidā’iyyah atau al-madrasatul ibtidā’iyyah = المدرسةَاإلبتدائية

    hamzah = همزة

    5. Syaddah (Tasydîd)

    Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang

    diberi tanda syaddah (digandakan).

    Contoh:

    رَُ allama‘ = َعلَّمََ yukarriru = يَُكر ِ

    مََ دَُ kurrima = ُكر ِ al-maddu = المَّ

    6. Kata Sandang

    a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf

    yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.

    Contoh:

    aş-şalātu = الَصََلةَُ

  • viii

    b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan

    bunyinya. Contoh:

    al-bāḫiśu = البَاِحثَُ al-falaqu = الفَلَقَُ

    7. Penulisan Hamzah

    a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti

    alif, contoh:

    akaltu = أََكْلتَُ

    ūtiya = أُْوتِيََ

    b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:

    ta’kulūna = تَأُْكلُْونََ

    syai’un = َشْيءَ

    8. Huruf Kapital

    Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata

    sandangnya. Contoh:

    al-Qur’ān = القُْرآن

    َرةَُ al-Madînatul Munawwarah = الَمِدْينَةَُالُمنَوَّ

    al-Mas’ūdi = الَمْسعُْوِديَْ

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

    ABSTRAK .......................................................................................................................... i

    ABSTRACT ....................................................................................................................... ii

    KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................................vi

    DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix

    BAB I .................................................................................................................................. 1

    PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

    A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

    B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 11

    C. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 11

    D. Rumusan Masalah ................................................................................................. 11

    E. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 12

    F. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 12

    BAB II .............................................................................................................................. 14

    KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 14

    A. Pengertian Ilmu Ladunni ....................................................................................... 14

    1. Pembagian Ilmu dalam Islam ............................................................................ 14

    2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali ........................................................................ 22

    3. Ilmu Ladunni ..................................................................................................... 29

    4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran .............................. 32

    B. Metode Mempelajari Ilmu Ladunni ...................................................................... 35

    C. Hasil Penelitian Yang Relevan ............................................................................. 36

    BAB III ............................................................................................................................. 38

    METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................... 38

    A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................................. 38

    B. Metode Penelitian ................................................................................................. 38

    C. Fokus Penelitian .................................................................................................... 39

    D. Prosedur Penelitian ............................................................................................... 40

  • x

    BAB IV ............................................................................................................................. 44

    PEMBAHASAN .............................................................................................................. 44

    A. Tafsir Ayat ............................................................................................................ 44

    B. Penerapan di Sekolah ............................................................................................ 66

    BAB V .............................................................................................................................. 79

    KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 79

    A. Kesimpulan ........................................................................................................... 79

    B. Implikasi ............................................................................................................... 79

    C. Saran ..................................................................................................................... 80

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 81

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi

    Muhammad saw. dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta

    mengandung ajaran-ajaran yang dapat membuat orang mukmin bahagia,

    yakni akidah, akhlak, dan syariat.1 Al-Quran merupakan kitab suci terakhir

    dan diturunkan sebagai penutup dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran

    isinya mencakup seluruh inti wahyu yang telah diturunkan kepada para nabi

    dan rasul sebelumnya Nabi Muhammad saw. Al-Quran adalah mukjizat

    Nabi Muhammad saw. yang terbesar di antara mukjizat-mukjizat lainnya.

    Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh

    Abuddin Nata, Al-Quran adalah Firman Allah yang diturunkan kepada hati

    Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruh al-Amin (Jibril as.)

    dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar

    ia menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi

    undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan

    menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan

    membacanya.2

    Al-Quran adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan merupakan

    pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat

    petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga

    mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablu min Allah wa hablu

    min an-nas), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk

    memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama

    yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi al-Quran dan

    1 M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.1. 2 Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), Cet. VII, h.

    55.

  • 2

    mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh

    dan konsisten.3

    Al-Quran adalah pedoman hidup manusia dan umat Islam

    khususnya. Tanpa pegangan atau pedoman, manusia akan kehilangan arah.

    Kehidupan manusia penuh dengan berbagai persoalan, dari persoalan yang

    paling ringan sampai yang paling berat. Pada zaman nabi semua persoalan

    dapat diselesaikan langsung oleh nabi. Jika ada persoalan yang rumit yang

    nabi sendiri mengalami kesulitan, maka Allah memberi petunjuk melalui

    wahyu. Setelah Rasulullah tiada, manusia perlu pedoman agar kehidupan

    mereka tidak kacau balau. Wahyu-wahyu Allah yang dihimpun dalam al-

    Quran itu menjadi pedoman yang lengkap bagi manusia dalam menjalin

    hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam

    lingkungannya.

    Allah swt. berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 185

    ِ ِو ٱلف رق انِ ه دىِل لن اس ِو ب ي ن َٰتِم ن ِٱهل د ىَٰ

    Artinya: “Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-

    penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang

    bathil).

    Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut adalah pujian bagi al-

    Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang

    beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Kata ََوبيناِت menegaskan bahwa al-Quran dalil yang nyata bagi orang yang memperhatikan dan

    memahaminya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya,

    berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan untuk melawan

    3 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,

    (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.

  • 3

    penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan batil, yang halal dan

    haram.4

    Al-Quran telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna

    yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-

    kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan

    ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam yang

    masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.5

    Dalam surat al-Zumar (39) ayat 9 Allah menegaskan :

    ِ ٱأل لب َٰب ل واِ ِأ و ِي عل م ون ِإ َّن اِي ت ذ ك ر ق لِه لِي ست و يِٱل ذ ين ِي عل م ون ِو ٱل ذ ين ِل

    Artinya: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui

    dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang

    berakallah yang dapat menerima pelajaran”

    Pada ayat di atas kita menemukan kata berbunyi َيعلمون yang

    berasal dari akar kata ِِِِيعلمِِ–علم yang mempunyai masdar “ilmu”. Menurut Badr al-Din al-‘Aini, yang dikutip oleh Irwan Malik Marpaung, ia

    mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari

    pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu,6 dilanjutnya yang dikutip dari

    Majma al-Lughah al-‘Arabiyah menyatakan secara etimologis, kata ilmu

    4 Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut Tafsiir Min

    Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347 5 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam

    Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 122 6 Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,

