KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan. (S.Pd)
Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
KONSEP ILMU LADUNNI DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
(KAJIAN TAFSIR SURAT AL-KAHFI AYAT 65)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan. (S.Pd)
Oleh:
Ridwan Darmawan
NIM. 1113011000052
Dibawah Bimbingan
Dosem Pembimbing Skripsi
Drs. Abdul Haris, M.Ag.
NIP. 19660901 199503 1 001
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi Berjuduul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian
Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)” disusun oleh Ridwan Darmawan, NIM.
1113011000052, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui
bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan berhak untuk diujikan pada
siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.
Jakarta, 25 Juni 2019
Yang Mengesahkan
Pembimbing
Drs. Abdul Haris, M.Ag.
NIP. 196609011995031005
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran
(Kajian Tafsir Al-Quran Surat Al-Kahfi Ayat 65)” oleh Ridwan Darmawan
dengan NIM 1113011000052 telah diujikan pada sidang Munaqasyah Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 25 Juli 2019 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S1 Pendidikan (S.Pd.)
dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 25 Juli 2019
Panitia Ujian Munaqasah
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)
Drs. Abdul Haris, M.Ag.
NIP. 19660901 199503 1 001 ………….. ……………..
Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Program Studi)
Drs. Rusdi Jamil, M.Ag.
NIP. 19621231 199503 1 005 ………….. ……………..
Penguji 1
Drs. H Achmad Gholib, M.Ag.
NIP. 19541015 197902 1 001 ………….. ……………..
Penguji 2
Yudhi Munadi, M.Ag.
NIP. 19701203 199803 1 003 ………….. ……………..
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dr. Sururin, M.Ag.
NIP. 19710319 199803 2 001
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
i
ABSTRAK
Ridwan Darmawan (1113011000052) Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif
Al-Quran (Kajian Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65) Skripsi untuk Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tar2biyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep ilmu
ladunni menurut pandangan Al-Quran pada kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65 serta
mengetahui bagaimana seseorang dapat mengusahakan untuk mendapatkan ilmu
tersebut.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
melalui kajian studi kepustakaan (library research). Dengan cara mengumpulkan
data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan
permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian
dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang
dilakukan dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan dan mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung di
dalamnya. Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan sumber utama
kitab tafsir, di antaranya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Mafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan Al-Bahr Al-Madid karya Ibnu ‘Ajibah al-
Hasani.
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memperoleh kesimpulan bahwa
ilmu ladunni adalah ilmu yang dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal
tersebut didapatkan setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan
kotoran serta meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah ke hadirat-
Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-rahasia rabbaniyah.
Usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh ilmu tersebut yaitu: Meluruskan
niat untuk mencari ilmu; Meneguhkan tujuan untuk mencari ilmu; Memiliki
prasyarat berupa penguasaan ilmu syariat; Menaati perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya; Melakukan mujahadah riyadhah; Memiliki adab yang baik kepada
guru (tawadhu, memuliakan guru, dan lemah lembut); Berkhidmah kepada guru.
Kata kunci: Nilai; Ilmu; Ladunni; Surah al-Kahfi; ayat 65
ii
ABSTRACT
Ridwan Darmawan (1113011000052) the concept of Ladunni knowledge
according to the viewpoint of the Quran (on the commentary study of Surah
Al-Kahf verse 65) Undergraduate Thesis for the Department of Islamic
Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Islamic State
University Syarif Hidayatullah Jakarta
The purposes of this research are to discover the concept of Ladunni
knowledge according to the viewpoint of the Quran on the commentary study of
Surah Al-Kahf verse 65 and to find out on how a certain person attempted to obtain
the knowledge.
In this research the writer used a qualitative approach through library
research. By collecting datas or materials related to the discussion of the problem,
which taken from library sources, subsequently analyzed in the method of tahlili,
i.e. the method of translating verses from the Quran which is done by explaining all
aspects that contained in verses that are interpreted and described the elucidations
of its meaning. To support this research, the writer uses some sources of
commentary books, amongst them are Almishbah by M Quraish Shihab, Mafatih
al-Ghaib by Fakruddin al-Razi, and Al-Bahr Al-Madid by Ibn ‘Ajibah al-Hasani.
As an outcomes of this research, the writer obtained that Ladunni
knowledge is a knowledge that is bestowed on the heart without the learning
process. This is obtained after going through the stages of spiritual sanctification
from neglect and filth and negating the need and concern besides Allah. When the
process of sanctification of mind has been perfect, a servant will be brought by God
to His presence and bestowed upon him the knowledge of Ladunni and the secrets
of rabbaniyah. Some efforts to obtain this knowledge, i.e. : Reinforce the intention
of seeking knowledge; Affirming the purpose of seeking knowledge; Having a
prerequisite in the form of mastering the knowledge of Shari'a; Obeying God's
commands and staying away from His prohibitions; Doing the riyadhah mujahadah;
Having a good attitude to the teacher (tawadhu, honoring the teacher, and being
gentle); dedicating to the teacher.
iii
KATA PENGANTAR
ِ مِ يِ حِ الرِ ِنِ حِ الرِ ِللاِ ِمِ سِ بِ
ِهِ اتِ كِ ر ِب ِوِ ِللاِ ِةِ ح ِ ر ِوِ ِمِ كِ ي ِلِ عِ ِمِ ل ِالسِ ِوِ نِ سِ فِ ن ِ أ ِِرِ و ِرِ شِ ِنِ مِ ِهللِ بِ ِذِ وِ عِ ن ِوِ ِهِ يِ دِ هِ ت ِ سِ ن ِوِ ِه ِر ِفِ غِ ت ِ سِ ن ِوِ ِهِ نِ ي ِ عِ تِ سِ ن ِوِ ِهِ دِ مِ ن ِ هللِِ ِدِ مِ الِ ِنِ إِ ِنِ مِ ا
ِل ِإ ِِلهِ ِإِ ل ِِِنِ أ ِِدِ هِ شِ .ِأِ هِ ل ِِيِ ادِ ِهِ ل ِفِ ِلِ لِ ضِ ي ِِنِ مِ وِ ِهِ ل ِِلِ ضِ ِمِ ل ِفِ ِللاِ ِِهِ دِ هِ ي ِ ِنِ ا,ِمِ نِ الِ مِ عِ أ ِِاتِ ئ ِي ِ سِ ِِِِمِ هِ .ِاللِ هِ ل ِوِ سِ ر ِوِ ِِهِ دِ بِ اِعِ دِ مِ م ِ ِِنِ أ ِِِدِ هِ شِ أ ِوِ ِِهِ ل ِِِكِ ي ِرِ ِشِ ل ِِِهِ دِ حِ للاِوِ ِِنِ دِ ي ِ ىِسِ لِ عِ ِِكِ رِ بِ وِ ِِمِ ل ِ سِ وِ ص ل
ِىِدِ تِ اهِ ِنِ مِ وِ ِهِ ابِ حِ صِ أ ِوِ ِهِ ىِآلِ لِ عِ وِ ِدِ مِ م ِ اه ِإ َل ِالق ي ام ةِ ِب د ِي و م
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta menganugerahkan nikmat sehat
kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan
semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.
Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik, berserta keluarga, para sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak
sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat do’a, perjuangan,
kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai
pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh karena ini, dengan
segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
dan selaku dosen pembimbing yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu pengetahuan
kepada penulis. Kebaikan Bapak dalam segala hal akan selalu terkenang
iv
bagi diri penulis. Semoga keberkahan hidup senantiasa mengiringi, dan
senantiasa berada dalam lindungan Allah.
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya.
5. Dr. Dimyati, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik yang dengan
penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi
serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda Susanto dan ibunda Sri
Nurhayati yang telah merawat dengan penuh kasih sayang, yang
berjuang untuk memberikan pendidikan tinggi kepada putranya,
mendidik dengan sabar, tulus dan ikhlas, serta memotivasi dan
mendo’akan penulis dalam setiap langkahnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis,
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan membimbing penulis
selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga Ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan
mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.
8. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Bu Isti selaku Staff
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah yag telah
memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.
9. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, yang telah membantu
penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang
penulis butuhkan.
10. Kedua adik tercinta, Dinda Aulia Putri dan Raihan Gilang Pamungkas,
yang telah mendukung penulis, tempat bertukar pikiran, memberikan
canda dan tawa yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan ini.
11. Penyemangat terdekat Afif Faizin dan Safitri Era Globalisasi yang selalu
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus
berjuang menempuh pendidikan hingga terselesaikan penulisan ini.
12. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam Angkatan
2013, terutama kelas B “CABHE” semoga keberkahan dan kesuksesan
selalu menyertai kalian semuanya. Terima kasih telah menjadi teman,
sahabat, saudara, sekaligus keluarga yang selalu ada untuk menjadi
tempat bertukar pikiran dan bantuan dalam penulisan ini. Semoga Allah
Swt. membalas kebaikan kalian semuanya.
13. Adik Kelas, Argarry Akbar yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan bantuan kepada penulis dalam penulisan ini. Semoga
Allah Swt. membalas semua kabaikan kalian.
v
14. Sahabat yang selalu setia dan sedia memberikan nasihat, perhatian,
semangat, canda dan tawa, yaitu Amala Firman Akhi yang sama-sama
menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Muhammad Hilal Baqi mahasiswa FAI di
Universitas Muhammadiyah Jakarta, semoga persahabatan kita abadi
sampai ke surga-Nya.
15. Tak lupa segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
namun turut membantu penulis dalam penulisan skripsi ini ataupun
memberikan pelajaran hidup bagi penulis. Penulis tidak dapat
membalasnya dengan apapun, semoga Allah Swt. yang akan membalas
dengan balasan yang sebaik-baiknya di dunia dan akhirat.
Demikian skripsi ini dibuat, seperti pepatah tiada gading yang tak retak, begitu pun
dengan pembuatan skripsi ini, penulis menyadari dan mengakui bahwa masih
terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi kepenulisan,
susunan kalimat ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama, lebih khusus bagi
penulis sendiri, dan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 25 Juni 2019
Penulis,
Ridwan Darmawan
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf
berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi.
Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
اTidak
dilambangkan
ś ث
ḫ ح
kh خ
ż ذ
sy ش
Huruf Arab Huruf Latin
ş ص
đ ض
ţ ط
ť ظ
‘ ع
ģ غ
h ة
2. Vokal
Vokal Tunggal
Tanda Huruf Latin
a
i
u
Contoh:
kataba = َكتَبََ
urifa‘ = ُعِرفََ
Vokal Rangkap
Tanda Huruf Latin
ai
au
(tempatnya di bawah tabel vokal
rangkap)
kaifa = َكْيفََ
haula = َحْولََ
vii
3. Madd (Panjang)
Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda
ā ـَا
î ـِي
ū ـُو
Contoh:
qîla = قِْيلََ kāna = َكانََ
yaqūlu = يَقُْولَُ da’ā = دََعا
4. Tā’ Marbūţah
Tā’ Marbūtah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tā’ Marbūtah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tā’ Marbūtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka
Tā’ Marbūtah itu ditransliterasikan menjadi /h/. Contoh:
.ḫadîqāt al-ḫayawānāt atau ḫadîqātul ḫayawānāt = حديقةَالحيوانات
.al-madrasat al-ibtidā’iyyah atau al-madrasatul ibtidā’iyyah = المدرسةَاإلبتدائية
hamzah = همزة
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
رَُ allama‘ = َعلَّمََ yukarriru = يَُكر ِ
مََ دَُ kurrima = ُكر ِ al-maddu = المَّ
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh:
aş-şalātu = الَصََلةَُ
viii
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya. Contoh:
al-bāḫiśu = البَاِحثَُ al-falaqu = الفَلَقَُ
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti
alif, contoh:
akaltu = أََكْلتَُ
ūtiya = أُْوتِيََ
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ta’kulūna = تَأُْكلُْونََ
syai’un = َشْيءَ
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
al-Qur’ān = القُْرآن
َرةَُ al-Madînatul Munawwarah = الَمِدْينَةَُالُمنَوَّ
al-Mas’ūdi = الَمْسعُْوِديَْ
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .......................................................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................................vi
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ix
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 11
C. Pembatasan Masalah ............................................................................................. 11
D. Rumusan Masalah ................................................................................................. 11
E. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 12
F. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 12
BAB II .............................................................................................................................. 14
KAJIAN TEORI ............................................................................................................. 14
A. Pengertian Ilmu Ladunni ....................................................................................... 14
1. Pembagian Ilmu dalam Islam ............................................................................ 14
2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali ........................................................................ 22
3. Ilmu Ladunni ..................................................................................................... 29
4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran .............................. 32
B. Metode Mempelajari Ilmu Ladunni ...................................................................... 35
C. Hasil Penelitian Yang Relevan ............................................................................. 36
BAB III ............................................................................................................................. 38
METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................... 38
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................................. 38
B. Metode Penelitian ................................................................................................. 38
C. Fokus Penelitian .................................................................................................... 39
D. Prosedur Penelitian ............................................................................................... 40
x
BAB IV ............................................................................................................................. 44
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 44
A. Tafsir Ayat ............................................................................................................ 44
B. Penerapan di Sekolah ............................................................................................ 66
BAB V .............................................................................................................................. 79
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 79
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 79
B. Implikasi ............................................................................................................... 79
C. Saran ..................................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta
mengandung ajaran-ajaran yang dapat membuat orang mukmin bahagia,
yakni akidah, akhlak, dan syariat.1 Al-Quran merupakan kitab suci terakhir
dan diturunkan sebagai penutup dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran
isinya mencakup seluruh inti wahyu yang telah diturunkan kepada para nabi
dan rasul sebelumnya Nabi Muhammad saw. Al-Quran adalah mukjizat
Nabi Muhammad saw. yang terbesar di antara mukjizat-mukjizat lainnya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh
Abuddin Nata, Al-Quran adalah Firman Allah yang diturunkan kepada hati
Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruh al-Amin (Jibril as.)
dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar
ia menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi
undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan
menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
membacanya.2
Al-Quran adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan merupakan
pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Quran bukan sekedar memuat
petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablu min Allah wa hablu
min an-nas), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk
memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama
yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi al-Quran dan
1 M.Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.1. 2 Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000), Cet. VII, h.
55.
2
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh
dan konsisten.3
Al-Quran adalah pedoman hidup manusia dan umat Islam
khususnya. Tanpa pegangan atau pedoman, manusia akan kehilangan arah.
Kehidupan manusia penuh dengan berbagai persoalan, dari persoalan yang
paling ringan sampai yang paling berat. Pada zaman nabi semua persoalan
dapat diselesaikan langsung oleh nabi. Jika ada persoalan yang rumit yang
nabi sendiri mengalami kesulitan, maka Allah memberi petunjuk melalui
wahyu. Setelah Rasulullah tiada, manusia perlu pedoman agar kehidupan
mereka tidak kacau balau. Wahyu-wahyu Allah yang dihimpun dalam al-
Quran itu menjadi pedoman yang lengkap bagi manusia dalam menjalin
hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya.
Allah swt. berfirman dalam surat al-Baqarah (2) ayat 185
ِ ِو ٱلف رق انِ ه دىِل لن اس ِو ب ي ن َٰتِم ن ِٱهل د ىَٰ
Artinya: “Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut adalah pujian bagi al-
Quran yang diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang
beriman, membenarkan, dan mengikutinya. Kata ََوبيناِت menegaskan bahwa al-Quran dalil yang nyata bagi orang yang memperhatikan dan
memahaminya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya,
berupa petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan untuk melawan
3 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 3.
