Kasus Varisella Zoster
-
Upload
fatia-ramadhana -
Category
Documents
-
view
40 -
download
4
description
Transcript of Kasus Varisella Zoster
BAB I
PENDAHULUAN
Varisella zoster, yang juga dikenal sebagai cacar air atau chickenpox, merupakan
penyakit menular akibat infeksi oleh virus varisella zoster yang menyerang kulit dan mukosa.
Secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, dan berlokasi terutama di
bagian sentral tubuh.1
Varisella merupakan penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia. Di negara 4 musim,
epidemik varisella terjadi pada musim dingin dan musim semi. Tidak terdapat perbedaan jenis
kelamin maupun ras. Penyakit ini sangat menular dengan attack rate ± 90% terhadap orang
yang rentan. Insidensinya berkisar antara 65-86% dengan masa penularan 24-48 jam sebelum
lesi kulit muncul serta 3-7 hari setelah lesi muncul. Varisella menyerang terutama anak-anak,
namun dapat pula menyerang orang dewasa. Sekitar 90% terjadi pada anak-anak berusia
kurang dari 10 tahun, dan 15% terjadi pada usia lebih dari 15 tahun. Pada anak-anak di
Amerika Serikat, angka mortalitasnya 1 per 50,000 kasus dan 65,000 pasien yang dirawat inap
per tahun. Sedangkan pada dewasa angka mortalitasnya 15 per 50,000 kasus dengan kasus
rawat inap sebesar 11.000. Di Indonesia, belum ada penelitian mengenai data pasti angka
kejadian kasus varisella secara nasional. Data yang tercatat merupakan data epidemik varisella
pada daerah tertentu saja. Data Dinas Kesehatan Bidang Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Kabupaten Banyumas menyebutkan, selama periode Januari hingga
November 2007, sedikitnya 691 warga terkena penyakit varisella. Jumlah tersebut menurun
dibandingkan tahun 2006, yaitu tercatat penderita varisella sebanyak 1,771 orang.2,3,4,5
Penyebab varisella adalah infeksi oleh virus varisella zoster (varicella zoster
virus/VZV). Penamaan virus ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini
menyebabkan penyakit varisella, sedangkan reaktivasinya menyebabkan herpes zoster. Virus
ini pertama kali ditemukan pada tahun 1956 dengan manusia sebagai satu-satunya reservoir.
VZV merupakan suatu virus yang tergolong dalam famili herpesviridae dan sangat mirip
dengan herpes simplex virus. Virus ini mempunyai amplop, berbentuk ikosahedral, dan
memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam protein.1,2,4,6
VZV diperkirakan masuk melalui mukosa saluran pernafasan atas dan orofaring, diikuti
dengan replikasi lokal dan viremia primer; VZV lalu bereplikasi di sel sistem
1
retikuloendotelial dan menyebabkan viremia sekunder, sehingga menyebar ke kulit dan
membran mukosa. Ruam biasanya dimulai di wajah dan kulit kepala, lalu menyebar dengan
cepat ke badan dan anggota gerak. Lesi biasanya lebih menyebar ketimbang berkelompok,
sangat gatal, dan berkembang mulai dari papul kemerahan menjadi vesikel, pustul, dan krusta.
Pada varisella, semua efloresensi stadium-stadium tersebut bisa ditemukan di tubuh pada
waktu bersamaan. Selama perjalanan klinis varisella, VZV menyebar dari lesi kulit menuju ke
saraf sensoris, hingga sampai ke ganglia sensoris, dan mengakibatkan infeksi laten.2,3
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai pembelajaran dalam mendiagnosa serta
menentukan penatalaksanaan yang tepat untuk kasus varisella zoster, mengingat tingginya
angka kejadian penyakit ini. Berikut dilaporkan kasus varisella pada seorang anak perempuan
berusia 11 tahun yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Tk. II dr. A.K. Gani
Palembang pada Selasa, 20 Januari 2015.
2
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NP
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Palembang
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada Selasa, 20 Januari
2015 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Tk. II dr. A.K. Gani Palembang.
KELUHAN UTAMA
Bintil-bintil berair di tangan, kaki, dan perut sejak 4 hari yang lalu.
KELUHAN TAMBAHAN
Demam, sakit kepala, gatal dan perih di daerah bintil berair.
