Boby Darmawan e34103018

95
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi BOBY DARMAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

description

jhfvj

Transcript of Boby Darmawan e34103018

  • KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT:

    Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

    BOBY DARMAWAN

    DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

    FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • 2

    KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI BERBAGAI TIPE HABITAT: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah

    Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

    BOBY DARMAWAN

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

    pada

    Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

    DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

    FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    2008

  • 3

    RINGKASAN

    BOBY DARMAWAN. E34103018. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Dosen Pembimbing: (1) MIRZA D. KUSRINI dan (2) AGUS P. KARTONO

    Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Penelitian mengenai amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau besar, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi terutama di areal Eks-HPH. Masyarakat sekitar hutan masuk dan merubah wilayah tersebut menjadi kebun karet dan kebun sawit. Perubahan kondisi habitat dan aktivitas manusia seperti itu akan berpengaruh terhadap keanekaragaman amfibi yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui keanekaragaman jenis amfibi di Eks-HPH PT RKI, (2) Membandingkan keanekaragam jenis berdasarkan tipe habitat.

    Penelitian dilakukan pada lima tipe habitat yang berbeda, terdiri dari: hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan areal bekas tebangan di Blok Kemarau dan Blok Pelepat Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Metode yang digunakan dalam pengambilan data amfibi adalah Visual Encounter Survey pada habitat terestrial dan akuatik. Analisis data dilakukan secara deskriptif serta statistik untuk menghitung kekayaan jenis, keanekaragaman jenis (H), kemerataan jenis (E), frekuensi jenis, dan kesamaan jenis dalam program Minitab 13.

    Di Eks-HPH PT RKI ditemukan sebanyak 37 jenis amfibi dari 5 famili: Bufonidae (5 jenis), Megophrydae (3 jenis), Microhylidae (3 jenis), Ranidae (15 jenis), dan Rhacophoridae (11 jenis), termasuk 4 jenis ditemukan di luar plot pengamatan. Terdapat tiga jenis katak yang belum teridentifikasi, yaitu Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, dan Rhacophorus sp.3. Keanekaragaman tertinggi terdapat di hutan sekunder (21 jenis) dan yang terendah terdapat di hutan primer (9 jenis). Nilai H tertinggi terdapat pada tipe habitat hutan sekunder (2,18), sedangkan terendah pada tipe habitat kebun sawit (1,44). Nilai E tertinggi diantara lima tipe habitat ini adalah hutan primer (E= 0,97) dan yang paling rendah adalah kebun sawit (E= 0,54).

    Karakteristik fisik seperti suhu udara, suhu air, dan kelembaban udara relatif di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang sesuai bagi kehidupan amfibi secara umum. Suhu air berkisar antara 20 sampai 25,5C dan suhu udara berkisar 20 sampai 32C sedangkan kelembaban udara relatif berkisar 36% sampai 83% dengan pH 7 (netral) di semua lokasi.

    Selama penelitian ditemukan 5 jenis amfibi yang cacat. Kecacatan yang di temukan antara lain anophthalmy (salah satu matanya tidak ada), hemimelia (bagian ujung kakinya tidak ada), limb hyperextension (jari kaki membengkok), polydactyly (jari kaki tambahan), dan syndactyly ( jari kaki merapat). Persentase keseluruhan dari jenis amfibi yang mengalami kecacatan adalah 1,15% namun masih dianggap normal. Kata kunci: amfibi, keanekaragaman, eks-HPH PT RKI

  • 4

    SUMMARY

    BOBY DARMAWAN. E34103018. Amphibian Diversity on Several Habitat Types: Case Study in Ex-Forest Concession PT Rimba Karya Indah Bungo Regency, Jambi. Under supervised by MIRZA D. KUSRINI and AGUS P. KARTONO

    Amphibian is one of ecosystem compiler component having a real important role, both ecological and economical. Research about amphibian in Indonesia is still very limited. In Sumatra, one of Indonesias largest islands, there has been no research on amphibians, especially in ex-forest concessions. Locals around these areas then convert the land into forest and palm oil plantations. The change in habitat and human activities will have an effect to amphibian species of the area. This research aimed to study amphibian diversity in ex-forest concession PT RKI and compare species diversity based on habitat types.

    The study was implemented at five habitat types including primary and secondary forests, rubber and palm oil plantations, and logged-over area at Kemarau and Pelepat Blocks in ex-forest concession PT RKI Bungo Regency, Jambi. The data was collected by Visual Encounter Survey in terrestrial and aquatic transects. That data was analyzed descriptively as well as statistically to calculate species richness, diversity (H), evenness (E), frequency and similarities using Minitab 13.

    There were 37 species recorded (Order Anura), consisting of 5 families: Bufonidae (5 species), Megophryidae (3 species), Microhylidae (3 species), Ranidae (15 species) and Rhacophoridae (11 species), including 4 species that were recorded outside of the transects. Three species (Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, and Rhacophorus sp.3) have not been identified. The highest species diversity was in secondary forest (21 species), while the lowest species diversity in primary forest (9 species). The highest H value was in secondary forest (H = 2.18) while the lowest was in palm oil plantation (H = 1.44). The highest evenness index between five habitat types was primary forest (E = 0.97) and the lowest was in palm oil plantations (E = 0.54).

    Physical characteristics i.e. air temperature, water temperature, and relative humidity in research location showed a suitable value for amphibian life in general. Water temperature obtained ranges from 20 to 25,5C and air temperature obtained ranges from 20 to 32C while relative humidity was ranges from 36% to 83% with level of water pH 7 (neutral) in all locations.

    In this research, there were 5 physical defect amphibian type. These physical defect include anophthalmy (one eye missing), hemimelia (tip of the toe missing), limb hyperextension (bent toe), polydactyly (addition toe), and syndactyly (attached toe). Percentage of all amphibian with physical defects were 1,15% but still be assumed normal.

    Keyword: amphibian, diversity, ex-Forest Concession PT RKI

  • 5

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman

    Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah

    Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri

    dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai

    karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi

    yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

    dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

    Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Pebruari 2008

    Boby Darmawan E34103018

  • 6

    Judul Penelitian : Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

    Nama : Boby Darmawan

    NRP : E34103018

    Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

    Fakultas : Kehutanan

    Menyetujui,

    Komisi Pembimbing

    Ketua, Anggota,

    Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.NIP. 131 878 493 NIP. 131 953 388

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Kehutanan Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788

    Tanggal lulus:

  • 7

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

    karunia serta hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyusun serta

    menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Keanekaragaman Amfibi di Berbagai

    Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo,

    Provinsi Jambi dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Agus P.

    Kartono, M.Si.

    Perhatian terhadap amfibi di Indonesia masih sangat kurang. Padahal

    ancaman kepunahan justru semakin besar dengan menurunnya kualitas

    habitatnya. Perubahan serta fragmentasi habitat seperti HPH semakin

    mengkhawatirkan terhadap kondisi habitat amfibi di Indonesia pada umumnya

    dan di Sumatera pada khususnya. Oleh karena itu penulis memilih tema ini untuk

    mengetahui keanekaragaman dan karakteristik habitat amfibi di Eks-HPH PT

    Rimba Karya Indah.

    Bogor, Pebruari 2008

    Boby Darmawan E34103018

  • 8

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Januari 1985 sebagai anak

    keempat dari empat bersaudara, keluarga Bapak Drh. Iskandar, MSc. dan Ibu

    Een Nuraeni. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Dian

    Peratiwi Kotamadya Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Papandayan I

    Kotamadya Bogor pada tahun 1991 dan lulus tahun 1997. Penulis melanjutkan

    ke SMP Negeri 3 Bogor dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis

    melanjutkan ke SMU Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun

    yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor dan

    memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan

    melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

    Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada organisasi Himpunan

    Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA), periode

    2005-2006 sebagai Sekretaris Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) dan

    anggota Fotografi Konservasi (FOKA). Pada bulan Juli 2005 penulis melakukan

    kegiatan Forest Partnership Program kerjasama antara HIMAKOVA dan

    Tropenbos International Indonesia di Taman Nasional Betung Kerihun

    Kalimantan Barat.

    Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan

    (P3H) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Cagar Alam/Taman Wisata Alam

    Kamojang, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Tasikmalaya. Pada bulan

    Februari-Maret 2007, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapangan Profesi

    (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo.

    Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

    skripsi dengan judul Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi

    Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

    dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.

  • 9

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang

    telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan

    selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah

    SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Drh. Iskandar, M.Sc. dan Een Nuraeni serta semua Saudaraku atas doa,

    kasih sayang, dan dukungannya.

    2. Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. atas bimbingan dan nasehatnya kepada penulis

    serta pengalaman-pengalaman untuk ikut ke lapangan.

    3. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. atas bimbingan dan saran yang diberikan

    sampai selesainya skripsi ini.

    4. IUCN Amphibian Specialist Group bantuan dana yang telah diberikan untuk

    pelaksanaan penelitian ini serta Matthew Linkie dan Jeanne McKay yang

    telah membantu dalam pembuatan proposal.

    5. Ir. Emi Karminarsih, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen

    Hutan dan Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS. selaku dosen penguji dari Departemen

    Hasil Hutan yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan bagi

    kesempurnaan skripsi ini.

    6. Kepala Desa Renah Sungai Ipuh (Pak Ilyas), Ketua BPD Renah Sungai Ipuh

    (Pak Hasan), dan Kepala Desa Batu Kerbau (Pak Tafrizal) atas segala

    informasi dan bantuan selama di lapangan.

    7. Bapak Sutis, Bapak Tabrani, Bang Tamrin, dan Bang Ishak yang bersedia

    menemani penulis selama di lapangan.

    8. Tim Monitoring Harimau Sumatera (MHS) Bang Yoan Dinata, Bang Agung

    Nugroho, Bang Charlie, Bang Alex, Kang Iding, dan Anto serta staf pegawai

    TNKS Bang Simbolon, Pak Donal, Pak Firdaus, Pak Saksi, dan Bang Paijo

    yang memberikan informasi dan kerjasamanya.

