Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

17
Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya Tujuan : Untuk membandingkan insidensi kelainan kromosom pada embrio preimplantasi dari pasangan yang sedang dalam proses skrening genetik ( PGS ) setelah keguguran aneuploidi sebelumnya baik pada kehamilan alami ( NC ) ataupun pada kehamilan dibantu teknologi ( ART ) dibandingkan pasangan fertil yang yang mengikuti PGS terhadap penyakit terkait kromosom X sebagai kelompok kontrol. Design : Penelitian Retrospektif Tempat : Klinik IVF Pasien : Pasien dengan kehamilan aneuploidi sebelumnya yang mengikuti PGS Intervensi : Pengambilan embrio, fluorescence in situ hibridisasi Ukuran Tujuan Utama : Jumlah embrio aneuploidi dan kehamilan dan jumlah implantasi pada pasangan dengan aneuploidi pada autosomal atau kromosom seks sebelumnya. Hasil : Jumlah keseluruhan kelainan kromosom pada kelompok dengan aneuploidi autosomal yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

Transcript of Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

Page 1: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran

Aneuploidi Sebelumnya

Tujuan : Untuk membandingkan insidensi kelainan kromosom pada embrio

preimplantasi dari pasangan yang sedang dalam proses skrening genetik ( PGS )

setelah keguguran aneuploidi sebelumnya baik pada kehamilan alami ( NC )

ataupun pada kehamilan dibantu teknologi ( ART ) dibandingkan pasangan fertil

yang yang mengikuti PGS terhadap penyakit terkait kromosom X sebagai

kelompok kontrol.

Design : Penelitian Retrospektif

Tempat : Klinik IVF

Pasien : Pasien dengan kehamilan aneuploidi sebelumnya yang mengikuti PGS

Intervensi : Pengambilan embrio, fluorescence in situ hibridisasi

Ukuran Tujuan Utama : Jumlah embrio aneuploidi dan kehamilan dan jumlah

implantasi pada pasangan dengan aneuploidi pada autosomal atau kromosom seks

sebelumnya.

Hasil : Jumlah keseluruhan kelainan kromosom pada kelompok dengan

aneuploidi autosomal yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan

kelompok kontrol ( 67, 8 % yang sebelumnya muncul aneuploidi setelah NC dan

65, 8 % yang sebelumnya meningkat setelah ART, vs. 34.0 % ) tidak terdapat

perbedaan signifikan yang diamati pada pasien dengan kelainan kromosom seks

sebelumnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada pasien dengan

aneuloidi sebelumnya setelah NC, tidak terdapat perbedaan yang muncul pada

insidensi kelainan kromosom dibandingkan dengan kelompok ART. Hasil secara

klinis yang lebih baik terdapat pada pasien dengan kelainan aneuploidi

sebelumnya setelah NC.

Kesimpulan : Pada embrio preimplantasi, insidensi kelainan kromosom kerena

keguguran akibat aneuploidi sebelumnya setelah NC ataupun ART secara

Page 2: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

signifikan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Sehingga, insidensi

menjadi lebih tinggi ketika pada kelainan aneuploidi sebelumnya terdapat pada

kromosom autosomal; PGS direkomendasikan pada pasangan tersebut. ( Fertile

Steril 2012; 98 : 145 – 50. 2012 by American Society for Reproductive

Medicine ).

Kata Kunci : Skrening genetik preimplantasi, fluorescence in situ hibridisasi,

kelainan kromosom, konsepsi alamiah, Assisted Reproductive Technology.