3
penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan batil, yang halal dan
haram.4
Al-Quran telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna
yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-
kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan
ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam yang
masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.5
Dalam surat al-Zumar (39) ayat 9 Allah menegaskan :
ِ ٱأل لب َٰب ل واِ ِأ و ِي عل م ون ِإ َّن اِي ت ذ ك ر ق لِه لِي ست و يِٱل ذ ين ِي عل م ون ِو ٱل ذ ين ِل
Artinya: “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”
Pada ayat di atas kita menemukan kata berbunyi َيعلمون yang
berasal dari akar kata ِِِِيعلمِِ–علم yang mempunyai masdar “ilmu”. Menurut Badr al-Din al-‘Aini, yang dikutip oleh Irwan Malik Marpaung, ia
mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari
pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu,6 dilanjutnya yang dikutip dari
Majma al-Lughah al-‘Arabiyah menyatakan secara etimologis, kata ilmu
4 Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri al-Dimasyqi, Lubaabut Tafsiir Min
Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005) Jilid I, h. 347 5 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran”. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 122 6 Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259
4
berasal dari bahasa Arab al-‘ilm yang berarti mengetahui hakikat sesuatu
dengan sebenar-benarnya.7
Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk
yang sadar. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari
kemampuannya berpikir, berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya
manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan.8 Menurut bahasa, kata ilmu
adalah masdar yang maknanya sinonim dengan paham dan makrifat. Para
ahli filsafat, mendefinisikan kata ilmu sebagai suatu gambaran yang
dengan sifat itu orang yang mempunyainya akan menjadi jelaslah
baginya sesuatu urusan. Sedangkan menurut al-Ghazali mengatakan
dalam al-Risalah al-Ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang
berpikir (al-nafs al-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat
segala sesuatu, serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik,
kualitas, kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal. Orang yang
mengetahuinya berarti ia adalah samudera yang mampu mengenali dan
menggambarkan, Sedangkan objek yang diketahui merupakan zat sesuatu,
yang mana ilmu tentangnya terukir dalam jiwa.9
Menurut Syed Naquib al-Attas yang dikutip oleh Izzatur Rusuli
dan Zakiul Fuady M. Daud, ilmu terbagi menjadi dua macam, meskipun
keduanya merupakan satu kesatuan yang sempurna. Pertama, ilmu yang
diberikan oleh Allah swt. sebagai karunia-Nya kepada insan. Kedua, ilmu
yang dicapai dan diperoleh manusia berdasarkan daya usaha akliahnya
7 Irwan Malik Marpaung, Konsep Ilmu dalam Islam, Jurnal At-Ta’dib Vol. 6, No. 2,
Desember 2011, h. 259 lihat Majma‘ al-Lughah al-Arabiyah, Mu‘jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-
Da‘wah, 1990, hal. 624. 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 5 9 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
5
sendiri yang berasal dari pengalaman hidup, indera jasmani, nazar-
akali, perhatian, penyelidikan, dan pengkajian. 10
Di dalam Al-Quran pun kita banyak temukan kalimat-kalimat yang
menuntut manusia untuk selalu berpikir tentang tanda-tanda kebesaran
Tuhannya yang ada di sekelilingnya, sehingga ia dapat mencapai suatu ilmu
tertentu dari pemikiran dan pengamatannya tersebut.
Menurut Ghulsyani yang dikutip oleh Jamal Fakhri, al-Quran
sebagai kalam Allah diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Quran bukanlah ensiklopedi
sains dan teknologi apalagi al-Quran tidak menyatakan itu secara
gamblang.11 Dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Quran
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang
cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat. Bahkan, pesan (wahyu)
paling awal yang diterima Nabi saw. mengandung indikasi pentingnya
proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Quran tentang fenomena
alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian
manusia kepada pencipta alam yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana
dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya. Dalam visi al-
Quran, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu,
pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.12 Pandangan Al-Quran tentang ilmu dapat diketahui prinsip-
prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad dalam surat Al ‘Alaq ayat 1-5
10 Izzatur Rusuli dan Zakiul Fuady M. Daud Ilmu Pengetahuan Dari John Locke Ke Al-
Attas. Jurnal Pencerahan, Vol. 9 No. 1, Maret 2015, h. 14 11 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123 12 Jamal Fakhri, Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Jurnal Ta’dib, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010, h. 123-124
6
(ِ ِال ذ يِخ ل ق ِر ب ك م س ب ن سِ 1اق ر أِ ِاْل ِ)(ِخ ل ق ِع ل ق ر م ِ)2ان ِم ن ِاأل ك و ر بُّك ِاق ر أِ )3ِ)
(ِ ل ق ل م ي ع ل م ِ)4ال ذ يِع ل م ِب ن س ان ِم اَِل ِ (5(ِع ل م ِاْل
Artinya: 1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah 4. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya
Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan sesuatu yang harus
dibaca karena al-Quran menghendaki umatnya membaca semua hal selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Pengulangan membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar
menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali
mengulang-ulang bacaan, tetapi hal itu mengisyaratkan bahwa mengulang-
ulang bacaan bismi Rabbik akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan
baru, walaupun yang sesuatu yang dibaca itu sama.
Kata iqra` dalam ayat tersebut akar katanya berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik teks
tertulis maupun tidak. Jadi, iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah,
maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak.13
Dalam wahyu pertama ini mengisyaratkan perintah untuk mengkaji
ilmu. Kajian-kajian tersebut meliputi tiga aspek, yaitu mengenai objek-
objek yang menjadi kajian ilmu, bagaimana cara memperoleh ilmu dan
bagaimana pemanfaatan dan pengembangan ilmu menurut pandangan al-
Quran.
13 M. Quraish Shihab, Wawasan al- Qur`an (Bandung: Mizan, 2006), h. 442
7
Allah swt berfiman dalam surat al-Kahfi (18) ayat 65:
اِع بداِم ن ِع لماِِ ف و ج د ِو ع ل من َٰه ِم نِل د ن ِء ات ين َٰه ِر ح ةِم نِع ند ن ع ب اد ن
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Dari ayat di atas kita menemukan kata ِرحةِمنِعندنdan ِِعلمناِمن
ِعلما keduanya menggunakan sebuah kata dengan makna dari sisi ,لدنkami, jadi dapat kita nisbahkan antara rahmat dan ilmu keduanya datang
dari sisi Allah swt.
Imam Al-Ghozali dalam bukunya ar-Risalah al-Laduniyah
menyatakan ilmu itu ada dua macam, ilmu Syar’i dan ilmu Aqli. Bagi orang
yang telah menguasai, kebanyakan ilmu syar’i itu rasional. Dan menurut
sebagian ahli makrifat, sebagaian besar ilmu rasional itu bersifat syar’i.14
Imam Ghazali kembali menjelaskan bahwa ilmu manusia bisa
diperoleh melalui dua jalan: Pertama, pengajaran manusia; kedua,
pengajaran Tuhan. Cara pertama adalah cara lazim dan jalan yang bisa
diindra serta diakui oleh semua orang berakal. Dan pengajaran Tuhan
melalui dua bentuk: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan
konsentrasi dalam perenungan. Sebab merenung menggunakan bati itu
memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir.15
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Agus Sutiyono ilmu ladunni
adalah mengalirnya cahaya ilham, terjadi setelah taswiyah
14 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 39 15 Ibid, h. 54
8
(penyempurnaan). Untuk mendapatkan ilmu ladunni harus melalui beberapa
proses sebelum sampai pada tingkat penyempurnaan. Imam al-Ghazali
menggolongkan ilmu Ladunni termasuk pengajaran bersifat ketuhanan.
Ia membagi dua jalan pengajaran, yaitu pemberian pelajaran melalui
wahyu dan pemberian melalui ilham. Pemberian pelajaran melalui wahyu
terjadi apabila hati sudah sempurna Dzat-Nya, maka hilang tabiat yang
kotor, ketamakan dan angan-angan yang sesat. Jiwa selalu
menghadapkan wajahnya kepada Sang Pencipta yang menumbuhkannya.