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Sejak 6 hari yang lalu, pasien demam, namun dirasakan tidak terlalu tinggi. Selain itu,
pasien juga sakit kepala. Pasien sudah minum obat penurun panas berupa tablet putih,
dan keluhan demam serta sakit kepala dirasakan mereda, namun beberapa saat muncul
kembali. Pasien menyangkal adanya keluhan badan lemah maupun nyeri otot dan
tulang.
Sejak 4 hari yang lalu, terdapat bintil berair yang pertama kali timbul di kedua tangan.
Beberapa jam kemudian, timbul bintil-bintil berair lain di sekitarnya. Selain itu, bintil
berair juga mulai timbul di kaki dan perut. Bintil berair berukuran sebesar biji jagung,
terpisah antara yang satu dengan yang lain serta tidak membentuk pola berkelompok.
3
Pasien juga mengeluh adanya rasa gatal pada daerah yang terdapat bintil. Pasien
menggaruk daerah tersebut, sehingga bintil pecah membentuk koleret. Pada daerah
koleret dirasakan perih oleh pasien. Pasien belum mengobati keluhan bintil berairnya.
Pasien menyangkal adanya kelainan kulit di bagian tubuh yang lain, termasuk di
daerah ketiak ataupun di dalam mulut. Pasien menyangkal adanya timbul bintil baru
pada hari pasien berobat.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat cacar air sebelumnya disangkal. Riwayat alergi, asma, bersin/hidung
tersumbat di pagi hari, maupun kaligata disangkal. Menurut ibu pasien, pasien sudah
mendapat imunisasi cacar air.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Anggota keluarga pasien ada yang lebih dahulu mengalami keluhan seperti pasien
yaitu adik pasien. Adik pasien mengalami keluhan seperti ini sejak 2 minggu yang lalu.
Selain itu, ibu pasien juga mengalami keluhan seperti ini sejak 5 hari yang lalu.
Riwayat alergi, asma, bersin/hidung tersumbat di pagi hari, maupun kaligata pada
anggota keluarga pasien disangkal.
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Saat ini pasien merupakan pelajar SMP.
RIWAYAT HIGIENITAS
Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan sabun batang. Sumber air mandi berasal dari
air PDAM. Pasien tinggal di lingkungan yang memiliki sanitasi cukup baik. Pasien
selalu mengganti pakaian tiap setelah mandi. Pasien tidur di tempat tidur dan
mengganti seprai tiap 1 minggu sekali.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
4
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Laju Respirasi : 16 x/menit
Suhu : 38 ºC
Status gizi : normoweight (BB: 43 kg)
Kepala : normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
THT : sekret hidung (-), sekret telinga (-), arcus faring hiperemis (-),
tonsil T1-T1 tenang
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : suara nafas vesikuler +/+ normal, rhonkhi (-), wheezing (-),
bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Status Dermatologikus
Gambar 1. Regio abdomen: vesikel yang telah memecah, multipel, diskret, berdiameter 0.5 cm,
permukaan ditutupi krusta coklat kehitaman.
5
Gambar 2. Regio dorsum manus dextra et sinistra: vesikel dengan dasar eritematosa, multipel, diskret,
berdiameter 0.5 cm.
Gambar 3. Regio ankle: vesikel yang telah memecah, tunggal, diskret, berdiameter 0,5 cm.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Tzanck: bahan diambil dari kerokan dasar vesikel pada regio dorsum
manus dan ditemukan sel datia berinti banyak.
Pewarnaan Gram: tidak ditemukan bakteri kokus Gram positif.