Tidak kurang dari 10 % dari kehamilan yang terbukti secara klinis pada manusia

berakhir dengan aborsi spontan. Sebuah proporsi yang besar, jika tidak sebagai

mayoritas, pada kehamilan yang melibatkan konsepsi dengan kelainan secara

kromosom. Pada kenyataannya, perkiraan jumlah kelainan kromosom pada aborsi

spontan meningkat pada konsepsi alamiah ( NC ) beragam mulai dari 47, 9 %

sampai 83,0 % ( 1 – 5 ). Kelainan kromosom yang umum terjadi pada manusia

adalah jenis aneuploidi, yaitu berkurangnya jumlah kromosom ( monosomi ) atau

bertambahnya jumlah kromosom ( trisomi ). Aneuploidi merupakan kelainan

genetik yang menjadi penyebab utama keguguran ( 6, 7 ). Sedikit kelainan

kromosom autosomal trisomi ( 13, 18, dan 21 ) dan kelainan kromosom seks

aneuploidi ( 45, X ; 47, XXY; 47, XXX ; atau 47, XXY ) yang dapat bertahan

hidup, tetapi mereka umumnya menimbulkan kelainan kongenital yang serius dan

atau kelainan kognitif atau kelainan tingkah laku; memang, aneuploidi merupakan

penyebab utama retardasi mental dan kelainan kongenital pada manusia yang

diketahui saat ini ( 6 – 8 ). Sebagai kelompok, kromosom seks aneuploidi

menempati peringkat pertama kelainan kromosom yang terjadi pada bayi baru

lahir ( 6, 8 ). Dibandingkan dengan pada kromosom seks, aneuploidi pada

kromosom autosomal memberikan pengaruh yang lebih besar secara fenotip dan

kurang cocok dengan kehamilan yang sedang terjadi ( 9 ).

Peningkatan penggunaan Assisted reproduktive Technology ( ART ) menimbulkan

pandangan bahwa hal tersebut kemungkinan terkait dengan peningkatan kelainan

kromosom pada kehamilan yang diinisiasi dengan ART, tetapi data yang ada

Page 3: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

belum mendukung hal tersebut. Beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada

perbedaan secara statistik pada frekuensi total kelainan kromosom pada

kehamilan yang timbul setelah NC atau ART ( secara spesifik, fertilisasi in vitro

( IVF ) atau injeksi sperma intrasitoplasma ( ICSI ) (4, 5, 10, 11 ). Akan tetapi,

jenis kelainan kromosom yang terjadi berbeda : Bettio et al ( 2008 ) menjelaskan

dua lipatan meningkat pada poliploid setelah ART dibandingkan dengan NC,

sedangkan Martinez et al. ( 2010 ) menjelaskan adanya peningkatan terhadap

insidensi monosomi kromosom X dan penurunan poliploidi pada keguguran

setelah ICSI ( 4, 5 ). Lagipula, dengan ART itu sendiri, jumlah total aneuploidi

diantara ICSI dan IVF tidak memiliki perbedaan yang signifikan ( 4, 10 – 12 ),

tetapi kromosom seks aneuploidi lebih sering ditemui pada kehamilan dengan

ICSI dibandingkan dengan kehamilan yang berhubungan dengan konvensional

IVF ( 10 – 12 ).

Sebagai tambahan, penelitian telah melaporkan bahwa risiko fetal aneuploidi

meningkat pada pasangan yang sebelumnya mengalami abortus spontan atau

konsepsi aneuploidi karena kromosom autosomal maupun kromosom seks ( 13 –

17 ). Wanita yang memiliki riwayat kehamilan trisomi sebelumnya, yang usianya

< 35 tahun, muncul sebagai faktor risiko yang meningkatkan kehamilan trisomi

berikutnya ( 17 ).Faktorresiko relatif terhadap trisomi 21 berikutnya menjadi

trisomi 21 lebih tinggi pada wanita dengan usia < 35 tahun pada kehamilan

sebelumnya, sebagai faktor risiko terhadap terjadinya trisomi yang sama ataupun

trisomi yang berbeda berikutnya dibandingkan dengan trisomi 13 dan 18. Faktor

risiko relatif terhadap trisomi yang berbeda berikutnya dibandingkan menjadi

trisomi 21 sama baik pada wanita yang usianya < 35 tahun atau pada wanita yang

usianya ≥ 35 tahun pada kehamilan sebelumnya ( 17 ). Tidak terdapat perbedaan

yang terjadi baik pada kehamilan trisomi sebelumnya yang lahir hidup ataupun

lahir mati ( 13 ).

Page 4: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membandingkan kelainan kromosom

yang terjadi pada embrio preimplantasi pada pasangan yang sedang menjalani

skrening genetik preimplantasi ( PGS ) dibandingkan dengan keguguran

aneuploidi sebelumnya yang muncul melalui NC ataupu ART. Selain itu,

frekuensi sperma yang aneuploidi dan diploidi dianalisi pada sampel sperma dari

pasangan subjek penelitian untuk mencari kemungkinan pengaruh paternal dari

kelainan kromosom yang diamati pada keguguran.

