Ketuban Pecah Preterm

21
Ketuban Pecah Dini Pendahuluan Ketuban pecah dini (PROM) merupakan istilah yang digunakan untuk pasien dengan usia gestasi lebih dari 37 minggu dan datang dengan keluhan ketubanpecah sebelum persalinan dimulai. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) merupakan ketuban pecah sebelum usia gestasi 37 minggu. Ketuban pecah dini spontan (SPROM) merupakan ketuban pecah setelah atau saat persalinan dimulai. Ketuban pecah memanjang merupakan semua ketuban pecah yang terjadi lebih dari 24 jam dan sebelum persalinan dimulai.9 Pada aterm, kematian sel terencana dan aktivasi enzim katabolik, seperti kolagenase dan gaya mekanik, dapat menyebabkan ketuban pecah. PPROM kemungkinan terjadi karena mekanisme yang sama dan aktivasi perjalanan mekanisme ini secara dini. Namun, PROM dini juga dihubungkan dengan proses patologis yang mendasari, kebanyakan karena inflamasi dan/atau infeksi dari ketuban. Faktor klinis yang berhubungan dengan PPROM meliputi rendahnya status sosioekonomi, rendahnya indeks massa tubuh, merokok, riwayat kehamilan preterm, infeksi traktus urinarius, perdarahan per vaginam setiap saat dalam kehamilan, cerclage, dan amniosintesis.1 Delapan puluh lima persen morbiditas dan mortalitas neonatus merupakan akibat dari prematuritas. PPROM berhubungan dengan 30- 40% kelahiran preterm dan merupakan penyebab utama kelahiran preterm yang teridentifikasi. PPROM mempersulit 3% dari semua kehamilan dan terjadi pada sekitar 150.000 kehamilan per tahun di Amerika. Ketika PPROM terjadi diluar aterm, resiko morbiditas dan

description

kpd

Transcript of Ketuban Pecah Preterm

Page 1: Ketuban Pecah Preterm

Ketuban Pecah Dini

Pendahuluan

Ketuban pecah dini (PROM) merupakan istilah yang digunakan untuk pasien dengan usia gestasi

lebih dari 37 minggu dan datang dengan keluhan ketubanpecah sebelum persalinan dimulai.

Ketuban pecah dini preterm (PPROM) merupakan ketuban pecah sebelum usia gestasi 37

minggu. Ketuban pecah dini spontan (SPROM) merupakan ketuban pecah setelah atau saat

persalinan dimulai. Ketuban pecah memanjang merupakan semua ketuban pecah yang terjadi

lebih dari 24 jam dan sebelum persalinan dimulai.9

Pada aterm, kematian sel terencana dan aktivasi enzim katabolik, seperti kolagenase dan gaya

mekanik, dapat menyebabkan ketuban pecah. PPROM kemungkinan terjadi karena mekanisme

yang sama dan aktivasi perjalanan mekanisme ini secara dini. Namun, PROM dini juga

dihubungkan dengan proses patologis yang mendasari, kebanyakan karena inflamasi dan/atau

infeksi dari ketuban. Faktor klinis yang berhubungan dengan PPROM meliputi rendahnya status

sosioekonomi, rendahnya indeks massa tubuh, merokok, riwayat kehamilan preterm, infeksi

traktus urinarius, perdarahan per vaginam setiap saat dalam kehamilan, cerclage, dan

amniosintesis.1

Delapan puluh lima persen morbiditas dan mortalitas neonatus merupakan akibat dari

prematuritas. PPROM berhubungan dengan 30-40% kelahiran preterm dan merupakan penyebab

utama kelahiran preterm yang teridentifikasi. PPROM mempersulit 3% dari semua kehamilan

dan terjadi pada sekitar 150.000 kehamilan per tahun di Amerika. Ketika PPROM terjadi diluar

aterm, resiko morbiditas dan mortalitas yang signifikan ditemukan pada kedua fetus dan ibu.

Oleh karena itu, dokter yang merawat wanita hamil dengan kehamilan yang dipersulit PPROM

memainkan peran yang penting dalam penatalaksanaan dan perlu untuk mengenal komplikasi

potensial dan intervensi yang mungkin untuk meminimalkan resiko dan memaksimalkan

kemungkinan hasil yang diharapkan.1,2,3

Ketuban Pecah Dini Preterm

Ketuban pecah dini preterm (PPROM) yang terjadi dari usia gestasi 24-37 minggu lebih susah

ditangani dibandingkan ketuban pecah dini pada aterm. Beberapa isu perlu dipertimbangkan

dalam memformulasikan rencana penatalaksanaan. Prematuritas merupakan resiko primer untuk

fetus, sedamgkan morbiditas infeksi dan komplikasinya merupakan resiko maternal yang primer.