    Desember 2011, h. 259

  • 4

    berasal dari bahasa Arab al-‘ilm yang berarti mengetahui hakikat sesuatu

    dengan sebenar-benarnya.7

    Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk

    yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari

    kemampuannya berpikir, berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya

    manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan.8 Menurut bahasa, kata ilmu

    adalah masdar yang maknanya sinonim dengan paham dan makrifat. Para

    ahli filsafat, mendefinisikan kata ilmu sebagai suatu gambaran yang

    dengan sifat itu orang yang mempunyainya akan menjadi jelaslah

    baginya sesuatu urusan. Sedangkan menurut al-Ghazali mengatakan

    dalam al-Risalah al-Ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang

    berpikir (al-nafs al-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat

    segala sesuatu, serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik,

    kualitas, kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal. Orang yang

    mengetahuinya berarti ia adalah samudera yang mampu mengenali dan

    menggambarkan, Sedangkan objek yang diketahui merupakan zat sesuatu,

    yang mana ilmu tentangnya terukir dalam jiwa.9

    Menurut Syed Naquib al-Attas yang dikutip oleh Izzatur Rusuli

    dan Zakiul Fuady M. Daud, ilmu terbagi menjadi dua macam, meskipun

    keduanya merupakan satu kesatuan yang sempurna. Pertama, ilmu yang

    diberikan oleh Allah swt. sebagai karunia-Nya kepada insan. Kedua, ilmu

    yang dicapai dan diperoleh manusia berdasarkan daya usaha akliahnya

    7 Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,

    Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-

    Da‘wah, 1990, hal. 624. 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    1999), h. 5 9 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),

    h. 10.

  • 5

    sendiri yang berasal dari pengalaman hidup, indera jasmani, nazar-

    akali, perhatian, penyelidikan, dan pengkajian. 10

    Di dalam Al-Quran pun kita banyak temukan kalimat-kalimat yang

    menuntut manusia untuk selalu berpikir tentang tanda-tanda kebesaran

    Tuhannya yang ada di sekelilingnya, sehingga ia dapat mencapai suatu ilmu

    tertentu dari pemikiran dan pengamatannya tersebut.

    Menurut Ghulsyani yang dikutip oleh Jamal Fakhri, al-Quran

    sebagai kalam Allah diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat

    praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Quran bukanlah ensiklopedi

    sains dan teknologi apalagi al-Quran tidak menyatakan itu secara

    gamblang.11 Dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Quran

    memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang

    cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat. Bahkan, pesan (wahyu)

    paling awal yang diterima Nabi saw. mengandung indikasi pentingnya

    proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Quran tentang fenomena

    alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian

    manusia kepada pencipta alam yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana

    dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta

    mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya. Dalam visi al-

    Quran, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu,

    pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada

    Tuhannya.12 Pandangan Al-Quran tentang ilmu dapat diketahui prinsip-

    prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi

    Muhammad dalam surat Al ‘Alaq ayat 1-5

    10 Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John Locke Ke Al-

    Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14 11 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam

    Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123 12 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam

    Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123-124

  • 6

    (ِ ِال ذ يِخ ل ق ِر ب ك م س ب ن سِ 1اق ر أِ ِاْل ِ)(ِخ ل ق ِع ل ق ر م ِ)2ان ِم ن ِاأل ك و ر بُّك ِاق ر أِ )3ِ)

    (ِ ل ق ل م ي ع ل م ِ)4ال ذ يِع ل م ِب ن س ان ِم اَِل ِ (5(ِع ل م ِاْل

    Artinya: 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang

    menciptakan 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3.

    Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah 4. Yang mengajar

    (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa

    yang tidak diketahuinya

    Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan sesuatu yang harus

    dibaca karena al-Quran menghendaki umatnya membaca semua hal selama

    bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

    Pengulangan membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar

    menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali

    mengulang-ulang bacaan, tetapi hal itu mengisyaratkan bahwa mengulang-

    ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan

    baru, walaupun yang sesuatu yang dibaca itu sama.

    Kata iqra` dalam ayat tersebut akar katanya berarti menghimpun.

    Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,

    mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks

    tertulis maupun tidak. Jadi, iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah,

    ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah,

    maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak.13

    Dalam wahyu pertama ini mengisyaratkan perintah untuk mengkaji

    ilmu. Kajian-kajian tersebut meliputi tiga aspek, yaitu mengenai objek-

    objek yang menjadi kajian ilmu, bagaimana cara memperoleh ilmu dan

    bagaimana pemanfaatan dan pengembangan ilmu menurut pandangan al-

    Quran.

    13 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h. 442

  • 7

    Allah swt berfiman dalam surat al-Kahfi (18) ayat 65:

    اِع بداِم ن ِع لماِِ ف و ج د ِو ع ل من َٰه ِم نِل د ن ِء ات ين َٰه ِر ح ةِم نِع ند ن ع ب اد ن

    Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara

    hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi

    Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.

    Dari ayat di atas kita menemukan kata ِرحةِمنِعندنdan ِِعلمناِمن

    ِعلما keduanya menggunakan sebuah kata dengan makna dari sisi ,لدنkami, jadi dapat kita nisbahkan antara rahmat dan ilmu keduanya datang

    dari sisi Allah swt.

    Imam Al-Ghozali dalam bukunya ar-Risalah al-Laduniyah

    menyatakan ilmu itu ada dua macam, ilmu Syar’i dan ilmu Aqli. Bagi orang

    yang telah menguasai, kebanyakan ilmu syar’i itu rasional. Dan menurut

    sebagian ahli makrifat, sebagaian besar ilmu rasional itu bersifat syar’i.14

    Imam Ghazali kembali menjelaskan bahwa ilmu manusia bisa

    diperoleh melalui dua jalan: Pertama, pengajaran manusia; kedua,

    pengajaran Tuhan. Cara pertama adalah cara lazim dan jalan yang bisa

    diindra serta diakui oleh semua orang berakal. Dan pengajaran Tuhan

    melalui dua bentuk: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan

    konsentrasi dalam perenungan. Sebab merenung menggunakan bati itu

    memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir.15

    Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Agus Sutiyono ilmu ladunni

    adalah mengalirnya cahaya ilham, terjadi setelah taswiyah

    14 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),

    h. 39 15 Ibid, h. 54

  • 8

    (penyempurnaan). Untuk mendapatkan ilmu ladunni harus melalui beberapa

    proses sebelum sampai pada tingkat penyempurnaan. Imam al-Ghazali

    menggolongkan ilmu Ladunni termasuk pengajaran bersifat ketuhanan.

    Ia membagi dua jalan pengajaran, yaitu pemberian pelajaran melalui

    wahyu dan pemberian melalui ilham. Pemberian pelajaran melalui wahyu

    terjadi apabila hati sudah sempurna Dzat-Nya, maka hilang tabiat yang

    kotor, ketamakan dan angan-angan yang sesat. Jiwa selalu

    menghadapkan wajahnya kepada Sang Pencipta yang menumbuhkannya.

    Ilmu ini biasanya diterima nabi. 16

    Adapun pembelajaran melalui ilham adalah peringatan jiwa

    kullyah (total) kepada jiwa manusia secara juz’i (sebagian), yang bersifat

    kemanusiaan sesuai dengan kadar kesiapan dan kekuatan penerimanya.