    9. Keluarga Ardiansyah dan Keluarga Ardiansyah Putra yang telah membantu

    penulis selama di Jambi.

    10. Dra. Hellen Kurniati dan Mas Amir Hamidy yang membantu penulis

    mengidentifikasi spesimen-spesimen amfibi.

    11. Teman-temanku Angkatan Komodo KSH40 dan Fakultas Kehutanan atas

    persaudaraan dan pertemanan selama ini, serta rekan-rekan Frog Team atas

    pengalaman dan kerjasamanya.

  • 10

    12. Rineka Dewi atas motivasi dan bantuan yang telah diberikan dari awal

    sampai akhir serta Deden, Adi, Imran, Lubis, Luthfi, Yuyun, Ruri, dan Reren

    atas kebersamaan, motivasi, dan kekeluargaannya.

    13. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu

    per satu.

    Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam

    penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan masukan guna

    menyempurnakan skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi

    ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

  • i

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................... 2 1.3 Manfaat ......................................................................................... 2

    II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3 2.1 Taksonomi ..................................................................................... 3 2.2 Ekologi ........................................................................................... 3 2.3 Habitat ........................................................................................... 4 2.4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera ................ 6 2.5 Manfaat dan Peranan .................................................................... 6 2.6 Kecacatan (Malformasi) ................................................................. 7

    III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 8 3.1 Sejarah ........................................................................................... 8 3.2 Letak dan Luas .............................................................................. 8 3.3 Kondisi Fisik ................................................................................... 9 3.3.1 Iklim ....................................................................................... 9 3.3.2 Jenis Tanah dan Formasi Geologi ......................................... 9 3.3.3 Hidrologi ................................................................................ 9 3.3.4 Topografi ............................................................................... 10 3.4 Kondisi Biologi ............................................................................... 10 3.4.1 Tumbuhan ............................................................................. 10 3.4.2 Satwaliar ................................................................................ 10 3.5 Kondisi Setiap Tipe Habitat ............................................................ 11 3.5.1 Hutan Primer ......................................................................... 11 3.5.2 Hutan Sekunder .................................................................... 12 3.5.3 Kebun karet ........................................................................... 13 3.5.4 Kebun sawit ........................................................................... 14 3.5.5 Areal Bekas Tebangan .......................................................... 15

    IV. METODE PENELITIAN ....................................................................... 17 4.1 Lokasi dan Waktu ........................................................................... 17 4.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 18 4.3 Pengumpulan Data ........................................................................ 19 4.3.1 Jenis Data yang Dikumpulkan ............................................... 19 4.3.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 20 4.4 Analisis Data .................................................................................. 22

    V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 24 5.1 Hasil ............................................................................................... 24 5.1.1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis ................................ 25 5.1.2 Karakteristik Habitat Amfibi ................................................... 32 5.1.3 Kisaran Ukuran Tubuh, Aktivitas, dan Kecacatan ................ 37 5.1.4 Gangguan Terhadap Amfibi .................................................. 39

  • ii

    5.2 Pembahasan .................................................................................. 39

    VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 45 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 45 6.2 Saran ............................................................................................. 45

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 46 LAMPIRAN ................................................................................................. 49

  • iii

    DAFTAR TABEL

    No. Halaman

    1. Karakteristik sungai dan arus beberapa sungai di Areal HPH PT RKI ..................................................................................................... 10

    2. Alat penelitian yang digunakan ........................................................... 18

    3. Total usaha yang dilakukan di setiap tipe habitat ............................... 20

    4. Daftar jenis amfibi yang ditemukan berdasarkan habitat dan tipe habitat ................................................................................................. 24

    5. Jenis-jenis amfibi spesialis yang dijumpai di habitat akuatik dan terestrial .............................................................................................. 26

    6. Kondisi fisik di setiap habitat .............................................................. 33

    7. Kisaran posisi umum masing-masing saat dijumpai ......................... 34

    8. Kisaran ukuran tubuh beberapa jenis amfibi ..................................... 37

    9. Kecacatan amfibi .............................................................................. 39

  • iv

    DAFTAR GAMBAR

    No. Halaman

    1. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat hutan primer ....................................................................................... 12

    2. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat hutan sekunder .................................................................................. 13

    3. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat kebun karet ....................................................................................... 14

    4. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat kebun sawit ....................................................................................... 15

    5. Kondisi jalur pengamatan terestrial dan akuatik di tipe habitat areal bekas tebangan ....................................................................... 15

    6. Peta lokasi penelitian ........................................................................ 18

    7. Ukuran tubuh pada katak.................................................................... 19

    8. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi ..................................................... 27

    9. Tipe selaput pada Bufo asper dan Ansonia leptopus ......................... 28

    10. Tipe selaput pada Rana chalconota, Rana erythraea dan Rana nicobariensis ....................................................................................... 29

    11. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan habitat.............................. 31

    12. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan waktu pengamatan .......... 31

    13. Grafik keanekaragaman dan kemerataan jenis amfibi........................ 32

    14. Data curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan tahun 2005-2006 ......................................................................................... 33

    15. Dendrogram kesamaan jenis antar tipe habitat .................................. 36

    16. Dendrogram kasamaan jenis antar lokasi ......................................... 36

    17. Polypedates macrotis sedang beraktivitas kawin (amplexus)............. 38

    18. Peta penyebaran Limnonectes paramacrodon ................................... 44

  • v

    DAFTAR LAMPIRAN

    No. Halaman

    1. Deskripsi jenis .................................................................................... 50

    2. Data curah hujan Kabupaten Bungo tahun 2005-2006 ................... 63

    3. Data iklim di lokasi penelitian ............................................................ 64

    4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan primer .............. 66

    5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan primer ......... 67

    6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan primer ............... 68

    7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan primer ............. 69

    8. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di hutan sekunder ......... 71

    9. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di hutan sekunder ............................................................................................................ 71

    10. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di hutan sekunder ........... 72

    11. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di hutan sekunder ......... 73

    12. Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis ............................... 74

    13. Jenis-jenis katak di beberapa tipe habitat........................................... 77

    14. Jenis-jenis katak di beberapa lokasi ................................................... 78

    15 Perhitungan kesamaan jenis dan kesamaan lokasi .......................... 80

  • I. PENDAHULUAN

    1. 1 Latar Belakang

    Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang

    memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis.

    Secara ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti

    serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar 1998) serta dapat digunakan

    sebagai bio-indikator kondisi lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Secara

    ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, hewan

    percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997).

    Indonesia memiliki dua dari tiga ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu

    Gymnophiona dan Anura. Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit

    diketahui keberadaannya, sedangkan ordo Anura merupakan yang paling mudah

    ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh jenis

    Anura di dunia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya ordo yang tidak terdapat

    di Indonesia (Iskandar 1998).

    Meskipun Indonesia kaya akan jenis amfibi, tetapi penelitian mengenai

    amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Pulau Sumatera sebagai salah satu

    pulau besar, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi, baru terbatas

    di Kawasan Ekosistem Leuser (Mistar 2003), Sumatera Barat (Inger & Iskandar

    2005), Sumatera Selatan (Sudrajat 2001) dan di Taman Nasional Bukit Barisan

    Selatan (HIMAKOVA 2004, Ul-Hasanah 2006). Pulau Sumatera sebagai pulau

    dengan beragam ekosistem dari pantai sampai pegunungan, memungkinkan

    menjadi habitat berbagai jenis amfibi, bahkan masih memungkinkan untuk

    menemukan catatan baru seperti Philautus sp. dan Leptobrachium sp. di Taman

    Nasional Bukit Barisan Selatan (Ul-Hasanah 2006) dan Megoprys parallela di

    Sumatera Barat (Inger & Iskandar 2005).

    PT Rimba Karya Indah (PT RKI) merupakan perusahaan yang

    berkedudukan di Jambi dan bergerak dibidang HPH. Sesuai dengan Surat

    Keputusan Menteri Kehutanan No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29 Februari 1988, perusahaan telah memperoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 87.000 ha yang

    terletak di wilayah Provinsi Jambi untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak

    tanggal 12 Januari 1987. Areal yang dikelola perusahaan, diantaranya

    merupakan hutan alam tanah kering seluas 51.500 ha dan sisanya 35.000 ha

    merupakan hutan tanah rawa.

  • 2

    PT RKI telah meninggalkan wilayahnya sejak tahun 1999. Masyarakat

    sekitar hutan masuk dan merubah wilayah tersebut menjadi kebun karet dan

    kebun sawit. Perubahan kondisi habitat dan aktivitas manusia seperti itu akan

    berpengaruh terhadap keanekaragaman amfibi yang terdapat di dalamnya.

    Setiap jenis amfibi memiliki karakteristik habitat yang disukai, bahkan jenis

    tertentu memerlukan habitat yang spesifik. Beberapa jenis hanya dapat hidup di

    dalam hutan primer dan jenis lain dapat hidup di beragam habitat, mulai dari

    hutan sampai ke pemukiman penduduk.

    Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi

    tujuan manajemen dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan jenis dapat

    digunakan sebagai dasar dalam memprediksi dan mengevaluasi respon

    komunitas tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998).

    Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tentang keanekaragaman amfibi di

    Eks-HPH PT RKI perlu dilakukan untuk mendata komunitas amfibi yang ada di

    berbagai tipe habitat.

    1. 2 Tujuan Penelitian

    Penelitian tentang keanekaragaman amfibi diberbagai tipe habitat ini

    dilakukan dengan tujuan untuk:

    1). Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi di Eks-HPH PT RKI

    2). Membandingkan keanekaragam jenis amfibi berdasarkan tipe habitat

    1. 3 Manfaat

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian tentang keanekaragaman amfibi di

    berbagai tipe habitat ini adalah sebagai berikut:

    a). Dapat melengkapi data dan informasi mengenai jenis-jenis amfibi serta

    karakteristik habitatnya.

    b). Dapat memberikan masukan bagi pengelola kawasan hutan, terutama dalam

    pengambilan keputusan tentang pengelolaan keanekaragaman jenis amfibi.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2. 1 Taksonomi

    Menurut Goin & Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah

    sebagai berikut: Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas

    Amphibia, serta Ordo Gymnophiona, Caudata dan Anura. Amfibi adalah satwa

    bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis.

    Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama

    berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptil

    (Halliday & Adler 2000).

    Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili-

    famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae

    (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae,

    Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

    Ordo Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia

    merupakan satwa yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di

    alam. Jumlah jenis dari Ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis

    amfibi. Ichthyophiidae merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia

    Tenggara. Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Caudata

    merupakan satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo

    Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih dari 4,100 jenis Anura

    di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura

    di dunia (Iskandar 1998).

    2. 2 Ekologi

    Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang

    berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan larva

    serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah

    ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil.

    Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis

    tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali.

    Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998).

    Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu

    (Duellman & Carpenter 1998)

  • 4

    Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan

    beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar 2003,

    Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak

    2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari

    kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi

    digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann

    2000).

    Fertilisasi pada amfibi terjadi secara internal maupun eksternal. Sesilia

    adalah ordo yang melakukan fertilisasi internal. Namun, tidak ada yang tahu

    bagaimana sesilia melakukan kawin. Caudata juga melakukan fertilisasi internal

    dan Anura melakukan fertilisasi eksternal (Goin & Goin 1971).

    Ordo Gymnophiona merupakan satwa yang hidup dalam tanah. Mereka

    menggunakan kepalanya untuk menggali dalam tanah untuk makan. Sesilia

    menyukai habitat tanah yang gembur dan lapisan serasah hutan tropis, seringkali

    dekat dengan aliran air. Salah satu famili dari sesilia bahkan hidup di dasar

    sungai (Halliday & Adler 2000).

    Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar

    Anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki

    yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya

    menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis

    Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae

    (Iskandar 1998).

    2. 3 Habitat

    Menurut Alikodra (2002), habitat satwaliar yaitu suatu kesatuan dari faktor

    fisik maupun biotik yang digunakan untuk untuk memenuhi semua kebutuhan

    hidupnya. Sedangkan Odum (1971) mengartikan habitat suatu individu sebagai

    tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan oleh Goin & Goin

    (1971) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu

    organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat

    hidup. Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia,

    pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air

    yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998).

    Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar,

    sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Kebanyakan dari

  • 5

    amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora

    diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar 1998). Sebagian katak beradaptasi

    agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon

    seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan

    menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak

    akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga terdapat

    katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di

    punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).

    Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi

    tiga grup besar yaitu: 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan

    tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiai dengan manusia tapi

    tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiai dengan manusia.

    Habitat herpetofauna di Sumatera Selatan dibagi berdasarkan ada dan tidaknya

    modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh manusia maupun yang terjadi

    secara alami, diantaranya: hutan primer, hutan bekas tebangan, camp/bekas

    camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah dan pemukiman.

    Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan

    habitat hutan dan fragmentasi. Di hutan yang mengalami sedikit gangguan atau

    hutan dengan tingkat perubahan sedang memiliki jumlah jenis yang lebih kaya

    daripada kawasan yang sudah terganggu seperti hutan sekunder, kebun dan

    pemukiman penduduk (Gillespie et al. 2005). Hal yang sama juga terlihat dari

    penelitian Ul-Hasanah (2006). Katak yang terdapat di habitat yang tidak

    terganggu memiliki jumlah jenis yang lebih banyak. Ul-Hasanah (2006)

    menemukan 37 jenis katak di habitat yang tidak terganggu dan 31 jenis katak di

    habitat yang terganggu. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat sungai tidak

    terganggu didominasi oleh Leptophryne borbonica, Rana chalconota dan

    Limnonectes blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo asper,

    Limnonectes blythii, Rana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys

    nasuta, Leptophryne borbonica dan Limnonectes microdiscus. Habitat sungai

    terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Bufo asper dan Rana hosii,

    sedangkan habitat darat terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Rana

    hosii, Fejervarya spp, Bufo biporcatus dan Bufo melanostictus.

  • 6

    2. 4 Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Sumatera

    Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan

    dataran rendah hingga hutan pegunungan yang ektrim, kecuali daerah kutub dan

    gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis

    (Nussbaum 1998). Di Indonesia terdapat Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di

    Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di

    Indonesia, tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam

    Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998).

    Ordo Anura terdapat di seluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua

    (Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Sumatera terdiri atas Ichtyophidae,

    Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae (Iskandar &

    Colijn 2000). Katak di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan dan Jawa

    berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar. Katak yang terdapat di Semenanjung

    Malaysia memiliki kesamaan jenis yang tinggi dengan katak yang terdapat di

    Sumatera. Tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Sumatera lebih tinggi

    dibandingkan dengan kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan (Inger &

    Voris 2001).

    Di Pulau Nias, Kepulauan Batu (P. Pini dan P. Tanah Masa) dan

    Kepulauan Mentawai (P. Siberut dan P. Sipora) terdapat 23 jenis katak.

    Berdasarkan kekayaan jenisnya maka jumlah jenis katak yang dapat ditemukan

    di Pulau Siberut sebanyak 17 jenis, Kepulauan Batu 10 jenis dan Pulau Nias 9

    jenis (Inger & Voris 2001). Di Pulau Siberut terdapat jenis katak endemik, yakni

    Rana Siberu. HIMAKOVA (2004) menemukan 13 jenis amfibi dari Ordo Anura di

    Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, sedangkan Ul-Hasanah (2006)

    menemukan 44 jenis amfibi dari Ordo Anura yang termasuk dalam 5 famili, yakni:

    Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae dan Rhacophoridae. Sudrajat

    (2001) menemukan 25 jenis amfibi dari Ordo Anura di Musi Banyuasin, Lahat

    dan Musi Rawas Sumatera Selatan. HIMAKOVA (2006) menemukan 18 jenis

    amfibi dari Ordo Anura di Taman Nasional Way Kambas.

    2. 5 Manfaat dan Peranan

    Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni

    peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan

    penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Amfibi memakan

    serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam

  • 7

    pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai

    bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap

    perubahan lingkungan (Stebbins & Cohen 1997).

    Peranan amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan amfibi

    untuk kepentingan konsumsi. Beberapa jenis amfibi dari Ordo Anura diketahui

    memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti Fejervarya cancrivora, Fejervarya

    limnocharis, dan Limnonectes macrodon (Kusrini 2003). Selain untuk tujuan

    konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang lain yaitu sebagai binatang peliharaan,

    binatang percobaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997).

    2. 6 Kecacatan (Malformasi)

    Kecacatan pada amfibi sudah lama terjadi, tetapi jarang sekali dijelaskan

    dan sedikit sekali dokumentasi. Amerika Utara merupakan salah satu tempat

    yang ada laporan tentang kecacatan pada amfibi (Johnson et al. 2003).

    Sebanyak 38 jenis katak dan 19 jenis kodok ditemukan cacat di 44 negara

    bagian Amerika Serikat. Diperkirakan 60% dari populasi yang bermetamorfosis di

    kolam mengalami kecacatan (NARCAM 1999 dalam Meteyer 2000).

    Rana pipiens merupakan salah satu contoh yang mengalami kecacatan,

    kecacatan meningkat dari 0,4% pada tahun 1958-1963 menjadi 2,5% pada tahun

    1996-1997 (Hoppe 2000 dalam Johnson et al. 2003). Beberapa hipotesis yang

    menjadi penyebab kecacatan amfibi antara lain hilang dan berubahnya fungsi

    habitat, pencemaran lingkungan, radiasi UV-B, kontaminasi kimia, terinfeksi

    penyakit dan perubahan iklim global (Cohen 2001, Beebee & Griffiths 2005). Hal

    ini sangat berpengaruh terhadap penurunan populasi amfibi.

    Radiansyah (2004) menemukan delapan klasifikasi kecacatan pada 6 jenis

    amfibi di Sungai Cilember, yang meliputi brachydactyly, ectrodactyly, polydactyly,

    ectromelia, ujung jari bengkak, daging tambahan, benjolan perut, dan kaki patah.

    Sedangkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat 34 individu

    (4.89%) ketidaknormalan morfologis pada amfibi. Ketidaknormalan digolongkan

    sebagai parasit (52.94%), trauma (29.41%), ketidaknormalan perkembangan

    (11.76%) dan lainnya (5.88%). Ketidaknormalan tersebut mungkin disebabkan

    oleh parasit, predator, ketidaknormalan regenerasi, ketidaknormalan genetik atau

    polusi.

  • III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

    3. 1 Sejarah

    PT Rimba Karya Indah (PT RKI) didirikan berdasarkan Akte Notaris

    M.Napitupulu SH, No 36 tanggal 8 Desember 1983 yang telah diubah dan

    ditambah terakhir dengan Akte Notaris Nyonya Sri Soetengse Abdoel Syakur, SH

    No 50 Tanggal 26 Maret 1985. Akte pendirian perusahaan telah disyahkan oleh

    Menteri Kehakiman RI melalui Surat Keputusan No. C2-1143-HT 01.0.1TH. 1984

    tanggal 18 Februari 1984.

    Perusahaan ini berkedudukan di Jambi dan bergerak dibidang HPH dan

    memperdagangkan hasilnya. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri

    Kehutanan No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29 Februari 1988, perusahaan telah memperoleh Hak Pengusahaan Hutan seluas 87.000 ha yang terletak di wilayah

    Provinsi Jambi untuk jangka waktu 20 tahun terhitung sejak tanggal 12 Januari

    1987. Areal yang dikelola perusahaan, diantaranya merupakan hutan alam tanah

    kering seluas 51.500 ha dan sisanya 35.000 ha merupakan hutan tanah rawa.

    Areal kerja HPH PT RKI semula bernama PT Windu Karya Indah dengan

    Perjanjian Pengusahaan Hutan (Forestry Agreement/FA) No FA/N/008/IV/1983

    tanggal 4 April 1983. Selanjutnya terjadi perubahan nama perusahaan dari PT

    Windu Karya Indah menjadi PT Rimba Karya Indah (PT RKI) berdasarkan

    Addendum FA No. FA/N-AD/IV/1984 tanggl 10 April 1984 (Sarbi 2000).