Material dan Metode Penelitian

Pasien

Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang dilakukan dari bulan juli

2001 sampai dengan bulan April 2001, dimana terjadi 70 siklus PGS yang

dilakukan pada 56 pasangan dengan riwayat kehamilan dengan aneuploidi

sebelumnya baik dari NC ataupun ART. Partisipan wanita memiliki usia ≤ 37

tahun pada semua kelompok penelitian. Penelitian tersebut ditinjau dan disetujui

oleh Institutional Review Board ( IRB ) of the instituto Valenciano de Infertilidad.

Untuk menilai insidensi kelainan kromosom pada embrio preimplantasi, subjek

dibagi menjadi empat kelompok penelitian ( gambar 1 ) :

Kelompok 1 : 28 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom autosomal

aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan NC

Kelompok 2 : 22 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom autosomal

aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan ART.

Kelompok 3 : 12 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom seks

aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan NC

Kelompok 4 : 8 siklus PGS pada pasien dengan kelaian kromosom seks

aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan ART.

Kelompok kontrol : 33 siklus PGS pada pasien dengan penyakit terkait

kromosom seks.

Page 5: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

Sebagai perbandingan secara statistik, kelompok kontrol dari 28 pasangan fertil

yang mengikuti PGS terhadap penyakit terkait kromosom seks ( n = 33 siklus )

dimasukkan dalam penelitian ini. Dalam kelompok kontrol, semua pasangan laki

– laki merupakan normozoospermia dan usia wanitanya ≤ 37 tahun. Semua pasien

dan subjek kontrol memiliki kariotip yang normal.

Stimulasi Ovarium Dan Kultur Embrio

Setelah stimulasi ovarium, pengambilan oosit dilakukan melalui aspirasi ovarium

transvaginal dengan petunjuk USG. Fertilisasi dinilai selama 17 – 20 jam setelah

ICSI ( hari ke 1 ) dan pembelahan embrio dinilai 24 jam kemudian ( hari ke 2 ).

Pada saat ini, embrio ditumbuhkan dalam media IVF ( Media CCM, 1 : 1;

vitrolife) dan pada proses berikutnya ditumbuhkan pada media CCM dengan

monolayer EEC heterozigos ( sebelumnya dilakukan skrening untuk HIV, HBV,

HCV, dan sifilis ) mulai dari hari ke 2 sampai hari ke 5, dimana transfer embrio

dilakukan ( 18 ).

Pengambilan Embrio Dan Fiksasi

Embrio diletakkan pada medium droplet yang mengandung Ca2+ - dan Mg 2+-

bebas ( G – PGD; Vitrolife ), dan cairan Tyrode( vitrolife ) atau teknologi laser

( Octax ) digunakan untuk melubangi zona pellusida. Hanya embrio yang

memiliki ≥ 5 blastomer ternukleasi dan ≤ 25 % derajat fragmentasi yang diambil,

dan satu atau dua blastomer yang dilepas tergantung dari jumlah sel pada hari ke 3

( satu blastomer diambil dari embrio yang memiliki 5 – 7 blastomer, dua

blastomer diPengambilan dari embrio yang memiliki ≥ 8 blastomer ). Blastomer

sendiri difiksasi dalam object glass ( Superfrost ; Cole – Palmer ) di bawah

mikroskop terbalik menggunakan protokol yang modifikasi Tarkowski tanpa

dilakukan intervensi hipotonis.

Protokol FISH Pada PGS

Page 6: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

Protokol tertentu kami termasuk analisis terhadap kromosom 13, 15, 16, 17, 18,

21, 22, X, dan Y pada dua tahap konsekutif fluorescence in situ hibridisasi

( FISH ). Pada hibridisasi tahap pertama, kromosom 13, 16, 18, 21, dan 22

dianalisis menggunakan panel probe Multivision PB ( Vysis ). Pada tahap kedua

hibridisasi, kromosom 15, 17, X, dan Y dianalisis menggunakan panel probe

multivision 4 macam warna ( Vysis ). Nukleus dengan sinyal nonkonklusif

( sinyal yang saling tumpang tinding, berupa serat, atau terbagi ) atau dengan

tanpa sinyal untuk beberapa kromosom uji yang dianalisis kembali menggunakan

probe subtelomerik. Pada protokol kami, sinyal FISH yang ambigus / tidak pasti /

tidak dapat dijelaskan di selesaikan menggunakan analisis rata-rata dengan probe

subtelomerik ( 20 ). Siklus dilakukan sebelum 2004 tidak dimasukkan ke dalam

analisis dari kromosom 15 dan 17. Pencucian temuan dan penilaian sinyal

dilakukan menggunakan petunjuk dari perusahaan kami. Analisis FISH dilakukan

menggunakan mikroskop Olimpus AX70 epifluorescen dilengkapi dengan filter

tiga lapis untuk 4’6 – diamidino – 2 – phenylindole / Texas merah / fluorescen

isothiocyanate ( FITC ), dan filter tunggal untuk FITC, Texas merah, dan aqua

biru.