Ilmu ini biasanya diterima nabi. 16
Adapun pembelajaran melalui ilham adalah peringatan jiwa
kullyah (total) kepada jiwa manusia secara juz’i (sebagian), yang bersifat
kemanusiaan sesuai dengan kadar kesiapan dan kekuatan penerimanya.
Ilham sendiri adalah bekas wahyu. Wahyu adalah penjelasan perkara
gaib, sedangkan ilham adalah bentuk samarnya. Ilmu yang diperoleh dari
wahyu dinamakan ilmu nabawy, sedang- kan ilmu yang diperoleh dari ilham
dinamakan ilmu ladunni. 17
Ilmu ladunni adalah ilmu yang pencapaiannya tanpa perantara
antara jiwa seseorang dengan Allah. Ia seperti cahaya dari lampu gaib yang
jatuh ke dalam hati yang bening, bersih dan halus. Proses munculnya
ilham melalui penuangan akal kully dan dari penyinaran jiwa kuliyyah.
Karena itu wahyu merupakan per-hiasan para nabi sedangkan ilham
merupakan perhiasan para wali (kekasih Allah). Apabila pintu pikiran
telah terbuka atas jiwa, seseorang akan mengerti bagaimana cara
berpikir dan bagaimana kembali dengan ketajaman pikirannya kepada
orang yang dicari. Hati menjadi lapang, mata hati menjadi terbuka,
16 Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317 17 Ibid,
9
kemudian keluarlah apa yang ada di dalam hati berupa kekuatan sampai
perbuatan dengan tanpa tambahan pencarian dan kesulitan. 18
Imam Syafi’i r.a. pernah menggugah sebuah syair tentang
bagaimana sebaiknya seseorang dalam mencari ataupun menuntut ilmu
yang berbunyi:
ِبستةِ#ِسأنبيكِعنِتفصيلهاِببياِن أخيِلنِتنالِالعلمِإل
صحبةِأستاذِوِطولِزماِنِدرهمِذكاءِوِحرصِوِاجتهادِ#ِو
Artinya: Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali
dengan enam perkara. Aku akan menyebutkan perinciannya:
(yaitu) Kecerdasan, Ambisi, Jihad, Modal, Bimbingan Guru dan Waktu
Yang Lama.
Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa
didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga mencapai
tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-angan
sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan syarat-
syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi, jihad,
modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah akhlak
yang mulia bagi orang yang menjalaninya.
Di antara syarat-syarat di atas yang dijabarkan oleh Imam Syafi’i
adalah bimbingan dari seorang guru, karena gurulah yang membimbing kita
sehingga kita tidak tersesat mengambil jalan dalam menuntut ilmu.
Sehingga wajiblah bagi kita untuk menghormati para guru dengan adab
18 Ibid.
10
yang baik sehingga kita mendapatkan rahmat Allah dengan adanya Ilmu
yang kita pelajari.
Namun nyatanya pada dewasa ini kita banyak menemukan banyak
Muslim yang menjadikan Al-Quran hanya sebagai pajangan di rumahnya19,
tanpa dibaca apalagi ditadabburi, sehingga banyak dari kita yang
kebingungan ketika menemui sebuah permasalahan hidup. Karena bukan
kitab yang telah diturunkan oleh Pencipta manusia yang kita baca dan kaji
melainkan tulisan-tulisan fiksi yang hanya dapat mengisi angan dalam hati.
Masyarakat memandang ilmu yang ada saat ini sudah benar-benar
ilmu yang tinggi sehingga menjadikan dirinya tinggi pula di hadapan para
manusia, padahal jika kita pelajari lebih dalam lagi, masih teramat banyak
ilmu yang belum kita ketahui dan pelajar.
Jauh lagi kita temukan orang-orang pada umumnya bahkan
masyarakat Muslim yang kurang memiliki adab yang baik saat mencari ilmu
dari gurunya. Akhir-akhir ini kita banyak sekali menemui berita-berita
terkait permasalahan di atas seperti seorang guru di Jakarta Timur yang
dipukul dan dijambak oleh siswanya sendiri,20 dan masih banyak lagi
contoh-contoh kurangnya akhlak seorang yang ingin menuntut ilmu kepada
seorang guru. Sehingga jika kita pandang dari sisi keIslaman menyebabkan
kurang barakahnya ilmu sampai-sampai Allah enggan untuk menurunkan
rahmat-Nya untuk si penuntut ilmu, sehingga setelah ia mempelajari banyak
bidang ilmu bukan malah mendekatkannya kepada Sang Pemilik Ilmu
19 Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/ pada 10 maret 2018
11.00 20 Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul dan
Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-
kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385 pada tanggal 10
Maret 2018 10.45
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385https://news.detik.com/berita/d-3510572/kisah-kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385
11
malah menjadikan ia semakin jauh dari mengenal Tuhannya, lebih parahnya
sampai ia tidak mengakui adanya Tuhan.21
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas
masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian
Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan
diatas. maka penulis perlu mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Ada anggapan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang sangat
langka dan tidak ada cara untuk mendapatkannya.
2. Masih banyak yang belum mengerti bagiamana sebenarnya
konsep ilmu laduni dalam perspektif al-Quran dalam surat al-
Kahfi ayat 65.
3. Masih ada umat Muslim yang kurang berakhlak ketika belajar
dengan guru.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis
perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan
dibatasi hanya pada konsep ilmu laduni dalam perspektif Al-Quran (Kajian
tafsir surat al-Kahfi ayat 65) dan bagaimana cara untuk memperolehnya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya
yaitu:
21 Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia, diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-
mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jeniushttps://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-tuhan-di-mata-orang-jenius
12
1. Bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-Quran
dalam surat al-Kahfi ayat 65?
2. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkannya
sebagai implementasi dari tafsiran surat al-Kahfi ayat 65?
E. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Konsep
Ilmu Laduni dalam pandangan Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat
65) adalah memberikan penjabaran mengenai bagaimana konsep Ilmu
Laduni menurut pandangan Al-Quran dan bagaimana seharusnya seseorang
berprilaku ketika akan berhadapan dengan seorang guru. Hal ini
dikarenakan pada masa ini makna ilmu sendiri yang mulai terkikis dengan
paham barat sehingga umat Islam banyak meninggalkan rujukan pentingnya
dalam bepegang pada agama dan masih banyaknya murid yang lupa
bagaimana sebaiknya bertata krama kepada gurunya. Adapun yang lebih
ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
menjelaskan bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-
Quran kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.
1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman penulis
mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun
melaksanakan penelitian.
2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih
gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi
serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang
berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
13
3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjadi
tauladan yang baik bagi muridnya serta sifat apa saja yang harus
ditanamkan pada diri setiap guru dan murid
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Ilmu Ladunni
1. Pembagian Ilmu dalam Islam
Dalam KBBI kata Ilmu sendiri memiliki 3 makna : yaitu
pertama, pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu, kedua,
pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin,
dan sebagainya), ketiga, Maha mengetahui, sifat yang wajib bagi Allah
Swt.1, sedangkan menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Akhmad Sodiq
dalam bukunya Epistemologi Islam, Kata ilm (ilmu pengetahuan) adalah
bentuk kata ambiguitas (musytarak: mempunyai banyak arti) yang
meliputi penglihatan dan perasaan. Kata ‘ilm itu menurutnya telah
mengalami perluasan makna. Dalam wacana Islam awal kata tersebut
berarti ilmu pengetahuan tentang Allah, tanda-tanda perbuatan-Nya
terhadap hamba dan makhluk-Nya. Pada fase berikutnya kata ‘ilm
mengalami perluasan makna yang mencakup berbagai jenis
pengetahuan.2 al-Ghazali mengatakan lagi dalam ar-risalah al-
ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang berpikir (an-nafs
an-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat segala sesuatu,
serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik, kualitas,
kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal, Sedangkan objek
yang diketahui merupakan zat sesuatu, yang mana ilmu tentangnya
terukir dalam jiwa.3 Sedangkan Menurut Abu Musa al-Asy'ari, dikutip
1 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu diakses pada 31 Juli 2019 2 Akhmad Sodiq, Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23. 3 Al-Ghazali, Ar-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu
15
oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah
sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca
inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan.4
Adapun kemuliaan ilmu itu sejauh kemuliaan objek yang
diketahui, dan derajat orang yang mengetahui pun sesuai derajat
ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa objek ilmu yang paling utama,
paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah Allah; Pembuat
(ash-Shani’), Pendahulu (al-Mubdi`), Maha Benar lagi Esa (al-Haqq al-
Wahid).5 Sedangkan terminologi ilmu dalam Al-Quran mengandung
empat pengertian,6 yakni :
1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. Jenis ini hanya
dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan
ini disebut dalam QS. Hud (11): 14, yakni :
ِف ه لِأ نت مِ ِه و ِإ ل َٰه ِإ ل ِٱَّلل ِو أ نِل ِب ع لم أ َّن اِأ نز ل ل ك مِف ٱعل م واِ يب واِ ف إ َل ِي س ج 14ِمُّسل م ون ِ
Terjemahan:
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima
seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu) :
“Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan
dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Allah swt.