Semua perencanaan dalam menangani PPROM selain aterm harus melibatkan keluarga dan tim

Page 2: Ketuban Pecah Preterm

medis yang menjaga kehamilan, termasuk tim medis neonatal dan maternal. PPROM harusnya

hanya dijaga di tempat yang memiliki fasilitas NICU dan mampu menjaga neonatus. Karena

kebanyakan kehamilan PPROM melahirkan dalam seminggu dari ketuban pecah, transfer ibu

hamil ke fasilitas yang memiliki kualifikasi harus dilakukan segera dan harus difasilitasi segera

setelah diagnosis.9

Mayoritas wanita berhasil melakukan persalinan aktif dan melahirkan segera setelah PPROM.

Dengan terapi yang mencukupi dan penanganan konservatif, sekitar 50% dari seluruh kehamilan

melahirkan di minggu yang sama dengan pecahnya ketuban. Namun, sangat sedikit wanita yang

mempertahankan kehamilan lebih dari 3-4 minggu setelah PPROM. Ini merupakan informasi

yang penting untuk wanita hamil yang mempertimbangkan untuk menunggu kelahiran tanpa

memperhatikan viabilitas.1

Penambalan spontan dari membran kadang dapat terjadi (<10% dari semua kasus), kebanyakan

setelah PPROM yang telah terjadi setelah amniosintesis; namun, ini merupakan pengecualian

dibandingkan peraturan.9

Beberapa kontroversi yang timbul dalam hal pendekatan atau penanganan medis terbaik pada

ketuban pecah dini diluar aterm. Penanganan menunggu kelahiran dan segera melahirkan

merupakan pilihan yang potensial pada pasien demikian, dan setiap pilihan memiliki keuntungan

dan kerugian tersendiri. Dengan perawatan yang seperlunya, resiko maternal dari tindakan

menunggu kelahiran umumnya dipercaya minimal dan keuntungan neonatal yang jelas diperoleh

dengan menurunkan resiko prematuritas.9

Kontroversi terdapat dalam hal seperti intervensi seperti pemberian steroid untuk mempercepat

pematangan paru, antibiotik, dan tokolitik.9

Page 3: Ketuban Pecah Preterm

DIAGNOSIS KETUBAN PECAH DINI PRETERM

Deteksi Ketuban Pecah

Wanita hamil harus diberitahu untuk waspada terhadap bocornya cairan dari vagina selama

periode antepartum dan segera melaporkan kejadian segera. Ketuban pecah penting dalam tiga

hal. Pertama, jika bagian presentasi tidak terfiksasi pada pelvis, kemungkinan prolaps dan

kompresi tali pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan biasanya segera mulai jika kehamilan

sudah atau hampir cukup bulan. Ketiga, jika persalinan tertunda sampai 24 jam atau lebih setelah

ketuban pecah, infeksi intrauteri lebih mungkin terjadi.8

Menggunakan pemeriksaan spekulum steril, diagnosis konklusif dari ketuban pecah ditegakkan

ketika cairan amnion terlihat tergenang pada forniks posterior atau cairan beningkeluar dari

kanalis servikalis (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000). Walaupun

beberapa tes diagnostik telah direkomendasikan untuk mendeteksi ketuban pecah, tidak ada yang

secara keseluruhan terpercaya. Jika diagnosis masih tidak pasti, metode lain meliputi percobaan

kadar pH cairan vagina. pH sekret vagina normalnya berkisar antara 4,5 dan 5,5, dimana cairan

amnion biasanya 7 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazine untuk diagnosis ketuban pecah

adalah suatu metode yang simpel dan cukup terpercaya. Kertas percobaan dipenuhi dengan

pewarnaan, dan reaksi warna diinterpretasikan dengan membandingkannya dengan tabel warna

standar. pH diatas 6,5 konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif-palsu akan terjadi

dengan adanya darah, semen, atau vaginosis bakterialis dan hasil tes negatif-palsu ketika cairan

untuk analisis kurang banyak (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000).8

Tes lain telah digunakan sebagai marker untuk ketuban pecah. Arborisasi atau ferning dari cairan

vagina menunjukkan suatu amnion dibandingkan cairan serviks. Jika terdapat, cairan amnion

mengalami kristalisasi membentuk pola seperti kipas akibat konsentrasi relatif dari natrium

klorida, protein, dan karbohidrat dalam cairan. Deteksi alfa-fetoprotein pada lumen vault vagina

telah digunakan untuk mengidentifikasi cairan amnion (Yamada dan kolega, 1998). Identifikasi

yang tidak sama datang dari berbagai injeksi pewarnaan, termasuk biru Evans, biru metilen,

carmine indigo, atau fluoresin dalam kantung ketuban via amniosintesis trans abdominal.8