    3. 2 Letak dan Luas

    Luas areal yang diusahakan PT RKI sebagaimana tercantum dalam

    Forestry Agreement (FA) No FA/N/AD/038/IV/1984 tanggal 30 April 1984 dan

    Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK. HPH) N0 13/Kpts-IV/87 tanggal 12

    Januari 1987 adalah seluas 48.000 ha. Dalam perkembangan selanjutnya, luas

    areal kerja HPH PT RKI mengalami perubahan dari 48.000 ha menjadi 87.000 ha

    yang dikukuhkan berdasarkan addendum SK HPH No. 119/Kpts-IV/88 tanggal 29

    Februari 1988.

    Berdasarkan status fungsi hutan berdasarkan TGHK dan hasil paduserasi

    TGHK-RTRWP tahun 1996, areal kerja HPH PT RKI sebagian besar berfungsi

    sebagai hutan produksi (Unit I dan Unit II), sedang sebagian kecil lainnya bukan

    sebagai hutan produksi (HL, TNKS, dan KBDPNP).

  • 9

    Areal kerja HPH PT RKI terbagi atas 2 (dua) unit, yaitu Unit-I (hutan tanah

    kering) di Kelompok Hutan Hulu Batang Tebo Batang Kemarau dan Batang

    Pelepat Hulu Batang Ole, serta Unit-II (hutan tanah rawa) di Kelompok Hutan

    Sungai Air Hitam Laut.

    Berdasarkan administrasi pemerintahan Unit-I termasuk dalam Kecamatan

    Tanah Tumbuh dan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo Tebo serta Kecamatan

    Muara Bungo dan Kecamatan Tabir, Kabupaten Sarolangun Bangko.

    Berdasarkan fungsi hutan menurut TGHK areal pada Unit-I sebagian besar

    berfungsi sebagai Hutan Produksi tetap (HP) seluas 32.610 ha (63,32%), dan

    selebihnya berfungsi sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 14.395 ha

    (27,95%), dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 4.495 ha (8,73%).

    Berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi pada tahun 1996, areal Unit-I sebagian

    besar berubah menjadi HPT, dan sebagian lagi berturut-turut befungsi sebagai

    HP, KBDPNP, HL serta menjadi kawasan TNKS (Sarbi 2000).

    3. 3 Kondisi Fisik

    3. 3. 1 Iklim Menurut klasifikasi iklim dari Schmidt & Ferguson, areal kerja HPH PT RKI

    termasuk kedalam tipe iklim A yang berarti daerah basah, dengan vegetasi hutan

    hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0,0-0,5 bulan. Curah hujan tahunannya

    untuk Unit-I termasuk sedang berkisar antara 100-441 mm/bln dengan curah

    hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini termasuk relatif sedang

    dengan suhu rata-rata bulanan sebesar 27,9 C (Unit-I). Kelembaban udara

    termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara 77-97% dengan rata-rata

    94% (Unit-I) (Sarbi 2000).

    3. 3. 2 Jenis Tanah dan Formasi Geologi Tanah di areal HPH PT RKI ini terdiri dari Podsolik Merah Kuning (PMK)

    seluas 26.350 ha (30,29%), Organosol seluas 35.006 ha (40,24%), Latosol

    seluas 16.052 ha (18,44%), Litosol seluas 9.099 ha (10,46%) dan Aluvial seluas

    493 ha (0,57%) (Sarbi 2000).

    3. 3. 3 Hidrologi Areal kerja Unit-I termasuk kedalam Sub DAS Batang Tebo dan Sub DAS

    Pelepat yang keseluruhan termasuk DAS Batanghari. Adapun sungai-sungai

    yang mengalir di daerah ini antara lain S. Batang Tebo, S. Pelepat, S. Tabir dan

  • 10

    S. Kemarau. Keempat sungai tersebut merupakan sungai yang cukup terjal

    dengan substrat dasar pasir dan batu.

    Tabel 1. Karakteristik sungai dan arus beberapa sungai di Areal HPH PT RKI

    No Sungai Lebar (m) Kedalaman

    (m) Panjang

    (km) Kecepatan

    Aliran (m/dtk)

    Debit (m3/dtk)

    1 Batang Tebo 20-25 2-8 - 0,693 78.000 2 Pelepat 15-20 2-5 37,50 0,133 8.125 3 Tabir 10-20 0,5-5 74,25 0,318 13.125 4 Kemarau 15-20 0,5-5 49,75 0,558 26.857

    Di areal kerja HPH PT RKI Unit-I terdapat banyak aliran sungai. Sungai-

    sungai ini pada umumnya tidak dapat digunakan sebagai sarana transportasi.

    Sungai-sungai tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sarana

    MCK. Kualitas air dari catchment area yang mempunyai kawasan hutan di

    daerah hulunya baik saat hujan maupun tidak hujan tidak terjadi perubahan yang

    mencolok. Demikian juga dengan perubahan tingkat kuantitas fisik air karena

    sebagaian curah hujan masih mampu diresapkan ke dalam tanah di kawasan

    hutan (Sarbi 2000).

    3. 3. 4 Topografi Areal kerja HPH PT RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai

    sangat curam. Ketinggian daerah ini bervariasi dari 190 mdpl hingga 1.670 mdpl

    (Sarbi 2000).

    3. 4 Kondisi Biologi

    3. 4. 1 Tumbuhan Di areal kerja HPH PT RKI terdapat beberapa jenis tumbuhan yang

    dilindungi baik mutlak maupun bersyarat yaitu: jelutung (Dyera costulata), durian

    (Durio zibethinus), keruing (bersyarat), manggis hutan, rambutan hutan , asam

    hutan, kedondong (Nothopanax fruticosum), petai hutan dan terap (mutlak). Jenis

    pohon eksotik yang terutama digunakan untuk kegiatan rehabilitasi adalah

    Acacia mangium dan sengon (Sarbi 2000).

    3. 4. 2 Satwaliar Keanekaragaman jenis satwaliar di areal kerja HPH PT RKI terutama di

    sebelah utara dan berbatasan langsung dengan TNKS menggambarkan

    tingginya keanekaragaman jenis satwaliar TNKS. Keseluruhan jenis satwaliar

    yang terdapat di HPH PT RKI adalah 95 jenis yang terdiri atas 15 jenis mamalia,

    76 jenis burung dan 4 jenis reptil. Dari jumlah tersebut 41 jenis diantaranya

  • 11

    satwaliar yang dilindungi meliputi: 9 jenis mamalia, 30 jenis burung dan 2 jenis

    reptil (Sarbi 2000).

    Satwa mamalia besar penting yang berada di HPH PT RKI terutama pada

    Unit-I merupakan sasaran perlindungan penting dari pengelolaan TNKS. Jenis-

    jenis tersebut diantaranya: harimau sumatera (Panthera tigris sumatrana)

    beruang madu (Helarctos malayanus), macan kumbang (Panthera pardus,

    kambing hutan (Capricornus sumatraensis), rusa sambar (Cervus unicolor),

    ungko (Hylobates agilis), siamang (Symphalangus syndactilus), dan tapir

    (Tapirus indicus). Selain itu terdapat berbagai jenis burung dilindungi seperti

    elang hitam (Ichtinaetus malayensis), elang rawa timur (Circus spilonotus), elang

    ular (Spilornis cheela), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), caladi batu

    (Meiglyptes tristis), pecuk-padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris), pelatuk

    kundang (Reinwardtipicus validus), dan kuau raja (Argusianus argus). Untuk

    jenis-jenis reptilia dilindungi yang terdapat di HPH PT RKI diantaranya: biawak

    abu-abu (Varanus nebulanus), labi-labi (Chitra indica), kura-kura (Orlitia

    bornensis), dan sanca bodo (Phyton molurus) (Sarbi 2000).

    3. 5. Kondisi Setiap Tipe Habitat yang Diteliti

    Deskripsi mengenai kondisi habitat diperoleh dari pengamatan langsung selama

    survey berlangsung seperti yang tercantum dalam bab 4 metodologi , wawancara

    dengan petugas dan masyarakat setempat.

    3. 5. 1 Hutan Primer Lokasi hutan primer berada di hutan adat Desa Batu Kerbau, Blok Pelepat.

    Hutan ini relatif lebih terjaga karena dilindungi oleh adat masyarakat setempat

    sejak tahun 1988, namun belum ditetapkan sebagai hutan adat. Pada bulan Juli

    2000 masyarakat Desa Batu Kerbau sepakat untuk bersama-sama mengukur

    dan memetakan Hutan Adat dan Lindung Batu Kerbau. Luas hutan ini adalah 472

    ha. Berdasarkan hasil pemetaan dan berbagai pertemuan yang dilakukan, maka

    lahirlah Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau Untuk

    Pengelolaan Sumber Daya Alam.

    Lokasi penelitian ini terletak memiliki ketinggian 375 mdpl pada koordinat

    47M 0830536, UTM 9798085 dengan topografi berbukit-bukit. Jalur terestrial

    sepanjang 800 meter memiliki kemiringan rata-rata 45o. Dari titik 0 dampai 500 m, kemiringan rata-ratanya 45o, 150 meter kemudian mulai landai sekitar 10o-30o

    dan 100 meter terakhir mendatar dan sedikit menurun. Jalur akuatik sepanjang

  • 12

    400 meter relatif landai dengan kemiringan antara 5 o 15 o. Sungai ini memiliki

    substrat yang didominasi oleh bebatuan. Arus dari sungai ini relatif sedang dan

    memiliki air yang jernih (kecerahan 100%).