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada
Allah)?”
4 Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2 5 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10. 6 Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.
16
2. Pengetahuan yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan
utusan-Nya. Pengetahuan seperti ini bersifat khusus dan
dalam eksistensinya tertuang ke dalam kitab suci dan ajaran
para Rasul-Nya. Misalnya QS. al-Baqarah (2): 145, yakni :
ِإ ذاِل م ن ِٱلظ َٰل م ني ِ ِإ ن ك ِٱلع لم ِم ن ِأ هو اء ه مِم نِب عد ِم اِج اء ك و ل ئ ن ِٱت ب عت
Terjemahan:
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu
–kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Pengetahuan yang disandarkan kepada malaikat yang
diberikan Allah swt, yang hakekatnya hanya Allah sendiri
yang tahu. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2) : 32,
yakni :
ِم اِع ل مت ن اِإِ ِع لم ِل ن اِإ ل ِل ن ك س بح َٰ ِٱلع لِ ق ال واِ ِأ نت يم ِٱل ك يم ِِن ك
Terjemahnya :
Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
4. Pengetahuan yang dimiliki manusia seperti yang terkandung
dalam QS. al-Qashash (28) : 78, yakni :
ِإ َّن اِأ وت يت هِ ِع ند يِِۥَق ال ِع لم ع ل ىَٰ
Terjemahnya :
17
Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi
harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.
Pengertian-pengertian ilmu yang terinterpretasi dari ayat-ayat di
atas, memberikan indikasi bahwa ilmu atau pengetahuan dalam jiwa
manusia tidaklah bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Manusia dilahirkan tanpa mempunyai pengetahuan sedikitpun dan pada
tahap selanjutnya manusia memperoleh pengetahuan melalui ta’lim dari
Allah swt. Dengan demikian, tidaklah berarti bahwa pengajaran Allah
swt. tentang ilmu kepada manusia terjadi secara otomatis, justru Al-
Quran mengisyaratkan beberapa cara bagaimana manusia menemukan
ilmu atau pengetahuan tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu
dalam Al-Quran lazimnya dipergunakan dalam dua batasan pengertian,
yakni ilmu yang dinisbahkan kepada Allah dan ilmu yang dinisbahkan
kepada manusia.
Abd. Muin Salim yang dikutip oleh Muchlis Nadjmuddin
mengatakan bahwa dengan merujuk pada term-term al-‘ilm beserta
devariasinya di dalam Al-Quran, kelihatannya para mufassir berbeda-
beda dalam mengklasifikasikan ilmu. Ada yang berpendapat bahwa
ilmu terdiri atas dua, yakni ilmu nazari dan ilmu ‘amali. Yang pertama,
yaitu ilmu yang sudah cukup dengan mengetahuinya tanpa harus
mengamalkannya, seperti mengetahui adanya makhluk hidup di dalam
sebuah genangan air. Yang kedua, yaitu ilmu yang tidak cukup hanya
dengan mengetahuinya saja, tetapi harus dengan diamalkan, seperti ilmu
tentang ibadah kepada Allah swt.7
Ada pula yang membagi ilmu tersebut menjadi “aqli”dan
“sam’i”. Yang pertama, yaitu ilmu yang didapat melalui penelitian;
seperti ilmu tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara dua
7 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010, h.
178
18
hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa
penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2 menjadi
3 (1 + 2 = 3).
Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam”
dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikian
seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai pembagian
atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif. 8
Musa Asy’arie, yang dikutip oleh Fathul Mufid, dalam bukunya
Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, menjelaskan bahwa ilmu
dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau husuli dan jalan
ladunni atau huduri. Jalan kasbi atau husuli adalah cara berpikir
sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap
melalui proses pengalaman, penelitian, percobaan, dan penemuan.9
Sementara ilmu ladunni atau huduri hanya diperoleh orang-orang
tertentu dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi
dengan proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalb,
sehingga semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca
dengan jelas tercerap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang
tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung, dimana Tuhan
bertindak sebagai pengajarnya.10
Fakhruddin al-Razi (selanjutnya ditulis al-Razi) menjabarkan
tentang pengetahuan dan metode memperoleh ilmu. Menurut al-Razi,
terdapat dua jenis pengetahuan dilihat dari hasilnya yaitu tashdiq dan
tashawwur. Jika pengetahuan itu dapat dihukumi (benar atau salah),
maka itu adalah hasil dari tashdiq. Jika pengetahuan itu tidak dapat
diverifikasi benar atau salah, akan tetapi hanya mampu dirasakan oleh
8 Ibid, h. 179 9 Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No. 2 November
2012, h. 281 10 Ibid.
19
jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki
arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua
metode yaitu nazhari dan kasbi.11
Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang
tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara otomatis
akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang
diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan rasa
sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya eksistensi
(wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan
dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan
menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq
menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada
atau tiadanya sesuatu.12
Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu
melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar
sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi
pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk memperoleh
informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,
mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif dalam
menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah
rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13
Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan
riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14 serta
11 Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
1999), Cet. 3, h. 482.
12 Ibid. 13 Ibid. 14 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
20
menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek
berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk
menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah
ilmu ladunni.
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyah ia
membagi metode pencapaian pengetahuan dalam 2 model yaitu: metode
pendidikan humanis (al-ta’lim al-insaniy) dan metode pendidikan
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).15 Dari dua model di atas kita bisa
melihat ada peranan manusia yang lebih dominan yaitu pada metode
pendidikan humanis dengan kata lain kita dapat menyebutnya juga
sebagai metode kasbi dan pada metode kedua lebih bisa kita sebut
dengan ladunni karena kekuasaan untuk memberikan pembelajaran
tersebut hanya ada atas kuasa Allah.
Pendapat al-Razi bertolak belakang dengan pendapat al-Ghazali.
Jika al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan melalui
jalan penelitian kepada ilmu kasbi dan ilmu ladunni merupakan
golongan tersendiri, al-Razi justru memasukkan ilmu ladunni kepada
metode kasbi.
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36. 15 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
21
Penulis melihat maksud al-Razi memisahkan antara ilmu nazhari
dan kasbi karena perbedaan usaha subjek. Subjek dianggap otomatis
mengetahui ilmu nazhari, sebaliknya subjek butuh usaha untuk
mendapatkan ilmu kasbi. Hal tersebut pula yang mendasari al-Razi
untuk menggolongkan ilmu ladunni ke dalam ilmu kasbi, karena subjek
memerlukan usaha untuk menyiapkan wadah bagi ilmu tersebut.