Page 4: Ketuban Pecah Preterm

PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PRETERM

Wanita yang sudah teridentifikasi beresiko untuk melahirkan preterm dan wanita yang memiliki

tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi kandidat untuk sejumlah intervensi yang

bertujuan untuk meningkatkan hasil neonatus. Dengan tidak adanya indikasi maternal atau fetus

yang menjamin induksi persalinan, intervensi-intervensi ditujukan untuk menunda kelahiran

preterm. Walaupun banyak intervensi yang dibahas di bawah ini, tidak semuanya

direkomendasikan. Beberapa menghasilkan perbaikan yang terbatas, dan ada juga yang belum

terbukti. Banyak intervensi dilakukan untuk menunda kelahiran menjalani peninjauan

berkelanjutan dari American College of Obstetricians and Gynecologists (1995, 1998a, 1998b,

2001, 2002).8

Ketepatan dalam mendiagnosis ketuban pecah preterm adalah sangat penting. Riwayat keluarnya

cairan melalui vagina, baik secara terus menerus atau mendadak banyak, harus dilakukan

pemeriksaan dengan spekulum steril untuk melihat cairan amnion yang tergenang pada vagina,

cairan jernih dari kanalis servikalis, atau keduanya. Konfirmasi pecahnya ketuban biasanya

disertai dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menghitung volume cairan amnion;

mengidentifikasi bagian presentasi; dan jika tidak ditentukan sebelumnya, untuk memperkirakan

usia gestasional.8

Penanganan dapat mempengaruhi persalinan atau menunggu persalinan spontan. Dapat juga

diperlukan untuk mempertimbangkan pemberian antimikroba, kortikosteroid, atau keduanya.8

Evaluasi awal dari PPROM harus meliputi pemeriksaan spekulum steril untuk melihat ketuban

yang pecah. Kultur serviks termasuk Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae dan

kultur-kultur anogenital untuk Streptococcus agalactiae harus dilakukan. Awalnya, tanda-tanda

vital ibu harus diperiksa dan monitoring fetus berkelanjutan harus dilakukan untuk menentukan

status fetus. Pemeriksaan ultrasonografi dari usia gestasi, berat fetus, presentasi fetus, dan indeks

cairan amnion harus dilakukan. Pemeriksaan digital dari serviks dengan PPROM menunjukkan

mempersingkat latensi dan meningkatkan resiko infeksi tanpa memberikan informasi klinis

tambahan yang berguna.9

Pada keadaan tertentu, dapat diindikasikan kelahiran segera bayi dengan PPROM. Keadaan ini

meliputi korioamnionitis, persalinan maju, distres fetus, dan abruptio plasenta dengan keadaan

fetus yang tidak meyakinkan. Jika maturitas paru-paru fetus telah diperiksa dengan baik

amniosintesis ataupun pengambilan cairan vagina, kelahiran harus difasilitasi. Pada fetus bukan

Page 5: Ketuban Pecah Preterm

presentasi kepala dengan dilatasi serviks (lebih atau sama dengan 3 cm), resiko prolaps tali pusat

juga dapat melebihi keuntungan dari menunggu kelahiran dan kelahiran harus dipertimbangkan.

Jika setelah evaluasi awal dari ibu dan fetus, keduanya dinyatakan stabil secara klinis, tindakan

menunggu kelahiran dalam penanganan PPROM dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki

keadaan fetus. Resiko primer maternal dengan tindakan menunggu kelahiran pada PPROM

adalah infeksi. Keadaan ini meliputi korioamnionitis (13-60%), endometritis (2-13%), sepsis

(<1%), dan kematian maternal (1-2 kasus per 1000). Komplikasi yang berhubungan dengan

plasenta meliputi abruptio (4-12%) dan plasenta tertahan atau perdarahan post partum

memerlukan kuretase uterus (12%).2

Resiko dan keuntungan potensial dari menunggu kelahiran harus didiskusikan dengan pasien dan

keluarganyam dan surat tanda setuju tindakan harus diperoleh. Status maternal dan fetal perlu

untuk direevaluasi setiap hari, dan keamanan dan keuntungan potensial dari menunggu kelahiran

harus dinilai kembali. Jika kondisi masih tetap stabil, fetus yang imatur dapat mendapatkan

keuntungan dari tindakan menunggu kelahiran, walau hanya jangka waktu yang singkat, untuk

memberikan kesempatan untuk pemberian steroid dan antibiotik. Sekali maturitas telah tercapai,

keuntungan dari menunggu kelahiran pada PPROM menjadi tidaklah jelas dan resiko infeksi

melebihi keuntungan potensial yang ada.