FISH Pada Sperma

Sampel sperma disiapkan untuk FISH untuk menganalisis kromosom 13, 18, 21,

X, dan Y ( Vysis ) seperti yang dijelaskan sebelumnya (21 ), dan sperma dengan

kromosom disomi dan diploidi dimasukkan dalam kategori abnormal. Sampel

sperma diklasifikasikan ke dalam golongan abnormal ketika jumlah spermatozoa

dengan abnormalitas minimal satu kromosom yang secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan yang diamati pada kelompok kontrol dari sepuluh donor

normozoospermia ( 22 ). Untuk menurunkan subjektivitas dari pengamatan, kami

menggunakan kriteria berikut ini : 1. Sperma yang saling tumpang tindih atau

kepala sperma yang tidak dapat dijelaskan dengan baik tidak dilakukan evaluasi;

2. Pada kasus disomi atau diploidi, semua sinyal memiliki intensitas yang sama

dan dipisahkan dari yang lainnya menggunakan jarak yang lebih dari ukuran satu

Page 7: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

sinyal; dan 3. Nullisomi tidak dinilai secara langsung dan secara konseratif

dipertimbangkan senilai dengan insidensi disomi ( 23 ).

Uji Pasti Fisher dengan koreksi Yates digunakan untuk membandingkan

persentase embrio abnormal dan aneuploidi kromosom diantara kelompok

penelitian dan kelompok kontrol. Kami juga membandingkan variabel biner hasil

keluaran klinis dengan uji yang sama. Uji Mann – Whitney U digunakan untuk

membandingkan perbedaan kelompok penelitian dengan jumlah keguguran

sebelumnya, jumlah implantasi, dan konsentrasi sperma. Uji chi – square

digunakan untuk membandingkan hasil sperma FISH diantara kelompok

penelitian dan kelompok kontrol, dan koreksi Bonferroni digunakan untuk

perbadingan multipel.

Hasil

Tidak terdapat perbedaan secara statistik yang ditemukan pada rata – rata umur

wanita diantara keempat kelompok penelitian. Perbedaan ditemukan pada rata –

rata jumlah keguguran sebelumnya; secara spesifik, kelompok 3, dengan

aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya terkait NC, memiliki insidensi

tertinggi pada keguguran sebelumnya ( dibandingkan dengan kelompok 1 : 1,8 ±

1,6 vs. 0,7 ± 1,0; P = 0,021 ).

Kami mengamati secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan dalam

insidensi kelainan kromosom pada kelompok yang sedang menjalani PGS ( Tabel

1 ). Jumlah keseluruhan kelainan kromosom pada kelompok dengan kelainan

aneuploidi pada kromosom autosomal sebelumnya ( kelompok 1 dan 2 )

meningkat secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol ( masing –

masing 67, 8 % dan 65, 8 %, dibandingkan dengan 34,0 %; P< 0,001 ).

Selanjutnya, jumlah ini lebih tinggi pada dua kelompok dengan kelainan

aneuploidi pada kromosom autosomal sebelumnya dibandingkan dengan dua

kelompok dengan kelainan aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya. Oleh

karena itu, tidak terdapat perbedaan yang ditemukan pada insidensi kelainan

kromosom diantara pasangan dengan aneuploidi yang muncul dari NC

Page 8: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

dibandingkan dengan yang berasal dari ART. Ketika menganalisis insidensi

aneuploidi pada pasangan dengan kehamilan yang mengalami kelainan aneuploidi

pada kromosom autosomal sebelumnya ( kelompok 1 dan 2 ), kelompok 1 secara

signifikan memiliki frekuensi aneuploidi pada kromosom seks yang lebih sering

dibandingkan dengan kelompok kontrol ( 19, 4 % dibandingkan 7, 5 % ; P =

0,007) ; Sebaliknya, kelompok 2 secara signifikan meningkat pada semua

kromosom autosomal teruji dibandingkan dengan kelompok kontrol ( P < 0,05 ).