Sedangkan al-Ghazali memisahkan antara ilmu kasbi dan ilmu
ladunni karena ilmu kasbi mampu diusahakan secara aktif oleh subjek
dengan melakukan penelitian terhadap objek ilmu pengetahuan. Dan
pada ilmu ladunni, subjek tidak dapat memaksa ilmu tersebut untuk
hadir, melainkan hanya menunggu curahan nur ilahiy dari Allah.
Dengan kata lain, menurut al-Ghazali, pada ilmu ladunni subjek bersifat
pasif.
Terlepas dari perbedaan itu, menurut hemat penulis, penjelasan
al-Ghazali dan al-Razi sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan sudut
pandang dalam mengelompokkan ilmu ladunni entah berdiri sendiri atau
masuk ke dalam ilmu kasbi hanya karena subjek dan objek ilmu itu.
Dalam memperoleh ilmu ladunni, memang subjek perlu aktif untuk
menyiapkan wadahnya. Di sisi lain, subjek harus rela menunggu
curahan nur ilahiy pada wadah yang telah ia siapkan.
Dari penjabaran al-Ghazali dan al-Razi dapat kita simpulkan
bahwa Ilmu Laduni adalah Curahan Nur Ilahy dari Allah kepada hati
seseorang yang telah berusaha menyucikan batinnya melalui metode
mujahadah dan riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya
khayaliyah16 serta menguatkan daya aqliyah, ia adalah ilmu yang akan
16 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar,
22
menghantarkan seseorang kepada keyakinannya karena bersumber dari
sumber yang Satu, ia juga ilmu yang mampu menyingkapkan hijab hati
atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran akan sesuatu itu.
2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali
Ilmu kasbi, yakni pengetahuan yang diperoleh manusia
bersumber dari luar dirinya melalui pengalaman hidup ataupun dengan
usaha yang disengaja. Sedangkan Menurut al-Ghazali, pendekatan
pembelajaran humanis atau kasbi merupakan metode pencapaian
pengetahuan yang didasarkan pada usaha manusia secara aktif memalui
kegiatan intelektual. Hal ini terdapat tiga macam, macam yang pertama
misalnya adalah pengetahuan lingkungan hidup yang merupakan bagian
dari kehidupan manusia seperti matahari yang terbit di Timur dan
terbenam di Barat. Bentuk yang lebih kompleks adalah pengetahuan
atau budaya yang diwarisi secara tidak disadari. Sedang macam kedua
misalnya adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan usaha-usaha
belajar, mendengar keterangan atau membaca dari tulisan-tulisan yang
ada, dan dalam bentuk kompleks adalah yang diperoleh dengan
penelitian.
Paradigma ilmu kasbi ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq
(96): 1-5, yakni :
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq, Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
23
ِِ ِٱل ذ يِخ ل ق ِر ب ك ١ِِِِِٱقر أِب ٱسم ن ِم نِع ل ق نس َٰ ِٱْل ِٱأل كر م ٢ِِِِخ ل ق ٱقر أِو ر بُّك
٣ِِِ ن ِم اَِل ِي عل م٤ِِٱل ذ يِع ل م ِب ٱلق ل م نس َٰ ٥ع ل م ِٱْل
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Ayat di atas, mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu
pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah swt. memerintahkan Nabi saw.
agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu obyeknya bermacam-
macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat yang tertulis (ayat al-
quraniyah), dan dapat pula ayat-ayat Allah swt. yang tidak tertulis (ayat
al-kauniyah). Membaca ayat-ayat qur’aniyah, dapat menghasilkan ilmu
agama seperti fikih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sedangkan
membaca ayat-ayat kauniyah dapat menghasilkan sains seperti fisika,
biologi, kimia, astronomi dan semacamnya.
Dapatlah dirumuskan bahwa ilmu kasbi tersebut bersumber dari
ayat-ayat qur’aniyah dan kauniyah, dan untuk memperolehnya maka
manusia dituntut untuk senantiasa membaca. Timbul pertanyaan,
mengapa kata iqra’ atau perintah membaca dalam sederatan ayat di atas,
terulang dua kali yakni pada ayat 1 dan 3. Jawabannya menurut penulis
bahwa, perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah mencari ilmu,
sedang yang kedua perintah untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain.
Ini mengindikasikan bahwa ilmu kasbi harus dituntut dengan uasaha
yang maksimal dan memfungsikan segala potensi yang ada pada diri
manusia. Setelah ilmu tersebut diperoleh, maka amanat selanjutnya
adalah mengajarkan ilmu tersebut, dengan cara tetap memfungsikan
segala potensi tersebut.
24
Potensi-potensi pada diri manusia yang harus digunakan untuk
menuntut ilmu tersebut adalah al-sama (pendengaran), al-bashar
(penglihatan), dan al-fu’ad (hati). Ketiga potensi ini disebutkan dalam
beberapa secara bersamaan, misalnya dalam QS. al-Nahl (16): 78
ت كِ ِأ م ه َٰ أ خر ج ك مِم نِب ط ون ِيِِ مِل ِو ٱَّلل ِ ِاِو ج ع ل ِل كِ ِٔت عل م ون ِش ر م ِٱلس مع ِو ٱأل بص َٰ
ِِِٔ و ٱأل ف ة ِل ع ل ك مِت شك ر ون د
Ketiga potensi yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan
alat potensial untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, Allah swt.
telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada manusia
agar dipergunakan untuk merenung, memikirkan dan memperhatikan
apa-apa yang ada di luar dirinya. Dari hasil lacakan penulis, kata al-
sam’u di dalam Al-Quran selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan
selalu mendahului kata al-abshar dan al-af’idah. Sebab didahulukannya
al-sam’u (pendengaran) disini, mengisyaratkan bahwa potensi
pendengaran lebih berfungsi ketimbang penglihatan dan hati dalam
proses pencarian ilmu. Namun demikian, dalam pandangan penulis
bahwa ketika ketiga potensi ini tidak saling menopang maka tidak akan
membuahkan ilmu yang sempurna. Dikatakan demikian, karena ketiga
potensi tersebut sangat terkait.
Kaitan antara ketiga potensi tersebut adalah bahwa pendengaran
bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh
orang lain, penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan
menambahkan hasil penelitian dengan mengadakan pengkajian
terhadapnya. Hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari segala
sifat yang jelek, lalu mengambil beberapa kesimpulan.
25
Dari ketiga potensi ia atas menurut Al-Ghazali dapat mengambil
dua bentuk pembelajaran humanis atau kasbi yaitu: proses belajar
mengajar (ta’lim) dan proses berpikir (al-tafkir)
a. Pendekatan pembelajaran humanis
Al-Ghazali mendefinisikan al-ta’lim sebagai upaya
seseorang (peserta didik) untuk mengambil manfaat
(pengetahuan) dari pendidik (al-syaikh al-juziy) sebagai kiat
untuk mengeluarkan pengetahuan dari potensi (al-quwwah)
kepada aktualitas (al-fi’il). Batasan tersebut dikembangkan
di atas paradigma bahwa ilmu pengetahuan menurut Al-
Ghazali terpendah secara potensial di dasar jiwa. Tepatnya
di dalam hati. Keberadaan ilmu itu seperti mutiara di dasar
lautan. Ketika jiwa peserta didik tersebut telah beranjak
dewasa maka jadilah ia seperti tanaman yang berbuah17.
Artinya, ketika manusia itu telah dewasa ia akan bisa
berpikir dan membentuk kesimpulan-kesimpulan.
Dari kedua kesimpulan yang dapat diambil
kesimpulan yang baru sehingga pengetahuan orang tersebut
bercabang-cabang. Apa yang dijelaskan al-Ghazali tampak
sejalan dengan dialektika Friedrich Hegel. Menurut Hegel
proses berpikir itu diawali dengan tesis, kemudian muncul
antitesis dan selanjutnya diambil sintesis. Sintesis tersebut
selanjutnya dianggap sebagai tesis kembali untuk
selanjutnya dicari antitesis dan sintesisnya demikian
seterusnya sampai mencapai kebenaran tertinggi.