Amniosintesis dapat memberikan informasi mengenai ketepatan maturitas paru-paru dan

kebenaran diagnosis dari ketuban pecah dini dan infeksi. Namun, pada kebanyakan kasus

PPROM, jumlah cairan sedikit; oleh karena itu, amniosintesis harus dilakukan hanya oleh

individu yang berpengalaman melakukan amniosintesis yang sulit, dan resiko yang potensial

untuk komlikasi fetus dan keperluan untuk segera dilahirkan harus didiskusikan dengan pasien

sebelum melakukan amniosintesis.

Perjalanan Alamiah Ketuban Pecah Preterm

Cox dan kolega (1988) menggambarkan hasil persalinan 298 wanita yang melahirkan setelah

ketuban pecah spontan antara kehamilan 24 dan 34 minggu. Walaupun komplikasi ini

teridentifikasi hanya 1,7 persen dari kehamilan, hasil ini memberikan kontribusi 20 persen dari

seluruh kematian perinatal. Saat mereka mempresentasikan, 75 persen wanita sudah dalam

persalinan, 5 persen melahirkan karena komplikasi lain, dan 10 persen melahirkan dalam 48 jam.

Hanya dalam 7 persen yang melahirkan setelah ketuban pecah selama 48 jam atau lebih. Subgrup

Page 6: Ketuban Pecah Preterm

yang terakhir ini, namun, tampak mendapat keuntungan dari tertundanya kelahiran, karena tidak

ditemukan adanya kematian neonatal. Hal ini berbeda dengan angka kematian neonatal sebesar

80 per 1000 kelahiran baru yang dilahirkan dalam 48 jam ketuban pecah. Nelson dan kolega

(1994) melaporkan hasil yang sama. Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai

melahirkan berbanding terbalik dengan usia kehamilan ketika ketuban pecah (Carroll dan

kolega, 1995). Seperti terlihat pada Gambar 1, sangat sedikit hari yang diperoleh ketika ketuban

pecah pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester kedua.8

Gambar 1. Hubungan interval waktu antara ketuban pecah preterm dan melahirkan pada 172

kehamilan. (persegi=yang bertahan hidup; bulat=kematian akibat prematuritas;

segitiga=kematian akibat hipoplasia pulmoner)

Hospitalisasi

Kebanyakan klinisi memasukkan wanita dengan ketuban pecah dini preterm ke rumah sakit.

Pertimbangan mengenai besar biaya lamanya berada di rumah sakit biasanya menjadi

perdebatan, karena kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam satu minggu atau kurang

setelah ketuban pecah. Carlan dan kolega (1993) secara acak menentukan 67 wanita hamil

dengan ketuban pecah untuk dirawat di rumah atau di rumah sakit. Tidak ada keuntungan

ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dan lama ibu dirawat di rumah sakit

berkurang 50 persen pada wanita yang dirawat di rumah (14 berbanding 7 hari). Secara penting,

investigator menekankan bahwa studi ini terlalu kecil untuk menyimpulkan bahwa perawatan di

rumah aman.8

Page 7: Ketuban Pecah Preterm

Pengawasan Maternal dan Fetal

Setelah suatu periode awal monitoring berkelanjutan dari denyut jantung janin dan kontraksi

uterus (24-48 jam), jika penemuan mengarah kepada pengawasan kembali, maka pasien mungkin

merupakan kandidat untuk penanganan menunggu kelahiran. Pasien harus dirawat di kamar

bersalin untuk tirah baring. Karena tirah baring dalam kehamilan berhubungan dengan

peningkatan resiko trombosis vena dalam, maka harus diberikan profilaksis untuk mengurangi

resiko ini. Monitoring fetal harus dilakukan paling tidak satu kali sehari. Jika bukti kompresi tali

pusat dengan variabel sedang sampai berat sering terjadi, monitoring berkelanjutan harus

kembali dilakukan. Tanda-tanda vital maternal perlu dimonitor secara ketat. Takikardia dan

demam keduanya merupakan tanda ke arah korioamnionitis dan memerlukan evaluasi yang hati-

hati untuk menentukan adanya infeksi intraamniotik, dimana kelahiran dan inisiasi antibiotik

spektrum luas harus segera diberikan.8

Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur indeks cairan amnion dan perkembangan dan