V. DIAGNOSIS
Diagnosis banding
Varisella zoster
6
Impetigo vesikobulosa
Herpes zoster
Hand-foot-and-mouth disease
Diagnosis kerja
Varisella zoster
VI. PENATALAKSANAAN
Umum
Edukasi untuk menjaga kebersihan tubuh (rutin mandi dan mengganti pakaian)
Edukasi untuk mencegah daerah yang gatal digaruk
Edukasi untuk menjaga agar bintil tidak pecah sebelum mengering sendiri
Khusus
1. Topikal
Bedak salicyl talc (pada bintil yang belum pecah)
Kompres NaCl 0.9% (pada bintil yang sudah pecah)
Salap gentamisin (dioleskan pada bintil yang sudah pecah) 2 kali sehari
2. Sistemik
Paracetamol 3 x 500 mg (bila demam) PO
Cetirizine 1 x 5 mg (bila gatal) PO
Vitamin B1 100 mg, B6 200 mg, dan B12 200 mcg (sohobion) 1 x tab 1 PO
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
VARISELLA ZOSTER
I. DEFINISI
Varisella zoster (chickenpox) merupakan suatu infeksi akut primer oleh virus
varisella zoster (varicella zoster virus/VZV) yang menyerang kulit dan mukosa. VZV
dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan rekuren. Infeksi primer bermanifestasi
sebagai varisella zoster; reaktivasi infeksi laten menyebabkan herpes zoster. Penyakit
ini sangat menular, didahului gejala prodromal, dengan karakteristik lesi berupa
vesikel-vesikel yang gatal dan berevolusi menjadi pustul, krusta, dan nantinya menjadi
jaringan parut. Lesinya terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.1,2,7
II. EPIDEMIOLOGI
Varisella terdistribusi di seluruh dunia. Epidemik varisella terjadi saat musim
dingin dan musim semi. Di Eropa dan Amerika Utara, 90% kasus terjadi pada onset
usia anak-anak kurang dari 10 tahun, dan kurang dari 5% terjadi pada individu berusia
lebih dari 15 tahun. Dengan imunisasi, insidensi ini secara signifikan berkurang. Risiko
kematian lebih sering terjadi pada bayi dan dewasa, dibandingkan pada anak-anak.
Sebelum ditemukannya imunisasi VZV, di Amerika Serikat, pada anak-anak angka
mortalitasnya 1 per 50,000 kasus dengan insidensi per tahunnya 3-4 juta kasus, serta
terdapat 65,000 pasien varisella yang dirawat inap setiap tahunnya; pada dewasa angka
mortalitasnya 15 per 50,000 kasus. Pada negara tropis dan subtropis, kerentanan
dewasa terhadap infeksi primer VZV secara signifikan lebih tinggi dibandingkan di
negara 4 musim. Di Indonesia, belum ada penelitian yang mencatat angka kejadian
varisella zoster secara nasional, namun insidensi penyakit ini diperkirakan cukup
tinggi.1,2,8
Varisella merupakan penyakit yang sangat menular. Lebih dari 95% kasus
varisella jelas secara klinis, walaupun terkadang eksantema yang muncul tidak terlalu
jelas dan dapat menghilang sebelum diketahui. Pasien dapat menularkan penyakitnya
1-2 hari (terkadang, 3-4 hari) sebelum eksantema muncul hingga 7 hari dihitung dari
8
timbulnya gejala kulit. Pada pasien imunokompromis, yang mengalami periode
eksantema selama 1 minggu atau lebih, memiliki masa penularan lebih lama. Masa
inkubasi varisella adalah 14-15 hari, dengan rentang waktu 10-23 hari. Masa ini
biasanya memanjang pada pasien yang mengalami varisella setelah mendapat
imunisasi pasif varicellazoster immune globulin (VZIG) atau zoster immune plasma,
atau imunisasi aktif vaksin varisella Oka strain hidup yang dilemahkan.8
Jalur transmisi utama varisella diduga adalah traktus respiratorius, namun infeksi
juga dapat menyebar secara kontak langsung; sedangkan kontak tidak langsung jarang
terjadi. Vesikelnya sangat infeksius, namun tidak dengan krustanya.2,8
III. ETIOLOGI
Varisella disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV). Penamaan virus ini
memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan penyakit varisella,
sedangkan reaktivasinya menyebabkan herpes zoster. VZV termasuk dalam kelompok
herpesvirus. Strukturnya sama dengan herpesvirus lainnya: amplop lipid menyelubungi
nukleokapsid dengan bentuk ikosahedral simetris. Garis tengahnya sekitar 150-200 nm,
dengan untaian DNA ganda terletak di tengah. Berat molekulnya sekitar 80 juta.1,2
IV. PATOGENESIS
VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit muncul.