Jika diperhatikan model pencapaian melalui proses
belajar mengajar ini merupakan model pencapaian rasional
pertama di mana akal masih baru saja bergerak dari kondisi
17 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 68
26
potensial menuju aktual. Karena proses pergeseran kondisi
itu dibantu oleh pendidik – sebagai faktor ekstern –, maka
model ini oleh al-Ghazali disebut sebagai model dari luar (al-
thariq min kharij).18
b. Proses Berpikir
Adapun yang dimaksud dengan al-tafkir ialah
pengaktifan jiwa dari jiwa universal. Seperti pembahasan
sebelumnya dalam konsep metafisika al-Ghazali, Jiwa
Universal (al-Nafs al-Kulli) lebih lembut dan lebih mulia
dibanding jiwa seluruh makhluk. Pengajaran dari Jiwa
Universal merupakan bentuk pengajaran yang paling kuat
dan membekas dalam jiwa dibanding dengan seluruh
pengajaran ilmuan ataupun para pendidik lainnya.
Ketika cahaya akal telah mampu mengalahkan sifat-
sifat jiwa, maka pencari ilmu akan merasa cukup dengan
sedikit berpikir namun mampu menandingi orang yang
banyak belajar. Hal ini karena jiwa tersebut telah mampu
menemukan faedah dari kontemplasi sesaat yang tidak
ditemukan oleh jiwa material dengan belajar setahun.
Bagaimanapun juga proses belajar tidak bisa lepas dari
berpikir sehingga mayoritas ilmu teoritis (al-‘ulum al-
nadhariyah) dan teknologi teoritis (al-shana’i al-ilmiyah)
dihasilkan oleh para ilmuwan dengan kejernihan pemikiran
dan kekuatan kontemplasi tanpa menambah bacaan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika pintu
pemikiran terbuka pada jiwa, ia segera dapat mengetahui
cara berpikirdan berkontemplasi. Maka hatinya akan
memberi penjelasan, mata batinnya terbuka sehingga
18 Ibid.
27
keluarlah apa-apa yang terpendam (pengetahuan) dalam jiwa
sebagai potensi menjadi aktualitas tanpa harus menambah
bacaan. 19
Strategi belajar yang ditawarkan al-Ghazali bagi
mereka yang telah menjangkau tingkat al-‘aql bi al-fi’l ialah
dengan hanya sedikit belajar yakni hanya mempelajari
secara global dan hal-hal penting saja. Ia memberi contoh:
seorang matematikawan tidak perlu menghabiskan umurnya
hanya untuk mempelajari seluruh unsur matematika, tapi
cukup mempelajari prinsip-prinsip global dan tema-tema
pentingnya. Dari prinsip global dan tema-tema penting
tersebut kemudian diolah dan dikiaskan. Begitu juga seorang
dokter, ia tidak akan mampu mempelajari seluruh bagian
pengobatan bagi setiap orang, tetapi cukup dengan
mengetahui prinsip-prinsip umum dan melakukan terapi
berdasarkan kekhususan masing-masing pasien. Demikian
juga halnya dengan seorang faqih, astronom dan
sebagainya.20
Dalam Bahasa Arab terdapat banyak term-term yang
semakna dengan proser berpikir tersebut diantaranya
Tafakkur, tadzakkur, nazhar, ta'ammul, i'tibar, tadabbur, dan
istibshar, semua kata ini mirip artinya; sama dalam satu sisi
tapi berbeda dalam sisi yang lain.
Disebut tafakkur kerana dalam semua proses itu
menggunakan dan menghadirkan fikiran. Dan, disebut
tadzakkur kerana menghadirkan ilmu yang harus diingat-
ingat setelah terlupa dan hilang. Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila
mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka (tadzakkur)
19 Ibid., h. 70 20 Ibid., h. 65
28
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya."(Al-A'raaf:201)
Disebut nazhar kerana melihat dengan mata hati pada
hal yang difikirkan. Adapun disebut ta'ammul kerana
mengulang-ulang fikiran sampai terlihat jelas dan terbuka
bagi hatinya. Sementara itu, disebut i'tibar (yang bererti
menyeberangi) kerana dia menyeberang dari suatu hal ke hal
yang lain; dia menyeberang dari hal yang difikirkannya
menuju ke pengetahuan ketiga. Yang disebut dengan
pengetahuan ketiga ini adalah tujuan dalam i'tibar itu. Ia
disebut sebagai ‘ibrah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu
dan pengetahuan telah menjadi haal (karakter) bagi
pemiliknya. Dengan begitu, seseorang dapat melintas atau
menyeberang menuju sesuatu yang diinginkannya. Allah
SWT berfirman,
"Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran ('ibrah) bagi orang yang takut (kepada
Rabbnya)." (An-Naazi'aat: 26)
"Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat
pelajaran ('ibrah) yang besar bagi orang-orang yang
mempunyai penglihatan." (An-Nuur: 44)
Disebut tadabbur kerana merupakan perenungan
tentang akibat dan akhir suatu perkara. Allah SWT
berfirman,
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan
(yaddabbaru) perkataan (Kami)?" (Al-Mukminuun: 68)
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan
(yatadabbaruun) Al-Qur'an? Kalau Al-Qur'an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa: 82)
29
Jadi, arti mentadabburi suatu kalimat adalah
memikirkannya dari bahagian awal sampai akhir, kemudian
mengulang-ulangi perenungannya.
Dan disebut istibshar, (wazan istif'al dari kata
tabasshur) yang bererti jelas dan tersingkapnya sesuatu hal
di depan bashirah (mata hati).
Baik tadzakkur mahupun tafakkur punya faedah
masing-masing. Tadzakkur berarti hati mengulang-ulang apa
yang diketahuinya agar tertanam dengan kuat di dalamnya,
sehingga tidak terhapus dan pudar dari dalam hati secara
keseluruhan. Adapun tafakkur berarti memperbanyak ilmu
dan mencari apa yang belum ada di hati. Jadi tafakkur itu
gunanya mencari ilmu dan tadzakkur berguna untuk
menjaganya. Oleh kerana itu, Hasan Al-Bashri berkata,
"Para ulama senantiasa memanfaatkan tafakkur dan
tadzakkur. Mereka berbicara dengan hati sampai akhirnya
hati itu melahirkan hikmah."
3. Ilmu Ladunni
Ilmu Laduni adalah ilmu yang diperoleh tanpa perantara antara
jiwa dengan Tuhan. Ia tiada lain laksana cahaya yang berasal dari pelita
gaib yang mengenai hati yang bersih, kosong, dan lembut.21 Ilmu
ladunni adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses
belajar. Paradigma ilmu ladunni ini adalah firman Allah dalam QS. al-
Kahfi (18): 65, yakni:
ِو ع لِ ِء ات ين َٰه ِر ح ةِم نِع ند ن اِع بداِم نِع ب اد ن ِع لماِِف و ج د من َٰه ِم نِل د ن
21 Ibid, h. 68.
30
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami,
dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu itu menghidupkan hati
dari kebutaan, sinar penglihatan dari kegelapan dan kekuatan badan
dari kelemahan yang menyampaikan hamba ke kedudukan orang-
orang yang baik dan derajat yang tinggi. Memikirkan tentang ilmu
itu mengimbangi puasa, mempelajarinya mengimbangi mendirikan
malam, dengan ilmu Allah Swt. ditaati, dengannya Dia ditauhidkan,
dimuliakan, dengannya hamba menjadi wara’, dengannya sanak
kerabat disambung, dengannya diketahui halal dan haram. Ilmu itu
pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya orang-orang yang
berbahagia itu diberi ilham mengenai ilmu dan orang-orang yang celaka
itu terhalang.22
Ibnu Ajibah menjelaskan mengenai ilmu ladunni dalam
tafsirnya, al-Bahr al-Madid, bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang
dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh Allah
ke hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-
rahasia rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh
akal melalui pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal
serta tidak terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena
bersumber dari-Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan.