kesejahteraan fetus harus digunakan untuk memastikan perlunya dilanjutkan tindakan menunggu

kelahiran. Walaupun oligohidramnion, didefinisikan dengan indeks cairan amnion yang kurang

dari 2 cm, dihubungkan dengan latensi jangka pendek dan korioamnionitis, oligohidramnion

sendiri bukan merupakan indikasi kelahiran bila pengawasan lain masih meyakinkan. Hitung

jumlah sel darah putih tidak memprediksikan hasil dan tidak perlu dimonitor selain untuk

mendukung curiga korioamnionitis klinis.8

Pemeriksaan serviks digital harus dihindari.4 Pada presentasi selain kepala, terutama dengan

dilatasi serviks, monitoring berkelanjutan harus dipikirkan untuk menghindari kelalaian dalam

mendiagnosa prolaps plasenta.8

Infeksi intra-amniotik menandakan perlunya kelahiran segera. Dokter harus memiliki ambang

batas yang rendah dalam mendiagnosa infeksi pada pasien dengan PPROM karena bukti yang

ada dengan jelas menunjukkan hasil yang buruk pada neonatus yang terinfeksi dibandingkan

dengan neonatus yang sama tanpa terinfeksi.8

PPROM pada Trimester Kedua

PPROM sebelum fetal viabel merupakan problem unik yang sering sulit ditangani. Resiko

maternal yang mayor adalah infeksi, dinamakan korioamnionitis. Morbiditas mayor pada fetus

Page 8: Ketuban Pecah Preterm

dengan ketuban pecah pada trimester kedua adalah hipoplasia pulmoner yang mematikan dari

oligohidramnion yang panjang, berat, dan dini.

Dengan terapi yang diperlukan dan penanganan konservatif, sekitar 50% dari seluruh kehamilan

melahirkan satu minggu berikutnya setelah PPROM.1 Ketika PPROM terjadi sebelum usia

gestasi 20 minggu, kemungkinan untuk mencapai viabilitas kurang dari 5% dan ditemukan

resiko hipoplasia pulmoner akibat oligohidramnion dan perkembangan terlambat dari struktur

alveolar dan cabang trakeobronkial.

Resiko infeksi meningkat dengan durasi PPROM. Penanganan rawat jalan PPROM sebelum

viabilitas diperlukan pada pasien yang terinformasi dengan baik dan teredukasi. Pasien perlu

diinformasikan mengenai tanda bahaya yang mengindikasikan perlunya evaluasi segera. Tanda-

tanda ini meliputi demam, nyeri abdomen, flek dari vagina, sekret vagina yang berbau busuk,

dan denyut jantung yang cepat. Wanita hamil harus memonitor temperatur mereka di rumah

paling tidak 3 kali sehari dan melaporkan setiap peningkatan diatas 100,4°F (38°C). Pemeriksaan

rutin diperlukan untuk memastikan keselamatan maternal. Pasien harus diedukasi mengenai

tanda bahaya dari infeksi intra-amniotik, dan harus mengukur temperaturnya 3 kali sehari di

rumah. Setelah viabilitas dicapai, penanganan rawat inap harus dipertimbangkan.

PPROM pada trimester tengah (13-26 minggu) memiliki prognosis yang buruk. Tindakan

menunggu kelahiran mungkin diperlukan pada pasien tertentu yang diberi informasi dan

diedukasi dengan baik mengenai resiko dan prognosis buruk terhadap neonatus. Melahirkan juga

perlu ketika ibu mengkhawatirkan resikonya sendiri, terutama ketika PPROM terjadi sebelum

usia gestasi 20 minggu. Abortus inkomplit mungkin merupakan istilah yang tepat untuk kondisi

ini, sebagai produk dari konsepsi (cairan amnion) telah keluar melalui serviks yang terbuka dan

kedalam vagina pada kasus ini.

Ketahanan bervariasi dengan usia gestasi saat diagnosis (dari 12% saat terdiagnosa 16-19

minggu, sampai sebesar 60% pada 25-26 minggu).10 Sampai viabilitas, keselamatan maternal

harus menjadi pertimbangan utama.