    Ilham sendiri adalah bekas wahyu. Wahyu adalah penjelasan perkara

    gaib, sedangkan ilham adalah bentuk samarnya. Ilmu yang diperoleh dari

    wahyu dinamakan ilmu nabawy, sedang- kan ilmu yang diperoleh dari ilham

    dinamakan ilmu ladunni. 17

    Ilmu ladunni adalah ilmu yang pencapaiannya tanpa perantara

    antara jiwa seseorang dengan Allah. Ia seperti cahaya dari lampu gaib yang

    jatuh ke dalam hati yang bening, bersih dan halus. Proses munculnya

    ilham melalui penuangan akal kully dan dari penyinaran jiwa kuliyyah.

    Karena itu wahyu merupakan per-hiasan para nabi sedangkan ilham

    merupakan perhiasan para wali (kekasih Allah). Apabila pintu pikiran

    telah terbuka atas jiwa, seseorang akan mengerti bagaimana cara

    berpikir dan bagaimana kembali dengan ketajaman pikirannya kepada

    orang yang dicari. Hati menjadi lapang, mata hati menjadi terbuka,

    16 Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal Pendidikan

    Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317 17 Ibid,

  • 9

    kemudian keluarlah apa yang ada di dalam hati berupa kekuatan sampai

    perbuatan dengan tanpa tambahan pencarian dan kesulitan. 18

    Imam Syafi’i r.a. pernah menggugah sebuah syair tentang

    bagaimana sebaiknya seseorang dalam mencari ataupun menuntut ilmu

    yang berbunyi:

    ِبستةِ#ِسأنبيكِعنِتفصيلهاِببياِن أخيِلنِتنالِالعلمِإل

    صحبةِأستاذِوِطولِزماِنِدرهمِذكاءِوِحرصِوِاجتهادِ#ِو

    Artinya: Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali

    dengan enam perkara. Aku akan menyebutkan perinciannya:

    (yaitu) Kecerdasan, Ambisi, Jihad, Modal, Bimbingan Guru dan Waktu

    Yang Lama.

    Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa

    didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga mencapai

    tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-angan

    sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan syarat-

    syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi, jihad,

    modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah akhlak

    yang mulia bagi orang yang menjalaninya.

    Di antara syarat-syarat di atas yang dijabarkan oleh Imam Syafi’i

    adalah bimbingan dari seorang guru, karena gurulah yang membimbing kita

    sehingga kita tidak tersesat mengambil jalan dalam menuntut ilmu.

    Sehingga wajiblah bagi kita untuk menghormati para guru dengan adab

    18 Ibid.

  • 10

    yang baik sehingga kita mendapatkan rahmat Allah dengan adanya Ilmu

    yang kita pelajari.

    Namun nyatanya pada dewasa ini kita banyak menemukan banyak

    Muslim yang menjadikan Al-Quran hanya sebagai pajangan di rumahnya19,

    tanpa dibaca apalagi ditadabburi, sehingga banyak dari kita yang

    kebingungan ketika menemui sebuah permasalahan hidup. Karena bukan

    kitab yang telah diturunkan oleh Pencipta manusia yang kita baca dan kaji

    melainkan tulisan-tulisan fiksi yang hanya dapat mengisi angan dalam hati.

    Masyarakat memandang ilmu yang ada saat ini sudah benar-benar

    ilmu yang tinggi sehingga menjadikan dirinya tinggi pula di hadapan para

    manusia, padahal jika kita pelajari lebih dalam lagi, masih teramat banyak

    ilmu yang belum kita ketahui dan pelajar.

    Jauh lagi kita temukan orang-orang pada umumnya bahkan

    masyarakat Muslim yang kurang memiliki adab yang baik saat mencari ilmu

    dari gurunya. Akhir-akhir ini kita banyak sekali menemui berita-berita

    terkait permasalahan di atas seperti seorang guru di Jakarta Timur yang

    dipukul dan dijambak oleh siswanya sendiri,20 dan masih banyak lagi

    contoh-contoh kurangnya akhlak seorang yang ingin menuntut ilmu kepada

    seorang guru. Sehingga jika kita pandang dari sisi keIslaman menyebabkan

    kurang barakahnya ilmu sampai-sampai Allah enggan untuk menurunkan

    rahmat-Nya untuk si penuntut ilmu, sehingga setelah ia mempelajari banyak

    bidang ilmu bukan malah mendekatkannya kepada Sang Pemilik Ilmu

    19 Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari

    http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/ pada 10 maret 2018

    11.00 20 Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul dan

    Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-

    kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-

    siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385 pada tanggal 10

    Maret 2018 10.45

    http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385

  • 11

    malah menjadikan ia semakin jauh dari mengenal Tuhannya, lebih parahnya

    sampai ia tidak mengakui adanya Tuhan.21

    Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas

    masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi

    dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian

    Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)”.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan

    diatas. maka penulis perlu mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

    1. Ada anggapan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang sangat

    langka dan tidak ada cara untuk mendapatkannya.

    2. Masih banyak yang belum mengerti bagiamana sebenarnya

    konsep ilmu laduni dalam perspektif al-Quran dalam surat al-

    Kahfi ayat 65.

    3. Masih ada umat Muslim yang kurang berakhlak ketika belajar

    dengan guru.

    C. Pembatasan Masalah

    Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis

    perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan

    dibatasi hanya pada konsep ilmu laduni dalam perspektif Al-Quran (Kajian

    tafsir surat al-Kahfi ayat 65) dan bagaimana cara untuk memperolehnya.

    D. Rumusan Masalah

    Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya

    yaitu:

    21 Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia, diakses

    dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-

    mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50

    https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jeniushttps://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jenius

  • 12

    1. Bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-Quran

    dalam surat al-Kahfi ayat 65?

    2. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkannya

    sebagai implementasi dari tafsiran surat al-Kahfi ayat 65?

    E. Tujuan Penelitian

    Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Konsep

    Ilmu Laduni dalam pandangan Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat

    65) adalah memberikan penjabaran mengenai bagaimana konsep Ilmu

    Laduni menurut pandangan Al-Quran dan bagaimana seharusnya seseorang

    berprilaku ketika akan berhadapan dengan seorang guru. Hal ini

    dikarenakan pada masa ini makna ilmu sendiri yang mulai terkikis dengan

    paham barat sehingga umat Islam banyak meninggalkan rujukan pentingnya

    dalam bepegang pada agama dan masih banyaknya murid yang lupa

    bagaimana sebaiknya bertata krama kepada gurunya. Adapun yang lebih

    ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk

    menjelaskan bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-

    Quran kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65.

    F. Manfaat Penelitian

    Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

    teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.

    1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis

    mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun

    melaksanakan penelitian.

    2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis

    khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih

    gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi

    serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang

    berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.