Virus ini diperkirakan masuk melalui jalur respirasi, diikuti dengan replikasi lokal dan
viremia primer, serta menimbulkan lesi pada orofaring. Lesi inilah yang memfasilitasi
penyebaran virus melalui jalur traktus respiratorius. Pada fase ini, penularan terjadi
melalui droplet kepada membran mukosa orang sehat, misalnya saluran pernafasan dan
konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung sekitar 14 hari, dimana virus akan menyebar
ke kelenjar limfe, kemudian bereplikasi di sel sistem retikuloendotelial dan sel-sel
mononuklear, menyebabkan viremia sekunder. VZV yang ada dalam sel mononuklear
mulai menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita
imunokompromis, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah timbulnya
ruam kulit. Virus-virus ini bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke jaringan
kulit dan membran mukosa, menyebabkan lesi makulopapular, vesikuler, dan krusta.
9
Lokalisasi VZV di lapisan sel basal menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel
membentuk sel multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik
intranuklear. Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa “ballooning”,
yakni degenerasi sel epitelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh
cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47
kinase yang berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat menyebabkan terjadinya
infeksi disseminata yang biasanya berhubungan dengan rendahnya sistem imun dari
penderita. Selama perjalanan klinis varisella, VZV menyebar dari lesi kulit menuju ke
saraf sensoris, hingga sampai ke ganglia sensoris, dan mengakibatkan infeksi
laten.2,9,10,11,12,13,14,15,16
V. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 hari (dengan rentang waktu 10-23
hari). Gejala klinis diawali dengan gejala prodromal ringan, yang lebih sering terjadi
pada dewasa dibandingkan anak-anak, yaitu demam yang tidak terlalu tinggi, malaise,
nyeri kepala dan nyeri di seluruh badan. Eksantema timbul 2-3 hari kemudian, yaitu
lesi inisial berupa papul (biasanya tidak dapat diamati) eritematosa yang dalam waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun
(tear drops), superfisial dengan dinding tipis dan dasar eritema. Vesikel ini akan
berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta dalam 8-12 jam. Krusta akan
menghilang dalam 1-3 minggu, dan menyisakan dasar lekukan merah muda. Dapat
terjadi skar permanen. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel
yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfik. Penyakit ini biasanya disertai
rasa gatal. 1,2,7
Lesi awal biasanya terdapat di wajah dan kulit kepala, lalu menyebar ke arah
inferior, yaitu badan dan ekstremitas. Paling banyak terdapat di daerah yang jarang
terpapar tekanan, yaitu punggung, panggul, poplitea, dan fossa antecubiti. Lesi lebih
padat pada badan dan wajah dibandingkan pada ekstremitas. Selain itu juga dapat
menyerang membran mukosa hidung, konjungtiva, faring, laring, trakea, traktus GI,
traktus urinarius, dan vagina; efloresensi berupa vesikel disertai erosi dangkal (2-3
mm).1,2,7
10
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Deteksi antigen atau asam nukleat VZV
Cairan vesikel atau kerokan dasar ulserasi dibuat apusan pada object glass. Uji
direct fluorescent antibody (DFA) mendeteksi antigen spesifik-VZV, sedangkan
asam nukleat VZV dapat teridentifikasi dengan metode polymerase chain reaction
(PCR). Metode ini sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi lesi terinfeksi
VZV. Hasil lebih baik daripada biakan VZV dan dapat digunakan sebagai
diagnosis definitif.2,8
Biakan viral
Selain dengan deteksi antigen VZV, diagnosis definitif juga dapat ditegakkan
dengan isolasi virus. Isolasi virus pada biakan viral (human fibroblast monolayers)
dapat berasal dari lesi kulit vesikuler, spesimen biopsi, kerokan kornea, dan cairan
serebrospinal. Efek sitopatik yang nyata muncul dalam 3-10 hari.2
Apusan Tzanck
Bahan diambil dari dasar vesikel awal, dibuat sediaan apusan di object glass,
difiksasi dengan aseton atau methanol, lalu dilakukan pewarnaan menggunakan
hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau Paragon. Pemeriksaan di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x menunjukkan multinucleated giant
acantholytic epidermal cell dan sel epitel mengandung badan inklusi asidofilik
intranuklear.1,2,8
Serologi
Serokonversi, dengan adanya peningkatan titer VZV hingga 4 kali lipat.2
Dermatopatologi
Pada kulit yang berlesi atau spesimen biopsi viseral menunjukkan multinucleated
giant epithelial cell mengindikasikan infeksi HSV-1, HSV-2, atau VZV.