Induksi Persalinan

Sebelum pertengahan 1970-an, persalinan biasanya dilakukan pada pasien dengan ketuban pecah

preterm karena ketakutan terjadinya infeksi. Dua percobaan acak membandingkan induksi

persalinan dengan menunggu kelahiran pada kehamilan yang demikian. Mercer dan kolega

Page 9: Ketuban Pecah Preterm

(1993) secara acak memilih 83 wanita dengan kehamilan antara 32 dan 36 minggu untuk

menjalani persalinan atau menunggu kelahiran. Maturitas paru-paru didokumentasikan pada

seluruh kasus. Persalinan intensional mengurangi angka ibu yang dirawat di rumah sakit dan

mengurangi angka infeksi pada kedua ibu dan neonatus. Cox dan Leveno (1995) secara sama

membagi 129 wanita dengan kehamilan antara 30 dan 34 minggu. Satu kematian fetus akibat

sepsis pada kehamilan yang ditangani secara konvensional. Terdapat tiga kematian neonatus

antara kelahiran yang direncanakan; dua akibat sepsis dan satu akibat hipoplasia pulmoner. Oleh

karena itu, tidak ada pendekatan penanganan yang terbukti lebih superior.8

Menunggu Kelahiran

Walaupun banyak literatur yang mengobservasi untuk menunggu kelahiran pada ketuban pecah

preterm, tokolisis telah digunakan pada beberapa studi. Pada suatu studi acak, yang memberikan

tokolitik atau menunggu kelahiran pada wanita dengan ketuban pecah dini, penulis

menyimpulkan bahwa intervensi aktif tidak meningkatkan hasil perinatal (Garite dan kolega,

1981, 1987; Nelson dan kolega, 1985).8

Peninjauan lain dengan menunggu kelahiran meliputi penggunaan pemeriksaan serviks digital

dan cerclage. Alexander dan kolega (2000) membandingkan temuan pada wanita antara 24 dan

32 minggu yang ditunggu kelahirannya yang dilakukan satu atau dua pemeriksaan serviks digital

dengan wanita yang tidak dilakukan pemeriksaan demikian. Wanita yang dilakukan pemeriksaan

memiliki interval ruptur sampai kelahiran selama 3 hari dibandingkan 5 hari pada yang tidak

diperiksa. Perbedaan ini tidak memperburuk hasil ibu atau neonatus. McErlath dan kolega (2002)

mempelajari 114 wanita dengan cerclage yang kemudian mengalami ketuban pecah sebelum 34

minggu. Mereka digabungkan dengan 288 kontrol yang tidak mendapatkan cerclage. Hasil

kehamilan sama pada kedua kelompok, walaupun penanganan demikian masih kontroversial.8

Resiko dari Menunggu Kelahiran

Resiko ibu dan fetal bervariasi dengan usia kehamilan saat ketuban pecah dan termasuk

konsekuensi infeksi uterus dan sepsis. Ketika mengusahakan untuk menunggu kelahiran sebelum

25 minggu, pertimbangan tambahan diberikan pada resiko fetus oligohidramnion dengan

hasilnya hipoplasia pulmoner dan deformitas kompresi ekstrimitas. Morales dan Tally (1993)

menangani 94 kehamilan tunggal dengan ketuban pecah sebelum kehamilan 25 minggu dengan

cara menunggu kelahiran. Mereka menemukan bahwa 41 persen bayi bertahan hidup sampai usia

Page 10: Ketuban Pecah Preterm

1 tahun, namun, hanya 27 persen yang normal secara neurologis. Rata-rata waktu yang diperoleh

adalah 11 hari. Hasil yang sama dikemukakan oleh Farooqi (1998) dan Winn (2000) dan

koleganya.8

Volume cairan amnion yang tersisa setelah pecah tampaknya memiliki kepentingan prognostik

pada kehamilan sebelum 26 minggu. Hadi dan kolega (1994) mendeskripsikan 178 kehamilan

dengan ketuban pecah antara 20 dan 25 minggu. Pada 40 persen wanita, terjadi oligohidramnion

yang ditentukan dengan tidak adanya kantung cairan sebesar 2 cm atau lebih. Sebenarnya semua

wanita melahirkan sebelum 25 minggu, sedangkan 85 persen dengan jumlah cairan amnion yang

cukup melahirkan pada trimester ketiga. Carroll dan kolega (1995) tidak menemukan kasus

dengan hipoplasia pulmoner pada fetus yang lahir setelah 24 minggu atau lebih, menandakan

bahwa 23 minggu atau kurang merupakan ambang batas perkembangan hipoplasia pulmoner.8

Faktor resiko lain juga telah dievaluasi. Latensi berkepanjangan setelah ketuban pecah tidak

berhubungan dengan peningkatan insidens kerusakan neurologis fetus (McElrath dan kolega,

2003). Pada neonatus yang lahir dari wanita dengan lesi herpes aktif yang ditunggu kelahirannya,

resiko morbiditas infeksius tampak diperburuk dengan resiko yang berhubungan dengan

kelahiran preterm (Major dan kolega, 2003).8

Korioamnionitis Klinis

Jika tidak terdapat hasil perinatal yang buruk dari lilitan atau prolaps tali pusat atau dari abrupsio

plasenta, kebanyakan penulis, dengan sedikit pengecualian, menemukan ketuban pecah

berkelanjutan berhubungan dengan peningkatan morbiditas infeksius (Ho dan kolega, 2003). Jika

korioamnionitis didiagnosa, dilakukan usaha untuk mulai melakukan kelahiran, dianjurkan

sebaiknya melalui vagina. Demam merupakan indikator satu-satunya yang dapat dipercaya untuk

diagnosis ini. Temperatur 38°C atau lebih bersamaan dengan ketuban pecah menandakan infeksi.