Untuk pasien dengan kelainan aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya

( kelompok 3 dan 4 ), kromosom 13 merupakan satu – satunya kromosom

autosomal dengan peningkatan insidensi kelainan aneuploidi ( 19, 6 %

dibandingkan 5, 2 % ; P = 0,037 ). Persentase embrio dengan kelainan aneuploidi

meningkat sedikit ketika kromosom 15 dan 17 dimasukkan ke dalam panel. Kami

mengecek untuk perbedaan tersebut terhadap semua kelompok penelitian dan

kelompok kontrol, dan peningkatan yang terjadi terdistribusi secara merata pada

semua kelompok tersebut.

Kami menemukan jumlah embrio dengan kelainan haploid yang sama diantara

semua kelompok : 1, 78 % dengan NC, 0, 59 % dengan ART, dan 1, 50 % pada

kelompok kontrol. Untuk poliploid, jumlahnya sebesar 1, 33 %, 0 %, dan 2,0 %

masing – masing pada NC, ART, dan kelompok kontrol.

Menariknya, hasil klinis mengindikasikan sebuah kecenderungan ke arah

keluaran yang lebih baik pada pasien dengan aneuploid9i autosomal sebelumnya

dalam NC, tetapi perbedaan ini tidak mencapai signifikansi statistik (Tabel 2).

Secara khusus, pada kedua kelompok dari pasien dengan aneuploidi sebelumnya

dalam NC, tidak terdapat keguguran setelah siklus PGS.

Kami juga melakukan analisis FISH pada spermatozoa 16 pasangan (Tabel

3). Hasil abnormal didapatkan hanya pada satu pasien, dari kelompok 4, yang

memiliki angka kromosom seks disomik yang meningkat secara signifikan

dibandingkan dengan kelompok kontrol [0,59% vs 0,20%; P<.0005]. Tidak

terdapat perbedaan statistikal untuk semua autosom lain yang diperiksa. Angka

diploidi total untuk semua kromosom mirip di antara pasien dan subyek kontrol

Page 9: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

(0,07% vs. 0,10%). Konsentrasi sperma dalam sampel, dengan hasil FISH

abnormal adalah 12,0 x 106 sperma/ml, dan konsentrasi rata-rata pada sampel

yang tersisa dengan hasil FISH normal adalah 48,0 x 106 sperma/ml. Konsentrasi

sperma rata-rata adalah 44,7 ± 31,4 x 106 pada kelompok 1; 48,3 ± 42,4 x 106

pada kelompok 2; 55,1 ± 32,8 x 106 pada kelompok 3, dan 30,1 ± 35,9 x 106 pada

kelompok 4; perbedaan-perbedaan ini tidak signifikan secara statistik.

PEMBAHASAN

Data kami sejak 10 tahun terakhir menegaskan angka yang lebih tinggi secara

signifikan dari embrio abnormal pada pasie dengan aneuploidi sebelumnya

dibandingkan dengan subyek kontrol, secara independen dari asal kehamilan

sebelumnya (NC atau ART). Selain itu, insidensi bertambah ketika aneuploidi

sebelumnya adalah pada autosom. Aneuploidi untuk kromosom 15 dan 22 lebih

umum pada pasien dengan aneuploidi autosomal sebelumnya pada NC; sebuah

peningkatan dalam aneuploidi untuk semua kromosom terdeteksi pada kehamilan

aneuploid sebelumnya yang berasal melalui ART. Angka kromosom seks

aneuploidi lebih tinggi pada semua kelompok penelitian dibandingkan dengan

kelompok kontrol, tetapi signifikan secara statistik hanya untuk mereka dengan

aneuploidi autosomal sebelumnya dalam NC.

Penelitian sebelumnya [13-17] menunjukkan risiko rekurensi untuk

aneuploidi fetal kromosom autosomal dan seks pada pasangan dengan aborsi

spontan sebelumnya atau konsepsi aneuploidi. Hasil kami menegaskan penemuan

ini untuk semua kelompok penelitian ketika aneuploidi sebelumnya merupakan

autosom. Meskipun begitu, setelah aneuploidi kromosom seks sebelumnya, kami

menemukan peningkatan signifikan pada rekurensi aneuploidi hanya untuk

kromosom 13 pada kehamilan sebelumnya dengan NC.