11
Pewarnaan immunoperoksidase spesifik antigen HSV-1, HSV-2, atau VZV dapat
mengidentifikasi herpesvirus spesifik.2
Biakan bakteri
Menyingkirkan adanya superinfeksi S. aureus atau streptokokus grup A.2
VII. DIAGNOSIS BANDING
Infeksi herpes simpleks generalisata: vesikel biasanya berkelompok, lokasi sekitar
mukosa, bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan immunofluoresensi atau biakan.2,7
Hand, foot, and mouth disease: pola penyebaran lebih akral, mukosa lebih banyak
terkena, sel Tzanck tidak ditemukan.7
Reaksi vesikuler terhadap gigitan serangga: seringkali berkelompok, pola
penyebaran akral, berupa urtikaria papular dengan titik di tengahnya.7
Erupsi obat variseliformis: sel Tzanck tidak ditemukan.7
Variola: gambaran monomorf, penyebaran dimulai dari bagian akral tubuh, yakni
telapak tangan dan telapak kaki.1,2
Lain-lain: dermatitis herpetiformis, pitiriasis likenoides et varioliformis akut,
skabies impetigenisata, moluskus kontagiosum, dan impetigo.7
VIII. PENATALAKSANAAN
Terapi simptomatik
Pengobatan bersifat simptomatik dapat diberikan antipiretik dan analgesik. Untuk
mengurangi gejala pruritus dapat diberikan bedak/lotion yang ditambah zat anti
gatal (mentol 2%, camphora) yang dapat langsung diaplikasikan ke lesi kulit,
ataupun pemberian antihistamin oral yang memiliki efek sedatif.1,2,7
Agen antiviral
Pemberian agen antiviral dalam 24 jam setelah onset varisella terbukti
menurunkan derajat keparahan varisella. Agen antiviral yang dapat diberikan pada
dewasa antara lain acyclovir 5 x 800 mg PO selama 5-7 hari, valacyclovir 3 x 1000
mg PO selama 7 hari, dan famciclovir 3 x 500 mg PO selama 7 hari. Dosis
12
acyclovir untuk anak-anak adalah 4 x 20-40 mg/kgBB (maks. 800 mg/hari) selama
5-7 hari. Pada pasien dengan status immunokompromis dapat diberikan acyclovir
10 mg/kgBB IV tiap 8 jam selama 7 hari atau foscarnet (pada resisten acyclovir)
40 mg/kgBB IV tiap 8 jam selama 7 hari.2,7
Terapi superinfeksi bakteri
Pada infeksi S. aureus atau streptokokus grup A dapat diberikan salap mupirocin
dan antibiotik oral. Pada vesikel yang sudah pecah atau adanya krusta juga dapat
diberikan antiseptik atau salap antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.2,7
IX. KOMPLIKASI
Pada anak-anak berusia <5 tahun, komplikasi yang paling sering terjadi adalah
superinfeksi bakteri MSSA, MRSA, atau GAS, yang menyebabkan impetigo, furunkel,
selulitis, atau gangren. Sedangkan, komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak
berusia 5-11 tahun adalah ensefalitis varisella dan sindrom Reye.2
Pneumonia varisella primer sering terjadi pada dewasa, terutama pada individu
yang immunokompromis dan ibu hamil. Enam belas persen dewasa menunjukkan
gambaran x-ray pneumonitis (infiltrate lobular interstitial difus), namun hanya 4%
yang memiliki gejala pneumonitis. Terjadi pada 1-6 hari setelah timbulnya ruam.