Leukositosis maternal sendiri belum dipercaya oleh kebanyakan investigator. Selama menunggu

kelahiran, monitoring untuk takikardi maternal atau fetal yang dialami, nyeri pada uterus, dan

sekret vagina yang bau harus dilakukan.8

Dengan korioamnionitis, morbiditas fetus dan neonatus meningkat secara substansial. Alexander

dan kolega (1998) melakukan studi pada 1367 neonatus dengan berat lahir sangat rendah yang

dibawa ke Parkland Hospital. Sekitar 7 persen dilahirkan dari wanita dengan korioamnionitis

yang jelasm dan hasilnya dibandingkan dengan neonatus yang tidak mengalami infeksi.

Neonatus pada kelompok terinfeksi memiliki insidens sepsis, respiratory distress syndrome,

Page 11: Ketuban Pecah Preterm

kejang onset dini, perdarahan intraventrikuler, dan leukomalasia periventrikuler. Investigator

menyimpulkan bahwa neonatus dengan berat badan sangat rendah ini lebih rentan terhadap

kerusakan neurologis yang disebabkan oleh korioamnionitis.8

Terdapat bukti lain bahwa neonatus sangat kecil yang terkena infeksi intrauterina memiliki

resiko yang meningkat. Yoon dan kolega (2000) menemukan bahwa infeksi intra-amnion pada

neonatus preterm berhubungan dengan peningkatan cerebral palsy pada usia 3 tahun. Petrova

dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta janin tunggal hidup dari 1995 sampai 1997

yang terdapat dalam database National Center for Health Statistics berhubungan dengan

kematian bayi lahir. Selama persalinan, 1,6 persen dari semua wanita demam, dan ini merupakan

tanda yang kuat adanya kematian yang berhubungan dengan infeksi pada neonatus preterm dan

term. Bullard dan kolega (2002) melaporkan hasil yang sama.8

Maturasi Pulmoner yang Dipercepat

Berbagai kejadian klinis – beberapa ditentukan dengan baik dan yang lain tidak – yang sekalian

direncanakan untuk mempercepat produksi surfaktan fetus (Gluck, 1979). Ini meliputi penyakit

ginjal kronis atau jantung, kelainan hipertensif, adiksi heroin, restriksi pertumbuhan fetus, infark

plasenta, korioamnionitis, dan ketuban pecah dini. Walaupun pandangan ini menjadi pegangan

secara luas selama beberapa tahun, observasi yang selanjutnya tidak mendukung hubungan ini

(Hallak dan Bottoms, 1993; Owen dan kolega, 1990).8

Terapi Antimikroba

Patogenesis mikrobial yang dikemukakan untuk persalinan preterm spontan atau ketuban pecah

telah membuat investigator untuk memberikan berbagai antimikroba dalam usaha untuk

mencegah kelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengaji kembali 13 percobaan acak yang

dilakukan untuk mengevaluasi antimikroba dibandingkan dengan pengobatan placebo untuk

wanita dengan ketuban pecah sebelum 35 minggu. Metaanalisis mengindikasikan bahwa hanya 3

dari 10 hasil yang mungkin menguntungkan: Lebih sedikit wanita mengalami korioamnionitis,

lebih sedikit neonatus mengalami sepsis, dan kehamilan lebih sering diperpanjang selama 7 hari

pada wanita dengan terapi antimikroba. Ketahanan hidup neonatus, namun, tidak terpengaruh,

termasuk insidens dari necrotizing enterocolitis (NEC), distres pernafasan, atau perdarahan

intrakranial.8

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai isu ini, NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network

mendesain suatu percobaan untuk mempelajari penanganan menunggu kelahiran bergabung

Page 12: Ketuban Pecah Preterm

dengan 7 hari pengobatan dengan baik ampisilin ataupun amoksisilin ditambah eritromisin, atau

plasebo. Wanita dengan ketuban pecah antara 24 dan 32 minggu. Tanpa pemberian tokolitik

ataupun kortikosteroid. Wanita dengan pengobatan antimikroba secara signifikan memiliki lebih

sedikit neonatus dengan yang respiratory distress syndrome, NEC, dan efek samping gabungan