Kemudian ilmu yang berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir
dan kejadian-kejadian di masa yang akan datang, ilmu yang terkait
dengan perkara-perkara syariat dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang
22 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, T.t.), h. 12 – 13.
31
rahasia kekhususan huruf-huruf dan simbol, dan ilmu lainnya yang
dilimpahkan dari luasnya samudera ilmu Allah.23
Menurut Muchlish Nadjmuddin bahwa ilmu ladunni ini, adalah
pengetahuan limpahan, misalnya ilham atau serupa. Karena itu tepat
juga bila dikatakan bahwa ia sama dengan ilmu wahbiy sebagaimana
yang dikonsepsikan oleh Abd Muin Salim yaitu pengetahuan yang
diperoleh manusia bersumber dari luar dirinya sebagai pemberian Tuhan
kepadanya baik untuk kepentingannya sendiri maupun untuk
kepentingan kemanusiaan dan juga lingkungannya.24
Kalau kembali dicermati QS. Al-Alaq (96) yang telah dikutip
terdahulu, disana memang dijelaskan bahwa disamping ilmu kasbi ada
juga ilmu ladunni. Allah swt. “mengajar dengan qalam”, yakni mengajar
manusia melalui upaya mereka adalah tergolong sebagai ilmu kasbi.
Sedangkan Allah swt. “mengajar apa yang mereka tidak ketahui”, tanpa
usaha mereka, tetapi langsung sebagai curahan rahmat-Nya, inilah yang
disebut dengan ilmu ladunni. Perlu penulis tegaskan disini bahwa
manusia dalam memperoleh ilmu ladunni memiliki syarat-syarat
tertentu, misalnya yang bersangkutan adalah seorang nabi atau rasul-
Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Jin (72) 26-27,
yakni :
23 Nukilan asli: َوقولهَتعالى:ََوَعلَّْمناهَُِمْنَلَدُنَّاَِعْلماً،َالعلمَاللدني:َهوَالذيَيفيضَعلىَالقلبَمنَغيرَاكتسابَوال
أَْوَرثَهَُهللاَُعلَمََماَلَْمَيَْعلَْم«َ.َوذلكَبعدَتطهيرَالقلبَمنَالنقائصَوالرذائل،َتعلم،َقالَعليهَالصَلةَوالس َلم:َ»منََعِمَلَبَِماََعِلَمَ
واألسرارَالربانية،ََوتفرغهَمنَالعَلئقَوالشواغل،َفإذاَكملَتطهيرَالقلب،َوانجذبَإلىَحضرةَالرب،َفاضتَعليهَالعلومَاللدنيةَ،
الَتفهمهاَالعقولَوالَتحيطَبهاَالنقول،َبلَتُسلمَألربابها،َمنَغيرَأنََمنهاَماَتفهمهاَالعقولَوتدخلَتحتَدائرةَالنقول،َومنهاَما
يقتدىَبهمَفيَأمرها،َومنهاَماَتفيضَعليهمَفيَجانبَعلمَالغيوبَكمواقعَالقدرَوحدوثَالكائناتَالمستقبلة،َومنهاَماَتفيضَ
لىَغيرَذلكَمنَعلومَهللاَتعالى.َوباهللَيهمَفيَعلومَالشرائعَوأسرارَاألحكام،َومنهاَفيَأسرارَالحروفَوخواصَاألشياء،َإعل
:Lihat Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Juz 3, (Kairo .التوفيق
Doktor Hasan Abbas Zaki, 1998), h. 287. 24 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli 2010,
h. 182-183
32
ِغ يب هِ ِع ل ىَٰ ِي ظه ر ِف ل ِٱلغ يب ل م ِِۦٓع َٰ ا ِم نِر س ولِفِ 2٦ِأ ح د ِٱرت ض ىَٰ ِم ن ِۥإ ن هِ إ ل
يه ِو م نِخ لف هِ ِم نِب ني ِي د 2٧ِِر ص داِِۦَي سل ك
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, Maka Dia
tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Penulis tidak menemukan adanya ayat secara qat’iy yang
melegalisasi bahwa selain nabi/rasul akan memperoleh ilmu ladunni.
Akan tetapi dengan memahami tafsiran firman Allah dalam QS. Fathir
(35):28, yakni
ع ز يٌزِغ ف ورٌِ إ ن ِاَّلل ِ ِع ب اد ه ِال ع ل م اءِ م ن إ َّن اَِي ش ىِاَّلل ِ
dan hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa “ulama adalah
pewaris nabi”, praktis bahwa ilmu ladunni dapat saja diperoleh oleh
siapa selain nabi dengan syarat dia adalah ulama yang notabene sebagai
“pewaris nabi”. Pada sisi lain, dalam pandangan penulis bahwa potensi
“al-af’idah” atau “al-fu’ad” yang dianugerahkan Allah kepada manusia
itu, jika senantiasa dipelihara dengan baik, dalam artian manusia
mensucikan jiwanya dan menjernihkan kalbunya, praktis bahwa ilmu
ladunni tersebut akan dicapainya. Jadi, ilmu tidak selamanya diperoleh
melalui proses belajar-mengajar, tetapi ia adalah ilham yang
dinampakkan Allah ke dalam hati orang-orang yang dikehendakinya.
4. Kemuliaan Orang-orang yang Berilmu Menurut Al-Quran
Dalam sederetan ayat Al-Quran dikatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang termulia. Faktor kemuliaan manusia disebabkan
ia memiliki ilmu pengetahuan, dan karena demikian sehingga malaikat
33
pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim
menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui
pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka
menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan
Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih
tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :
ت ٱلع لم ِد ر ج َٰ م نك مِو ٱل ذ ين ِأ وت واِ ٱل ذ ين ِء ام ن واِ ِٱَّلل ِ ي رف ع
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, dijelaskan dalam
riwayat bahwa ketika di hari Jum'at Nabi saw. berada di suatu tempat
majelis ilmu yang sempit, saat mana tengah menerima tamu dari
penduduk Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, tiba-tiba
sekelompok seorang yang didalamnya termasuk Tsabit bin Qais datang
dan ingin duduk di bagian depan tempat tersebut. Mereka berdiri
memuliakan Nabi saw. dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi
menjawab salam yang lainnya. Mereka berdiri disampingnya dan
menunggu agar diberikan tempat agak luas. Namun orang yang dating
terdahulu tetap tidak memberikan peluang. Kejadian tersebut kemudian
mendorong Nabi saw. mengambil inisiatif dan berkata kepada sebagian
orang yang ada disekitarnya, berdirilah kalian, berdirilah kalian.
Kemudian berdirilah sebagian kelompok tersebut berdekatan dengan
orang yang datang terdahulu, sehingga Nabi saw. tampak menunjukkan
kekecewaannya dihadapan mereka. Dalam keadaan demikian itulah ayat
tersebut diturunkan.
34
Dengan mencermati sebab nuzul di atas, maka dapat dipahami
bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan "majelis ilmu". Hal ini
lebih jelas bila dikutip potongan ayat sebelumnya, yakni fil majalis
maksudnya adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di
majelis Rasulullah, maka segeralah berdiri. Masih terkait dengan sebab
nuzulnya, dapat dipahami bahwa ayat tersebut mendorong untuk selalu
diadakannya kegiatan majelis ilmu, karena dengan begitu maka orang
yang aktif di dalamnya akan diangkat derajatnya yang tinggi di sisi
Allah.
Abd Muin Salim yang di kutip oleh Muchlis Nadjmuddin25 juga
menegaskan bahwa QS. Al-Mujadalah (58): 11 (di atas pen.)
menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan kedudukan lebih tinggi
kepada orang yang beriman dan berilmu. Hanya saja, yang menjadi
permasalahan sekaitan dengan ayat tersebut adalah : siapakah yang
paling tinggi derajatnya disini. Apakah orang ya
Top Related