Ensefalitis VZV juga dapat terjadi pada dewasa. Komplikasi-komplikasi lain yang
jarang terjadi meliputi arthritis viral, uveitis, konjungtivitis, karditis, inappropriate
ADH syndrome, glomerulonefritis, hepatitis, otitis, dan orkitis.1,2
Varisella maternal selama trimester pertama kehamilan dapat menyebabkan
sindrom fetal varisella (insidensi 2%), yaitu berupa hipoplasia anggota gerak,
kerusakan mata dan otak, serta lesi kulit).2
X. VAKSINASI
Vaksinasi VZV (Varivax) terbukti 80% efektif mencegah infeksi VZV primer
simptomatik. Individu yang berisiko tinggi terkena varisella perlu divaksinasi, yaitu
orang dewasa normal, anak-anak dengan leukemia, dan pasien immunokompromis
13
(mendapat terapi immunosupresif, terinfeksi HIV, menderita kanker). Vaksin VZV
menghasilkan imunitas diperantarai-sel dan produksi antibodi melawan virus.2
XI. PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higienitas memberi prognosis
yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.1
14
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis varisella zoster ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Pasien adalah seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Pasien datang dengan keluhan
bintil-bintil berair di tangan, kaki, dan perut sejak 4 hari yang lalu. Sebelumnya, pasien juga
mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, serta keluhan sakit kepala. Demam dan sakit
kepala merupakan beberapa gejala prodromal sistemik yang biasanya mendahului gejala-
gejala dari infeksi virus. Timbulnya bintil berair yang didahului gejala prodromal, dapat
mengarah ke hipotesis varisella zoster, herpes zoster, dan hand-foot-and-mouth disease
(HFMD). Selain itu, adanya bintil berair juga dapat mengarah ke hipotesis impetigo
vesikobulosa. Varisella zoster adalah suatu infeksi akut primer oleh virus varisella zoster
(varicella zoster virus/VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, sedangkan herpes zoster
merupakan penyakit akibat reaktivasi VZV tersebut setelah adanya infeksi primer. HFMD
adalah infeksi coxsackie virus A16 yang menyerang kulit dan mukosa, terutama di tangan,
kaki, dan mukosa mulut. Impetigo vesikobulosa merupakan infeksi pada epidermis yang
disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus. Berdasarkan kepustakaan, 90% kasus
varisella zoster terjadi pada onset usia anak-anak <10 tahun, dan <5% terjadi pada usia >15
tahun. Sedangkan, herpes zoster sebagian besar terjadi pada usia >50 tahun (66%), dan
sebagian kecil terjadi pada anak-anak usia <15 tahun (5%). HFMD seringkali terjadi pada
anak berusia <10 tahun, remaja, dan dewasa usia pertengahan. Impetigo vesikobulosa dapat
terjadi pada anak-anak dan dewasa. Data-data ini berarti turut mendukung hipotesis varisella
zoster, herpes zoster, HFMD, dan impetigo vesikobulosa.1,2,7
Pada pasien, bintil berair pertama kali timbul di tangan, lalu beberapa jam kemudian
bintil berair juga timbul di kaki dan perut. Hal ini mungkin dapat melemahkan hipotesis
varisella dan impetigo vesikobulosa, karena pada varisella penyebaran lesinya secara
sentrifugal yaitu diawali di wajah dan kulit kepala, lalu menyebar ke badan dan anggota gerak,
sedangkan pada impetigo vesikobulosa predileksinya di dada, punggung, dan daerah lipatan
kulit seperti ketiak. Hipotesis herpes zoster dapat disingkirkan, karena pada herpes zoster lesi
berdistribusi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai persarafan. Begitu juga dengan
15
hipotesis HFMD dapat disingkirkan karena pasien menyangkal adanya kelainan kulit di
tempat lain, termasuk di dalam mulut; HFMD memiliki predileksi khas di mukosa mulut,
telapak tangan, dan telapak kaki.1,2,7
Pasien mengaku pola bintil berair yang dialaminya terpisah antara yang satu dengan
yang lain serta tidak membentuk pola berkelompok. Ini sesuai dengan lokalisasi lesi varisella
dimana ditemukan lesi diskret, serta juga dapat mendukung hipotesis impetigo
vesikobulosa.1,2,7
Pasien juga mengeluh adanya rasa gatal pada daerah yang terdapat bintil. Pasien
menggaruk daerah tersebut, sehingga bintil pecah membentuk koleret. Pada daerah koleret
dirasakan perih oleh pasien. Pada varisella zoster, keluhan gatal dan nyeri sering menyertai