(Mercer dan kolega, 1997). Periode laten secara signifikan lebih lama; 50 persen wanita yang

diberikan regimen antimikroba masih belum melahirkan setelah 7 hari pengobatan dibandingkan

dengan 25 persen yang diberi plasebo. Juga terdapat perpanjangan persalinan yang signifikan

selama 14 dan 21 hari. Kolonisasi streptokokus grup B pada servikovaginal tidak mempengaruhi

hasil.8

Studi yang lebih baru memeriksa efektivitas pengobatan dengan jangka waktu yang lebih pendek

dan kombinasi antimikroba lainnya. Pengobatan tiga hari dibandingkan regimen 7 hari baik

ampisilin atau ampisilin-sulbaktam ternyata sama efektif dalam hal hasil perinatal (Lewis dan

kolega, 2003; Segel dan kolega, 2003). Sama juga, eritromisin dibandingkan plasebo

menunjukkan keuntungan neonatus yang signifikan. Namun, regimen amoksisilin-klavulanat

tidak direkomendasikan, karena hubungannya dengan peningkatan insidens NEC (Kenyon dan

kolega, 2001a).8

Terapi antimikroba yang lebih lama pada kehamilan yang demikian memiliki konsekuensi yang

tidak diinginkan. Carroll dan kolega (1996) dan Mercer dan kolega (1999) memperingati bahwa

terapi demikian berpotensial meningkatkan resiko resistensi bakteri tertentu. Stoll dan kolega

(2002) mempelajari 5447 neonatus dengan berat dari 400 sampai 1500 g dan lahir dari 1998

sampai 2000 pada pusat dari Neonatal Research Network. Ini dibandingkan dengan 7606

neonatus dengan berat yang sama dari 1991 sampai 1993. Angka keseluruhan sepsis onset dini

tidak berubah. Namun, sepsis streptokokus grup B menurun dari grup 1991-1993 dibandingkan

dengan grup 1998-2000 (5,9 menjadi 1,7 per 1000 kelahiran), sedangkan sepsis E.coli meningkat

(3,2 menjadi 6,8 per 1000 kelahiran). Hampir 80 persen koliform yang diisolasi dari kohort yang

lebih baru adalah resisten ampisilin. Neonatus dengan sepsis onset awal lebih cenderung untuk

meninggal, terutama jika mereka terinfeksi koliform.8

Memperbaiki Ketuban

Penggunaan spons gelatin untuk sumbatan serviks dideskripsika oleh O’Brien dan kolega (2002)

pada 15 wanita dengan ketuban pecah pada awal trimester kedua. Teknik ini masih dalam

investigasi.8

Page 13: Ketuban Pecah Preterm

Penanganan yang direkomendasikan untuk ketuban pecah preterm di Parkland Hospital

dan University of Alabama di Birmingham8

Setelah konfirmasi ketuban pecah, dilakukan langkah berikut ini:

1. Dilatasi dan pendataran serviks diperkirakan secara visual ketika melakukan pemeriksaan

spekulum steril

2. Untuk kehamilan kurang dari 34 minggu, jika tidak terdapat indikasi ibu atau fetus untuk

melahirkan, wanita hamil dan fetusnya awalnya diobservasi di kamar bersalin.

Antimikroba parenteral spektrum luas mulai diberikan untuk mencegah korioamnionitis.

Denyut jantung janin dan aktivitas uterus dimonitor untuk kompresi tali pusat, kelemahan

fetus, dan persalinan dini.

3. Untuk kehamilan kurang dari 32 minggu, diberikan betametason (dua dosis 12 mg

intramuskuler dengan selang waktu 24 jam) atau deksametason (5 mg intramuskuler

setiap 12 jam selama empat dosis).

4. Jika keadaan fetus terjamin, dan persalinan tidak terjadi, wanita hamil biasanya

dipindahkan ke unit antepartum dan diobservasi untuk persalinan, infeksi, atau bahaya

fetus. Kami tidak menggunakan monitoring fetus berkelanjutan.

5. Untuk kehamilan 34 minggu atau lebih, jika persalinan tidak berlangsung spontan, maka

induksi dengan oksitosin intravena kecuali terdapat kontraindikasi. Kelahiran Cesar

dilakukan atas indikasi biasanya, termasuk kegagalan induksi persalinan.

6. Ketika persalinan atau induksi, antimikroba parenteral diberikan untuk mencegah infeksi

streptokokus grup B.