    Gambar 1. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat hutan primer

    Jenis vegetasi yang terdapat di habitat hutan primer sangat beragam dan

    memiliki penutupan tajuk cukup rapat. Hasil dari analisis vegetasi di jalur

    terestrial ditemukan sebanyak 36 jenis pohon yang terdapat di sepanjang jalur

    pengamatan. Jenis vegetasi yang mendominasi jalur pengamatan yaitu batang

    skepung, kasainggang, tembalun dan meranti putih (Shorea bracteolata) dengan

    INP berturut-turut sebesar 28,63%; 26,64%; 23,25% dan 23,11%. Sedangkan

    pada jalur akuatik tidak terlalu banyak ditumbuhi tumbuhan bawah di kiri dan

    kanan sungai, lebih di dominasi oleh jenis pohon seperti batang skepung, kayu

    aro (Gardenia tubifera), dan bayur (Pterospermum sp.). Jenis-jenis satwaliar

    yang dijumpai di lokasi penelitian secara langsung maupun tidak langsung antara

    lain beruang madu (Helarctos malayanus), enggang gading (Buceros sp), tapir

    (Tapirus indicus), siamang (Symphalangus syndactilus) dan babi hutan (Sus sp).

    3. 5. 2 Hutan Sekunder Lokasi hutan sekunder terletak di Desa Renah Sungai Ipuh, Blok Kemarau.

    Lokasi penelitian ini terletak memiliki ketinggian 534 mdpl pada koordinat 47M

    786381, UTM 9812264 dengan topografi berbukit-bukit.

    Sebanyak 18 jenis pohon ditemukan di sepanjang jalur pengamatan. Tiga

    jenis diantaranya merupakan jenis yang belum diketahui baik nama ilmiah

    maupun nama lokalnya. Jenis vegetasi yang sangat dominan pada jalur

    pengamatan yaitu Kayu mara dan Melangir dengan INP masing-masing sebesar

    51,82% dan 47,39%. Pada tingkat semai dan pancang, meranti (Shorea sp) sangat dominan dengan INP tertinggi mencapai 50% pada tingkat pancang dan

  • 13

    29,69% pada tingkat semai. Di dalam hutan terdapat kubangan, ketika sudah

    hujan kubangan ini terisi air dan saat tidak hujan kering. Kubangan ini digunakan

    katak untuk bertelur.

    Berbeda dengan sungai yang ada di tipe habitat hutan primer, di hutan

    sekunder memiliki substrat yang bervariasi yaitu tanah, pasir, lumpur, dan

    serasah. Memiliki arus lambat sampai sedang. tepus (Amomum sp.) dan serdang

    merupakan tumbuhan bawah yang mendominasi di sisi kiri dan kanan sungai.

    Disekitar lokasi penelitian terdapat beberapa satwaliar lain yang dijumpai

    secara langsung maupun tidak langsung. Jenis-jenis satwaliar tersebut antara

    lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), simpai

    (Presbytis melalophos), napu (Tragulus napu) dan beberapa jenis burung seperti

    gagak hutan (Corvus enca), srigunting (Dicrurus sp), perenjak (Prinia sp), cipoh

    (Aegithina sp), elang hitam (Ictinaetus malayensis), dan kuau raja (Argusianus

    argus).

    Gambar 2. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan)

    di tipe habitat hutan sekunder

    3. 5. 3 Kebun karet Setelah HPH PT RKI tidak beroperasi lagi, pengelolaan wilayah ini

    berpindah tangan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo dan banyak

    masyarakat yang membuka lahan untuk ditanami karet. Setiap kepala keluarga

    mendapat bagian lahan sebesar 2 ha.

    Tipe habitat kebun karet terletak pada koordinat 47M 791159, UTM

    9817412 dengan ketinggian 472 mdpl. Topografi habitat kebun karet ini relatif

    datar, tetapi pada jarak tertentu terdapat beberapa penurunan.Tanaman karet

    pada jalur pengamatan terestrial berumur 9 tahun dan ditanam dengan jarak

    tanam yang bervariasi 4 x 4 m, 4 x 5 m hingga 6 x 6 m. Rata-rata diameter pohon

    karet ini 19 sampai 21 cm dengan tinggi total 12 m. Penutupan tajuk bervariasi

  • 14

    dari jarang hingga rapat. Diantara tanaman karet tersebut ada beberapa petak

    yang ditanami tanaman sela seperti kopi (Coffea arabica) dan pinang (Areca

    catechu). Di bawah tegakan karet terdapat satu buah dua buah kubangan yang

    digunakan oleh babi.

    Jalur akuatik yang berada di tipe habitat kebun karet digunakan untuk

    kebutuhan sehari-hari oleh para penduduk yang berladang seperti minum,

    mencuci, dan mandi. Jalur ini merupakan sungai yang memiliki lebar 0,6 8,3

    meter dengan kedalaman maksimum 50 cm. Sungai ini memiliki substrat batu,

    pasir, dan lumpur. Sungai ini memiliki arus lambat sampai sedang dan memiliki

    kecerahan 100% karena dapat terlihat sampai dasar.

    Gambar 3. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan) di tipe habitat kebun karet

    Satwaliar yang dijumpai langsung di dalam habitat karet antara lain

    rangkong (Bucheros sp.), gagak hutan (Corvus enca), babi hutan (Sus sp.),

    beruk (Macaca nemestrina), rusa sambar (Cervus unicolor) dan kancil (Tragulus

    sp.).

    3. 5. 4 Kebun sawit Tipe habitat kebun sawit terletak pada koordinat 47M 789463, UTM 9817270

    dengan ketinggian 501 mdpl. Secara umum topografi tipe habitat ini adalah datar. Tanaman sawit yang mejadi jalur terestrial memiliki jarak tanam 10 x 10 m dan

    berumur 6 sampai 7 tahun. Di bawah tegakan ditumbuhi oleh tumbuhan bawah

    seperti resam, tepus (Amomum sp.), kirinyu (Eupatorium sp.), dan rerumputan.

    Diantara tanaman sawit ditanami tanaman sela berupa kopi dan sawit. Lokasi ini

    melewati jalan logging dan terdapat kubangan.

    Jalur pengamatan akuatik di tipe habitat ini berupa danau dengan diameter

    50 m dan keliling 160 m. Danau ini memiliki kedalaman 2-5 meter dengan

    substrat lumpur serta arus air yang sangat lambat. Di sisi-sisi danau ditumbuhi

  • 15

    kirinyu (Eupatorium sp.), resam, tepus (Amomum sp.), pisang (Musa sp.), dan

    rumput. Satwaliar yang dijumpai secara langsung maupun tidak lansung antara

    lain rangkong (Bucheros sp), gagak hutan (Corvus enca), landak (Hystrix sp),

    harimau sumatera (Panthera tigris sumatrana).

    Gambar 4. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan)

    di tipe habitat kebun sawit

    3. 5. 5 Areal Bekas Tebangan Tipe habitat terakhir yang menjadi lokasi pengamatan adalah areal bekas

    tebangan. Areal ini dibuka oleh masyarakat untuk dijadikan kebun seperti sawit

    atau karet. Lokasi areal bekas tebangan ini terletak pada koordinat 47M 791590,

    UTM 9818894 pada ketinggian 411 mdpl. Metode yang digunakan yaitu dengan

    cara tebang habis semua vegetasi yang ada lalu di bakar untuk

    membersihkannya. Di tengah ada parit (sungai kecil) yang membelah areal

    tersebut. Lokasi ini berbatasan dengan kebun karet dan hutan sekunder.

    Gambar 5. Kondisi jalur pengamatan terestrial (kiri) dan akuatik (kanan)

    di tipe habitat areal bekas tebangan

    Jalur pengamatan akuatik tipe habitat ini sama dengan tipe habitat kebun

    sawit, yaitu berupa danau. Danau ini memiliki diameter sekitar 80 m dan

    kelilingnya 310 m. Di sekitar danau ditumbuhi pohon kayu manis (Cinnamomum

    burmannii), tepus (Amomum sp.), resam, pisang hutan (Musa sp.) dan di tengah

  • 16

    danau ditumbuhi tumbuhan pandan (Pandanus sp.) dan walingi (Cyperus elatus).

    Kondisi air di danau terlihat kehijauan karena ditumbuhi alga. Air danau

    dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk mandi, minum, dan keperluan lainnya.

  • IV. METODE PENELITIAN

    4. 1 Lokasi dan Waktu

    Penelitian dilakukan di Eks-HPH PT RKI Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi

    pada bulan Juli-Agustus 2007. Pengambilan data dilakukan pada lima lokasi di

    tipe habitat yang berbeda (hutan primer, hutan sekunder, kebun sawit, kebun

    karet dan areal bekas tebangan). Penentuan tipe hutan didasarkan pengamatan

    visual dengan deskripsi sebagai berikut:

    1. Hutan primer adalah hutan yang memiliki komposisi vegetasi alami, dengan

    strata tajuk lengkap, heterogen dan dilindungi adat (Hutan Adat Desa Batu

    Kerbau) sehingga sangat terjaga dari perusakan dan interaksi manusia.

    2. Hutan sekunder adalah hutan yang telah mengalami penebangan dan sedang

    mengalami proses suksesi.

    3. Kebun karet adalah hutan yang memiliki vegetasi yang didominasi oleh pohon

    karet diluasan areal tertentu. Kebun karet yang menjadi lokasi penelitian

    memiliki umur yang bervariasi.

    4. Kebun sawit adalah hutan yang memiliki vegetasi yang didominasi oleh

    tanaman sawit dan memiliki umur yang seragam.

    5. Areal bekas tebangan adalah areal yang memiliki vegetasi minimal bahkan

    tidak ada. Areal ini telah mengalami penebangan kemudian pembakaran dan

    didiamkan untuk beberapa minggu.

    Adapun deskripsi lengkap mengenai kondisi setiap tipe habitat disajikan pada

    Bab III. Kondisi Umum.

  • 18

    Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Eks-HPH PT RKI

    4. 2 Alat dan Bahan

    Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman

    amfibi di berbagai tipe habitat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan

    pada Tabel 2.