keluhan bintil berair. Pecahnya bintil akibat garukan oleh pasien dapat menyebabkan
terjadinya infeksi sekunder oleh flora di kulit.1,2
Selain itu dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat kontak dengan penderita cacar
air sebelumnya, yaitu adik pasien. Hal ini mendukung hipotesis varisella zoster, dimana
penularan varisella paling sering terjadi melalui droplet aerogen dan kontak langsung. Seorang
penderita varisella dapat menularkan penyakitnya sejak beberapa hari sebelum timbulnya
erupsi kulit hingga 7 hari pasca gejala kulit pertama kali muncul.2
Pemeriksaan status dermatologikus pada regio abdomen didapatkan efloresensi vesikel
yang telah memecah, multipel, diskret, berdiameter 0.5 cm, permukaan ditutupi krusta coklat
kehitaman. Pada regio dorsum manus dextra et sinistra, didapatkan efloresensi vesikel dengan
dasar eritematosa, multipel, diskret, berdiameter 0.5 cm. Pada regio ankle, didapatkan
efloresensi vesikel yang telah memecah, tunggal, diskret, berdiameter 0.5 cm. Efloresensi ini
sesuai dengan gejala klinis varisella zoster, yaitu adanya kelainan kulit polimorf, dapat berupa
papul, vesikel, pustul, dan krusta. Selain itu, juga sesuai dengan lesi pada impetigo, yaitu
kelainan kulit berupa vesikel dan bula dengan eritema di sekitarnya, yang dapat pecah
membentuk koleret dan krusta.1,2,7
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk menegakkan diagnosis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan Tzanck dilakukan dengan cara mengambil
bahan dari kerokan dasar vesikel pada regio dorsum manus dan dibuat sediaan apus serta
diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Pada pengamatan mikroskop perbesaran 100x
didapatkan adanya sel datia berinti banyak yang berarti menegakkan diagnosis varisella zoster.
16
Selain itu, dilakukan juga pewarnaan Gram dengan sebelumnya dibuat preparat dari biakan
bakteri pada medium agar. Pada pengamatan mikroskop perbesaran 100x tidak ditemukan
adanya bakteri kokus Gram positif yang berarti menyingkirkan hipotesis impetigo
vesikobulosa.1,2
Penatalaksanaan varisella zoster mencakup penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan
khusus. Penatalaksanaan umum yaitu edukasi ke pasien untuk menjaga kebersihan tubuh
dengan rutin mandi dan mengganti pakaian, serta mencegah daerah yang gatal digaruk agar
bintil tidak pecah sebelum mengering sendiri. Pada penatalaksanaan khusus, secara topikal
diberikan salap antibiotik yaitu salap gentamicin dioleskan pada vesikel yang sudah pecah
dengan didahului kompres NaCl, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Mekanisme kerja gentamicin adalah menghambat sintesis protein bakteri dengan berikatan
pada subunit ribosom 30S dan 50S. Pada vesikel yang belum pecah dapat diberikan bedak
salicyl talc sebagai proteksi mencegah pecahnya vesikel. Penatalaksaan sistemik bersifat
simptomatik, yaitu pada pasien ini diberikan paracetamol 3 x 500 mg sebagai antipiretik, serta
cetirizine 1 x 10 mg sebagai antipruritus. Paracetamol bekerja dengan cara menghambat
sintesis prostaglandin, sedangkan cetirizine bekerja sebagai antagonis reseptor H1. Pada pasien
ini tidak diberikan antiviral (biasanya acyclovir) karena pasien datang berobat sudah hari ke-4
setelah lesi pertama kali muncul dan sudah tidak ada lagi lesi yang baru timbul pada hari
pasien berobat. Berdasarkan kepustakaan, antiviral diberikan tidak lebih dari 24 jam pertama
sejak lesi muncul.1,2,7
Prognosis pasien umumnya baik dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan
higienitas sehingga jaringan parut yang timbul sangat sedikit. Varisella zoster dapat berulang
dengan manifestasi herpes zoster akibat reaktivasi VZV pada orang-orang yang daya tahan
tubuhnya menurun.1,2
17
BAB V
KESIMPULAN
Varisella zoster merupakan infeksi akut primer oleh virus varisella zoster (varicella
zoster virus/VZV) yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di sentral tubuh. Penyakit ini menyerang terutama
anak-anak, dengan onset paling sering terjadi pada usia kurang dari 10 tahun. Penularannya
terjadi secara droplet aerogen maupun kontak langsung. Masa penularannya terjadi 1-2 hari