  • 13

    3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjadi

    tauladan yang baik bagi muridnya serta sifat apa saja yang harus

    ditanamkan pada diri setiap guru dan murid

  • 14

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Pengertian Ilmu Ladunni

    1. Pembagian Ilmu dalam Islam

    Dalam KBBI kata Ilmu sendiri memiliki 3 makna : yaitu

    pertama, pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara

    bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk

    menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu, kedua,

    pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin,

    dan sebagainya), ketiga, Maha mengetahui, sifat yang wajib bagi Allah

    Swt.1, sedangkan menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Akhmad Sodiq

    dalam bukunya Epistemologi Islam, Kata ilm (ilmu pengetahuan) adalah

    bentuk kata ambiguitas (musytarak: mempunyai banyak arti) yang

    meliputi penglihatan dan perasaan. Kata ‘ilm itu menurutnya telah

    mengalami perluasan makna. Dalam wacana Islam awal kata tersebut

    berarti ilmu pengetahuan tentang Allah, tanda-tanda perbuatan-Nya

    terhadap hamba dan makhluk-Nya. Pada fase berikutnya kata ‘ilm

    mengalami perluasan makna yang mencakup berbagai jenis

    pengetahuan.2 al-Ghazali mengatakan lagi dalam ar-risalah al-

    ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang berpikir (an-nafs

    an-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat segala sesuatu,

    serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik, kualitas,

    kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal, Sedangkan objek

    yang diketahui merupakan zat sesuatu, yang mana ilmu tentangnya

    terukir dalam jiwa.3 Sedangkan Menurut Abu Musa al-Asy'ari, dikutip

    1 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu diakses pada 31 Juli 2019 2 Akhmad Sodiq, Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23. 3 Al-Ghazali, Ar-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),

    h. 10.

    https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu

  • 15

    oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah

    sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca

    inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan.4

    Adapun kemuliaan ilmu itu sejauh kemuliaan objek yang

    diketahui, dan derajat orang yang mengetahui pun sesuai derajat

    ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa objek ilmu yang paling utama,

    paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah Allah; Pembuat

    (ash-Shani’), Pendahulu (al-Mubdi`), Maha Benar lagi Esa (al-Haqq al-

    Wahid).5 Sedangkan terminologi ilmu dalam Al-Quran mengandung

    empat pengertian,6 yakni :

    1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. Jenis ini hanya

    dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan

    ini disebut dalam QS. Hud (11): 14, yakni :

    ِف ه لِأ نت مِ ِه و ِإ ل َٰه ِإ ل ِٱَّلل ِو أ نِل ِب ع لم أ َّن اِأ نز ل ل ك مِف ٱعل م واِ يب واِ ف إ َل ِي س ج 14ِمُّسل م ون ِ

    Terjemahan:

    Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima

    seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu) :

    “Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan

    dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Allah swt.

    selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada

    Allah)?”

    4 Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2 5 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),

    h. 10. 6 Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Mitra,

    Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.

  • 16

    2. Pengetahuan yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan

    utusan-Nya. Pengetahuan seperti ini bersifat khusus dan

    dalam eksistensinya tertuang ke dalam kitab suci dan ajaran

    para Rasul-Nya. Misalnya QS. al-Baqarah (2): 145, yakni :

    ِإ ذاِل م ن ِٱلظ َٰل م ني ِ ِإ ن ك ِٱلع لم ِم ن ِأ هو اء ه مِم نِب عد ِم اِج اء ك و ل ئ ن ِٱت ب عت

    Terjemahan:

    Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan

    mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu

    –kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.

    Pengetahuan yang disandarkan kepada malaikat yang

    diberikan Allah swt, yang hakekatnya hanya Allah sendiri

    yang tahu. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2) : 32,

    yakni :

    ِم اِع ل مت ن اِإِ ِع لم ِل ن اِإ ل ِل ن ك س بح َٰ ِٱلع لِ ق ال واِ ِأ نت يم ِٱل ك يم ِِن ك

    Terjemahnya :

    Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada

    yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau

    ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha

    Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

    4. Pengetahuan yang dimiliki manusia seperti yang terkandung

    dalam QS. al-Qashash (28) : 78, yakni :

    ِإ َّن اِأ وت يت هِ ِع ند يِِۥَق ال ِع لم ع ل ىَٰ

    Terjemahnya :

  • 17

    Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi

    harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.

    Pengertian-pengertian ilmu yang terinterpretasi dari ayat-ayat di

    atas, memberikan indikasi bahwa ilmu atau pengetahuan dalam jiwa

    manusia tidaklah bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri.

    Manusia dilahirkan tanpa mempunyai pengetahuan sedikitpun dan pada

    tahap selanjutnya manusia memperoleh pengetahuan melalui ta’lim dari

    Allah swt. Dengan demikian, tidaklah berarti bahwa pengajaran Allah

    swt. tentang ilmu kepada manusia terjadi secara otomatis, justru Al-

    Quran mengisyaratkan beberapa cara bagaimana manusia menemukan

    ilmu atau pengetahuan tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu

    dalam Al-Quran lazimnya dipergunakan dalam dua batasan pengertian,

    yakni ilmu yang dinisbahkan kepada Allah dan ilmu yang dinisbahkan

    kepada manusia.

    Abd. Muin Salim yang dikutip oleh Muchlis Nadjmuddin

    mengatakan bahwa dengan merujuk pada term-term al-‘ilm beserta

    devariasinya di dalam Al-Quran, kelihatannya para mufassir berbeda-

    beda dalam mengklasifikasikan ilmu. Ada yang berpendapat bahwa

    ilmu terdiri atas dua, yakni ilmu nazari dan ilmu ‘amali. Yang pertama,

    yaitu ilmu yang sudah cukup dengan mengetahuinya tanpa harus

    mengamalkannya, seperti mengetahui adanya makhluk hidup di dalam

    sebuah genangan air. Yang kedua, yaitu ilmu yang tidak cukup hanya

    dengan mengetahuinya saja, tetapi harus dengan diamalkan, seperti ilmu

    tentang ibadah kepada Allah swt.7

    Ada pula yang membagi ilmu tersebut menjadi “aqli”dan

    “sam’i”. Yang pertama, yaitu ilmu yang didapat melalui penelitian;

    seperti ilmu tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara dua

    7 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010, h.

    178

  • 18

    hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa

    penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2 menjadi

    3 (1 + 2 = 3).

    Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam”

    dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikian

    seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai pembagian

    atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif. 8

    Musa Asy’arie, yang dikutip oleh Fathul Mufid, dalam bukunya

    Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, menjelaskan bahwa ilmu

    dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau husuli dan jalan

    ladunni atau huduri. Jalan kasbi atau husuli adalah cara berpikir

    sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap

    melalui proses pengalaman, penelitian, percobaan, dan penemuan.9

    Sementara ilmu ladunni atau huduri hanya diperoleh orang-orang

    tertentu dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi

    dengan proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalb,

    sehingga semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca

    dengan jelas tercerap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang

    tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung, dimana Tuhan

    bertindak sebagai pengajarnya.10

    Fakhruddin al-Razi (selanjutnya ditulis al-Razi) menjabarkan

    tentang pengetahuan dan metode memperoleh ilmu. Menurut al-Razi,

    terdapat dua jenis pengetahuan dilihat dari hasilnya yaitu tashdiq dan

    tashawwur. Jika pengetahuan itu dapat dihukumi (benar atau salah),

    maka itu adalah hasil dari tashdiq. Jika pengetahuan itu tidak dapat

    diverifikasi benar atau salah, akan tetapi hanya mampu dirasakan oleh

    8 Ibid, h. 179 9 Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November

    2012, h. 281 10 Ibid.

  • 19

    jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki

    arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua

    metode yaitu nazhari dan kasbi.11

    Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang

    tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara otomatis

    akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang

    diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan rasa

    sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya eksistensi

    (wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan

    dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan

    menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq

    menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada

    atau tiadanya sesuatu.12

    Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu

    melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar

    sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi

    pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk memperoleh

    informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,

    mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif dalam

    menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah

    rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13

    Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan

    riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14 serta

    11 Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,

    1999), Cet. 3, h. 482.

    12 Ibid. 13 Ibid. 14 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi

    empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya

    imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu

    mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-

    kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang

  • 20

    menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy

    akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi

    ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek

    berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk

    menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah

    ilmu ladunni.

    Al-Ghazali dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyah ia

    membagi metode pencapaian pengetahuan dalam 2 model yaitu: metode

    pendidikan humanis (al-ta’lim al-insaniy) dan metode pendidikan

    transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).15 Dari dua model di atas kita bisa

    melihat ada peranan manusia yang lebih dominan yaitu pada metode

    pendidikan humanis dengan kata lain kita dapat menyebutnya juga

    sebagai metode kasbi dan pada metode kedua lebih bisa kita sebut

    dengan ladunni karena kekuasaan untuk memberikan pembelajaran

    tersebut hanya ada atas kuasa Allah.

    Pendapat al-Razi bertolak belakang dengan pendapat al-Ghazali.

    Jika al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan melalui

    jalan penelitian kepada ilmu kasbi dan ilmu ladunni merupakan

    golongan tersendiri, al-Razi justru memasukkan ilmu ladunni kepada

    metode kasbi.

    benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,

    daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material

    alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup

    dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-

    makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran

    cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk

    membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari

    keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif

    untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif

    diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga

    nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi

    Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36. 15 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.

  • 21

    Penulis melihat maksud al-Razi memisahkan antara ilmu nazhari

    dan kasbi karena perbedaan usaha subjek. Subjek dianggap otomatis

    mengetahui ilmu nazhari, sebaliknya subjek butuh usaha untuk

    mendapatkan ilmu kasbi. Hal tersebut pula yang mendasari al-Razi

    untuk menggolongkan ilmu ladunni ke dalam ilmu kasbi, karena subjek

    memerlukan usaha untuk menyiapkan wadah bagi ilmu tersebut.

    Sedangkan al-Ghazali memisahkan antara ilmu kasbi dan ilmu

    ladunni karena ilmu kasbi mampu diusahakan secara aktif oleh subjek

    dengan melakukan penelitian terhadap objek ilmu pengetahuan. Dan

    pada ilmu ladunni, subjek tidak dapat memaksa ilmu tersebut untuk

    hadir, melainkan hanya menunggu curahan nur ilahiy dari Allah.

    Dengan kata lain, menurut al-Ghazali, pada ilmu ladunni subjek bersifat

    pasif.

    Terlepas dari perbedaan itu, menurut hemat penulis, penjelasan

    al-Ghazali dan al-Razi sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan sudut

    pandang dalam mengelompokkan ilmu ladunni entah berdiri sendiri atau

    masuk ke dalam ilmu kasbi hanya karena subjek dan objek ilmu itu.

    Dalam memperoleh ilmu ladunni, memang subjek perlu aktif untuk

    menyiapkan wadahnya. Di sisi lain, subjek harus rela menunggu

    curahan nur ilahiy pada wadah yang telah ia siapkan.

    Dari penjabaran al-Ghazali dan al-Razi dapat kita simpulkan

    bahwa Ilmu Laduni adalah Curahan Nur Ilahy dari Allah kepada hati

    seseorang yang telah berusaha menyucikan batinnya melalui metode

    mujahadah dan riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya

    khayaliyah16 serta menguatkan daya aqliyah, ia adalah ilmu yang akan

    16 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi

    empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya

    imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu

    mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-

    kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang

    benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,

  • 22

    menghantarkan seseorang kepada keyakinannya karena bersumber dari

    sumber yang Satu, ia juga ilmu yang mampu menyingkapkan hijab hati

    atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran akan sesuatu itu.

    2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali

    Ilmu kasbi, yakni pengetahuan yang diperoleh manusia

    bersumber dari luar dirinya melalui pengalaman hidup ataupun dengan

    usaha yang disengaja. Sedangkan Menurut al-Ghazali, pendekatan

    pembelajaran humanis atau kasbi merupakan metode pencapaian

    pengetahuan yang didasarkan pada usaha manusia secara aktif memalui

    kegiatan intelektual. Hal ini terdapat tiga macam, macam yang pertama

    misalnya adalah pengetahuan lingkungan hidup yang merupakan bagian

    dari kehidupan manusia seperti matahari yang terbit di Timur dan

    terbenam di Barat. Bentuk yang lebih kompleks adalah pengetahuan

    atau budaya yang diwarisi secara tidak disadari. Sedang macam kedua

    misalnya adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan usaha-usaha

    belajar, mendengar keterangan atau membaca dari tulisan-tulisan yang

    ada, dan dalam bentuk kompleks adalah yang diperoleh dengan

    penelitian.

    Paradigma ilmu kasbi ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq

    (96): 1-5, yakni :

    daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material

    alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup

    dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-

    makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran

    cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk

    membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari

    keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif

    untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif

    diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga

    nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi

    Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.

  • 23

    ِِ ِٱل ذ يِخ ل ق ِر ب ك ١ِِِِِٱقر أِب ٱسم ن ِم نِع ل ق نس َٰ ِٱْل ِٱأل كر م ٢ِِِِخ ل ق ٱقر أِو ر بُّك

    ٣ِِِ ن ِم اَِل ِي عل م٤ِِٱل ذ يِع ل م ِب ٱلق ل م نس َٰ ٥ع ل م ِٱْل

    Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia

    Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan

    Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan

    perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak

    diketahuinya.