    Tabel 2. Alat penelitian yang digunakan

    No. Alat Penggunaan A. Pembuatan transek pengamatan

    1. Meteran (50m) Pengukuran panjang transek 2. Kompas Pengukuran arah transek 3. Alat GPS Pembuatan transek dan titik lokasi 4. Tali rafia Penandaan transek pengamatan 5. Peta Penentuan lokasi pembuatan transek

    B. Pengumpulan spesimen 1. Headlamp dan baterai Alat penerang survey malam 2. Kantong spesimen Tempat pengumpulan spesimen sementara 3. Spidol permanen Penulisan label 4. Jam tangan/stop watch Pengukur waktu 5. Alat tulis Pencatatan data lapangan 6. Buku panduan identifikasi jenis

    amfibi Identifikasi jenis amfibi

    7. Kaliper Pengukuran panjang tubuh amfibi (SVL) 8. Timbangan/neraca pegas (5, 10,

    100, 250 gr) Pengukuran berat tubuh amfibi

    9. Tabung sampel Tempat penyimpanan spesimen 10. Kapas Pembuatan spesimen 11. Alat suntik Pengawetan spesimen

  • 19

    Tabel 2. Lanjutan No. Alat Penggunaan 12. Kertas label dan benang Label spesimen 13. Kaca pembesar Pengamatan ciri amfibi

    C. Pengukuran faktor lingkungan 1. Termometer Pengukuran suhu udara danair 2. Higrometer Pengukuran kelembaban udara 3. pH meter Pengukuran kemasaman air

    D. Alat Dokumentasi 1. Kamera, film dan baterai Pengambilan foto

    Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%

    yang digunakan untuk pengawetan specimen serta MS 222 untuk anaestesi

    amfibi.

    4. 3 Pengumpualan Data

    4. 3. 1 Jenis Data yang Dikumpulkan Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu :

    1. Data satwa amfibi, meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran

    snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka

    (Gambar 7) tiap jenis, jenis kelamin, waktu saat ditemukan, perilaku dan

    posisi satwa di lingkungan habitatnya.

    Sumber : Sholihat (2007)

    Gambar 7. Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hijau : a - b)

    2. Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi: tanggal

    dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat

    ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan

    air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air,

    kelembaban udara, pH air, dan data fisik lainnya.

    3. Data sekunder yang diperlukan adalah informasi tentang amfibi yang

    pernah ditemukan dan studi literatur tentang amfibi pada habitatnya.

    ab

  • 20

    Selain itu, curah hujan dan iklim dari stasiun klimatologi setempat juga

    diperlukan untuk menunjang data habitat.

    4. 3. 2 Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi

    yaitu Visual Encounter Survey (VES) (Heyer et al. 1994). Teknik pelaksanaan

    metode di lapangan yaitu :

    1. Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal

    2. Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi yaitu 400 m

    untuk habitat akuatik (sungai), habitat akuatik (danau) dengan cara

    mengelilingi danau tersebut, dan 800 m untuk habitat terestrial. Setiap

    lokasi terbagi menjadi dua jalur pengamatan yaitu habitat akuatik dan

    habitat terestrial.

    3. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi

    jalur pengamatan pada pagi dan malam hari selama 3 kali ulangan untuk

    setiap jalur. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 08.00-11.00

    sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 20.00-23.00.

    Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan senter.

    Pengamatan dimulai saat di titik nol pada jalur. Setiap individu amfibi

    yang tertangkap dimasukan ke dalam kantong plastik yang kemudian

    dicatat waktu ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi horizontal dan vertikal,

    tipe subtrat, dan informasi lain (Heyer et al. 1994).

    Tabel 3. Total usaha yang dilakukan di setiap tipe habitat

    Tipe Habitat Habitat Jumlah Pengamat Total Usaha

    (menit) Total Usaha (jam:menit)

    H.primer akuatik 2 1620 27;00 terestrial 2 1430 23;50 H.sekunder akuatik 3 2934 48;54 terestrial 3 2796 46;36 K.karet akuatik 2 1622 27;20 terestrial 2 1047 17;27 K.sawit akuatik 2 1367 22;47 terestrial 3 1857 30;57 Areal bekas tebangan akuatik 2 1120 18;40

    terestrial 2 1003 16;43 Total 16796 279;56

  • 21

    4. Melakukan pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi.

    Amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap

    jenis dan untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil

    gambarnya secara menyeluruh. Tata cara preservasi yaitu :

    - Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada

    saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan

    preservasi.

    - Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan

    ke dalam air yang sudah dicampur dengan MS222. Setelah itu, amfibi

    dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian

    bawah tengkorak.

    - Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian

    tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep.

    - Sebelum specimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk

    memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan

    spesimen tesebut.

    - Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang

    telah beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk

    spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi.

    - Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol

    70% sampai terendam.

    5. Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku The

    Amphibian Fauna of Peninsular Malaysia (Berry 1975) dan The

    Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo (Inger 2005).

    Selain itu pengecekan ulang dilakukan dengan membawa spesimen ke

    Museum Zoologi Cibinong, Badan Penelitian dan Pengembangan

    (Balitbang) Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

    Cibinong, Bogor. Adapun penamaan jenis menggunakan Berry (1975)

    serta Inger & Stuebing 1997).

    Adapun data habitat yang diambil berupa data suhu dan kelembaban

    hanya diambil di satu titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga

    diasumsi bahwa mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini

    dinyatakan oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah

    dan makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban serta cuaca

    diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan. Komponen habitat yang yang

  • 22

    diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban udara, suhu air, pH air,

    rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman badan air, substrat dasar perairan,

    jenis dan komposisi vegetasi, kerapatan vegetasi, penutupan tajuk dan jenis

    gangguan terhadap lokasi.

    4. 4 Analisis Data

    1. Kekayaan jenis amfibi

    Untuk menduga besarnya keanekaragaman jenis digunakan Indeks

    Kekayaan Jenis Jackknife. Persamaan indeks ini yaitu :

    kS

    +=n

    1-n s

    Keterangan : S = Indeks kekayaan jenis Jackknife

    s = Total jumlah jenis yang teramati

    n = Banyaknya unit contoh

    k = Jumlah jenis yang unik

    Adapun keragamaman dari nilai dugaan (S) tersebut dihitung dengan persamaan

    berikut :

    ( )

    = nkfjjnnS2

    21)var(

    Keterangan : Var(S) = Keragaman dugaan Jackknife untuk kekayaan jenis

    fj = Jumlah unit contoh di mana ditemukan jenis unik

    k = Jumlah jenis unik

    n = Jumlah total unit contoh

    dengan demikian, maka penduga selang bagi indeks kekayaan jenis Jackknife

    adalah sebagai berikut :

    )(var StS

    di mana t diperoleh dari tabel t-student dengan nilai derajat bebas =n-1

    2. Keanekaragaman jenis amfibi

    Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Shannon-

    Wiener (Brower & Zar 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk

    membandingkan kenekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya.

  • 23

    Nnln

    NnH' ii =

    Keterangan: H = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner

    ni = Jumlah individu jenis ke-i

    N = Jumlah individu seluruh jenis

    3. Kemerataan jenis amfibi

    Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat

    kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Bower & Zar 1977).

    Sln'HE =

    Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis

    H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

    S = Jumlah jenis yang ditemukan

    4. Indeks kesamaan tipe habitat

    Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar

    lokasi pengamatan berdasarkan jenis amfibi yang ditemukan. Kesamaan antar

    lokasi pengamatan dianalisis dengan menggunakan Wards Linkage Clustering

    dalam program Minitab 13.

    5. Frekuensi jenis

    Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dapat dihitung untuk mengetahui jenis

    yang paling sering ditemukan di lokasi. Persamaan yang digunakan adalah

    sebagai berikut :

    pengamatan plot total Jumlahjenis ditemukan plot Jumlah Jenis Frekuensi =

  • V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5. 1 Hasil

    5. 1. 1 Komposisi dan Keanekaragaman Jenis 5. 1. 1. 1 Komposisi Jenis

    Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian

    di Eks-HPH PT RKI yaitu sebanyak 37 jenis dari 5 famili dimana 33 jenis dijumpai

    dalam plot pengamatan dan 4 jenis di luar plot pengamatan (Tabel 4). Jumah

    jenis dari masing-masing famili antara lain famili Bufonidae (5 jenis), famili

    Megophryidae (3 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (15 jenis),

    dan famili Rhacophoridae (11 jenis). Ordo Gymnophiona tidak ditemukan selama

    pengamatan.

    Tabel 4. Daftar Jenis Amfibi yang Ditemukan Berdasarkan Habitat dan Tipe Habitat

    Akuatik Terestrial No Jenis

    HP HS KK KW BT HP HS KK KW BT 1 Ansonia leptopus 2 Bufo asper 3 Bufo divergens * 4 Bufo parvus 5 Leptophryne borbonica 6 Leptobrachium hasseltii 7 Leptobrachium hendricksoni * 8 Megophrys nasuta * 9 Kalophrynus pleurostigma 10 Microhyla borneensis 11 Microhyla heymonsi * 12 Fejervarya limnocharis 13 Huia sumatrana 14 Limnonectes blythi 15 Limnonectes crybetus 16 Limnonectes kuhlii 17 Limnonectes malesianus 18 Limnonectes microdiscus 19 Limnonectes paramacrodon 20 Occidozyga sumatrana 21 Rana chalconota 22 Rana erythraea 23 Rana hosii 24 Rana luctuosa * 25 Rana nicobariensis 26 Rana picturata 27 Polypedates colletii

  • 25

    Tabel 4. Lanjutan Akuatik Terestrial

    No Jenis HP HS KK KW BT HP HS KK KW BT

    28 Polypedates leucomystax 29 Polypedates macrotis 30 Polypedates otilopus 31 Rhacophorus cyanopunctatus 32 Rhacophorus nigropalmatus 33 Rhacophorus pardalis 34 Rhacophorus reinwardtii * 35 Rhacophorus sp.1 36 Rhacophorus sp.2 37 Rhacophorus sp.3 * Total 8 13 9 12 10 5 13 8 10 7

    Ket: HP: Hutan Primer; HS: Hutan Sekunder; KK: Kebun Karet; KW: Kebun Sawit; BT: Areal Bekas Tebangan; *: di luar plot

    Dari 402 individu dari 33 jenis amfibi yang ditemukan, famili Ranidae

    memiliki jumlah individu terbanyak (76,62%), setelah famili Rhacophoridae

    (13,18%), famili Bufonidae (6,47%), famili Megophryidae (2,24%), dan famili

    Microhylidae (1,49%). Sedangkan spesies yang memiliki jumlah individu yang

    terbanyak adalah Rana chalconota (23,63%) dan Rana erythraea (20,90%),

    sedangkan jenis yang memiliki jumlah individu paling sedikit adalah Microhyla

    borneensis, Limnonectes microdiscus, Limnonectes paramacrodon, Polypedates

    colletii, Rhacophorus cyanopunctatus, Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2

    sebesar 0,25%. Jenis-jenis tersebut hanya ditemukan satu individu.