sebelum timbulnya gejala kulit hingga 7 hari sejak lesi kulit muncul.1,2
Masa inkubasi varisella zoster berlangsung selama 14 hari, dengan rentang waktu 10-23
hari. Gejala klinis diawali dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi,
malaise, dan nyeri kepala. Dua hingga tiga hari kemudian muncul erupsi kulit berupa papul
eritematosa yang dalam beberapa jam menjadi vesikel, lalu menjadi pustul, dan nantinya
menjadi krusta. Penyebaran lesinya berawal dari wajah dan kulit kepala, lalu menyebar ke
badan dan anggota gerak.1,2
Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis varisella zoster dapat
ditunjang dengan melakukan pemeriksaan Tzanck. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel,
lalu dibuat sediaan apusan dengan pewarnaan Giemsa. Di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100x akan didapatkan sel datia berinti banyak. Selain itu, sebagai diagnosis
definitif infeksi VZV dapat dilakukan dengan isolasi virus dari biakan sel yang diinokulasi
dari cairan vesikel, darah, cairan serebrospinal, atau jaringan yang terinfeksi, atau dengan
identifikasi langsung antigen VZV atau asam nukleatnya dari spesimen tersebut.1,8
Penatalaksanaan varisella zoster berupa terapi antiviral, simptomatik, serta pencegahan
infeksi sekunder. Salah satu antiviral yang dapat diberikan pada dewasa adalah acyclovir 5 x
800 mg PO selama 5-7 hari, sedangkan dosisnya untuk anak-anak adalah 4 x 20-40 mg/kgBB
selama 5-7 hari. Terapi simptomatik mencakup pemberian antipiretik, yaitu paracetamol, dan
antihistamin oral, seperti cetirizine. Pencegahan infeksi sekunder pada vesikel-vesikel yang
sudah pecah diberikan antibiotik topikal berupa salap gentamicin.2
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A., Hamzah, M., dan Aisah S. (2010) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. 6,
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2. Wolff, K. dan Johnson R.A. (2009) Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th ed., San Franscisco: The McGraw-Hill Companies
3. Soedarmo, S.S.P., Garna H., dan Hadinegoro S.R.S. (2002) Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi dan Penyakit Tropis, Ed. 1, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Kliegman R.M., Marcdante K.J., Jenson H.B., dan Behrman R.E. (2006) Nelson
Essentials of Pediatrics, 5th ed., Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Behrman R.E., Kliegman R.M., dan Jenson H.B. (2004) Nelson Textbook of Pediatrics,
17th ed., Philadelphia: Elseviers Saunders
6. Hambleton S. dan Gershon A.A. (2005) ‘Preventing Varicella-Zoster Disease’, Clinical
Microbiology Reviews, vol. 18, p. 70-80
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) (2011)
Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Jakarta: PP PERDOSKI
8. Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., dan Leffell, D.J.
(2008) Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed., San Franscisco: The
McGraw-Hill Companies
9. Parker S.P., Quinlivan M., Taha Y., dan Breuer J. (2006) ‘Genotyping of Varicella-Zoster
Virus and The Discrimination of Oka Vaccine Strains by TaqMan Real-Time PCR’,
Journal of Clinical Microbiology, vol. 44, p. 3911-3914
10. Warenham D.W. dan Breuer J. (2007) ‘Herpes Zoster’, BMJ, vol. 334, p. 1211-1215
11. Murray P.R., Rosenthal K.S., Kobayashi G.S., dan Pfaller M.A. (1998) Medical
Microbiology, 3rd ed., St. Louis: Mosby
12. Grose C. (1998) ‘Variation on a Theme by Fenner: The Pathogenesis of Chickenpox’,
Pediatrics, vol. 68, p. 735–737
13. Joklik W.K., Willet H.P., Amos D.B., dan Willfert C.M. (1992) Zinsser Microbiology,
20th ed., Connecticut: Appleton & Lange
19
14. Gilden D.H., Demasters B.K.K., Laguardia J.J., Mahalingam R., dan Cohrs R.J. (2000)
‘Neurologic Complications of The Reactivation of Varicella-Zoster Virus’, The New
England Journal of Medicine, vol. 342, p. 635-645
15. Johnson R.W. (2001) ‘Herpes Zoster-Predicting and Minimizing the Impact of
Postherpetic Neuralgia’, Journal of Antimicrobial Chemotheraphy, vol. 47, p. 1-8
16. Johnson C.E., Stancin T., Fattlar D., Rome L.P., dan Kumar M.L. (1997) ‘A Long-Term
Prospective Study of Varicella Vaccine in Healthy Children’, Pediatrics, vol. 100, p. 761-
766
20