    Ayat di atas, mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu

    pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah swt. memerintahkan Nabi saw.

    agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu obyeknya bermacam-

    macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat yang tertulis (ayat al-

    quraniyah), dan dapat pula ayat-ayat Allah swt. yang tidak tertulis (ayat

    al-kauniyah). Membaca ayat-ayat qur’aniyah, dapat menghasilkan ilmu

    agama seperti fikih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sedangkan

    membaca ayat-ayat kauniyah dapat menghasilkan sains seperti fisika,

    biologi, kimia, astronomi dan semacamnya.

    Dapatlah dirumuskan bahwa ilmu kasbi tersebut bersumber dari

    ayat-ayat qur’aniyah dan kauniyah, dan untuk memperolehnya maka

    manusia dituntut untuk senantiasa membaca. Timbul pertanyaan,

    mengapa kata iqra’ atau perintah membaca dalam sederatan ayat di atas,

    terulang dua kali yakni pada ayat 1 dan 3. Jawabannya menurut penulis

    bahwa, perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah mencari ilmu,

    sedang yang kedua perintah untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain.

    Ini mengindikasikan bahwa ilmu kasbi harus dituntut dengan uasaha

    yang maksimal dan memfungsikan segala potensi yang ada pada diri

    manusia. Setelah ilmu tersebut diperoleh, maka amanat selanjutnya

    adalah mengajarkan ilmu tersebut, dengan cara tetap memfungsikan

    segala potensi tersebut.

  • 24

    Potensi-potensi pada diri manusia yang harus digunakan untuk

    menuntut ilmu tersebut adalah al-sama (pendengaran), al-bashar

    (penglihatan), dan al-fu’ad (hati). Ketiga potensi ini disebutkan dalam

    beberapa secara bersamaan, misalnya dalam QS. al-Nahl (16): 78

    ت كِ ِأ م ه َٰ أ خر ج ك مِم نِب ط ون ِيِِ مِل ِو ٱَّلل ِ ِاِو ج ع ل ِل كِ ِٔت عل م ون ِش ر م ِٱلس مع ِو ٱأل بص َٰ

    ِِِٔ و ٱأل ف ة ِل ع ل ك مِت شك ر ون د

    Ketiga potensi yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan

    alat potensial untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, Allah swt.

    telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada manusia

    agar dipergunakan untuk merenung, memikirkan dan memperhatikan

    apa-apa yang ada di luar dirinya. Dari hasil lacakan penulis, kata al-

    sam’u di dalam Al-Quran selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan

    selalu mendahului kata al-abshar dan al-af’idah. Sebab didahulukannya

    al-sam’u (pendengaran) disini, mengisyaratkan bahwa potensi

    pendengaran lebih berfungsi ketimbang penglihatan dan hati dalam

    proses pencarian ilmu. Namun demikian, dalam pandangan penulis

    bahwa ketika ketiga potensi ini tidak saling menopang maka tidak akan

    membuahkan ilmu yang sempurna. Dikatakan demikian, karena ketiga

    potensi tersebut sangat terkait.

    Kaitan antara ketiga potensi tersebut adalah bahwa pendengaran

    bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh

    orang lain, penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan

    menambahkan hasil penelitian dengan mengadakan pengkajian

    terhadapnya. Hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari segala

    sifat yang jelek, lalu mengambil beberapa kesimpulan.

  • 25

    Dari ketiga potensi ia atas menurut Al-Ghazali dapat mengambil

    dua bentuk pembelajaran humanis atau kasbi yaitu: proses belajar

    mengajar (ta’lim) dan proses berpikir (al-tafkir)

    a. Pendekatan pembelajaran humanis

    Al-Ghazali mendefinisikan al-ta’lim sebagai upaya

    seseorang (peserta didik) untuk mengambil manfaat

    (pengetahuan) dari pendidik (al-syaikh al-juziy) sebagai kiat

    untuk mengeluarkan pengetahuan dari potensi (al-quwwah)

    kepada aktualitas (al-fi’il). Batasan tersebut dikembangkan

    di atas paradigma bahwa ilmu pengetahuan menurut Al-

    Ghazali terpendah secara potensial di dasar jiwa. Tepatnya

    di dalam hati. Keberadaan ilmu itu seperti mutiara di dasar

    lautan. Ketika jiwa peserta didik tersebut telah beranjak

    dewasa maka jadilah ia seperti tanaman yang berbuah17.

    Artinya, ketika manusia itu telah dewasa ia akan bisa

    berpikir dan membentuk kesimpulan-kesimpulan.

    Dari kedua kesimpulan yang dapat diambil

    kesimpulan yang baru sehingga pengetahuan orang tersebut

    bercabang-cabang. Apa yang dijelaskan al-Ghazali tampak

    sejalan dengan dialektika Friedrich Hegel. Menurut Hegel

    proses berpikir itu diawali dengan tesis, kemudian muncul

    antitesis dan selanjutnya diambil sintesis. Sintesis tersebut

    selanjutnya dianggap sebagai tesis kembali untuk

    selanjutnya dicari antitesis dan sintesisnya demikian

    seterusnya sampai mencapai kebenaran tertinggi.

    Jika diperhatikan model pencapaian melalui proses

    belajar mengajar ini merupakan model pencapaian rasional

    pertama di mana akal masih baru saja bergerak dari kondisi

    17 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),

    h. 68

  • 26

    potensial menuju aktual. Karena proses pergeseran kondisi

    itu dibantu oleh pendidik – sebagai faktor ekstern –, maka

    model ini oleh al-Ghazali disebut sebagai model dari luar (al-

    thariq min kharij).18

    b. Proses Berpikir

    Adapun yang dimaksud dengan al-tafkir ialah

    pengaktifan jiwa dari jiwa universal. Seperti pembahasan

    sebelumnya dalam konsep metafisika al-Ghazali, Jiwa

    Universal (al-Nafs al-Kulli) lebih lembut dan lebih mulia

    dibanding jiwa seluruh makhluk. Pengajaran dari Jiwa

    Universal merupakan bentuk pengajaran yang paling kuat

    dan membekas dalam jiwa dibanding dengan seluruh

    pengajaran ilmuan ataupun para pendidik lainnya.

    Ketika cahaya akal telah mampu mengalahkan sifat-

    sifat jiwa, maka pencari ilmu akan merasa cukup dengan

    sedikit berpikir namun mampu menandingi orang yang

    banyak belajar. Hal ini karena jiwa tersebut telah mampu

    menemukan faedah dari kontemplasi sesaat yang tidak

    ditemukan oleh jiwa material dengan belajar setahun.

    Bagaimanapun juga proses belajar tidak bisa lepas dari

    berpikir sehingga mayoritas ilmu teoritis (al-‘ulum al-

    nadhariyah) dan teknologi teoritis (al-shana’i al-ilmiyah)

    dihasilkan oleh para ilmuwan dengan kejernihan pemikiran

    dan kekuatan kontemplasi tanpa menambah bacaan.

    Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika pintu

    pemikiran terbuka pada jiwa, ia segera dapat mengetahui

    cara berpikirdan berkontemplasi. Maka hatinya akan

    memberi penjelasan, mata batinnya terbuka sehingga

    18 Ibid.

  • 27

    keluarlah apa-apa yang terpendam (pengetahuan) dalam jiwa

    sebagai potensi menjadi aktualitas tanpa harus menambah

    bacaan. 19

    Strategi belajar yang ditawarkan al-Ghazali bagi

    mereka yang telah menjangkau tingkat al-‘aql bi al-fi’l ialah

    dengan hanya sedikit belajar yakni hanya mempelajari

    secara global dan hal-hal penting saja. Ia memberi contoh:

    seorang matematikawan tidak perlu menghabiskan umurnya

    hanya untuk mempelajari seluruh unsur matematika, tapi

    cukup mempelajari prinsip-prinsip global dan tema-tema

    pentingnya. Dari prinsip global dan tema-tema penting

    tersebut kemudian diolah dan dikiaskan. Begitu juga seorang

    dokter, ia tidak akan mampu mempelajari seluruh bagian

    pengobatan bagi setiap orang, tetapi cukup dengan

    mengetahui prinsip-prinsip umum dan melakukan terapi

    berdasarkan kekhususan masing-masing pasien. Demikian

    juga halnya dengan seorang faqih, astronom dan

    sebagainya.20

    Dalam Bahasa Arab terdapat banyak term-term yang

    semakna dengan proser berpikir tersebut diantaranya

    Tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta'ammul, i'tibar, tadabbur, dan

    istibshar, semua kata ini mirip artinya; sama dalam satu sisi

    tapi berbeda dalam sisi yang lain.

    Disebut tafakkur kerana dalam semua proses itu

    menggunakan dan menghadirkan fikiran. Dan, disebut

    tadzakkur kerana menghadirkan ilmu yang harus diingat-

    ingat setelah terlupa dan hilang. Allah SWT berfirman,

    "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila

    mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka (tadzakkur)

    19 Ibid., h. 70 20 Ibid., h. 65

  • 28

    ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat

    kesalahan-kesalahannya."(Al-A'raaf:201)

    Disebut nazhar kerana melihat dengan mata hati pada

    hal yang difikirkan. Adapun disebut ta'ammul kerana

    mengulang-ulang fikiran sampai terlihat jelas dan terbuka

    bagi hatinya. Sementara itu, disebut i'tibar (yang bererti

    menyeberangi) kerana dia menyeberang dari suatu hal ke hal

    yang lain; dia menyeberang dari hal yang difikirkannya

    menuju ke pengetahuan ketiga. Yang disebut dengan

    pengetahuan ketiga ini adalah tujuan dalam i'tibar itu. Ia

    disebut sebagai ‘ibrah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu

    dan pengetahuan telah menjadi haal (karakter) bagi

    pemiliknya. Dengan begitu, seseorang dapat melintas atau

    menyeberang menuju sesuatu yang diinginkannya. Allah

    SWT berfirman,

    "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat

    pelajaran ('ibrah) bagi orang yang takut (kepada

    Rabbnya)." (An-Naazi'aat: 26)

    "Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat

    pelajaran ('ibrah) yang besar bagi orang-orang yang

    mempunyai penglihatan." (An-Nuur: 44)

    Disebut tadabbur kerana merupakan perenungan

    tentang akibat dan akhir suatu perkara. Allah SWT

    berfirman,

    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan

    (yaddabbaru) perkataan (Kami)?" (Al-Mukminuun: 68)

    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan

    (yatadabbaruun) Al-Qur'an? Kalau Al-Qur'an itu bukan

    dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan

    yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa: 82)

  • 29

    Jadi, arti mentadabburi suatu kalimat adalah

    memikirkannya dari bahagian awal sampai akhir, kemudian

    mengulang-ulangi perenungannya.

    Dan disebut istibshar, (wazan istif'al dari kata

    tabasshur) yang bererti jelas dan tersingkapnya sesuatu hal

    di depan bashirah (mata hati).

    Baik tadzakkur mahupun tafakkur punya faedah

    masing-masing. Tadzakkur berarti hati mengulang-ulang apa

    yang diketahuinya agar tertanam dengan kuat di dalamnya,

    sehingga tidak terhapus dan pudar dari dalam hati secara

    keseluruhan. Adapun tafakkur berarti memperbanyak ilmu

    dan mencari apa yang belum ada di hati. Jadi tafakkur itu

    gunanya mencari ilmu dan tadzakkur berguna untuk

    menjaganya. Oleh kerana itu, Hasan Al-Bashri berkata,

    "Para ulama senantiasa memanfaatkan tafakkur dan

    tadzakkur. Mereka berbicara dengan hati sampai akhirnya

    hati itu melahirkan hikmah."

    3. Ilmu Ladunni

    Ilmu Laduni adalah ilmu yang diperoleh tanpa perantara antara

    jiwa dengan Tuhan. Ia tiada lain laksana cahaya yang berasal dari pelita

    gaib yang mengenai hati yang bersih, kosong, dan lembut.21 Ilmu

    ladunni adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses

    belajar. Paradigma ilmu ladunni ini adalah firman Allah dalam QS. al-

    Kahfi (18): 65, yakni:

    ِو ع لِ ِء ات ين َٰه ِر ح ةِم نِع ند ن اِع بداِم نِع ب اد ن ِع لماِِف و ج د من َٰه ِم نِل د ن

    21 Ibid, h. 68.

  • 30

    Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-

    hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami,

    dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

    Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu itu menghidupkan hati

    dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan

    dari kelemahan yang menyampaikan hamba ke kedudukan orang-

    orang yang baik dan derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu

    itu mengimbangi puasa, mempelajarinya mengimbangi mendirikan

    malam, dengan ilmu Allah Swt. ditaati, dengannya Dia ditauhidkan,

    dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara’, dengannya sanak

    kerabat disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu

    pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya orang-orang yang

    berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang yang celaka

    itu terhalang.22

    Ibnu Ajibah menjelaskan mengenai ilmu ladunni dalam

    tafsirnya, al-Bahr al-Madid, bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang

    dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut didapatkan

    setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran serta

    meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses

    penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah

    ke hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-

    rahasia rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh

    akal melalui pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal

    serta tidak terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena

    bersumber dari-Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan.

    Kemudian ilmu yang berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir

    dan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, ilmu yang terkait

    dengan perkara-perkara syariat dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang

    22 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, T.t.), h. 12 – 13.