    Terdapat tiga jenis katak pohon belum teridentifikasi yang ditemukan di

    Eks-HPH PT RKI (Rhacophorus sp.1, Rhacophorus sp.2, dan Rhacophorus

    sp.3). Rhacophorus sp.1 ditemukan di hutan sekunder, berwarna kecokalatan

    dengan titik-titik hitam, memiliki ciri-ciri empat jari tangan tidak berselaput penuh.

    Terdapat tonjolan pada sendi tibiotarsal serta di sisi kaki dan tangan terdapat

    kulit yang bergerigi. Jenis ini termasuk ke golongan Rhacophorus appendiculatus

    (Kurniati pers.com)1.

    Rhacophorus sp.2 memiliki warna putih saat masih hidup, mata besar, dan

    badan ramping. Empat jari tangan tidak berselaput penuh dan di femur terdapat

    warna kuning. Jenis ini ditemukan di areal bekas tebangan di antara semak.

    Rhacophorus sp.3 ditemukan di hutan primer. Habitatnya sangat spesifik di

    sekitat kubangan dengan tumbuhan bawah di sekitarnya. Jenis ini juga pernah di

    temukan oleh Kurniati dan memiliki habitat yang sama. Jenis ini memiliki warna

    1 Dra. Helen Kurniati, divisi herpetofauna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 29 November 2007

  • 26

    coklat dan dapat berubah warna jadi kemerahan. Empat jari tangan tidak

    berselaput penuh. Terdapat bintik-bintik berwarna hitam dari selaput sampai

    tarsus dan di punggung terdapat titik berwarna kekuningan yang merupakan ciri

    khas dari jenis ini. Jenis yang ditemukan di akuatik (26 jenis) lebih tinggi daripada jenis yang

    ditemukan di terestrial (23 jenis). Empat belas jenis diantaranya hanya

    ditemukan di habitat akuatik dan sebelas jenis hanya ditemukan di habitat

    terestrial. Jenis Rhacophorus nigropalmatus dan Rhacophorus reinwardtii

    ditemukan di habitat terestrial, tetapi biasanya kedua jenis ini hidup tidak jauh

    dari air seperti genangan atau kubangan. Sebanyak 18 jenis merupakan jenis

    yang spesialis, umumnya jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang hanya

    ditemukan di satu tipe habitat saja (Tabel 5).

    Tabel 5. Jenis-jenis amfibi spesialis yang dijumpai di habitat akuatik dan terestrial Tipe Habitat Habitat Akuatik Habitat Terestrial

    Hutan primer Leptophryne borbonica

    Leptobrachium hendricksoni

    Bufo parvus

    Rana luctuosa

    Rhacophorus sp.3

    Hutan sekunder Ansonia leptopus

    Limnonectes microdiscus

    Rhacophorus cyanopunctatus

    Rhacophorus sp.1

    Microhyla borneensis

    Polypedates colletii

    Kebun karet Limnonectes paramacrodon

    Rhacophorus nigropalmatus

    Leptobrachium hasseltii

    Kebun sawit Polypedates otilopus Huia sumatrana

    Areal bekas tebangan

    Microhyla heymonsi

    Rhacophorus sp.2

    Frekuensi jenis yang sering ditemukan adalah Rana chalconota (100%)

    dilanjutkan dengan Bufo asper, Limnonectes blythi, Limnonectes kuhlii,

    Limnonectes malesianus, Rana nicobariensis, dan Polypedates leucomystax

    masing-masing sebesar 80%. Di lokasi penelitian jenis Rana chalconota di

    temukan disemua tipe habitat. Jenis yang paling sedikit ditemukan adalah

    Ansonia leptopus, Bufo parvus, Leptophryne borbonica, Leptobrachium hasseltii,

    Microhyla borneensis, Huia sumatrana, Limnonectes microdiscus, Limnonectes

    paramacrodon, Polypedates colletii, Polypedates otilopus, Rhacophorus

    cyanopunctatus, Rhacophorus nigropalmatus, Rhacophorus reinwardtii,

    Rhacophorus sp.1, dan Rhacophorus sp.2 masing-masing sebesar 20%. Jenis-

  • 27

    jenis ini hanya ditemukan di satu tipe habitat saja. Deskripsi jenis katak yang

    dijumpai disajikan pada Lampiran 1.

    Sebaran jenis Anura saat pengamatan bervariasi. Ansonia leptopus

    ditemukan di hutan sekunder. Jenis ini ditemukan di sisi sungai di vegetasi

    tumbuhan bawah atau di ranting pohon. Bufo asper ditemukan di sisi sungai

    atau danau. Jenis ini memiliki selaput renang yang penuh (Iskandar 1998). Hal ini

    menunjukan bahwa Bufo asper lebih bersifat akuatik daripada terestrial. Berbeda

    dengan Bufo asper, Bufo divergens juga di temukan di sekitar danau dan sungai.

    Namun, jika dilihat dari selaputnya yang tidak penuh jenis ini lebih terestrial

    daripada akuatik. Bufo parvus ditemukan di serasah hutan tipe habitat primer

    jauh dari perairan. Jenis ini telah beradaptasi dengan habitat terestrial dengan

    ditandakan selaput kaki yang tidak penuh. Leptophryne borbonica di temukan di

    sepanjang sungai hutan primer dengan substrat batu atau kayu roboh. Arus air

    sungai di hutan primer sedang dan jernih. Jenis ini dapat ditemukan dalam

    jumlah banyak di air yang jernih (Iskandar 1998).

    Gambar 8. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi di Lokasi Eks-HPH PT RKI

    0 20 40 60 80 100 120

    Jeni

    s

    Frekuensi (%)

    R.chalconotaP.leucomystaxR.nicobariensisL.malesianusL.kuhliiL.blythiB.asperR.hosiiR.erythraeaO.sumatranaK.pleurostigmaR.pardalisP.macrotisR.picturataL.crybetusF.limnocharisM.nasutaB.divergensRhacophorus sp.2Rhacophorus sp.1R.reinwardtiiR.nigropalmatusR.cyanopunctatusP.otilopusP.colletiiL.paramacrodonL.microdiscusH.sumatranaM.borneensisL.hasseltiiL.borbonicaB.parvusA.leptopus

  • 28

    Sumber: Berry (1975)

    Gambar 9. Tipe selaput pada (a) Bufo asper dan (b) Ansonia leptopus

    Megophrys nasuta dan Leptobrachium hasseltii merupakan jenis terestrial

    jika dilihat dari selaputnya. Jenis ini biasanya dijumpai di serasah hutan. Katak ini

    tersaru dengan serasah untuk bertahan hidup (Iskandar 1998). Katak ini juga

    mengunjungi sungai kecil sampai medium untuk berkembang biak dan meletakan

    telurnya di tempat yang sepi (Inger & Stuebing 1997).

    Jenis-jenis Rana chalconota merupakan jenis yang ditemukan di semua

    tipe habitat yang diamati. Rana chalconota memiliki selaput kaki yang penuh, ini

    menandakan jenis ini lebih menyukai habitat akuatik. Jenis ini dapat tinggal di

    habitat yang terdapat air, bahkan dari dataran rendah sampai ketinggian lebih

    dari 1200 mdpl (Iskandar 1998). Rana erythraea dan Rana nicobariensis biasa

    berasosiasi dengan Rana chalconota di habitat akuatik danau. Ketiga jenis ini

    dapat dijumpai bertengger diantara rerumputan yang ada di sisi danau. Rana

    hosii lebih menyukai sungai daripada danau. Rana hosii biasanya selalu

    berhubungan dengan sungai (Iskandar 1998) dan tinggal di sungai yang jernih

    dan sungai besar (Inger 2005). Rana picturata ditemukan di sepanjang sungai

    yang berarus sedang di hutan primer dan hutan sekunder (Mistar 2003). Jenis ini

    biasa bertengger di ranting-ranting sisi sungai 20 sampai 50 cm dari

    permukaan air.

    Huia sumatrana merupakan jenis yang hidup di sungai yang berarus deras,

    jernih dan berbatu (Mistar 2003). Namun, jantan jenis ini ditemukan di habitat

    terestrial, bertengger di atas tumbuhan bawah 40 cm di atas permukaan tanah.

    Dari habitat akuatik 30 m berupa danau, tidak berupa sungai yang berarus

    deras.

  • 29

    Sumber: Berry (1975)

    Gambar 10. Tipe selaput pada (a) Rana chalconota, (b) Rana erythraea, dan (c) Rana nicobariensis

    Fejervarya limnocharis lebih sering ditemukan di darat seperti jalan logging

    dan di atas tanah dari pada di perairan. Jenis ini memiliki selaput yang tidak

    penuh, berbeda dengan jenis Fejervarya cancrivora yang biasa hidup di sawah.

    Occidozyga sumatrana merupakan katak akuatik. Biasa ditemukan di

    dalam danau atau di genangan air. Mistar (2003) menemukan Occidozyga

    sumatrana di hutan areal bekas tebangan dan kebun karet sama seperti yang

    ditemukan di lokasi penelitian.