Penelitian FISH pada sampel sperma ditemukan hanya satu pasien dengan

abnormalitas, khususnya angka yang lebih tinggi dari disomi kromosom seks

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, hasil ini tidak mengherankan,

karena mayoritas trisomi autosomal muncul dari kesalahan-kesalahan dalam

mitosis materal, yang secara tipikal terjadi selama metafase I, seperti pada

Page 10: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

sindrom Down. Untuk aneuploidi kromosom seks, beberapa sama

kemungkinannya untuk berasal dari paternal maupun maternal, seperti 47,XXY

(sindrom Klinefelter; 50%). Sebagai perbandingan, nondisjungsi dari kromosom

seks paternal adalah predominan pada 45,X (sindrom Turner; 74%) [7,8,24].

Menariknya, sebuah peningkatan dari spermatozoa aneuploid telah dilaporkan

pada ayah dari anak dengan sindrom Down dan pasangan dengan abortus spontan

atau anak dengan abnormalitas kromosom seks seperti sindrom Turner atau

Klinefelter [25-31].

PGS untuk panel terpilih dari sembilan kromosom dalam penelitian ini

menghasilkan keluaran yang mirip pada semua kelompok. Sampai sekarang, satu-

satunya jalan untuk menyaring embrio aneuploidi adalah melalui PGS, sebuah

metode yang dapat mendeteksi kebanyakan abnormalitas kromosom numerik

yang digambarkan dalam keguguran menggunakan panel yang diperluas untuk

angka kromosom yang terpilih [32]. Lathi et al [32] menemukan perbedaan

signifikan di antara panel terbatas (5-probe) dan diperluas (9-, 10-, dan 12-probe),

tetapi tidak di antara panel-panel yang diperluas, dan menunjukkan bahwa FISH

untuk kromosom 13, 15, 16, 18, 21, 22,X, dan Y seharusnya mengidentifikasikan

sekitar 80% dari kebanyakan anomali kromosomal yang umum pada sampel dari

abortus spontan. Pada tahun 2004, Munne et al. [13] memeriksa apakah angka

aneuploidi pada wanita yang memiliki PGS bertambah dengan konsepsi

aneuploidi sebelumnya. Wanita yang memiliki PGS karena aneuploidi

sebelumnya dibandingkan dengan dua kelompok kontrol: wanita yang memiliki

PGS untuk diagnosis gangguan terkait kromosom X dan wanita yang memiliki

PGS karena kegagalan IVF berulang. Angka yang lebih tinggi dari aneuploidi

dilaporkan untuk embrio dari pasien muda yang memiliki IVF karena konsepsi

trisomi sebelumnya daripada enbrio dari kelommpok kontrol. Pengarang

menyimpulkan bahwa riwayat konsepsi trisomi berhubungan dengan peningkatan

risiko konsepsi aneuploidi yang lainnya [13].

Penelitian ini merupakan, sejauh yang kami tahu, yang pertama yang

menganalisa secara terpisah konsepsi aneuploidi sebelumnya termasuk autosom

dan mereka yang termasuk kromosom seks, dan juga membedakan antara

Page 11: Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran Aneuploidi Sebelumnya

kehamilan ART dan NC untuk konseling yang lebih baikuntuk pasangan yang

menghadiri pusat IVF. Kami mengakui bahwa ini merupakan hasil pendahuluan

oleh sebab jumlah pasien yang masuk dalam penelitian ini, tetapi kesulitan dalam

memasukkan pasien dengan karakteristik seperti ini seharusnya diperhitungkan.

Sebagai kesimpulan, pada embrio preimplantasi, insidensi dari

abnormalitas kromosomal berhubungan dengan keguguran aneuploidi sebelumnya

diturunkan melalui NC atau ART secara signifikan lebih tinggi daripasa individu

tanpa konsepsi aneuploidi sebelumnya. Sebagai tambahan, insidensi ini

lebihtinggi ketika aneuploidi sebelumnya adalah autosom. Rekurensi aneuploidi

dapat dihindari menggunakan PGS untuk panel kromosom terpilih atau di masa

yang akan datang dengan uji CGH untuk semua 24 kromosom.

Ucapan Terima Kasih: Pengarang mengucapkan terima aksih untuk klinisi,

embriologis,dan teknisi dari klinik infertilitas Institut Valenciano untuk kerjasama

mereka dalam perkembangan penelitian ini. Nasser Al-Amar menyampaikan

ucapan terima kasih spesial untuksemua teman-temannya di labPGD di Iviomic

yang bertugas dalam analisis FISH untuk embrio dan sperma. Pengarang sangat

berterimakasih kepada Drs. Marcos Meseguer dan Nicolas Garrido untuk

dukungan statistikal.