  • 31

    rahasia kekhususan huruf-huruf dan simbol, dan ilmu lainnya yang

    dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu Allah.23

    Menurut Muchlish Nadjmuddin bahwa ilmu ladunni ini, adalah

    pengetahuan limpahan, misalnya ilham atau serupa. Karena itu tepat

    juga bila dikatakan bahwa ia sama dengan ilmu wahbiy sebagaimana

    yang dikonsepsikan oleh Abd Muin Salim yaitu pengetahuan yang

    diperoleh manusia bersumber dari luar dirinya sebagai pemberian Tuhan

    kepadanya baik untuk kepentingannya sendiri maupun untuk

    kepentingan kemanusiaan dan juga lingkungannya.24

    Kalau kembali dicermati QS. Al-Alaq (96) yang telah dikutip

    terdahulu, disana memang dijelaskan bahwa disamping ilmu kasbi ada

    juga ilmu ladunni. Allah swt. “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar

    manusia melalui upaya mereka adalah tergolong sebagai ilmu kasbi.

    Sedangkan Allah swt. “mengajar apa yang mereka tidak ketahui”, tanpa

    usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya, inilah yang

    disebut dengan ilmu ladunni. Perlu penulis tegaskan disini bahwa

    manusia dalam memperoleh ilmu ladunni memiliki syarat-syarat

    tertentu, misalnya yang bersangkutan adalah seorang nabi atau rasul-

    Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Jin (72) 26-27,

    yakni :

    23 Nukilan asli: َوقولهَتعالى:ََوَعلَّْمناهَُِمْنَلَدُنَّاَِعْلماً،َالعلمَاللدني:َهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال

    أَْوَرثَهَُهللاَُعلَمََماَلَْمَيَْعلَْم«َ.َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل،َتعلم،َقالَعليهَالصَلةَوالس َلم:َ»منََعِمَلَبَِماََعِلَمَ

    واألسرارَالربانية،ََوتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل،َفإذاَكملَتطهيرَالقلب،َوانجذبَإلىَحضرةَالرب،َفاضتَعليهَالعلومَاللدنيةَ،

    الَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول،َبلَتُسلمَألربابها،َمنَغيرَأنََمنهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول،َومنهاَما

    يقتدىَبهمَفيَأمرها،َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة،َومنهاَماَتفيضَ

    لىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى.َوباهللَيهمَفيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام،َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء،َإعل

    :Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo .التوفيق

    Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287. 24 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,

    h. 182-183

  • 32

    ِغ يب هِ ِع ل ىَٰ ِي ظه ر ِف ل ِٱلغ يب ل م ِِۦٓع َٰ ا ِم نِر س ولِفِ 2٦ِأ ح د ِٱرت ض ىَٰ ِم ن ِۥإ ن هِ إ ل

    يه ِو م نِخ لف هِ ِم نِب ني ِي د 2٧ِِر ص داِِۦَي سل ك

    (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, Maka Dia

    tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

    Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia

    mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

    Penulis tidak menemukan adanya ayat secara qat’iy yang

    melegalisasi bahwa selain nabi/rasul akan memperoleh ilmu ladunni.

    Akan tetapi dengan memahami tafsiran firman Allah dalam QS. Fathir

    (35):28, yakni

    ع ز يٌزِغ ف ورٌِ إ ن ِاَّلل ِ ِع ب اد ه ِال ع ل م اءِ م ن إ َّن اَِي ش ىِاَّلل ِ

    dan hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “ulama adalah

    pewaris nabi”, praktis bahwa ilmu ladunni dapat saja diperoleh oleh

    siapa selain nabi dengan syarat dia adalah ulama yang notabene sebagai

    “pewaris nabi”. Pada sisi lain, dalam pandangan penulis bahwa potensi

    “al-af’idah” atau “al-fu’ad” yang dianugerahkan Allah kepada manusia

    itu, jika senantiasa dipelihara dengan baik, dalam artian manusia

    mensucikan jiwanya dan menjernihkan kalbunya, praktis bahwa ilmu

    ladunni tersebut akan dicapainya. Jadi, ilmu tidak selamanya diperoleh

    melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah ilham yang

    dinampakkan Allah ke dalam hati orang-orang yang dikehendakinya.

    4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran

    Dalam sederetan ayat Al-Quran dikatakan bahwa manusia

    adalah makhluk yang termulia. Faktor kemuliaan manusia disebabkan

    ia memiliki ilmu pengetahuan, dan karena demikian sehingga malaikat

  • 33

    pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim

    menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan

    kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui

    pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka

    menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan

    Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih

    tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :

    ت ٱلع لم ِد ر ج َٰ م نك مِو ٱل ذ ين ِأ وت واِ ٱل ذ ين ِء ام ن واِ ِٱَّلل ِ ي رف ع

    Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu

    dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan

    Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

    Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, dijelaskan dalam

    riwayat bahwa ketika di hari Jum'at Nabi saw. berada di suatu tempat

    majelis ilmu yang sempit, saat mana tengah menerima tamu dari

    penduduk Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, tiba-tiba

    sekelompok seorang yang didalamnya termasuk Tsabit bin Qais datang

    dan ingin duduk di bagian depan tempat tersebut. Mereka berdiri

    memuliakan Nabi saw. dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi

    menjawab salam yang lainnya. Mereka berdiri disampingnya dan

    menunggu agar diberikan tempat agak luas. Namun orang yang dating

    terdahulu tetap tidak memberikan peluang. Kejadian tersebut kemudian

    mendorong Nabi saw. mengambil inisiatif dan berkata kepada sebagian

    orang yang ada disekitarnya, berdirilah kalian, berdirilah kalian.

    Kemudian berdirilah sebagian kelompok tersebut berdekatan dengan

    orang yang datang terdahulu, sehingga Nabi saw. tampak menunjukkan

    kekecewaannya dihadapan mereka. Dalam keadaan demikian itulah ayat

    tersebut diturunkan.

  • 34

    Dengan mencermati sebab nuzul di atas, maka dapat dipahami

    bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan "majelis ilmu". Hal ini

    lebih jelas bila dikutip potongan ayat sebelumnya, yakni fil majalis

    maksudnya adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di

    majelis Rasulullah, maka segeralah berdiri. Masih terkait dengan sebab

    nuzulnya, dapat dipahami bahwa ayat tersebut mendorong untuk selalu

    diadakannya kegiatan majelis ilmu, karena dengan begitu maka orang

    yang aktif di dalamnya akan diangkat derajatnya yang tinggi di sisi

    Allah.

    Abd Muin Salim yang di kutip oleh Muchlis Nadjmuddin25 juga

    menegaskan bahwa QS. Al-Mujadalah (58): 11 (di atas pen.)

    menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan kedudukan lebih tinggi

    kepada orang yang beriman dan berilmu. Hanya saja, yang menjadi

    permasalahan sekaitan dengan ayat tersebut adalah : siapakah yang

    paling tinggi derajatnya disini. Apakah orang ya