    Limnonectes crybetus, Limnonectes blythi, dan Limnonectes kuhlii sering

    ditemukan di atas permukaan tanah di sisi sungai. Ketiga jenis ini memiliki

    selaput yang penuh yang menandakan jenis tersebut lebih menyukai habitat

    akuatik. Limnonectes microdiscus merupakan katak yang tinggal di lantai hutan

    (Inger 2005). Jenis ini ditemukan di atas daun dengan ketinggian 50 cm dari

    permukaan sungai saat masih kecil. Limnonectes malesianus saat berukuran

    kecil lebih sering di temukan di serasah hutan. Namun, setelah dewasa katak ini

    selalu di temukan di perairan seperti diam di atas kayu atau tanah. Setelah di

    tangkap katak ini mengeluarkan makanannya berupa kepiting. Inger & Stuebing

    (1997) menyatakan bahwa jenis ini makan invertebrata dan katak kecil.

    Limnonectes paramacrodon ditemukan di serasah di sisi sungai dengan substrat

    sungai pasir.

    Kalophrynus pleurostigma dan Microhyla borneensis ditemukan di serasah

    hutan. Kalophrynus pleurostigma terkadang ditemukan di dekat genangan air.

    Kedua jenis ini tinggal di lantai hutan dan bertelur di genangan air di dalam hutan

    (Inger & Stuebing 1997).

    Polypedates colletii ditemukan di batang tumbuhan bawah. Polypedates

    leucomystax ditemukan di terestrial, namun lebih sering ditemukan di danau di

  • 30

    antara rumput-rumput. Jenis ini berasosiasi dengan Rana nicobariensis, Rana

    erythraea, dan Rana chalconota. Sama seperti Polypedates leucomystax,

    Polypedates macrotis lebih sering ditemukan di habitat akuatik daripada habitat

    terestrial. Di lokasi pengamatan ditemukan jenis ini sedang amplexus di pinggiran

    danau. Polypedates otilopus jantan bersuara dari vegetasi di sekitar kolam

    dengan air yang tidak mengalir (Inger & Stuebing 1997). Jenis ini ditemukan di

    batang kitrinyu (Eupatorium sp.) dengan ketinggian mencapai 2,5 m dari

    permukaan air danau. Jenis ini kadang berasosiasi dengan jenis lain seperti

    Polypedates macrotis dan Rhacophorus pardalis (Mistar 2003). Saat

    pengamatan jenis ini ditemukan secara bersamaan di lokasi yang sama.

    Rhacophorus sp.1 dan Rhacophorus cyanopunctatus ditemukan di aliran

    sungai dan diam di daun atau batang tumbuhan bawah. Habitat yang disukai

    adalah bagian sungai yang berarus lambat.

    Rhacophorus nigropalmatus dan Rhacophorus reinwardtii sering ditemukan

    di kubangan-kubangan bekas babi. Kedua jenis dapat memanjat sampai

    ketinggian 4 m di atas permukaan tanah bahkan lebih. Di lokasi penelitian

    Rhacophorus nigropalmatus lebih menyukai kebun karet dan Rhacophorus

    reinwardtii lebih menyukai hutan primer dan hutan sekunder. Rhacophorus sp.2

    ditemukan di areal bekas tebangan yang agak jauh dari perairan. Jenis ini

    bertengger di ranting tumbuhan bawah. Kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat akuatik sudah

    mendatar. Pada kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat

    terestrial masih beranjak naik.Kurva akumulasi jenis amfibi pada habitat terestrial

    berpengaruh pada kurva akumulasi gabungan, sehingga kurva akumulasi

    gabungan masih beranjak naik (Gambar 11). Hasil perhitungan dengan Jackknife

    menunjukan bahwa kemungkinan jenis yang ada di lokasi tersebut masih bisa

    terus bertambah yaitu antara 33,2 33 sampai 56,6 57 dengan standard deviasi 4,20 (selang kepercayaan 95%) dan jumlah jenis yang ditemukan di satu

    tipe habitat sebanyak 15 jenis.

  • 31

    Jumlah jenis amfibi pada malam hari lebih banyak dibandingkan dengan

    jumlah jenis amfibi pada siang hari (Gambar 12), terlihat dari jumlah jenis pada

    malam hari ditemukan 33 jenis, sedagkan pada siang hari hanya 11 jenis. Hal ini

    dikarenakan jenis amfibi termasuk satwa nokturnal (aktif pada malam hari),

    sehingga untuk melakukan penelitian amfibi (Anura) sebaiknya dilakukan pada

    waktu malam hari. Rana erythraea merupakan jenis yang paling banyak

    ditemukan pada siang hari.

    Gambar 11. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan habitat

    Gambar 12. Kurva akumulasi jenis amfibi berdasarkan waktu pengamatan

    0.00

    5.00

    10.00

    15.00

    20.00

    25.00

    30.00

    35.00

    40.00

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

    Usaha Pencarian

    Jum

    lah

    Jeni

    s

    MalamPagi

    0.00

    5.00

    10.00

    15.00

    20.00

    25.00

    30.00

    35.00

    40.00

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

    Usaha Pencarian

    Jum

    lah

    Jeni

    s

    AkuatikTerestrialGabungan

  • 32

    5. 1. 1. 2 Keanekaragaman Jenis Hasil pehitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukan

    bahwa hutan sekunder (H= 2,18) memiliki keanekaragaman tertinggi setelah

    hutan primer (H= 2,12) dan kebun karet (H= 2,09). Kebun sawit memiliki

    keanekaragaman yang paling rendah (H= 1,44). Dari lima tipe habitat tersebut,

    yang memiliki kemerataan jenis yang paling tinggi adalah hutan primer (E= 0,97)

    dan yang paling rendah adalah kebun sawit (E= 0,54).

    5. 1. 2 Karakteristik Habitat Amfibi 5. 1. 2. 1 Faktor Fisik

    Cuaca pada saat pengamatan lebih sering mendung dan kadang disertai

    gerimis pada pagi hari sedangkan malam hari cuaca lebih sering cerah. Curah

    hujan yang berasal dari Stasiun Klimatologi Pelepat menunjukan bahwa di lokasi

    tersebut memiliki curah hujan yang tergolong sedang. Pada tahun 2006 curah

    hujan yang tertinggi ada di bulan Pebruari (295 mm) dan yang terendah di bulan

    Oktober (30 mm). Total curah hujan pada tahun 2006 adalah 2008 mm dengan

    rata-rata 167,33 mm. Jumlah hari hujan tahun 2006 terjadi pada bulan April (12

    hari) dan yang terendah pada bulan Oktober (2 hari) dengan rata-rata jumlah hari

    hujan 7,25 hari.

    2,12 2,18 2,09

    1,44

    1,87

    0,97

    0,72 0,77

    0,54

    0,78

    0,00

    0,50

    1,00

    1,50

    2,00

    2,50

    Primer Sekunder Karet Sawit Bekas tebangan

    Tipe Habitat

    H'E

    Gambar 13. Grafik Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Amfibi

  • 33

    050

    100150200250300350400450

    JAN

    '05

    FEB

    '05

    MAR

    '05

    APR

    '05

    MEI '0

    5

    JUN

    '05

    JUL

    '05

    AGS

    '05

    SEP

    '05

    OKT

    '05

    NOV

    '05

    DES

    '05

    JAN

    '06

    FEB

    '06

    MAR

    '06

    APR

    '06

    MEI '0

    6

    JUN

    '06

    JUL

    '06

    AGS

    '06

    SEP

    '06

    OKT

    '06

    NOV

    '06

    DES

    '06

    Bulan Januari 2005- Desember 2006

    Cura

    h Hu

    jan

    (mm

    )

    02468101214161820

    Jum

    lah

    Hari

    Huja

    n

    Gambar 14. Data curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan tahun 2005-2006

    Suhu air yang diperoleh berkisar 20 sampai 25,5C dan suhu udara

    berkisar 20 sampai 33C. Suhu air dan suhu udara terendah berada di hutan

    sekunder sedangkan suhu air dan suhu udara tertinggi berada di areal bekas

    tebangan. Kelembaban yang di peroleh berkisar 52 sampai 83%.

    Tabel 6. Kondisi fisik di setiap tipe habitat

    Suhu (C) No Tipe Habitat Air Udara Kelembaban

    (%) pH Air

    1 Hutan Primer 22-23 22,5-25 70-81 7 2 Hutan Sekunder 20-21 20-32 73-83 7 3 Karet 22,5-24,5 20-27,5 52-75 7 4 Sawit 22-23,75 20-28 51-78 7 5 Areal bekas tebangan 22,25-25,5 21-27 36-81 7

    5. 1. 2. 2 Sebaran Ekologis Sebaran ekologis digambarkan dengan posisi saat amfibi ditemukan. Posisi

    tersebut dibedakan menjadi horizontal dan vertikal (Heyer et al. 1994). Posisi

    horizontal menggambarkan referensi terhadap badan air, disertai sifat naungan.

    Posisi vertikal di habitat terestrial digambarkan sebagai referensi terhadap posisi

    sub-permukaan pada permukaan tanah yang terbuka, permukaan tanah yang

    ternaungi dan di bawah tanah atau air.

  • 34

    Tabel 7. Kisaran posisi umum masing-masing jenis saat dijumpai

    Posisi Jenis Vertikal Horizontal

    Ansonia leptopus Di atas batu dan daun sampai 50 cm dpa* Di tepi sungai sampai 2 m dta*

    Bufo asper Di atas batu, kayu, tanah dan di dalam air

    Di tepi sungai hingga lantai hutan, hingga 3,5 m dta*

    Bufo divergens Di atas daun dan ranting sampai 50 cm dpa* Di tepian danau dan sungai hingga 2,5 m dta*

    Bufo parvus Di serasah hutan Jauh dari perairan di temukan

    Leptophryne borbonica Di atas batu dan tanah di sepanjang sungai Di tengah sungai sampai tepian sungai

    Leptobrachium hasseltii - Ditemukan di serasah hutan

    Megophrys nasuta Ditemukan di serasah hutan Di tepi sungai

    Kalophrynus pleurostigma Di lantai hutan Di tepi kubangan

    Microhyla borneensis Di serasah hutan jauh dari perairan -

    Fejervarya limnocharis Di atas tanah Di tepi danau hingga 50 cm dta*